Persamaan Pembelajaran Dan Pengajaran
Persamaan Pembelajaran Dan Pengajaran
Persamaan Pembelajaran Dan Pengajaran
Pengajaran merupakan totalitas aktivitas belajar mengajar yang diawali dengan perencanaan
dan diakhiri dengan evaluasi, yang kemudian diteruskan dengan follow up (tindak lanjut).
Secara lebih jelas dapat dikatakan, pengajaran adalah kegiatan yang mencakup
semua/meliputi seluruh kegiatan yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuantujuan khusus pengajaran (menentukan entry-behavior peserta didik, menyusun rencana
pelajaran, memberikan informasi, bertanya, menilai, dan seterusnya) (Rohani, 2004: 68)
Selanjutnya istilah pengajaran dalam bahasa inggris disebut instruction atau teaching. Akar
kata instruction adalah memberi pengarahan agar melakukan sesuatu, mengajar agar
melakukan sesuatu: member informasi.
2)
Hubungan pendidikan dan pengajaran cukup erat kaitannya karena menurut undang undang
nomor 2 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional Bab 1 pasal 1, adalah usaha sadar
yang dilakukan untuk menyiapkanpeserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau
latihan agar peserta didik tersebut berperan dalamkehidupan masa depannya. Selain
pengajaran dalam pendidikan juga diperlukan adanya bimbingan sebagaimana tersebut dalam
kutipan dari UUSPN di muka. Bimbingan, seperti juga latihan adalah bagian penting yang
ideal karena akan berdampak kebaikannya penanggulangan kesulitan belajar dan pelaksanaan
rimedial teaching yang secara psikologis di diktis merupakan salah satu keharusan bagi guru.
Konseling adalah proses interaksi yang terjadi antara konselor dan konseli dalam situasi
pribadi dan professional dengan tujuan memudahkan terjadinya perubahan perilaku menuju
terpenuhinya kebutuhan.
Psikoterapi biasanya mempunyai arti yang lebih dalam menyangkut kepribadian individu,
dan lebih dipusatkan pada perbaikan tingkah laku individu yang menyangkut problem
tingkah laku yang lebih serius.
Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya memahami hakikat manusia, dikaitkan
dengan proses layanan bimbingan dan konseling.
Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu dipertimbangakan dalam layanan
bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang keragaman
budaya.
Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan dan
konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa mengikuti laju perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.
Layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, di samping berlandaskan pada
keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu memperhatikan pula landasan pedagodis,
landasan religius dan landasan yuridis-formal.
3.
B.
Sejarah Perkembangan Bimbingan Konseling di Amerika Sejarah bimbingan di
Amerika mulai diberikan oleh Jesse B. Davis sekitar tahun 1898-1907. Beliau bekerja sebagai
konselor sekolah menengah di Detroit. Dalam waktu sepuluh tahun, ia membantu mengatasi
masalah-masalah pendidikan, moral, dan jabatan siswa. Pada tahun 1908, Frank Parsons
mendirikan Vocational Bureau untuk membantu para remaja mendapatkan pekerjaan yang
cocok. Tahun 1910, William Healy mendirikan Juvenile Psychopathic Institut di Chicago.
Tahun 1911, Universitas Harvard memberikan kuliah bidang bimbingan jabatan dengan
dosennya Meyer Bloomfield. Tahun 1912, Grand Rapids, Michigan mendirikan lembaga
bimbingan dalam sistem sekolahnya. Tahun 1913 berdiri National Vocational Guidance
Association di Grand Rapids. Perkembangan bimbingan dan konseling di Amerika sangat
pesat pada awal tahun 1950. Hal ini ditandai dengan berdirinya APGA (American Personnel
and Gidance Association) pada tahun 1952. Selanjutnya, pada bulan Juli1983 APGA
mengubah namanya nenjadi AACD (American Association for Counselling and
Development). Klemudian, satu organisasi lainnya bergabung pula dengan AACD, yaitu
military education (MECA). Dengan demikian, pada saat ini AACD merupakan organisasi
propesional bagi para konselor Amerika serikat, dengan 14 divisi (organisasi khusus) yang
tergabung di dalamnya dismping itu, pada setiap negara bagian tertentu. AACD
mengeluarkan jurnal-jurnal secara berkala, diantaranya Journal of Counseling and
Development, Journal of Collage Student Personnel, Counselor Education and Super Vision
dan The Career Development Quarterly. Awal abad ke-20 belum ada konselor disekolah, akan
tetapi pada saat itu pekerjaan-pekerjaan konselor masih ditangani oleh para guru. Gerakan
bimbingan disekolah mulai berkembang sebagai dampak dari revolusi industri dan
keragaman latar belakang para siswa yang masuk kesekolah-sekolah negeri. Tahun 1898
Jesse B. Davis, seorang konselor di Detroit mulai memberikan layanan konseling pendidikan
dan pekerjaan di SMA. Pada tahun 1907 dia memasukkan program bimbingan di sekolah
tersebut. Pada waktu yang sama para ahli yang juga mengembangkan program bimbingan ini,
diantaranya sebagai berikut: Eli Weaper mengatakan (1906), memilih suatu karir dan
membentuk komite guru pembimbing disetiap sekolah menengah di New York. Komite
tersebut bergerak untuk membantu para pemuda dalam menemukan kemampuan-kemampuan
dan belajar tentang bimbingan menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut dalam rangka
menjadi seorang pekerja yang produktif. Frank Parson dikenal sebagai Father of The
Guedance Movement in American Education. Mendirikan biro pekerjaan tahun 1908 di
Boston Massachussets, yang bertujuan membantu pemuda dalam memilih karir uang
didasarkan atas proses seleksi secara ilmiyah dan melatih guru untuk memberikan pelayanan
sebagai koselor. Bradley (John J.Pie Trafesa et. al., 1980) menambah satu tahapan dari tiga
tahapan tentang sejarah bimbingan menurut Stiller, yaitu sebagai berikut: 1. Vocational
exploration: Tahapan yang menekankan tentang analisis individual dan pasaran kerja 2.
