Kajian Akademis ULP
Kajian Akademis ULP
Kajian Akademis ULP
KAJIAN AKADEMIS
UNIT LAYANAN PENGADAAN
(ULP)
LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
2013
2
3
| i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................... i
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah...................................................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Kajian......................................................... 5
D. Metode ........................................................................................ 6
II. KAJIAN TEORITIS DAN NORMATIF...................................................... 7
A. Kajian Literatur............................................................................. 7
1. Organisasi dan Pengorganisasian............................................... 7
2. Teori Kontinjensi Struktural ......................................................11
3. Struktur dan Desain Organisasi.................................................12
4. Manajemen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah .......................20
B. Kajian Normatif Pembentukan ULP................................................22
C. Kerangka Konseptual Penyusunan Organisasi ULP .........................24
1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Desain Organisasi ULP .........27
2. Karakteristik Organisasi ULP.....................................................31
III. ANALISIS DESAIN ORGANISASI ULP PADA K/L/PEMDA/I .....................36
A. Beberapa Pola Organisasi Pengadaan ...........................................36
1. Pola Organisasi Pengadaan Pemerintah.....................................36
2. Organisasi Pengadaan Barang/Jasa Pada Sektor Swasta dan
Organisasi Internasional...........................................................39
3. Model organisasi pengadaan di negara lain ...............................42
B. Organisasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.............................49
a. Pengguna Anggaran (PA) .........................................................50
b. Kuasa Pengguna Anggaran.......................................................51
c. Pejabat Pembuat Komitmen .....................................................51
d. Unit Layanan Pengadaan dan Pejabat Pengadaan......................53
e. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan..................................57
f. Hubungan Kerja Antara ULP dan Pihak Lain dalam Pengadaan ...58
C. Kelembagaan Pemerintah Pusat dan Daerah .................................59
3
i
4
| ii
1. Kementerian Negara ................................................................59
2. Lembaga Setingkat Kementerian ..............................................63
3. Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) .........................68
4. Susunan Organisasi Pemerintah Daerah....................................70
5. Institusi...................................................................................72
D. Desain Organisasi dan Kedudukan ULP pada K/L/Pemda/I .............74
1. Struktur Organisasi ULP ...........................................................74
2. Kedudukan ULP Dalam Organisasi Pemerintah (K/L/Pemda/I) ....77
3. Besaran (size) Organisasi ULP ..................................................81
E. Hambatan Pembentukan Organisasi ULP pada K/L/Pemda/I ...........94
IV. P E N U T U P....................................................................................96
A. Kesimpulan .................................................................................96
B. Saran..........................................................................................97
ii
1
| 1
I. PENDAHULUAN
Bagi an i ni mengemukakan l atar bel akang secara umum dan
penti ngnya organi sasi Uni t Layanan Pengadaan (ULP), tuj uan
pengkaji an serta kegunaan pengkaji an.
A. Latar Belakang
Pengadaan merupakan salah satu fungsi penting pada organisasi
pemerintah, namun hingga saat ini kurang mendapatkan perhatian yang
memadai. Fungsi pengadaan saat ini masih ditangani secara ad-hoc oleh
panitia yang dibentuk dan bekerja secara temporer (tidak permanen).
Sistem seperti ini memiliki banyak kelemahan dan berakibat pada rendahnya
kinerja Pengadaan Barang/Jasa di instansi pemerintah pusat/daerah.
Rendahnya kinerja pengadaan pada gilirannya berdampak buruk terhadap
kinerja organisasi pemerintah termasuk layanan publik yang disediakan
kepada masyarakat.
Dalam prakteknya baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah
(K/L/Pemda/I), indikasi tersebut umumnya mudah dijumpai dalam
pelaksanaan tugas-tugas Panitia Pengadaan. Kelemahan-kelemahan dari
organisasi pengadaan yang masih ad-hoc adalah: (1) rawan pengaruh
kepentingan dan intervensi; (2) kemampuan dan kompetensi pelaksana
pengadaan sangat bervariasi; (3) profesionalitas tidak terjamin dan tidak
terukur; (4) pelaksanaan kurang fokus karena pelaksana masih merangkap
jabatan/kegiatan lain; (5) akumulasi keahlian, pengalaman, dan keterampilan
pelaksana tidak efektif; (6) tidak ada jaminan peningkatan karier di bidang
PBJP; (7) pengelolaan arsip, dokumentasi serta informasi tidak dapat
dilakukan dengan baik.
Kondisi tersebut mengakibatkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
sangat rawan terhadap terjadinya penyimpangan prosedur maupun
2
| 2
penyalahgunaan kewenangan yang berujung pada tindak pidana korupsi.
Secara kuantitas jumlah kasus korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa
dari tahun ke tahun relatif sangat besar, baik dari jumlah kasus yang terjadi
maupun jumlah kerugian keuangan negara. Berdasarkan data Bareskrim
Polri, hingga September 2012, sebanyak 353 kasus korupsi berhasil diungkap
penyidik Polri. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen diantaranya merupakan
temuan di bidang pengadaan barang dan jasa1. Data tersebut sinkron
dengan data KPK yang menyebutkan bahwa kasus korupsi terbanyak yang
ditangani oleh KPK sejak tahun 2004 sampai tahun 2012 adalah korupsi di
bidang pengadaan barang dan jasa (40,9 persen)2. Adapun secara kualitas
tindak pidana korupsi yang dilakukan juga semakin sistematis dan melingkupi
hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik yang melibatkan
Pemerintah Pusat, Daerah, Legislatif serta swasta yang terlibat dalam
Pengadaan Barang/Jasa. Beberapa kasus besar terkait pengadaan barang
dan jasa tersebut antara lain Kasus Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah
Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang (diindikasikan oleh BPK merugikan
keuangan negara sebesar Rp243.000.000.000,-), Kasus Pengadaan Simulator
SIM Polri (merugikan negara diatas Rp90.000.000.000,-), proyek pengadaan
Wisma Atlet Sea Games 2011 di Palembang (merugikan negara
Rp191.000.000.000,-), Pengadaan Sarana dan Prasarana PON XVIII Riau
(merugikan negara Rp500.000.000.000,-), dan beberapa kasus korupsi
lainnya.
Contoh tersebut di atas mengindikasikan bahwa sistem
penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat berjalan atau tidak akan berjalan
sebagaimana mestinya. Untuk itu diperlukan upaya untuk melakukan
pembaharuan atau perubahan terhadap sistem penyelenggaraan
pemerintahan (an sich sistem Pengadaan Barang/Jasa pemerintah) melalui
1
Kasubdit Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri Komisaris Besar Akhmad Wiyagus di
Menara Kadin, Jakarta, Senin, 24 September 2012, www.tempo.com,.
2
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, dalam Musyawarah Komisariat Wilayah Asosiasi
Pemerintah Kota Seluruh Indonesia 1 di Medan, 10 April 2012, http://www.kabar24.com
3
| 3
reformasi birokrasi untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik
(Good Governance and Clean Government). Untuk melaksanakan prinsip
Good Governance and Clean Government, maka Pemerintah harus
melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya
secara efisien, mewujudkannya dengan tindakan dan peraturan yang baik
dan adil, serta menjamin terciptanya interaksi ekonomi dan sosial antara
para pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan
akuntabel. Reformasi birokrasi telah menjadi salah satu agenda pokok
Pemerintah Republik Indonesia saat ini dengan melakukan perubahan dan
pembaharuan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup aspek
(1) kelembagaan, (2) ketatalaksanaan, dan (3) sumber daya
manusia/aparatur3.
Sumber : Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, Kementerian PAN dan RB, hal 33.
3
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Pedoman Umum,
Reformasi Birokrasi, hal 1 dan 33.
4
| 4
Berkaitan dengan upaya reformasi birokrasi di bidang pengadaan
barang dan jasa pemerintah, dari ketiga aspek yang menjadi ruang lingkup
reformasi birokrasi, maka aspek kelembagaan layanan pengadaan masih
menjadi kendala utama. Di bidang ketatalaksanaan, Pemerintah telah
menyederhanakan berbagai prosedur Pengadaan Barang/Jasa yang lebih
akuntabel dan transparan antara lain melalui penerapan sistem e-
procurement, e-purchasing, serta perbaikan regulasi dan prosedur
pengadaan. Sedangkan di bidang sumber daya manusia telah dilakukan
standardisasi kompetensi personil pengadaan melalui program sertifikasi
profesi Pengadaan Barang/Jasa pemerintah serta penetapan jabatan
fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 77 Tahun
2012).
Untuk mengatasi masalah kelembagaan pengadaan, Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (terakhir
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah) mengamanatkan dibentuknya ULP yang permanen,
dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Namun
demikian, hingga saat ini belum tersedia kajian organisasi pengadaan yang
dapat dijadikan acuan atau dasar bagi pembentukan ULP di
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi (K/L/Pemda/I). Untuk itu
diperlukan penyusunan kajian akademis pembentukan ULP yang hasilnya
dapat digunakan sebagai pedoman dan acuan bagi LKPP untuk memfasilitasi
pembentukan ULP di K/L/Pemda/I.
5
| 5
B. Perumusan Masalah
Dari permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan ULP
sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan dengan pertanyaan
sebagai berikut:
(1) Bagaimana kedudukan dan desain organisasi pengadaan yang ideal di
K/L/Pemda/I?
(2) Kendala apa saja yang mempengaruhi/menghambat pembentukan
organisasi pengadaan yang ideal di K/L/Pemda/I?
(3) Bagaimana mengatasi kendala/hambatan terkait dengan pembentukan
organisasi pengadaan yang ideal di K/L/Pemda/I?
C. Tujuan dan Kegunaan Kajian
Sesuai dengan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan
Kajian Akademik adalah sebagai berikut:
(1) Merumuskan kedudukan, desain (mencakup struktur), dan besaran
(eselonisasi) organisasi layanan pengadaan di K/L/Pemda/I; serta sistem
komunikasi, koordinasi, pengendalian, pembagian kerja, otoritas dan
tanggungjawab dalam rangka mencapai tujuan pengadaan dan tujuan
organisasi K/L/Pemda/I.
(2) Mengidentifikasi kendala/hambatan (regulasi, SDM, kultur, dan lain-lain)
dalam membentuk organisasi pengadaan yang ideal.
(3) Merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi kendala/hambatan
terkait dengan pembentukan organisasi pengadaan yang ideal.
Adapun kegunaan kajian akademis ini adalah untuk memberikan
masukan khususnya kepada Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
PAN dan RB, serta seluruh K/L/Pemda/I dalam rangka pembentukan ULP.
6
| 6
D. Metode
Dalam kajian ini, metode yang digunakan adalah studi dokumentasi,
Focussed Group Discussion (FGD), dan analisis deskriptif kualitatif. Studi
dokumentasi dan FGD digunakan untuk mengumpulkan data. Studi
dokumentasi atau biasa disebut dengan kajian dokumen merupakan teknik
pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian
dalam rangka memperoleh informasi terkait objek penelitian, yaitu dokumen
yang berkaitan dengan kelembagaan ULP. Sedangkan FGD adalah suatu
teknik pengumpulan data yang dimaksudkan untuk memperoleh data dari
suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu
permasalahan tertentu. FGD dilakukan dengan mengundang narasumber
yang berkompeten dalam bidang pembentukan kelembagaan ULP serta
melakukan studi empiris dengan metode komparasi terhadap beberapa ULP
di K/L/Pemda/I.
Adapun teknik analisis yang digunakan dalam kajian adalah analisis
deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang
menggunakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari obyek
kajian yang dapat dianalisis.
7
| 7
II. KAJIAN TEORITIS
DAN NORMATIF
Bagi an i ni beri si urai an tentang kaji an l i teratur (l i terature
revi ew) tentang teori /konsep serta peraturan dan dasar hukum
yang rel evan dengan studi /kaji an yang di l akukan.
A. Kajian Literatur
1. Organisasi dan Pengorganisasian
Organisasi pada dasarnya memiliki dua arti umum, yaitu pertama,
mengacu pada lembaga (institusi) atau kelompok fungsional. Contohnya
adalah organisasi, badan pemerintah, rumah sakit atau suatu perkumpulan
olahraga. Arti kedua mengacu kepada proses pengorganisasian yang
merupakan suatu cara pengaturan pekerjaan dan pengalokasian pekerjaan
diantara para anggota organisasi sehingga tujuan organisasi dapat dicapai
secara efisien, sebagai salah satu fungsi manajemen. Merujuk kepada
pengertian tersebut, selanjutnya diuraikan konsep tentang organisasi dan
pengorganisasian.
Organisasi merupakan suatu bentuk kerjasama sekelompok manusia di
bidang tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Etzioni,1969).
Sementara itu, Henry (1988) mengemukakan bahwa organisasi merupakan
suatu koneksitas manusia yang kompleks dan dibentuk untuk tujuan
tertentu, dimana hubungan antara anggotanya bersifat resmi (impersonal),
ditandai oleh aktivitas kerjasama, terintegrasi dalam lingkungan yang lebih
luas, memberikan pelayanan dan produk tertentu, dan tanggungjawab
terhadap hubungan dengan lingkungannya.
Sifat abstrak organisasi menyebabkan organisasi dapat didefinisikan
dengan berbagai macam cara, sesuai dengan sudut pandang dan latar
8
| 8
belakang masing-masing peneliti. Malayu (2003) mengatakan bahwa
Organisasi adalah suatu sistem perserikatan formal dari dua orang atau
lebih yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan
menurut Robbins (1994), Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang
dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat
diidentifikasi, yang bekerja secara terus-menerus untuk mencapai suatu
tujuan bersama atau sekelompok tujuan.
Adapun Barnard (dalam Thoha,1996) menyatakan bahwa Organisasi
ialah suatu sistem kegiatan-kegiatan yang terkoordinir secara sadar, atau
suatu kekuatan dari dua manusia atau lebih. Dari pengertian tersebut,
Barnard menguraikan lebih rinci tentang unsur-unsur kekayaan dari suatu
organisasi, antara lain:
a. Organisasi terdiri dari serangkaian kegiatan yang dilaksanakan melalui
suatu proses kesadaran, kesengajaan, dan koordinasi untuk mencapai
suatu tujuan;
b. Organisasi merupakan kumpulan dari orang-orang untuk melaksanakan
kegiatan untuk mencapai suatu tujuan;
c. Organisasi memerlukan adanya komunikasi, yakni suatu hasrat dari
sebagian anggotanya untuk mengambil bagian pencapaian tujuan
bersama anggota lainnya. Dalam hal ini penekanannya kepada peranan
seseorang dalam organisasi, diantaranya ada sebagian anggota yang
harus diberi informasi atau dimotivasi, dan sebagian lainnya yang harus
membuat keputusan.
Suradinata (1996) mengemukakan bahwa organisasi merupakan
tempat/wadah yang bersifat lebih statis, sedangkan sebagai proses bersifat
lebih dinamis. Karena dinamikanya, aktivitas, tindakan, dan hubungan yang
terjadi dalam organisasi dapat bersifat formal, nonformal, atau informal,
misalnya aktivitas hubungan atasan-bawahan, sesama atasan dan sesama
bawahan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia berperan sebagai faktor
utama dalam organisasi untuk menentukan berhasil tidaknya suatu tujuan.
9
| 9
Sebagai tempat melakukan pekerjaan setiap orang harus jelas tugas dan
tanggung jawabnya, hubungan dan tata kerjanya. Berdasarkan pengertian
tersebut, Suradinata mengemukakan ciri-ciri organisasi adalah sebagai
berikut:
a. Adanya dua orang atau lebih yang telah mengenal;
b. Adanya kegiatan yang berbeda namun berkaitan satu dengan lainnya
dan satu kesatuan usaha untuk mencapai tujuan bersama;
c. Setiap anggota organisasi mempunyai sumbangan pemikiran/tenaga;
d. Adanya pembagian tugas, fungsi dan kewenangan serta pengawasan;
e. Adanya mekanisme kerja;
f. Adanya tujuan yang ingin dicapai.
Dari pendapat ahli yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa organisasi merupakan suatu kesatuan dari sekelompok orang yang
dibentuk secara sengaja yang bekerja sama secara sistematis dan terus-
menerus dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Agar tugas pokok
dan fungsi organisasi dapat terlaksana dengan baik, maka dalam
penyusunan organisasi perlu didasari asas-asas pengorganisasian yang tepat
sesuai dengan kebutuhan perubahan lingkungan baik internal maupun
eksternal. Sutarto (2002) mengemukakan sebelas asas pengorganisasian
sebagai berikut:
a. Perumusan tujuan yang jelas;
b. Departemenisasi;
c. Pembagian kerja;
d. Koordinasi;
e. Pelimpahan wewenang;
f. Rentang kendali;
g. Jenjang organisasi;
h. Kesatuan perintah;
i. Fleksibilitas;
j. Berkelangsungan;
10
| 10
k. Kesinambungan.
Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan organisasi
modern, bahwa setiap organisasi harus memiliki visi dan misi yang jelas.
Misi dan tujuan setiap organisasi publik adalah memuaskan para pihak yang
berkepentingan melalui pelayanan publik yang berkualitas.
Menurut Stoner (1996) terdapat 5 (lima) langkah dalam proses
pengorganisasian, yaitu:
1. Merinci seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai
tujuan organisasi.
2. Membagi beban kerja ke dalam kegiatan-kegiatan yang secara logis dan
memadai dapat dilakukan oleh seseorang.
3. Mengkombinasi pekerjaan anggota organisasi dengan cara yang logis dan
efisien.
4. Menetapkan mekanisme pengkoordinasian pekerjaan anggota organisasi
dalam satu kesatuan yang harmonis.
5. Memantau efektivitas organisasi dan mengambil langkah-langkah
penyesuaian untuk mempertahankan atau meningkatkan efektivitas.
Adapun menurut Certo (1994), proses pengorganisasian meliputi
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melaksanakan refleksi tentang rencana-rencana dan sasaran-sasaran.
2. Menetapkan tugas pokok.
3. Membagi tugas-tugas pokok menjadi tugas-tugas bagian (subtasks).
4. Mengalokasi sumber daya untuk tugas-tugas bagian.
5. Mengevaluasi hasil-hasil dari strategi pengorganisasian yang
diimplementasikan.
Menurut Handoko (1999) proses pengorganisasian dapat ditunjukkan
dengan 3 (tiga) langkah prosedur sebagai berikut:
1. Pemerincian seluruh kegiatan yang harus dilaksanakan untuk mencapai
tujuan organisasi.
11
| 11
2. Pembagian beban pekerjaan total menjadi kegiatan-kegiatan yang secara
logis dapat dilaksanakan oleh satu orang. Pembagian kerja ini sebaiknya
tidak terlalu berat atau tidak juga terlalu ringan.
3. Pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk
mengkoordinasikan pekerjaan para anggota organisasi menjadi kesatuan
yang terpadu dan harmonis.
2. Teori Kontinjensi Struktural
Structural conti ngency theory berkembang pesat sekitar tahun
1960, lahir dari teori manajemen klasik. Menurut Breeh (1957) (dalam Lex
Donaldson, 1995) sampai kira-kira akhir tahun 1950an, teori kontinjensi
struktural didominasi oleh teori manajemen klasik, yang menyatakan bahwa
ada satu struktur terbaik bagi organisasi. Perpaduan ini menghasilkan sintesa
teori kontinjensi/ketidakpastian struktural, dimana struktur yang terbentuk
pada sebuah organisasi dapat menjadi terdesentralisasi atau sebaliknya
menjadi struktur yang lebih partisipatoris, bergantung pada situasi.
Teori kontinjensi struktural merupakan paradigma yang berorientasi
pada hipotesis umum bahwa organisasi harus berorientasi pada kebutuhan
internal utamanya dan harus dapat beradaptasi dengan baik dalam
lingkungannya (Scott, 1983). Lawrence dan Lorsch (1967) mengatakan
bahwa ketidakpastian dan perubahan lingkungan akan sangat
mempengaruhi perkembangan pada struktur internal organisasi.
Untuk lebih menjelaskan hal ini, terdapat berbagai penelitian yang
mendukung antara lain yang dilakukan oleh Woodward (1958, 1965) dalam
Donaldson (1995), yang menyatakan bahwa pada keadaan spesifik, derajat
formalisasi dan sentralisasi yang optimal pada organisasi merupakan fungsi
dari pengoperasian teknologi, tingkat perubahan lingkungan (Burns and
Stalker, 1961), dan besaran (size) (Pugh, 1969).
12
| 12
3. Struktur dan Desain Organisasi
Esensi dari suatu organisasi adalah bagaimana pembagian tugas-tugas
dan koordinasi pelaksanaannya oleh setiap unit/pegawai untuk mencapai
tujuan organisasi (Mintzberg, 1976).
Struktur organisasi adalah pola tentang hubungan antara berbagai
komponen dan bagian organisasi. Pada organisasi formal, struktur
direncanakan dan berfungsi untuk menetapkan pola hubungan antara
berbagai komponen sehingga dapat mencapai sasaran secara efektif.
Sedangkan pada organisasi informal, struktur organisasi adalah aspek sistem
yang tidak direncanakan dan muncul secara spontan akibat interaksi
anggota. Pada umumnya, orang akan menganggap struktur sama dengan
desain organisasi. Sesungguhnya desain organisasi merupakan proses
perkembangan hubungan dan penciptaan struktur untuk mencapai tujuan
organisasi. Jadi, struktur merupakan hasil dari proses desain. Proses desain
merupakan suatu kegiatan yang bersifat kontinyu dan dirancang oleh
pimpinan organisasi. Apapun bentuk atau hasil dari proses desain tersebut,
para perancang desain organisasi harus merancang sebuah organisasi yang
dapat membuat organisasi tersebut tetap bertahan hidup. Selain itu
pemilihan desain organisasi akan menentukan besar kecilnya organisasi.
