Hukum Tentang Malpraktek
Hukum Tentang Malpraktek
Hukum Tentang Malpraktek
Kesehatan merupakan kebutuhan semua orang apalagi di era yang serba sibuk dan modern sekarang
ini kesehatan benar-benar sangat dibutuhkan, baik kesehatan jasmani maupun kesehatan rohani sangat
diperlukan untuk melakukan semua kegiatan yang baik yang bersifat privat seperti mengurus anak dan
keluarga, mapun yang bersifat public seperti melakukan pekerjaan di kantor atau di tempat kerja.
Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28C ayat (1) Amandemen Kedua,
disana dijelaskan melalui pemenuhan dasarnya. Kesehatan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar
untuk melangsungkan kehidupan seseorang atau keluarga, karena dengan kesehatan maka seseorang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Pada Pasal 28H ayat (3) Amandemen Kedua, di pasal tersebut
juga menerangkan setiap orang berhak atas jaminan social. Jaminan Sosial dapat diterjemahkan sebagai
salah satu pemenuhan kebutuhan hidup seseorang yang dalam hal ini adalah pemenuhan akan kesehatan yang
dipergunakan untuk menjalankan kehidupan bermasyarakat.
Di dalam melindungi kesehatan harus dilakukan bukan hanya oleh orang-perorang (person), tetapi
juga Negara dan masyarakat luas. Salah satunya yang dapat dilakukan untuk melindungi seseorang dalam
memenuhi kebutuhannya salah satunya adalah di bidang kesehatan, maka diperlukan hokum sebagai
pelindungnya dan juga diperlukan suatu peraturan yang dibutuhkan untuk membatasi ruang gerak dari dokter
sebagai orang yang ahli dalam bidang kesehatan untuk masyarakat mendapatkan kesehatan.
Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya
boleh dilakukan oleh kelompok professional kedokteran tertentu. Sikap profesionalisme adalah sikap yang
bertanggung jawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi
maupun masyarakat luas (termasuk klien atau pasien). Professional kedokteran tertentu yang memiliki
kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu
dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang
ditetapkan oleh organisasi profesinya maupun masyarakat luas (termasuk klien atau pasien).
Beberapa cirri profesionalisme tersebut merupakan cirri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan
yang lalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, dan khusus untuk
profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari cirri-ciri tersebutlah yang kiranya
harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud. Semua tindakan medis yang
dilakukan oleh seorang dokter harus memiliki persetujuan dari diri seseorang yang mengalami kesakitan
(pasien) atau keluarganya yang disebut Perjanjian Terapeutik. Perjanjian Terapeutik adalah perjanjian antara
dokter dengan pasien, berupa hubungan hokum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.
Walaupun sudah dibuat suatu perjanjian antara pasien dengan dokter tetap saja tindakan medis memiliki resiko
yang berbeda-beda. Sama halnya dengan tindakan medic yang memiliki resiko.
Pengertian Perjanjian Terapeutik
Perjanjian Terapeutik adalah penjanjian atara pasien dengan dokter, berupa suatu hubungan hokum
yang melahirkan tindakan medic dengan seorang pasien yang menerima tindakan medic.
Perjanjian Terapeutik sama halnya dengan perikatan pada umumnya, di dalam perjanjian terapeutik
juga terdapat para pihak yang mengikatkan dirinya di dalam suatu perjanjian, yaitu dokter sebagai pihak yang
memberikan pelayanan medic dan di pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan tersebut.
Mengacu pada peraturan perundangan di bidang kesehatan maka hubungan hokum yang terjadi
dalam perjanjian terapautik adalah sebagai berikut :
1. Objek hokum perjanjian terapautik adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang
berhak untuk menerima tindakan medic;
2. Subyek hokum perjanjian terapautik adalah pasien, dokter dan sarana kesehatan;
3. Causa hokum perjanjian terapautik adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan yang dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Menurut Siti Ismiati Jenie, perjanjian terapautik adalah Suatu perjanjian yang objeknya adalah
pelayanan medis atau upaya penyembuhan.
Di dalam hokum perikatan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), dikenal ada dua (2) macam perjanjian, yaitu :
1. Inspanningverbintenis, yakni perjanjian upaya artinya kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara
maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjkan;
2. Resultaatverbintenis, yakni suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan diberikan suatu resultaat, yaitu
suatu hasil nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Jika kita melihat dari kedua jenis perjanjian yang terdapat di KUH Perdata, maka perjanjian antara
antara dokter dengan pasien atau perjanjian terapeutik merupakan jenis perjanjian inspanningverbintenis atau
perikatan upaya. Di dalam jenis perjanjian ini seorang dokter hanya berkewajiban membrikan pelayanan
kesehatan kepada pasien dengan cara menggunakan semua kemampuan yang dimiliki untuk menjamin
keselamatan atau kesehatan si pasien dengan etika kedokteran dan prosedur kesehatan terjamin.
Apabila dokter atau instansi kesehatan tersebut tidak menjalankan tugas dan fungsinya secara
sungguh-sungguh, maka pasien atau keluarga pasien dapat menggugat karena melakukan wanprestasi yang
sesuai dengan Pasal 1239 KUH Perdata. Dan dapat juga meminta atau menuntut kompensasi baik secara
materiil maupun inmateriil, maka Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipakai sebagai dasar gugatannya walaupun
tidak ada hubungan kontraktual, asalkan perbuatannya melanggar hokum dan dapat diterima jika ada faktafakta yang mendukung bahwa kerugian pasien diakibatkan oleh perbuatan dokter.
Dasar Hukum Transaksi Terapeutik
Di dalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang Perikatan, yang didasarkan pada system
terbuka yang tercantum di dalam Pasal 1319, yaitu : semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama
khusus, maupun tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat di
dalam Bab ini dan Bab yang lalu.
