Laporan Tutorial
Laporan Tutorial
Laporan Tutorial
“ KEJANG DEMAM “
BLOK NEUROBEHAVIOUR (NB)
Oleh :
Kelompok 6
Alhamdulillah, segala puji dan syukur sepantasnya kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
pencipta alam semesta. Atas berkat rahmat dan hidayat-Nya, pada akhirnya kami dapat
menyusun dan menyelesaikan laporan tutorial ini.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kelemahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, kritik, saran, dan koreksi dari pembaca sangat diharapkan demi
perbaikan laporan selanjutnya. Semoga laporan ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
para mahasiswa Kedokteran pada umumnya.
Atas segala dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, tidak lupa kami ucapkan terima kasih.
Apabila terdapat kesalahan kami mohon maaf dan pada Allah SWT kami mohon ampun.
Kelompok 6
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
SCENARIO……………………………………………………………………....1
STEP 1……………………………………………………………………………2
STEP 2…………………………………………………………………………....3
STEP 3……………………………………………………………………………4
STEP 4……………………………………………………………………………7
STEP 5……………………………………………………………………………8
STEP 6……………………………………………………………………………9
STEP 7……………………………………………………………………………10
DAFTAR PUSTAKA
ii
SKENARIO 1
“Kejang”
Ibu Nia dating ke klinik dokter keluarga pagi ini. Ia tampak sangat cemas, anaknya Evi, 2
tahun,demam tinggi sejak kemarin sore. Dia berusaha menurunkan demam anakna dengan
memberikan paracetamol sirup. Tapi panas badan Evi tidak kunjung turun, bahkan tengah malam
evi sempat kejang. Ibunya khawatir tentang keadaan anaknya, sebab beberapa hari yang lalu,
dibawanya berkunjung kerumah tetangganya yang menderita ayanan dan ia takut anaknya
tertular penyakit yang sama. Selain itu saudara Evi, Andi yang berumur 7 tahun, dulu juga
pernah kejang karena tertusuk paku di kakinya. Tetapi waktu itu dokter mendiagnosa penyakit
Andi Tetanus.
STEP 1
IDENTIFIKASI DAN KLARIFIKASI
ISTILAH ASING
Demam:
• Kondisi suhu tubuh tinggi, > 38° C
• Mekanisme pertahanan tubuh alamiah yang terjadi pada penyakit infeksi
• Salah satu gejala penyakit yang juga disebabkan oleh stress biologi
Kejang:
• Kontraksi mendadak otot-otot rangka secara involuntar
• Terlepasnya muatan parsial di neuron otak
• Biasanya juga intermiten
Ayan:
• Letusan muatan di system saraf pusat
• Merupakan tindak lanjut dari kejang yang kronik
• Gangguan di otak dengan kejadian episodic
• Lamanya kejang > 20 menit
Tetanus:
• Disebabkankan clostridium tetani
• Infeksi akut bakteri yang mengeluarkan spora (tetanospasmin) yang bersifat endotoksik
• Diakibatkan toksin bakteri clostridium tetani yang bersifat neurotoksin
Paracetamol:
• Obat antipiretik yang menghambat produksi prostaglandin di organ hipotalamus
• Biasanya berdosis dewasa 500 mg
STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH
1. kejang demam
• EEG normal
• Berulang maksimum 12 jam sekali
• Durasi < 15 menit
• Usia 6 bulan – 6 tahun
2. kejang tetanus
3. kejang epilepsy
Tiap anak mempunyai ambang kejng yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya
ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 C sedangkan pada
anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih.
Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering
terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Sehingga beberapa hipotesa dikemukakan mengenai patofisiologi sebenarnya dari kejang
demam, yaitu:
• Menurunnya nilai ambang kejang pada suhu tertentu.
• Cepatnya kenaikan suhu.
• Gangguan keseimbangan cairan dan terjadi retensi cairan.
• Metabolisme meninggi, kebutuhan otak akan O2 meningkat sehingga sirkulasi
darah bertambah dan terjadi ketidakseimbangan.
Dasar patofisiologi terjadinya kejang demam adalah belum berfungsinya dengan baik
susunan saraf pusat (korteks serebri).
2. Kejang di setiap focus parsial dan umum serta Kejang Demam Sederhana dan
Kejang Demam Kompleks
Lokasi Lesi
Kejang Parsial Sederhana : korteks serebri
Kejang Parsial kompleks : system limbic
Kejang umum : korteks serebri , diensephalon, serebellum
Lesi Penyebab Epilepsi
Lobus frontalis : kedutan otot tidak teratur
Lobus oksipitalis : halusinasi kilauan cahaya
Lobus temporalis : perilaku interpretitif
Lobus parietalis : mati rasa
Lobus temporalis anterior : gerakan mengunyah
Lobus temporalis anterior dalam : halusinasi bau
Criteria KDS :
- kejang bersifat umum
- Lama kejang < 15menit
- Usia waktu kejang pertama <6 tahun
- Frekuensi serangan 1-4 x dalam 1 tahun
- EEG normal
Kriteria KDK (menurut ILAE)
- Kejang lebih dari dari atau sama dengan 15 menit
- Kejang fokal/parsial 1 sis/kejang umum yang didahului kejang parsial
- Kejang berulang 2x/lebih dalam 24 jam
Dosis tergantung dari berat badan, yaitu kurang dari 10 kg : 0,5-0,75 mg/kgbb dengan
minimal dalam semprit 2,5 mg; 10-20 Kg : 0,5 mg/kgbb dengan minimal dalam semprit 7,5
mg dan di atas 20 kg : 0,5 mg/kgbb. Biasanya dosis rata-rata yang terpakai 0,3 mg/kgbb/kali
dengan maksimum 5 mg pada anak berumur kurang dari 5 tahun dan 10 mg pada anak yang
lebih besar.
Setelah suntikan pertama secara intervena ditunggu 15 menit, bila masih terdapat kejang
diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama, juga intervena. Setelah 15 menit suntikan
kedua masih kejang, diberikan suntikan ketiga dengan dosis yang sama akan tetapi
pemberiannya secara intramuskuler, dengan harapan kejang akan berhenti. Bila tidak
berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehyde 4% secara intervena.
Diazepam diberikan langsung tanpa larutan pelarut dengan perlahan kira-kira 1 ml/menit dan
pada bayi sebaiknya diberikan 1 mg/menit. Pemberian diazepam secara intravena pada nak
yang kejang seringkali menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif
melalui rectum telah dibuktikan kemampuannya. Hal ini dapat dilakukan baik oleh orang tua
atau tenaga lain yang mengetahui dosisnya. Dosis tergantung dari berat badan, yaitu berat
kurang dari 10 kg : 5 mg dan berat lebih dari 10 kg : 10 mg. Rata-rata pemakaian 0,4 – 0,6
mg/kgbb. Kemasan terdiri dari 5mg dan 10 mg dalam rektiol. Bila kejang tidak berhenti
dengan dosis pertamadapat diberikan lagi setelah ditunggu 15 menit dengan dosis yang sama
dan bila tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit dapat diberikan secara intravena dengan
menungging dan dengan rektiol yang ujungnya diolesi vaselin, dimasukanlah pipa saluran
keluar rektiol ke rectum sedalam 3-5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul dan
selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua
muskulus gluteus.
