Pendidikan Islam Dan Moralitas
Pendidikan Islam Dan Moralitas
Pendidikan Islam Dan Moralitas
Proses pendidikan Islam berusaha mencapai ketiga tujuan itu, yaitu tujuan individual, tujuan
sosial dan tujuan professional. Ketiga tujuan ini secara terpadu dan terarah diuisahakan agar
tercapai dalam proses pendidikan Islam. Dengan tujuan ini pula, jelas ke mana pendidikan Islam
diarahkan.
Dari pengertian-pengertian tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para
pakar pendidikan tersebut di atas, dapatlah penulis mengambil kesimpulan sesuai dengan
ruang lingkup pembahasan skripsi ini, bahwa pendidikan Islam berupaya menciptakan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif tetapi juga
pada aspek afektif dan psiko-motorik. Transformasi nilai-nilai moral menjadi prioritas utama
pendidikan selain transfer ilmu pengetahuan. Sehingga terbentuk seorang siswa yang intelek
dan bermoral tinggi.
C. Pengertian Moral
Ada beberapa istilah yang sering digunakan secara bergantian untuk menunjukkan
maksud yang sama, istilah moral, akhlak, karakter, etika, budi pekerti dan susila. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, “moral” diartikan sebagai keadaan baik dan buruk yang
diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila. Moral
juga berarti kondisi mental yang terungkap dalam bentuk perbuatan. Selain itu moral berarti
sebagai ajaran Kesusilaan.[26] Kata morla sendiri berasal dari bahasa Latin “mores” yang
berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan.[27]
Dengan demikian pengertian moral dapat dipahami dengan mengklasifikasikannya
sebagai berikut :
1. Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan
tuntutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meningalkan perbuatan
jelekyang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
2. Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai
perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk.
3. Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan, seperti berani, jujur,
sabar, gairah dan sebagainya.
1. Aliran Nativisme
Nativisme adalah suatu doktrin filosofis yang berpengaruh besar dalam pemikiran
psikologis. Tokoh utamanya Arthur Schopenhaur (1788-1860) seorang filosuf
berkebangsaan Jerman.[32] Aliran ini berpandangan bahwa yang mempengaruhi
perkembangan manusia adalah faktor keturunan dan pembawaan atau sifat-sifat yang
dibawanya sejak lahir. Pendidikan dan pengalaman hidup lainnya tidak dapat mengubah
sifat-sifat keturunan/pembawaaan manusia.
Usaha-usaha mendidik dalam pandangan aliran ini merupakan usaha yang sia-sia.
Karena pandangan pesimis ini, maka aliran ini dalam dunia pendidikan disebut
“Pesimesme pedagogis.”[33]
Secara singkat keturunan diartikan semua sifat-sifat atau cirri-ciri yang melekat
pada seorang anak yang merupakan regenerasi dari orang tuanya.[34] Sedangkan
pembawaan adalah seluruh kemungkinan atau potensi-potensi yang terdapat pada
seseorang yang selama perkembangannya bisa direalisasikan atau pengertian ini bisa
disamakan dengan bakat (anleg).[35]
Perbedaan pengertian antara keturunan dan pembawaan sebenarnya bukan
masalah substansial, karena banyak pemikir cenderung tidak membedakan arti keduanya.
Omar Muihammad Al-Toumi Al-Syaibani menyebutkan keturunan/pembawaan
sebagai cirri dan sifat-sifat yang diwarisi dari orang tuanya. Sifat-sifat tersebut dibagi tiga
macam.
1. Sifat-sifat tubuh (Jasmani), seperti warna kulit, warna mata, ukuran tubuh, bentuk
kepala, wajah, rambat dan lain-lain.
2. Sifat-sifat akal, seperti cerdas, pandai, bebal, bodoh dan lain-lain.
3. Sifat-sifat akhlak atau moral, seperti prilaku baik, prilaku jahat, pemberani, pemarah,
pemaaf, penyabar, penolong, beriman dan bertaqwa, dan lain-lain.
Pengaruh faktor keturunan terhadap pembentukan manusia sampai saat menjadi
polemic. Ada yang setuju ada yang tidak setuju dan ada pula yang netral. Mereka
mengakui tentang pengaruh faktor keturunan terhadap aspek jasmani (tubuh/badan)
manusia dan akalnya. Tetapi mereka tidak menerima faktor keturunan dapat
mempengaruhi sifat akhlak (moral) dan kebiasaan sosial.[36]
Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa keturunan banyak mempengaruhi
pertumbuhan manusia dalam aspek jasmani dan kualitas akal. Namun, terhadap akhlak
dan prilaku sosial manusia, kemungkinannyaa sangat kecil.
Tidak adanya ruang bagi pendidikan untuk mempengaruhi perubahan manusia
karena aliran ini berkeyakinan bahwa satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi
hanya faktor pembawaan atau faktor keturunan.
Hampir sama dengan aliran nativsime adalah aliran naturalisme. Nature artinya
alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Aliran ini berpendapat bahwa pada dasarnya
semua anak (manusia) adalah baik. Meskipun aliran ini percaya dengan kebaikan awal
manusia, aliran ini tidak menafikan peranan dan pengaruh lingkungan atau pendidikan.
Pendidikkan yang baik akan mengantarkan terciptanya manusia yang baik. Sebaliknya
pendidikan dan lingkungan yang jelek akan berakibat manusia menadi jelek juga.