Pada Pasal 1233 KUH Perdata, menyatakan bahwa setiap perikatan yang dilahirkan karena perjanjian
atau pun karena undang-undang mengikat para pihak yang membuat perikatan tersebut. Sedangkan pada Pasal
1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata, terdapat konsekuensi logis mengenai sumber perikatan karena para pihak
dalam suatu perjanjian tidak hanya terikat di dalam hal-hal yang secara tegas disebutkan di dalam Pasal 1233
KUH Perdata, tetapi juga pada segala hal yang menurut sifat perjanjian dan selain itu juga diharuskan oleh
kepatutan dan kesusilaan.
Transaksi terapeutik merupakan suatu perjanjian dalam hal memberikan jasa yang diatur di dalam
Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan jenis perjanjian untuk memberikan atau melakukan jasa yang diatur
dalam ketentuan khusus. Yang dimaksud dengan ketentuan khusus yang mengatur tentang perjanjian terapeutik
adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Sedangkan syarat-syarat sahnya dari
transaksi terapeutik adalah berdasarkan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa untuk
sahnya perjanjian diperlukan empat syarat sebagai berikut :
a) Adanya pihak yang mengikatkan diri
Secara yuridis, yang dimksud dengan adanya kesepakatan adalah tidak adanya kehilafan, atau paksaan,
atau penipuan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata. Sepakat disini artinya bahwa
persetujuan dari mereka yang mengikatkan diri. Berarti dalam suatu perjanjian minimal harus 2 orang subyek
hokum. Yang dapat menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri.
b) Kecakapan untuk membuat perikatan
Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kewenangan
seseporang untuk mengikatkan diri kepada orang lain, karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini
didasarkan pada Pasal 1329 KUH Perdata dan Pasal 1330 KUH Perdata.
c) Suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek dari suatu perjanjian dalam Pasal 1337 KUH
Perdata suatu sebab adalah larangan, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan maupun ketertiban umum.
d) Suatu sebab yang halal
Hal ini dalam undang-undang tidak dijelaskan secara tegas, tetapi dapat di tafsirkan secara contrario
menurut ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUH Perdata.
Di dalam Pasal 1335 KUHP Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau terlarang,
tidak mempunyai kekuatan. Sedangkan di dalam Pasal 1337 KUH Perdata suatu sebab adalah terlarang, apabila
dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusialaan baik atau ketertiban umum.
Dengan demikian yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah sebab yang tidak dilarang oleh
undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuan
1.
2.
1.
2.
Pasien penggugat harus menunjukkan bahwa dokter telah gagal melaksanakan kewajibannya sesuai
dengan norma-norma, karena tindakannya dengan sadar atau dengan tidak sadar yang melanggar standarisasi
pasien tersebut.
3. Sebab
Pasien penggugat harus menunjukkan bahwa adanya hubungan timbale balik yang erat dan masuk akal
antara tindakan dokter dengan akibat yang menimbulkan bahaya bagi pasien.
4. Kerugian
Pasien penggugat harus menunjukkan perbuatan dokter mengakibatkan terjadinya kerugian atau
kerusakan. Dapat terjadi mengani badaniyah, materi, penderitaan atau emosional bagi pasien yang
bersangkutan.
Malpraktek dalam hokum kedokteran mengandung arti praktek dokter yang buruk (bed practice).
Apabila kita membahas pengertian medical malpractice dari sudut tanggung jawab dokter yang berada dalam
suatu perikatan dengan pasien, maka harus menilai kualifikasi yuridis tindakan medis yang dilakukan dokter
tersebut.
Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi yang mulia (officium nobel)
dan terhormat dimata masyarakat. Seorang dokter sebelum melakukan praktek kedokterannya atau melakukan
pelayanan medis telah melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Dari profesi ini banyak
masyarakat menggantungkan harapan hidupnya dari kesembuhan dan penderitaan sakitnya.
Hubungan antara pasien dan dokter yang terjadi dianggap tidak seimbang karena kedudukan dokter
lebih tinggi sekarang mengalami pergeseran. Masyarakat dalam hal ini pasien menilai bahwa hubungan antara
mereka dengan dokternya adalah seimbang, dimana dalam kewajiban dokter untuk melaksanakan tugasnya
dengan hati-hati terdapat hak pasien untuk mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus
malpraktek medic yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hokum perdata, hokum pidana atau dengan
hokum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan
malpraktik medic yang dilakukan dokter tetapi sering tidak berujung pada penyelesaian melalui system
peradilan.
Kasus-kasus malpraktik hanya sedikit yang muncul di permukaan. Ada banyak tindakan dan
pelayanan medic yang dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktik yang
dilaporkan masyarakat masyarakat tetapi tidak diselesaikan secara hokum. Bagi masyarakat hal ini sepertinya
menunjukkan bahwa para penegak hokum tidak berpihak kepada pasien terutama masyarakat kecil yang
kedudukannya tentu tidak setara dengan dokter.
Penegakan hokum yang proporsional terhadap tindakan dokter yang diduga melakukan tindakan
malprkatik medic selain member perllindungan hokum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya
mempunyai kedudukan lemah. Di lain pihak juga bagi dokter yang tersangkut dengan persoalan hokum jika
memang telah melalui proses peradilan dan terbukti tidak melakukan perbuatan malpraktik akan dapat
mengembalikan nama baiknya yang dianggap telah tercemar, karena hubungan dokter dan pasien bukanlah
hubungan yang sifatnya kerja biasa atau atasan bawahan tapi siftnya kepercayaan.
Pasien akan datang pada seorang dokter untuk menyerahkan urusan kesehatannya karena ia percaya
atau yakin pada kemampuan dokter tersebut melalui penawaran terbuka yang diberikan dokter lewat
pemasangan plang nama dan kualifikasi keahliannya (misalnya spesialis apa). Dengan demikian reputasi dokter
untuk menimbulkan kepercayaan pasien adalah modal.
Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter
Dalam hubungannya dengan Hak Asasi Manusia , persoalan kesehatan di negara kita ini diatur dalam
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana dalam Bab I Pasal I Ayat (1) yaitu, Kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun social yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara social dan ekonomis. Dan pada Pasal 4 menyebutkan yaitu, Setiap orang berhak atas
kesehatan.
Sehubungan dengan hak atas kesehatan tersebut yang harus dimiliki oleh setiap orang, negara
memberi jaminan untuk mewujudkannya. Jaminan ini antara lain diatur dalam Bab IV mulai dari Pasal 14
sampai Pasal 20 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada bagian tugas dan tanggung
jawab pemerintah.
Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, maka hak-hak pasien tersebut
adalah :
1. Hak pasien atas perawatan;
2. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu;
3. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat pasien;
4. Hak atas informasi;
5. Hak untuk menolak perawat tanpa izin;
6. Hak atas rasa aman;
7. Hak atas pembatasan terhadap kebebasan perawat;
8. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan;
9. Hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights;
10. Hak pasien menggugat atau menuntut;
11. Hak pasien mengenai bantuan hokum; dan
12. Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan atau ahlinya.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
A.
Berikut beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan kesehatan :
Kewajiban memberikan informasi
Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan
Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga
kesehatan
Kewajiban memberikan imbalan jasa
Kewajiban memberikan ganti rugi, apabila tindakannya merugikan dokter atau tenaga kesehatan
Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak,
dokter juga mempunyai hak dan sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter dapat dirumuskan :
Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasien yang akan
digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.
Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya kepada pasien.
Hak atas itikat baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutik.
Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas peayanan kesehatan yang diberikannya.
Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medic dan pasien atau keluarganya.
Pengaturan Pertanggung Jawaban Hukum Dokter Terhadap Malpraktek
Akhir-akhir ini tuntutan hokum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek makin
meningkat dimana-mana, termasuk di negara kita. Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hokum
masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari akan haknya. Disisi lain para dokter dituntut untuk
melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Seorang dokter
hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan
melakukan tindakan medic sesuai standar pelayanan medic, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan.
Malpraktek merupakan suatu kelalaian seorang dokter untuk mepergunakan tingkat keterampilan
ilmu pengetahuan yang lazim di pergunakan dalam mengobati. Yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah
sikap kurang hati-hati. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar
pelayanan medic.
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hokum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai
membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang lain itu dapat menerimanya.
Jadi malpraktek dokter merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di bawah standar.
Malpraktek medic murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan
pembedahan dengan niat membunuh paseinnya tanpa indikasi medic.
Pasien dapat menggugat tanggung jawab hokum kedokteran dalam hal dokter berbuat kesalahan atau
kelalaian. Dokter tidak bias berlindung dengan dalih ketidak sengajaan, sebab kesalahan dokter dapat
menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi.
Tenaga kesehatan harus memiliki kewenangan hokubiam untuk melaksanakan pekerjaannya
(Rechtsbevoegheid) biasa berupa ijin praktik bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya, bias berupa Badan
Hukum dan Perjanjian lain bagi penyelenggara kesehatan seperti rumah sakit dan klinik-klinik.
Pengaturan yang mengatur tentang pertanggung jawaban malpraktek secara umum yaitu :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dasar hokum pertanggung jawaban dokter pasien dapat menggugat tanggung jawab hokum kedokteran
(medical liability). Dalam hal dokter melakukan kesalahan atau kelalaian Dokter tidak dapat beralih perbuatan
yang tidak sengaja, sebab kesalahan/ kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien untuk
menggugat ganti rugi . dasar hokum dari gugatan pasien terhadap dokter terdapat dalam Pasal 1365 KUH
Perdata yang berbunyi : tiap perbuatan melanggar hokum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu.
Tujuan dari pasal tersebut adalah untuk perlindungan terhadap pasien jika terjadi malpraktek dalam
bentuk pertanggung jawaban yang dapat digugat oleh pasien korba malpraktek adalah pertanggung jawaban
atas kerugian yang disebabkan karena wanprestasi (prestasi buruk) dalam perjanjian terapeutik dan pertanggung
jawaban atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan yang melawan hokum dokter yaitu perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban profesi.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Ada perbedaan akibat kerugian malpraktek perdata dengan malpraktek pidana. Kerugian malpraktek
perdata lebih luas dari akibat malpraktek pidana. Akibat malpraktek perdata khususnya perbuatan melawan
hokum terdiri atas kerugian materil dan inmaterial karena bentuk-bentuk kerugian tidak dimuat secara khusus
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Malpraktek kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil. Yaitu suatu tindak pidana yang
menimbulkan akibat tertentu. Timbulnya akibat menjadi salah satu syarat tindak pidana. Seperti yang tercantum
dalam pasal ini :
Pasal 346 :
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya, atau menyuruh orang lain untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
c.
Berikut beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh dokter untuk menjalankan praktek sebagai dokter, yaitu
antara lain :
1) Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dokter yang diterbirkan oleh Kondil Kedokteran Indonesia yang
berlaku 5 tahun dan setiap 5 tahun diregistrasi ulang (Pasal 29)
2) Khusus dokter luar negeri yang berpraktek di Indonesia harus lulus evaluasi dan memiiliki ijin kerja di
Indonesia (Pasal 30)
3) Memiliki Surat Ijin Praktek (SIP) yang dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota
tempat praktek (Pasal 36 jo. 37)
Pengaturan yang mengatur tentang pertanggung jawaban malpraktek juga diatur secara khusus, yaitu :
a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Di dalam undang-undang tersebut mengatur tentang pertanggung jawaban yang dilakukan oleh dokter yang
melakukan kesalahan dan kelaalian profesi kedokteran. Seperti di dalam Pasal 194 yang menyatakan :
setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah)
b) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
Berikut ini akan diuraikan salah satu pengaturan mengenai petanggung jawaban hokum dokter dalam
Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Pasal 75:
setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda
registrasi sebagaimana dimkasud dalam pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Tujuan dari Praktek Kedokteran yang terdapat di dalam Pasal 3 Undang-Undang Tentang Praktek
Kedokteran, yaitu:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi
c. Memberikan kepastian hokum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi.
