LP ASFIKSIA Fiks

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASFIKSIA NEONATUS

OLEH :

NAMA : GITA RAHMAWATI

NIM : 2206311614401074

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN 17 KARANGANYAR

TAHUN 2024
A. Konsep Dasar Asfiksia

1. Pengertian Asfiksia Neonatus

Merupakan kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa depresi pernafasan yang


berlanjut sehingga menimbulkan berbagai komplikasi. Asfiksia paling sering terjadi pada
periode segera setelah lahir dan menimbulkan sebuah kebutuhan resusitasi dan intervensi
segera untuk meminimalkan mortalitas dan morbiditas (Maryunani & Puspita, 2017).

Asfiksia neonatus adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan
hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan,
atau segera setelah bayi lahir (Siti Noorbaya & Herni Johan, 2019)

Menurut Dewi (2019), Asfiksia didefinisikan sebagai kegagalan untuk bernapas atau
ketidakmampuan bayi baru lahir untuk memulai dan mempertahankan respirasi yang
adekuat setelah melahirkan. Asfiksia adalah suatu kondisi yang terjadi ketika ada
gangguan pertukaran gas-darah, mengakibatkan hipoksemia (kekurangan oksigen) dan
hiperkapnia (akumulasi karbon dioksida). Jadi asfiksia neonatus merupakan suatu
keadaan dimana bayi baru lahir dengan kondisi tidak bisa bernafas secara spontan atau
mengalami gangguan respirasi sehingga tubuh kekurangan oksigen dan karbon dioksida
yang terlalu banyak di tubuh yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.

2. Etiologi

Pengembangan paru-paru neonatus terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan


kemudian disusul dengan pernapasan teratur, bila terjadi gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan terjadi asfiksia janin atau neonatus.
Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera kelahiran
(Jumiarni et al., 2016).

Menurut Jumiarni et al. (2016), penyebab asfiksia pada bayi yaitu:

a. Asfiksia dalam kehamilan

1) Penyakit akut atau kronis

2) Keracunan obat bius

3) Anemia berat
4) Trauma

b. Asfiksia dalam persalinan

1. Gangguan sirkulasi pada plasenta, yaitu :

a) Partus lama Merupakan persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada
primipara dan lebih dari 18 jam pada multipara, dimana terjadi kontraksi
rahim yang berlangsung lama sehingga dapat menambah resiko pada janin
dimana terjadi gangguan pertukaran oksigen (O₂) dan karbon oksida (CO ₂)
yang dapat menyebabkan asfiksia.

b) Kehamilan lewat waktu Kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang


berlangsung lebih dari 42 minggu dihitung berdasarkan rumus naegle
dengan siklus haid rata-rata 28 hari. Permasalahan yang timbul pada janin
adalah asfiksia dimana terjadi insufisiensi plasenta yang menyebabkan
plasenta tidak sanggup memberi nutrisi dan terjadi gangguan pertukaran
karbon oksida (CO₂) dan oksigen (O₂) dari ibu ke janin.

c) Lilitan tali pusat Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang
panjang memungkinkan terjadinya lilitan tali pusat pada leher sangat
berbahaya, apalagi bila lilitan terjadi beberapa kali dimana dapat
diperkirakan dengan makin masuknya kepala janin ke dasar panggul maka
makin erat pula lilitan pada leher janin yang mengakibatkan makin
terganggunya aliran darah ibu ke janin.

d) Solusio plasenta Merupakan suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya


normal terletak dari perlekatannya sebelum janin lahir, prognosisnya
terhadap janin tergantung pada derajat perlepasan plasenta, dimana
mengakibatkan terjadinya gangguan sirkulasi uterus plasenta yang dapat
menyebabkan asfiksia sampai kematian janin dalam rahim.

