Pemerintahan Soeharto

Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

Pemerintahan Soeharto

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.
Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan
Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang
dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan
praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat
yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Penyelenggaraan Pemerintahan di Periode Kepemimpinan Soeharto

Masa Jabatan Presiden Suharto

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun
sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998

Politik

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia


menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966
mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama
dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan
menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun
setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde
Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap
orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal
dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak
yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan
sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan


aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi
kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).

Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan


utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang
didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan
MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari
kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD
juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor
kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan
daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II
1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas
politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang
kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional,
Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang
tinggi.

Eksploitasi sumber daya

Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian


sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang
kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Warga Tionghoa

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya
berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-
hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek,
dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan
oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa
tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang
mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga
ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin
dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan
untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian
Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini
dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski
beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional
Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu
mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata
bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak
belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan
perdagangan dilakukan.

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih
untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa


Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan
slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh
pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat
penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan,
Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak
diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk
setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak
mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi
sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun
tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain
dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara
itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian
keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan
terhadap para transmigran.

Kelebihan dan Kekurangan Pemerintahan Orde Baru

Kelebihan Sistem Pemerintahan Orde Baru

Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan
pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000

Sukses transmigrasi

Sukses KB

Sukses memerangi buta huruf

Sukses swasembada pangan

Pengangguran minimum

Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)

Sukses Gerakan Wajib Belajar

Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh

Sukses keamanan dalam negeri

Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia

Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme

Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan


pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan
daerah sebagian besar disedot ke pusat

Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan


pembangunan, terutama di Aceh dan Papua

Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang


memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya

Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi


si kaya dan si miskin)

Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)


Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan

Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
dibredel

Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program


"Penembakan Misterius"

Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden


selanjutnya)

Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak


Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang
efektif negara pasti hancur.

Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga
kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.

Berakhirnya Pemerintahan Soeharto

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk
lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun
terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.
Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para
demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri
Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh.
Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden
ketiga Indonesia.

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-
tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini
sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir.
Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca
Orde Baru".

Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde
Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni
Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan
pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan jaman.

Pantaskah Soeharto Jadi Seorang Presiden ?


Pantas!!, karena Soeharto juga memiliki masa-masa kejayaan dimasa
pemerintahannya, Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan
pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat
banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden
Soekarno yang cenderung bersifat sosialis.

Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga


pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya
menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa
presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh
bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian
dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan
politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan
politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai
utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU.
Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.

Disamping kejayaan pemerintahan di Orde Baru juga dihujani berbagai aksi


penentangan beberapa bentuk ketidakpuasan di saat itu.

Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang


penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan menutup
organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun
begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah
manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.

Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas
melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto
menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi
kemudian menjadi sebuah endemik.

Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai
finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-
saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di
militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan
kemudian mendukung unsur Islam.

Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan


"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh
mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai
Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan,
sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis
digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.

Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang
kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih
besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa.
Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya.
Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu
partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.

Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun.
Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang
mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor
Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.

Anda mungkin juga menyukai