Menurut Robbins (1994), struktur organisasi berakar pada pengakuan
organisasi terhadap kebutuhan untuk mengkoordinasikan pola interaksi para
anggota organisasi secara formal. Struktur organisasi menentukan
pembagian tugas , mekanisme pelaporan, dan mekanisme koordinasi formal
serta pola interaksi yang akan diikuti. Dengan pemahaman demikian,
Robbins membagi struktur organisasi ke dalam tiga komponen sebagai
berikut: kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi.
a. Kompleksitas
Kompleksitas berhubungan dengan pertimbangan tingkat diferensiasi
yang ada dalam organisasi. Termasuk di dalamnya tingkat spesialisasi atau
13
| 13
tingkat pembagian kerja, jumlah tingkatan dalam hierarki, serta sejauh mana
unit-unit organisasi tersebar secara geografis.
Elemen-elemen utama dari kompleksitas yaitu diferensiasi horizontal,
diferensiasi vertikal, dan diferensiasi spasial. Diferensiasi horizontal merujuk
pada tingkat diferensiasi antara unit-unit berdasarkan orientasi para
anggotanya, sifat dari tugas yang mereka laksanakan, dan tingkat
pendidikan serta pelatihannya. Diferensiasi vertikal merujuk pada kedalaman
struktur. Diferensiasi dan kompleksitas meningkat sejalan dengan
bertambahnya tingkatan hierarki dalam organisasi. Diferensiasi spasial
merujuk pada tingkat persebaran lokasi organisasi dan personalia.
b. Formalisasi
Formalisasi berhubungan dengan sejauh mana tingkat organisasi
bergantung pada peraturan dan prosedur yang mengatur perilaku para
pegawainya. Formalisasi adalah suatu ukuran tentang standardisasi.
Standardisasi perilaku dipakai untuk mengendalikan keanekaragaman.
Teknik-teknik formalisasi antara lain: seleksi, kualifikasi, peraturan, prosedur,
kebijakan, dan pelatihan.. Teknik-teknik formalisasi ini digunakan untuk
mengidentifikasi para individu yang sesuai dan membuktikan loyalitas dan
komitmen mereka terhadap organisasi.
c. Sentralisasi
Sentralisasi berhubungan dengan penempatan pusat pengambilan
keputusan,dimana sentralisasi dan desentralisasi merupakan ujung dari
sebuah rangkaian kesatuan (continuum). Sentralisasi adalah unsur yang
paling kompleks dalam pembentukan struktur organisasi.
Kompleksitas dan sentralisasi memiliki hubungan yang berbanding
terbalik. Semakin tinggi tingkat kompleksitas, maka desentralisasi cenderung
menjadi semakin tinggi. Pada praktiknya, keterkaitan antara kompleksitas
dan sentralisasi dapat dicontohkan dengan semakin terlatihnya seorang
14
| 14
karyawan maka ia akan memperoleh porsi desentralisasi yang lebih besar.
Sementara itu, semakin besar sentralisasi keputusan tentang pekerjaan,
maka semakin kecil kemungkinan para pegawai menjalani pelatihan
profesional.
Penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara sentralisasi dan
formalisasi tidak begitu jelas/kuat dibandingkan dengan hubungan antara
sentralisasi dan kompleksitas. Penelitian juga menjelaskan adanya hubungan
yang negatif antara kedua komponen tersebut; artinya ketika suatu
organisasi mempunyai formalisasi yang tinggi maka sentralisasi rendah.
Dalam kerangka kerja organisasi, Henry Mintzberg mengemukakan
bahwa ada 5 (lima) bagian dasar (elemen) organisasi yaitu :
1. The Operating Core. Yang termasuk disini adalah para pegawai yang
melaksanakan pekerjaan dasar yang berhubungan dengan produksi
barang dan jasa.
2. The Strategic Apex. Yang termasuk di dalam bagian ini adalah manajer
tingkat puncak (top management).
3. The Middle Line. Yang termasuk di dalam bagian ini adalah para manajer
yang menjembatani manajer tingkat atas dengan bagian operasional.
4. The Technostructure. Yang termasuk dalam bagian ini adalah mereka
yang diserahi tugas untuk menganalisa dan bertanggung jawab terhadap
bentuk standardisasi dalam organisasi.
5. The Support Staff. Yang termasuk disini adalah orang-orang yang
memberi jasa pendukung tidak langsung terhadap organisasi (orang-
orang yang mengisi unit staf).
15
| 15
Gambar 2.1 Lima Elemen Dasar Organisasi
4
Salah satu dari kelima bagian dasar (elemen) tersebut dapat
mendominasi sebuah organisasi, bergantung pada bagian mana yang
dikontrol, maka ada konfigurasi tertentu yang digunakan. Jadi, menurut
Mintzberg, secara garis besar terdapat 5 (lima) macam desain organisasi,
dimana masing-masing dihubungkan dengan dominasi oleh salah satu dari
kelima bagian dasar (elemen) tersebut, yaitu:
a) Desain organisasi yang berupa struktur sederhana didominasi oleh
strategic apex dan memiliki tingkat sentralisasi yang sangat tinggi dalam
melakukan kontrol. Struktur sederhana bersifat simpel tetapi terbatas
penggunaannya, yakni pada organisasi yang kecil ukurannya. Desain
organisasi ini memiliki kelemahan tidak dapat digunakan dalam organisasi
yang kompleks, paling berisiko karena kepemimpinan tersentralisasi,
tergantung pada satu orang saja.
b) Desain organisasi berupa birokrasi mesin didominasi oleh para
technostructure dan kontrol yang dilakukan melalui standardisasi.
Struktur tipe ini mampu menampilkan aktivitas yang terstandardisasi
dengan tindakan yang sangat efisien. Struktur tipe ini efektif digunakan
4
Henry Mintzberg, Structure in Fives: Designing Effective Organization, 1983, Hal 170.
16
| 16
pada organisasi yang menggunakan teknologi mesin dalam melaksanakan
kegiatannya, sehingga mudah distandardisasi, lingkungannya simpel dan
stabil, serta dapat digunakan pada organisasi besar.
c) Desain organisasi berupa birokrasi profesional memiliki konsep kunci,
yaitu mengkombinasikan standardisasi dan desentralisasi. Operating core
mendominasi desain organisasi ini karena mereka memiliki keahlian kritis
yang diperlukan organisasi, dan mereka memiliki otonomi untuk
menerapkan keahlian mereka, sehingga konsep kunci desain ini dapat
terlaksana. Kelebihan struktur ini dapat menampilkan tugas secara
terspesialisasi dan efisien secara bersama. Struktur ini biasanya dipakai
pada organisasi besar dengan lingkungan yang kompleks dan stabil,
menggunakan teknologi rutin, yang berinternalisasi melalui
profesionalisme.
d) Desain organisasi yang berupa struktur divisional yang didominasi oleh
manajer tingkat menengah. Struktur ini terdiri dari kesatuan yang terdiri
dari unit-unit yang memiliki otonomi tinggi dan masing-masing unit
birokrasi mesin dan dikoordinasi oleh masing-masing kepala divisi
(manajer tingkat menengah). Kepala divisi bertanggung jawab terhadap
produk dan jasa secara penuh. Tipe ini cocok digunakan dalam organisasi
yang melaksanakan diversifikasi produk dan jasa secara penuh serta
produk dan pasar yang beraneka ragam. Lingkungan yang cocok untuk
struktur jenis ini adalah lingkungan yang simpel dan stabil.
e) Desain organisasi adhocracy bersifat sangat fleksibel, standardisasinya
rendah, dan sangat terdesentralisasi. Hierarkinya rendah tetapi
departementalisasinya sangat tinggi. Struktur jenis ini hampir sama
dengan birokrasi-birokrasi profesional, karena keduanya mempekerjakan
orang-orang profesional. Struktur ini menggunakan teknologi nonrutin,
cocok untuk organisasi dengan lingkungan yang sering berubah dan
memiliki risiko yang tinggi. Kekuasaan pada struktur ini tidak berdasarkan
posisi seseorang, tetapi berdasarkan keahlian yang dimiliki. Panitia
17
| 17
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah memiliki struktur organisasi jenis
adhocracy ini.
Seperti yang telah diuraikan di atas, hal penting lainnya setelah struktur
organisasi dibuat adalah koordinasi antarpegawai/unit kerja untuk mencapai
tujuan organisasi. Mintzberg (1976) mengemukakan bahwa ada beberapa
bentuk koordinasi yang dilakukan, yaitu:
1. Mutual adjusment (saling Menyesuaikan)
Mutual adjusment dilakukan dengan proses koordinasi yang sangat
sederhana di mana setiap pelaku/pekerja melakukan komunikasi
informal untuk menyesuaikan pekerjaan mereka. Koordinasi saling
menyesuaikan ini umumnya dilakukan di dalam organisasi yang kecil
dengan aktivitas yang sederhana. Adapun model koordinasi saling
menyesuaikan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan:
M = Manajer A = Analis O= operator
2. Pengawasan Langsung (Direct Supervision)
Koordinasi dengan bentuk pengawasan langsung dilakukan dengan
menunjuk satu orang yang bertugas melakukan koordinasi pekerjaan
pegawai/unit kerja. Orang yang ditunjuk tersebut dapat memberikan
perintah dan memonitor pekerjaan seluruh pekerja yang menjadi
tanggung jawabnya. Bentuk koordinasi ini dibutuhkan pada saat
koordinasi informal antar individu (mutual adjusment) tidak mungkin
M
A
O O
18
| 18
dilakukan lagi karena semakin banyaknya pekerja yang mengerjakan
tugas masing-masing yang berbeda dan saling terkait. Adapun bentuk
koordinasi pengawasan langsung ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
Keterangan :
M = Manajer A = Analis O= operator
3. Standardisasi
Koordinasi juga dapat dilakukan dengan membuat standar yang
digunakan untuk bekerja. Setiap orang bekerja sesuai dengan standar
yang sudah ditetapkan. Dengan standardisasi, maka koordinasi yang
dilakukan melalui komunikasi sudah tidak begitu diperlukan lagi.
Setiap pekerjaan disusun standarnya sebagai pedoman/acuan bagi
setiap pegawai dalam melaksanakan pekerjaan. Koordinasi dalam
bentuk standardisasi ini dapat dibagi ke dalam 3 cara yaitu:
a. Standardisasi proses kerja
Proses kerja dapat distandardisasi ketika isi pekerjaan tersebut
dispesifikasikan atau diprogramkan. Bentuk koordinasi ini
dilakukan dengan membuat standar bagaimana proses kerja dan
isi pekerjaan harus dilaksanakan oleh setiap pegawai sesuai
dengan pekerjaannya masing-masing. Standardisasi proses kerja
dengan sendirinya membuat pekerjaan berjalan harmonis antara
satu pegawai dan pegawai lainnya. Dengan standardisasi proses
M
A
O O
19
| 19
kerja, maka pegawai tahu dengan pasti apa yang harus
dikerjakannya dan apa yang harus dikerjakan oleh pegawai
lainnya pada setiap proses kerja.
b. Standardisasi Keluaran (output)
Keluaran (output) distandardisasi ketika hasil pekerjaan dapat
ditetapkan dengan jelas ukurannya. Dalam penyusunan unit-unit
kompetensi, tim penyusun tidak perlu diberitahu cara
menyusunnya, namun hanya perlu dijelaskan standar
kompetensi bidang apa yang perlu disusun.
c. Standardisasi keahlian
Standardisasi keahlian sangat perlu dilakukan ketika koordinasi
melalui pengawasan langsung, standardisasi pekerjaan maupun
standardisasi produk tidak mungkin dilakukan. Standardisasi
keahlian dilakukan dengan cara memilih orang yang mempunyai
keahlian yang sesuai dengan pekerjaannya atau dengan melatih
seseorang sebelum dia melaksanakan pekerjaan sehingga dia
mempunyai keahlian untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
Standardisasistandardisasi
Adapun bentuk koordinasi standardisasi tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
M
A
O O
Input
Skills
Work
Processes
Outpus
20
| 20
4. Manajemen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pengadaan Barang/Jasa merupakan salah satu fungsi manajemen yang
penting, baik di sektor swasta maupun di sektor publik (pemerintah). Namun
di sektor pemerintah, fungsi pengadaan menjadi lebih penting karena
semakin besarnya tuntutan publik terhadap pelayanan yang dihasilkan dari
proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta semakin besarnya
anggaran pemerintah yang dibelanjakan melalui proses pengadaan.
Penyelenggaraan manajemen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di
Indonesia, perkembangannya dapat dilihat secara historikal dimulai dari
lahirnya era reformasi yang mengakhiri rezim orde baru. Manajemen
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia saat ini diatur dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 jo Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012. Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah menurut peraturan presiden tersebut dibagi ke dalam 2 (dua)
kelompok besar yaitu Pengadaan Barang/Jasa melalui penyedia barang/jasa
dan Pengadaan Barang/Jasa melalui swakelola. Adapun siklus manajemen
Pengadaan Barang/Jasa melalui penyedia barang/jasa diatur sebagai
berikut:
a. Penyusunan rencana umum Pengadaan Barang/Jasa,
b. Pengumuman rencana umum;
c. Penyusunan rencana pelaksanaan pengadaan;
d. Pengumuman seleksi/lelang penyedia barang/jasa;
e. Pendaftaran peserta seleksi/lelang;
f. Evaluasi kualifikasi peserta lelang/seleksi (prakualifikasi)
g. Penjelasan pelaksanaan seleksi/lelang penyedia barang/jasa;
h. Pemasukan penawaran;
i. Evaluasi penawaran (administrasi, teknis dan harga);
21
| 21
j. Evaluasi kualifikasi peserta (Pascakualifikasi).
k. Penetapan pemenang;
l. Penunjukan penyedia barang/jasa;
m. Penandatanganan kontrak;
n. Pelaksanaan kontrak;
o. Penyelesaian kontrak (serah terima).
Siklus manajemen Pengadaan Barang/Jasa pemerintah tersebut
dilaksanakan oleh beberapa pihak, yaitu :
a. Pengguna anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA);
b. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
c. Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan;
d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.
PA/KPA bertanggung jawab pada proses perencanaan umum berupa
penetapan paket pekerjaan, jadwal pelaksanaan, penetapan PPK,
pengawasan pelaksanaan anggaran dan penetapan pemenang untuk
kegiatan dengan nilai di atas Rp100.000.000.000,- untuk selain jasa
konsultansi dan di atas Rp10.000.000.000,- untuk jasa konsultansi. PPK
bertanggung jawab untuk menyusun rencana pelaksanaan pengadaan
(penetapan spesifikasi teknis, HPS dan menyusun rancangan kontrak),
penerbitan surat penunjukan, dan melaksanakan kontrak sampai dengan
selesainya pelaksanaan pekerjaan (serah terima hasil pekerjaan).
ULP/Pejabat pengadaan mempunyai tugas melaksanakan seluruh proses
seleksi/lelang mulai dari pengumuman sampai penetapan pemenang.
Sementara itu, panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan bertugas menerima
hasil pekerjaan dengan memeriksa kuantitas dan kualitas hasil pekerjaan
sesuai dengan kontrak.
22
| 22
Pada pelaksanaan pengadaan dengan pola swakelola, PA/KPA, PPK, dan
Panitia/Pejabat penerima hasil pekerjaan mempunyai tugas yang sama
dengan tugas pada pengadaan melalui penyedia barang/jasa kecuali ULP
yang tidak dibentuk untuk pelaksanaan swakelola, namun apabila ada bagian
pekerjaan dari kegiatan swakelola yang memerlukan Pengadaan Barang/Jasa
yang tidak bisa dikerjakan sendiri maka tetap dilakukan oleh ULP/Pejabat
pengadaan.
B. Kajian Normatif Pembentukan ULP
Pembentukan ULP diamanatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana yang
telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Di dalam ketentuan tersebut
diatur hal-hal sebagai berikut:
a. Pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa Unit Layanan Pengadaan yang
selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang
berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat
permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.
b. Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa Kementerian/Lembaga/Pemerintah
Daerah/Institusi diwajibkan mempunyai ULP yang dapat memberikan
pelayanan/pembinaan di bidang Pengadaan Barang/Jasa, dan ayat (2)
disebutkan bahwa ULP pada Kementerian/Lembaga/Pemerintah
Daerah/Institusi dibentuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala
Daerah/Pimpinan Institusi.
c. Selanjutnya, penjelasan Pasal 14 Perpres Nomor 70 Tahun 2012
disebutkan bahwa jumlah ULP di masing-masing K/L/D/I disesuaikan
dengan rentang kendali dan kebutuhan. ULP dapat dibentuk setara
dengan eselon II, eselon III, atau eselon IV sesuai dengan kebutuhan
K/L/D/I dalam mengelola Pengadaan Barang/Jasa.
23
| 23
Selain regulasi sebagaimana tersebut di atas, Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah mengeluarkan Surat Edaran
Nomor 02 Tahun 2012 tentang Kebijakan Kelembagaan Penanganan Tugas
dan Fungsi Layanan Pengadaan Barang/Jasa dan Layanan Pengadaan
Barang/Jasa Secara Elektronik. Surat Edaran tersebut mengatur tiga hal
yaitu:
i. Tugas dan fungsi di bidang layanan pengadaan (ULP) dilekatkan/
diintegrasikan pada unit struktural yang secara fungsional melaksanakan
tugas dan fungsi di bidang Pengadaan Barang/Jasa;
ii. Tugas dan fungsi di bidang layanan Pengadaan Barang/Jasa secara
elektronik (LPSE) dilekatkan/diintegrasikan pada unit struktural yang
secara fungsional melaksanakan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan
data dan/atau pengelolaan teknologi informasi; dan
iii. Apabila dipandang perlu, tugas dan fungsi di bidang pelayanan
pengadaan dan tugas dan fungsi di bidang layanan Pengadaan
Barang/Jasa secara elektronik, dapat diwadahi dalam unit struktural
tersendiri yang pembentukannya tetap berpedoman kepada peraturan
perundang-undangan yang mengatur kelembagaan pemerintah.
Dalam praktiknya, saat ini terdapat beberapa variasi bentuk organisasi
ULP, baik di Pemerintah Pusat maupun di Daerah. Hal tersebut disebabkan
oleh belum adanya ketentuan teknis tentang pembentukan ULP, walaupun
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mewajibkan
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi membentuk ULP paling
lambat pada tahun anggaran 2014.
Berkaitan dengan pembentukan ULP sebagai Lembaga Lain di luar
Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Daerah, ketentuan Peraturan Presiden
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah pada Pasal 45
ayat (1) menyebutkan bahwa Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi
sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tugas
pemerintahan umum lainnya, pemerintah daerah dapat membentuk lembaga
24
| 24
lain sebagai bagian dari perangkat daerah. Lebih lanjut ayat (2)
menyebutkan bahwa Organisasi dan tata kerja serta eselonisasi lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri
setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
C. Kerangka Konseptual Penyusunan Organisasi ULP
Hasil penelitian CAPS (Center for Advanced Purchasing Studies) dan
FAU-NIGP (Florida Atlantic University-National Institute of Governmental
Purchasing) pada tahun 1995 terhadap sektor swasta dan sektor publik
mengenai peran dan tanggungjawab organisasi pengadaan, menemukan
bahwa pada sektor publik umumnya memiliki kecenderungan lebih menyukai
bentuk organisasi yang terpusat (centralized organization) dan model
campuran (hybrid), dibandingkan bentuk organisasi yang terdesentralisasi
(decentralized organization). Hasil penelitian lainnya menyatakan bahwa
Pengadaan Barang/Jasa pada organisasi publik menunjukkan porsi yang jauh
lebih kecil dari total anggaran, dan pembelian sebagian besar berhubungan
dengan belanja tidak langsung. Namun demikian, pada sektor publik dengan
sistem yang sentralistik melalui model organisasi campuran (hybrid),
sebagian kegiatan Pengadaan Barang/Jasanya didesentralisasikan. Hal ini
dilakukan berkaitan dengan isu peningkatan kualitas pelayanan publik
5
.
Berkaitan dengan bentuk organisasi pengadaan pemerintah, kajian
literatur Glock dan Hochrein merumuskan tentang kerangka konseptual
penyusunan organisasi pengadaan di sektor publik dan sektor privat6.
Dengan didasari pemikiran teori kontinjensi struktural, pembentukan struktur
organisasi pengadaan dimulai dari adanya pengaruh lingkungan eksternal
5
Ibid, hal. 62-63.
6
Christoph H. Glock dan Simon Hochrein, Purchasing Organization and Design: A Literature
Review, Official Open Access Journal of VHB German Academic Association for Business
Research (VHB), hal. 151-153
25
| 25
dan internal organisasi. Pada sektor privat, pembentukan struktur organisasi
pengadaan tergantung pada faktor-faktor antara lain: karakteristik
organisasi, karakteristik produk, serta situasi proses pengadaan. Adapun
pada sektor publik, struktur organisasi pengadaan dipengaruhi oleh
lingkungan organisasi yang merupakan faktor eksternal organisasi.
Pembentukan struktur organisasi pengadaan baik pada sektor privat
maupun sektor publik, dipengaruhi oleh variabel-variabel berupa
standardisasi, keterlibatan (involvement), spesialisasi, konfigurasi,
formalisasi, dan desentralisasi/sentralisasi. Adapun bentuk-bentuk organisasi
pengadaan pada organisasi sektor privat berdasarkan pendekatan teori
kontinjensi struktural tersebut adalah (1) sourcing team, (2) commodity
management, (3) international procurement offices, dan (4) cooperative
sourcing (purchasing group). Sedangkan bentuk-bentuk organisasi
pengadaan pada organisasi sektor publik adalah (1) sourcing team, (2)
commodity management, dan (3) intergovernmental cooperative sourcing
(public purchasing group). Kerangka konseptual tersebut dapat dilihat pada
gambar berikut:
26
| 26
Gambar 2.3 : Kerangka Konseptual Penyusunan Struktur Organisasi Pengadaan
pada Sektor Privat dan Sektor Publik
7
Dalam konteks penyusunan struktur organisasi ULP, kerangka
konseptual di atas selanjutnya menjadi pedoman dalam penyusunan struktur
organisasi ULP, mengingat dalam kajian ini ruang lingkup hanya mencakup
organisasi publik, tidak termasuk organisasi privat. Berdasarkan kerangka
konseptual di atas, maka untuk kepentingan kajian pembentukan struktur
organisasi ULP digunakan kerangka konseptual yang lebih sederhana
sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut.