Metting Individual Needs: Tahapan yang menekankan membantu individu agar meeting
memperoleh kepuasan kebutuhan hidupnya. Perkembangan BK pada tahapan ini dipengaruhi
oleh diri dan memecahkan masalahnya sendiri. 3. Transisional Professionalism: Tahapan
yang memfokuskan perhatian kepada upaya profesionalisasi konselor. 4. Situasional
Diagnosis: Tahapan sebagai periode perubahan dan inovasi pada tahapan ini memfokuskan
pada analisis lingkungan dalam proses bimbingan dan gerakan cara-cara yang hanya terpusat
pada individu.
C. Sejarah Perkembangan Bimbingan Konseling di Indonesia Sejarah lahirnya bimbingan
dan konseling di Indonesia diawali sejak masukkannya bimbingan dan konseling (dulunya
bimbingan dan penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960.
Hal ini merupakan salah satu hasil konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20-24 Agustus 1960.
Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 berdiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta,
IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini
bimbingan dan konseling dikembangkan, juga berhasil disusun Pola Dasar Rencana dan
Pengembangan bimbingan dan penyuluhan pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk
Sekolah Menengah Atas di dalamnya memuat pedoman bimbingan dan konseling. Tahun
1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA bimbingan dan konseling di IKIP
(setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru bimbingan dan konseling di sekolah yang
sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan
dan Konseling. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai diadakan
sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Konseling. Keberadaan Bimbingan dan
Konseling secara legal formal diakui pada tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No
026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia
lebih banyak dilakukan dalam kegiatan formal di sekolah. Dalam Pasal 3 disebutkan tugas
pokok guru adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan,
evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut
dalam program bimbingan. Pada tahun 2001 terjadi perubahan organisasi Ikatan Petugas
A.
Bimbingan dan konseling sebagai suatu ilmu masih merupakan ilmu yang relative baru bila
dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain pada umumnya. Apabila ditelusuri, bimbingan dan
konseling baru mulai timbul sekitar permulaan Abad XX. Gerakan ini mula-mula timbul di
Amerika Serikat yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Frank Parson, Jesse B. Davis, Eli
Wever, John Brewer. Para ahli inilah yang mempelopori bimbingan dan konseling, yang pada
akhirnya berkembang dengan pesat.
Pada tahun 1908, di Boston, oleh Frank Parson didirikanlah suatu biro yang dimaksudkan
untuk mencapai efisien kerja. Beliaulah yang mengemukakan istilah atau pengertian
vocational guidance, yang melifuti vocational choice, vocational placement, dan vocational
training yang dari situ diharapkan dapat tercapai efisiensi dalam lapangan pekerjaan. beliau
pula yang mengusulkan agar masalah vocational guidance dimasukkan dalam kurikulum
sekolah. Dengan langkah ini dapat dilihat bagaimana masalah bimbingan mendapatkan
perhatian yang begitu jauh. Pada tahun 1909 Frank Parsons mengeluarkan buku yang
mengupas tentang mengupas tentang pemilihan pekerjaan. Pemilihan pekerjaan ini nantinya
juga akan menjadi salah satu aspek penting dalam lapangan bimbingan dan konseling.
Jesse B. Davis yang bekerja sebagai konselor sekolah di Central High School di Detroit, juga
telah mulai bergerak dalam bidang ini, baik yang berhubungan dengan masalah yang
berkaitan dengan pendidikan maupun yang berkaitan dengan pemilihan pekerjaan. Pada
tahun 1910-1916 beliau memberikan kuliah mengenai bimbingan dan konseling. Kegiatan
yang serupa dilakukan juga oleh Eli Wever di New York, John Brewer di Universitas
Harvard. Mereka ini juga dapat dipandang sebagi perintis bimbingan dan konseling. Pada
tahun 1913 didirikanlah suatu perhimpunan di antara para pembimbing itu.
Setelah perang Dunia II bimbingan dan konseling lebih menunjukan manfaatnya bagi
masyarakat. Bimbingan dan konseling bnyak bergerak di lapangan ketentraman, terutama
untuk para tentara yang baru datang dari medan pertempuran untuk kembali kedalam
masyarakat yang biasa. Dengan demikian jelas bahwa bimbingan dan konseling yang
sekarang ini merupakan perkembangan yang lebih lanjut dari vocational guidance yang
dirintis oleh Frank Parsons.
Sesuai dengan jaman yang selalu berkembang, demikian pula dengan bimbingan dan
konseling. Bimbingan dan konseling menyebar semakinlama semakin luas dan semakin
berkembang bimbingan dan konseling pun kemudian tidak hanya terbatas pada bimbingan
dan konseling dalam bidang pekerjaan, tetapi juga dalam lapanga pendidikan dan juga dalam
lapangan kepribadian tidak hanya terbatas pada biro-biro penempatan kerja, tetapi juga
menenbus lapangan industry , sekolah, ketentraman ,dsb. Dengan perkembangan yang begitu
cepat, maka perusahaan, terutama du perusahaan-perusahaan yang besar, menyediakan bagian
bimbingan dan konseling yang bertugas baik untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh
para karyawan maupun untuk mencegah jangan sampai timbul masalah-masalah yang
mungkin dapat membawa kerugian bagi perusahaan. Dalam lapangan ketentraanpun
kemudiaan diadakan staf khusus yang bertugas memelihara ketahanan mental para prajurit.
