Laporan Pendahuluan Asfiksia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN

ASFIKSIA

1.1 Pengertian
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernapas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan (Prawirohardjo,
2008).
Asfiksia adalah keadaan dimana fetus atau neonatus mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke
berbagai macam organ (Soetomo, 2004).
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas
secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir,
umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat
hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat,
atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah
persalinan. (Wiknjosastro, 2008).

1.2 Etiologi
1.2.1 Penyebab terjadinya asfiksia menurut Wiknjosastro (2008) antara
lain :
1.2.1.1 Keadaan Ibu
Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran
darah ibu melalui plasenta berkurang, sehingga aliran oksigen
ke janin berkurang, akibatnya terjadi gawat janin. Hal ini
dapat menyebabkan asfiksia :
1) Preeklampsia dan eklampsia
2) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio
plasenta)
3) Partus lama atau partus macet yaitu persalinan yang
berjalan lebih dari 24 jam pada primigravida dan atau 18
jam pada multigravida.
4) Deman selama persalinan
5) Infeksi barat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
6) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
1.2.1.2 Keadaan bayi
Pada keadaan berikut bayi mungkin mengalami asfiksia
meskipun tanpa didahului tanda gawat janin:
a) Bayi premature (sebelum 37 minggu kehamilan)
b) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar,
distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
c) Kelainan bawaan (congenital)
d) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
1.2.2 Menurut Stright (2004) penyebab asfiksia yaitu sebagai berikut :
1.2.2.1 Faktor ibu, meliputi amnionitis, anemia, diabetes hipertensi
yang diinduksi oleh kehamilan, obat-obatan infeksi.
1.2.2.2 Faktor uterus, meliputi persalinan lama, persentasi janin
abnormal.
1.2.2.3 Faktor plasenta, meliputi plasenta previa, solusio plasenta,
insufisiensi plasenta.
1.2.2.4 Faktor umbilikal, meliputi prolaps tali pusat, lilitan tali pusat.
1.2.2.5 Faktor janin, meliputi disproporsi sefalopelvis, kelainan
kongenital, kesulitan kelahiran

1.3 Klasifikasi Asfiksia


Wiknjosastro (2007) membagi asfiksia menjadi beberapa golongan
antara lain:
(1) Tidak asfiksia (nilai APGAR 7-10)
(2) Asfiksia ringan – sedang (nilai APGAR 4 – 6)
(3) Asfiksia berat (nilai APGAR 0 – 3)

