Latar Belakang Lahirnya Angkatan 70-An
Latar Belakang Lahirnya Angkatan 70-An
Latar Belakang Lahirnya Angkatan 70-An
70-an
Posted on 18 Juni 2010 by kenkubela
Maman S Mahayana*
Dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, kita mengenal adanya sejumlah penyebutan
tentang penggolongan, periodesasi atau angkatan. Penyebutan itu tentu saja tidak serta-merta
muncul begitu saja. Selalu ada usaha untuk merumuskan semangat yang melatarbelakanginya
atau gerakan estetik yang mendasari karya-karya yang muncul sejalan dengan semangat
zamannya. Dari sejumlah penamaan tentang angkatan atau periodesasi itu,1 menurut hemat saya,
hanya ada tiga angkatan yang melandasi penamaannya atas dasar semangat atau gerakan estetik,
yaitu Pujangga Baru,2 Angkatan 45,3 dan sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, 4 yaitu
Angkatan 70-an.5
Sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, seperti menghadapi kegelisahan yang sama tentang
situasi kesusastraan—dan kebudayaan—pasca Tragedi 1965, yaitu adanya semangat kebebasan
berekspresi. Semangat kebebasan berekspresi itu dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut: (1)
pudarnya pengaruh politik dalam kesenian, dan lebih khusus lagi, kesusastraan. Penolakan para
seniman terhadap campur tangan politik dalam wilayah kesenian, telah menghilangkan tekanan-
tekanan psikologis yang justru sangat penting bagi proses penciptaan karya seni, (2) penerbitan
kembali sejumlah majalah dan suratkabar yang independen dan menyediakan rubrik sastra,
memungkinkan sastrawan punya banyak pilihan untuk mengirimkan karya-karyanya ke berbagai
media massa itu tanpa pretensi adanya faktor di luar sastra, (3) terbitnya majalah Horison,
majalah Sastra –yang kemudian menghentikan penerbitannya akibat kasus cerpen “Langit Makin
Mendung”— dan Budaya Jaya yang memberi tempat bagi karya-karya eksperimental, ikut
menciptakan suasana bagi lahirnya karya-karya yang lebih berbobot, sekaligus memungkinkan
lahirnya sastrawan-sastrawan baru, (4) berdirinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang didukung
sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jakarta, telah ikut mendorong lahirnya semangat berkreasi dan
keberanian untuk melakukan eksperimentasi, (5) terjadinya pergeseran orientasi sastrawan dalam
memandang tradisi budaya tempatan memberi kemungkinan yang lebih luas bagi para sastrawan
dalam melakukan eksplorasi estetiknya.
Sejak tahun 1968, dan terutama paroh pertama tahun 1970-an, bermunculanlah karya sastra yang
memperlihatkan semangat kebebasan berkreasi.6 Pada masa itu, berbagai karya eksperimental
seperti memperoleh lahan yang subur dan momentum yang baik. Karya-karya eksperimental itu
mencakupi semua ragam sastra (puisi, novel dan cerpen, dan drama). Maka, di antara karya-
karya yang konvensional yang terbit tahun 1970-an, tidak sedikit pula yang memperlihatkan
semangat kebebasan itu yang diejawantahkan dalam bentuk karya-karya eksperimental.
Sementara itu, nama-nama yang oleh H.B. Jassin dimasukkan ke dalam Angkatan 66, dalam
tahun 1970-an itu, justru makin memperlihatkan kematangannya. Jika disederhanakan, sastrawan
tahun 1970-an, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok.
Pertama, mereka yang termasuk Angkatan 66 atau yang telah berkarya pada dasawarsa tahun
1960-an, bahkan sudah sejak dasawarsa tahun 1950-an, tetapi mulai makin matang pada tahun
1970-an. Jadi, kelompok ini dapat disebut sebagai sastrawan senior mengingat kiprah mereka
yang memang sudah dimulai tahun-tahun sebelumnya. Yang termasuk kelompok sastrawan dari
golongan ini antara lain, Gerson Poyk, Goenawan Mohamad, Hartojo Andangdjaja, Husni
Djamaludin, M. Fudoli Zaini, M. Poppy Hutagalung, Mahbub Djunaidi, Mohammad
Diponegoro, Nasyah Djamin, N.H. Dini, Rachmat Djoko Pradopo, Rendra, Saini KM, Sapardi
Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Subagio Sastrowardojo,
Taufiq Ismail, Titis Basino, Umar Kayam, Wildam Yatim, dan Wing Kardjo.
Kedua, mereka yang karya-karyanya baru muncul tahun 1970-an. Yang termasuk sastrawan
golongan ini, antara lain, Abrar Yusra, Arswendo Atmowiloto, Aspar Paturusi, Budiman S.
Hartoyo, D. Zawawi Imron, Darmanto Jatman, Diah Hadaning, Ediruslan PE Amanriza, Emha
Ainun Nadjib, Frans Nadjira, Hamid Jabbar, Iman Budhi Santosa, Korrie Layun Rampan, Linus
Suryadi AG, Marianne Katoppo, Putu Arya Tirtawirya, Ragil Suwarna Pragolapati, Rayani
Sriwidodo, Sanento Yuliman, Seno Gumira Ajidarma, Sides Sudyarto DS, Th. Sri Rahayu
Prihatmi, Toeti Herati Noerhadi, dan Wisran Hadi.
Dilihat dari kecenderungan karya-karya mereka, ada semangat yang sama yang menjadi landasan
dan wawasan estetiknya, yaitu semacam kerinduan untuk menggali nilai-nilai tradisi masa lalu
budaya leluhur. Menurut Abdul Hadi WM, corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi itu dapat
dibagi ke dalam tiga kelompok kecenderungan:
1. Mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam
pengucapan. Mereka melihat bahwa dalam tradisi terdapat unsur-unsur dan aspek-aspek
yang relevan bagi pandangan hidup manusia mutakhir, khususnya irrasionalisme yang
ternyata mendapat perhatian kaum eksistensialis dan penganut aliran sastra absurd;
2. Mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja
seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, Sunda dan lain-lain. Para penulis
kecenderungan ini berkarya dengan maksud memberi corak khas kedaerahan terhadap
perkembangan kesusastraan Indonesia;
3. Mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama
tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk
berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.7
Berdasarkan ketiga kecenderungan itu, Abdul Hadi menyebutkan karya-karya dari sejumlah
sastrawan sebagaimana yang terlihat dalam kutipan berikut ini:
Kecenderungan pertama, yang menyikapi tradisi dengan begitu kreatif untuk keperluan inovasi,
dapat dilihat pada karya-karya Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Arifin C Noer,
dan Sutardji Calzoum Bachri. Dalam seni tari dan teater tampak dalam karya Sardono W.