7
Ibid, hal. 153
27
| 27
Gambar 2.4 : Kerangka konseptual penyusunan struktur organisasi ULP pada
K/L/Pemda/I
Penjelasan dari kerangka konseptual di atas selanjutnya diuraikan
sebagai berikut:
1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Desain Organisasi ULP
Untuk mendesain suatu struktur organisasi terdapat beberapa faktor
dan langkah yang harus diidentifikasi dan dianalisis yang meliputi aspek
internal dan eksternal pemerintah. Aspek internal meliputi faktor karakteristik
organisasi pemerintah, karakteristik barang/jasa pemerintah serta perilaku
atau kondisi pengadaan dalam birokrasi pemerintah. Sementara itu aspek
eksternal meliputi mekanisme persediaan dan permintaan serta kapasitas
penyedia barang/jasa .
a. Karakteristik birokrasi pemerintah
Sebagaimana di negara lain, ada beberapa karakteristik utama dari
organisasi pemerintah antara lain bekerja berdasarkan aturan (rule-
driven bureaucracy). Keberhasilan tugas pemerintahan di Indonesia saat
ini diukur dari apakah tugas tersebut sudah dilaksanakan sesuai aturan
28
| 28
atau belum. Pencapaian output atau benefit dari suatu tugas/kegiatan
menjadi aspek berikutnya yang meskipun menjadi indikator keberhasilan
birokrasi, namun urgensinya berada di bawah ketaatan terhadap aturan.
Sejalan dengan karakteristik tadi, maka setiap proses atau tahapan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah harus sesuai dengan aturan
pengadaan.
Karakteristik kedua dari birokrasi pemerintah adalah akuntabilitas yang
relatif longgar dimana hak dan kewajiban antara pemberi dan penerima
pertanggungjawaban tidak konkrit, pertanggungjawaban diberikan oleh
pemerintah kepada publik secara umum sehingga masyarakat tidak
semuanya merasa berkepentingan langsung terhadap hasil Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Karakteristik ini cenderung membuat aparat
birokrasi untuk boros dan berorientasi pada belanja (spending oriented)
karena rendahnya kontrol publik terhadap belanja pemerintah dan
cenderung pula membuka peluang lahirnya perilaku korupsi dalam
birokrasi pemerintah. Berbeda dengan sektor swasta dimana pemilik
saham berkepentingan langsung dengan setiap kebijakan direksi, karena
jika terjadi kesalahan yang dilakukan oleh direksi maka pemegang saham
akan dirugikan secara langsung.
b. Karakteristik barang/jasa pemerintah
Barang/jasa yang dibutuhkan pemerintah sangat bervariasi dan hampir
meliputi seluruh jenis barang dan jasa yang dibutuhkan dalam rangka
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dilakukan terhadap barang kebutuhan rutin yang sederhana
seperti ATK, bahan untuk makan minum harian, perlengkapan kantor
sampai pada barang-barang kompleks dan strategis dengan teknologi
tinggi seperti barang Alutsista Militer, barang kebutuhan penelitian
antariksa, dan barang-barang kompleks lainnya.
c. Kondisi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
29
| 29
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dilaksanakan sesuai dengan periode
pelaksanaan anggaran pemerintah yang bersifat tahunan, namun dalam
kondisi tertentu Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat dilakukan
lebih dari satu tahun anggaran (multi years).
Kondisi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat dilihat dari interaksi
antara pejabat birokrasi dan dunia usaha maupun kondisi internal
pemerintah sendiri. Saat ini, di internal pemerintah umumnya Pengadaan
Barang/Jasa masih dianggap sebagai lahan untuk memperoleh
keuntungan pribadi pejabat birokrasi (rent-seeking behaviour). Proyek
pengadaan dianggap sebagai salah satu peluang untuk menambah
pendapatan atau kekayaan pribadi di luar pendapatan resmi. Sementara
bila dilihat dari sisi dunia usaha, Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dianggap sebagai lahan untuk memperoleh keuntungan yang relatif
mudah dan terjamin terutama dari sisi ketersediaan dana. Dengan
pandangan seperti ini, maka minat dunia usaha untuk masuk
memperoleh kesempatan mengadakan barang/jasa pemerintah sangat
tinggi. Bila dilihat dari relasi antara pejabat pemerintah dan dunia usaha,
maka ada saling ketergantungan pribadi antara pejabat birokrasi dan
dunia usaha dalam rangka bersama-sama mendapatkan keuntungan
pribadi dari Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
d. Mekanisme permintaan dan penawaran barang/jasa pemerintah
Pada dasarnya, persediaan barang/jasa yang dibutuhkan oleh
pemerintah tersedia di pasar, sehingga mekanisme pasar seharusnya
dapat berjalan. Beberapa barang yang bersifat khusus yang disediakan
oleh produsen tertentu atau barang yang langka memang tidak banyak
persediaan di pasar. Banyaknya persediaan akan membuat mekanisme
pasar bekerja menuju titik keseimbangan antara permintaan dan
penawaran yang menghasilkan efisiensi pasar. Mekanisme pasar dalam
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sesungguhnya tidak sepenuhnya
ditentukan oleh harga yang menjadi instrumen pasar dalam menuju
30
| 30
efisiensi, melainkan juga ditentukan oleh faktor-faktor administratif.
Adanya faktor-faktor administratif ini terlihat dari adanya kewajiban
kualifikasi dan persyaratan administrasi yang wajib dimiliki oleh penyedia
barang/jasa pemerintah. Dengan adanya persyaratan administrasi berarti
adanya faktor antara yang menentukan bekerjanya mekanisme pasar.
Persaingan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah hanya terjadi
antara penyedia barang/jasa yang memenuhi kualifikasi dan administrasi
yang ditentukan. Padahal tidak menutup kemungkinan penyedia
barang/jasa yang tidak memenuhi syarat administrasi atau kualifikasi
mampu menyediakan barang/jasa sesuai dengan kualitas yang
diinginkan pemerintah.
e. Kapasitas penyedia barang/jasa
Kapasitas penyedia barang/jasa dapat dikategorikan ke dalam dua
bagian yaitu penyedia barang/jasa kualifikasi besar dan penyedia
barang/jasa kualifikasi kecil. Penyedia barang/jasa kualifikasi besar pada
umumnya mempunyai kemampuan dalam menyediakan barang/jasa
dengan kualitas yang memadai dan jumlah yang cukup, namun demikian
banyak juga penyedia barang/jasa besar yang tidak memenuhi syarat
kualifikasi atau tidak memenuhi syarat administrasi. Penyedia
barang/jasa kecil umumnya mempunyai keterbatasan baik dalam bidang
administrasi/kualifikasi maupun dalam bidang penyediaan barang/jasa
yang dibutuhkan oleh pemerintah. Sehingga bagi pengusaha kecil
persyaratan administrasi dan persyaratan kualifikasi kadang-kadang sulit
dipenuhi. Sementara itu, kemampuan usaha kecil dalam menyediakan
barang/jasa yang berkualitas memadai juga masih terbatas. Kondisi ini
akan dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan mekanisme pasar baik
yang disebabkan oleh faktor objektif maupun subjektif yang ditentukan
oleh birokratyang bekerja sama dengan penyedia barang/jasa.
31
| 31
2. Karakteristik Organisasi ULP
Karakteristik struktur organisasi ULP dapat dilihat pada aspek-aspek
sebagai berikut :
a. Standardisasi
Standardisasi adalah bagaimana kegiatan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah didefinisikan dan ditentukan baik proses, produk, ataupun
keahlian. Berdasarkan kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
saat ini, standardisasi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dilakukan dalam dua bentuk yaitu standardisasi proses dan standardisasi
skill. Standardisasi proses dilakukan dengan mengatur secara rinci dan
jelas proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mulai dari perencanaan
pengadaan sampai serah terima hasil pekerjaan, sehingga standardisasi
proses dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sangat tinggi.
Sementara itu, standardisasi skill juga cukup tinggi dimana semua
pejabat pengadaan, anggota pokja, dan PPK (kecuali eselon II) wajib
lulus sertifikasi. Sehingga dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah derajat pengaturan sangat tinggi dan derajat diskresi cukup
rendah. Dengan tingginya derajat standardisasi dan rendahnya derajat
diskresi, maka pengawasan langsung (direct supervison) menjadi rendah
dan koordinasi yang terjadi adalah koordinasi mutual adjusment dan
koordinasi standardisasi.
b. Spesialisasi
Pada pasal 8-18 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diatur bahwa pembagian
tugas antar pihak yang terkait dalam organisasi pengadaan didasarkan
pada proses pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan
pembagian tugas sebagai berikut:
32
| 32
1) PA/KPA mempunyai tugas menetapkan rencana umum pengadaan,
mengumumkan rencana umum pengadaan, menetapkan PPK,
Pejabat Pengadaan, dan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan,
menetapkan pemenang pada pelelangan atau penyedia pada
penunjukan langsung di atas Rp100.000.000.000,- untuk Pengadaan
Barang/Pekerjaan konstruksi/Jasa Lainnya, menetapkan pemenang
pada seleksi atau penyedia pada penunjukan langsung di atas
Rp10.000.000.000,- untuk jasa konsultansi, mengawasi pelaksanaan
anggaran, menyampaikan laporan keuangan, menyelesaikan
perselisihan antara PPK dengan ULP/Pejabat Pengadaan, dan
mengawasi penyimpanan dan pemeliharaan seluruh dokumen
Pengadaan Barang/Jasa.
2) PPK mempunyai tugas menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan,
menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa, menyetujui
bukti pembelian atau menandatangani Kuitansi/Surat Perintah Kerja
(SPK)/surat perjanjian, melaksanakan dan mengendalikan
pelaksanaan kontrak, melaporkan pelaksanaan/penyelesaikan
Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA, menyerahkan hasil
pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita
Acara Penyerahan, melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk
penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada
PA/KPA setiap triwulan, menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh
dokumen pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
3) ULP melalui Pokja mempunyai tugasmenyusun rencana pemilihan
penyedia barang/jasa, menetapkan dokumen pengadaan,
menetapkan besaran nominal jaminan penawaran, mengumumkan
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, menilai kualifikasi penyedia
barang/jasa, melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan harga,
menjawab sanggahan, menetapkan penyedia barang/jasa untuk
pelelangan atau penunjukan langsung untuk Pengadaan
33
| 33
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi
Rp 100.000.000.000,-, menetapkan penyedia barang/jasa untuk
seleksi atau penunjukan langsung untuk Pengadaan Jasa Konsultansi
yang bernilai paling tinggi Rp 10.000.000.000,-, menyampaikan hasil
pemilihan dan salinan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa
kepada PPK, menyimpan dokumen asli pemilihan penyedia
barang/jasa, membuat laporan proses pengadaan kepada Kepala
ULP, dan memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan
kegiatan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA.
4) Panitia penerima hasil pekerjaan bertugas melakukan pemeriksaan
hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan kontrak,
menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah
pemeriksaan/pengujian, dan membuat dan menandatangani Berita
Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan.
Dilihat dari pelaksanaan tugas tersebut, maka spesialisasi tugas (core
business) yang ada pada ULP hanya satu, yaitu pelaksanaan pemilihan
penyedia barang/jasa yang dilakukan oleh kelompok kerja (POKJA).
Pemilihan penyedia barang/jasa dilaksanakan oleh satu jenis keahlian
yaitu ahli Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam hal ini hanya
terdapat satu jenis sertifikasi, dan tidak ada spesialisasi tugas dalam
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang menjadi kewenangan ULP
seperti spesialisasi berdasarkan produk, pelanggan maupun wilayah.
c. Konfigurasi
Struktur kewenangan dalam pelaksanaan tugas ULP secara vertikal terbagi
ke dalam dua bagian, yaitu kewenangan terkait pelaksanaan pemilihan
yang berada pada POKJA dan kewenangan terkait dengan pelaksanaan
fungsi manajemen dalam pengelolaan sumber daya yang digunakan oleh
ULP yang berada pada kepala ULP. Sedangkan struktur kewenangan
secara horizontal/lateral terbagi antar POKJA yang ada pada ULP.
34
| 34
d. Keterlibatan para pihak
Dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa tidak ada pihak yang secara
horizontal mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan oleh POKJA ULP, karena POKJA dalam mengambil keputusan
tidak melibatkan pihak lain. Keterlibatan pihak lain secara vertikal dalam
pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan oleh PA apabila ada sanggah
banding dari peserta pemilihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. PA
dapat membatalkan keputusan penetapan pemenang yang telah
ditetapkan oleh POKJA ULP.
e. Formalisasi
Formalisasi terkait dengan proses pengambilan keputusan dalam
organisasi dan alur komunikasi dalam melaksanakan tugas dalam
organisasi tersebut. Formalisasi juga dapat didefinisikan sebagai
formalisasi sikap setiap pegawai dalam organisasi. Dalam pelaksanaan
tugas dan fungsi ULP sebagai pelaksana pemilihan penyedia barang/jasa,
tidak ada alur pengambilan keputusan antara POKJA dan kepala ULP
maupun antara PPK dan PA/KPA. POKJA mengambil keputusan secara
mandiri berdasarkan keahliannya (fungsional), komunikasi hanya
dilakukan oleh sesama anggota ULP baik dalam membagi tugas maupun
dalam pengambilan keputusan. Sedangkan sikap atau perilaku anggota
POKJA telah diatur dalam kode etik pengadaan dan pegawai negeri sipil
yang mengatur sikap dan perilaku dalam bekerja. Dengan demikian,
formalisasi pada ULP cukup tinggi.
f. (De)Sentralisasi
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya melalui
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 menyatakan bahwa setiap
K/L/Pemda/I wajib membentuk ULP yang bertugas melaksanakan
Pengadaan Barang/Jasa pada K/L/Pemda/I tersebut. Dengan demikian
35
| 35
maka proses pemilihan penyedia barang/jasa berdasarkan ketentuan
tersebut bersifat sentralisasi pada satu unit kerja yang secara khusus
bertugas melakukan pemilihan penyedia barang/jasa untuk masing-
masing K/L/Pemda/I. Namun untuk pengadaan langsung masih dilakukan
oleh pejabat pengadaan yang ditetapkan oleh masing-masing PA/KPA
pada setiap unit kerja PA/KPA.
36
| 36
III. ANALISIS DESAIN
ORGANISASI ULP
PADA K/L/PEMDA/I
Bagi an i ni beri si urai an tentang pol a organi sasi pengadaan,
kedudukan dan desai n organi sasi ULP, hambatan dal am
pembentukan ULP serta upaya untuk mengatasi hambatan
pembentukan ULP.
A. Beberapa Pola Organisasi Pengadaan
1. Pola Organisasi Pengadaan Pemerintah
Pengaturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada masa orde baru
diatur secara terintegrasi dalam pengaturan pelaksanaan APBN. Peraturan
terakhir yang digunakan pada masa orde baru adalah Keputusan Presiden
Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, dimana Pengadaan Barang/Jasa diatur dalam pasal 21
sampai pasal 30. Dalam ketentuan ini pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
dilakukan oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja/Pimpinan Proyek/Bagian Proyek
dan tidak dibentuk unit kerja maupun panitia yang melaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa. Panitia hanya dibentuk di tingkat Provinsi yang diketuai oleh
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bertugas untuk melakukan
prakualifikasi terhadap rekanan yang akan masuk dalam Daftar Rekanan
Mampu (DRM). Prakualifikasi terhadap rekanan oleh panitia dilakukan secara
berkala. Pelelangan yang dilakukan oleh Kepala Kantor/Satuan
Kerja/Pimpinan Proyek/Bagian Proyek hanya boleh diikuti oleh rekanan yang
sudah masuk dalam DRM sesuai dengan bidang pekerjaan yang dimiliki oleh
masing-masing rekanan.
Pada awal masa reformasi, pengaturan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah diatur terpisah dari pelaksanaan APBN. Untuk mengatur
37
| 37
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah ditetapkan Keputusan
Presiden Nomor 18 tahun 2000 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Dalam Keputusan Presiden ini telah diatur pembentukan panitia lelang pada
setiap Kantor/Satuan Kerja/Pimpinan Proyek/Bagian Proyek yang bertugas
melaksanakan lelang. Selain itu, tidak lagi dibuat DRM yang diperoleh dari
prakualifikasi kolektif, namun prakualifikasi dilakukan untuk setiap kali
pelaksanaan pelelangan. Masa kerja panitia lelang ditentukan oleh pengguna
barang/jasa sesuai dengan keputusan pengangkatannya. Meskipun dalam
Keputusan Presiden ini tidak diatur batas waktu kerja panitia lelang, namun
umumnya panitia dibentuk untuk satu tahun anggaran.
Untuk memperbaiki regulasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
menuju pada sistem Pengadaan Barang/Jasa yang efisien, transparan dan
akuntabel, pemerintah memperbaiki sistem Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003.
Melalui Keputusan Presiden ini beberapa substansi kebijakan yang terkait
dengan proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diperbaiki. Salah satu
yang diatur adalah adanya pembagian tugas yang jelas antara pengguna
barang/jasa, pejabat pembuat komitmen dan panitia Pengadaan
Barang/Jasa. Meskipun ada pembagian tugas yang jelas, namun pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tetap dilakukan oleh panitia Pengadaan
Barang/Jasa yang bersifat adhoc. Setelah delapan kali dubah, akhirnya
Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 dicabut dan diganti dengan
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Selain memperbaiki seluruh
sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 tahun
2012 ini telah melakukan perubahan radikal terhadap pihak yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yaitu
merubah bentuk organisasi pelaksana Pengadaan Barang/Jasa dari panitia
yang bersifat adhoc menjadi unit kerja permanen dan mandiri yang diberi
nama ULP yang akan diberlakukan paling lambat tahun 2014, termasuk
38
| 38
memperkuat ULP dengan memberikan kewenangan melaksanakan seluruh
proses pengadaan sampai penunjukan pemenang. Sebelumnya penunjukan
pemenang menjadi kewenangan PPK kecuali penetapan pemenang untuk
kegiatan dengan nilai Rp100.000.000.000,- keatas. Peraturan Presiden
Nomor 54 tahun 2010 sudah menggunakan model hybrid dimana ada proses
pengadaan yang dilakukan secara terpusat oleh ULP dan ada pula proses
pengadaan yang diserahkan kepada masing-masing unit kerja yaitu yang
dilakukan oleh pejabat pengadaan. Sedangkan dalam Keputusan Presiden
Nomor 80 tahun 2003 yang beberapa kali diubah serta Keputusan Presiden
Nomor 18 Tahun 2000 menggunakan model desentralisasi, dimana proses
pengadaan diserahkan pada panitia adhoc pada masing-masing unit
organisasi baik di pusat maupun di daerah.
K/L/Pemda/I memiliki respon yang beragam terhadap ketentuan
tentang kewajiban membentuk ULP, sehingga bentuk-bentuk kelembagaan
ULP sangat bervariasi antara lain sebagai berikut:
a. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa masih dilakukan oleh panitia yang
dibentuk pada setiap unit kerja/SKPD di K/L/Pemda/I yang bersifat
adhoc;
b. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dilaksanakan oleh ULP yang
dibentuk pada setiap K/L/Pemda/I yang kepala ULP-nya dirangkap oleh
salah satu kepala satuan kerja pada tingkat eselon II atau eselon III dan
anggota kelompok kerjanya terdiri dari pegawai yang sudah mempunyai
sertifikat ahli pengadaan yang tersebar pada setiap unit kerja/SKPD;
c. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa oleh ULP yang anggota pokjanya
sudah permanen menjadi pegawai ULP, namun kepala ULP masih
dirangkap oleh kepala unit kerja lain secara ex-officio; atau
d. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di beberapa daerah dilaksanakan
oleh ULP yang dibentuk sebagai SKPD tersendiri dan anggota kelompok
kerjanya terdiri dari pegawai yang bekerja pada ULP tersebut.
39
| 39
2. Organisasi Pengadaan Barang/Jasa Pada Sektor Swasta dan
Organisasi Internasional
Pola organisasi Pengadaan Barang/Jasa pada sektor swasta maupun
NGO Internasional pada dasarnya menganut model hybrid, dimana ada
pengadaan yang dilakukan secara terpusat (sentralisasi) dan ada pula
Pengadaan Barang/Jasa yang dilakukan oleh kantor-kantor cabang
(desentralisasi). Beberapa contoh pola organisasi pengadaan pada sektor
swasta dan NGO internasional adalah sebagai berikut:
a. Pola Organisasi Pengadaan Pada Bank Mandiri
Sistem pengadaan pada Bank Mandiri dikelola oleh unit procurement
and fixed asset dibawah direktur treasury, financial and special asset
management. Pengadaan Barang/Jasa pada Bank Mandiri dilakukan oleh
kantor pusat dan oleh kantor-kantor cabang. Pembagian kewenangan
pengadaan mengacu pada kebutuhan dan anggaran. Pusat mengadakan
barang/jasa yang digunakan oleh seluruh kantor Bank Mandiri,
sedangkan cabang mengadakan barang/jasa yang hanya digunakan oleh
cabang tersebut. Pengadaan Barang/Jasa pada cabang dilakukan oleh
panitia yang bersifat adhoc. Adapun struktur organisasi pengadaan pada
Bank Mandiri dapat dilihat pada gambar berikut:
40
| 40
Gambar 3.1
Organisasi Pengadaan pada Bank Mandiri
b. Pola Pengadaan Barang/Jasa pada PT. Pertamina
Pengadaan barang/jasa pada PT. Pertamina dilakukan secara e-
procurement yang dikelola oleh kantor pusat. Setiap rekanan yang akan
mengikuti tender pada PT. Pertamina wajib mendaftar untuk menjadi
rekanan PT. Pertamina terlebih dahulu yang pendaftarannya dapat
dilakukan secara online. Pelaksanaan pelelangan Pengadaan Barang/Jasa
di PT. Pertamina juga menggunakan model hybrid. Pengadaan
Barang/Jasa sebagian dilakukan oleh kantor pusat dan sebagian oleh
kantor regional. Pengadaan Barang/Jasa pada kantor regional
dilaksanakan oleh panitia pengadaan yang bersifat adhoc pada kantor
regional tersebut, namun proses pelelangannya tetap melalui e-
procurement PT. Pertamina.
c. Pola Pengadaan Barang/Jasa pada United Nation Development
Programme (UNDP)
President Director
Deputy President
Director
Special Asset
Mngm
FI Coverage &
Solution
Treasury
Treasury, FI &
special asset
management
Procurement &
Fixed Asset
41
| 41
Pada kantor perwakilan di setiap negara (country office) UNDP,
dibentuk unit khusus yang menangani pengadaan yang disebut
Procurement Unit yang berada di bawah assistant country director.