Sampai sekarang bimbingan dan konseling terus berkembang dan tidak mau tertinggal dari
ilmu-ilmu lain.[1]
B.
Seperti telah di kemukakan di depan, bimbingan dan konseling sebagai suatu ilmu merupakan
suatu hal yang masih baru, apalagi kalau dilihat dalam konteks Indonesia. Namun demikian
hal ini tidak berarti bahwa di Indonesia bimbingan dan konseling belum ada sama sekali.
Dengan di proklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan
didirikannya beberapa kementrian pada waktu itu, antara lain ada Kantor Penempatan Kerja,
hal ini menunjukan adanya usaha untuk menempatkan orang-orang yang ingin bekerja. Dan
ini apabila dilihat lebih jauh prinsipnya adalah sebagai vocational bureau yang didirikan
Frank Parson di Bostron yaitu untuk menempatkan orang pada suatu pekerjaan yang sesuai
dengan penampilannya.
Tetapi maksud yang terkandung yang dikemukan oleh Frank Parson itu tetap ada di Indonesia
sebagai suatu contoh adalah Balai Latihan Kerja. Dengan diadakanya konferensi FKIP
seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Malang dari tanggal 20 sampai dengan tanggal 24
agustus 1960, dan yang telah memutuskan bahwa bimbingan dan konseling dimasukkan
dalam kurikulum FKIP, hal ini menunjukan adanya langkah yang lebih maju, yaitu bahwa
bimbingan dan konseling sebagiai suatu ilmu di kupas secara ilmiah.
Dengan adanya bermacam-macam latihan jabatan yang dilaksanakan oleh yang
berwewenangpun menunjukan bahw bimbingan dan konseling mengalami Perkembangan
yang cukup pesat, baik disekolah maupun dimasyarakat yang lebih luas seperti dalam
ketentraman, badan-badan kesejahteraan sosial, maupun industry
4.
Rincian Kompetensi Konselor
A. MEMAHAMI SECARA MENDALAM KONSELI YANG HENDAK DILAYANI
1. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai 1.1 Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis
kemanusiaan, individualitas, kebebasan memilih tentang
dan
mengedepankan
kemaslahatan
manusia
sebagai
makhluk
spritual,
Mengaplikasikan
manusia,
kaidah-kaidah
perkembangan
fisik
dan
perilaku
psikologis
konseli terhadap
Mengaplikasikan
kaidah-kaidah
belajar
Mengaplikasikan
kaidah-kaidah
kesehatan
5.
FRIDAY, JUNE 24, 2011
1.
a.
b.
1) Penguasaan secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur pelayanan bimbingan dan
konseling.
2) Pengemasan teori, prinsip, teknik dan prosedur pelayanan bimbingan dan konseling tersebut
sebagai materi pembelajaran.
c. Menyelenggarakan Pembelajaran Bimbingan dan Konseling yang Mendidik
Dengan menggunakan penguasaan khasanah teoretik, prosedur dan teknik pelayanan
bimbingan dan konseling yang memandirikan sebagai konteks, kemampuan
menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik diwujudkan dalam beberapa kemampuan
sebagai berikut.
1) Merancang program pembelajaran yang memfasilitasi penumbuhan karakter serta soft
skills di samping pembentukan penguasaan hard skills, keseluruhan dari perencanaan
program pembelajaran tersebut termasuk aspek yang khas diperlukan untuk penyelenggaraan
pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan baik yang terbentuk sebagai dampak
langsung dari tindakan pembelajaran (instructional effects) maupun sebagai dampak tidak
langsung atau dampak pengiring (nurturant effects) dari akumulasi pengalaman belajar yang
dihayati oleh peserta didik sepanjang rentang proses pembelajaran, kesemuanya berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan situasional (Joyce dan Weil, 1972; Joyce dan Calhoun, 1996).
2) Mengimplementasikan program pembelajaran dengan kewaspadaan penuh (informed
responsiveness) terhadap peluang untuk menerjadikan optimasi antara pemanfaatan dampak
instruksional dan dampak pengiring pembelajaran yang dibingkai dengan Wawasan
Kependidikan sebagai asas pengendali (principles of reaction, Raka Joni, 1983), kesemuanya
itu, sebagaimana telah diisyaratkan, demi ketercapaian tujuan utuh pendidikan S-2
Bimbingan dan Koseling.
3) Mengakses proses dan hasil pembelajaran yang tercapai baik sebagai dampak langsung
maupun dampak pengiring proses pembelajaran dalam konteks tujuan utuh pendidikan S-2
Bimbingan dan Konseling.
4) Memanfaatkan hasil asesmen terhadap proses dan hasil pembelajaran itu untuk melakukan
perbaikan pengelolaan pembelajaran secara berkelanjutan, baik melalui tindakan remidial
maupun pengayaan.
d.
1)
2)
3)
4)
e.
program S-1 Bimbingan dan Konseling itu dilakukan dengan pembentukan penguasaan
kemampuan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut.