Kusumo, Arifin C. Noer, W.S. Rendra, Putu Wijaya, dan Ikranagara. Mereka tidak berpretensi
kedaerahan walaupun sadar mengambil unsur tradisi daerah.
Kecenderungan kedua dalam sastra dapat dilihat dalam karya-karya Nh. Dini, Umar Kayam,
Ahmad Tohari,8 Darmanto Jt., Linus Suryadi A.G., Wisran Hadi, Ibrahim Sattah, Subagio
Sastrowardojo, dan lain-lain. … Kebanyakan dari mereka melihat tradisi sebagai produk sejarah
yang bentuk-bentuknya sukar diubah dan merupakan ciri khas budaya masyarakat tertentu yang
mungkin tak dimiliki suku bangsa lain.
Kecenderungan ketiga, yang menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama dan bentuk-
bentuk spiritualitas agama tampak dalam karya-karya Danarto, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo,
M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, juga Sutardji Calzoum
Bachri (dalam tahap akhir perkembangan kepenyairannya).9
Bagi Abdul Hadi WM,10 munculnya “kesadaran baru” dan “wawasan estetik baru” itu
menunjukkan adanya perbedaan yang tajam dengan semangat dan wawasan estetik seperti yang
terdapat pada karya-karya periode sebelumnya. Kecenderungan yang lain tampak dari kesadaran
sastrawan tahun 1970-an itu yang mulai menolak realisme formal, dan mulai menerima
improvisasi dan anti-rasionalisme. Danarto, bahkan menambahkan, selain anti-intelektualisme
dan anti-rasionalisme, ada kecenderungan lain yang mencolok, yaitu adanya penjelajahan
terhadap mistisisme dan tasawuf. Ciri lainnya, seperti dikatakan Dami N. Toda adalah anti-
slogan. Pada karya-karya sastrawan tahun 1970-an itu, tak ada lagi semboyan seni untuk rakyat
atau seni untuk seni, tak ada lagi slogan cinta tanah air, humanisme universal atau pertentangan
Timur—Barat. Jadi, ada kesadaran dan semangat yang sama yang tampak dari karya-karya
sastrawan tahun 1970-an itu berkenaan dengan wawasan estetik, pandangan, sikap hidup
pengarang, semangat dan orientasi kebudayaannya. Atas dasar itulah, Abdul Hadi WM
menamakan sastrawan periode itu sebagai Angkatan 70 dalam sastra Indonesia.11
Alasan utama yang menjadi pemikiran Abdul Hadi menyebut sastrawan periode itu sebagai
Angkatan 70 didasari oleh adanya semacam gerakan sastra yang membawa ciri baru dan
perbedaan yang mencolok dengan ciri gerakan sastra sebelumnya. “Jadi, pangkal-tolaknya
adalah karya-karya yang merintis pembaharuan, yang kemudian melahirkan kemungkinan-
kemungkinan baru sebagai hasil dari proses interaksi dengan kehidupan sosial, moral,
intelektual, dan spiritual lingkungan dan zamannya.”
Ciri-ciri yang mencolok dari eksperimentasi yang diperlihatkan karya-karya yang muncul
dasawarsa 1970-an itu, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya. Untuk novel yang dapat
diwakili oleh karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, dan Budi Darma,12
memperlihatkan adanya kesamaan tema yang mengangkat masalah keterasingan manusia
modern dan kehidupan yang absurd. Identitas tokoh menjadi tidak penting yang ditandai dengan
penamaan Tokoh Kita (dalam novel-novel Iwan Simatupang) atau cukup disebutkan lelaki
setengah baya, penjaga kuburan, buruh pabrik, walikota, pensiunan dan beberapa nama jabatan
atau status sosial yang bisa berlaku untuk siapa saja. Latar tempat dan latar waktu juga tidak
mengacu pada tempat dan waktu tertentu, sehingga dapat berlaku di mana dan kapan saja. Alur
yang dalam novel konvensional selalu harus didasari pada rangkaian peristiwa yang mempunyai
pertalian hubungan sebab-akibat (kausalitas), dalam novel-novel tahun 1970-an itu tidak lagi
berlaku. Segala peristiwa bisa tumpang-tindih tak ada hubungan sebab-akibatnya (kausalitas).
Peristiwa yang dihasilkan lakuan dan pikiran disajikan seketika secara serempak, seolah-olah
peristiwa itu datang saling menyergap. Akibatnya, peristiwa itu seperti tidak jelas lagi
juntrungannya. Model novel-novel yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai novel arus
kesadaran (stream of conciousness), sebuah aliran dalam sastra (terutama prosa) yang
menekankan cerita melalui pikiran, perasaan, dan alam bawah sadar tokoh-tokohnya.
Untuk cerpen, dapatlah kiranya diwakili oleh karya-karya Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo,
Fudoli Zaini, dan Umar Kayam13 Lebih khusus lagi pada cerpen-cerpen Danarto, tokoh-tokoh
yang muncul bisa apa saja. Air, batu, hewan, tanaman, atau benda dan binatang apapun, bisa saja
menjadi tokoh yang juga dapat berdialog dengan tokoh lain. Kumpulan cerpen Danarto, Godlob
(1976) dan Adam Ma’Rifat (1982) memperlihatkan adanya penggalian mistisisme Jawa dan
tasawuf, sedangkan kumpulan cerpen Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini mengedepankan tema-tema
sufistik. Yang sangat kuat mengungkapkan warna lokal budaya Jawa tampak pada cerpen-cerpen
Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk, sementara karya-karya Putu Wijaya yang cenderung
menampilkan serangkaian teror mengangkat tema-tema keterasingan manusia perkotaan.
Begitulah, cerpen-cerpen Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan
diri dari konvensi cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaruan) dan pemberontakan terhadap
wawasan estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya
kecenderungan baru, baik yang menyangkut tema cerita, tokoh yang ditampilkan, alur cerita,
maupun cara penyajiannya.