Assistant country director berada di bawah deputy country director yang
membidangi operasi (operation). Procurement unit melaksanakan
seluruh Pengadaan Barang/Jasa yang diperlukan oleh seluruh unit pada
UNDP di suatu negara termasuk menandatangani kontrak. Untuk
Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat rutin dilakukan oleh procurement
unit dan selanjutnya dituangkan dalam long term agreement (LTA).
Namun untuk Pengadaan Barang/Jasa yang tidak rutin atau belum ada
kontrak LTA dengan nilai paling tinggi US$ 5000 dilakukan langsung oleh
unit kerja yang memerlukannya melalui mekanisme yang sudah diatur
dan dituangkan dalam bentuk direct contract oleh kepala unit masing-
masing. Adapun struktur organisasi UNDP pada setiap negara adalah
sebagai berikut:
42
| 42
Gambar 3.2
Organisasi Pengadaan pada UNDP
3. Model organisasi pengadaan di negara lain
a. Perancis
Di Perancis, penyelenggara pengadaan pemerintah dilakukan oleh
sebuah lembaga yang bernama UGAP (Union des Groupements d'Achats
Publics) yang didirikan sejak tahun 1985. UGAP berperan dalam mengatur
metode dan tata cara pelelangan Pemerintah Perancis yang ditetapkan
dalam suatu aturan (code). Namun demikian, inisiatif dimulainya e-
procurement sebagai bentuk reformasi besar dalam pengadaan
pemerintah di Perancis dimulai pada tahun 2004 dalam dua tahap. Pada
tahap pertama adalah dengan dibentuknya Dinas Pengadaan Publik atau
43
| 43
Agency for Public Procurement (ACA) pada Departemen Keuangan
dengan tujuan agar:
1. Terpusatnya pengadaan untuk mencapai biaya yang lebih murah
2. Lebih profesionalnya proses pengadaan dilakukan
3. Penggunaan teknik dan perangkat modern dalam proses pengadaan
Pada tahap ini Pemerintah Perancis telah mengakomodir aturan
tentang electronic signature dalam kontrak maupun surat menyurat
selama proses pengadaan. Pada tahap ini juga mulai disusun
standardisasi pengadaan, bentuk-bentuk kontrak, dilakukannya lelang
secara elektronik, pemesanan secara elektronik (e-ordering), dan
pembayaran secara elektronik (e-payment).
Pada tahap kedua dibuatlah keputusan untuk membentuk Lembaga
Pengadaan Pemerintah Pusat (The State Government Procurement
Agency) atau lebih dikenal dengan SAE sejak tahun 2006 sampai
sekarang. Salah satu tanggung jawab SAE adalah menyusun kebijakan di
bidang Pengadaan Barang/Jasa. Fungsi utama yang dicakup SAE dalam
proses pengadaan meliputi pengumuman lelang, dokumen pelelangan
berbasis online, tanya jawab (question and answer), e-tendering, kontrak
dan keputusan-keputusan, serta pengarsipan pengadaan. Pada tahap
kedua ini mulai diperkenalkan interministrial audit untuk mengatasi
permasalahan lemahnya profesionalisme dan kemungkinan untuk
mengkapitalisasi kemajuan saat ini pada area-area yang lebih spesifik
seperti keuangan dan pertahanan. Keberhasilan lain adalah terpusatnya
pengadaan pada industri telepon seluler dan gas.
44
| 44
Gambar 3.3
Organisasi Pengadaan di Perancis
Ambisi Perancis dalam menerapkan e-procurement adalah untuk
meningkatkan profesionalisme pengadaan pemerintah dengan tujuan
untuk menghemat biaya pengadaan hingga 10 persen dan mengurangi
beban administrasi. Disamping itu, secara makro proyek tersebut juga
bertujuan menciptakan pengadaan yang bertanggung jawab secara sosial
dan ekonomi serta meningkatkan manajemen sumber daya manusia
untuk berdedikasi di sektor pengadaan.
Perancis dan 13 Negara Uni Eropa lainnya saat ini tergabung dalam
proyek Pan- Europan Public Procurement Online (PEPPOL) yang
merupakan sebuah wadah pertukaran informasi e-procurement negara-
negara Uni Eropa. Proyek ini dimulai pada tahun 2009 hingga tahun 2011
yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam
penerapan pengadaan. Disamping memajukan standar teknis pengadaan,
juga bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan teknis
45
| 45
maupun hukum dalam pengadaan secara elektronik di negara-negara Uni
Eropa.
b. Filipina
Sebagai gerakan anti-korupsi dan bagian dari agenda menuju tata
kelola yang baik, pemerintah Filipina telah mengeluarkan regulasi di
bidang pengadaan yang dinamakan Government Procurement Reform Act
(Republic Act 9184) pada bulan Januari 2003. Pada era sebelumnya,
Filipina memiliki lebih dari 100 produk hukum terkait dengan pengadaan
pemerintah. Produk-produk hukum yang sangat terfragmentasi tersebut
kemudian dikonsolidasikan dalam Government Procurement Reform Act
yang menjadi dasar bagi modernisasi, standardisasi, dan regulasi aktivitas
pengadaan pemerintah. Act tersebut dirancang untuk memadukan sistem
pengadaan di Filipina, mengurangi peluang untuk terjadinya suap dan
korupsi, menyelaraskan sistem pengadaan dengan standar dan praktik
internasional, serta mendorong transparansi, kompetisi, efisiensi,
akuntabilitas, dan pengawasan publik.
Adapun Susunan organisasi pengadaan di Filipina terdiri dari:
1. Badan Pengadaan dan Unit Pengadaan/Kantor
1. Entitas Pengadaan
Sebuah Entitas Pengadaan adalah kantor pusat atau lembaga yang
diberi kewenangan untuk melaksanakan pengadaan secara
independen, kantor regional atau lembaga tingkat desentralisasi,
lokal atau lebih rendah/Biro/Kantor dari NGA, GOCC, GFI, SUC atau
LGU.
2. Unit Pengadaan/Kantor dan Sekretariat BAC
Kepala Entitas Pengadaan harus membuat Sekretariat BAC
permanen dan untuk tujuan ini, ia memiliki keleluasaan untuk
membuat kantor baru atau untuk sekedar menunjuk kantor organik
yang ada menjadi Sekretariat BAC. Istilah "Unit Pengadaan"
46
| 46
mengacu kepada kantor organik dari entitas pengadaan yang
melaksanakan fungsi pengadaan. Dalam Departemen yang besar
sebagai Entitas Pengadaan, unit ini bisa berupa Layanan (Services)
atau Divisi, sedangkan di organisasi kecil mungkin berbentuk
Cabang yang terdiri dari beberapa personil. Ukuran Unit Pengadaan
dan jumlah personil ditentukan oleh volume transaksi yang
dilakukan dan tingkat keahlian yang diperlukan oleh Pejabat
Pengadaan.
Kepala Entitas Pengadaan membentuk Unit Pengadaan berdasarkan
pedoman berikut ini:
i. Entitas Pengadaan dengan anggaran pengadaan melebihi tiga
miliar peso (P3B), baik pengadaan terpusat maupun
desentralisasi, harus memiliki "Direktorat Pengadaan dan
Perlengkapan (Procurement and Supply Chain Management
Directorate)" yang dipimpin oleh seorang Direktur.
ii. Entitas Pengadaan dengan anggaran pengadaan melebihi satu
miliar peso (P1B) tetapi tidak lebih dari tiga miliar peso (P3B)
harus memiliki "Divisi Pengadaan dan Perlengkapan
(Procurement and Supply Chain Management Division)".
iii. Entitas Pengadaan dengan anggaran pengadaan di bawah satu
miliar peso (P1B) harus memiliki "Seksi Pengadaan dan
Perlengkapan (Procurement and Supply Chain Management
Section)".
2. Bids and Awards Committee (BAC)
Kepala Badan Pengadaan harus membuat BAC tunggal di Kantor
Kepala Entitas Pengadaan. Namun, BAC terpisah dapat dibuat di
bawah salah satu kondisi berikut:
a. Barang yang akan dibeli adalah kompleks atau khusus, atau
b. Jika BAC tunggal tidak dapat mengelola transaksi pengadaan
sampai batas waktu yang ditentukan.
47
| 47
3. Anggota BAC
a. Pada kantor Pusat Badan-badan Pemerintah, BUMN, Lembaga
Keuangan dan Perguruan Tinggi Negeri, BAC harus terdiri dari
setidaknya 5 (lima) anggota dan tidak melebihi 7 (tujuh). Dari 5
(lima) anggota, 3 (tiga) orang merupakan anggota biasa dan 2
(dua) orang merupakan anggota sementara.
b. Pada Biro/Kantor Wilayah/Unit Terdesentralisasi dari Badan-badan
Pemerintah, BUMN, Lembaga Keuangan, BAC harus terdiri dari
setidaknya 5 (lima) anggota dan tidak melebihi 7 (tujuh). Dari 5
(lima) anggota; 3 (tiga) anggota biasa dan 2 (dua) anggota
sementara.
c. Pada Provinsi, Kabupaten/Kota:
The BAC terdiri dari setidaknya 5 (lima) anggota dan tidak
melebihi 7 (tujuh).
Kepala Daerah harus menunjuk para anggota BAC, yang harus
menempati posisi unit pendukung dari Pemerintah Daerah yang
bersangkutan.
Semua anggota yang ditunjuk oleh Kepala Daerah adalah
anggota biasa kecuali anggota pengguna akhir yang dianggap
sebagai anggota sementara.
d. Pada Barangay:
i. Kepala Barangay akan menunjuk setidaknya 5 (lima) tetapi
tidak lebih dari 7 (tujuh) anggota BAC, yang berasal dari
anggota Barangay Sangguniang. BAC yang ditunjuk sebagai
anggota harus menentukan Ketua dan Wakil Ketua diantara
mereka.
ii. Para anggota BAC diangkat untuk jangka waktu 1 (satu) tahun,
dihitung dari tanggal pengangkatan.
4. Kelompok Kerja Teknis (TWG)
48
| 48
BAC dapat membentuk TWG yang berasal dari ahli teknis, keuangan
dan/atau hukum untuk membantu proses pengadaan.
5. Pengamat (Observer)
BAC mengundang pengamat hadir untuk mengamati seluruh tahapan
pengadaan. Tujuan dari observasi adalah untuk meningkatkan
transparansi proses pengadaan pada seluruh tahapan.
Gambar 3.5
Struktur Organisasi Pengadaan di Filipina
49
| 49
Government Procurement Reform Act mengharuskan penggunaan
Philippine Government Electronic Procurement System (PhilGEPS) bagi
seluruh lembaga pemerintah pusat, perusahaan yang dimiliki atau
dikendalikan oleh pemerintah, lembaga keuangan pemerintah, perguruan
tinggi negeri, dan unit pemerintah daerah.
Penyedia barang/jasa yang ingin terlibat dalam pengadaan
pemerintah harus mendaftarkan diri terlebih dahulu ke sistem.
Penggunaan PhilGEPS akan meningkatkan transparansi pengadaan
pemerintah karena peluang untuk berbisnis dengan pemerintah dan
aktivitas sesudahnya dilakukan secara online. Informasi tentang siapa
yang menjadi pemenang, alasan pemenangan, dan nilai kontrak dapat
diakses melalui sistem. Dengan PhilGEPS, penyedia barang/jasa tidak
perlu lagi mengunjungi kantor lembaga pemerintah untuk melihat
pengumuman pengadaan.
B. Organisasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dalam organisasi pengadaan terdapat pejabat yang berwenang untuk
melakukan pengadaan yang ditetapkan oleh Kepala K/L/Pemda/I,
berdasarkan mekanisme Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang
dilaksanakan. Menurut ketentuan Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012, organisasi pengadaan terdiri dari:
1. Organisasi Pengadaan Barang/Jasa untuk pengadaan melalui penyedia
barang/jasa terdiri dari:
a. Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA);
b. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
c. Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan; dan
d. Panitia/Pejabat penerima hasil pekerjaan.
50
| 50
2. Organisasi Pengadaan Barang/Jasa untuk pengadaan melalui swakelola
terdiri dari:
a. Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA);
b. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
c. Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan/Tim Pengadaan;
dan
d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.
a. Pengguna Anggaran (PA)
Pengguna Anggaran (PA) adalah Pejabat pemegang kewenangan
penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi Pengguna APBN/APBD.
PA memiliki tugas dan kewenangan sebagai berikut:
a. menetapkan Rencana Umum Pengadaan;
b. mengumumkan secara luas Rencana Umum Pengadaan paling kurang di
website K/L/D/I;
c. menetapkan PPK;
d. menetapkan Pejabat Pengadaan;
e. menetapkan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan;
f. menetapkan:
1) pemenang pada Pelelangan atau penyedia pada Penunjukan Langsung
untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya
dengan nilai diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
atau
2) pemenang pada Seleksi atau penyedia pada Penunjukan Langsung
untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai diatas
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
g. mengawasi pelaksanaan anggaran;
h. menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
| 52
3) rancangan Kontrak.
b. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
c. menyetujui bukti pembelian atau menandatangani Kuitansi/Surat
Perintah Kerja (SPK)/surat perjanjian:
b. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
c. mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
d. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada
PA/KPA;
e. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA
dengan Berita Acara Penyerahan;
f. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan
hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
g. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa.
Selain tugas pokok dan kewenangan tersebut di atas, dalam hal
diperlukan PPK dapat:
a. mengusulkan kepada PA/KPA perubahan paket pekerjaan dan/atau
perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
b. menetapkan tim pendukung;
c. menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis untuk
membantu pelaksanaan tugas ULP; dan
d. menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia
Barang/Jasa.
PPK merupakan Pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk
melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Untuk ditetapkan sebagai PPK harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki integritas;
b. memiliki disiplin tinggi;
c. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk
melaksanakan tugas;
51
| 51
i. menyelesaikan perselisihan antara PPK dengan ULP/Pejabat Pengadaan,
dalam hal terjadi perbedaan pendapat; dan
j. mengawasi penyimpanan dan pemeliharaan seluruh Dokumen Pengadaan
Barang/Jasa.
PA juga dapat menetapkan tim teknis dan/atau menetapkan tim juri/tim
ahli untuk pelaksanaan Pengadaan melalui Sayembara/Kontes. Atas dasar
pertimbangan besaran beban pekerjaan atau rentang kendali organisasi PA
pada Kementerian/Lembaga/Institusi pusat lainnya menetapkan seorang
atau beberapa orang KPA. Sedangkan PA pada Pemerintah Daerah
mengusulkan 1 (satu) atau beberapa orang KPA kepada Kepala Daerah
untuk ditetapkan.
b. Kuasa Pengguna Anggaran
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) adalah pejabat yang ditetapkan oleh
PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk
menggunakan APBD. KPA pada Kementerian/Lembaga/Institusi merupakan
Pejabat yang ditetapkan oleh PA. Adapun KPA pada Pemerintah Daerah
merupakan Pejabat yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usul PA. KPA
untuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ditetapkan oleh PA pada
Kementerian/Lembaga/Institusi pusat lainnya atas usul Kepala Daerah,
dimana KPA memiliki kewenangan sesuai pelimpahan oleh PA.
c. Pejabat Pembuat Komitmen
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. PPK memiliki tugas pokok
dan kewenangan sebagai berikut:
a. menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang
meliputi:
1) spesifikasi teknis Barang/Jasa;
2) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
52
| 52
3) rancangan Kontrak.
b. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
c. menyetujui bukti pembelian atau menandatangani Kuitansi/Surat
Perintah Kerja (SPK)/surat perjanjian:
b. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
c. mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
d. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada
PA/KPA;
e. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA
dengan Berita Acara Penyerahan;
f. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan
hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
g. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa.
Selain tugas pokok dan kewenangan tersebut di atas, dalam hal
diperlukan PPK dapat:
a. mengusulkan kepada PA/KPA perubahan paket pekerjaan dan/atau
perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
b. menetapkan tim pendukung;
c. menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis untuk
membantu pelaksanaan tugas ULP; dan
d. menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia
Barang/Jasa.
PPK merupakan Pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk
melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Untuk ditetapkan sebagai PPK harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki integritas;
b. memiliki disiplin tinggi;
c. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk
melaksanakan tugas;
53
| 53
d. mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan
dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
e. menandatangani Pakta Integritas;
f. tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah
Membayar (PPSPM) atau Bendahara. Persyaratan tidak menjabat sebagai
PPSPM dikecualikan untuk PA/KPA yang bertindak sebagai PPK.
g. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
Dalam hal tidak ada personil yang memenuhi persyaratan untuk
ditunjuk sebagai PPK, persyaratan tersebut dikecualikan untuk PPK yang
dijabat oleh pejabat eselon I dan II di K/L/D/I dan/atau PA/KPA yang
bertindak sebagai PPK. Adapun persyaratan manajerial adalah:
a. berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan bidang
keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan;
b. memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif
dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa; dan
c. memiliki kemampuan kerja secara berkelompok dalam melaksanakan
setiap tugas/pekerjaannya.
Dalam hal jumlah Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan
terbatas, persyaratan pada huruf a di atas dapat diganti dengan paling
kurang golongan IIIa atau disetarakan dengan golongan IIIa.
d. Unit Layanan Pengadaan dan Pejabat Pengadaan
ULP adalah unit organisasi K/L/Pemda/I yang berfungsi melaksanakan
Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau
melekat pada unit yang sudah ada. Sedangkan Pejabat Pengadaan adalah
personil yang ditunjuk untuk melaksanakan Pengadaan Langsung.
K/L/Pemda/I diwajibkan mempunyai ULP yang dapat memberikan
pelayanan/pembinaan di bidang Pengadaan Barang/Jasa. ULP pada
K/L/Pemda/I dibentuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala
Daerah/Pimpinan Institusi.
54
| 54
Pemilihan Penyedia Barang/Jasa dalam ULP dilakukan oleh Kelompok
Kerja ULP. Keanggotaan Kelompok Kerja ULP wajib ditetapkan untuk
pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya dengan nilai diatas
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan pengadaan Jasa Konsultansi
dengan nilai diatas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Anggota Kelompok Kerja ULP berjumlah gasal beranggotakan paling
kurang 3 (tiga) orang dan dapat ditambah sesuai dengan kompleksitas
pekerjaan. Kelompok Kerja ULP dapat dibantu oleh tim atau tenaga ahli
pemberi penjelasan teknis.
Paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang
bernilai paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dapat
dilaksanakan oleh Kelompok Kerja ULP atau Pejabat Pengadaan.
Sedangkan paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh Kelompok
Kerja ULP atau Pejabat Pengadaan. Adapun pengadaan Langsung
dilaksanakan oleh 1 (satu) orang Pejabat Pengadaan.
Kepala ULP/Anggota Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki integritas, disiplin, dan tanggung jawab dalam melaksanakan
tugas;
b. memahami pekerjaan yang akan diadakan;
c. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas ULP/Kelompok
Kerja ULP/Pejabat Pengadaan yang bersangkutan;
d. memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan;
e. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan
kompetensi yang dipersyaratkan; dan
f. menandatangani Pakta Integritas.
Persyaratan Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang/Jasa huruf e di atas
dapat dikecualikan untuk Kepala ULP.
Adapun tugas pokok dan kewenangan Kelompok Kerja ULP/Pejabat
Pengadaan meliputi:
55
| 55
a. menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
b. menetapkan Dokumen Pengadaan;
c. menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran;
d. mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di website
K/L/Pemda/I masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk
masyarakat serta menyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam Portal
Pengadaan Nasional;
e. menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau
pascakualifikasi;
f. melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran
yang masuk;
g. khusus untuk Kelompok Kerja ULP:
1) menjawab sanggahan;
2) menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk Pelelangan atau Penunjukan
Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi Jasa
Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp. 100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah); atau Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk paket
Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
3) menyampaikan hasil Pemilihan dan salinan Dokumen Pemilihan
Penyedia Barang/Jasa kepada PPK;
4) menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
5) membuat laporan mengenai proses Pengadaan kepada Kepala ULP.
h. khusus Pejabat Pengadaan:
1) menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk Pengadaan Langsung untuk
paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang
bernilai paling tinggi Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan/atau Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa
Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah);
56
| 56
2) menyampaikan hasil Pemilihan dan salinan Dokumen Pemilihan
Penyedia Barang/Jasa kepada PPK;
3) menyerahkan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada
PA/KPA; dan
4) membuat laporan mengenai proses Pengadaan Pengadaan kepada
PA/KPA.
i. memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan Pengadaan
Barang/Jasa kepada PA/KPA.
Adapun tugas pokok dan kewenangan Kepala ULP antara lain sebagai
berikut :
a. memimpin dan mengoordinasikan seluruh kegiatan ULP;
b. menyusun program kerja dan anggaran ULP;
c. mengawasi seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa di ULP dan
melaporkan apabila ada penyimpangan dan/atau indikasi penyimpangan;
d. membuat laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan
Pengadaan Barang/Jasa kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala
Daerah/Pimpinan Institusi;
e. melaksanakan pengembangan dan pembinaan Sumber Daya Manusia
ULP;
f. menugaskan/menempatkan/memindahkan anggota Kelompok Kerja
sesuai dengan beban kerja masing-masing Kelompok Kerja ULP; dan
g. mengusulkan pemberhentian anggota Kelompok Kerja yang ditugaskan
di ULP kepada PA/KPA/Kepala Daerah, apabila terbukti melakukan
pelanggaran peraturan perundang-undangan dan/atau KKN.