Apabila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan fenobarbital secara intramuskulus dengan
dosis awal untuk bayi baru lahir (neonatus) 30 mg/kali, anak berumur 1 bulan sampai 1 tahun
: 50 mg/kali dan umur 1 tahun ke atas 75 mg/kali. Bila kejang tidak berhenti setelah
ditunggu 15 menit, dapat diulangi suntikan fenobarbital dengan dosis untuk neonatus 15 mg,
anak 1 bulan sampai 1 tahun 30 mg dan anak di atas 1 tahun 50 mg secara intramuskuler.
Hasil yang terbaik ialah apabila tersedia fenobarbital yang dapat diberikan secara intravena
dengan dosis 5 mg/kgbb pada kecepatan 30 mg/menit.
Difenilhidantoin oleh banyak sarjana masih dipakai sebagai obat pilihan pertama untuk
menanggulangi status konvulsifus karena tidak mengganggu kesadaran dan tidak menekan
pusat pernafasan, tetapi mengganggu frekuensi dan irama jantung. Dosisnya adalah 18
mg/kgbb dalam infuse dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit. Dengan dosis tersebut
kadar terapeutik dalam darah akan menetap selama 24 jam.
Bila kejang tidak dapat dihentikan dengan obat-obat tersebut di atas maka sebaiknya
penderita dirawat di ruangan intensif untuk diberikan anestesi umum dengan thiopental yang
diberikan oleh seorang ahli anestesi.
2. Pengobatan penunjang
Sebelum memberantas kejang jangan lupa dengan pengobatan penunjang. Semua pakaian
yang ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
Penting sekali mengusahakan jalan nafas yang bebas agar oksigenisasi terjamin, kalau perlu
dilakukan inkubasi atau trakeostomi. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur dan
pengobatan ditambah dengan pemberian oksigen.
Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung diawasi
secara ketat. Cairan intravena sebaiknya diberikan dengan monitoring untuk kelainan
metabolic dan elektrolit. Bila terdapat tanda tekanan intracranial yang meninggi jangan
diberikan cairan dengan kadar natrium yang terlalu tinggi. Bila suhu meninggi (hiperpireksi)
dilakukan hibernasi dengan kompres atau lakohol. Obat untuk dibernasi adalah klorpromazin
2-4 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis ; prometazin 4-6 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis
secara suntikan.
Untuk mencegah terjadinya edema otak, diberikan kortikosteroid yaitu dengan dosis 20-30
mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya glukokorikoid misalnya deksametazon
0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.
3. Pengobatan rumat
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat. Daya kerja diazepam sangat
singkat yaitu berkisar antara 45-60 menit sesudah disuntik. Oleh sebab itu harus diberikan
obat antiepileptic dengan daya kerja lebih lama misalnya fenobarbital atau difenilhidantoin.
Fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti dengan diazepam. Dosis awal adalah
neonatus 30 mg ; umur 1 bulan – 1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg, semuanya
secara intramuskulker. Sesudah itu diberikan fenobarbital sebagai dosis rumat. Karena
metabolismenya di dalam tubuh perlahan, pada anak cukup diberikan dalam 2 dosis sehari
dan kadar maksimal dalam darah terdapat setalah 4 jam. Untuk mencapai kadar terapeutik
dalam darah tercapai dalam 48-72 jam. Di Sub Bagian Saraf Anak FKUI-RSCM Jakarta,
fenobarbital sebagai dosis awal diberikan setelah dosis awal sebanyak 8-10 mg/kgbb/hari
dibagi dalam 2 dosis untuk hari pertama dan kedua, diteruskan untuk hari berikutnya dengan
dosis biasa 4-5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis. Selama keadaan belum memungkinkan
antikovulsan diberikan secara suntikan dan bila telah membaik diteruskan secara oral.
A. Profilaksis intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita yang menderita
kejang demam sederhana, diberikan obat campuran antikonvulsan dan antipiretika, yang
harus diberikan kepada anak bila menderita demam lagi. Antikonvulsan yang diberikan ialah
fenobarbital dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari yang mempunyai akibat samping paling sedikit
dibandingkan dengan obat antikonvulsan lainnya. Obat antipiretika yang dipakai misalnya
aspirin. Dosis aspirin adalah 60 mg/tahun/kali, sehari diberikan 3 kali atau untuk bayi di
bawah umur 6 bulan diberikan 10 mg/bulan/kali, sehari diberikan 3 kali. Kadar maksimal
dalam darah tercapai dalam 2 jam pemberian oral.
Sebenarnya pemberian antikonvulsan dan antipiretik seperti ini dianggap kurang tepat, oleh
karena biasanya kejang pada kejang demam sederhana timbul di dalam 16 jam pertama
setelah anak demam. Akan tetapi pada penyidikan Campfield dkk (1980), pemberian
antipiretika tanpa antikonvulsan disbanding dengan yang diberi antikonvulsan ternya pada
golongan yang kedua, kejang dapat dicegah dengan hasil yang bermakna (p<0,02). Untuk
mendapat hasil yang lebih baik, sebenarnya diperlukan fenobarbital dengan dosis yang lebih
tinggi yakni 10-15 mg/kgbb/hari, tetapi dengan dosis tersebut terdapat akibat samping seperti
mengantuk, penekanan terhadap pusat pernafasan dan sebagainya.
Obat yang kini lebih ampuh dan banyak dipergunakan untuk mencegah terulangnya kejang
demam sederhana ialah diazepam, baik diberikan secara rectal maupun oral pada waktu anak
mula teraba panas (Dianesa, 1979).
Profilaksis intermiten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita
kejang demam sederhana sangat kecil, yaitu sampai sekitar umur 4 tahun.
Bila diperhatikan keempat faktor tersebut diatas tidaklah berbeda dengan criteria modifikasi
Livingston untuk kejang demam.
Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang ialah :
1. Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgbb/hari. Akibat samping dari fenobarbital jangka panjang ialah perubahan
sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus tidur (suka tidur) dan kadang-kadang
gangguan kognitif atau fungsi luhur.
2. Sodium valproat/asam valproat (Epilin, Depakene)
Dapat menurunkan risiko terulangnya kejang dengan memuaskan, bahkan lebih baik
dibandingkan dengan fenobarbital.