Untuk bidang drama, dapat diwakili oleh karya-karya Arifin C. Noer (10 Maret 1941—28 Mei
1995), Putu Wijaya, Rendra, Danarto, dan Ikranagara.14 Ciri khas yang menonjol dari karya
mereka adalah terbukanya peluang bagi para pemain untuk melakukan improvisasi. Dalam hal
ini, para pemain yang dalam konvensi drama sebelumnya harus tunduk dan setia pada teks
naskah, kini para pemain itu dibolehkan melakukan improvisasi atau menyampaikan sesuatu di
luar teks drama. Bahkan, ada pula naskah drama yang penulisannya bersamaan dengan proses
latihan, sehingga begitu proses latihan selama beberapa minggu itu selesai, selesai pula penulisan
naskahnya. Jadi, naskah diperlakukan hanya sebatas pegangan dasar, dan ketika pemain
mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ekspresinya, pemain boleh melakukan
improvisasi. Dengan begitu, pemain juga dituntut kreatif memanfaatkan momen-momen tertentu
untuk mengekspresikan potensi permainannya.
Selain itu, mengingat identitas tokoh sengaja dibuat tidak jelas, maka seorang pemain
dimungkinkan dapat menjalankan peran lebih dari satu tokoh. Ciri khas lainnya menyangkut
lepasnya keterikatan pada panggung. Dalam hal ini, naskah-naskah drama yang konvensional,
lazimnya sangat terikat pada panggung. Artinya, naskah itu harus sangat mempertimbangkan tata
letak panggung berikut properti lainnya. Jadi, jika dalam konvensi naskah-naskah drama
sebelumnya, latar tempat dengan segala propertinya harus serba jelas dan konkret, maka dalam
sebagian naskah drama yang muncul tahun 1970-an itu, panggung tidak lagi menjadi penting.
Naskah drama itu ditulis dengan kesadaran bahwa pementasan itu dapat dilangsungkan di mana
saja, di sembarang tempat. Jelas bahwa dramawan Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an itu,
tidak hanya menyerap pengaruh drama kontemporer Barat, terutama drama-drama absurd, tetapi
juga menyerap unsur drama tradisional yang banyak terdapat di Nusantara ini, seperti ketoprak
(Jawa Timur), tanjidor dan lenong (Betawi). Demikian juga kostum pemain, tidak perlu sangat
bergantung pada kostum tertentu. Bahkan, Rendra tampil pula dengan drama Bip-Bop, sebuah
drama mini kata yang lebih mementingkan lakuan daripada dialog. Akibatnya, drama itu miskin
sekali dialog, karena di sana yang dipentingkan adalah lakuan.15
Dalam bidang puisi, terjadi juga pemberontakan terhadap konvensi yang berlaku sebelumnya.
Ikatan pada bait dan larik yang dalam puisi-puisi sebelumnya –terutama puisi zaman Pujangga
Baru— sudah ditinggalkan Chairil Anwar, pada tahun 70-an itu tidak lagi dipersoalkan. Artinya,
para penyair tidak merasa perlu memikirkan bait dan larik dalam puisinya itu. Puisi tahun 1970-
an cenderung lebih mementingkan ekspresi untuk mendukung tema yang hendak disampaikan.
Karena itu, ada puisi naratif yang panjang menyerupai bentuk prosa,16 ada pula yang sengaja
disusun pendek-pendek. Dalam hal ini, semakin tidak jelas batas tegas antara prosa dan puisi.
Penyair boleh saja menuliskan puisinya seperti sebuah cerpen, jika si penyair hendak
memanfaatkan narasi bagi kepentingan puisinya. Selain itu, gencar pula kecenderungan untuk
menggali akar tradisi kultural tempat penyair itu lahir dan dibesarkan. Sutardji Calzoum Bachri,
Ibrahim Sattah, Abdul Hadi WM, Adji Darmadji Woko, Linus Suryadi, Darmanto Jatman, D.
Zawawi Imaron, Goenawan Mohamad, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, adalah beberapa
nama yang menonjol mengangkat tradisi kulturalnya.
Seperti posisi Chairil Anwar bagi Angkatan 45 dalam sastra Indonesia, kedudukan Sutardji
Calzoum Bachri bagi Angkatan 70, juga tidak terpisahkan. Ia menjadi ikon bagi gerakan sastra
pada dekade itu. Pemberontakan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri tidak hanya berhenti
pada tataran bentuk –yang tak lagi mempersoalkan bait dan larik atau rima persajakan—tetapi
juga makna. Abdul Hadi menyebutnya sebagai penyair avant-garde dengan kredo puisinya yang
kontroversial dan menghebohkan.17 Penyair kelahiran Riau ini berhasil memanfaatkan mantera
dari tradisi leluhurnya (Melayu) untuk kepentingan persajakannya yang tampak liar dan
memukau. Di samping itu, renungannya yang mendalam tentang maut, kefanaan manusia,
pencarian dan kerinduan pada Tuhan, memancarkan sebuah kesadaran transendental baru, yang
dikatakan Abdul Hadi sebagai kesadaran sufistik.18
Kredo atau pernyataan sikap penyair Sutardji Calzoum Bachri, boleh dikatakan merupakan
bentuk kesadaran itu dalam usahanya menawarkan pembaharuan. Kredo Sutardji Calzoum
Bachri yang bertarikh 30 Maret 1973 dan kemudian dimuat dalam majalah Horison (No. 12, Th.
9, Desember 1974) merupakan wujud pernyataan sikap atas pendirian kepenyairannya. Berikut
ini dikutip beberapa bagian dari Kredo Puisi tersebut.
“Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah
menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan
menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya
yang mungkin sama atau tak sama, ….
Sebagai penyair saya hanya menjaga –sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar
kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan
aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata
pada awal-mulanya. Pada mulanya–adalah Kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka
menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”19
Jika Sutardji Calzoum Bachri memanfaatkan mantera dari kultur Melayu20 dan belakangan
masuk pengaruh pemikiran tasawuf dalam karya-karyanya yang kemudian, Linus Suryadi AG (3
Maret 1951—30 Juli 1999) dan Darmanto Jatman menggunakan kultur Jawa sebagai unsur
penting dalam mengungkapkan ekspresi puitiknya. Goenawan Mohamad lebih khusus lagi
mengangkat simbol-simbol dunia pewayangan, sedangkan Sapardi Djoko Damono –terutama
pada awal-awal kepenyairannya— cenderung berorientasi pada filsafat Jawa. Dari kultur lain,
muncul pula Abdul Hadi WM dan D. Zawawi Imron (Madura), meski Abdul Hadi banyak pula
menyerap pengaruh karya-karya agung para sastrawan sufi.