1.4 Patofisiologi Asfiksia Intrauterin


Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama
kehamilan / persalinan, akan terjadi asfiksia. Keadaan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan
kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat reversible atau tidak
tergantung dari berat badan dan lamanya asfiksia. Asfiksia ringan yang
terjadi dimulai dengan suatu periode appnoe, disertai penurunan frekuensi
jantung. Selanjutnya bayi akan menunjukan usaha nafas, yang kemudian
diikuti pernafasan teratur. Pada asfiksia sedang dan berat usaha nafas tidak
tampak sehingga bayi berada dalam periode appnoe yang kedua, dan
ditemukan pula bradikardi dan penurunan tekanan darah.Disamping
perubahan klinis juga terjadi gangguan metabolisme dan keseimbangan
asam dan basa pada neonatus. Pada tingkat awal menimbulkan asidosis
respiratorik, bila gangguan berlanjut terjadi metabolisme anaerob yang
berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh pada hati dan
jantung berkurang. Hilangnya glikogen yang terjadi pada kardiovaskuler
menyebabkan gangguan fungsi jantung. Pada paru terjadi pengisian udara
alveoli yang tidak adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh
darah paru. Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat
menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.
Jika tidak meninggal, asfiksia akan meninggalkan masalah bayi dengan
cacat. (Prawirohardjo, 2008)
Asfiksia pada BBL dapat memberikan dampak terhadap berbagai
sistim organ, sehingga akan memberikan gejala bermacam-macam. Derajat
manifestasi gejala asfiksia janin akan bervariasi, tergantung pada berat,
kekerapan timbul, dan kronisitas asfiksia. Keadaan ini disertai dengan
hipoksia, hiperkapnea, dan berakhir dengan asidosis. Apabila asfiksia
berlanjut bayi dapat mengalami Apnoe (henti nafas) yang ditandai
berhentinya gerakan pernafasan, penurunan denyut jantung dan tonus otot
bayi. Dengan adanya hipoksia dan asidosis maka fungsi miokardium
menurun, curah jantung menurun, dan aliran darah ke alat-alat vital
berkurang. Apabila kondisi terus berlanjut tanpa mendapat penangan
dapat menyebabkan kematian. (Wiknjosastro, 2007)
Asfiksia atau gagal nafas dapat menyebabkan suplai oksigen ke
tubuh menjadi terhambat jika terlalu lama membuat bayi menjadi koma,
walaupun sadar dari koma bayi akan mengalami cacat otak. Pada awal
asfiksia, darah lebih banyak dialirkan ke otak dan jantung, dengan adanya
hipoksia dan asidosis maka fungsi miokardium menurun, curah jantung
menurun dan aliran darah ke alat-alat vital juga berkurang. Kejadian
asfiksia jika berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan perdarahan otak,
kerusakan otak dan kemudian keterlambatan tumbuh kembang (Saifuddin,
2006). Asfiksia juga dapat menimbulkan kematian jika terlambat di
tangani, mengakibatkan cacat seumur hidup seperti buta, tuli dan cacat
otak (Retayasa, 2007).
Gangguan pertukaran gas dan transpor O2 dapat terjadi karena
kelainan dalam kehamilan atau persalinan yang bersifat menahun atau
mendadak. Kelainan menahun seperti gizi ibu yang buruk atau penyakit
menahun pada ibu (anemia, hipertensi, penyakit jantung dan lain-lain)
dapat ditanggulangi dengan melakukan pemeriksaan antenatal ibu yang
teratur. Kelainan yang bersifat mendadak yang umumnya terjadi pada
persalinan hampir selalu mengakibatkan anoksia / hipoksia yang berakhir
dengan asfiksia bayi (Mansjoer, 2005).

1.5 Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari
anoksia/hipoksia janin. Diagnosis anoksia/hipoksia dapat dibuat dalam
persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang
perlu mendapatkan perhatian (Prawirohardjo, 2005):
1.5.1 Denyut Jantung Janin
Frekuensi normal adalah antara 120 dan 160 denyutan dalam
semenit. Selama his frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his
kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut
jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi
turun sampai dibawah 100 semenit di luar his, dan lebih-lebih jika
tidak teratur, hal ini merupakan tanda bahaya.
1.5.2 Mekonium Dalam Air Ketuban
Pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan
oksigenasi dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium
dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi
untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan
mudah.
1.5.3 Pemeriksaan Darah Janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat
serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil
contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis
menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah
7.2, hal itu dianggap sebagai tanda bahaya. Selain itu kelahiran bayi
yang telah menunjukkan tanda-tanda gawat janin mungkin disertai
dengan asfiksia neonatorum, sehingga perlu diadakan persiapan
untuk menghadapi keadaan tersebut jika terdapat asfiksia, tingkatnya
perlu dikenal untuk dapat melakukan resusitasi yang sempurna.
Untuk hal ini diperlukan cara penilaian menurut APGAR.

1.6 Penatalaksanaan
Prinsip resusitasi (Prawirohardjo, 2005) :
(1) Menciptakan lingkungan yang baik bagi bayi dan mengusahakan tetap
bebasnya jalan napas.
(2) Memberikan bantuan pernapasan secara aktif kepada bayi dengan
usaha pernapasan buatan.
(3) Memperbaiki asidosis yang terjadi.
(4) Menjaga agar peredaran darah tetap baik.
Nilai APGAR 7 – 10 (bayi dinyatakan baik) :
Pada keadaan ini bayi tidak memerlukan tindakan istimewa.
penatalaksanaan terdiri dari :
(1) Memberikan lingkungan suhu yang baik pada bayi
(2) Pembersihan jalan napas bagian atas dari lendir dan sisa-sisa darah
(3) Kalau perlu melakukan rangsangan pada bayi (Mansjoer, 2005).
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi
bayi baru lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup
bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan resusitasi
bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan ABC
resusitasi (Exva, 2009) :
(1) Memastikan saluran nafas terbuka :
a) Meletakan bayi dalam posisi yang benar
b) Menghisap mulut kemudian hidung kalau perlu trachea
(2) Memulai pernapasan :
a) Lakukan rangsangan taktil, beri rangsangan taktil dengan menyentil
atau menepuk telapak kaki. Lakukan penggosokan punggung bayi
secara cepat, mengusap atau mengelus tubuh, tungkai dan kepala
bayi.
b) Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif
(3) Mempertahankan sirkulasi darah :
Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi
dada atau bila perlu menggunakan obat-obatan