Dosisnya ialah 20-30 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis. Kekurangan obat ini ialah
harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan fenobarbital dan gejala toksis berupa rasa
mual, kerusakan hepar, prankreatitis.
3. Fenitoin (Dilantin)
Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan sifat berupa hiperaktif
sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang memuaskan.
Pemberian antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-
kurangnya 3 tahun seperti mengobati epilepsy.
Menghentikan pemberian antikonvulsan kelak harus perlahan-lahan dengan jalan mengurangi
dosis selama 3 atau 6 bulan.
4. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik kejang demam sederhana maupun epilepsi yang
diprovokasi oleh demam biasanya infeksi traktus repiratorius bagian atas dan otitis media
akut. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut.
Secara akademis pada anak dengan kejang demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya
dikerjakan [emeriksaan fungsi lumbal.
Hal ini perlu untuk menyingkirkan factor infeksi di dalam otak misalnya meningitis. Apabila
menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, yaitu
pemeriksaan fungsi lumbal, darah lengkap misalnya gula darah, kalium, magnesium,
natrium, nitrogen dan faal hati.
Selanjutnya bila belum memberikan hasil yang diinginkan dan untuk melengkapi data, dapat
dilakujan pemeriksaan khusus, yaitu X-foto tengkorak, elektroensefalogram,
ekoenselfalografi, ‘brain scan’, pneumoensefalografi dan arteriografi.
BAGAN MEMBERANTAS KEJANG
1. segera berikan
diazepam intravena
atau
diazepam rectal
bila kejang
tidak berhenti
tunggu 15 menit
kejang berhenti
pengobatan rumat
4 jam kemudian
dosis : Hari I + II : fenobarbital 8 – 10 mg/kgbb
dibagi dalam 2 dosis
Hari berikutnya : fenobarbital 4 – 5 mg/kgbb
dibagi dalam 2 dosis
8. Mekanisme epilepsy
Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel
neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter,
fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik.
ETIOLOGI.
1. Idiopatik.
2. Acquerit : kerusakan otak, keracunan obat, metabolik, bakteri.
- trauma lahir
- trauma kepala
- tumor otak
- stroke
- cerebral edema
- hypoxia
- keracunan
- gangguan metabolic
- infeksi.
PATOFISIOLOGI.
Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari
sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan
hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus
epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang fokal (parsial).
Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan
melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi
klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian
bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan
listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan
epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan
sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya
epilepsi).
Secara Patologi, Fenomena biokimia sel saraf yang menandai epilepsi :
1. Ketidakstabilan membran sel saraf.
2. Neuron hypersensitif dengan ambang menurun.
3. Polarisasi abnormal.
4. Ketidakseimbangan ion.
KLASIFIKASI DAN GAMBARAN KLINIS.
1. Epilepsi Umum.
- Grand mal.
- Petit mal.
- Infantile spasm.
2. Epilepsi Jenis Focal / Parsial.
- Focal motor.
- Focal sensorik.
- Psikomotor.
Gejala :
1. Bangkitan umum :
- Tonik : 20 – 60 detik.◊kontraksi otot, tungkai dan siku fleksi, leher dan
punggung melengkung, jeritan epilepsi (aura).
- Klonik : spasmus 40 detik.◊flexi berseling relaksasi, hypertensi,
midriasis, takikardi, hyperhidrosis, hypersalivasi.
- Pasca Serangan : aktivitas otot terhenti
klien sadar kembali
lesu, nyeri otot dan sakit kepala
klien tertidur 1-2 jam.
2. Jenis parsial :
- Sederhana : tidak terdapat gangguan kesadaran.
- Komplex : gangguan kesadaran.
Ad :
1. Grand mal (Tonik Klonik) :
- Ditandai dengan aura : sensasi pendengaran atau penglihatan.
- Hilang kesadaran.
- Epileptik cry.
- Tonus otot meningkat sikap fleksi / ekstensi.◊
- Sentakan, kejang klonik.
- Lidah dapat tergigit, hypertensi, tachicardi, berkeringat, dilatasi pupil dan
hypersalivasi.
- Setelah serangan pasien tertidur 1-2 jam.
- Pasien lupa, mengantuk dan bingung.
2. Petit mal :
- Hilang kesadaran sebentar.
- Klien tampak melongo.
- Apa yang dikerjakannya terhenti.
- Klien terhuyung tapi tidak sampai jatuh.
3. Infantile Spasm :
- Terjadi usia 3 bulan – 2 tahun.
- Kejang fleksor pada ektremitas dan kepala.
- Kejang hanya beberapa fetik berulang.
- Sebagian besar klien mengalami retardasi mental.
4. Focal motor :
Lesi pada lobus frontal.
5. Focal Sensorik :
Lesi pada lobus parietal.
6. Focal Psikomotor :
Disfungsi lobus temporal.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK.
• Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan darah rutin, darah tepi dan lainnya sesuai indikasi misalnya kadar gula
darah, elektrolit. Pemeriksaan cairan serebrospinalis (bila perlu) untuk mengetahui
tekanan, warna, kejernihan, perdarahan, jumlah sel, hitung jenis sel, kadar protein, gula
NaCl dan pemeriksaan lain atas indikasi.
• Pemeriksaan EEG :
Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Ada kelainan berupa
epilepsiform discharge atau epileptiform activity), misalnya spike sharp wave, spike and
wave dan sebagainya. Rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah
fokal, multifokal, kortikal atau subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara
berkala (kira-kira 8-12 % pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal).
• Pemeriksaan radiologis :
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi
intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran sutura, erosi sela
tursika dan sebagainya.
Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel, sisterna,
rongga sub arachnoid serta gambaran otak.
Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak,
penyumbatan, neoplasma / hematome/ abses.
KOMPLIKASI.
• Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang
berulang.
• Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.
PENATALAKSANAAN.
Medik :
a. Pengobatan Kausal :
Perlu diselidiki apakah pasien masih menderita penyakit yang aktif, misalnya tumor
serebri, hematome sub dural kronik. Bila ya, perlu diobati dahulu.
b. Pengobatan Rumat :
Pasien epilepsi diberikan obat antikonvulsan secara rumat. Di klinik saraf anak FKUI-
RSCM Jakarta, biasanya pengobatan dilanjutkan sampai 3 tahun bebas serangan,
kemudian obat dikurangi secara bertahap dan dihentikan dalam jangka waktu 6 bulan.
Pada umumnya lama pengobatan berkisar antara 2-4 tahun bebas serangan. Selama
pengobatan harus diperiksa gejala intoksikasi dan pemeriksaan laboratorium secara
berkala.
Obat yang dipakai untuk epilepsi yang dapat diberikan pada semua bentuk kejang :
- Fenobarbital, dosis 3-8 mg/kg BB/hari.