Dinamika yang terjadi dalam sastra Indonesia tahun 1970-an sebenarnya jauh lebih semarak.
Selain bermunculan karya-karya yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan tradisi
budaya leluhur (Batak, Cirebon, Dayak, Jawa, Madura, Melayu, Minangkabau), tema-tema
sufisme (tasawuf),21 dan keterasingan manusia modern, juga muncul beberapa gerakan yang ikut
menyemarakkan kehidupan kesusastraan Indonesia tahun 70-an itu. Ada tiga hal yang menandai
terjadinya kesemarakan itu dan terus berlanjut pada periode berikutnya.
Pertama, terbitnya sejumlah majalah hiburan, seperti Vista, Selecta, Varia, Aktuil, Top,
Flamboyan, Violeta, yang kemudian disusul majalah-majalah wanita –Kartini Grup, di satu sisi
melahirklan penulis-penulis baru, dan terutama para penulis wanita, dan di sisi lain, ikut
menyebarkan popularitas sastra hiburan. Meskipun yang disebut terakhir –sastra hiburan—yang
kemudian lebih sering disebut sastra populer, sudah berkembang sejak zaman sebelum Balai
Pustaka,22 kemudian semarak kembali pada dasawarsa tahun 1950-an,23 pada tahun 1970-an itu
keberadaannya cukup banyak mengundang reaksi berbagai kalangan.24 Beberapa novel Motinggo
Boesje, Remy Sylado, menyusul Abdullah Harahap, Eddy D. Iskandar, Teguh Esha, Ashadi
Siregar sampai ke novel yang ditulis para pengarang wanita, seperti Ike Soepomo, Marga T.,
Mira W. yang terbit tahun 1970-an itu adalah contoh novel populer.25 Dalam hal ini, seyogianya
kita menempatkan posisi novel populer itu secara proporsional, sebab ada novel populer yang
baik, ada pula yang buruk. Beberapa karya dari pengarang yang disebutkan itu, boleh dikatakan
termasuk kategori novel populer yang baik. Bukankah novel-novel sastra yang serius juga ada
yang masuk kategori baik, ada juga yang jelek?
Kedua, munculnya gerakan para penulis muda yang hendak memberontak pada kemapanan para
penyair senior dan gugatan terhadap majalah Horison yang tidak dapat menampung karya-karya
mereka.26 Penganjur utama gerakan ini adalah Remy Sylado (= 23761, nama pena Japie
Tambayong) yang kebetulan menjadi pengasuh majalah Aktuil (1972—1978). Dalam majalah
itulah, karya-karya mereka itu dimuat dan kemudian diberi label “Puisi Mbeling.” Salah satu ciri
utama puisi mbeling adalah kuatnya semangat berkelakar, kata-kata dipermainkan begitu rupa,
dan bentuk tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek kelakar itu. Di balik kelakar itu, ada
sesuatu yang hendak ditawarkan mereka, yaitu kritik sosial dan kritik atas dominasi etnis tertentu
dalam perekonomian nasional.27
Ketiga, jika majalah Aktuil dan majalah Top menggugat kemapanan majalah Horison dan para
penyair senior melalui rubrik “Puisi Mbeling” atau “Puisi Lugu” yang isinya terkesan berkelakar,
maka hal yang sama juga dilakukan dalam sebuah forum yang disebut “Pengadilan Puisi”.
Forum yang pada mulanya terkesan bermain-main itu diselenggarakan di Universitas
Parahyangan, Bandung, 8 September 1974. Bagaimana mungkin sebuah puisi diadili dengan
menampilkan Sanento Yuliman sebagai Hakim Ketua, Darmanto Jatman sebagai Hakim
Anggota, Slamet Kirnanto sebagai Jaksa, Taufiq Ismail sebagai Pembela dan sejumlah sastrawan
Indonesia sebagai saksi-saksi? Saksi yang memberatkan antara lain, Sutardji Calzoum Bachri,
Sides Sudyarto, Abdul Hadi WM, dan Pamusuk Eneste, sedangkan Saini KM, Wing Kardjo,
Adri Darmadji, dan Yudistira A.N. bertindak sebagai saksi yang meringankan. Sesungguhnya, di
balik kesan main-main itu, di dalamnya ada semangat pemberontakan terhadap perpuisian
Indonesia. Ada tiga instansi yang menjadi sasaran gugatannya, yaitu (1) sistem penilaian
terhadap puisi Indonesia mutakhir, (2) kritikus sastra: H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, (3)
penyair mapan: Subagio Sastrowardojo, Rendra, dan Goenawan Mohammad, dan (4) majalah
sastra: Horison.
1. Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir,
khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang
pernah mereka miliki.
2. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3. Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebagainya (dll)
dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan
bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4. Horison dan Budaja Djaja harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini
dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum.
Sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan
wajar.28
Majelis Hakim yang diketuai Sanento Yuliman menolak semua tuntutan Slamet Kirnanto.
Adapun keputusan Majelis Hakim tersebut adalah berikut ini:
1. Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta
meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu
dalam Sekolah Kritikus Sastra, yang akan segera didirikan.
2. Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka
tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri, mereka boleh mengundurkan diri.
3. Para penyair mapan, established, masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu
juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera
masuk ke dalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
4. Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit-nya,
hanya di belakang nama lama harus diembel-embeli kata “Baru”, sehingga menjadi
Horison Baru. Masyarakat luas tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca
puisi.29
“Pengadilan Puisi” sebagai sebuah peristiwa budaya tidaklah berpengaruh besar bagi proses
penciptaan. Meskipun demikian, peristiwa itu tetap dapat dianggap penting mengingat ia
mewakili semangat zamannya. Bagaimana para penyair muda masa itu merasa perlu melakukan
perlawanan terhadap dominasi dan pengaruh penyair sebelumnya. Bagaimana pula mereka
mengusung semangat perubahan. Dengan merujuk pada usaha pembaharuan yang dilakukan
Sutardji Calzoum Bachri, para penyair muda itu hendak menegaskan kembali keberadaan dan
kontribusi mereka dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.