e) Persalinan sungsang. Persalinan sungsang dapat menyebabkan asfiksia


dimana sering terjadi kemacetan persalinan kepala yang menyebabkan
aspirasi air ketuban dan lendir, perdarahan atau edema jaringan otak sampai
kerusakan persendiaan tulang leher.
2. Faktor ibu

a) Gangguan his Tetania uteri adalah his yang terlampau kuat dan terlampau
sering sehingga tidak ada relaksasi rahim. Hal ini dapat menyebabkan
hipoksia janin dan berlanjut menjadi asfiksia setelah bayi lahir.

b) Vasokontriksi arteri

1) Hipertensi dalam kehamilan berarti wanita telah menderita hipertensi


sebelum hamil yang biasa disebut juga dengan pre-eklamsia tidak
murni. Prognosis bagi janin kurang baik karena adanya insufisiensi
plasenta
2) Pre-eklamsia merupakan penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,
edema, dan proteinuria yang timbul karna kehamilan. Prognosis pada
janin juga kurang baik karena adanya spasme pembuluh darah arteri
menuju organ penting dalam tubuh yang dapat menimbulkan
mengecilan aliran darah menuju retroplasenter sehingga menimbulkan
gangguan pertukaran nutrisi, karbon oksida (CO₂) dan oksigen (O ₂)
yang dapat menyebabkan asfiksia.

3. Manifestasi Klinik

Adapun menifestasi klinis asfiksia menurut Hermawan, (2017) :

a. Pada kehamilan, Denyut jantung janin lebih cepat dari 160x/menit atau kurang dari
100x/menit, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.

1) Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia

2) Jika DJJ 160x/menit ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia

3) Jika DJJ 100x/ menit ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat

b. Pada bayi setelah lahir

1) Bayi pucat dan kebiru-biruan

2) Usaha bernafas minimal atau tidak ada

3) Hipoksia

4) Asidosis metabolik atau respiratori


5) Perubahan fungsi jantung

6) Kegagalan system multiorgan

7) Jika sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik, kejang,
nistagmus (gerakan ritmik tanpa kontrol pada mata yang terdiri dari tremor kecil
yang cepat ke satu arah dan yang lebih besar, lebih lambat, berulang-ulang ke
arah yang berlawanan) dan menangis kurang baik/tidak baik.

4. Patofisiologi

Kondisi patofisiologis yang menyebabkan asfiksia meliputi kurangnya oksigenasi sel,


retensi karbon berlebihan, dan asidosis metabolik. Kombinasi ketiga peristiwa tersebut
menyebabkan kerusakan sel dan lingkungan biokimia yang tidak cocok dengan
kehidupan. Tujuan resusitasi adalah intervensi tepat waktu yang mengembalikan efek-
efek biokimia asfiksia, sehingga mencegah kerusakan otak dan organ yang ireversibel
(tidak bisa kembali), yang akibatnya akan ditanggung sepanjang hidup. Frekuensi jantung
dan tekanan darah akan meningkat dan bayi melakukan upaya megap-megap (gasping).
Bayi kemudian masuk ke periode apnea primer akan mulai melakukan usaha napas lagi.
Stimulasi dapat terdiri atas stimulasi taktil (mengeringkan bayi) dan stimulasi termal
(oleh suhu persalinan yang lebih dingin).

Bayi-bayi yang mengalami proses asfiksia lebih jauh berbeda dalam tahap apnea
sekunder. Apnea sekunder dapat dengan cepat menyebabkan kematian jika bayi tidak
benar-benar didukung oleh pernapasan buatan, dan bila perlu, dilakukan kompresi
jantung. Warna bayi berubah dari biru ke putih karena bayi baru lahir menutup sirkulasi
perifer sebagai upaya memaksimalkan aliran darah ke organorgan seperti jantung, ginjal
dan adrenal.