- Diazepam, dosis 0,2 -0,5 mg/Kg BB/hari.
- Diamox (asetazolamid); 10-90 mg/Kg BB/hari.
- Dilantin (Difenilhidantoin), dosis 5-10 mg/Kg BB/hari.
- Mysolin (Primidion), dosis 12-25 mg /Kg BB/hari.
Bila menderita spasme infantil diberikan :
- Prednison dosisnya 2-3 mg/Kg BB/hari.
- Dexametasone, dosis 0,2-0,3 mg/Kg BB/hari.
- Adrenokortikotropin, dosis 2-4 mg/Kg BB/hari.
Keperawatan :
Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadinya bahaya akibat bangkitan
epilepsi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko terjadi gangguan psikososial , kurang
pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. DATA DASAR PENGKAJIAN PASIEN.
AKTIVITAS / ISTIRAHAT
Gejala : Keletihan, kelemahan umum.
Keterbatasan dalam aktivitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat .
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot.
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot.
SIRKULASI
Gejala : Iktal : Hypertensi, peningkatan nadi, sianosis.
Postiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
INTEGRITAS EGO
Gejala : Stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan / atau
penanganan.
Peka rangsang; perasaan tidak ada harapan / tidak berdaya. Perubahan dalam berhubungan.
Tanda : Pelebaran rentang respons emosional.
ELIMINASI
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Postiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia (baik urine / fekal).
MAKANAN / CAIRAN
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan aktivitas
kejang.
Tanda : Kerusakan jaringan lunak / gigi (cedera selama kejang).
Hyperplasia gingival (efek samping pemakaian Dilantin jangka panjang).
NEUROSENSORI
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma
kepala, anoksia dan infeksi serebral.
Adanya aura (rangsangan visual, auditorius, area halusinogenik).
Postiktal : kelemahan, nyeri otot, area parestese / paralisis.
Tanda : Karakteristik kejang :
Kejang umum.
Kejang parsial (kompleks).
Kejang parsial (sederhana).
NYERI / KENYAMANAN
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode postiktal.
Nyeri abnormal paroksismal selama fase iktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati-hati.
Perubahan tonus otot.
Tingkah laku gelisah / distraksi.
PERNAFASAN
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat; peningkatan sekresi
mukus.
Fase postiktal : apnea.
KEAMANAN
Gejala : Riwayat terjatuh / trauma, fraktur.
Adanya alergi.
Tanda : Trauma pada jaringan lunak / ekimosis.
Penurunan kekuatan / tonus otot secara menyeluruh.
INTERAKSI SOSIAL
Gejala : Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau lingkungan sosialnya.
Pembatasan / penghindaran terhadap kontak sosial.
PENYULUHAN / PEMBELAJARAN
Gejala : Adanya riwayat epilepsi pada keluarga. Penggunaan / ketergantungan obat (termasuk
alkohol).
PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Mencegah / mengendalikan aktivitas kejang.
2. Melindungi pasien dari cedera.
3. Mempertahankan jalan nafas.
4. Meningkatkan harga diri yang positif.
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognosis, dan kebutuhan
penanganannya.
TUJUAN PEMULANGAN
1. Serangan kejang terkontrol.
2. Komplikasi / cedera dapat dicegah.
3. Mampu menunjukkan citra tubuh.
4. Pemahaman terhadap proses penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL :
♣ Resiko tinggi terhadap trauma / penghentian pernafasan berhubungan dengan perubahan
kesadaran; kelemahan; kehilangan koordinasi otot besar atau kecil.
RENCANA TINDAKAN / INTERVENSI :
- Gali bersama-sama klien berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus kejang.
Rasional : alkohol, berbagai obat dan stimulasi lain (seperti kurang tidur, lampu yang
terlalu terang, menonton televisi terlalu lama) dapat meningkatkan aktivitas otak,
yang selanjutnya meningkatkan resiko terjadinya kejang.
- Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang dengan
posisi tempat tidur rendah. Rasional : mengurangi trauma saat kejang (sering / umum)
terjadi selama pasien berada di tempat tidur.
- Tinggallah bersama pasien dalam waktu beberapa lama selama / setelah kejang.
Rasional : meningkatkan keamanan pasien.
- Catat tipe dari aktivitas kejang (seperti lokasi / lamanya aktivitas motorik, hilang
kesadaran, inkontinensia, dan lain-lain) dan berapa kali terjadi (frekuensi /
kekambuhannya).
Rasional : membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena.
♣ Resiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas / pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
kerusakan neuromuskuler; obstruksi trakeobronkial.
RENCANA TINDAKAN / INTERVENSI :
- Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat
yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Rasional : menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
- Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama
serangan kejang.
Rasional : meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat
jalan nafas.
- Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen.
Rasional : untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada.
- Masukkan spatel lidah / jalan nafas buatan atau gulungan benda lunak sesuai dengan
indikasi.
Rasional : jika memasukkannya di awal untuk membuka rahang, alat ini untuk mencegah
tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan lendir atau memberi
sokongan terhadap pernafasan jika diperlukan.
- Lakukan penghisapan sesuai indikasi.
Rasional : menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
- Kolaborasi dalam pemberian tambahan oksigen.
Rasional : dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang
menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.
Gangguan harga diri / identitas diri berhubungan dengan persepsi tidak terkontrol; stigma
berkenaan dengan kondisi; ditandai dengan : takut penolakan, perubahan persepsi tentang
diri, kurang mengikuti / tidak berpartisipasi pada terapi.
Epidemiologi
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir
sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara
berkembang. Penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita wanita, dan lebih sering
dijumpai pada anak pertama.
Pada tinjauan lebih dari 30 kasus, rose dkk (1973) menentukan nilai bervariasi antara 150 per
1000 anak pada pulau tropis Guam hingga 1,5 per 1000 pada anak sekolah Jepang. Meskipun
penduduk di Eropa dan Amerika Selatan, jumlahnya bervariasi antara 3,2 dan 7,2 per 1000
(Ross dan Pedham, 1983).
Pada penelitian Cooper (1965) dari anak-anak berusia 11 tahun di Inggris, Skotlandia, dan
Wales, ada prevalensi dari 7,1 per 1000 ketika epilepsi diartikan sebagai kejang selama
setahun belakangan oleh ibu dari anak-anak yang berusia lebih dari 2 tahun dan
dikonfirmasikan sebagai epilepsi pada pemeriksaan oleh petugas kesehatan. Di Isle of Wight,
Rutter et al (1970) menemukan jumlah 7,2 per 1000 jika seorang anak telah mengalami
kejang sejak mulai sekolah dan selama 12 bulan sebelumnya telah mengalami kejang sekali
atau anak-anak telah mengkonsumsi antikonvulsan reguler.
