Konstruksi Underpass
Konstruksi Underpass
Konstruksi Underpass
STUDI PUSTAKA
II - 1
II - 2
II - 3
jenjang kedua dengan persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota
jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan persil, atau kota dibawah jenjang
ketiga sampai persil.
2. Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang
kota yang menghubungkan kawasan-kawaasan yang mempunyai fungsi primer,
fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan
seterusnya sampai ke perumahan.
Fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder terdiri dari :
a. Jalan arteri sekunder menhubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder
kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder
kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder
kedua.
b. Jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan
kawasan sekunder kedua kawasan sekunder ketiga.
c. Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan
perumahan, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan,
kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.
2.3.2 Jaringan Jalan
Untuk sistem jaringan jalan yang ada bisa dilihat dari kelas jalan dan kualitas
jalan yang ada, disamping kualitas (ukuran) dari jalan yang dibutuhkan. Sistem jaringan
jalan yang ada di Kota Tegal memiliki pusat jaringan di wilayah kota lama, pusat
jaringan jalan yang ada lebih mengarah pada jalur regional yang ada terutama di pantai
utara. Pola jaringan semacam ini memiliki bentuk radial dengan jaringan jalan
pembantu sistem grid, namun belum sepenuhnya terbentuk sehingga pola ini dapat
disebut semi radial. Sedangkan jalur-jalur lain lebih berfungsi sebagai jalur sekunder
yang melayani daerah sekitarnya yang cukup potensial untuk dikembangkan terutama
untuk mengantisipasi perkembangan di wilayah tengah. Pada saat sekarang jalur
tersebut sudah ada tetapi kondisi sarana dan prasarana jalannya masih kurang memadai
sehingga tidak optimal dalam penggunaannya.
II - 4
Untuk perkembangan wilayah lebih lanjut bentuk ini sudah dapat memberikan
arahan yang tepat, karena akan membentuk perkembangan yang merata antar wilayah utara,
selatan, dan tengah.
Pengembangan
jaringan
jalan
di
Kota
Tegal
didasarkan
atas
pertimbanganpertimbangan berikut :
o Adanya penetapan pusat-pusat pertumbuhan wilayah.
o Kebijaksanaan wilayah Propinsi Jawa Tengah tentang jaringan jalan.
o Kebijaksanaan wilayah Kabupaten sekitar tentang jaringan jalan.
o Volume lalu lintas yang terjadi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pengembangan jaringan jalan dapat
ditetapkan fungsi jaringannya sebagai berikut :
o Jaringan jalan arteri primer, merupakan jaringan jalan utama yang berfungsi
melayani lalu lintas menerus.
o Jaringan jalan arteri sekunder, merupakan jalan utama di dalam kota yang
menghubungkan pusat kota dengan pusat kegiatan lainnya.
o Jaringan jalan kolektor primer, merupakan jalan utama kota yang
menampung kegiatan lalu lintas dari jalan-jalan kota menuju ke pusat
kegiatan perkotaan.
o Jaringan jalan lokal, merupakan jaringan jalan yang berada di lingkungan
permukiman atau peruntukan lahan lainnya, berfungsi untuk menampung
lalu lintas lokal.
Pengembangan
jaringan
jalan
di Kota Tegal,
pengembangan wilayah pada daerah asal, antara dan daerah tujuan. Fungsi utama jalan ini
adalah pada pengembangan swadaya dan swasembada serta peningkatan sumber daya
manusia itu sendiri.Hirarkinya persimpangan Jl.Kapt.Sudibyo-Jl.K.S.Tubun termasuk
jaringan jalan kolektor primer.
2.4.
Analisis ini terdiri dari analisis kapasitas persimpangan, panjang antrian, angka henti
dan tundaan. Disamping itu diperlukan juga suatu analisis kinerja jalur jalan. Analisis
ini dipergunakan untuk menilai persimpangan Jl.Kapt.Sudibyo-Jl.K.S.Tubun dengan
II - 5
Jalan Rel mengenai kemampuan persimpangan tersebut dalam melayani lalu lintas yang ada
serta analisis mengenai kemungkinan penggunaan underpass sebagai penyelesaian
permasalahan yang timbul.
2.4.1 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan
Klasifikasi jalan menurut kelas jalan didasarkan pada kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas yang dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST).