Selama apnea, penurunan oksigen yang tersedia menyebabkan pembuluh darah di


paru-paru mengalami konstriksi. Keadaan konstriksi ini menyebabkan paru-paru resisten
ekspansi, sehingga mempersulit kerja resusitasi janin yang persisten. Foramen ovale terus
membuat pirau darah ke aorta, melewati paru-paru yang konstriksi. Bayi baru lahir dalam
keadaan asfiksia tetap memiliki banyak gambaran sirkulasi janin. Selama hipoksia,
perubahan biokimia yang serius menyebabkan penimbunan sampah metabolik akibat
metabolisme anaerob. Akibat ketidakadekuatan ventilasi, maka bayi baru lahir cepat
menimbun karbon dioksida.
Hiperkabia ini mengakibatkan asidosis respiratorik yang lebih jauh akan menekan
upaya napas. Kurangnya oksigen menyebabkan metabolisme pada bayi baru lahir berubah
menjadi metabolisme anaerob, terutama karena kurangnya glukosa yang dibutuhkan
untuk sumber energi pada saat kedaruratan. Hal ini menyebabkan akumulasi asam laktat
dan asidosis metabolik. Asidosis metabolik hanya akan hilang setelah periode waktu yang
signifikan dan merupakan masalah sisa bahkan setelah frekuensi pernapasan dan
frekuensi jantung adekuat. Efek hipoksia terhadap otak sangat terlihat. Pada hipoksia
awal, aliran darah ke otak meningkat, sebagai bagian mekanisme kompensasi. Kondisi
tersebut hanya dapat memberikan penyesuaian sebagian. Jika hipoksia berlanjut, maka
tidak akan terjadi penyesuaian akibat hipoksia pada sel-sel otak. Beberapa efek hipoksia
yang paling berat muncul akibat tidak adanya zat penyedia energi, setiap ATP (adenosine
tripospat), berhentinya kerja pompa ion-ion transeluler, akumulasi air, natrium, dan
kalsium serta kerusakan akibat radikal bebas oksigen. Seiring dengan penurunan aliran
darah yang teroksigenasi, maka asam amino yang meningkat akibat pembengkakan
jaringan otak akan dilepas.

Proses ini dapat mengakibatkan kerusakan neurologis yang mencolok atau


samarsamar. Kejang dapat muncul selama 24 jam pertama setelah bayi lahir. Awitan
kejang selama periode ini merupakan tanda yang mengkhawatirkan dan merupakan
peningkatan kemungkinan terjadinya otak yang permanen (Aninda, 2018).
5. Pathway

Sumber : (Henrikus Kevin, 2019)


6. Pemeriksaan Diagnostik Menurut Nurarif & Kusuma (2015)

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien asfiksia berupa pemeriksaan :

a. Nilai APGAR : memberikan pengkajian yang cepat mengenai kebutuhan untuk


resusitasi neonatal

b. Rontgen thoraks dan abdomen : untuk mengetahui abnormalitas/ cedera struktural


dan penyebab masalah ventilasi

c. Pemeriksaan ultrasonografi kepala : untuk mendeteksi abnormalitas/ cedera kranial


atau otak atau adanya malformasi kongenital

d. Kultur darah : untuk mengetahui atau memastikan adanya bakteremia

e. Analisa gas darah tali pusat : menunjukkan hasil asidosis jika PaO ₂ <60 mmHg,
PaCO₂ >55 mmHg dan pH <7,35 mmHg

f. Glukosa darah : untuk mengetahui kadar glukosa darah

g. Skrining toksikologi : untuk menemukan adanya toksisitas obat atau kemungkinan


sindrom alkohol janin atau fetal alcohol syndorome

h. Skrining metabolism : untuk mengetahui adanya gangguan endokrin atau


metabolisme.

7. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan asfiksia menurut Syarifuddin (2015), antara lain sebagai berikut :

a. Pengawasan suhu tubuh. Pertahankan suhu tubuh agar bayi tidak kedinginan,
karena hal ini akan memperburuk keadaan asfiksia. Bayi baru lahir secara relatif
banyak kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu
tubuh akan mempertinggi metabolisme sel sehingga kebutuhan oksigen meningkat.
Perlu di perhatikan agar bayi mendapat lingkungan yang hangat segera setelah
lahir.

b. Pembersihan jalan nafas Saluran nafas atas dibersihkan dari lendir dan cairan
amnion dengan pengisap lendir, tindakan ini dilakukan dengan hati-hati tidak perlu
tergesa-gesa atau kasar. Penghisapan yang dilakukan dengan ceroboh akan timbul
penyulit seperti : spasme laring, kolap paru, kerusakan sel mukosa jalan nafas.
Pada asfiksia berat dilakukan resusitasi kardiopulmonal.
c. Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan Bayi yang tidak memperlihatkan
usaha bernafas selama 20 detik setelah lahir dianggap telah menderita depresi
pernafasan. Dalam hal ini rangsangan terhadap bayi harus segera dilakukan.
Pengaliran oksigen (O₂) yang cepat kedalam mukosa hidung dapat pula
merangsang reflek pernafasan yang sensitif dalam mukosa hidung dan faring. Bila
cara ini tidak berhasil dapat dilakukan dengan memberikan rangsangan nyeri
dengan memukul kedua telapak bayi.

d. Terapi cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksia Tujuan pemberian cairan untuk
bayi baru lahir dengan asfiksia adalah :

1) Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan

2) Memberikan obat-obatan

3) Memberikan nutrisi parenteral

e. Teknik pemasangan infus

f. Teknik memfiksasi/ mempertahankan kepatenan dari alat kepada bayi asfiksia yang
terpasang infus

g. Memberikan cairan dengan menggunakan NGT yaitu memasukkan cairan kedalam


lambung bayi dengan menggunakan NGT. Dengan tujuan memenuhi kebutuhan
tubuh akan makanan dan cairan, yang dilakukan pada bayi yang mengalami
kesulitan mengisap dan bayi dengan kelainan bawaan misalnya labiopalatoskisis
atau atresia esophagus.

8. Komplikasi Menurut Wati Rini (2015)

Komplikasi asfiksia neonatus meliputi berbagai organ yaitu :

a. Edema otak dan perdarahan otak Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi
jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran
darah ke otak pun akan menurun, keadaan ini akan menyebabkan hipoksia dan
iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat
menimbulkan perdarahan otak.

b. Anuria atau oliguria Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita
asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya,
yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan
lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal
yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.

c. Kejang Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran
gas dan transportasi oksigen (O₂) sehingga penderita kekurangan persediaan
oksigen (O₂) dan kesulitan pengeluaran karbon oksida (CO ₂) hal ini dapat
menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.

d. Koma Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan
koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan otak.

B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian Pengkajian keperawatan pada bayi baru lahir dengan asfiksia


meliputi

a. Pola Presepsi dan Pemeliharaan Kesehatan

Data Subjektif : Riwayat keluarga yang sama, riwayat kehamilan ibu (usia <20
tahun dan >38 tahun, kehamilan antara 28 sampai 36 minggu), proses persalinan ibu
(ketuban pecah dini, lilitan tali pusat, partus lama) Berat badan lahir : kurang atau
lebih dari normal (2500-4000 gram).

Data Objektif : Pada umumnya pasien dengan asfiksia dalam keadaan lemah, sesak
napas, pergerakan tremor, reflek tendon hyperaktif dan sisnosis.

b. Pola Nutrisi dan Metabolik

Data Subjektif : Nafsu makan atau minum menurun, muntah, aspirasi, kelemahan
menghisap.