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang. Berdasarkan asumsi
bahwa Indonesia termasuk negara yang sedang berkembang, maka kejadian epilepsi di
Indonesia lebih tinggi daripada di negara maju/industri. Dari banyak studi menunjukkan
bahwa rata-rata prevalensi aktif 8,2 per 1.000 penduduk, sedangkan angka insidensi epilepsi
mencapai 50 per 100.000 penduduk. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka
diperkirakan jumlah pasien epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan
pengobatan sekitar 1,8 juta. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan
pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada
dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagu pada kelompok usia lanjut.
Klasifikasi
Klasifikasi ILAE 1981 untuk jenis bangkitan epilepsy:
1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Motorik
1.1.2. Sensorik
1.1.3. Otonom
1.1.4. Psikis
Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik
1.3.2. Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik klonik
2. Bangkitan umum
2.1. Lena (absence)
2.2. Mioklonik
2.3. Klonik
2.4. Tonik
2.5. Tonik-klonik
2.6. Atonik
3. Tak tergolongkan(7)
Patofisiologi
Banyak penyelidikan yang telah dilakukan untuk menerangkan tentang masalah
kelistrikan epilepsi antara lain oleh Herbert Jasper (Kanada), Lennox dan Gibbs (Amerika)
antara tahun 1935 – 1945.Dari penyelidikan tersebut terungkap bahwa bangkitan epilepsi
dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saran di otak yang dinamakan fokus epileptogen,
yang biasanya diketahui lokasinya tetapi tak selalu diketahui sifatnya
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan.
Pada umumnya hubungan antar neuron terjalin dengan pulsa listrik dan dengan bantuan zat
kimia yang secara umum disebut neurotransmitter. Hasil akhir dari komunikasi antar neuron
ini tergantung pada fungsi dasar dari neuron tersebut. Dalam keadaan normal lalu lintas pulsa
antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Namun demikian bisa juga terjadi bahwa
sebagian dari neuron bereaksi secara abnormal. Hal ini misalnya terjadi apabila mekanisme
yang mengatur lalu lintas pulsa antar neuron kacau bila braking system dari otak mengalami
gangguan. Antara lain yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah
neurotransmitter kelompok glutamat (yang mendorong ke arah aktivitas berlebihan :
excitatory) dan kelompok GABA (= gamma-aminobutyric acid, yang bersifat menghambat :
inhibitory)
Kejang epileptik, apapun jenisnya, selalu disebabkan karena transmisi impuls yang
berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal. Terjadi apa yang disebut
sinkronisasi daripada impuls. Sinkronisasi bisa terjadi hanya pada sekelompok kecil neuron
saja, atau kelompok yang lebih besar, atau malahan meliputi seluruh neuron di otak secara
serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut dalam proses sinkronisasi ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptiknya : serangan epileptik yang
ditimbulkan juga jadi sangat beragam. Bagaimana cara terjadinya sinkronisasi tidak diketahui
secara tepat.
Secara teoritis ada dua faktor yang dapat menyebabkan hal ini :
a. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron penghambat kurang optimal hingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA tidak
normal. Otak pasien yang menderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi
GABA yang rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik
(IPSIs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABAA
Gamma amino butyric acid (GABA). Suatu hipotesa mengatakan bahwa aktivitas
epileptik disebabkan oleh hilang atau berkurangnya inhibisi oleh GABA. Zat ini
merupakan neurotransmitter inhibitorik utama di otak. Ternyata bahwa sistem GABA ini
sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang
akan menambah rangsangan. Ada kesan bahwa peran GABA pada absence dan pada
epilepsi konvulsif tidak sama. Kini belum ada kesepekatan tentang peran GABA pada
epilepsi kronis.
b. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan hingga terjadi pelepasan
impuls epileptik berlebihan juga.
Kemungkinan lain adalah bahwa fungsi jaringan neuron penghambat normal tapi sistim
pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan oleh
meningkatnya konsentrasi glutamat di otak . sampau berapa jauh peran peningkatan
glutamat ini pada orang yang menderita epilepsi belum diketahui secara pasti.
Glutamat sejak lama diakui sebagai zat yang berperan pada sinaps perangsang di korteks
dan hipocampus. Hayashi pada tahun 1954 menemukan bahwa aplikasi glutamat topikal
akan menimbulkan bangkitan paroksimal seperti pada epilepsi. Kini diketahui bahwa
sistem glutamat ini juga terdiri dari beberapa subtip reseptor lagi.
Glycine diperlukan untuk fungsi glutamat sedangkan zinc memblokir pengaruhnya bila
diberikan sebelum serangan dimulai.
Gejala
Kejang parsial simplek, dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan
muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami sensasi, gerakan atau
kelainan psikis yang abnormal,tergantung kepada daerah otak yang terkena. Jika terjadi
di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan
bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus temporalis anterior sebelah
dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat menyenangkan atau sangat tidak
menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami dejavu
(merasa pernah megalami perasaan seperti sekarang di masa yang lalu.
Kejang Jacksonian gejalanya dimulai pada satu bagian tubuh tertentu (misalnya tangan
atau kaki) dan kemudian menjalar ke anggota gerak, sejalan dengan penyebaran aktivitas
listrik di otak.
Kejang parsial (psikomotor) kompleks, dimulai dengan hilangnya kontak penderita
dengan lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita menjadi goyah,
menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan,
mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain
katakan dan menolak bantuan.
Kebingungan berlangsung selama beberapa menit, dan diikuti dengan penyembuhan
total.
Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal) biasanya dimulai dengan kelainan
muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke
daerah otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi.
Epilepsi primer generalisata ditandai dengan muatan listrik abnormal di daerah otak
yang luas, yang sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan fungsi. Pada kedua jenis
epilepsi ini terjadi kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Pada
kejang konvulsif, terjadi penurunan kesadaran sementara, kejang otot yang hebat dan
sentakan-sentakan di seluruh tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-
kuat dan hilangnya pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami
sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak dapat
mengingat apa yang terjadi selama kejang.
Kejang petit mal, dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum usia 5 tahun.
Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grandmal. Penderita hanya
menatap, kelopak matanya bergetar atau otot wajahnya berkedut-kedut selama 10-30
detik.
Penderita tidak memberikan respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan
maupun menyentak-nyentak.
Status epileptikus, merupakan kejang yang paling serius, dimana kejang terjadi terus
menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu bernafas sebagaimana
mestinya dan muatan listrik didalam otaknya menyebar luas. Jika tidak segera ditangani,
bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan penderita biasa meninggal.
Spame Infatil adalah serangan berupa fleksi atau ekstensi satu kelompok, akut atau lebih
secara mendadak, biasanya terjadi berturutan dan sering disertai dengan teriakan. Satu
dari 3.000 anak terkena serangan ini dan 90% diantaranya terjadi antara usia 3-12 bulan.