Selang dua minggu setelah peristiwa itu, tepatnya 21 September 1974, di Jakarta diselenggarakan
acara “Jawaban atas Pengadilan Puisi” dengan menampilkan para pembicara yang namanya
disebut-sebut dalam Pengadilan Puisi, yaitu H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad,
dan Sapardi Djoko Damono. Jawaban yang lebih menyerupai semacam pembelaan ini, tidak
memberi pengaruh penting bagi perkembangan sastra Indonesia.
* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dosen luar biasa
Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
1 Beberapa pengamat sastra Indonesia kerap menyebutkan beberapa angkatan yang dianggap
sebagai tonggak perjalanan kesusastraan Indonesia, yaitu (1) Angkatan Balai Pustaka –meski ada
pula yang mengusulkan adanya angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pra-Balai Pustaka, (2)
Angakatan Pujangga Baru, (3) Angkatan 45, (4) Angkatan ’66 –sebelum angkatan ini, Ajip
Rosidi mengusulkan adanya Angkatan Terbaru untuk sastrawan yang berkiprah tahun 1950-an
sampai awal 1960-an, (5) Angkatan 70-an, (6) Angkatan 80-an, dan (7) Angkatan 2000. Dari
sejumlah penyebutan angkatan itu,
2 Semangat estetik Angkatan Pujangga Baru tampak jelas dalam esai-esai Sutan Takdir
Alisjahbana tentang perbedaan pujangga lama dan pujangga baru yang termuat dalam majalah
Pujangga Baru.
3 Konsep estetik Angkatan 45 dapat ditelusuri pada esai Chairil Anwar, Sitor Situmorang,
Achdiat Karta Mihardja, Rosihan Anwar, Aoh Karta Hadimadja, dan H.B. Jassin, H.B. Jassin,
“Angkatan 45″ Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung
Agung, 1954), hlm. 189.
4 Penamaan Angkatan 66 sebagai sebuah gerakan sosial politik, muncul pertama kali dalam
“Simposium Kebangkitan Semangat ’66: Mendjeladjah Tracee Baru” yang berlangsung di
Universitas Indonesia, 6—9 Mei 1966. Dalam kesusastraan Indonesia, nama Angkatan 66 mula
pertama diangkat H.B. Jassin dalam artikelnya, “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi” yang
dimuat majalah Horison, No. 2, Th. I, Agustus 1966. Seperti juga penamaan Angkatan 45 yang
memancing berbagai tanggapan dan kontroversi, penamaan Angkatan 66 yang ditawarkan Jassin,
juga mengundang serangkaian tanggapan dan reaksi. H.B. Jassin melandasi dasar pemikirannya
tentang penamaan Angkatan 66 dengan bertumpu pada peristiwa tahun 1966 ketika gelombang
aksi mahasiswa dan pelajar berhasil menumbangkan rezim yang telah banyak melakukan
penyelewengan. Ramainya perdebatan tentang Angkatan 66 ini mendorong Dewan Kesenian
Jakarta menyelenggarakan Diskusi Besar tentang Angkatan 66 di Taman Ismail Marzuki, 27
Agustus 1969. Terlibat dalam diskusi itu, antara lain, H.B. Jassin, Subagio Sastrowardojo, S.
Effendi, dan Ajip Rosidi. Lukman Ali bertindak sebagai moderator membuat cacatan sejumlah
pendapat tentang angkatan dalam sastra Indonesia, “Ikhtisar Pendapat tentang Masalah Angkatan
dalam Kesusastraan Indonesia” dimuat Budaja Djaya, No. 35, Th. IV, 1971. Sebuah rangkuman
berbagai pendapat tentang Angkatan, mulai Angkatan 45 sampai Angkatan 66. Tampak di sana,
proklamasi Jassin tentang Angkatan 66 membuka peluang terjadinya kontroversi.
5 Beberapa nama yang secara serius coba merumuskan gerakan estetik Angkatan 70-an, dapat
disebutkan di sini, antara lain, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Dami N. Toda.
6 Contoh kasus semaraknya kebebasan berkreasi pascatragedi 1965 dapat kita lihat pada
mencuatnya nama Iwan Simatupang (18 Januari 1928—4 Agustus 1970) sebagai tokoh penting
dalam perkembangan sastra Indonesia zaman Orde Baru. Ia bolehlah dianggap sebagai salah
seorang pemicu lahirnya karya-karya eksperimental, terutama dalam penulisan prosa dan
(mungkin juga) dalam penulisan naskah drama. Karya pertamanya, drama Bulan Bujur Sangkar
terbit tahun 1960, sebuah drama yang selesai ditulisnya tahun 1957 di Eropa, nyaris tak
mendapat tanggapan apa pun ketika itu. Setelah itu, terutama setelah kematian istrinya –Cornelia
Astrid van Geem—, ia seperti tenggelam, meski sempat menikah lagi dengan Tanneke Burki,
seorang balerina dari Bandung (1961) yang hanya bertahan sampai awal tahun 1964. Antara
1964—1966, Iwan sama sekali tidak mau terlibat dalam organisasi apapun yang sedang
berseteru. Pada tahun 1966, dua drama Iwan Simatupang, yaitu RT Nol/RW Nol dan Petang di
Taman, terbit. Kedua drama ini pun belum mendapat tanggapan yang cukup ramai. Karya Iwan
Simatupang mulai mendapat tanggapan luas, bahkan memunculkan polemik, justru setelah terbit
novel Merahnya Merah (1968, selesai ditulis tahun 1961) dan terutama novel Ziarah (1969,
novel Iwan pertama yang selesai ditulis tahun 1960, setelah kematian istrinya). Tampak di sini,
tanggapan terhadap novel Iwan Simatupang begitu semarak, bersifat polemis, dan penting dalam
menyemarakkan kehidupan kritik sastra. Sangat mungkin tanggapan masyarakat pembaca akan
berbeda jika novel itu terbit tahun 1960-an ketika politik diusung sebagai panglima dan
pengaruhnya memasuki hampir semua aspek kehidupan. Dengan demikian, terbitnya novel Iwan
selepas tragedi tahun 1965, seperti memperoleh momentum yang tepat. Sejak itulah kemudian
berlahiran karya-karya sejenis dari sastrawan lainnya yang memperlihatkan semangat
eksperimentasi, sebagaimana yang telah dilakukan Iwan Simatupang. Betapa ramainya
tanggapan pembaca terhadap karya-karya Iwan Simatupang, dapat dilihat dari semua tulisan
tentang Iwan Simatupang, yang mencapai lebih dari 300-an tulisan, baik yang berupa resensi,
artikel, esai, makalah, skripsi, tesis, dan disertasi. Studi mendalam tentang Iwan Simatupang
dilakukan Dami N. Toda, Novel Baru Iwan Simatupang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980; buku ini
berasal dari skripsi penulisnya tahun 1975 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia), Kurnia Jaya
Raya, “Resepsi Novel-Novel Iwan Simatupang di Indonesia 1968—1988,” (Skripsi Sarjana,
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 1989), Okke KS Zaimar, Menelusuri Makna
Ziarah Karya Iwan Simatupang, (Jakarta: Intermasa, 1991; buku ini berasal dari disertasi
penulisnya tahun 1990 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia), Kurnia Jaya Raya, Inspirasi?