Selain tugas pokok dan kewenangan dalam hal diperlukan Kelompok
Kerja ULP/Pejabat Pengadaan dapat mengusulkan kepada PPK perubahan
HPS dan/atau perubahan spesifikasi teknis pekerjaan.
Kepala ULP/Anggota Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan berasal
dari Pegawai Negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi lainnya.
Namun bagi Lembaga/Institusi Pengguna APBN/APBD yang memiliki
57
| 57
keterbatasan pegawai yang berstatus Pegawai Negeri, Kepala ULP/anggota
Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan dapat berasal dari pegawai
tetapyang bukan Pegawai Negeri. Ketentuan ini juga berlaku bagi Kelompok
Masyarakat Pelaksana Swakelola, dimana Kepala ULP/anggota Kelompok
Kerja ULP/Pejabat Pengadaan dapat berasal dari bukan Pegawai Negeri.
Dalam hal Pengadaan Barang/Jasa bersifat khusus dan/atau
memerlukan keahlian khusus, Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan dapat
menggunakan tenaga ahli yang berasal dari Pegawai Negeri atau swasta.
Selain itu Kepala ULP dan Anggota Kelompok Kerja ULP dilarang duduk
sebagai:
a. PPK;
b. Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM);
c. Bendahara; dan
d. APIP, terkecuali menjadi Pejabat Pengadaan/anggota ULP untuk
Pengadaan Barang/Jasa yang dibutuhkan instansinya.
e. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
PA/KPA menetapkan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan. Anggota
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan berasal dari pegawai negeri, baik
dari instansi sendiri maupun instansi lainnya. Namun hal tersebut
dikecualikan untuk anggota Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan pada
Institusi lain Pengguna APBN/APBD atau Kelompok Masyarakat Pelaksana
Swakelola, dapat berasal dari bukan pegawai negeri.
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. memiliki integritas, disiplin, dan tanggung jawab dalam melaksanakan
tugas;
b. memahami isi Kontrak;
c. memiliki kualifikasi teknis;
d. menandatangani Pakta Integritas; dan
58
| 58
e. tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah
Membayar (PPSPM) dan Bendahara.
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan mempunyai tugas pokok dan
kewenangan untuk:
a. melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak;
b. menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah melalui
pemeriksaan/pengujian; dan
c. membuat dan menandatangani Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan.
Dalam hal pemeriksaan Barang/Jasa memerlukan keahlian teknis
khusus, dapat dibentuk tim/tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan tugas
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan yang ditetapkan oleh PA/KPA.
Sedangkan dalam hal pengadaan Jasa Konsultansi, pemeriksaan pekerjaan
dilakukan setelah berkoordinasi dengan Pengguna Jasa Konsultansi yang
bersangkutan.
f. Hubungan Kerja Antara ULP dan Pihak Lain dalam Pengadaan
Dalam melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa, ULP tidak
bekerja untuk dirinya sendiri melainkan bekerja dalam rangka mendukung
unit kerja lain sebagai pengguna barang/jasa yang dalam pengadaan
barang/jasa bertindak sebagai PA/KPA. Selain mempunyai hubungan dengan
PA/KPA, ULP juga mempunyai hubungan dengan PPK. Adapun keterkaitan
ULP dengan PA/KPA dan PPK dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Hubungan ULP dengan PA/KPA.
Dalam Perpres Nomor 54 tahun 2010 hubungan antara PA/KPA dan ULP
terlihat dari tugas KPA antara lain ;
1) PA/KPA menyusun rencana umum pengadaan yang di dalamnya
termasuk penentuan paket, pembentukan organisasi pengadaan,
kerangka acuan kerja;
59
| 59
2) menetapkan penyedia barang/jasa dengan nilai tertentu;
3) menyelesaikan sengketa antara ULP/Pejabat Pengadaan dan PPK;
4) menetapkan tim teknis/tim juri/tim ahli dalam pengadaan
barang/jasa.
Dari keseluruhan tugas yang terkait dengan ULP tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1) tugas yang mendukung pelaksanaan tugas ULP; dan
2) tugas yang memutuskan/mengesahkan hasil kerja ULP.
Dengan demikian ada dua pola hubungan antara ULP dan PA/KPA
yaitu hubungan fungsional dan hubungan hirarkhi. Dalam
hubungan fungsional ULP bekerja sejajar dengan PA/KPA,
sedangkan dalam hubungan hirarkhi, maka ULP harus tunduk dan
mematuhi setiap keputusan yang diambil oleh PA/KPA.
b. Hubungan ULP dengan PPK
Hubungan ULP dengan PPK juga dapat dilihat dari tugas PPK yang
terkait dengan pelaksanaan tugas ULP antara lain:
1) menetapkan rencana pengadaan barang/jasa yang di dalamnya
memuat spesifikasi barang/jasa, HPS dan rancangan kontrak yang
menjadi pedoman bagi ULP dalam melaksanakan pengadaan;
2) memberikan tim/tenaga ahli untuk membantu ULP dalam
memberikan penjelasan. Tugas PPK disini bersifat pemberian
dukungan teknis terkait dengan substansi pekerjaan yang menjadi
pedoman bagi ULP dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Dengan demikian, hubungan antara PPK dan ULP bersifat
fungsional yang saling mendukung dan melengkapi satu sama lain.
C. Kelembagaan Pemerintah Pusat dan Daerah
1. Kementerian Negara
Kementerian Negara (selanjutnya disebut Kementerian) adalah
lembaga Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan tertentu dalam
60
| 60
pemerintahan. Kementerian berkedudukan di ibukota negara yaitu Jakarta
dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lebih lanjut,
kementerian diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara dan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Kementerian yang
melaksanakan urusan pemerintahan yang secara tegas disebutkan dalam
UUD 1945 harus dibentuk dalam satu kementerian tersendiri. Untuk
kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, Presiden juga
dapat membentuk kementerian koordinasi. Jumlah seluruh kementerian
maksimal 34 kementerian.
Kementerian yang membidangi urusan pemerintahan selain yang
secara tegas disebutkan dalam UUD 1945 dapat diubah oleh Presiden.
Pemisahan, penggabungan, dan pembubaran kementerian tersebut
dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kecuali
untuk pembubaran kementerian yang menangani urusan agama, hukum,
keamanan, dan keuangan harus dengan persetujuan DPR. Setiap
kementerian membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Berdasarkan
Perpres No. 47 Tahun 2009, kementerian-kementerian tersebut adalah:
a. Kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan yang secara
tegas disebutkan dalam UUD 1945, terdiri dari:
1) Kementerian Dalam Negeri
2) Kementerian Luar Negeri
3) Kementerian Pertahanan
b. Kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan yang ruang
lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, terdiri dari:
1) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
2) Kementerian Keuangan
3) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
4) Kementerian Perindustrian
5) Kementerian Perdagangan
61
| 61
6) Kementerian Pertanian
7) Kementerian Kehutanan
8) Kementerian Perhubungan
9) Kementerian Kelautan dan Perikanan
10) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
11) Kementerian Pekerjaan Umum
12) Kementerian Kesehatan
13) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
14) Kementerian Sosial
15) Kementerian Agama
16) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
17) Kementerian Komunikasi dan Informatika
c. Kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan dalam rangka
penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah, terdiri
dari:
1) Kementerian Sekretariat Negara
2) Kementerian Riset dan Teknologi
3) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
4) Kementerian Lingkungan Hidup
5) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
6) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
7) Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
8) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
9) Kementerian Badan Usaha Milik Negara
10) Kementerian Perumahan Rakyat
11) Kementerian Pemuda dan Olah Raga
Selain kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan di atas,
ada juga kementerian koordinator yang bertugas melakukan sinkronisasi dan
koordinasi urusan kementerian-kementerian yang berada di dalam lingkup
tugasnya. Kementerian koordinator, terdiri dari:
62
| 62
1) Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
2) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
3) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Kementerian dipimpin oleh menteri yang tergabung dalam sebuah
kabinet. Presiden juga dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian
tertentu apabila terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan
secara khusus. Susunan organisasi kementerian adalah sebagai berikut:
1. Kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan yang ruang
lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945
a. Pemimpin: Menteri
b. Pembantu pemimpin: Sekretariat jenderal
c. Pelaksana: Direktorat jenderal
d. Pengawas: Inspektorat jenderal
e. Pendukung: Badan dan/atau pusat
f. Pelaksana tugas pokok di daerah (untuk kementerian yang menangani
urusan dalam negeri, luar negeri, pertahanan, agama, hukum,
keamanan, dan keuangan) dan/atau perwakilan luar negeri
2. Kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan dalam rangka
penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah
a. Pemimpin: Menteri
b. Pembantu pemimpin: Sekretariat kementerian
c. Pelaksana: Deputi kementerian
d. Pengawas: Inspektorat kementerian
3. Susunan organisasi Kementerian Koordinator terdiri dari :
a. Pemimpin: Menteri koordinator
b. Pembantu pemimpin: Sekretariat kementerian koordinator
c. Pelaksana: Deputi kementerian koordinator
d. Pengawas: Inspektorat kementerian koordinator
63
| 63
2. Lembaga Setingkat Kementerian
Disamping Kementerian Negara, dalam sistem ketatanegaraan
Pemerintah Republik Indonesia terdapat pula lembaga setingkat
kementerian. Lembaga-lembaga tersebut antara lain :
a. Kejaksaan Republik Indonesia
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan
lain berdasarkan undang-undang yang dilaksanakan secara mandiri.
Pelaksanaan kekuasaan negara tersebut diselenggarakan oleh Kejaksaan
Agung, kejaksaan tinggi, dan kejaksaan negeri.
Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik
Indonesia, kejaksaan tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi, serta kejaksaan negeri berkedudukan di
ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah
kabupaten/kota.
Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi
kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan
wewenang kejaksaan. Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung
dan beberapa orang Jaksa Agung Muda. Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung
merupakan satu kesatuan unsur pimpinan. Jaksa Agung Muda adalah unsur
pembantu pimpinan.
Kepala kejaksaan tinggi adalah pimpinan kejaksaan tinggi yang
mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah
hukumnya. Kepala kejaksaan tinggi dibantu oleh seorang wakil kepala
kejaksaan tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur
pembantu pimpinan, dan unsur pelaksana.
Kepala kejaksaan negeri adalah pimpinan kejaksaan negeri yang
mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah
64
| 64
hukumnya. Kepala kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur
pembantu pimpinan dan unsur pelaksana. Kepala cabang kejaksaan negeri
adalah pimpinan cabang kejaksaan negeri, yang mengendalikan pelaksanaan
tugas dan wewenang kejaksaan di sebagian daerah hukum kejaksaan negeri
yang membawahinya. Kepala cabang kejaksaan negeri dibantu oleh
beberapa orang unsur pelaksana.
Gambar 3.6
Struktur Organisasi Kejaksaan Agung
b. Tentara Nasional Indonesia
TNI berkedudukan di bawah kekuasaan Presiden, dalam hal
pengerahan dan penggunaan kekuatan militer. Kementerian
Pertahananmengkoordinasikan kebijakan dan strategi pertahanan, dukungan
administrasi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan
strategis yang meliputi aspek pengelolaan pertahanan negara, kebijakan
penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional,
serta pembinaan teknologi industri pertahanan yang diperlukan oleh TNI dan
65
| 65
komponen pertahanan lainnya. Sedangkan pembinaan kekuatan TNI yang
berkaitan dengan pendidikan, latihan, penyiapan kekuatan dan doktrin
militer, diselenggarakan oleh Panglima TNI, dibantu oleh Kepala Staf
Angkatan Darat, Laut dan Udara.
Adapun susunan organisasi TNI terdiri dari Markas Besar TNI yang
membawahi Markas Besar TNI Angkatan Darat, Laut dan Udara. Susunan
organisasi TNI yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Markas Besar TNI terdiri dari:
a. Unsur pimpinan;
b. Unsur pembantu pimpinan;
c. Unsur pelayanan;
d. Badan pelaksana pusat; dan
e. Komando Utama Operasi, yaitu kekuatan TNI yang berada di
bawah Komando Panglima TNI.
2) Selain terdiri dari unsur dan badan sebagaimana dimaksud di atas, untuk
Markas Besar TNI Angkatan Darat, Laut dan Udara juga terdiridari
komando utama pembinaan, yaitu kekuatan TNI yang memiliki fungsi
pembinaan kekuatan matra yang berada di bawah Komando Kepala Staf
Angkatan Darat, Laut dan Udara.
3) TNI dipimpin oleh seorang Panglima yang diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR. Sedangkan untuk tiap-
tiap Angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf Angkatan yang
berkedudukan di bawah serta bertanggung jawab kepada Panglima TNI.
Kepala Staf dimaksud diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Panglima TNI.
66
| 66
Gambar 3.7
Struktur Organisasi TNI
c. Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
Tatanan keorganisasian Polri diatur berdasarkan UU no. 2 tahun 2002.
Menurut Undang-Undang tersebut, Polri merupakan alat negara yang
berperan untuk menyelenggarakan fungsi kepolisian sebagai salah satu
fungsi pemerintahan negara dalam rangka memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat.
Polri berkedudukan di bawah Presiden dan dipimpin oleh Kapolri yang
pelaksanaan tugasnya, baik di bidang fungsi kepolisian preventif maupun
represif yustisial, bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi
intervensi yang dapat berdampak negatif terhadap pemulihan profesi
kepolisian.
67
| 67
Gambar 3.8
Struktur Organisasi Kepolisian Republik Indonesia
d. Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri
Satu-satunya aparatur yang mewakili kepentingan negara secara
keseluruhan di negara lain atau pada organisasi internasional, terdiri dari:
a) Perwakilan Diplomatik
1. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)
2. Perwakilan Tetap RI pada PBB (PTRI)
Kantor perwakilan RI dipimpin oleh Duta Besar (Dubes) luar biasa dan
berkuasa penuh, yang bertanggung jawab kepada Presiden selaku kepala
negara melalui Menteri Luar Negeri (Menlu). Tugasnya antara lain
melaksanakan hubungan diplomatik dan melindungi setiap kepentingan
negara dan WNI di negara itu.
b) Perwakilan Konsulat, terdiri dari:
1) Konjen
68
| 68
2) Konsulat
bertangungjawab kepada Menlu melalui Dubes, meliputi bidang ekonomi,
perdagangan, perhubungan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
3. Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK)
Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), dahulu bernama
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) adalah lembaga negara di
Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu
dari Presiden. Kepala LPNK berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden melalui menteri atau pejabat setingkat menteri
yang mengkoordinasikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Produk hukum pembentukannya berupa Keputusan
Presiden ataupun Peraturan Presiden. LPNK tersebut antara lain:
1) Lembaga Administrasi Negara disingkat LAN;
2) Arsip Nasional Republik Indonesia disingkat ANRI;
3) Badan Kepegawaian Negara disingkat BKN;
4) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia disingkat PERPUSNAS;
5) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional disingkat BAPPENAS;
6) Badan Pusat Statistik disingkat BPS;
7) Badan Standardisasi Nasional disingkat BSN;
8) Badan Pengawas Tenaga Nuklir disingkat BAPETEN;
9) Badan Tenaga Nuklir Nasional disingkat BATAN;
10) Badan Intelijen Negara disingkat BIN;
11) Lembaga Sandi Negara disingkat LEMSANEG;
12) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional disingkat
BKKBN;
13) Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional disingkat LAPAN;
14) Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional disingkat
BAKOSURTANAL;
15) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan disingkat BPKP;
69
| 69
16) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia disingkat LIPI;
17) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi disingkat BPPT;
18) Badan Koordinasi Penanaman Modal disingkat BKPM;
19) Badan Pertanahan Nasional disingkat BPN;
20) Badan Pengawas Obat dan Makanan disingkat BPOM;
21) Lembaga Ketahanan Nasional disingkat LEMHANNAS;
22) Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG);
23) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI)
24) Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB)
25) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP);
26) Badan SAR Nasional (BASARNAS)
27) Badan Narkotika Nasional (BNN)
28) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Sumber: KemenPAN dan RB, 2012
Dalam melaksanakan tugasnya, masing-masing LPNK dikoordinasikan
oleh Menteri yang meliputi
a) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
b) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional bagi BPS,
BAPPENAS, BKPM, BULOG, dan LKPP;
c) Menteri Koordinator Bidang Politik, sosial dan Keamanan bagi LEMSANEG;
d) Menteri Dalam Negeri bagi BPN;
e) Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial bagi BPOM;
f) Menteri Pendidikan Nasional bagi PERPUSNAS;
g) Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara bagi LAN, BKN, dan
ANRI
h) Menteri Negara Lingkungan Hidup bagi BAPEDAL;
i) Menteri Negara Riset dan Teknologi bagi LIPI, LAPAN, BPPT,
BATAN,BEPETEN, BAKORSUTANAL, dan BSN;
j) Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan bagi BKKBN; dan
70
| 70
k) Menteri Negara Koperasi dan UKM bagi BPS-KPKM.
Bagi BIN dan BPKP dalam pelaksanaan tugasnya tidak dikoordinasikan
oleh Menteri.
Adapun pola organisasi dari masing-masing Lembaga tersebut
berbeda-beda sesuai ketentuan pembentukannya. Pola umum organisasi
tersebut terdiri dari:
1. Unsur pemimpin/pimpinan adalah Kepala Lembaga (dan Wakil
Kepala);
2. Unsur pembantu pemimpin/pimpinan adalah Sekretariat Utama;
3. Unsur pelaksana adalah Deputi atau Pusat.
4. Unsur pengawas adalah Inspektorat.
5. Pelaksana pokok di daerah adalah Unit Pelaksana Teknis berbentuk
Balai Besar dan Balai.
4. Susunan Organisasi Pemerintah Daerah
a. Pemerintah Provinsi
Setiap daerah tingkat I dipimpin oleh Gubernur, yang dibantu oleh
seorang Wakil Gubernur. Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Dalam
melaksanakan tugasnya, Gubernur dan Wakil Gubernur dibantu oleh
perangkat daerah provinsi, yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat
DPRD, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah.
71
| 71
Gambar 3.9
Pola Organisasi Pemerintah Provinsi
b. Pemerintah Kabupaten/Kota
Daerah tingkat II terdiri dari Pemerintah Kabupaten dan Kota.
Pemerintah Kabupaten dipimpin oleh Bupati yang dibantu oleh seorang Wakil
Bupati, sedangkan Pemerintah Kota dipimpin oleh Walikota yang dibantu
oleh seorang Wakil Walikota. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil
Walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah
yang bersangkutan. Dalam memimpin pemerintah daerah, Bupati/Walikota
dibantu oleh perangkat daerah kabupaten/kota, yang terdiri dari Sekretariat
Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah,
Kecamatan, dan Kelurahan.
GUBERNUR
WAKIL GUBERNUR
DPRD
SETDA
(unsur staf)
STAF
AHLI
SET DPRD
(unsur pelayanan
adm kpd DPRD)
LEMBAGA LAIN
(pelaksanaan
peraturan perUUan)
BAPPEDA
(unsur perencana)
INSPEKTORA
T
DINAS
DAERAH
(unsur pelaksana)
LEMBAGA
TEKNIS
DAERAH
| 71
Gambar 3.9
Pola Organisasi Pemerintah Provinsi
b. Pemerintah Kabupaten/Kota
Daerah tingkat II terdiri dari Pemerintah Kabupaten dan Kota.
Pemerintah Kabupaten dipimpin oleh Bupati yang dibantu oleh seorang Wakil
Bupati, sedangkan Pemerintah Kota dipimpin oleh Walikota yang dibantu
oleh seorang Wakil Walikota. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil
Walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah
yang bersangkutan. Dalam memimpin pemerintah daerah, Bupati/Walikota
dibantu oleh perangkat daerah kabupaten/kota, yang terdiri dari Sekretariat
Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah,
Kecamatan, dan Kelurahan.
GUBERNUR
WAKIL GUBERNUR
DPRD
SETDA
(unsur staf)
STAF
AHLI
SET DPRD
(unsur pelayanan
adm kpd DPRD)
LEMBAGA LAIN
(pelaksanaan
peraturan perUUan)
BAPPEDA
(unsur perencana)
INSPEKTORA
T
DINAS
DAERAH
(unsur pelaksana)
LEMBAGA
TEKNIS
DAERAH
72
| 72
Gambar 3.10
Pola Organisasi Pemerintah Kabupaten/Kota
5. Institusi
Selain Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian,
terdapat pula institusi yang dibentuk oleh pemerintah sebagai lembaga yang
dibentuk di luar lembaga negara fundamental (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif) sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan publik,
maupun sebagai jawaban dalam pelaksanaan tugas-tugas penting yang
dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan
BUPATI/WALIKOTA
WAKIL BUP/WAKO
DPRD
SETDA
(unsur staf)
STAF
AHLI
SET DPRD
(unsur pelayanan
adm kpd DPRD)
LEMBAGA LAIN
(pelaksanaan
peraturan perUUan)
BAPPEDA
(unsur perencana)
INSPEKTORAT
(unsur pengawas)
DINAS
DAERAH
(unsur pelaksana)
LEMBAGA
TEKNIS DAERAH
(unsur penunjang)
KELURAHAN
KECAMATAN
(Pelaksana Teknis Kewilayahan)
| 72
Gambar 3.10
Pola Organisasi Pemerintah Kabupaten/Kota
5. Institusi
Selain Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian,
terdapat pula institusi yang dibentuk oleh pemerintah sebagai lembaga yang
dibentuk di luar lembaga negara fundamental (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif) sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan publik,
maupun sebagai jawaban dalam pelaksanaan tugas-tugas penting yang
dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan
BUPATI/WALIKOTA
WAKIL BUP/WAKO
DPRD
SETDA
(unsur staf)
STAF
AHLI
SET DPRD
(unsur pelayanan
adm kpd DPRD)
LEMBAGA LAIN
(pelaksanaan
peraturan perUUan)
BAPPEDA
(unsur perencana)
INSPEKTORAT
(unsur pengawas)
DINAS
DAERAH
(unsur pelaksana)
LEMBAGA
TEKNIS DAERAH
(unsur penunjang)
KELURAHAN
KECAMATAN
(Pelaksana Teknis Kewilayahan)
73
| 73
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Lembaga ini disebut juga Lembaga
Pemerintah Non Struktural. Berdasarkan data Asisten Deputi Hubungan
Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural sampai tahun 2012 terdapat
90 lembaga non struktural. Dengan rincian sebagai berikut:
a. LNS berbentuk Badan = 27
b. LNS berbentuk Dewan = 23
c. LNS berbentuk Komisi = 16
d. LNS berbentuk Komite = 14
e. LNS berbentuk Lembaga = 4
f. LNS berbentuk Tim = 1
g. LNS dengan bentuk lainnya = 5
Lembaga Non Struktural tersebut antara lain:
1) Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas);
2) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
3) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM);
4) Komisi Pemilihan Umum (KPU);
5) Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN);
6) Badan Pengembangan Wilayah SurabayaMadura (BPWS);
7) Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU);
8) Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN);
9) Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG);
10) Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI);
11) Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan (Komite ADBK);
12) Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan
danPemukiman Nasional (BKP4N);
13) Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan KesejahteraanSosial
Penyandang Cacat (LKP2KS PACA);
14) Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk PekerjaanTerburuk
untuk Anak (KAN PBPTA);
15) Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU);
74
| 74
16) Dewan Gula Indonesia (DGI);
17) Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional RI (DEPANRI);
18) Badan Pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (BP-
KAPET);
19) Dewan Buku Nasional (DBN);
20) Dan lain-lain.