Klasifikasi untuk jalan antar kota dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan
Fungsi
Kelas
Arteri
I
II
IIIA
Muatan
Sumbu Terberat
MST (ton)
> 10
10
8
Kolektor
IIIA
8
IIIB
<8
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
Kemiringan Medan
(%)
Datar
<3
Perbukitan
3 - 25
Jenis Medan
Pegunungan
G
> 25
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
II - 6
dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak boleh lebih dari 20 km/jam. Kecepatan
rencana ini didasarkan pada fungsi jalan dan kondisi medan jalan.
Kecepatan rencana untuk jalan antar kota adalah sebagai berikut :
Tabel 2.3 Kecepatan Rencana Berdasarkan Klasifikasi Fungsi dan Medan
Kecepatan Rencana Vr (km/jam)
Fungsi
Datar
Bukit
Pegunungan
Arteri
70 - 120
60 - 80
40 - 70
Kolektor
60 - 90
50 - 60
30 - 50
Lokal
40 - 50
30 - 50
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
20 - 30
terhadap
pengaruh
dari
suatu
mobil
penumpang.
Untuk
Arus total
(kend/jam)
MC
MHV
LB
LT
Datar
0
800
1350
1900
1,2
1,8
1,5
1,3
1,2
1,8
1,6
1,5
1,8
2,7
2,5
2,5
0,8
1,2
0,9
0,6
6 - 8m
0,6
0,9
0,7
0,5
> 8m
0,4
0,6
0,5
0,4
II - 7
Bukit
0
650
1100
1600
1,8
2,4
2,0
1,7
1,6
2,5
2,0
1,7
5,2
5,0
4,0
3,2
0,7
1,0
0,8
0,5
0,5
0,8
0,6
0,4
0,3
0,5
0,4
0,3
Gunung
0
450
900
1350
3,5
3,0
2,5
1,9
2,5
3,2
2,5
2,2
6,0
5,5
5,0
4,0
0,6
0,9
0,7
0,5
0,4
0,7
0,5
0,4
0,2
0,4
0,3
0,3
dengan dua gandar bergandar 3,5 - 5,0 m. Yang termasuk dalam kendaraan ini yaitu
bus kecil dan truck dengan enam roda.
LV (Light Vehicle/Kendaraan ringan) adalah kendaraan bermotor roda empat dengan
dua gandar. Yang termasuk dalam ini adalah : kendaraan penumpang, oplet, mikro
bis dan truck kecil.
LT (Light Truck/Truck ringan) adalah truck tiga gandar dan truck kombinasi dengan
as 5,00 - 6,00 m.
MC (Motor Cycle/sepeda motor) yaitu sepeda motor dengan dua atau tiga roda. Yang
termasuk dalam MC adalah sepeda motor dan kendaraan roda tiga sesuai klasifikasi
Bina Marga.
UM (Unmotor Cycle/kendaraan tak bermotor) yaitu kendaraan bertenaga manusia
atau hewan diatas roda. Kendaraan tak bermotor tidak dianggap sebagai unsur lalu
lintas tetapi sebagai unsur hambatan samping. Yang termasuk didalamnya adalah
sepeda, becak, kereta kuda, dan kereta dorong sesuai dengan klasifikasi Bina Marga.
2.4.5 Hambatan Samping (Side Friction)
Hambatan samping adalah pengaruh kegiatan samping ruas jalan terhadap kinerja
lalu lintas. Banyaknya kegiatan samping jalan ini sering menimbulkan konflik dengan arus
lalu lintas. Hambatan samping di Indonesia lebih diperhatikan dari pada di negara Barat, hal
ini karena tingkat kesadaran dalam disiplin berlalu lintas di Indonesia masih rendah serta
terbatasnya kondisi jalan-jalan di Indonesia.