Cara resusitasi dibagi dalam tindakan umum dan tindakan khusus (Exva,
2009) :
(1) Tindakan umum
a) Pengawasan suhu
b) Pembersihan jalan nafas
c) Rangsang untuk menimbulkan pernafasan
(2) Tindakan khusus
a) Asphyksia berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama
memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan tekanan
dan intermiten, cara terbaik dengan intubasi endotrakeal lalu
diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat hampir
selalu disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4
mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-20 % dengan dosis 2-
4ml/kgBB. Kedua obat ini disuntuikan kedalam intra vena perlahan
melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat jelas jika
ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung. Usaha pernapasan
biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali, bila
setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau
frekuensi jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan
dengan frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini diselingi ventilasi
tekanan dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali satu ventilasi
tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks, jika tindakan ini
tidak berhasil bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini
disebabkan oleh ketidakseimbangan asam dan basa yang belum
dikoreksi atau gangguan organik seperti hernia diafragmatika atau
stenosis jalan nafas. (Exva, 2009)
b) Asphyksia sedang
Stimulasi agar timbul reflek pernapsan dapat dicoba, bila dalam
waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif
harus segera dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter O2
intranasaldengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi
dorsofleksi kepala. Kemudioan dilakukan gerakan membuka dan
menutup nares dan mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah
dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan gerakan
dinding toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan
pernapasan spontan, usahakan mengikuti gerakan tersebut, ventilasi
dihentikan jika hasil tidak dicapai dalam 1-2 menit, sehingga
ventilasi paru dengan tekanan positif secara tidak langsung segera
dilakukan, ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
dari mulut ke mulut atau dari ventilasi ke kantong masker. Pada
ventilasi dari mulut ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu
dengan O2, ventilasi dilakukan dengan frekuensi 20-30 kali
permenit dan perhatikan gerakan nafas spontan yang mungkin
timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika setelah dilakukan
berberapa saat terjasi penurunan frekuensi jantung atau perburukan
tonus otot, intubasi endotrakheal harus segera dilakukan, bikarbonas
natrikus dan glukosa dapat segera diberikan, apabila 3 menit setelah
lahir tidak memperlihatkan pernapasan teratur, meskipun ventilasi
telah dilakukan dengan adekuat. (Exva, 2009)

1.7 Pencegahan
Pencegahan, eliminasi dan antisipasi terhadap faktor-faktor risiko
asfiksia neonatorum menjadi prioritas utama. Bila ibu memiliki faktor
risiko yang memungkinkan bayi lahir dengan asfiksia, maka langkah-
langkah antisipasi harus dilakukan. Pemeriksaan antenatal dilakukan
minimal 4 kali selama kehamilan seperti anjuran WHO untuk mencari dan
mengeliminasi faktor-faktor risiko. (Anonim, 2010)
Bila bayi berisiko lahir prematur yang kurang dari 34 minggu,
pemberian kortikosteroid 24 jam sebelum lahir menjadi prosedur rutin
yang dapat membantu maturasi paru-paru bayi dan mengurangi komplikasi
sindroma distres pernapasan (respiratory distress syndrome). Pada saat
persalinan, penggunaan partograf yang benar dapat membantu deteksi dini
kemungkinan diperlukannya resusitasi neonatus. Penelitian Fahdhly dan
Chongsuvivatwong terhadap penggunaan partograf oleh bidan di Medan
menunjukkan bayi yang dilahirkan dengan skor APGAR 1 menit < 7
berkurang secara signifikan dengan pemantauan partogram WHO. Adanya
kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga
obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan
situasi yang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan.
Setiap anggota tim persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi
persalinan yang dapat menyebabkan kesalah pahaman atau menyebabkan
keterlambatan pada situasi gawat. (Anonim, 2010)

Anda mungkin juga menyukai