West Syndrom bisa dibedakan menjadi dua jenis yaitu simptomatik dan cryptogenik.
Jenis simptomatik disebabkan karena ada kelainan neurologis sebelumnya. Sedangkan
jenis cryptogenic tidak diketahui penyebabnya.
Jenis spasmenya adalah berkelompok (kluster) dan dalam satu kluster bisa mencapai 125
spasme. Biasanya gejala timbul setelah bangun tidur. Pada saat terjadi spasme biasanya
anak menangis dan spasme ini bisa terus berlangsung.
Serangan mungkin dicetuskan oleh bunyi atau penanganan (“handling”) dan dapat
terjadi banyak kali sehari. Sering terlihat gambaran EEG yang khas (“hypsarrhythmia”).
Pengobatan infantile spasms sampai saat ini belum memuaskan. ACTH diyakini lebih
efektif dibandingkan penggunaan kortikosteroid sehingga rekomendasi lini pertama
adalah ACTH sedini mungkin. Namun efek samping ACTH harus diwaspadai.
Sedangkan melalui penelitian, topiramate cukup efektif untuk monoterapi pada anak di
atas 2 tahun. Mortalitas spasme infatil sekitar 25 %, yang 50% lagi diikuti dengan
kemunduran atau keterlambatan perkembangan atau gejala sisa neurologis lain dan
sekita 50% diantaranya berkembang menjadi epilepsi kronik. Bila kasus-kasus
kriptogenik ditangani segera secara serius, prognosis akan lebih baik
Sindrom Lennox-Gastaut, istilah ini digunakan untuk sindrom epileptik pada masa
kanak-kanak dengan ciri keterbelakangan mental dan serangan kejang disertai corak
EEG yang khas berupa gelombang lambat dan paku yang difus. Sindrom lennox-gastaut
termasuk dalam bentuk epilepsi general yang simtomatik dengan prevalensi sekitar 2-
3% dari seluruh kasus epilepsi. Puncak onset terjadi di usia 3-5 tahun. Secara umum
sindrom ini berkaitan dengan tipe kejang yang multipel. Tetapi yang paling khas adalah
adanya axial tonic seizure yang menyebabkan cedera. Sedangkan kejang atypical
absence , atonic atau drop attack serta kejang mioklonik dan tonik klonik, juga bisa
ditemui. Hasil EEG secara umum lambat (< 2 Hz). Biasanya penderita memiliki IQ
rendah dan ada kemunduran mental. Serangan pertama kali biasanya terjadi antara usai
1-6 tahun, sering terdapat keterbelakangan mental yang kadang-kadang berat dan pasien
hampir selalu mengalami serangan kejang yang parah berupa campuran serangan tonik,
lena atipik, atonik dan klonik klasik, sering terjadi setiap hari. Serangan ini sukar diatasi
dengan obat antikonvulsan, dan prognosis biasanya buruk. Sindom lennox-gastaut ini
dapat terjadi tanpa sebab yang jelas atau dihubungkan dengan berbagai abnormalitas
yang ada sebelumnya (mis : anomali perkembangan, kelainan metabolik, dan setelah
infeksi otak). Prognosis sindrom ini juga sangat buruk, lebih dari 80% tidak bisa
disembuhkan. Untuk mengatasi sindrom ini diperlukan politerapi yaitu kombinasi
topiramate, lamotrigine dan valproate.
9. Mikroorganisme penyebab infeksi Sistem Saraf Pusat dan Sistem Saraf Perifer
• INFEKSI JAMUR
Mucormycosis
Serebral mucormycosis (phycomycosis) adalah penyakit akut, jarang dapat
disembuhkan yang disebabkan oleh jamur klas phycomycetae khususnya genera
rhizopus. Jamur ini terdapat diseluruh dunia pada tumbuhan busuk, pupuk dan makanan
yang mengandung banyak gula. Infeksi pada manusia hampir selalu terjadi pada pasien
yang mempunyai penyakit utama termasuk diabetes melitus yang tidak terkontrol,
keganasan darah, lymfoma, keadaan imunosupresif, penggunaan antibiotik jangka
panjang dan penggunaan sitostatik.
Jamur ini masuk ke dalam tubuh manusia yang rentan melalui hidung
menyebabkan sinusitas dan sellulitis orbitalis, kemudian penetrasi ke arteri dan terjadi
trombosis arteri oftalmika danar karotis interna dan selanjutnya menyerang vena dan
saluran linfe. Dapat terjadi penyakit yang desiminata pada mata, serebral,paru
danintestinal.
Gejala klinis biasanya dimulai dengan tanda-tanda infeksi sinus paranasalis
seperti hidung tersumbat, sekret dari hdung kadang-kadang berdarah, nyeri pada daerah
sinus dan demam. Jika tidak diobati, penyakit ini akan menyebar keotak melalui lamina
kribriformis atau setelah terlibatnya tulang tengkorak. Kemudian terjadi gejala-gejala
lobus frontalis dan meningen basalis bersama dengan penurunan kesadaran drowsyness
nyeri kepala, perubahan status mental. Gejala neurologis yang sering terjadi yaitu
proptis,kelumpuhan mata dan hemiplegi yang mana keadaan ini berhubungan dengan
terlibatnya arteri arteri orbitalis dan karotis danjaringan disekitarnya. Organisme ini dapat
menginvasi meningen atau dapat menembus otak sehingga menimbulkan ensefalitis
jamur dan dapat menyebabkan Infark dan perdarahan otak.
Beberapa hifa terdapat didalam trombus dandinding pembuluh darah dan sering
sekali masuk ke dalam perinkim sekitarnya. Biasanya penyakit ini cepat berakibat fatal
dalam beberapa hari atau minggu. Diagnosa penyakit in ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan sputum, cairan serebrospinal atau eksudat jaringan sinus paranasalis. Kultur
rhizopus dapat membantu tapi bukan merupakan diagnostik oleh karena kebanyakan
merupakan kontaminan.
Terapi terdiri dari pemberian Amphotericin B dan kontrol faktor predisposisi
seperti diabetes melitus. Juga diperlukan drainase lokal dan operasi jaringan nekrotik
secepatnya untuk mencegah penyebaran penyakit.
Candidiasis (moniliasis)
Spesies candida merupakan suatu flora mikrobial yang normal terdpat dalam
tubuh manusia. Candidiasis kemungkinan merupakan infeksi jamur oportunistik
terbanyak. Infasi ke susunan saraf pusat sebenarnya sangat jarang kecuali terjadi
kerusakan sistem kekebalan tubuh host. Banyak factor yang menunjang terjadinya infeksi
candida seperti terapi antibiotik spectrum luas, luka bakar berat, nutrisi parental total,
prematuritas, keganasan pemasangan kateter, terapi kortikosteroid, neutropenia, operasi
abdomen, diabetes mellitus, dan penggunaan obat parenteral yang tidak semestinya
(parentral drug abuse).