Pola organisasi lembaga pemerintah non struktural tersebut sangat
bervariasi sesuai peraturan pembentukannya. Meskipun lembaga-lembaga
tersebut tidak memiliki jenjang jabatan struktural, tetapi pembiayaan
organisasi menggunakan dana APBN serta didukung oleh Sekretariat
Jenderal (struktural/Pegawai Negeri Sipil). Oleh karena itu lembaga-lembaga
ini, bila dianggap lebih efisien sebaiknya juga membentuk ULP sesuai
ketentuan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
D. Desain Organisasi dan Kedudukan ULP pada K/L/Pemda/I
1. Struktur Organisasi ULP
Berdasarkan analisis terhadap keseluruhan aspek yang menjadi
karakteristik organisasi ULP yang telah diuraikan diatas, yaitu kondisi
birokrasi pemerintah bekerja berdasarkan aturan yang ada, maka tingkat
kebebasan ahli pengadaan dalam melakukan pilihan keputusan rendah. Hal
ini dikarenakan sebagian besar prosedur Pengadaan Barang/Jasa sudah
diatur sehingga akan mengakibatkan pekerjaan ahli pengadaan sangat
terstandardisasi yang menyebabkan kemandirian pengambilan keputusan
menjadi tinggi. Karakteristik barang/jasa pemerintah dan interaksi antara
para pihak dalam penentuan penyedia barang/jasa yang cenderung
transaksional melahirkan sebuah kebutuhan adanya pengawasan profesi oleh
komite etik ahli pengadaan. Berdasarkan pertimbangan tadi, maka secara
hierarki/vertikal departementasi ULP dibagi kedalam 3 bagian, yaitu:
75
| 75
a. Kepala adalah unsur yang melaksanakan fungsi manejerial dalam
pengelolaan sumber daya;
b. Sekretariat adalah unsur yang melaksanakan fungsi pendukung; dan
c. Pokja adalah unsur yang menghasilkan output.
Sedangkan secara horizontal pada unsur yang menghasilkan output
dibagi kedalam beberapa Pokja sesuai dengan volume dan beban tugas.
Dalam Pengadaan Barang/Jasa pemerintah terdapat 4 jenis kegiatan
barang/jasa pemerintah yaitu :
a. Pengadaan barang;
b. Pekerjaan konstruksi;
c. Jasa konsultansi; dan
d. Jasa lainnya.
Meskipun keahlian yang dimiliki oleh ahli pengadaan hanya ada satu
keahlian yaitu ahli pengadaan, namun dalam departementasi pokja yang
melaksanakan seleksi penyedia barang/jasa pemerintah dapat dipisahkan
berdasarkan jenis kegiatan barang/ jasa tersebut di atas. Sehingga pokja
dapat dibagi menjadi 4 pokja yaitu pokja pengadaan barang, pekerjaan
konstruksi, jasa konsultansi dan jasa lainnya.
Sebagai unit kerja yang bekerja berdasarkan standardisasi skill dan
rendahnya koordinasi berupa pengawasan langsung (direct supervision),
maka pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan oleh Pokja
harus dilakukan oleh komite ahli. Sehingga dalam hal ini harus ada satu
komite ahli yang bertugas melakukan pengawasan berdasarkan keahlian
terhadap kinerja Pokja. Terutama dalam memberikan pendapat kepada
Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi dalam
memberikan jawaban sanggah banding yang diajukan oleh peserta pemilihan
penyedia barang/jasa yang tidak puas atau tidak setuju terhadap jawaban
atas sanggahan yang disampaikan oleh Pokja ULP. Komite ahli dapat
dibentuk secara adhoc yang anggotanya terdiri dari ahli pengadaan yang
telah berpengalaman dan berintegritas. Berdasarkan hasil analisis
76
| 76
karakteristik organisasi ULP dan depertementasi ULP yang telah diuraikan
tersebut, maka konfigurasi struktur organisasi ULP lebih dekat dengan model
organisasi birokrasi profesional yang dikemukakan oleh Mintzberg dengan
ciri:
a. Organisasi dengan konfigurasi tenaga ahli spesialis pada operating core;
b. Anggota organisasi bekerja berdasarkan standardisasi dan adanya
desentralisasi pada setiap anggota untuk mengambil keputusan;
c. Bekerja berdasarkan kemampuan/keahlian individu bukan berdasarkan
pembagian kerja yang hierarkis.
Dengan karakteristik yang demikian, maka struktur organisasi ULP
sebagai sebuah organisasi birokrasi profesional dapat digambarkan sebagai
berikut:
77
| 77
Gambar 3.11
Desain Pola Dasar Struktur Organisasi Unit Layanan Pengadaan
2. Kedudukan ULP Dalam Organisasi Pemerintah (K/L/Pemda/I)
ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan
Pengadaan Barang/Jasa di K/L/Pemda/I yang bersifat permanen, dapat
berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada (pasal 1 angka 8
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012). Berdasarkan definisi tersebut
bahwa fungsi utama ULP adalah pelaksanaan pengadaan, artinya unit inilah
yang melaksanakan proses pengadaan mulai dari menyusun rencana
pemilihan penyedia barang/jasa, melakukan evaluasi administrasi, teknis dan
harga terhadap penawaran yang masuk, sampai dengan menetapkan hasil
pemilihan penyedia barang/jasa untuk paket pelelangan atau penunjukan
langsung untuk paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya
yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000,- atau seleksi atau penunjukan
langsung untuk paket pengadaan jasa konsultansi yang bernilai paling tinggi
MENTERI/KEPALA
LEMBAGA/KDH/
KEPALA INSTITUSI
KEPALA ULP
POKJA
KOMITE AHLI
SEKRETARIAT
POKJA
POKJA
78
| 78
Rp10.000.000.000,-. Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan jasa
pendukung tidak langsung kepada organisasi. Unit ini bersifat permanen
artinya bersifat tetap bukan panitia atau unit ad-hoc. Dapat berdiri sendiri
atau melekat pada unit yang sudah ada, karena ULP merupakan unit dari
K/L/Pemda/I, maka yang dimaksud dengan berdiri sendiri bukan berarti
independent, tetapi unit dengan tugas pokok tersendiri dalam struktur
K/L/Pemda/I.
Dilihat dari alur pertanggungjawaban dan pengawasan atas
pelaksanaan tugas ULP, maka kedudukan ULP berada langsung di bawah
PA/KPA sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) huruf i Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden Nomor 54 tahun 2010. Namun secara struktur organisasi, ULP
dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit organisasi yang ada. Dengan
demikian secara manajemen ULP merupakan bagian dari unit organisasi
pada K/L/Pemda/I. Untuk melihat kedudukan organisasi ULP dalam birokrasi
pemerintah maka harus disesuaikan dengan pola organisasi pada
K/L/Pemda/I melalui pendekatan institusional.
Untuk mengetahui kedudukan kelembagaan ULP dalam organisasi
K/L/Pemda/I tersebut, dilakukan dengan membandingkan karakteristik
organisasi ULP dan susunan organisasi K/L/Pemda/I, sesuai dengan
ketentuan yang mengatur tentang pembentukan organisasi. Berdasarkan
tugas pokok ULP, jika dikaitkan dengan konsep Mintzberg tentang 5 (lima)
elemen dasar organisasi, ULP lebih identik dengan elemen support staff,
yaitu bagian atau mereka yang diserahi tugas untuk memberikan jasa
pendukung tidak langsung kepada organisasi.
79
| 79
Gambar 3.12
Lima Elemen Dasar Organisasi Henry Mintzberg
8
Dengan menggunakan konsep dasar Henry Mintzberg tersebut, maka
ULP sebagai elemen support staff dalam organisasi selanjutnya dapat
diidentifikasi kedudukannya dalam organisasi K/L/Pemda/I.
Tabel 3.1
Matriks Elemen Organisasi K/L/Pemda/I
Elemen
Organisasi
Organisasi
Kementerian
Lembaga Pemda
Institusi
lain Koordinator
Fungsinya
disebut
tegas
dalam
UUD 1945
Ruang
lingkupnya
disebut
dalam
UUD 1945
Penajaman
koordinasi
dan
sinkronisasi
Strategi c Apex Menteri Menteri Menteri Menteri Kepala
Lembaga
Kepala
Daerah
Kepala
Institusi
Mi ddl e Li ne Sekretaris
Kementerian
dan pejabat
eselon
Sekjen dan
pejabat
eselon
pendukung
Sekjen dan
pejabat
eselon
pendukung
Sekretaris
Kementerian
dan pejabat
eselon
pendukung
Sekretaris
Lembaga
dan pejabat
eselon
Sekda, Asisten
Setda dan
pejabat eselon
pendukung
Sekretaris
Institusi dan
pejabat
eselon
pendukung
Operati ng Core Deputi Direktur
Jenderal
Direktur
Jenderal
Deputi Deputi Dinas,
Lembaga
Lain
Deputi,
Pusat, dll
(bervariasi)
Technostructure Inspektorat Inspektorat,
Badan dan
Pusat
Inspektorat,
Badan dan
Pusat
Inspektorat Pusat Inspektorat,
Lemtekda,
Lembaga
Lain
Unit Kerja
Pendukung
(Support staff)
Sekretariat
Kemenko
Sekretariat
Jenderal
Sekretariat
Jenderal
Sekretariat Sekretariat Sekretariat
Daerah,
Lembaga
Lain
Sekretariat
Dengan membandingkan elemen-elemen organisasi tersebut pada
struktur organisasi K/L/Pemda/I, maka dapat diprediksi pada posisi mana
8
Henry Mintzberg, The Structuringof Organization, 1983, Hal 170.
80
| 80
organisasi ULP tersebut akan ditempatkan. Dari tabel di atas dapat
disimpulkan bahwa kedudukan yang paling ideal bagi ULP adalah berada di
bawah atau menjadi bagian dari Sekretariat pada K/L/Pemda/I. Khusus
pada Kementerian yang melaksanakan urusan pemerintah yang secara tegas
disebutkan dalam UUD Tahun 1945, ULP dapat ditempatkan pada unit
organisasi di luar Sekretariat Jenderal, yaitu Pusat sebagai unit organisasi
mandiri. Sedangkan untuk Pemda, ULP juga dimungkinkan dibentuk sebagai
lembaga lain dengan kedudukan sebagai support staff bagi organisasi
perangkat daerah.
Elemen support staff sendiri secara umum organisasinya berbentuk
Sekretariat sebagai unsur pelayanan administrasi, baik organisasi di pusat
maupun di daerah. Khusus organisasi di Kementerian dan Pemda, unsur staf
yang menangani fungsi penunjang organisasi karena kompleksitasnya
berkembang menjadi unit organisasi mandiri atau satuan kerja (auxiliary
staff). Fungsi penunjang tersebut antara lain kepegawaian, perencanaan,
keuangan, pendidikan dan pelatihan, data dan informasi, dan sebagainya.
Contoh satuan kerja yang berfungsi sebagai auxiliary staff di tingkat
kementerian adalah Badan Pendidikan dan Pelatihan dan Pusat Data dan
Informasi. Sedangkan contoh satuan kerja di daerah yang berfungsi sebagai
auxiliary staff adalah Badan Kepegawaian Daerah, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, Balitbangda, dan lain-lain.
Merujuk pada hal tersebut, maka fungsi Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah pada Kementerian dan Pemda pada dasarnya dapat diwadahi
dalam bentuk unit organisasi mandiri (satuan kerja mandiri). Pada
kementerian dapat berbentuk pusat, sedangkan di daerah dapat berbentuk
badan atau kantor sebagai lembaga teknis daerah.
Dampak positif terhadap pilihan penyelenggaraan fungsi Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah sebagai unit organisasi (satuan kerja) mandiri
antara lain:
1. Kesinambungan pengelolaan dokumen pengadaan barang/jasa;
| 81
2. Intervensi dalam proses pemilihan barang/jasa dapat diminimalisir;
3. Pembinaan karir dan profesionalisme bagi jabatan fungsional pengelola
pengadaan barang/jasa;
3. Besaran (si ze) Organisasi ULP
Struktur organisasi ditentukan oleh seberapa besar ukuran organisasi
berdasarkan jumlah anggotanya
9
. Berdasarkan pasal 15 Peraturan Presiden
Nomor 70 Tahun 2012, jumlah keseluruhan anggota ULP ditentukan oleh
jumlah Kelompok Kerja (Pokja), dimana setiap Pokja jumlah anggotanya
ditentukan berdasarkan atas kompleksitas pekerjaannya dan beranggotakan
paling kurang 3 (tiga) orang. Berdasarkan pasal 1 butir 36 Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012, pekerjaan kompleks adalah pekerjaan yang
memerlukan teknologi tinggi, mempunyai resiko tinggi, menggunakan
peralatan yang di desain khusus dan/atau pekerjaan yang bernilai di atas
Rp100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah). Kompleksitas pekerjaan pada
ULP ditentukan oleh besarnya jumlah anggaran Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya yang ditangani.
9
Stephen P. Robbins dan Mary Coulter, Manajemen, Edisi Delapan, Indeks, Hal. 294
81
| 80
organisasi ULP tersebut akan ditempatkan. Dari tabel di atas dapat
disimpulkan bahwa kedudukan yang paling ideal bagi ULP adalah berada di
bawah atau menjadi bagian dari Sekretariat pada K/L/Pemda/I. Khusus
pada Kementerian yang melaksanakan urusan pemerintah yang secara tegas
disebutkan dalam UUD Tahun 1945, ULP dapat ditempatkan pada unit
organisasi di luar Sekretariat Jenderal, yaitu Pusat sebagai unit organisasi
mandiri. Sedangkan untuk Pemda, ULP juga dimungkinkan dibentuk sebagai
lembaga lain dengan kedudukan sebagai support staff bagi organisasi
perangkat daerah.
Elemen support staff sendiri secara umum organisasinya berbentuk
Sekretariat sebagai unsur pelayanan administrasi, baik organisasi di pusat
maupun di daerah. Khusus organisasi di Kementerian dan Pemda, unsur staf
yang menangani fungsi penunjang organisasi karena kompleksitasnya
berkembang menjadi unit organisasi mandiri atau satuan kerja (auxiliary
staff). Fungsi penunjang tersebut antara lain kepegawaian, perencanaan,
keuangan, pendidikan dan pelatihan, data dan informasi, dan sebagainya.
Contoh satuan kerja yang berfungsi sebagai auxiliary staff di tingkat
kementerian adalah Badan Pendidikan dan Pelatihan dan Pusat Data dan
Informasi. Sedangkan contoh satuan kerja di daerah yang berfungsi sebagai
auxiliary staff adalah Badan Kepegawaian Daerah, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, Balitbangda, dan lain-lain.
Merujuk pada hal tersebut, maka fungsi Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah pada Kementerian dan Pemda pada dasarnya dapat diwadahi
dalam bentuk unit organisasi mandiri (satuan kerja mandiri). Pada
kementerian dapat berbentuk pusat, sedangkan di daerah dapat berbentuk
badan atau kantor sebagai lembaga teknis daerah.
Dampak positif terhadap pilihan penyelenggaraan fungsi Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah sebagai unit organisasi (satuan kerja) mandiri
antara lain:
1. Kesinambungan pengelolaan dokumen pengadaan barang/jasa;
| 81
2. Intervensi dalam proses pemilihan barang/jasa dapat diminimalisir;
3. Pembinaan karir dan profesionalisme bagi jabatan fungsional pengelola
pengadaan barang/jasa;
3. Besaran (si ze) Organisasi ULP
Struktur organisasi ditentukan oleh seberapa besar ukuran organisasi
berdasarkan jumlah anggotanya
9
. Berdasarkan pasal 15 Peraturan Presiden
Nomor 70 Tahun 2012, jumlah keseluruhan anggota ULP ditentukan oleh
jumlah Kelompok Kerja (Pokja), dimana setiap Pokja jumlah anggotanya
ditentukan berdasarkan atas kompleksitas pekerjaannya dan beranggotakan
paling kurang 3 (tiga) orang. Berdasarkan pasal 1 butir 36 Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012, pekerjaan kompleks adalah pekerjaan yang
memerlukan teknologi tinggi, mempunyai resiko tinggi, menggunakan
peralatan yang di desain khusus dan/atau pekerjaan yang bernilai di atas
Rp100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah). Kompleksitas pekerjaan pada
ULP ditentukan oleh besarnya jumlah anggaran Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya yang ditangani.
9
Stephen P. Robbins dan Mary Coulter, Manajemen, Edisi Delapan, Indeks, Hal. 294
82
|
8
2
T
a
b
e
l
3
.
2
D
a
t
a
J
u
m
l
a
h
A
n
g
g
a
r
a
n
d
a
n
N
i
l
a
i
P
e
n
g
a
d
a
a
n
B
a
r
a
n
g
K
o
n
s
t
r
u
k
s
i
K
o
n
s
u
l
t
a
n
s
i
J
a
s
a
L
a
i
n
n
y
a
1
U
L
P
P
r
o
v
i
n
s
i
N
T
B
2
.
3
6
4
.
0
0
0
.
0
0
0
.
0
0
0
2
8
0
6
0
1
4
3
7
5
3
2
U
L
P
K
o
t
a
S
o
l
o
k
4
0
2
.
6
4
1
.
1
5
5
.
0
0
0
1
2
8
2
1
9
2
1
3
2
3
U
L
P
K
o
t
a
S
u
r
a
b
a
y
a
5
.
1
9
0
.
0
0
0
.
0
0
0
.
0
0
0
9
5
5
3
2
2
5
0
5
4
7
6
9
4
U
L
P
K
a
b
.
M
a
m
u
j
u
6
8
2
.
4
8
2
.
4
8
5
.
5
6
0
8
2
0
2
8
5
3
8
6
1
3
3
1
6
5
U
L
P
P
r
o
v
.
G
o
r
o
n
t
a
l
o
9
3
8
.
4
0
1
.
8
2
7
.
0
1
9
2
3
0
5
0
1
6
5
9
3
6
U
L
P
K
a
b
.
B
a
n
j
a
r
2
.
2
0
1
.
9
5
1
.
2
9
3
.
6
1
8
2
8
6
5
6
2
2
1
1
2
4
7
U
L
P
K
o
t
a
S
u
k
a
b
u
m
i
7
4
8
.
4
5
0
.
0
4
0
.
8
0
0
1
1
5
3
0
5
9
7
1
0
8
U
L
P
K
a
b
.
B
a
d
u
n
g
2
.
6
7
1
.
6
4
2
.
8
1
4
.
9
5
9
5
5
0
1
6
3
2
8
8
8
1
1
8
9
U
L
P
K
a
b
.
B
a
n
y
u
a
s
i
n
2
0
4
.
6
4
6
.
9
6
5
.
7
8
4
5
3
5
7
9
3
5
2
5
4
1
0
1
0
U
L
P
K
a
b
.
D
h
a
r
m
a
s
r
a
y
a
1
5
.
5
6
3
.
2
8
9
.
0
4
5
1
1
2
2
6
6
3
1
0
3
1
1
U
L
P
K
o
t
a
b
a
l
i
k
p
a
p
a
n
2
.
3
9
9
.
4
0
0
.
8
7
1
.
0
7
2
3
8
9
7
9
1
5
5
1
0
8
3
6
1
2
U
L
P
K
o
t
a
Y
o
g
y
a
k
a
r
t
a
1
.
1
4
6
.
2
8
8
.
3
9
3
.
8
1
6
1
3
6
5
1
5
7
1
2
1
6
1
3
U
L
P
K
a
b
.
M
a
r
o
s
7
2
9
.
5
7
5
.
6
8
8
.
8
9
6
8
4
3
1
6
3
6
3
3
2
1
2
7
1
4
U
L
P
P
r
o
v
i
n
s
i
M
a
l
u
k
u
1
.
5
0
2
.
8
1
2
.
0
2
0
.
4
3
4
5
0
2
1
5
1
2
9
9
3
8
1
4
1
5
U
L
P
K
a
b
.
P
a
s
u
r
u
a
n
1
.
6
9
1
.
7
7
7
.
4
0
6
.
2
9
3
1
6
7
5
4
6
1
1
8
1
4
1
6
U
L
P
K
a
b
.
B
o
n
e
B
o
l
a
n
g
o
4
3
8
.
1
7
2
.
5
0
6
.
3
9
7
1
5
2
5
1
7
9
2
2
1
7
U
L
P
K
a
b
.
S
o
l
o
k
7
3
7
.
5
1
8
.
0
6
1
.