II - 8
(kend/jam) dari
Jumlah
berbobot
Kode kejadian per
200m per jam
(dua sisi)
Kondisi Khusus
VL
< 100
100 - 299
300 - 499
500 - 899
VH
> 900
Tinggi
Daerah komersial dengan aktivitas pasar di samping jalan
Sangat tinggi
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
II - 9
KOLEKTOR
Minimum
LOKAL
Minimum
Minimum
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
< 3.000
4,50
1,0
4,5
1,0
4,5
1,0
3.000 - 10.000
6,0
1,5
6,0
1,5
5,0
1,0
10.000 - 25.000
7,0
2,0
7,0
2,0
> 25.000
2 x 7,0
2,0
2 x 3,5
2,0
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometik Jalan Antar Kota,1997
KELAS
I
II, IIIA
3,75
3,50
IIIA, IIIB
3,00
Lokal
IIIC
3,00
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometik Jalan Antar Kota, 1997
II - 10
perilaku tidak menunggu celah dan celah kritis yang kendaraan tidak memaksa lewat
adalah sangat rendah yaitu sekitar 2 detik.
Pada persimpangan ini sering terjadi konflik yang mencapai batas kritis,hal ini
disebabkan kurang disiplinnya para pengguna jalan, tingginya kendaraan tidak bermotor
(becak) maupun tingginya volume kendaraan bermotor yang melintas dan hambatan
samping.
Persimpangan Jl.Kapt.Sudibyo-Jl.K.S.Tubun dan rel KA merupakan lokasi yang
rawan kecelakaan. Hal ini disebabkan oleh rel KA yang memotong terlalu serong
terhadap jalan serta karena tercampurnya arus lalu-lintas lokal dan regional. Oleh karena itu
dilakukan pembenahan dengan cara :
Membuat perpotongan rel KA dan jalan kota menjadi tegak lurus.
Memisahkan arus lalu-lintas kendaraan dan KA menjadi persimpangan
tak sebidang melalui perencanaan underpass.
o Kapasitas
C =C0*F *FW
CS
*F *FM
RSU
*FLT *FRT *F
MI
(smp/jam).......................................(1)
Keterangan :
- C0 =
II - 11
C0 (smp/jam)
322
2700
342
2900
3200
422
2900
3400
- FW =
- FM =
- FCS=
- FRSU =
- F LT=
- FRT =
- FMI =
o Derajat Kejenuhan
DS = QSMP/C................................................................................... (2)
Keterangan :
- Qsmp =
- Fsmp =
-C=
smp
kapasitas (smp/jam)
HV
100
MC
II - 12
o Tundaan
Tundaan pada simpang dapat terjadi karena dua sebab :
1) Tundaan lalu lintas (DT) akibat interaksi lalu lintas dengan gerakan yang lain
dalam simpang.
2) Tundaan geometrik (DG) akibat perlambatan dan percepatan kendaraan yang
terganggu dan tak terganggu.
Tundaan Lalu Lintas Simpang
DT
(Q
smp
* DT Q
i
MA
* DT
MA
)/Q
MI
........................................................... (7)
= derajat kejenuhan
PT
II - 13
Peluang Antrian
Batas bawah :
QP% = 9,02DS + 20,66DS 2 + 10,49DS 3 ............................................................... (11)
Batas atas :
QP% = 47,71DS 24,68DS
2,
C =135 *W
W
*1+
1,5
W
E
WW
*1
0,5
P
W
*1+
1,8
W
W
LW
*F
CS
*F
RSU
smp/jam)..(13)
II - 14
Keterangan :
-C
- WW
-W
- P
= rasio jalinan, rasio antara arus jalinan total dan arus total.
- L
- F
CS
- F
RSU
o Derajat Kejenuhan
DS = QSMP/C................................................................................... (14)
Keterangan :
- Q
-F
smp
smp
-C
smp
=Q
*F
kend
smp
HV
100
MC
= kapasitas (smp/jam)
1
(0,591860,52525DS )(1 DS)*2 (dt/smp).................(16)
(Q *DT )
i
=
Q
(dt/smp)................................................................(17)
;i = 1
..............
n
masuk
II - 15
Tundaan Bundaran
D = DT +4(dt/smp)
R
(19)
Keterangan :
-
DS = derajat kejenuhan
0,5
) }.................................................................................. (20)
1 PW
V0 = 43 *
.................................................................................................. (21)
3
Keterangan :
-
PW
II - 16
3,6
V
Keterangan :
-
TT
(dt)..................................................................................................(22)
Volume LHR (Lintas Harian Rata-rata) adalah volume total yang melewati suatu titik
atau ruas pada fasilitas jalan untuk kedua jurusan selama satu tahun dibagi oleh jumlah
hari dalam satu tahun.