Data Objektif : Tampak turgor kulit menurun, refleks menghisap kurang bagus,
mukosa bibir kering, pemberian cairan parenteral untuk mencukupi kebutuhan
elektrolit

c. Pola Eliminasi

Data Subjektif : Tidak ada perubahan dalam pola eliminasi


Data Objektif : Tampak tidak mengalami perubahan pada pola eliminasi

d. Pola Aktivitas dan Latihan

Data Subjektif : Pasien mengalami kelemahan otot, bayi tidak mampu bernafas
secara spontan saat lahir, tidak mampu bergerak secara aktif,

Data Objektif : Tampak pergerakan bayi kurang, semua aktivitas dibantu, sesak dan
sianonis.

e. Pola Tidur dan Istirahat

Data Subjektif : Pada asfiksia neonatus, bayi selalu ingin tidur, bayi tidak responsif
terhadap stimulus ringan, tetapi masih memberikan respon terhadap stimulus yang
agak keras kemudian tertidur lagi.

Data Objektif : Bayi tampak mengantuk, bayi terus tertidur.

f. Pola Presepsi Kognitif

Data Objektif : Tampak keadaan umum pasien lemah.

g. Pola Presepsi dan Konsep Diri

Data Objektif : Tampak pasien mengalami sianosis.

h. Pola Peran dan Hubungan dengan Sesama

Data Subjektif : Bayi ketergantungan terhadap orang tua dan perawat. Bayi
sebaiknya dilakukan rawat gabung dengan ibu jika kondisi memungkinkan.

Data Objektif : Tampak bayi di kunjungi keluarga

i. Pola Reproduksi dan Seksualitas

Data Subjektif : Pada pasien asfiksia neonatus tidak mengalami perubahan sistem
reproduksi

Data Objektif : Tampak tidak mengalami gangguan reproduksi

j. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress

Data Subjektif : Ketidaknyamanan karena hospitalisasi

Data Objektif : Tampak bayi rewel saat akan dilakukan tindakan keperawatan
k. Pola Sistem Nilai Kepercayaan

Data Subjektif : Tidak mengalami perubahan dalam nilai kepercayaan

Data Objektif : Tampak tidak mengalami perubahan dalam sistem nilai


kepercayaan.

2. Diagnosis Keperawatan Menurut Maternus (2018),

Diagnosis keperawatan pada asfiksia neonatus adalah sebagai berikut :

a. Pola nafas tidak efektif (D.0005) berhubungan dengan hambatan upaya nafas (mis.
nyeri saat bernafas, kelemahan otot pernafasan)

b. Gangguan pertukaran gas (D.0003) berhubungan dengan ketidakseimbangan


ventilasi-perfusi

c. Hipotermia (D.0131) berhubungan dengan berat badan ekstrim

d. Ketidakstabilan kadar glukosa darah (D.0027) berhubungan dengan gangguan


toleransi glukosa darah

e. Resiko infeksi (D.0142) dengan faktor resiko peningkatan paparan organisme


patogen lingkungan

3. Luaran Keperawatan dan Intervensi Keperawatan

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (mis. nyeri saat
bernafas, kelemahan otot pernafasan). Setelah dilakukan intervensi keperawatan
maka pola nafas membaik dengan kriteria hasil :

1) Dipsnea menurun

2) Pengguanaan otot bantu nafas menurun

3) Pemanjangan fase ekspirasi menurun

4) Frekuensi nafas membaik

Intervensi : Manajemen jalan nafas (I.01011)

Observasi

- Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)


R/ : untuk mengetahui frekuensi, kedalaman, usaha nafas

- Monitor bunyi nafas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing, ronkhi


kering)

R/ : untuk mengetahui bunyi nafas tambahan

- Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

R/ : untuk mengetahui adanya produksi sputum

Teraupetik

- Posisikan semi-fowler atau fowler

R/ : untuk memaksimalkan ekspansi paru, menurunkan kerja pernafasan.

- Berikan minum air hangat

R/ : untuk mengeluarkan secret

- Berikan oksigen, jika perlu

R/ : untuk mempertahankan kebutuhan oksigenasi

Edukasi

- Anjurkan asupan cairan 2000ml/ hari, jika tidak kontraindikasi

R/ : membantu mengencerkan sekret sehingga mudah dikeluarkan

Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspetoran, mukolitik, jika perlu.