Penilaian efisiensi internal dan efisiensi eksternal dalam penyelenggaraan program S-1
Bimbingan dan Konseling menuju daya saing lulusan minimum di tingkat nasional, melalui
evaluasi diri yang digunakan untuk menenukan dan mengenali akar permasalahan yang dapat
menjadi kendala dalam mewujudkan kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling yang
bermutu, serta merancang dan mengimplementasikan program perbaikan bertolak dari akar
permasalahan yang diungkapkan.
Mensupervisi penyelenggaraan Pendidikan Profesional Konselor berupa Program
Pengalaman Lapangan yang, selain difokuskan kepada penumbuhan kiat merespons yang
memandirikan (mind competece) dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling,
juga sekaligus dimanfaatkan untuk menyemaikan kemampuan dan kebiasaan untuk
menjadi reflective practitioner dengan alur pikir pembelajaran orang dewasa (adult working
learners).
Memecahkan permasalahan Bimbingan dan Konseling di lapangan yang merupakan arena
pengabdian lulusan program S-1 Bimbingan dan Konseling melalui penelitian dan
pengembangan.
Menerapkan hasil penilaian, penelitian dan pengembangan dalam kegiatan pengabdian
kepada masyarakat.
Mengembangkan Profesionalitas Secara Berkelanjutan
Sebagai pekerja profesional yang mengedepankan kemaslahatan peserta didik dalam
pelaksanaan layanannya, Pendidik Konselor perlu membiasakan diri menggunakan setiap
peluang untuk belajar dalam rangka peningkatan profesionalitas. Upaya peningkatan diri itu
dapat dilakukan sebagai bagian dari keseharian pelaksanaan tugasnya dengan merekam serta
merefleksikan hasil serta dampak kinerjanya dalam mengelola pembelajaran (reflective
practitioner), lihat kembali Schone, 1983), melalui alur pikir pebelajar dewasa yang memetik
pelajaran dari keseharian pelaksanaan tugasnya dengan memanfaatkan model pembelajaran
eksperiensial yang berlangsung secara siklikal (the Cyclical Experiential Learning
Model (Kolb, 1984), dengan melakukan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action
Research), dengan mengakses berbagai sumber informasi termasuk yang tersedia di dunia
maya, serta melalui interaksi kesejawatan baik yang terjadi secara spontan-informal maupun
yang diacarakan secara lebih formal, sampai dengan mengikuti pelatihan serta pendidikan
lanjut.
Kompetensi akademik sebagaimana dipaparkan di atas dapat dikuasai melaui
pendidikan akademik yang mencakup kajian mendalam tentang program bimbingan dan
konseling khususnya dalam sistem pendidikan formal sekolah, pendekatan, teori, serta teknik
dan prosedur pelayanan bimbingan dan konseling, asesmen, pengelolaan termasuk supervisi
pendidikan profesional konselor yang berupa Program Pengalaman Lapangan, dan Penilaian
Program Pendidikan Profesional Konselor Pra-jabatan, serta beberapa bidang penunjang
kompetensi profesional pendidik konselor itu bukan hanya difokuskan kepada sisi tingkatan
kemampuan (maximum behavior) melainkan, dan yang paling penting, adalah kualitas
keseharian (typical behavior) kinerja pendidik konselor. Ini berarti bahwa, asesmen
penguasaan kemampuan profesional pendidik konselor itu perlu lebih mengedepankan rekam
jejak (track record) dalam penyelenggaraan pengelolaan layanan pembelajaran kepada
mahasiswa S-1 Bimbingan dan Konseling, dan kinerja dalam supervisi penyelenggaraan
Program Pendidikan Profesi Konselor dalam kurun waktu tertentu.
Di masa yang akan datang, perlu dikembangkan sarana asesmen yang bersifat highinference seperti yang misalnya menyerupai APKG, yang dpat digunakan untuk
memverifikasi penguasaan Kompetensi Profesional Pendidik Konselor. Demi transparansi,
asesmen penguasaan kompetensi profesional pendidik konselor itu dilakukan dengan
menggunakan penguji luar baik dosen yang berasal dari LPTK lain maupun konselor pamong
anggota ABKIN yang berasal dari sekolah lain. Mahasiwa yang berhasil dengan baik
menguasai kompetensi profesional Calon Pendidik Konselor melalui program Pendidikan
Profesi Pendidik Konselor yang berupa Progam Pengalaman Lapangan.
Selanjutnya, dalam Rambu-rambu Penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional
Pendidik Konselor tercakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
a. Alur Pikir Pengembangan Kurikulum
Kurikulum Program S-2 Bimbingan dan Konseling dikembangkan berdasarkan
konteks tugas dan ekspektasi kinerja pendidikan konselor profesional yang merujuk kepada
standar kompetensi profesional dan pendidik konselor sebagaimana telah dikemukakan.
Sesuai dengan sosoknya sebagai pengalaman belajar di jenjang S-2 Bimbingan dan
Konseling, maka terdapat kekhasan dalam spesifikasi pengalaman belajar yang disajikan
dalam kurikulum, yaitu:
1) Lebih luas jangkauan kajian akademiknya.
2) Lebih banyak menuntut refleksi bertolak dari pengalaman kerjanya sebagai konselor.
3) Lebih jauh tagihan dan penilaiannya mengenai dampak jangka panjang kinerjanya sebagai
pendidik konselor, pemelihara mutu kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling, serta
tanggung jawabnya sebagai penyelia dalam penyelenggaraan Pendidikan Profesi Konselor.