Dengan mengetahui besarnya pertumbuhan lalu lintas tiap tahun, akan diperoleh
suatu grafik pemakaian suatu ruas jalan, sehingga diperoleh tren kedepan pemakaian jalan
tersebut.
2.4.9 Volume Lalu Lintas
Volume lalu lintas merupakan banyaknya jumlah kendaraan yang melewati suatu titik
di ruas jalan tertentu pada interval waktu tertentu. Pada dasarnya volume lalu lintas yang
tinggi akan membutuhkan lebar perkerasan jalan yang lebih lebar agar nyaman dan aman.
Sebaliknya jalan dibuat terlalu lebar namun volume lalu lintasnya rendah cenderung
membahayakan.
II - 17
II - 18
Simpang tak bersinyal paling efektif apabila ukurannya kecil dan daerah konflik
lalu lintasnya ditentukan dengan baik. Karena itu simpang ini sangat sesuai untuk
persimpangan antara jalan dua lajur tak-terbagi (2/2 UD). Untuk persimpangan antara
jalan yang lebih besar, misalnya antara dua jalan empat lajur, penutupan daerah konflik
dapat terjadi dengan mudah sehingga menyebabkan gerakan lalu lintas terganggu
sementara. Bahkan jika perilaku lalu lintas simpang tak-bersinyal dalam tundaan ratarata selama periode waktu yang lebih lama lebih rendah dari tipe simpang yang lain,
simpang ini masih lebih disukai karena kapasitas tertentu dapat dipertahankan meskipun
pada keadaan kapasitas puncak.
2.5.2 Alinyemen dan Konfigurasi
Persimpangan harus direncanakan dengan baik agar pertemuan jalan dari
persimpangan mendekati sudut atau sama dengan 90 0. Sudut pertemuan antara 600 - 900 masih
diijinkan.
Jalan yang menyebar pada suatu persimpangan merupakan bagian dari
persimpangan disebut kaki persimpangan. Pada umumnya persimpangan dari dua jalan
mempunyai 4 kaki. Pada prinsipnya, pada persimpangan sebidang, banyaknya kaki
persimpangan jangan lebih dari 5.
Pada prinsipnya, pertemuan mendadak (stagger junction) atau pertemuan (break
junction) harus dihindarkan. Dalam hal keadaan diatas tidak bisa dihindari, interval
jarak kaki yang dibutuhkan harus lebih dari 40m. Untuk stagger junction, sudut
pertemuan yang dibutuhkan kurang dari 300.
Arus lalu lintas utama sedapat mungkin dilayani dengan jalur yang lurus atau
hampir lurus.
2.6. Konstruksi Underpass
2.6.1 Aspek Tanah
Tanah merupakan material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat
yang tidak tersementasi satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah lapuk
disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikelpartikel padat tersebut.
II - 19
Dari penyelidikan tanah maka dapat diidentifikasi jenis dan sifat tanah pada
lokasi proyek tersebut. Hal ini berguna dalam perencanaan dinding penahan tanah dan
pondasi dari struktur underpass. Aspek tanah ini sangat berpengaruh dengan beban dari
struktur underpass.
2.6.2 Aspek Tanah dengan Konstruksi Underpass
Pada prinsipnya kondisi tanah dalam kedudukannya ada tiga kemungkinan yaitu tanah
dalam keadaan diam, tanah dalam keadaan aktif dengan adanya tekanan tanah aktif dan
tanah dalam keadaan pasif dengan tekanan tanah pasif.
Perencanaan dinding penahan tanah dibutuhkan data-data tanah seperti sudut
geser, kohesi dan berat jenis tanah yang digunakan untuk menghitung tekanan tanah
horisontal. Kemudian dihitung besarnya tekanan tanah terhadap dinding penahan tanah
sebagai berikut :
q .h
Ka . . h
Kp =
tg
P=Ka
45
.......................................................................................(24)
45
...................................................................................(25)
2
h 1 h ..................................................................................(26)
2
II - 20
Dimana :
Ka = koefesien tekanan tanah aktif
Kp = koefesien tekanan tanah pasif
P
= tekanan tanah
ekonomis karena urugan (backfill) dimanfaatkan untuk menahan berat sendiri yang
diperlukan. Dinding penahan tanah harus memenuhi kondisi dasar sebagai berikut :
1). Tekanan di dasar pada ujung kaki (toe) dinding tidak boleh lebih besar dari daya
dukung yang diijinkan pada tanah.