Nonsens! (Magelang: Indonesia Tera, 1999). Lihat juga Surat-Surat Politik Iwan Simatupang,
1964—1966 (Jakarta: LP3ES, 1986), surat-surat Iwan Simatupang yang dikumpulkan dan diberi
Kata Pengantar Frans M. Parera. Pembicaraan mengenai perjalanan sastra Indonesia
kontemporer, hampir tidak pernah menafikan tempat dan peranan Iwan Simatupang sebagai
tokoh pembaharu.
7 Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 6.
8 Ahmad Tohari baru muncul namanya dan mulai diperhitungkan keberadaannya dalam sastra
Indonesia awal tahun 80-an. Tidak begitu jelas, mengapa Abdul Hadi memasukkan nama Ahmad
Tohari ke dalam sastrawan Angkatan 70-an.
10 Abdul Hadi WM, “Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia,” Makalah dibawakan dalam Diskusi
Sastra di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4 September 1984, dimuat juga dalam E.
Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2000, hlm. 789—806. Penamaan Angkatan 70 sebenarnya sudah banyak
dilontarkan Abdul Hadi dan Dami N. Toda sejak pertengahan dasawarsa 1970-an. Dalam artikel
panjang “Kepenyairan di Indonesia tahun 70-an” yang dimuat bersambung di harian Berita
Buana (14, 21, dan 28 Januari 1977), Abdul Hadi mengemukakan tokoh-tokoh persajakan utama
70-an seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Darmanto
Jatman yang membawa kecenderungan baru, menggeser wawasan estetik lama dan mewarnai
dunia persajakan sepanjang tahun 70-an.
11 Penamaan Angkatan 70 dalam sastra Indonesia ini tidak hanya diperkenalkan oleh Abdul
Hadi WM, tetapi juga oleh Dami N. Toda sebagaimana diungkapkan dalam beberapa artikelnya,
“Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa,” Budaya Jaya, No. 12, Th. X, September
1977; “Tahap-Tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia,” Budaya Jaya, No.
121 Th. XI, Juni 1978; “Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir,” Horison, No. 8, Th. XVI,
Agustus 1981. Lihat juga esai-esai Dami N. Toda dalam bukunya, Hamba-Hamba Kebudayaan,
Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Sutardji Calzoum Bachri dan Danarto dalam wawancaranya
dengan Abdul Hadi WM (Berita Buana, 14 Februari 1978) juga mengusung nama Angkatan 70
ketika keduanya melihat adanya kecenderungan baru yang terdapat dalam karya-karya yang
terbit pada periode itu. Mengenai hal ini, Boen S. Oemarjati tidak secara tegas menyebut
Angkatan 70, melainkan menyebutnya sebagai “periode”. Hal yang senada juga dilontarkan oleh
Goenawan Mohamad yang menyebutnya sebagai “generasi sastrawan 1970-an”. Sementara itu,
Korrie Layun Rampan, meskipun pandangan yang mendasarinya tidak terlalu jauh berbeda
dengan apa yang dikemukakan Abdul Hadi dan Dami N. Toda, ia menyebut sastrawan pada
periode itu sebagai “Angkatan 80”. Penamaan yang dilakukan Korrie ini mungkin diilhami oleh
penamaan Angkatan ‘80 (De Tachtiger Beweging) Belanda yang menyerap pengaruh
romantisisme Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia. Korrie sendiri tidak memberi alasan, mengapa
ia menyebutnya sebagai Angkatan 80, dan tidak Angkatan 70. Padahal, penyebutan Angkatan 80
yang dilontarkan Korrie dalam artikelnya “Angkatan 80 dalam Sastra Indonesia” (Suara Karya,
24 Agustus 1984), jelas lebih kemudian dibandingkan dengan penamaan Angkatan 70 yang
diangkat Abdul Hadi, Dami N. Toda, Danarto, dan Sutardji Calzoum Bachri sejak pertengahan
dasawarsa 70-an, terutama ketika Abdul Hadi mengasuh lembar kebudayaan “Dialog” di harian
Berita Buana antara tahun 1979—1990.
12 Beberapa novel mereka dapat disebutkan di sini, antara lain: Iwan Simatupang, Merahnya
Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1972), dan Koong (1975); Putu Wijaya, Bila Malam
Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Pabrik (1976), Stasiun (1977), Keok (1978), Lho
(1982), Pol (1987), dan beberapa novel lainnya yang mencapai lebih dari 10 novel;
Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit (1976), Budi Darma, Olenka (1983).
13 Karya-karya mereka dapatlah disebutkan di sini, beberapa antaranya: Danarto, Godlob (1976)
dan Adam Ma’rifat (1982); Putu Wijaya, Bom (1978) Es (1980), dan Gres (1982), Kuntowijoyo,
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1993), cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”
memperoleh Hadiah Pertama Sayembara Majalah Sastra 1969; Fudoli Zaini, Lagu dari Jalanan
(1982), Potret Manusia (1983), Kota Kelahiran (1985), Arafah (1985). Fudoli dua kali mendapat
hadiah dari majalah Horison, yaitu untuk cerpennya “Si Kakek dan Burung Dara” (1966/1967),
dan “Sisifus” (1977/1978; Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972) dan Sri
Sumarah dan Bawuk (1975).