0
1
3
2
7
4
4
4
2
1
3
1
5
2
1
8
U
L
P
K
a
b
.
B
a
n
g
g
a
i
9
1
4
.
9
5
1
.
9
6
3
.
6
9
0
1
6
8
3
4
1
2
8
6
1
9
U
L
P
k
e
m
e
n
t
e
r
i
a
n
P
e
r
d
a
g
a
n
g
a
n
2
.
4
8
3
.
9
7
9
.
6
1
7
.
0
0
0
1
9
9
2
0
U
L
P
K
a
b
.
M
i
n
a
h
a
s
a
U
t
a
r
a
5
0
7
.
1
0
6
.
6
0
8
.
8
0
6
8
7
0
2
1
U
L
P
k
e
m
e
n
t
e
r
i
a
n
L
u
a
r
N
e
g
e
r
i
5
.
2
4
2
.
0
5
0
.
1
9
3
.
0
0
0
5
5
2
4
1
5
2
5
2
2
U
L
P
K
e
m
e
n
t
e
r
i
a
n
K
e
s
e
h
a
t
a
n
3
4
.
5
8
1
.
9
5
7
.
3
8
5
.
0
0
0
1
8
5
9
1
1
3
3
2
4
2
2
5
0
2
3
4
2
3
U
L
P
B
M
K
G
t
i
d
a
k
a
d
a
d
a
t
a
1
8
7
8
3
5
9
1
0
2
4
U
L
P
P
r
o
v
i
n
s
i
K
e
p
.
R
i
a
u
2
.
6
7
0
.
4
6
4
.
7
8
6
.
6
6
9
6
0
7
2
5
U
L
P
K
a
b
.
B
e
r
a
u
t
i
d
a
k
a
d
a
d
a
t
a
1
1
6
2
6
U
L
P
K
o
t
a
P
o
n
t
i
a
n
a
k
1
.
3
3
2
.
5
3
5
.
7
6
6
.
9
6
2
t
i
d
a
k
a
d
a
d
a
t
a
t
i
d
a
k
t
e
r
d
a
p
a
t
d
a
t
a
r
i
n
c
i
a
n
p
a
k
e
t
t
i
d
a
k
t
e
r
d
a
p
a
t
d
a
t
a
r
i
n
c
i
a
n
p
a
k
e
t
t
i
d
a
k
t
e
r
d
a
p
a
t
d
a
t
a
r
i
n
c
i
a
n
p
a
k
e
t
t
i
d
a
k
t
e
r
d
a
p
a
t
d
a
t
a
r
i
n
c
i
a
n
p
a
k
e
t
t
i
d
a
k
t
e
r
d
a
p
a
t
d
a
t
a
r
i
n
c
i
a
n
p
a
k
e
t
N
o
N
a
m
a
U
L
P
J
u
m
l
a
h
A
n
g
g
a
r
a
n
(
A
P
B
D
)
T
o
t
a
l
P
a
k
e
t
R
i
n
c
i
a
n
P
a
k
e
t
P
e
n
g
a
d
a
a
n
B
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n
J
e
n
i
s
P
e
k
e
r
j
a
a
n
83
| 83
Berdasarkan data yang ada saat ini, jumlah ahli pengadaan seluruh
Indonesia pada K/L/D/I sebagaimana tabel berikut :
Tabel 3.3
Data Jumlah Ahli Pengadaan di Indonesia
Berdasarkan Pangkat dan Golongan
J
U
M
L
A
H
A
H
L
I
P
E
N
G
A
D
A
A
A
N
Pendidikan
Pangkat/Golongan
Total
IIIa IIIb IIIc IIId
P
u
s
a
t
D4 39 18 30 22 109
3521
S1 1.228 712 734 738 3412
D
a
e
r
a
h
D4 32 25 37 33 127
9400
S1 2.729 1.847 1.945 1.752 8273
Total 4028 2602 2746 2545 11921 11921
Jika dihitung secara rata-rata dengan asumsi bahwa jumlah
Kementerian dan Lembaga di pusat adalah sebanyak lebih kurang 152
organisasi (34 Kementerian + 28 LPNK + 90 LNS), maka setiap organisasi di
Pusat terdapat sekitar 3521 : 152 = 23,16 24 orang ahli pengadaan.
Sedangkan jika dihitung rata-rata ahli pengadaan pada Pemda
(Provinsi+Kab/Kota) sebanyak 542 pemda, maka jumlah rata-rata ahli
pengadaan pada setiap Pemda adalah 9.400 : 542= 17,3 18 orang. Untuk
kondisi saat ini dengan jumlah ahli pengadaan pada Pusat dan Daerah
tersebut, sudah cukup layak untuk diwadahi dalam satu unit organisasi
mandiri. Namun jumlah ahli pengadaan tersebut belum dapat dipastikan
dapat dengan mudah menjadi pegawai organik pada ULP sebagai organisasi
mandiri nantinya.
Di lain pihak, besaran organisasi K/L/Pemda/I disusun berdasarkan
pengelompokan jenjang jabatan struktural atau disebut eseloneering.
Eseloneering disusun berdasarkan ketentuan PP No. 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah
84
| 84
dengan PP No. 13 Tahun 2002. Merujuk pada ketentuan tersebut terdapat 9
(sembilan) jenjang jabatan struktural dalam organisasi pemerintah, yaitu :
1. Eselon Ia
2. Eselon Ib
3. Eselon IIa
4. Eselon IIb
5. Eselon IIIa
6. Eselon IIIb
7. Eselon IVa
8. Eselon IVb
9. Eselon Va
Berikut diuraikan jenjang jabatan struktural pada organisasi Sekretariat
pada K/L/Pemda/I :
Tabel 3.3
Jenjang Jabatan Struktural pada Sekretariat K/L/Pemda/I
No.
Jenjang
Jabatan/
Eselon
Nomenklatur Jabatan pada Sekretariat
Kementerian
Lembaga Pemda
Institusi
lain Koordinator
Fungsinya
disebut
tegas
dalam
UUD 1945
Ruang
lingkupnya
disebut
dalam
UUD 1945
Penajaman
koordinasi
dan
sinkronisasi
1. Ia Sekretaris
Kementerian
Sekretaris
Jenderal
Sekretaris
Jenderal
Sekretaris
Kementerian
Sekretaris
Lembaga,
JAM
Pembinaan
-
2. Ib - - - - - Sekretaris
Daerah
Provinsi
3. Iia Kepala Biro Kepala Biro Kepala Biro Kepala Biro Deputi,
Kepala
Biro
Sekretaris
Daerah
Kab/Kota
4. Iib - - - - - Asisten
Setkab/kota,
Kepala Biro
Sekretariat
5. IIIa Kepala
Bagian
Kepala
Bagian
Kepala
Bagian
Kepala
Bagian
Kepala
Bagian
Kepala
Bagian
Kepala
Bagian/
Sekretariat
6. IIIb - - - - - - -
7. Iva Kepala Sub
Bagian
Kepala Sub
Bagian
Kepala Sub
Bagian
Kepala Sub
Bagian
Kepala
Sub
Bagian
Kepala Sub
Bagian
Kepala
Sub
Bagian
8. Ivb - - - - - - -
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bagi organisasi Kementerian dan
Pemda dimungkinkan dibentuk organisasi ULP sebagai satuan kerja mandiri
(auxiliary staff) dengan karakteristik sebagai birokrasi profesional.
85
| 85
Kasubbag
Kasubbag
Adanya pertimbangan beban kerja yang berbeda pada masing-masing
organisasi layanan pengadaan, maka perlu didesain besaran organisasi yang
tepat berdasarkan eseloneering yang ada pada masing-masing K/L/Pemda/I.
Desain besaran organisasi ULP berdasarkan beban kerja tersebut dibagi
menjadi 3 (tiga) tipologi organisasi, yaitu tipe A, B, dan C. Contoh desain
besaran organisasi masing-masing tipe dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3.13
Desain Struktur Organisasi ULP Tipe A
Pada organisasi ULP Tipe A sebagaimana gambar di atas, Kepala ULP
merupakan jabatan struktural eselon II (pada Kementerian dan Pemerintah
Provinsi setingkat eselon IIa, sedangkan pada Pemerintah Kabupaten/Kota
setingkat eselon IIb). Nomenklatur Kepala ULP disesuaikan dengan
nomenklatur unit kerja pada K/L/Pemda/I, misalnya Kepala Biro Layanan
Pengadaan, Kepala Pusat Layanan Pengadaan, atau Kepala Badan Layanan
Pengadaan. Kepala ULP didukung oleh unsur staf, dapat berbentuk
Sekretariat atau Bagian Tata Usaha, yang merupakan jabatan struktural
eselon III (eselon IIIa pada semua K/L/Pemda/I). Kepala Sekretariat atau
Kepala Bagian Tata Usaha membawahi paling banyak 3 (tiga) sub bagian
sebagai jabatan struktural eselon IV (eselon IVa pada semua K/L/Pemda/I).
Kepala ULP
Sekretariat/
Bagian TU
Subbag
POKJA
POKJA
POKJA
Eselon III
Eselon II
Eselon IV
Kelompok Jabatan
Fungsional Pengelola
Pengadaan Barang/Jasa
dan/atau fungsional umum
86
| 86
Adapun unsur pelaksana dari ULP, diisi oleh para pejabat fungsional
pengelola Pengadaan Barang/Jasa yang jumlahnya dihitung berdasarkan
Analisis Beban Kerja (ABK).
Gambar 3.14
Desain Struktur Organisasi ULP Tipe B
Pada organisasi ULP Tipe B sebagaimana gambar di atas, Kepala ULP
merupakan jabatan struktural eselon III (eselon IIIa pada semua
K/L/Pemda/I). Nomenklatur Kepala ULP disesuaikan dengan nomenklatur
unit kerja pada K/L/Pemda/I, misalnya Kepala Bagian Layanan Pengadaan
atau Kepala Kantor Layanan Pengadaan. Kepala ULP didukung oleh unsur
staf, berbentuk Subbagian Tata Usaha, yang merupakan jabatan struktural
eselon IV (eselon IVa pada semua K/L/Pemda/I). Sedangkan unsur
pelaksana dari ULP, diisi oleh para pejabat fungsional pengelola Pengadaan
Barang/Jasa yang jumlahnya dihitung berdasarkan ABK.
Kepala ULP
Kasubbag TU
POKJA
POKJA
POKJA
Eselon IV
Eselon III
Kelompok Jabatan
Fungsional Pengelola
Pengadaan
Barang/Jasa dan/atau
fungsional umum
87
| 87
Gambar 3.15
Desain Struktur Organisasi ULP Tipe C
Sedangkan pada organisasi ULP Tipe C sebagaimana gambar di atas,
Kepala ULP merupakan jabatan struktural eselon IV (eselon IVa pada semua
K/L/Pemda/I). Nomenklatur Kepala ULP disesuaikan dengan nomenklatur
unit kerja pada K/L/Pemda/I, misalnya Kepala Subbagian Layanan
Pengadaan. Kepala ULP didukung oleh unsur staf, diisi oleh pegawai dengan
jabatan fungsional umum (JFU), yang jumlahnya disesuaikan dengan
kebutuhan. Adapun unsur pelaksana dari ULP, diisi oleh para pejabat
fungsional pengelola Pengadaan Barang/Jasa yang jumlahnya dihitung
berdasarkan ABK.
Selanjutnya untuk menentukan besaran organisasi ULP tersebut dapat
dihitung melalui model perhitungan berdasarkan skor yang ditentukan oleh
variabel-variabel yang mempengaruhi beban kerja organisasi pada ULP.
Variabel-variabel ditentukan dengan mengacu kepada ketentuan pada
Peraturan Kepala LKPP Nomor 5 Tahun 2012 tentang Unit Layanan
Pengadaan. Variabel-variabel tersebut adalah:
1. Jumlah rata-rata total nilai paket lelang pengadaan barang/jasa
selama 3 (tiga) tahun terakhir;
Kepala ULP
Pengadministrasi
Umum
POKJA
POKJA
POKJA
Jabatan
Fungsional
Umum
Eselon IV
Kelompok Jabatan
Fungsional Pengelola
Pengadaan Barang/Jasa
dan/atau fungsional
umum
88
| 88
2. Jumlah rata-rata paket pengadaan barang selama 3 (tiga) tahun
terakhir;
3. Jumlah rata-rata paket pengadaan jasa konstruksi selama 3 (tiga)
tahun terakhir;
4. Jumlah rata-rata paket pengadaan jasa konsultansi selama 3 (tiga)
tahun terakhir;
5. Jumlah rata-rata paket pengadaan jasa lainnya selama 3 (tiga) tahun
terakhir.
Selanjutnya pedoman perhitungan skor untuk pembentukan organisasi
ULP Barang/Jasa pada K/L/Pemda/I berdasarkan variabel, kelas interval serta
skor total, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.2
PERHITUNGAN SKOR UNTUK PEMBENTUKAN ORGANISASI
LAYANAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH PADA K/L/PEMDA/I
NO
VARIABEL & KELAS
INTERVAL
SKALA NILAI
BOBOT
(%)
SKOR
1
Jumlah rata-rata nilai paket
lelang pengadaan barang/jasa
dalam 3 (tiga) tahun terakhir
20
100 M 100 20
101 - 200 M 200 40
201 - 300 M 300 60
301 - 400 M 400 80
401 - 500 M 500 100
501 - 600 M 600 120
601 - 700 M 700 140
701 - 800 M 800 160
801 - 900 M 900 180
> 900 M 1000 200
2
Jumlah rata-rata paket lelang
pengadaan barang dalam 3
(tiga) tahun terakhir
20 25 100 20
26 - 50 200 40
51 - 75 300 60
76 - 100 400 80
89
| 89
NO
VARIABEL & KELAS
INTERVAL
SKALA NILAI
BOBOT
(%)
SKOR
101 - 125 500 100
126 - 150 600 120
151 - 175 700 140
176 - 200 800 160
201 - 225 900 180
> 225 1000 200
3
Jumlah rata-rata paket lelang
pengadaan jasa konstruksi
dalam 3 (tiga) tahun terakhir
20
50 100 20
51 - 100 200 40
101 - 150 300 60
151- 200 400 80
201 - 250 500 100
251 - 300 600 120
301 - 350 700 140
351 - 400 800 160
401 - 450 900 180
> 450 1000 200
4
Jumlah rata-rata paket lelang
pengadaan jasa konsultansi
dalam 3 (tiga) tahun terakhir
25
10 100 25
11 30 200 50
31 - 50 300 75
51 - 70 400 100
71 - 90 500 125
91 - 110 600 150
111 - 130 700 175
131 - 150 800 200
151 - 170 900 225
> 170 1000 250
5
Jumlah rata-rata paket lelang
pengadaan jasa lainnya dalam 3
(tiga) tahun terakhir
15
10 100 15
11 - 15 200 30
16 - 20 300 45
21 - 25 400 60
26 - 30 500 75
90
| 90
NO
VARIABEL & KELAS
INTERVAL
SKALA NILAI
BOBOT
(%)
SKOR
31 - 35 600 90
36 - 40 700 105
41 - 45 800 120
46 - 50 900 135
> 50 1000 150
TOTAL SKOR MAKSIMAL 1000
Berdasarkan hasil perhitungan skor tersebut di atas, selanjutnya kita
dapat menentukan bentuk dan besaran struktur organisasi ULP untuk
masing-masing tipe/jenis organisasi pemerintah. Skor yang diperoleh, dalam
hal ini dipergunakan sebagai kriteria untuk menentukan bentuk dan besaran
ULP pada masing-masing tipe organisasi pemerintah. Hal ini secara rinci
dapat dijelaskan sebagai berikut :
A. Pada Kementerian yang melaksanakan urusan Pemerintah yang secara
tegas disebutkan dalam UUD 1945:
1. Total skor kurang dari 250, belum dapat dibentuk unit kerja mandiri
dan harus digabung fungsinya pada Sub Bagian yang menangani
fungsi atau pekerjaan sejenis pada Biro Umum atau Biro yang
melaksanakan pengelolaan barang/jasa pada Sekretariat Jenderal
Kementerian;
2. Total skor dari 251 sampai dengan 500, dibentuk organisasi dengan
nomenklatur Sub Bagian Layanan Pengadaan pada Biro Umum atau
Biro yang melaksanakan pengelolaan barang/jasa pada Sekretariat
Jenderal Kementerian;
3. Total skor dari 501 sampai dengan 750 , dibentuk organisasi dengan
nomenklatur Bagian Layanan Pengadaan pada Biro Umum atau Biro
yang melaksanakan pengelolaan barang/jasa pada Sekretariat
Jenderal Kementerian;
4. Total skor dari 751 sampai dengan 1000, dibentuk organisasi
dengan nomenklatur Pusat.
91
| 91
B. Pada Kementerian Yang Dibentuk dalam Rangka Koordinasi, Sinkronisasi
dan Penajaman Program, Lembaga dan Institusi Lain:
1. Total skor kurang dari 250, belum dapat dibentuk unit kerja mandiri
dan harus digabung fungsinya pada Sub Bagian yang menangani
rumpun pekerjaan sejenis pada Sekretariat
Kementerian/Lembaga/Institusi;
2. Total skor dari 251 sampai dengan 500, dibentuk organisasi dengan
nomenklatur Sub Bagian Layanan Pengadaan pada Sekretariat
Kementerian/Lembaga/Institusi;
3. Total skor dari 501 sampai dengan 750, dibentuk organisasi dengan
nomenklatur Bagian Layanan Pengadaan pada Sekretariat
Kementerian/Lembaga/Institusi;
4. Total skor dari 751 sampai dengan 1000, dibentuk organisasi
dengan nomenklatur Biro Pelayanan Pengadaan pada Sekretariat
Kementerian/Lembaga/Institusi.
Ketentuan di atas juga berlaku bagi lembaga setingkat
kementerian, seperti Kejaksaan Agung RI, Mabes TNI dan Kepolisian
Republik Indonesia, tentunya dengan melakukan sedikit penyesuaian.
Pada Kejaksaan Agung, ULP dibentuk pada unit kerja
(Biro/Bagian/Subbagian) di bawah Jaksa Agung Muda Bidang
Pembinaan, mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun
2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia.
Pada Mabes TNI, ULP dibentuk pada unit kerja di bawah Staf
Logistik TNI, dengan mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor
10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional
Indonesia. Adapun pada Mabes TNI AD, AU dan AL, ULP dibentuk
pada unit kerja di bawah Staf Logistik.
Sedangkan pada Kepolisian RI, ULP dibentuk pada unit kerja di
bawah Asisten Sarana dan Prasarana (Assarpras), mengacu kepada
92
| 92
Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2010.
C. Pada Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Pembentukan ULP pada Pemda dimungkinkan dengan 2 (dua) alternatif,
yaitu:
Alternatif I: Berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah, maka kriteria pembentukan ULP pada Pemda adalah
sebagai berikut:
1. Total skor kurang dari 250, pada pemerintah daerah belum dapat
dibentuk satuan kerja mandiri dan harus digabung fungsinya pada
Sub Bagian yang melaksanakan urusan pengelolaan barang/jasa
pemerintah pada Sekretariat Daerah.
2. Total skor dari 251 sampai dengan 500, pada pemerintah daerah
dibentuk Sub Bagian Layanan Pengadaan pada Bagian yang
menyelenggarakan urusan pengelolaan barang/jasa pada Sekretariat
Daerah;
3. Total skor dari 501 sampai dengan 750, pada pemerintah daerah
dibentuk Kantor Layanan Pengadaan setingkat eselon IIIa dengan
nomenklatur Kantor Layanan Pengadaan;
4. Total skor lebih dari 751 sampai dengan 1000, pada pemerintah
Kabupaten/Kota dibentuk Badan setingkat eselon IIb dengan
nomenklatur Badan Layanan Pengadaan.
Alternatif II: Apabila pembentukan ULP didasarkan atas prinsip
pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan sesuai dengan Pasal
45 PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah untuk
membentuk Lembaga Lain, maka besaran organisasi ULP pada Pemda
93
| 93
tersebut sebagai Lembaga Lain (Satuan Kerja mandiri) tetap
berpedoman padaketentuan di atas. ULP sebagai Lembaga Lain tetap
menggunakan nomenklatur organisasi ULP dengan tipologi A, B dan C.
Pada Provinsi ULP Tipe A setingkat eselon IIa, tipe B setingkat eselon
IIIa, serta tipe C setingkat eselon IVa, sedangkan pada Kabupaten/Kota
ULP Tipe A setingkat eselon IIb, tipe B setingkat eselon IIIa, dan tipe C
setingkat eselon IVa.
D. Bagi Kementerian dan Lembaga yang memiliki kantor perwakilan di
daerah/kantor wilayah/UPT, ketentuan di atas berlaku juga bagi kantor
perwakilan di daerah/kantor wilayah/UPT kementerian tersebut.
Berkaitan dengan adanya rencana perubahan UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah, maka rumusan kriteria untuk pembentukan ULP pada
Pemda berdasarkan rancangan PP tentang organisasi perangkat daerah
(pengganti PP No. 41 Tahun 2007) adalah sebagai berikut:
1. Total skor kurang dari 250, pada pemerintah daerah belum dapat
dibentuk satuan kerja mandiri dan harus digabung fungsinya pada
satuan kerja yang memiliki rumpun urusan sejenis.
2. Total skor dari 251 sampai dengan 500, pada pemerintah daerah
dibentuk Badan tipe C;
3. Total skor dari 501 sampai dengan 750, pada pemerintah daerah
dibentuk Badan tipe B;
4. Total skor dari 750 sampai dengan 1000, pada pemerintah daerah
dibentuk Badan tipe A.
Perhitungan skor diatas berdasarkan RPP perubahan PP No. 41 Tahun
2007 hanya untuk faktor teknis bidang pengadaan barang/jasa dengan total
bobot 60 persen, sedangkan 40 persen ditentukan oleh faktor umum baik
untuk provinsi maupun untuk kabupaten/kota.