2). Faktor keamanan terhadap gelinciran antara dasar dan lapisan tanah dibawahnya
harus memadai, biasanya ditentukan sebesar 1,5.
Analisis dinding penahan tanah ini nantinya diperlukan dalam pendimensian
dinding underpass. Dinding ini selain menahan beban tekanan tanah aktif juga sebagai
struktur untuk menahan beban lalu lintas dan beban perkerasan jalan diatas underpass.
2.6.3 Tebal Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan untuk lalu lintas pada underpass adalah lapisan perkerasan
lentur. Lapisan ini terdiri dari lapisan pondasi bawah, lapisan pondasi atas dan lapisan
permukaan. Adapun perhitungan yang dilakukan sebagai berikut :
Angka Ekivalen Sumbu (E)
Yaitu angka yang menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
suatu lintasan beban sumbu tunggal kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbukan
oleh satu lintasan beban standar sumbu tunggal seberat 8,16 ton.
4
beban
(kg)...............................................................................(27)
8160
4
beban
E ganda = 0,086 *
(kg).....................................................................(28)
8160
Etunggal =
(kg)........................................................................(29)
8160
II - 21
= jenis kendaraan
= umur rencana
= pertumbuhan
LEP + LEA
.....................................................................................(32)
2
Lintas Ekivalen Rencana (LER)
Yaitu suatu besaran yang digunakan dalam nomogram penetapan tebal perkerasan
untuk menyatakan jumlah lintas ekivalen rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16
ton pada jalur rencana.
LER = LET. FP..............................................................................................(33)
FP
= UR/10................................................................................................(34)
II - 22
Pondasi langsung merupakan pondasi dangkal. Pondasi ini dipergunakan apabila letak
tanah baik dengan kapasitas dukung ijin (Qu) sebesar > 2,0 kg/cm2 terletak pada kedalaman
0,60 m - 2,00 m. Pondasi ini juga digunakan bila kedalaman alas pondasi terletak > 3,00 m
dibawah dasar sungai / tanah setempat dan bebas dari bahaya penggerusan vertikal
maupun horizontal.
II - 23
Pondasi sumuran digunakan apabila beban yang bekerja pada struktur pondasi
cukup berat dan letak tanah keras dengan Qu > 3,00 kg/cm2 relatif dalam.
Pondasi tiang pancang digunakan apabila lapisan atas berupa tanah lunak dan
terdapat lapisan tanah keras yang dalam.
2.6.5 Aspek Konstruksi
Ada beberapa macam konstruksi yang dipakai untuk perencanaan sebuah
underpass yaitu :
a. Konstruksi Box Culvert
b. Konstruksi Abutment dan Gelagar
Keuntungan dan kerugian dari masing-masing konstruksi diatas bisa dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 2.9 Pertimbangan Pemakaian Struktur Underpass
Jenis Konstruksi
Box Culvert
Keuntungan
maupun
dengan pabrikasi.
Kerugian
Abutment
yang ada.
Lebih mahal.
Untuk bentang besar harus
memakai gelagar prategang.
II - 24
Pedoman tersebut sangat penting untuk dipahami supaya tercipta suatu desain
underpass yang tepat. Fungsi jalan, jenis tanah, dan kondisi topografi merupakan faktor
terpenting dalam suatu desain konstruksi underpass. Oleh karena itu kelengkapan data
yang ada merupakan suatu kebutuhan.
2.6.7 Permodelan Rekayasa Struktur
Apabila konstruksi underpass memakai suatu Box Culvert, maka Box Culvert
dimodelkan sebagai struktur portal diatas tumpuan jepit. Portal ini merupakan jenis
portal tak bergoyang karena akibat pembebanan terjadi perubahan panjang bentang.
II - 25
(rigid pavement), balok beton, konstruksi abutment, dan pondasi dalam bila diperlukan
untuk desain.
konstruksi
meliputi
pembebanan
serta
langkah-langkah
perhitungannya. Pembebanan merupakan dasar dalam menentukan beban-beban dan gayagaya untuk perhitungan tegangan yang terjadi pada setiap bagian jalan.