Agar benar-benar memberikan dampak yang mendidik sehingga bermuara pada
penguasaan perangkat kompetensi profesional pendidik konselor yang telah ditetapkan, maka
proses pembentukan penguasaan setiap kompetensi dijabarkan menjadi pengalaman belajar
yang memungkinkan tercapainya kompetensi yang telah ditetapkan sebagai sasaran
pembentukan. Pengalaman belajar tersebut harus memfasilitasi hal-hal sebagai berikut.
1) Perolehan pengetahuan dan pemahaman (acquiring and integrating knowledge, perluasan
dan penajaman pemahaman (expanding and refining knowledge) dan penerapan pengetahuan
secara bermakna (applying knowledge meaningfully), melalui pengkajian dengan berbagai
modus dalam berbagai konteks.
2)
1)
2)
3)
4)
b.
1)
2)
a)
b)
c)
3)
4)
5)
6)
yang diterapkan pada program S-2 Pendidikan Profesional Pendidik Konselor Pra-jabatan itu
diselenggarakan dengan mengupayakan hal-hal sebagai berikut.
Sesuai dengan kebutuhan belajar dari pebelajar dewasa yang menjadi mahasiswa Program S2 Bimbingan dan Konseling, proses pembelajaran didasarkan atas asas-asas experiential
learning, yang terbangun secara siklikal sebagai suatu siklus yang terus berulang, yang mulai
dari pengalaman konkret (concrete experience) dari pekerja dewasa, berlanjut kepada
pemaknaan terhadap pengalaman konkret tersebut melalui perenungan yang sistematis
(reflective observation), diteruskan dengan penyarian makna dari pengalaman tersebut
menjadi konsep-konsep abstrak (abstract conceptualization) sehingga menghasilkan
semacampersonal theory, yang kemudian dicobakan dalam praktek (active experimentation),
kesemuanya dalam konteks kehidupan pekerja dewasa (working adult learners, Kolb, 1984).
Berpegang kepada pendekatan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik (learnercentered instruction) yang berkualitas tinggi baik dari segi relevansi psikologik
(meaningfulness) dalam arti emosional serta kognitif, maupun dari segi relevansi sosial
(utility), pembelajaran digelar dengan memanfaatkan berbagai bentuk kegiatan belajar yang
menumbuhkan:
Kemampuan pemecahan masalah serta kemampuan bekerja sama, dengan dukungan berbagai
fasilitas termasuk teknologi informasi dan komunikasi.
Kemampuan reflektif baik yang bertolak dari pengamatan serta pemaknaan terhadap
keseharian pengalaman maupun dari bentuk-bentuk telaah yang lebih sistematis mulai dari
penelitian tindakan kelas sampai dengan penelitian formal.
Kemampuan empati yang mengedepankan kemaslahatan peserta didik, yang bertumpu
kepada kepedulian ekstra-personal di samping kepedulian intra-personal dan inter-personal
(Sternberg, 2003).
Kemampuan menskenariokan pengalaman belajar yang mengoptimalisasikan pemanfaatan
dampak langsung pembelajaran (instructional effects) dan dampak pengiring dari akumulasi
pengalaman belajar (nurturant effects), dalam rangka pembentukan penguasaan hard
skills secara bersamaan dengan penumbuhan penguasaan soft skillstermasuk sikap dan nilai
yang mempribadi sebagai karakter yang kuat, menuju kepada pembentukan masyarakat masa
depan Indonesia yang dikehendaki.
Mengembangkan kemampuan untuk memelihara mutu kinerja Prgram S-1 Bimbingan dan
Konseling melalui Evaluasi Diri untuk menemukandan mengenali akar permasalahan yang
menjadi kendala terhadap penyelenggaraan program S-1 Bimbingan dan Konseling serta
merancang dan mengimplementasikan program perbaikan dalam rangka menghasilkan
Konselor yang memiliki daya saing minimum di tingkat nasional.
Mengembangkan kemampuan untuk melakukan penyeliaan dan penilaian terhadap program
Pendidikan Profesional Konselor, serta pemanfaatan peluang-peluang untuk meningkatkan
mutu pembelajaran yang diprogramkan demi ketercapaian tujuan utuh pendidikan; baik
tujuan program di bidang Bimbingan dan Konseling maupun tujuan pendidikan nasional.
Membentuk kemampuan untuk melakukan pendampingan dan pembimbingan termasuk yang
menggunakan pendekatan supervisi klinis.
c.
Mahasiswa
Mengingat misi Program S-2 Bimbingan dan Konseling adalah menyelenggarakan
Pendidikan Akademik Bimbingan dan Konseling yang bermuara pada penganugerahan ijasah
Magister Pendidikan dengan kekhususan Bimbingan dan Konseling, yang dilanjutkan dengan
Pendidikan Profesional Pendidik Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan selama
sekitar 1 (satu) semester, maka proses penerimaan mahasiswa baru perlu memperhatikan halhal sebagai berikut.
1) Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru
Sistem penerimaan calon mahasiswa dilakukan melalui seleksi sesuai dengan
persyaratan akademik dan persyaratan administratif yang berlaku pada program Pascasarjana
di masing-masing universitas, dengan memperhatikan mutu akademik calon mahasiswa yang
bersangkutan melalui prosedur seleksi yang kredibel. Calon mahasiswa berasal dari lulusan
S-1 Bimbingan dan Konseling. Apabila hendak diterima mahasiswa yang merupakan lulusan
program S-1 kependidikan lain, maka perlu diadakan matrikulasi termasuk penambahan
sejumlah mata kuliah program S-1 Bimbingan dan Konseling (anvullen), apabila terdeteksi
defisiensi kompetensi akademik yang cukup serius pada tahap seleksi.