14 Karya-karya mereka yang muncul pada periode itu dapatlah disebutkan beberapa di
antaranya: Arifin C. Noer, Mega-Mega (1967), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-Kapai
(1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Kasir Kita (1972), Tengul (1973), Orkes Madun (1974),
Umang-Umang (1976), dan Sandek, Pemuda Pekerja (1979). Arifin sebenarnya sudah mulai
berkarya sejak tahun 1963. Ia juga banyak menulis puisi. Drama-drama Arifin C. Noer, selain
sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, juga dipentaskan di berbagai kota besar di
Eropa, Amerika, dan Asia; Putu Wijaya, Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr
(1986); Putu Wijaya sebenarnya termasuk penulis produktif. Karyanya berupa kumpulan cerpen,
novel, dan drama, lebih dari 40-an. Karya-karya Putu Wijaya juga sudah banyak diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Jepang, Rusia, dan
Arab. Ia juga kerap berkeliling dunia mementaskan karya-karyanya. Rendra, meskipun tak begitu
banyak menulis naskah drama, ia dianggap sebagai salah tonggak penting dalam perjalanan
teater Indonesia modern yang kemudian banyak mempengaruhi dramawan generasi berikutnya.
Dua naskah drama yang dihasilkannya adalah Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954) terpilih
sebagai pemenang pertama Sayembara Penulisan Drama Departemen P & K Yogyakarta tahun
1954, dan Panembahan Reso (1988), sebuah drma kolosal yang memerlukan waktu sekitar enam
jam pementasannya. Ia banyak menulis puisi dan menerjemahkan drama klasik Yunani. Tetapi
dramanya, Bip-Bop –drama minikata atau “Teater Puisi” menurut Dami N. Toda—yang
dipentaskan tahun 1968 di Balai Budaya dan kemudian di Taman Ismail Marzuki, dianggap
sebagai salah satu pembaharuan di bidang teater di Indonesia. Demikian juga dramanya,
Mastodon yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (13 Desember 1973) dianggap membawa
kebaruan dalam perkembangan drama Indonesia kontemporer. Dalam konteks itulah posisi
Rendra ditempatkan sebagai salah seorang tokoh penting pembaharu drama di Indonesia.
Danarto, Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek (1976), Bel Geduwel Beh (1976); Ikranagara,
kariernya dimulai dengan menjadi aktor di Teater Ketjil pimpinan Arifin C. Noer. Ia kemudian
mendirikan teater sendiri, bernama Teater (Siapa) Saja. Sejak itu, ia banyak mementaskan drama
dari naskah yang ditulisnya sendiri, antara lain, Topeng (1972), Saat-Saat Drum band
Mengerang-ngerang (1973). Dari 20-an naskah drama lainnya yang sudah dipentaskan tetapi
belum diterbitkan, antara lain, Para Narator, Gusti, Agung, Rang Gni, Ssst!!!, Byurrr! Tok Tok
Tok, Zaman Kalong. Seperti Rendra, Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya, Ikranagara juga telah
mementaskan karya-karyanya di berbagai kota di luar negeri, antara lain, di Manila, Singapura,
Taipe, Kuala Lumpur, dan beberapa kota di Amerika. Sejumlah nama yang disebutkan di sini
sekadar menegaskan adanya kecenderungan baru dalam drama di Indonesia tahun 1970-an itu.
Nama-nama lain tentu masih berderet panjang. Sebut misalnya, Kuntowijoyo (18 September
1943—22 Februari 2005). Ia pada dekade 70-an itu sebenarnya menulis beberapa naskah drama,
seperti Rumput-Rumput Danau Bento, Tidak Ada Cinta bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Topeng
Kayu. Kecuali Topeng Kayu (2001), naskah-naskah lainnya belum diterbitkan dan masih berupa
manuskrip. Bip-Bop dan Mastodon karya Rendra, misalnya, sejauh pengamatan masih tetap
dalam bentuk manuskrip. Itulah yang terjadi pada banyak penulis drama di Indonesia. Naskah-
naskah dramanya sekadar dipentaskan dan tidak dipublikasikan dalam bentuk terbitan buku.
15 Pembicaraan yang cukup mendalam mengenai drama kontemporer yang muncul tahun 1970-
an dilakukan Goenawan Mohamad, “Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir” Seks,
Sastra, Kita, Jakarta: Sinar Harapan, 1980, hlm. 91—148.
16Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi AG, misalnya, merupakan contoh puisi
naratif yang panjang (192 halaman). Linus Suryadi sendiri menyebutnya sebagai prosa lirik,
prosa yang dibangun seperti puisi yang mengingatkan kita pada bentuk syair atau hikayat dalam
sastra lama. Dalam karya ini, Linus juga begitu banyak menggunakan kosa-kata Jawa, sehingga
diperlukan lampiran Daftar Kosa Kata Jawa—Indonesia setebal hampir 50 halaman (halaman
193—238). Banyak pula pembaca dan pengamat sastra Indonesia yang mempertanyakan tempat
Pengakuan Pariyem dalam sastra Indonesia; apakah termasuk sastra Indonesia atau sastra Jawa.
Penulisan puisi naratif, sebelumnya banyak dilakukan Ajip Rosidi (Jante Arkidam) dan
Ramadhan KH (Priangan si Jelita). Belakangan, Sapardi Djoko Damono juga banyak
memanfaatkan pola puisi naratif dalam hampir semua antologi puisinya, seperti dalam antologi
DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir
Hujan (1984), sampai ke antologi puisinya yang belakangan, seperti Hujan Bulan Juni (1994),
Arloji (1999), Ayat-Ayat Api (2000) cenderung menggunakan bentuk narasi yang jernih dengan
bahasa yang sederhana. Gaya seperti ini banyak mempengaruhi para penyair yang kemudian.
18 Istilah sastra sufi –sering juga dipakai istilah sastra sufistik—yang kemudian menjadi wacana
perdebatan pada dekade tahun 1970-an itu, pertama kali dilontarkan Abdul Hadi WM dalam
serangkaian artikelnya yang dimuat di lembar “Dialog” harian Berita Buana. Ia kemudian begitu
gencar memperkenalkan –dan menerjemahkan— khazanah sastra sufi berikut pemikiran dan
estetika para penyairnya. Antologi puisi Sastra Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985) merupakan
salah satu usaha Abdul Hadi dalam mengangkat karya-karya penyair sufi, baik para penyair yang
berasal dari Asia Barat, maupun para penyair dari wilayah Nusantara, seperti Hamzah Fansuri,
Raja Ali Haji, Bukhari Al-Jauhari, Yasadipuro I, Yasadipura II, Ronggowarsito sampai ke Amir
Hamzah. Bukunya yang lain, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-
Karya Hamzah Fansuri (2001) dan Hermeneutik, Estetika, dan Religiusitas (2004) adalah usaha
serius Abdul Hadi dalam memperkenalkan sastra sufi. Belakangan, ia juga banyak
memperkenalkan (dan menerjemahkan) khazanah sastra Timur, terutama Cina, Jepang, dan
India. Sementara itu, istilah sastra sufistik digunakan juga Danarto, Nurcholis Madjid, Ali
Audah, Fudoli Zaini, Sutardji Calzoum Bachri dalam kaitannya dengan pemikiran tasawuf dalam
sastra. Dari sana lahir istilah-istilah sejenis, seperti sastra profetik, sastra transendental
(diperkenalkan Kuntowijoyo dalam Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki), sastra dzikir
(diperkenalkan Taufiq Ismail dalam Catatan Kebudayaan, “Sastra sebagai Amal Shaleh,”
Horison, No. 6 Juni 1984 ), dan sastra Islam yang makna dan cakupannya lebih luas.