B. Bentuk-Bentuk Pertanggung Jawaban Hukum Dokter Terhadap Malpraktek Ditinjau dari Hukum
Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi
1. Bentuk Pertanggung Jawaban Secara Perdata
Hubungan hokum membentuk pertanggung jawaban perdata bagi dokter. Hubungan hokum dokter
dengan pasien dari sudut perdata berada dalam suatu perikatan hokum. Perikatan hokum adalah suatu ikatan
antara dua atau lebih subjek hokum untuk melaukan atau tidak melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu
atau prestasi (1313 jo 1234 BW).
Malpraktek kedokteran dari sudut perdata terjadi apabila perlakuan salah dokter dalam hubungannya
dengan pemberian prestasi menimbulkan kerugian keperdataan (diatur dalam hokum perdata).
Persetujuan pasien, atau keluarganya hanya sekedar membebaskan resiko hokum bagi timbulnya akibat
yang tidak dikehendaki dalam hal perlakuan medis yang benar dan tidak menyimpang. Walaupun ada
persetujuan semacam itu, apabila perlakuan medis dilakukan secara salah dan menimbulkan akibat yang tidak
dikehendaki, dokter juga tetap terbebani tanggung jawab terhadap akibatnya.
Menurut Ninik Mariyanti, dasar gugatan yang dapat dipergunakan adalah pertanggung jawaban suatu
malpraktek dokter dari segi hokum (perdata) biasanya berdasarkan kepada hubungan hokum yang timbul :
1. Wanprestasi atas kontrak antara dokter dengan pasien. Sebagaimana biasanya, hubungan kontraktual ini biasa
disebut sebagai inspanningsverbinntenis, yang berarti kontrak yang tidak menjanjikan hasilnya melainkan
menjanjikan upayanya.
2. Perbuatan melanggar hokum yang umumya bersifat kelalaian, yaitu suatu pelanggaran atas kewajjiban untuk
memberikan perawatan medis sehingga mengakibatkan cedera atau kerugian bagi pasien.
3. Pelanggaran wajib simpan rahasia pekerjaan/kedokteran. Pelanggaran ini dapat berkonsekuensi tanggung jawab
pidana berdasarkan pasal 322 KUHP, perdata berdasarkan perbuatan melanggar hokum, dan administrative.
Perbuatan melawan hokum di dalam pasal 1365 KUH Perdata, bahwa suatu perbuatan melanggar
hokum bukan hanya berarti perbuatan tersebut semata-mata melanggar hokum (tertulis) yang berlaku, tetapi
juga merupakan suatu perbuatan yang bertentangan, melanggar atau tidak sesuai dengan norma-norma
kepatuhan, ketelitian, dan kehati-hatian di dalam masyarakat.
2. Bentuk Pertanggung Jawaban Secara Pidana
Masalah pertanggung jawaban pidana sangat erat kaitannya dengan kesalahan. Untuk menentukan
apakah seseorang atau pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggung jawaban dalam hokum pidana, akan
dilihat apakah rang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan.
Unsur-unsur di dalam pertanggung jawaban pidana yang terkait dengan unsure kesalahan yaitu :
1. Melakukan perbuatan pidana
2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
4. Tidak adanya alas an pemaaf
Apabila orang dipaksa orang lain untuk melakukan suatu perbuatan, maka terhadap orang tersebut tidak
dapat dikatakan bahwa ia menghendaki perbuatan itu dan karenanya tidak dapat dikatakan orang itu sengaja
melakukan perbuatan tersebut. Sehingga dalam diri orang tersebut juga diaggap tidak ada kesalahan.
Dalam masalah pengguguran kandungan tidak saja si pelaku yang berkepentingan agar perbuatannya
tidak diketahui, melainkan si wanita juga tidak berkomentar, sehingga dengan demikian para penegak hokum
(baik penyidik, penuntut umum, dan penasehat hokum) sukar untuk mengetahui adanya perbuatan itu karena
pihak korban tidak melapor.
Pertanggung jawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak
pidana. Moeljatno menyatakan Orang tidak mungkin di pertanggung jawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia
tidak melakukan perbuatan pidana.
Dengan demikian pertanggung jawaban pidana pertama-tama bergantung pada dilakukannya tindak
pidana. Pertanggung jawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan
tindak pidana.
Oleh sebab itu para dokter di seluruh dunia harus mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut
dalam suatu etika professional yang sepanjang masa mengutamakan penderita yang minta berobat serta
keselamatan dan kepentingan penderita itu.
3. Bentuk Pertanggung Jawaban Secara Hukum Administrasi
Bidang hokum kesehatan dan perlindungan konsumen merupakan bagian hokum administrasi. Menurut
Barda Nawawi Arief mengatakan Bidang hokum administrative dapat mencakup ruang lingkup yang sangat
luas, tidak hanya bidang hokum pajak, perbankan, pasar modal, dan perlindungan konsumen. Bidang lainnya
antara lain di bidang ekonomi, lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan social, tata ruang dan
sebagainya.
Berkaitan dengan masalah malpraktek, instrument perizinan yang diatur dalam administrasi negara
mempunyai hubungan dengan timbulnya perbuatan malpraktek administrasi. Oleh karena itu instrument
perizinn menjadi salah satu faktor yang penting ketika seorang dokter akan membuka praktek kesehatan, karena
1.
2.
a.
b.
c.
instrument perizinan tersebut dapat dijadikan sebagai bukti bahwa dokter yang bersangkutan mempunyai
kompeten untuk menjalankan praktik kedokterannya tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa malpraktek administrasi adalah apabila perawat dalam hal ini
dokter telah melanggar hukuum administrasi. Pelanggaran terhadap hokum administrasi tersebut antara lain
seperti dokter tidak mempunyai Surat Izin Kerja, Surat Izin Praktek, atau melanggar batas kewenangan tenaga
keperawatan.