2) Proses seleksi.
Penyelenggaraan seleksi masuk dilakukan secara terbuka, sehingga dapat diketahui
oleh calon baik melalui surat selebaran (pamflet, leaflet, brosur), iklan dalam surat kabar
maupun media elektronik. Cara penyampaian hasil seleksi mengikuti mekanisme yang
berlaku pada masing-masing PPs.
d. Ketenagaan
1) Dosen
a) Untuk menyelenggarakan program S-2 Bimbingan dan Konseling, lembaga dipersyaratkan
memiliki tenaga dosen yang merujuk kepada jumlah dan kualifikasi sebagaimana tercantum
dalam keputusan Dirjen Dikti No. 108/Dikti/Kep/ 2001 tanggal 30 April 2001.
b) Dalam keadaan tertentu dapat digunakan tenaga dosen dari luar universitas, melalui
pengaturan yang melembaga dengan mencantumkan bidang keahlian dan jenjang pendidikan
untuk masing-masing bidang keahlian. Namun perlu juga program kaderisasi baik untuk
menggantikan dosen pinjaman, maupun untuk memperkuat jajaran dosen tetap milik
lembaga.
c) Setiap dosen program S-2 Bimbingan dan Konseling wajib akrab dengan budaya bimbingan
dan konseling dalam sistem Pendidikan formal, baik yang diperoleh melalui pendidikan
formal baik di jenjang dasar dan menengah maupun perguruan tinggi baik melalui pelatihanpelatihan, maupun dengan cara lain seperti penugasan khusus yang intensif dalam waktu
minimal dua tahun, melakukan penelitian tindakan baik dalam rangka peningkatan kualitas
pembelajaran di LPTK maupun peningkatan kualitas layanan bimbingan dan konseling
khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk jenjang sekolah dasar,
kehadiran pelayanan bimbingan dan konseling perlu dicermati dari konteks tugas konselor di
tanah air yang tidak mempekerjakan konselor di jenjang sekolah dasar. Namun di pihak lain,
2)
a)
b)
e.
1)
2)
3)
4)
5)
konselor juga dapat berperan serta secara produktif di jenjang sekolah dasar sebagai Konselor
Kunjung yang membantu guru Sekolah Dasar (misalnya satu orang konselor untuk satu gugus
SD) mengatasi perilaku mengganggu (disruptive behavior), antara lain dengan
pendekatan Direct Behavioral Consultation.
Tenaga Penunjang Akademik
Lembaga
mempunyai
tenaga
penunjang
akademik
untuk
melayani
laboratorium/workshop, perpustakaan, laboratorium komputer, dsb.
Tenaga Teknisi
Lembaga mempunyai tenaga teknisi yang diperlukan untuk mengurus peralatan
laboratorium Bimbingan dan Konseling.
Tenaga Administrasi
Lembaga mempunyai tenaga administrasi yang mengurus keuangan, akademik,
kemahasiswa-an, perlengkapan, kebersihan, dan sebagainya.
Sarana dan Prasarana
Selain dukungan tenaga dengan jenis keahlian dan rambu-rambu jumlah seperti
diuraikan detail pada bagian ketenagaan, penyelenggaraan Program S-2 Bimbingan dan
Konseling perlu didukung tersedianya sarana dan prasarana sebagai berikut.
Selain ruangan kelas yang memadai, sarana utama lain yang diperlukan dalam
penyelenggaraan S-2 Bimbingan dan Konseling adalah ruang yang disediakan dan/atau
didesain khusus sebagai ruang demonstrasi-observasi dan yang berada di kampus, sekolah
latihan, perpustakaan, serta laboratorium Bimbingan dan Konseling.
Ruang demonstrasi-observasi merupakan ruang untuk berlatih menguasai keterampilan dasar
wawancara konseling dan latihan penyelenggaraan konseling. Ruang ini minimal dilengkapi
dengan video-kamera, monitor televisi, dan ruang pengamat yang dibatasi dengan kaca satu
arah yang hanya tembus pandang dari tempat pengamat yang diperlengkapi dengan
mikrofon omni-directional yang bisa disembunyikan, sehingga yang sedang berlatih tidak
merasa terganggu.
Sekolah latihan adalah sekolah menengah yang berada di dalam dan/atau di luar kampus,
dengan jumlah yang memadai, minimal satu Sekolah Menengah Latihan untuk 20
mahasiswa.
Perpustakaan yang memuat buku/sumber-sumber yang berkaitan dengan sistem Pendidikan
formal, seperti kurikulum sekolah yang relevan, Buku Panduan berbagai perguruan tinggi di
dalam dan di luar negeri, CD yang berisi berbagai aspek pelaksanaan pelayanan Bimbingan
dan Konseling; di samping jurnal dan buku-buku lain yang relevan yang harus disediakan di
perpustakaan fakultas/universitas. Selain itu untuk kebutuhan komunikasi hightech jurusan/program studi S-2 Bimbingan dan Konseling perlu sinergi dengan lembaga
induk.
Kerja sama dengan pengguna lulusan
Untuk meningkatkan jaminan bagi keberhasilan penyelenggaraan Program S-2
Bimbingan dan Konseling yang direncanakan, maka perlu dilakukan kerja sama dengan
6)
a)
b)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
c)
d)
(1)
sekolah bukan saja sebagai mitra dalam penyelenggaraan Program Pengalaman Lapangan,
melainkan juga sebagai arena untuk melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk
kemanfaatan bersama. Selain itu, juga perlu dijalin kerja sama saling menguntungkan dengan
LPTK lain, khususnya yang mengirimkan mahasiswa S-2 Bimbingan dan Konseling.