R/ : untuk menurunkan kekentalan sekret dan meningkatkan diameter lumen


percabangan trakeabronkial serta untuk keterlibatan luas pada hipoksemia dan
bila reaksi inflamasi mengancam

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.


Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka pertukaran gas meningkat dengan
kriteria hasil :

1) Dipsnea menurun

2) Bunyi nafas tambahan menurun


3) PCO₂ membaik

4) PO₂ membaik

5) pH arteri membaik

6) Takikardia membaik

Intervensi : Pemantauan respirasi (I.01014)

Observasi

- Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya nafas

R/ : untuk mengetahui frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya nafas

- Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kussmeul,


cheyne-strokes, biot, atastik)

R/ : untuk mengetahui sejauh mana penurunan bunyi nafas serta memonitor pola
nafas

- Monitor saturasi oksigen

R/ : untuk mengetahui kebutuhan oksigen dalam darah

- Auskultasi bunyi nafas

R/ : mengetahui adanya bunyi nafas tambahan

- Monitor adanya produksi sputum

R/ : untuk mengetahui adanya produksi sputum

- Monitor nilai AGD

R/ : untuk mengetahui perubahan nilai analisa gas darah

- Monitor hasil x-ray toraks

R/ : mengetahui adanya perubahan atau kelainan pada hasil xray toraks

Teraupetik

- Atur intervasi pemantauan repirasi sesuai kondisi pasien

R/ : mengetahui perkembangan kondisi pasien


Edukasi - Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

R/ : memberikan informasi kepada pasien dan keluarga terkait tindakan yang


akan diberikan

- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

R/ : meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga mengenai kondisi terkait


masalah kesehatannya

c. Hipotermia berhubungan dengan berat badan ekstrim. Setelah dilakukan intervensi


keperawatan maka termoregulasi neonatus membaik dengan kriteria hasil :

1) Suhu tubuh cukup meningkat

2) Suhu kulit cukup meningkat

3) Pengisian kapiler cukup meningkat

Intervensi Manajemen hipotermia (I. 14507)

Observasi

- Monitor suhu tubuh

R/ : untuk mengetahui kenaikan atau menurunnya suhu tubuh

- Identifikasi hipotermia (mis. terpapar suhu lingkungan rendah, pakaian tipis,


kerusakan hipotalamus, penurunan laju metabolisme, kekurangan lemak
subkutan)

R/ : untuk mengetahui penyebab hipotermia

- Monitor tanda dan gejala akibat hipotermia ( hipotermia ringan : takipnea,


disartria, menggigil, hipertensi, diuresis, hipotermia sedang, aritmia, hipotensi,
apatis, koagulopati, refleks menurun; hipotermia berat : oliguria, refleks
menghilang, edema paru, asam-basah abnormal)

R/ : untuk mengetahui tanda dan gejala hipotermia

Teraupetik

- Sediakan lingkungan yang hangat (mis. atur suhu ruangan, inkubator)

R/ : untuk memberikan suhu lingkungan yang nyaman bagi pasien hipotermia


- Lakukan penghangatan pasif (mis. selimut, menutup kepala, pakaian tebal)

R/ : agar pasien tetap dalam keadaan hangat

- Lakukan penghangatan aktif internal (mis. infus cairan hangat, oksigen hangat,
lavase peritoneal dengan cairan hangat)

R/ : agar pasien tetap hangat

Edukasi

- Anjurkan makan/ minum hangat

R/ : untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan

d. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan gangguan toleransi


glukosa darah. Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka kestabilan kadar
glukosa darah meningkat dengan kriteria hasil:

1) Koordinasi cukup meningkat

2) Kadar glukosa dalam darah membaik

Intervensi Manajemen hipoglikemia (I.03115)