Aspek Hukum Administrasi dalam Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, setiap dokter yang telah
menyelesaikan pendidikan dan ingin menjalankan praktik kedokteran dipersyaratkan untuk memiliki izin. Izin
menjalankan praktek memiiki dua makna, yaitu :
Izin dalam arti pemberian kewenangan secara formil (formeele bevoegdheid)
Izin dalam arti pemberian kewenangan secara materiil (materieele bevoegdheid)
Secara teorotis, izin merupakan pembolehan (khusus) untuk melakukan sesuatu yang secara umum
dilarang. Sebagai contoh: dokter boleh melakukan pemeriksaan (bagian tubuh yang tidak bias dilihat), serta
melakukan sesuatu (terhadap bagian tubuh yang memerlukan tindakan dengan persetujuan) yang izin semacam
itu tidak diberikan kepada profesi lain.
Pengeluaran izin dilandaskan pada asas-asas keterbukaan, ketertiban, ketelitian, keputusan yang baik,
persamaan hak, kepercayaan, kepatutan dan keadillan. Selanjutnya apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi
(lagi) maka izin dapat ditarik kembali.
Sebagai implementasi dari undang-undang, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1419/MENKES/PER/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi untuk menata lebih
lanjut masalah perizinan, termasuk aturan peralihan yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang
mungkin timbul.
Dalam hubunga antara pasien dengan rumah sakit, siapakah yang dapat dimintakan pertanggung
jawaban apabila terjadi kesalahan dalam melakukan pelayanan kesehatan yang mengakibatkan kerugian pada
pasien?
Apabila terjadi kesalahan yang mengakibatkan kerugian pada pasien dalam pelayanan kesehatan di
rumah sakit, maka pertanggung jawaban administrasi adalah berdasarkan system pertanggung jawaban pidana
yang menyimpang dari asas kesalahan, yaitu sebagai berikut :
Apabila dokter yang melakukan kesalahan dalam pelayanan kesehatan tersebut berstatus sebagai dokter in
(dokter sebagai buruh dan rumah sakit sebagai majikan, di mana dokter bekerja sebagai karyawan dari rumah
sakit dan menerima gaji dari rumah sakit), maka rumah sakit dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana
atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter. Hal ini sesuai dengan teori system pertanggung jawaban pidana
korporasi, dimana korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas pertanggung jawaban ketat atas
kesalahan yang dilakukan oleh pegawainya.
Apabila dokter yang melakukan kesalahan dalam pelayanan kesehatan tersebut berstatus sebagai dokter out
(dokter hanya berhak menggunakan fasilitas yang ada di dalam rumah sakit dan rumah sakit menyediakan
fasilitas bagi dokter, tidak sebagai kariyawan rumah sakit tersebut), maka dokter harus dimintakan
peertanggung jawaban secara langsung berdasarkan pertanggung jawaban pidana berdasarkan asas kesalahan.
Apabila yang melakukan kesalahan dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah juru rawatnya, maka
dokternya dapat dimintakan pertanggung jawaban. Dalam hal ini apabila dokter merupakan atasan dan juru
rawat sebagai bawahan, maka pertanggung jawaban pidananya adalah pertanggung jawaban pidana pengganti.
Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah dokter, bukan juru rawatnya.
Contoh Kasus Kasa Tertinggal Berakibat Osteomyelitis
Contoh Kasus ini didapatkan dari blog dr. Yusuf Alam Romadhon, seorang dokter umum di Solo, Jawa
Tengah.
Mas Parjo datang ke Rumah Sakit Remen Waras karena fraktur di tulang femur. Dokter Ndang Sun
Tiken SpB menangani kasus ini adalah dokter bedah satu-satunya di kota Sarwo Saras. Parjo dijadwalkan
operasi, dengan melalui prosedur-prosedur rutin rumah sakit, informed concent telah ditanda tangani oleh Parjo
sendiri. Parjo sangat sadar dengan apa yang ia tanda tangani. Sebelum mengoperasi Parjo pada jam 10.00, dr.
Ndang Sun Tiken sudah melakukan tiga operasi elektif satu operasi cito. Malam harinya dr. Ndang Sun Tiken
mengoperasi dua operasi cito.
Operasi reposisi Parjo telah berhasil dengan baik, dari foto rontgen pasca operasi, pen telah menancap
pada tempat yang benar, kelurusan tulang telah sesuai dengan yang diharapkan.Parjo setelah recovery dan
perawatan di bangsal yang memadai akhirnya bisa dipulangkan.Belum ada seminggu, di tempat luka operasi,
setiap saat selalu keluar nanah, hingga membuat pembalut luka selalu diganti.
Parjo bermaksud kontrol lagi ke Rumah Sakit Remen Waras, tetapi ia mendapati antrian begitu panjang,
dan sudah menunggu mulai dari jam 8.00 hingga 11.00 dokter Ndang Sun Tiken tidak kunjung datang. Berkalikali ia bertanya kepada perawat poliklinik, selalu saja jawabannya masih melakukan operasi. Karena tidak
nyaman dengan apa yang dialaminya, serta tidak enak dengan pandangan-pandangan orang di sekitar yang
tampaknya jijik melihat kondisi pahanya. Parjo dan keluarga memutuskan untuk memeriksakan dirinya ke
rumah sakit Arto Wedi yang letaknya ratusan kilometer dari rumah tinggalnya.
Masuk rumah sakit arto wedi, dengan biaya yang lebih tinggi, Parjo langsung diperiksa oleh dokter
Hangabehi SpBO.FICS.Ahli ortopedi yang sudah terkenal hingga jauh di luar daerah.Oleh dokter Hangabehi,
Parjo segera dilakukan prosedur rutin, roentgen ulang dan segera dijadwalkan operasi. Kembali dilakukan
prosedur rutin, termasuk informed concent telah ditanda tangani dan Parjo sadar betul dengan apa yang
dilakukannya. Secara umum kondisi Parjo menjelang operasi baik.Hanya dari luka operasi sebelumnya saja
yang terus menerus mengalir nanah.