Lembaga penyelenggara program S-2 Bimbingan dan Konseling
Lembaga penyelenggara program S-2 Bimbingan dan Konseling mengutamakan
pemanfaatan secara optimal sarana dan prasarana yang dimiliki, seperti perpustakaan,
laboratorium, bengkel kerja, pusat sumber belajar berbagai media dalam teknologi informasi
dan komunikasi dan fasilitas micro skills dalam konseling. Sarana dan prasarana tersebut
digunakan untuk pengembangan keilmuan dan pembelajaran dalam bidang bimbingan dan
konseling, termasuk penelitian, latihan dan praktik pembelajaran dalam bidang bimbingan
dan konseling. Pembiayaan program S-2 Bimbingan dan Konseling merupakan bagian
integral dari pengelolaan PPs setempat dengan alokasi yang jelas.
Untuk menyelenggarakan program S-2 Bimbingan dan Konseling, perguruan tinggi yang
berminat untuk berperan serta perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
Memiliki Program S-1 Bimbingan dan Konseling yang masih aktif menyelenggarakan
Program S-1 Bimbingan dan Konseling.
Memiliki PPs yang menyelenggarakan sekurang-kurangnya 2 Program Studi S-1
Kependidikan lain yang telah diizinkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Memiliki komitmen tinggi, yang ditunjukkan dengan adanya kesadaran pemahaman yang
lengkap dan mendalam tentang Rambu-rambu Penyelenggaraan Program S-2 Bimbingan dan
Konseling dalam bingkai Naskah Akademik Konsolidasi Pendidikan Profesional Konselor.
Memiliki perencanaan yang matang dan komprehensif yang dituangkan dalam rencana
strategis lembaga yang disertai usulan program yang menjanjikan dan kredibel dengan
memperbaiki tata-pamong dan program kaderisasi yang diwadahi tatanan organisasi yang
mengayomi bidang kependidikan.
Memiliki rencana operasional yang mencerminkan komitmen berupa dukungan dana, tenaga
khususnya tenaga akademik dan teknisi, sarana dan prasarana, dan dukungan masyarakat
serta ketaatan terhadap berbagai kebijakan penyelenggaraan Pendidikan tinggi yang
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, serta akan dimonitor serta dievaluasi
secara berkala.
Pengelolaan
Pengelolaan program S-2 Bimbingan dan Konseling, harus merupakan bagian integral
dari pengelolaan PPs setempat dengan struktur organisasi dan alokasi dana yang jelas.
Mekanisme Perizinan
Pengusulan Pembukaan Program S-2 Bimbingan dan Konseling dilakukan dengan
mengikuti prosedur sebagai berikut.
Usulan penyelenggaraan program S-2 Bimbingan dan Konseling diajukan oleh pimpinan
perguruan tinggi kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas dengan didahului
oleh pemenuhan persyaratan administratif sesuai ketentuan.
(2) Permohonan untuk menyelenggarakan Program S-2 Bimbingan dan Konseling sesuai dengan
Standar Kompetensi Pendidik Konselor dan Rambu-rambu Penyelenggaraan Pendidikan
Profesional Pendidik Konselor sebagaimana diatur dalam Naskah Akademik Pendidikan
Profesional Konselor disertai dengan laporan Evaluasi Diri yang dilakukan dengan
memperhadapkan kekuatan dan kelemahan lembaga untuk menemukan akar permasalahan
yang perlu diatasi dengan berbagai program pengembangan kapasitas yang relevan, disertai
wadah kelembagaan pengelolaan sumberdaya, termasuk SDM yang dimiliki. Pengajuan
Usulan harus disertai dengan permohonan izin penyelenggaraan.
(3) Lembaga penyelenggara yang sekarang sedang menyelenggarakan program S-2 Bimbingan
dan Konseling wajib mengirimkan laporan semesteran sesuai Keputusan Dirjen Dikti Nomor
034/Dikti/Kep/ 2002 untuk dilakukan evaluasi penyelenggaraannya sebagai dasar penentuan
untuk memperoleh perpanjangan izin penyelenggaraan.
(4) Ketentuan dan prosedur pengusulan penyelenggaraan selengkapnya dapat ditemukan dalam
Keputusan Dirjen Dikti Nomor 108/DIKTI/Kep/2001 tentang Pedoman Pembukaan Program
Studi dan/atau Jurusan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
234/U/2000 tentang Pendirian Perguruan Tinggi.
(5) Ketentuan dan prosedur pengusulan penyeleng-garaan selengkapnya dapat ditemukan dalam
Keputusan Dirjen Dikti Nomor 108/DIKTI/Kep/2001 tentang Pedoman Pembukaan Program
Studi dan/atau Jurusan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
234/U/2000 tentang Pendirian Perguruan Tinggi.
B.
1.
juga dianugerahi gelar profesi konselor, sebagaimana yang diberikan kepada lulusan yang
hanya bermodalkan ijasah S-1 Bimbingan dan Konseling yang telah dikemukakan
sebelumnya.