Bentuk patologi infeksi susunan saraf pusat oleh candida berupa penyebaran
mikro abses intraparenkimal, granuloma nonkaseosa, abses besar, meningitis dari
ependimitis. Pada kebanyakan kasus diagnosis belum dapat ditegakkan pada saat pasien
masih hidup, kemungkinan oleh karena sukarnya menemukan organisme pada cairan
serebrospinal. Prognosis biasanya jelek walaupun dengan penggunaan amphotericin B.
Aspergilosis
Aspergilosis fumigatus dan A.flavus dapat menyebabkaninf susunan saraf pusat
manusia. Hal ini terjadi melalui penyebaran langsung dari sinus paranasalis atau setelah
traumakapitis, operasi lumbal fungsi, atau melalui penyebaran hematogen pada orang
dengan gangguan imunitas terutama yang mengalami neutropenia dalam jangka waktu
yang lama. Penulis lain menyatakan bahwa infeksi jamur ini terutama jika terjadi sinusitis
kronis (khususnya spenodialis) dengan osteomielitis basis tengkorak atau akibat
komplikasi otitis dan masstoiditis.
Manifestasi klinis penyakit ini berupa gangguan nevrus kranialis pada sekitar
daerah infeksi, abses serebri, granuloma kranial dan spinal pada duramater. Keadaan ini
tidak bermanifestasi sebagai meningitis. Pada beberapa kasus penyakit ini didapat di
rumah sakit ditandai dengan adanya gejala infeksi paru yang tidak mempan terhadap
antibiotik. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan melakukan biopsi atau dengan kultur.
Terapi anti jamur seperti ampotericin B dan kombinasi dengan limaflurocytosine
dan imidazole masih dipertanyakan keberhasilannya. Jika obat-obatan ini diberikan
setelah operasi pengeluaran materi yang terinfeksi, beberapa pasien dapat disembuhkan.
Coccodiodomycosis
Penyakit infeksi jamur ini banyak didaerah Barat Daya Amerika. Biasanya hanya
menyebabkan gejala influensa dengan infiltrat pada paru sebagai pneumonia non
bakterial. Keadaan ini dapat berlangsung progresif menjadi diseminata termasuk infeksi
pada meningen. Reaksi patologi dan gambaran kliniknya pada meningen dan cairan
serebrospinal sangat mirip dengan meningitis tuberkulosa.
Terapi terdiri dari pemberian ampotericin B intravena. Ada juga yang
menganjurkan pemberian ampotericin B intratekal. Pemberian melalui lumbal fungsi
yaitu dengan campuran ampotericin B dalam glukosa 10%, pasien dalam posisi kepala
agak kebawah (head dowm position) ampotericin B diberikan 3 kali seminggu selama 3
bulan, atau sampai sel pada cairan serebrospinal kurang dari 10 mm3 dan complement
fixing menghilang dari cairan likuor.
Histoplasmosis
Histoplasma capsulatun terdapat pada daerah ohio dandaerah lembah Missisipi
tengah Amerika. Infeksi terjadi setelah inhalasi spora. Kebanyakan pasien hanya
memperlihatkan gejala yang minimal atau tanpa gejala selama infeksi primer pada paru
paru. Perkembangan penyakit yang progresif (desimilata) terjadi pada penderita
gangguan pertahanan tubuh (cell mediated immune defence) setengah dari penderita
dengan gejala diseminata merupakan pasien dengan terapi imunosupresif, Lymphoma,
lymphocytic leukimia, gangguan limfa atau AIDS. Jika terjadi keaadaan disseminata ,
lokasi yang terutama adalah susunan saraf pusat.
Terapi yang dianjurkan adalah pemberian ampotericin B intravena 50 mg/hari
pada orang dewasa dan 1 mg/kgBB/hari pada anak-anak dengan berat badan kurang dari
50 kg, selama 6-12 minggu, dengan dosis total sekitar 35 mg/kgBB. Terapi pemeliharaan
(maintenance) diberikan 50-80 mg setiap 1 atau 2 minggu, untuk mencegah relaps pada
penderita AIDS.
Amebiasis
Entamoeba histolytica menghuni kolon dan menyebabkan disentri. Komplikasi
ekstraintestinal yang sering adalah abses hati, pleurisy, pneumonia, pericarditis dan
meningoensefalitis.
Patogenesa
Organisme mencapai otak lewat embolisasi. Entamoeba menyebabkan nekrose, dengan
reaksi radang ringan pada parenkim otak, udem, kejang dan kadang pembentukan abses.
Diagnosa lewat pemeriksaan fases dan biopsi jaringan . Amebiasis susunan saraf pusat
jarang terdiagnosa saat pasien masih hidup.
Penanganan
Penanganan dengan pemberian obat amebicid seperti metronidazol dengan dosis 35-50
mg/koagulan bb selama 5-10 hari.
Paragonimiasis
Paragonimiasis disebabkan oleh infeksi cacing paru Paragonimus westermani. Pada
manusia paragonimiasis berbentuk meningoensefalitis karena granulomatosis multipel.
Host primer adalah krustasea, dan manusia sebagai perantara.
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya telur dari sputum atau feses. Pada CT Scan
nampak granuloma intraserebral yang sering mangalami kalsifikasi.
Pengobatan
Pengobatan dengan bithionol (30-50 mg/koagulan selang sehari selama 10 – 15 kali
pemberian) danreaksi granuloma.
• Meningitis
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula
spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu
dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus
influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
Etiologi
1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok),
Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Peudomonas aeruginosa
2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan
system persarafan (Rita & Suriadi, 2001)
Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak, yaitu :
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih.
Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus,
Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis.
Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis
(meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa. (Smeltzer,
2001)
Patofisiologi
Kuman secara hematogen sampai ke selaput otak misal pada penyakit faringotonsilitis,
pneumonia, bronkopneumonia, endokarditis. Dapat pula sebagai perluasan
perkontinuitatum dari peradangan organ dekat selaput otak misal abses otak, otitis media,
mastoiditis. (Ngastiyah, 1997)
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis,
anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan
pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian
tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen;
semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam
meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran
darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat
meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak
dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral.
Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri
dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema
serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis.
Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan
dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen)
sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang
disebabkan oleh meningokokus. (Smeltzer, 2001)
Manifestasi klinis
Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan
koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a) Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami
kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam
keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan
fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada
salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang
berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat
purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda
vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala,
muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba
muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler
diseminata. (Smeltzer, 2001)
Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :
a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah
sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap
beberapa jenis bakteri.
b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya
negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis )
3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi bakteri )
5. Elektrolit darah : Abnormal .
6. ESR/LED : meningkat pada meningitis
7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat
infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak
ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.