Akhirnya operasi debridement untuk mengatasi pus yang terus-menerus mengalir dari tulang yang
didiagnosis mengalami osteomielitis dilakukan. Selama debridement dilakukan betapa mengejutkan yang
dihadapi tim operasi dokter Hangabehi. Mereka menemukan kassa tertinggal di tulang yang telah
direposisi.Masih syukur tulang mau menyatu.
Keluarga pasien ingin mengetahui mengapa terjadi bencana demikian pada Parjo.Dengan terpaksa
dokter Hangabehi SpBO FICS menjelaskan ini semua karena adanya kasa yang tertinggal di ruang antara tulang
dan otot.Mendengar penjelasan itu kontan keluarga Parjo marah dan tidak terima dengan kinerja dokter Ndang
Sun Tiken beserta timnya. Mereka sepakat untuk melakukan somasi dengan melayangkan surat dugaan
malpraktik kepada dokter Ndang Sun Tiken beserta direktur Rumah Sakit Remen Waras lewat kuasa hukum
mereka Gawe Ribut SH. Mereka menuntut ganti rugi senilai 1 miliar rupiah atas kerugian materiil dan imateriil
yang dialami.
..
Analisa hal yang terjadi
Yang ditimpa masalah adalah Rumah Sakit Remen Waras.Sedangkan rumah sakit Arto Wedi tidak
dalam posisi bermasalah.Rumah Sakit Arto Wedi dalam posisi penemu kesalahan yang dilakukan oleh
Rumah Sakit Remen Waras.
Dalam kasus ini diasumsikan tidak ada masalah administrasi pada dokter-dokter yang berpraktik baik di
Rumah Sakit Remen Waras maupun Rumah Sakit Arto Wedi.
Jadi tidak ada kasus perbuatan melanggar hukum.Permasalahannya adalah operasi yang dilakukan oleh dokter
Ndang Sun Tiken terdapat bukti kelalaian yaitu kasa tertinggal di ruang antara otot dan tulang.Berdasarkan
criteria 4 D jelas memenuhi criteria tersebut. Ada wan prestasi (D1 &D2 ; duty dan dereliction of duty) yang
dilakukan oleh dokter Ndang Sun Tiken SpB; sudah ada kontrak hubungan terapetik dan ada bukti melalaikan
kewajiban yaitu kasa tertinggal.. Juga terdapat damage yaitu adanya osteomielitis dan akibat osteomielitis ini
berkaitan dengan tertinggalnya kasa yang berada di ruang antara otot dan tulang.
Skenario penyelesaian masalah etikolegalnya
Pembuktian
- Pembuktian yang dilakukan yaitu laporan operasi dokter Hangabehi SpBO yang menyebutkan kasa tertinggal
A.
4.
5.
6.
3.
4.
Pembuktian
laporan
operasi
dari
dokter
Ndang
Sun
Tiken
SpB
Bukti yang meringankan
- Dokter Ndang Sun Tiken SpB, sudah mengajukan penambahan dokter bedah di Kabupaten Sarwo Saras
karena dia merasa sudah overload secara tertulis kepada direktur. Dan direktur RS juga menindak lanjutinya
dengan pengajuan penambahan dokter bedah ke Departemen Kesehatan pusat dua tahun yang lalu, dan hingga
kasus Parjo muncul ke permukaan belum terpenuhi permintaan tersebut.
Pengertian Perjanjian Terapeutik
Perjanjian Terapeutik adalah penjanjian atara pasien dengan dokter, berupa suatu hubungan hokum
yang melahirkan tindakan medic dengan seorang pasien yang menerima tindakan medic.
Perjanjian Terapeutik sama halnya dengan perikatan pada umumnya, di dalam perjanjian terapeutik
juga terdapat para pihak yang mengikatkan dirinya di dalam suatu perjanjian, yaitu dokter sebagai pihak yang
memberikan pelayanan medic dan di pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan tersebut.
Mengacu pada peraturan perundangan di bidang kesehatan maka hubungan hokum yang terjadi
dalam perjanjian terapautik adalah sebagai berikut :
Objek hokum perjanjian terapautik adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang
berhak untuk menerima tindakan medic;
Subyek hokum perjanjian terapautik adalah pasien, dokter dan sarana kesehatan;
Causa hokum perjanjian terapautik adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan yang dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Menurut Siti Ismiati Jenie, perjanjian terapautik adalah Suatu perjanjian yang objeknya adalah
pelayanan medis atau upaya penyembuhan.
Di dalam hokum perikatan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), dikenal ada dua (2) macam perjanjian, yaitu :
Inspanningverbintenis, yakni perjanjian upaya artinya kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara
maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjkan;
Resultaatverbintenis, yakni suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan diberikan suatu resultaat, yaitu
suatu hasil nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Jika kita melihat dari kedua jenis perjanjian yang terdapat di KUH Perdata, maka perjanjian antara
antara dokter dengan pasien atau perjanjian terapeutik merupakan jenis perjanjian inspanningverbintenis atau
perikatan upaya. Di dalam jenis perjanjian ini seorang dokter hanya berkewajiban membrikan pelayanan
kesehatan kepada pasien dengan cara menggunakan semua kemampuan yang dimiliki untuk menjamin
keselamatan atau kesehatan si pasien dengan etika kedokteran dan prosedur kesehatan terjamin.
Apabila dokter atau instansi kesehatan tersebut tidak menjalankan tugas dan fungsinya secara
sungguh-sungguh, maka pasien atau keluarga pasien dapat menggugat karena melakukan wanprestasi yang
sesuai dengan Pasal 1239 KUH Perdata. Dan dapat juga meminta atau menuntut kompensasi baik secara
materiil maupun inmateriil, maka Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipakai sebagai dasar gugatannya walaupun
tidak ada hubungan kontraktual, asalkan perbuatannya melanggar hokum dan dapat diterima jika ada faktafakta yang mendukung bahwa kerugian pasien diakibatkan oleh perbuatan dokter.
e)
f)
g)
h)
KUH Perdata, tetapi juga pada segala hal yang menurut sifat perjanjian dan selain itu juga diharuskan oleh
kepatutan dan kesusilaan.