Observasi

- Identifikasi tanda dan gejala hipoglikemia

R/ : untuk mengetahui tanda dan gejala hipoglikemia

- Identifikasi kemungkinan penyebab hipoglikemia

R/ : untuk mengetahui penyebab terjadinya hipoglikemia

Teraupetik

- Berikan karbohidrat sederhana, jika perlu

R/ : untuk memberikan gula sederhana

- Berikan glukagon, jika perlu

R/ : untuk meningkatkan kadar gula darah

- Pertahankan akses IV, jika perlu


R/ : untuk memberikan cairan dextrose

Edukasi

- Anjurkan memonitor kadar gukosa darah

R/ : agar kadar gula darah tetap terkontrol

- Ajarkan pengelolaan hipoglikemia, faktor resiko (mis. tanda dan gejala, faktor
resiko, dan pengobatan hipoglikemia)

R/ : agar mengetahui faktor resiko terjadinya hipoglikemia

Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian dekstrose, jika perlu

R/ : untuk meningkatkan kadar glukosa darah

e. Resiko infeksi dengan faktor resiko peningkatan paparan organisme patogen


lingkungan. Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka tingkat infeksi menurun
dengan kriteria hasil :

1) Kebersihan badan meningkat

2) Kemerahan cukup menurun

3) Nyeri cukup menurun

4) Kadar sel darah putih cukup membaik

Intervensi Pencegahan infeksi (I.14539)

Observasi

- Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik

R/ : mengetahui tanda dan gejala infeksi

Teraupetik

- Batasi jumlah pengunjung

R/ : agar pasien tidur dengan nyenyak


- Cuci tangan sebelum dan dan sesudah kontak dengan pasien atau lingkungan
pasien

R/ : agar mengurangi terjadinya kontaminasi akibat bakteri

- Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi

R/ : untuk mencegah penyebaran/melindungi pasien dari proses infeksi

Edukasi

- Jelaskan tanda dan gejala infeksi

R/ : untuk mengetahui tanda dan gejala infeksi

- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar

R/ : agar mencegah transmisi mikroorganisme

- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi

R/ : untuk mempertahankan kebutuhan nutrisi

- Anjurkan meningkatkan asupan cairan

R/ : untuk mempertahankan kebutuhan cairan

Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu

R/ : agar pasien mendapatkan imunitas atau kekebalan tubuh

4. Discharge Planning

a. Menganjurkan kepada ibu untuk membawa anaknya ke puskesmas/ RS untuk di


imunisasi sesuai umur anaknya.

b. Menganjurkan kepada ibu untuk segera membawa anaknya ke RS/ dokter praktek
bila sakit.

c. Menganjurkan kepada ibu untuk menyusui bayinya sampai 6 bulan.

d. Menjelaskan kepada ibu pentingnya menjaga kelestarian tali pusat.

e. Menganjurkan kepada ibu mengganti popok bayi bila basah/ kotor


f. Menganjurkan ibu untuk memandikan bayi menggunakan air hangat (Yolanda L,
2018).

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, Fitri. (2016). Kejadian Asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir. Jakarta.

Aninda. (2018, Februari 20 ). IDA InfodariAnda Citizen Journalism Social Network.


Retrieved februari 2018, 2018, from infodarianda.com:
http://infodarianda.com/info/40004

Behrman, R.E., Kliegman, R. & Arvin, A.M.,2016. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
EGC.

Depkes RI.,2017, Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta.

Katiandagho, N & Kusmiyati. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan


kejadian asfiksia neonatorum. Jurnal Ilmiah Bidan, 3(2),28-38

Saifudin A.B. (2015). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. Jakarta :PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Sarosa, Gatot Irawan. (2015). Pengaruh asfiksia neonatal terhadap gangguan


pendengaran, vol.13, no.1, Juni 2015.

Sulaiman Sastrawinata DM, Firman F. Wirakusumah. Ilmu Kesehatan Reproduksi :


Obstetri Patologi. 2 ed. Jakarta: EGC; 2016

Anda mungkin juga menyukai