(Doenges, 1999)
Komplikasi
1. Hidrosefalus obstruktif
2. MeningococcL Septicemia ( mengingocemia )
3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )
5. Efusi subdural
6. Kejang
7. Edema dan herniasi serebral
8. Cerebral palsy
9. Gangguan mental
10. Gangguan belajar
11. Attention deficit disorder. (Rita & Suriadi, 2001)
Ensefalitis
adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus. Terkadang ensefalitis
dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti meningitis, atau komplikasi dari penyakit
lain seperti rabies (disebabkan oleh virus) atau sifilis (disebabkan oleh bakteri). Penyakit
parasit dan protozoa seperti toksoplasmosis, malaria, atau primary amoebic
meningoencephalitis, juga dapat menyebabkan ensefalitis pada orang yang sistem
kekebalan tubuhnya kurang. Kerusakan otak terjadi karena otak terdorong terhadap
tengkorak dan menyebabkan kematian.
Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa sekuele neurologikus yang nampak
pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan
penanganan selama perawatan. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti
perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya
sekuele secara dini. Walaupun sebagian besar penderita mengalami perubahan serius
pada susunan saraf pusat (SSP), komplikasi yang berat tidak selalu terjadi. Komplikasi
pada SSP meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia
muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental dan motorik, gangguan belajar,
hidrosefalus obstruktif, dan atrofi serebral
Patogenesis Ensefalitis
Virus masuk tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan saluran cerna.setelah masuk ke
dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara:
• Setempat:virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau
organ tertentu.
• Penyebaran hematogen primer:virus masuk ke dalam darah
Kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.
• Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di
Permukaan selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf.
Masa Prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing,
muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremintas dan pucat .
Gejala lain berupa gelisah, iritabel, perubahan perilaku, gamgguan kesadaran, kejang.
Kadang-kadang disertai tanda Neurologis tokal berupa Afasia, Hemifaresis,
Hemiplegia, Ataksia, Paralisis syaraf otak.
Penyebab Ensefalitis:
Penyebab terbanyak : adalah virus
Sering : Herpes simplex, Arbo virus
Jarang : Entero virus, Mumps, Adeno virus
Post Infeksi : Measles, Influenza, Varisella
Post Vaksinasi : Pertusis
Ensefalitis supuratif akut :
Bakteri penyebab Esenfalitis adalah : Staphylococcusaureus, Streptokok, E.Coli,
Mycobacterium dan T. Pallidum.
Ensefalitis virus:
Virus yang menimbulkan adalah virus R N A (Virus Parotitis) virus morbili, virus
rabies, virus rubella, virus denque, virus polio, cockscakie A, B, Herpes Zoster,
varisela, Herpes simpleks, variola.
Gejala
Orang yang terjangkit ensefalitis menunjukan gejala antara lain:
* kebingungan
* mengantuk
* sakit kepala
* leher kaku
Gejala lain yang timbul:
* sensitif pada cahaya
* kehilangan kesadaran
* tremor
* jalan tidak stabil
* muntah
* gangguan kemampuan berbicara
Perawatan
Pilihan pengobatan bervariasi, tergantung pada apa yang menyebabkan ensefalitis. Obat-
obatan yang digunakan untuk mengobati ensefalitis meliputi:
• ibuprofen untuk mengatasi sakit kepala dan demam
• antibiotik untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri
• Antikonvulsan untuk mengatasi mengobati kejang
• obat antivirus untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh virus
• kortikosteroid untuk mengurangi pembengkakan otak
• obat penenang untuk mengatasi lekas marah
MIELITIS
Menurut Plum dan Olsen (1981) serta Banister (1978) mielitis adalah terminologi
nonspesifik, yang artinya tidak lebih dari radang medula spinalis. Tetapi Adams dan
Victor (1985) menulis bahwa mielitis adalah proses radang infektif maupun non-
infektifyang menyebabkan kerusakan pada nekrosis pada substansia grisea dan alba.
Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis dibedakan
atas :
1. Akut :
Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo beberapa hari
saja.
2. Sub Akut :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu.
3. Kronik :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.
Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukkan dengan tepat, distribusi proses
radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut poliomielitis, bila mengenai
substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh potongan melintang medula
spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis transversa.
Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis diseminata
atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses radang baik pada
meninges maupun medula spinalis, demikian pula denagn meningoradikulitis (meninges
dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada durameter spinalis disebut
pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul dalam ruang epidural disebut abses
epidural atau granuloma.
Istilah mielopati digunakan bagi proses noninflamasi medula spinalis misalnya yang
disebabkan proses toksis, nutrisional, metabolik dan nekrosis.
KLASIFIKASI
1. Mielitis yang disebabkan oleh virus.
a. Poliomielitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus
b. Herpes zoster
c. Rabies
d. Virus B
2. Mielitis yang merupakan akibat sekunder akibat sekunder dari penyakit pada
meningens dan medula spinals.
a. Mielitis sifilitika
• Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis)
• Meningomielitis kronik
• Sifilis meningovaskular
• Meningitis gumatosa termasuk pakimeningitis spinal kronik
b. Mielitis piogenik atau supurativa
• Meningomielitis subakut
• Abses epidural akut dan granuloma
• Abses medula spinalis
c. Mielitis tuberkulosa
• Penyakit pott dengan kompresi medula spinalis
• Meningomielitis tuberkulosa
• Tuberkuloma medula spinalis
d. Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural, meningitis
lokalisata atau meningomielitis dan abses.
3. Mielitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui.
a. Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi
b. Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik
c. Degeneratif atau nekrotik.
Penatalaksanaan
Pemasangan kateter diperlukan karena adanya retensi urin, dan untuk mencegah
terjadinya infeksi traktus urinarius dilakukan irigasi dengan antiseptik dan pemberian
antibiotik sebagai prolifilaksis (trimetroprim-sulfametoksasol, 1 gram tiap malam).
Konstipasi dengan pemberian laksan.
Pencegahan dekubitus dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam. Bila terjadi hiperhidrosis
dapat diberikan propantilinbromid 15 mg sebelum tidur.
Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus diperhatikan, 125
gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan sebanyak 3 liter per hari diperlukan.
Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi sehingga sering
menimbulkan spasme kedua tungkai, hal ini dapat diatasi dengan pemberian Baclofen 15-
80 mg/hari, atau diazepam 3-4 kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus dimulai sedini mungkin
untuk mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli.
Daftar Pustaka
Patofisiologi Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson edisi 6
Ilmu Kesehatan Anak FKUI
Neurologi Klinik Dasar