Transaksi terapeutik merupakan suatu perjanjian dalam hal memberikan jasa yang diatur di dalam
Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan jenis perjanjian untuk memberikan atau melakukan jasa yang diatur
dalam ketentuan khusus. Yang dimaksud dengan ketentuan khusus yang mengatur tentang perjanjian terapeutik
adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Sedangkan syarat-syarat sahnya dari
transaksi terapeutik adalah berdasarkan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa untuk
sahnya perjanjian diperlukan empat syarat sebagai berikut :
Adanya pihak yang mengikatkan diri
Secara yuridis, yang dimksud dengan adanya kesepakatan adalah tidak adanya kehilafan, atau paksaan,
atau penipuan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata. Sepakat disini artinya bahwa
persetujuan dari mereka yang mengikatkan diri. Berarti dalam suatu perjanjian minimal harus 2 orang subyek
hokum. Yang dapat menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri.
Kecakapan untuk membuat perikatan
Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kewenangan
seseporang untuk mengikatkan diri kepada orang lain, karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini
didasarkan pada Pasal 1329 KUH Perdata dan Pasal 1330 KUH Perdata.
Suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek dari suatu perjanjian dalam Pasal 1337 KUH
Perdata suatu sebab adalah larangan, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan maupun ketertiban umum.
Suatu sebab yang halal
Hal ini dalam undang-undang tidak dijelaskan secara tegas, tetapi dapat di tafsirkan secara contrario
menurut ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUH Perdata.
Di dalam Pasal 1335 KUHP Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau terlarang,
tidak mempunyai kekuatan. Sedangkan di dalam Pasal 1337 KUH Perdata suatu sebab adalah terlarang, apabila
dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusialaan baik atau ketertiban umum.
Dengan demikian yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah sebab yang tidak dilarang oleh
undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuan
5.
6.
7.
8.
J. Suwandhi berusaha mengusulkan penggunaan istilah malpraktek dengan perkara medic-medik dengan
alas an bahwa jika seorang dokter sudah melakukan malpraktek padahal masih dibuktikan, maka hal ini akan
bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang dianut. Malpraktek mempunyai konotasi buruk, sementara
ada pula yang menuliskan malpractice dengan kata malpraktek dalam Bahasa Indonesia.
Sedangkan Ninik Marianti mempergunakan istilah malapraktek dengan memberikan pengertian sebagai
berikut :
Suatu kesalahan yang terjadi dalam tindakan medis, kesalahan mana di lakukan tidak dengan sengaja,
melainkan karena adanya unsure lalai, yang seharusnya tidak layak untuk dilakukan oleh seorang dokter, akibat
dan tindakan itu pasien menjadi cacat dan bahkan mengakibatkan kematian.
Ada beberapa ukuran yang digunakan atau menentukan seorang dokter talah melakukan kelalaian atau
tidak, syarat-syarat tersebut harus dibuktikan oleh pasien bilamana si pasien memandang dokter telah
melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugasnya. Adapun syarat-syarat tersebut yakni :
Kewajiban
Pada penggugat harus membuktikan bahwa dokter yang bersangkutan mempunyai kewajiban khusus
terhadap pasien. Kewajiban ini berdasarkan hokum yang menyangkut hubungan dokter dengan pasien yang
mengharuskan dokter berbuat sesuai dengan norma-norma atau standar spesifikasi atau dasar profesi dokter.
Kelalaian Kewajiban
Pasien penggugat harus menunjukkan bahwa dokter telah gagal melaksanakan kewajibannya sesuai
dengan norma-norma, karena tindakannya dengan sadar atau dengan tidak sadar yang melanggar standarisasi
pasien tersebut.
Sebab
Pasien penggugat harus menunjukkan bahwa adanya hubungan timbale balik yang erat dan masuk akal
antara tindakan dokter dengan akibat yang menimbulkan bahaya bagi pasien.
Kerugian
Pasien penggugat harus menunjukkan perbuatan dokter mengakibatkan terjadinya kerugian atau
kerusakan. Dapat terjadi mengani badaniyah, materi, penderitaan atau emosional bagi pasien yang
bersangkutan.
Malpraktek dalam hokum kedokteran mengandung arti praktek dokter yang buruk (bed practice).
Apabila kita membahas pengertian medical malpractice dari sudut tanggung jawab dokter yang berada dalam
suatu perikatan dengan pasien, maka harus menilai kualifikasi yuridis tindakan medis yang dilakukan dokter
tersebut.
Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi yang mulia (officium nobel)
dan terhormat dimata masyarakat. Seorang dokter sebelum melakukan praktek kedokterannya atau melakukan
pelayanan medis telah melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Dari profesi ini banyak
masyarakat menggantungkan harapan hidupnya dari kesembuhan dan penderitaan sakitnya.
Hubungan antara pasien dan dokter yang terjadi dianggap tidak seimbang karena kedudukan dokter
lebih tinggi sekarang mengalami pergeseran. Masyarakat dalam hal ini pasien menilai bahwa hubungan antara
mereka dengan dokternya adalah seimbang, dimana dalam kewajiban dokter untuk melaksanakan tugasnya
dengan hati-hati terdapat hak pasien untuk mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus
malpraktek medic yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hokum perdata, hokum pidana atau dengan
hokum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan
malpraktik medic yang dilakukan dokter tetapi sering tidak berujung pada penyelesaian melalui system
peradilan.
Kasus-kasus malpraktik hanya sedikit yang muncul di permukaan. Ada banyak tindakan dan
pelayanan medic yang dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktik yang
dilaporkan masyarakat masyarakat tetapi tidak diselesaikan secara hokum. Bagi masyarakat hal ini sepertinya
menunjukkan bahwa para penegak hokum tidak berpihak kepada pasien terutama masyarakat kecil yang
kedudukannya tentu tidak setara dengan dokter.