J. Rooseau sebagai tokoh aliran ini mengatakan, “semua anak adalah baik pada
dilahirkan, tetapi menjadi rusak di tangan manusia”. Oleh karena itu dia mengajukan
pendapat agar pendidikan anak menggunakan sistem “pendidikan alam”. Artinya anak
hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang menurut alamnya. Manusia dan masyarakat
jangan terlalu ikut mencampurinya.[37]
Dalam konteks pembentukan moral siswa, maka menurut aliran nativisme, moral
seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri sesuai dengan sifat-sifat pembawaan yang ada
sejak manusia lahir, dan pendidikan tidak mempunyai peran dalam membentuk moral
siswa.
1. Aliran Emperisme
1. Seorang yang sepenuhnya lugu atau polos yang tidak mampu membedakan antara yang
hak dan yang bathil atau antara yang baik dan yang buruk, tetap dalam keadaan fitrah
seperti ketika dilahirkan, dan dalam keadan kosong dari segala kepercayaan. Demikian
pula ambisinya belum begitu kuat untuk mendorongnya mengikuti berbagai kesenangan
hidup manusiwi. Orang seperti ini sangat cepat dalam proses perbaikan moralnya. Orang
seperti ini hanya membutuhkan pembimbing untuk melakukan mujahadah. Orang seperti
ini akan mengalami perbaikan moral dengan cepat.
2. Orang secara pasti telah mengetahui sesuatu yang buruk tetapi ia belum terbiasa
mengerjakan perbuatan baik bahkan ia cenderung mengikuti hawa nafsunya melakukan
perbuatan-perbuatan buruk dari pada mengikuti pertimbangan akal sehat untuk
melakukan perbuatan baik. Perbaikan moral/akhlak seperti ini tentu tingkat kesukarannya
melebihi dari tipe orang sebelumnya. Sebab usaha yang harus dilakukan bersifat ganda,
selain mencabut akar-akar kebiasaan buruknya, orang tersebut secara seius dan konsisten
melakukan latihan-latihan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Jika hal ini
dilakukan sungguh-sungguh, maka perbaikan moral akan terlaksana.
3. Orang yang berkeyakinan bahwa perangai-perangai buruk merupakan sesuatu yang wajib
dilakukan dan perbuatan itu dianggap aik dan menguntungkan. Orang tersebut tumbuh
dengan keyakinan seperti itu. Terhadap kriteria orang seperti ini, maka sungguh
merupakan usaha yang sangat berat dan jarang sekali yang berhasil memperbaikinya.
Karena terlalu banyak penyebab kesesatan jiwanya.
4. Seseorang yang diliputi pikiran-pikiran buru, seiring dengan pertumbuhan dirinya, dan
terdidik dalam pengalaman (lingkungan) yang buruk. Sehingga ketinggian derajatnya
diukur dengan seberapa banyak perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan dan bahkan
dengan banyaknya jiwa-jiwa manusia yang ia korbankan. Orang seperti ini berada dalam
tingkatan orang yang paling sulit.untuk diobat. Usaha memperbaiki moralitas orang ini
bisa dikatakan sebuah usaha yang sia-sia.[48]
Klasifikasi kriteria moralitas manusia yang disebutkan di atas, mungkin terjadi dalam
realitas kehidupan siswa. Dan itu menjadi bahan pertimbangan bagi seluruh tenaga pendidik
di Pondok Pesantren Global Darul Hidayah.
[1] Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h. 42
[2] Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan : Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa,
(Yogyakarta, 1967) h. 42
[3] M. Natsir, Capita Selecta, (Bandung : Gravenhage, 1954), h. 87
[4] A.D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Alma’arif, 1980), cet ke-4, h. 19
[5] Jamil Sahliba, Kamus Filsafat, (Dar al-Kitab al-Lubnani, 1978), Jilid I, h 260.
[6] Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 428
[7] Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung iponegoro, 1988), cet. Ke-1, h. 28-29
[8] Departemen Agama RI, Op.Cit h. 413
[9] Muclich Shabir, Op. cit, h. 89
[10] Ibid h. 62
[11] Yusuf al-Qurdlowi, Op.Cit, h. 39
[12] Hasan Langgulung, Bebeapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung : al-Ma’arif, 1980), h.
94
[13] Endang Saefuddin Anshori, POkok-pokok Pikiran Tentang Islam, (Jakarta : Usaha Interprises,
1976), cet ke-1 h. 85
[14] Drs. Hary Noer Aly, MA., Op.Cit, h. 52-54
[15] Ahmad D. Marimba, Op.Cit, h. 45-46.
[16] Hasan Langgulung, Op.Cit, h. 178
[17] Omar M. al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), cet Ke-
1 h. 403
[18] Ahmad Tafsir, Op.Cit, h. 34
[19] Ahmad D. Mariba, Op.Cit h. 19
[20] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta :
Pustaka al-Husna, 1968), Cet. Ke-1 h. 33
[21] M. Athiyah al-Abrasy, Op.Cit, h. 15
[22] Mushlih Shabir, Op.Cit h. 124
[23] Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993), Cet. Ke-3 h. 2
[24] M. Quthub, Sistem Pendidikan Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1984), Cet, Ke-1 h. 27
[25] Omar M al-Toumy, al-Syabany, Op.Cit, h. 399
[26] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit, h. 192
[27] Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT : BPK Gunung Mulia, 1999) Cet : Ke-12,
h. 38
[28] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit, h. 195
[29] Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, (Bandung : Kharisma, 1994) Cet.
Ke-1, h 31
[30] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung : Mizan, 1994) Cet Ke-2, h. 56
[31] Muslim Nurdin, et.al., Moral Islam dan Kognisi Islam, (Bandung : CV. Alabeta, 1993) Cet. Ke-1, h.
205
[32] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, (Bandung : PT. Remaja Rosda