19 Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hlm. 13—14.
20 Hal yang sama kemudian juga dilakukan Ibrahim Sattah (1943—19 januari 1988)
sebagaimana tampak dalam tiga antologi puisinya, Dandandid (1975), Ibrahim (1980), dan Hai
Ti (1981).
21 Pada dekade tahun 1970-an itu dan kemudian berlanjut pada dasawarsa berikutnya, wacana
tentang sastra sufi tidak hanya semarak dalam perdebatan konsep-konsep, seperti istilah sastra
sufi, sastra sufistik, sastra profetik, sastra dzikir, dan sastra transendental, tetapi juga muncul
dalam banyak puisi, cerpen, novel, dan drama. Para penyair yang coba mengangkat tema-tema
tasawuf, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya, Abdul Hadi WM, Apip Mustopa, Budiman
S. Hartoyo, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, Ibrahim Sattah, Ikranagara,
Kuntowijoyo, Leon Agusta, Sides Sudyarto DS, Slamet Sukirnanto, Sutardji Calzoum Bachri,
dan Taufiq Ismail. Tentu saja masih banyak nama yang tercecer yang sebenarnya pernah
berkiprah pada periode itu.
22 Salah satu faktor yang mendorong didirikannya Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan
Bacaan Rakyat (1908) justru lantaran munculnya bacaan-bacaan hiburan yang diterbitkan pihak
swasta. Setelah lembaga itu berganti nama menjadi Balai Pustaka (1917), pihak pemerintah
kolonial Belanda menyebut bacaan yang diterbitkan di luar Balai Pustaka (swasta) sebagai
“bacaan liar.” Mereka yang menerbitkan dan menjual buku-buku terbitan pihak swasta itu
disebut sebagai “saudagar kitab yang kurang suci hatinya.” Satu ungkapan yang jelas
bermaksud memarginalkan karya-karya sastra terbitan pihak swasta.
23 Pada dasawarsa 1950-an, bacaan-bacaan hiburan terutama terbitan Medan, cukup banyak
diminati masyarakat luas. Kemasannya yang sederhana, bentuknya yang kecil seperti buku saku
(pocketbook), cetakan yang agak buruk, dan kertasnya yang berkualitas rendah, menjadikan
buku-buku sejenis itu dijual dengan harga murah. Karena harganya yang murah itu, ia
dipersamakan dengan nilai uang terkecil, yaitu picis. Oleh karena itulah, buku-buku sejenis itu –
yang umumnya mengangkat tema-tema percintaan—disebut roman picisan. Satu bentuk
penghinaan terhadap buku-buku sejenis itu. Pembicaraan yang cukup luas mengenai buku-buku
hiburan sejenis itu ditulis R. Roolvink, “Roman Pitjisan,” Pokok dan Tokoh, Djakarta: Jajasan
Pembangunan, 1953.
24 Kebanyakan masyarakat memandang novel-novel sejenis itu secara apriori yang dikaitkan
dengan masalah pornografi. Jika dicermati serius, novel-novel itu sesungguhnya tidak dapat
begitu saja dimasukkan ke dalam karya pornografi. Di dalam novel-novel itu, masalah seks
sekadar bumbu. Itupun tak digambarkan secara vulgar. Jadi, pandangan masyarakat terhadap
novel populer, terutama karya-karya Motinggo Boesje yang dikaitkan dengan pornografi dan
menudingkan karya-karyanya sebagai novel porno, tidaklah seluruhnya benar.
25
Motinggo Boesje pada awal kepengarangannya banyak menulis karya sastra serius (drama,
novel, dan cerpen). Memasuki tahun 1990-an, ia kembali menulis karya-karya serius. Bahkan
novelnya, Sanu, Infinita Kembar (1985) –menurut pandangan H.B. Jassin dan Abdul Hadi WM
—termasuk sebagai novel sufistik. Terlepas dari persoalan populer atau tidaknya novel-novel
yang ditulisannya tahun 1970-an, sejauh pengamatan, Motinggo Boesje tercatat sebagai novelis
Indonesia paling produktif. Sekitar 200-an novel telah dihasilkannya. Sejauh pengamatan, belum
ada sastrawan Indonesia yang menghasilkan novel sebanyak Motinggo Boesje. Sementara itu,
Remy Sylado, belakangan juga menulis novel-novel serius. Bahkan salah satu novelnya,
Kerudung Merah Tirmizy (2002) terpilih sebagai pemenang Khatulistiwa Award. Eddy D.
Iskandar dalam sastra Indonesia memang dikenal sebagai penulis sastra populer. Tetapi, dalam
kesusastraan Sunda, ia termasuk sastrawan Sunda yang menghasilkan novel-novel yang bagus
dalam bahasa Sunda.
26 Lihat Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta:
Gramedia, 1983, hlm. 89—97. Periksa juga, Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono
K.S., Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, Magelang: Indonesia Tera, 2001.
27 Dua artikel yang dimuat Budaya Jaya, No. 93, IX, Februari 1976, yang ditulis H.B. Jassin,
“Beberapa Penyair di Depan Forum” (hlm. 65—85) dan Saini K.M., “Penyair-Penyair Muda
Jakarta,” (hlm. 86—98) memberi gambaran cukup baik mengenai puisi-puisi Mbeling atau puisi
lugu yang dimuat majalah Aktuil dan majalah Top.
28 Slamet Kirnanto, “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini tidak sehat,
tidak jelas dan Brengsek!” (Jawaban atas pengadilan puisi) dalam Pamusuk Eneste (Ed.),
Pengadilan Puisi, Jakarta: Gunung Agung, 1986.