Penegakan hokum yang proporsional terhadap tindakan dokter yang diduga melakukan tindakan
malprkatik medic selain member perllindungan hokum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya
mempunyai kedudukan lemah. Di lain pihak juga bagi dokter yang tersangkut dengan persoalan hokum jika
memang telah melalui proses peradilan dan terbukti tidak melakukan perbuatan malpraktik akan dapat
mengembalikan nama baiknya yang dianggap telah tercemar, karena hubungan dokter dan pasien bukanlah
hubungan yang sifatnya kerja biasa atau atasan bawahan tapi siftnya kepercayaan.
Pasien akan datang pada seorang dokter untuk menyerahkan urusan kesehatannya karena ia percaya
atau yakin pada kemampuan dokter tersebut melalui penawaran terbuka yang diberikan dokter lewat
pemasangan plang nama dan kualifikasi keahliannya (misalnya spesialis apa). Dengan demikian reputasi dokter
untuk menimbulkan kepercayaan pasien adalah modal.
D. Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter
Dalam hubungannya dengan Hak Asasi Manusia , persoalan kesehatan di negara kita ini diatur dalam
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana dalam Bab I Pasal I Ayat (1) yaitu, Kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun social yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara social dan ekonomis. Dan pada Pasal 4 menyebutkan yaitu, Setiap orang berhak atas
kesehatan.
Sehubungan dengan hak atas kesehatan tersebut yang harus dimiliki oleh setiap orang, negara
memberi jaminan untuk mewujudkannya. Jaminan ini antara lain diatur dalam Bab IV mulai dari Pasal 14
sampai Pasal 20 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada bagian tugas dan tanggung
jawab pemerintah.
Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, maka hak-hak pasien tersebut
adalah :
13. Hak pasien atas perawatan;
14. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu;
15. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat pasien;
16. Hak atas informasi;
17. Hak untuk menolak perawat tanpa izin;
18. Hak atas rasa aman;
19. Hak atas pembatasan terhadap kebebasan perawat;
20. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan;
21. Hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights;
22. Hak pasien menggugat atau menuntut;
23. Hak pasien mengenai bantuan hokum; dan
24. Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan atau ahlinya.
Berikut beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan kesehatan :
6. Kewajiban memberikan informasi
7. Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan
8. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga
kesehatan
9. Kewajiban memberikan imbalan jasa
10. Kewajiban memberikan ganti rugi, apabila tindakannya merugikan dokter atau tenaga kesehatan
Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak,
dokter juga mempunyai hak dn kewajiban sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter dapat dirumuskan :
6.
Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasien yang akan
digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.
7. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya kepada pasien.
8. Hak atas itikat baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutik.
9. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas peayanan kesehatan yang diberikannya.
10. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medic dan pasien atau keluarganya.
E. Dasar Hukum Pertanggungjawaban Dokter dalam Malpraktek
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam hal dokter melakukan kesalahan atau kelalaian Dokter tidak dapat beralih perbuatan yang tidak
sengaja, sebab kesalahan/ kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien untuk menggugat ganti
rugi . dasar hokum dari gugatan pasien terhadap dokter terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi
: tiap perbuatan melanggar hokum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, penggantian kerugian menurut Pasal 1365 KUH Perdata, terdapat 4 (empat)
unsure, yaitu :
1. Terjadi perbuatan melanggar hokum
2. Kesalahan / kelalaian
3. Kerugian
4. Hubungan sebab akibat antara kesalahan atau kelalaian dengan kerugian.
Berdasarkan konstruksi hokum diatas, meskipun dokter melakukan kesalahan atau kelalaian, tapi tidak
menimbulkan kerugian terhadap pasien maka dokter tidak dapat digugat tanggung jawab hukumnya.
(2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Ada perbedaan akibat kerugian malpraktek perdata dengan malpraktek pidana. Kerugian malpraktek
perdata lebih luas dari akibat malpraktek pidana. Akibat malpraktek perdata khususnya perbuatan melawan
hokum terdiri atas kerugian materil dan inmaterial perbuatan.
Malpraktek kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil. Yaitu suatu tindak pidana yang
menimbulkan akibat tertentu. Timbulnya akibat menjadi salah satu syarat tindak pidana. Seperti yang tercantum
dalam pasal ini :
Pasal 346 :
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya, atau menyuruh orang lain untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347
3) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
4) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
(3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2002 Tentang Kesehatan yang baru ini menggantikan UndangUndang Nomor 23Tahun 1992 yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pemabngunan
kesehatan. Pembangunan kesehatan saat ini dan di masa yang akan datang bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang
optimal.
(4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Menurut Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, pengaturan praktik kedokteran
bertujuan untuk :
Injeksi intramuskular dilakukan dengan memasukkan kedalam otot rangka. Tempat suntikan sebaiknya sejauh mungkin dari
saraf-saraf utama atau pembuluh-pembuluh darah utama. Pada orang dewasa tempat yang paling sering digunakan untuk suntikan
intramuskular adalah seperempat bagian atas luar otot gluteus maksimus. Sedangkan pada bayi, tempat penyuntikkan melalui intra
muskular sebaiknya dibatasi paling banyak 5 ml, bila disuntikkan kedaerah gluteal, dan 2 ml bila di deltoid.
KORTISON
Zat aktif yang digunakan adalah kortison, tetapi dikarenakan zat tersebut sukar larut dalam pelarut air, maka digunakan bentuk
garamnya sebagai zat aktif yaitu, hidrokortison Na phospat, dengan dosis yang digunakan adalah 100mg/hari. Dan metode
pembuatannya dilakukan secara aseptis karena hidrokortison tidak tahan pemanasan sehingga tidak dilakukan sterilisasi akhir.
Your email
Search the