94
| 94
E. Hambatan Pembentukan Organisasi ULP pada K/L/Pemda/I
Meskipun dalam kajian ini formula perhitungan eselonisasi sudah
dapat dirumuskan, namun pada kenyataannya tidak mungkin membuat satu
sistem atau model organisasi layanan pengadaan yang dapat diterapkan
untuk semua jenis/tipe organisasi pemerintah. Hal ini disebabkan oleh:
1. Tingginya tingkat keragaman bentuk dan pola organisasi pemerintah,
baik pusat dan daerah, khususnya pada lembaga-lembaga dan institusi
lainnya. Hal ini mengakibatkan sulitnya menentukan kedudukan ULP
pada organisasi lembaga dan institusi lainnya tersebut.
2. Adanya perbedaan beban kerja pengadaan (jumlah dan nilai paket, jenis
paket pengadaan, kompleksitas paket pekerjaan) yang tinggi pada
masing-masing organisasi pemerintah baik di pusat maupun di daerah.
3. Adanya perbedaan susunan antar organisasi ULP dengan susunan
organisasi pada jenjang jabatan eselon II dan III pada Sekretariat
K/L/Pemda/I. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009,
PP No. 41 Tahun 2007, dll), bahwa Biro membawahi beberapa Bagian,
sedangkan Bagian membawahi beberapa Sub Bagian sesuai kebutuhan.
Adapun pada susunan organisasi ULP, Kepala ULP membawahi Pokja-
pokja dan sekretariat. Sedangkan pada Pemda jika ULP dibentuk sebagai
Lembaga lain, maka hal ini tidak menjadi persoalan karena ULP sebagai
Lembaga lain menjadi satuan kerja mandiri. Untuk itu perlu usulan
perubahan pada peraturan yang menjadi pedoman pembentukan
organisasi K/L/Pemda/I.
4. Ahli pengadaan yang ada saat ini masih merangkap sebagai pegawai
organik pada instansi/organisasi induknya dan memiliki rata-rata pangkat
golongan III serta menduduki jabatan struktural. Sehingga pada saat
ULP dibentuk sebagai organisasi mandiri, ahli pengadaan tersebut
enggan untuk melepaskan jabatan strukturalnya untuk menjadi pejabat
fungsional pada ULP.
95
| 95
5. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa ULP pada K/L/Pemda/I
kedudukannya mengikuti pola pengorganisasian masing-masing
organisasi tersebut, dengan fungsi sebagai bagian dari unsur pelayanan
administrasi (support staff). Unsur pelayanan administrasi pada masing-
masing organisasi tersebut umumnya berbentuk sekretariat. Dalam
kenyataannya terdapat perbedaan karakteristik organisasi antara
organisasi sekretariat dan bentuk organisasi ULP. Sekretariat umumnya
memiliki karakteristik birokrasi mesin, sedangkan ULP memiliki
karakteristik birokrasi profesional. Sehingga apabila ULP diwadahi di
dalam organisasi sekretariat memerlukan pengaturan organisasi
tersendiri/khusus.
6. Untuk pembentukan ULP pada organisasi Pemda apabila pilihannya ULP
dibentuk sebagai Lembaga Lain sesuai ketentuan Pasal 45 PP No. 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka harus
memperoleh persetujuan dari Menteri PAN dan RB sebagai dasar bagi
Mendagri untuk selanjutnya menetapkan Pedoman Organisasi Unit
Layanan Pengadaan di daerah dalam bentuk Permendagri.
96
| 96
IV. P E N U T U P
Bagi an i ni beri si urai an tentang kesi mpul an dan saran dari
hasi l pembahasan kaji an pembentukan ULP.
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya berkaitan dengan
pembentukan ULP pada K/L/Pemda/I, dapat disimpulkan:
1. Pembentukan ULP merupakan kebutuhan yang sangat mendesak dalam
rangka mewujudkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang
akuntabel, transparan, efisien, dan efektif. Pembentukan ULP juga
sangat penting untuk menjamin keamanan dokumen Pengadaan
Barang/Jasa secara berkesinambungan yang sulit diwujudkan jika
pengadaan dilakukan oleh panitia adhoc. Selain itu, pembentukan ULP
merupakan wadah pembinaan ahli pengadaan yang berstatus sebagai
pejabat fungsional sehingga karir dan profesionalismenya terpelihara
dengan baik.
2. Pembentukan ULP secara permanen dalam struktur organisasi
pemerintah tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan pembentukan
organisasi itu sendiri baik di pusat maupun di daerah.
3. Kedudukan ULP dalam organisasi pemerintah baik di pusat maupun di
daerah dapat berdiri sendiri atau menjadi bagian unit kerja pendukung
(support staff). Oleh karena itu, kedudukan yang paling ideal bagi ULP
adalah berada di bawah atau menjadi bagian dari Sekretariat.
4. ULP merupakan unit kerja yang memberikan dukungan kepada unit kerja
lain dalam pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa. Berdasarkan
karakteristik tugas dan fungsi ULP tersebut, maka konfigurasi atau
bentuk organisasi yang tepat bagi ULP adalah organisasi profesional
yang mengandalkan para ahli pada operating core.
97
| 97
5. Besaran organisasi ULP mempengaruhi kedudukan/nomenklatur dan
eselonisasi ULP dalam organisasi pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Untuk menentukan besaran organisasi ULP dimaksud digunakan
variabel-variabel yang secara langsung mempengaruhi beban tugas ULP,
yaitu jumlah paket pekerjaan, kompleksitas, serta nilai paket.
B. Saran
Adapun beberapa saran sebagai rekomendasi dari hasil kajian tentang
pembentukan ULP pada K/L/Pemda/I ini antara lain:
1. Pembentukan ULP harus didahului dengan kajian pengembangan
organisasi (organizational development) pada masing-masing organisasi
pemerintah, serta merupakan bagian dari kebijakan organisasi
pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu diperlukan koordinasi
yang intensif dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi dan Kementerian Dalam Negeri untuk mengadopsi
pola organisasi ULP tersebut.
2. Kedudukan ULP dalam birokrasi pemerintah sebaiknya disusun secara
fleksibel sesuai dengan karakteristik organisasi pemerintah. Standardisasi
besaran dan struktur organisasi sebaiknya dihindari mengingat setiap
organisasi pemerintah memiliki karakteristik organisasi maupun
karakteristik pengadaan yang berbeda-beda.
98
99
1
LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
KAJIAN PEMBENTUKAN UNIT LAYANAN PENGADAAN (ULP)
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan fungsi penting dari setiap
organisasi pemerintah. Pengadaan yang efisien, efektif, akuntabel dan transparan
sangat penting dalam rangka mewujudkan efektivitas pencapaian kinerja program
pemerintah. Terkait dengan hal tersebut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (terakhir diubah dengan Perpres 70
tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), telah mengamanatkan pembentukan unit
layanan pengadaan (ULP) yang berfungsi melaksanakan proses pemilihan penyedia
barang/jasa pemerintah di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi
(K/L/Pemda/I).
Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut
ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat
pada unit yang sudah ada. Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyebutkan bahwa
K/L/Pemda/I diwajibkan mempunyai ULP yang dapat memberikan
pelayanan/pembinaan dibidang Pengadaan Barang/Jasa, dan ayat (2) menyebutkan
bahwa ULP pada K/L/Pemda/I dibentuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala
Daerah/Pimpinan Institusi.
Dalam rangka mengimplementasikan ketentuan mengenai pembentukan
ULP, maka perlu dibuat kajian akademis mengenai pembentukan organisasi layanan
pengadaan di K/L/Pemda/I. Kajian ini disusun dengan maksud untuk memberikan
masukan khususnya kepada Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian PAN dan
RB, serta seluruh K/L/Pemda/I dalam rangka pembentukan ULP. Tujuan utama dari
kajian ini adalah untuk merumuskan kedudukan, desain dan besaran (eselonisasi)
ULP.
Kedudukan ULP dalam organisasi pemerintah dipengaruhi oleh karakteristik
pekerjaan yang dilakukan oleh ULP. Karakteristik tersebut meliputi :
100
2
1. Pengadaan barang/jasa adalah fungsi pendukung pelaksanaan misi utama
organisasi.
2. Core bussiness ULP adalah melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa;
3. Pimpinan ULP melaksanakan fungsi manajerial yaitu perencanaan, koordinasi,
dan pengelolaan sumber daya organisasi;
4. Pokja ULP bekerja secara mandiri berdasarkan standardisasi keahlian dan
standardisasi peraturan/prosedur;
5. Pengambilan keputusan dalam penentuan penyedia barang/jasa sepenuhnya
berada pada pokja (terdesentralisasi);
6. Tidak terdapat banyak spesialisasi tugas pada operating core;
7. Keterlibatan para pihak dalam pengambilan keputusan pada Pokja sangat
terbatas, hanya untuk paket dengan nilai tertentu;
Sesuai dengan karakteristik tersebut maka kedudukan ULP dalam organisasi
pemerintah adalah sebagai organisasi profesional dan merupakan elemen
pendukung (support staff) bagi unit kerja lainnya. ULP dalam hal ini dapat dibentuk
berdiri sendiri atau menjadi bagian unit kerja pendukung (support staff) yang sudah
ada pada K/L/Pemda/I. Berdasarkan hal tersebut maka kedudukan yang paling ideal
bagi ULP adalah berada di bawah atau menjadi bagian dari Sekretariat.
Matriks Elemen Organisasi K/L/Pemda/I
Elemen
Organisasi
Organisasi Pemerintah
Kementerian
Lembaga Pemda Institusi lain
Koordinator
Fungsinya
disebut tegas
dalam UUD
1945
Ruang
lingkupnya
disebut dalam
UUD 1945
Penajaman
koordinasi
dan
sinkronisasi
Strategic Apex Menteri Menteri Menteri Menteri Kepala
Lembaga
Kepala Daerah Kepala
Institusi
Middle Line Sekretaris
Kementerian
dan pejabat
eselon
Sekjen dan
pejabat eselon
pendukung
Sekjen dan
pejabat eselon
pendukung
Sekretaris
Kementerian
dan pejabat
eselon
pendukung
Sekretaris
Lembaga
dan pejabat
eselon
Sekda, Asisten
Setda dan pejaba
eselon pendukung
Sekretaris
Institusi dan
pejabat
eselon
pendukung
Operating Core Deputi Direktur
Jenderal
Direktur
Jenderal
Deputi Deputi Dinas,
Lembaga Lain
Deputi,
Pusat, dll
(bervariasi)
Technostructure Inspektorat Inspektorat,
Badan dan
Pusat
Inspektorat,
Badan dan
Pusat
Inspektorat Pusat Inspektorat,
Lemtekda,
Lembaga Lain
Uni t Kerj a
Pendukung
(Support
staff)
Sekretariat
Kemenko
Sekretariat
Jenderal
Sekretariat
Jenderal
Sekretariat Sekretariat Sekretariat
Daerah,
Lembaga
Lain
Sekretariat
Dikarenakan tugas dan fungsi utama ULP yaitu pemilihan penyedia
barang/jasa dilaksanakan oleh kelompok kerja yang terdiri dari pejabat yang
memiliki keahlian khusus di bidang pengadaan (pejabat fungsional pengelola
pengadaan), maka desain dari ULP cenderung mengarah pada organisasi
profesional yang ditandai dengan konfigurasi struktur sederhana, yaitu dipimpin oleh
101
3
seorang kepala ULP dan dibantu oleh sekretariat/tata usaha. Kepala ULP dalam hal
ini memiliki fungsi manajerial, sedangkan sekretariat/tata usaha berfungsi
memberikan dukungan administrasi dan ketatausahaan kepada kepala ULP dan
kelompok kerja ULP. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Selanjutnya, untuk menentukan besaran (tingkat eselonisasi) ULP,
pendekatan yang digunakan adalah melalui analisis jabatan dan analisis beban kerja.
Beban kerja dimaksud meliputi volume, besaran dana, dan jenis kegiatan. Agar hasil
perhitungan beban kerja lebih akurat, maka variabel beban kerja tersebut dirinci
lebih spesifik serta data yang digunakan adalah data selama 3 tahun. Variabel
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Rata-rata jumlah total nilai paket pengadaan barang/jasa yang menjadi
tanggungjawab ULP dalam 3 tahun terakhir;
2. Rata-rata jumlah paket pekerjaan konstruksi dalam 3 tahun terakhir;
3. Rata-rata jumlah paket pengadaan barang dalam 3 tahun terakhir;
4. Rata-rata jumlah paket jasa konsultansi dalam 3 tahun terakhir;
5. Rata-rata jumlah paket jasa lainnya dalam 3 tahun terakhir.
Masing-masing variabel akan menghasilkan skor yang kemudian
diakumulasikan menjadi skor total dari setiap K/L/Pemda/I. Skor total selanjutnya
digunakan untuk menentukan eselonisasi organisasi ULP yang dibutuhkan pada
masing-masing K/L/Pemda/I. Pedoman perhitungan skor untuk pembentukan
organisasi ULP Barang/Jasa pada K/L/Pemda/I berdasarkan variabel, kelas interval
serta total skor, dapat dilihat pada tabel berikut:
Perhitungan Skor Untuk Pembentukan ULP Pada K/L/Pemda/I
NO VARIABEL & KELAS INTERVAL SKALA NILAI
BOBOT
(%)
SKOR
1
Jumlah rata-rata nilai paket lelang
pengadaan barang/jasa dalam 3 (tiga)
tahun terakhir (Rp)
20
Kepala ULP
POKJA
POKJA
POKJA
Kasubbag TU
Kelompok Jabatan
Fungsional Pengelola
Pengadaan Barang/Jasa
dan/atau fungsional
umum
Pejabat struktural
atau fungsional umum
Pejabat struktural
102
4
NO VARIABEL & KELAS INTERVAL SKALA NILAI
BOBOT
(%)
SKOR
100 M 100 20
101 - 200 M 200 40
201 - 300 M 300 60
301 - 400 M 400 80
401 - 500 M 500 100
501 - 600 M 600 120
601 - 700 M 700 140
701 - 800 M 800 160
801 - 900 M 900 180
> 900 M 1000 200
2
Jumlah rata-rata paket lelang pengadaan
barang dalam 3 (tiga) tahun terakhir
(Paket)
20
25 100 20
26 - 50 200 40
51 - 75 300 60
76 - 100 400 80
101 - 125 500 100
126 - 150 600 120
151 - 175 700 140
176 - 200 800 160
201 - 225 900 180
> 225 1000 200
3
Jumlah rata-rata paket lelang pengadaan
jasa konstruksi dalam 3 (tiga) tahun
terakhir (Paket)
20
50 100 20
51 - 100 200 40
101 - 150 300 60
151- 200 400 80
201 - 250 500 100
251 - 300 600 120
301 - 350 700 140
351 - 400 800 160
401 - 450 900 180
> 450 1000 200
4
Jumlah rata-rata paket lelang pengadaan
jasa konsultansi dalam 3 (tiga) tahun
terakhir (Paket)
25
10 100 25
11 30 200 50
31 - 50 300 75
51 - 70 400 100
103
5
NO VARIABEL & KELAS INTERVAL SKALA NILAI
BOBOT
(%)
SKOR
71 - 90 500 125
91 - 110 600 150
111 - 130 700 175
131 - 150 800 200
151 - 170 900 225
> 170 1000 250
5
Jumlah rata-rata paket lelang pengadaan
jasa lainnya dalam 3 (tiga) tahun terakhir
(Paket)
15
10 100 15
11 - 15 200 30
16 - 20 300 45
21 - 25 400 60
26 - 30 500 75
31 - 35 600 90
36 - 40 700 105
41 - 45 800 120
46 - 50 900 135
> 50 1000 150
TOTAL SKOR MAKSIMAL
1000
Berdasarkan hasil perhitungan skor tersebut di atas, selanjutnya kita dapat
menentukan bentuk dan besaran struktur organisasi ULP untuk masing-masing
tipe/jenis organisasi pemerintah. Skor yang diperoleh, dalam hal ini dipergunakan
sebagai kriteria untuk menentukan bentuk dan besaran ULP pada masing-masing
tipe organisasi pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada matriks berikut.
104
6
Skor
Kementerian yang
melaksanakan urusan
Pemerintah yang
secara tegas
disebutkan dalam
UUD 1945
Kementerian Yang
Dibentuk dalam
Rangka Koordinasi,
Sinkronisasi dan
Penajaman Program,
Lembaga dan
Institusi Lain
Pemda Berdasarkan
PP No. 41 Tahun
2007 tentang
Organisasi Perangkat
Daerah
Pemda berdasarkan
rancangan PP
tentang organisasi
perangkat daerah
(pengganti PP No. 41
Tahun 2007)
<250 belum dapat dibentuk
unit kerja mandiri dan
harus digabung
fungsinya pada Sub
Bagian yang
menangani fungsi atau
pekerjaan sejenis pada
Biro Umum atau Biro
yang melaksanakan
pengelolaan
barang/jasa pada
Sekretariat Jenderal
Kementerian
belum dapat dibentuk
unit kerja mandiri dan
harus digabung
fungsinya pada Sub
Bagian yang
menangani rumpun
pekerjaan sejenis pada
Sekretariat
Kementerian/
Lembaga/ Institusi
belum dapat dibentuk
satuan kerja mandiri
dan harus digabung
fungsinya pada Sub
Bagian yang
melaksanakan urusan
pengelolaan
barang/jasa
pemerintah pada
Sekretariat Daerah
belum dapat dibentuk
satuan kerja mandiri
dan harus digabung
fungsinya pada satuan
kerja yang memiliki
rumpun urusan
sejenis
251-500 dibentuk organisasi
dengan nomenklatur
Sub Bagian Layanan
Pengadaan pada Biro
Umum atau Biro yang
melaksanakan
pengelolaan
barang/jasa pada
Sekretariat Jenderal
Kementerian
dibentuk organisasi
dengan nomenklatur
Sub Bagian Layanan
Pengadaan pada
Sekretariat
Kementerian/
Lembaga/ Institusi
dibentuk Sub Bagian
Layanan Pengadaan
pada Bagian yang
menyelenggarakan
urusan pengelolaan
barang/jasa pada
Sekretariat Daerah
dibentuk Badan tipe
C
501-750 dibentuk organisasi
dengan nomenklatur
Bagian Layanan
Pengadaan pada Biro
Umum atau Biro yang
melaksanakan
pengelolaan
barang/jasa pada
Sekretariat Jenderal
Kementerian
dibentuk organisasi
dengan nomenklatur
Bagian Layanan
Pengadaan pada
Sekretariat
Kementerian/
Lembaga/ Institusi
dibentuk Kantor
Layanan Pengadaan
setingkat eselon IIIa
dengan nomenklatur
Kantor Layanan
Pengadaan
dibentuk Badan tipe
B
751-1000 dibentuk organisasi
dengan nomenklatur
Pusat
dibentuk organisasi
dengan nomenklatur
Biro Pelayanan
Pengadaan pada
Sekretariat
Kementerian/
Lembaga/ Institusi
dibentuk Badan
setingkat eselon IIb
dengan nomenklatur
Badan Layanan
Pengadaan
dibentuk Badan tipe A
Tipe Organisasi Layanan Pengadaan pada K/L/D/I
105
7
Ketentuan di atas juga berlaku bagi lembaga setingkat kementerian,
seperti Kejaksaan Agung RI, Mabes TNI dan Kepolisian Republik Indonesia,
tentunya dengan melakukan sedikit penyesuaian.
1. Pada Kejaksaan Agung, ULP dibentuk pada unit kerja
(Biro/Bagian/Subbagian) di bawah Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan,
mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
2. Pada Mabes TNI, ULP dibentuk pada unit kerja di bawah Staf Logistik TNI,
dengan mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010
tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia. Adapun pada
Mabes TNI AD, AU dan AL, ULP dibentuk pada unit kerja di bawah Staf
Logistik.
3. Sedangkan pada Kepolisian RI, ULP dibentuk pada unit kerja di bawah
Asisten Sarana dan Prasarana (Assarpras), mengacu kepada Peraturan
Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Kepala Polisi
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010.
Meskipun dalam kajian ini formula perhitungan eselonisasi sudah dapat
dirumuskan, namun pada kenyataannya tidak mungkin membuat satu sistem atau
model organisasi layanan pengadaan yang dapat diterapkan untuk semua jenis/tipe
organisasi pemerintah. Hal ini disebabkan oleh (1) banyaknya tipe dan karakteristik
organisasi baik di pusat maupun daerah yang menyulitkan kita dalam menentukan
kedudukan ULP dalam struktur organisasi pemerintah. (2) adanya variasi yang tinggi
terkait dengan beban kerja (jumlah dan nilai paket), jenis paket pengadaan,
kompleksitas paket pekerjaan yang ada di masing-masing organisasi pemerintah
baik di pusat maupun di daerah mempersulit standardisasi atau penyeragaman
besaran organisasi ULP (eselonisasi).
Oleh karena itu hasil dari kajian ini sebaiknya digunakan oleh K/L/Pemda/I
hanya sebagai acuan/panduan umum yang sifatnya tidak kaku/mengikat dalam
rangka membentuk organisasi pengadaan. Pembentukan organisasi layanan
pengadaan atau ULP di K/L/Pemda/I sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan
hal berikut:
1. Pembentukan ULP harus didahului dengan kajian pengembangan organisasi
(organizational development) pada masing-masing organisasi pemerintah, serta
merupakan bagian dari kebijakan organisasi pemerintah pusat dan daerah.
Oleh karena itu diperlukan koordinasi yang intensif dengan Kementerian
106
8
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kementerian
Dalam Negeri untuk mengadopsi pola organisasi ULP tersebut.
2. Kedudukan ULP dalam birokrasi pemerintah sebaiknya disusun secara fleksibel
sesuai dengan karakteristik organisasi pemerintah. Standardisasi besaran dan
struktur organisasi sebaiknya dihindari mengingat setiap organisasi pemerintah
memiliki karakteristik organisasi maupun karakteristik pengadaan yang
berbeda-beda.
3. Besaran organisasi ULP ditentukan dengan menggunakan variabel-variabel
yang secara langsung mempengaruhi beban tugas ULP, yaitu jumlah paket
pekerjaan, kompleksitas, serta nilai paket.