Oleh karena itu, dengan atau tanpa Pendidikan Profesi Konselor dibawah naungan
DSPK, ABKIN tetap saja dihadapkan kepada tanggungjawab keorganisasian untuk
memfasilitasi penyelenggaraan program penyetalaan (fine-tuning) kemampuan jajaran
pendidikan konselor di tanah air, memalui penyediaan rambu-rambu program penyetalaan
Program Pendidikan Konselor dalam jabatan di tanah air. Melalui upaya ini, secara sistematis
diharapkan dapat difasilitasi peningkatan kinerja program Studi S-1 Bimbingan dan
Konseling yang dilanjutkan dengan Pendidikan Profesi Konselor, sehingga lebih menjajikan
bagi dihasilkannya konselor profesional yang dimiliki daya saing minimal di tingkat nasional,
dalam penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan khususnya
dalam jalur pendidikan formal.
2.
Tujuan
Program Penyetalaan kemampuan Pendidikan Konselor yang mengawaki program S1 Bimbingan dan Konseling pada semua LPTK di tanah air, termasuk yang merupakan
alumni Pendidikan Profesi Konselor di bawah naungan DSPK diselenggarakan untuk
melakukan standarisasi kemampuan akademik dan kemampuan profesional jajaran dosen
Program S-1 Bimbingan dan Konseling dalam rangka Profesionalisasi Konselor Indonesia.
Standarisasi kemampuan Pendidik Konselor Profesional tersebut mencakup kemampuan dari
segi:
a. Penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik pada program S-1 Bimbingan dan Konseling.
b. Pemeliharaan mutu kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling.
c. Penyeliaan penyelenggaraan pendidikan konselor.
Dalam kaitan ini, kelompok penyetalaan kemampuan pendidik Konselor dalam
jabatan ini terdiri atas dua kategori, yaitu:
a. Kelompok pendidik konselor yang belum memperoleh gelar profesi konselor melalui
pendidikan konselor yang diselenggarakan di bawah naungan DSPK.
b. Kelompok pendidik konselor yang telah memperoleh gelar profesi konselor melalui
pendidikan konselor yang diselenggarakan di bawah naungan DSPK.
Dalam hal ini, meskipun beda dari segi kepemilikan gelar profesi konselor, namun
secara kurikuler:
a. Kedua jenis kelompok sasaran memiliki definisi kemampuan akademik dari segi kemampuan
memlihara mutu kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling, dan hanya terdapat
b. Defisiensi yang bersifat parsial dari segi kesiapan untuk menyelia penyelenggaraan
Pendidikan Profesi Konselor, dalam arti Pendidik Konselor yang telah memiliki sertifikat
profesi Konselor yang merupakan, alumni Pendidikan Profesi Konselor di bawah naungan
DSPK, memiliki kelebihan dalam penguasaan kompetensi profesional sebagai Konselor
khususnya dalam jalur pendidikan formal (dengan ketentuan jika alumni Program Pendidikan
Profesi Konselor di wabah naungan DSPK yang lulusan program S-1 Bimbingan dan
Konseling diproyeksikan untuk memperkuat jajaran dosen Program S-1 Bimbingan dan
Konseling, maka ia wajib mengikuti Program S-2 Bimbingan dan Konseling yang
diselenggarakan berdasarkan ketentuan dalam Naskah Penataan Pendidikan Profesional
Konselor).
3.
a.
1)
2)
3)
a)
(1)
(2)
b)
(1)
(2)
4)
5)
4.
Fitur Program
Setelah mempersandingkan kompetensi bawaan jajaran Pendidik Konselor di tanah
air dengan Standar Kompetensi Profesional Pendidik Konselor, maka dirancang Program
Penyetalaan Kemampuan Profesional Pendidik Konselor, yang diselenggarakan melalui
langkah-langkah berikut.
Audit Keseluruhan Rekam Jejak Kurikuler Peserta Program
Audit rekam jejak kurikuler jajaran dosen program S-1 Bimbingan dan Konseling yang
belum mengikuti Pendidikan Profesi Konselor di bawah naungan DSPK.
Audit keseluruhan Rekam Jejak Kurikuler Alumni Pendidikan Profesi Konselor di bawah
naungan DSPK.
Pengungkapan defisiensi kemampuan akademik Pendidik Konselor
Defisiensi kemampuan akademik utuh dosen program S-1 Bimbingan dan Konseling yang
bergelar akademik S-2 Bimbingan dan Konseling yang
Belum menyandang gelar profesi konselor melalui Program Pendidikan Profesi yang
diselenggarakan di bawah naungan DSPK
Telah menyandang gelar profesi konselor melalui Program Pendidikan Profesi yang
diselenggarakan di bawah naungan DSPK
Defisiensi kemampuan akademik dosen program S-1 Bimbingan dan Konseling yang
bergelar akademik S-1 Bimbingan dan Konseling yang
Belum menyandang gelar profesi konselor melalui Program Pendidikan Profesi yang
diselenggarakan di bawah naungan DSPK.
Telah menyandang gelar profesi konselor melalui Program Pendidikan Profesi yang
diselenggarakan di bawah naungan DSPK.
Penutupan defisiensi kemampuan akademik Pendidik Konselor dilakukan melalui lokakarya
Evaluasi Diri dan perancangan program perbaikan program S-1 Bimbingan dan Konseling.
Penutupan defisiensi kemampuan profesional Pendidik Konselor dilakukan melalui latihan
penyeliaan praktek Bimbingan dan Konseling mahasiswa program S-1 Bimbingan dan
Konseling;
Lembaga Penyelenggara
Program Penyetalaan Kemampuan Pendidik Konselor dan Program Peningkatan
Kemampuan Pendidik Konselor diselenggarakan oleh Lembaga Penyeleng-gara Program S-2
Bimbingan dan Konseling, minimum telah menyelenggarakan 3 (tiga) angkatan program S-2
Bimbingan dan Konseling
6.