2.6.8 Pembebanan pada Konstruksi
Pembebanan yang bekerja pada konstruksi underpass baik untuk konstruksi
berbentuk gorong-gorong maupun untuk konstruksi berbentuk jembatan adalah sebagai
berikut :
a. Beban Primer
Adalah beban yang utama dalam setiap perencanaan konstruksi underpass.
1. Beban Mati
Adalah semua beban yang berasal dari berat sendiri konstruksi atau bagian dari
konstruksi yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yang dianggap satu
kesatuan tetap dengannya. Pada perencanaan underpass yang termasuk beban mati
adalah :
Beban sendiri plat lantai bawah dan atas
Beban lapisan aspal lantai bawah dan atas
Beban akibat tekanan tanah
Beban angin
II - 26
Beban andas
Beban lantai jembatan
Yang dimaksud dengan lantai jembatan adalah batang penyangga melintang dan
memanjang, pertambatan memanjang, pertambatan rem, bantalan-bantalan, rel, alat
penambat, dan lain-lain.
Dalam menentukan besar beban mati, digunakan berat jenis, dan berat satuan nilai yang
tercantum dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.10 Berat Jenis Bahan
Bahan
Berat Jenis
Baja
7,85
Seng
7,20
Beton bertulang
2,40
2,20
Pasangan bata
1,70
Pasangan batu
2,20
Tabel 2.11 Berat Satuan Bahan
Bahan
Berat Satuan
Balas
Berat spur
450 (kg/m)
Pada umumnya beban mati ini dipandang sebagai beban terbagi rata. Karena dalam
perancangan digunakan rumus pendekatan untuk menentukan besar beban mati ini, maka
hasil hitungan harus diperiksa kembali dengan pengontrolan berdasarkan berat struktur yang
sesungguhnya.
II - 27
2. Beban Hidup
Adalah semua beban yang berjalan sepanjang jembatan rel, yaitu rangkaian kereta api
dan orang-orang yang berjalan di atas jembatan.
Beban hidup yang harus ditinjau adalah :
Beban rangkaian kereta api diperhitungkan sesuai dengan ketentuan skema
beban gandar jembatan jalan rel Indonesia (SBG 1988). Pada bangunan atas
jembatan kecepatan beban hidup rangkaian kereta api diperhitungkan sebesar
120 km/jam, 110 km/jam, 100 km/jam, 90 km/jam, dan 80 km/jam untuk
jembatan yang berturut-turut berada di jalan rel kelas I, II, III, IV, dan V.
Pada bangunan bawah jembatan tetap kecepatan beban hidup rangkaian kereta
api diperhitungkan sebesar 120 km/jam untuk jembatan yang berada di semua
kelas jalan rel. Sedang kecepatan untuk jembatan sementara disesuaikan
dengan situasi dan kondisi setempat.
Beban orang diperhitungkan sebesar 200 kg/m2.
b. Beban Sekunder
1. Pengaruh kejut.
Pengaruh kejut besarnya dapat dihitung sebagai faktor kejut dikalikan beban
rangkaian kereta api.
fk = 0,25+
Dimana :
538 *k *v
................................................................................. (36)
(L + 6 *U *D
fk
= faktor kejut
II - 28
2. Gaya tumbukan.
Gaya yang diakibatkan oleh lokomotif terhadap jembatan, yang pengaruhnya
dapat disamakan dengan gaya horizontal Tu. Besar, arah, dan titik tangkap Tu
ditetapkan dalam tabel berikut:
Tabel 2.12 Gaya Tumbukan
Kondisi Jalan
Tu
Rel
Besar
Arah
P
Tu = 10
Lurus
Lengkung
R > 900
Tu
Titik tangkap
memanjang jembatan,
ditinjau dalam 2 arah.
Tu = P
paling
10
Sejajar dengan gaya membahayakan
(R 150 ) menjauhi titik pusat, untuk masing=P
7500
Tu = 0
R < 150
masing batang
Keterangan :
P
3. Gaya Traksi.
Untuk perancangan atau analisis jembatan, harus diperhitungkan adanya gaya traksi,
yang
ditimbulkan
oleh
gandar
penggerak
lokomotif.
Gaya
traksi
1/6 berat
lokomotif ditambah 1/10 berat gerbong, tanpa pengaruh kejut yang bekerja pada
permukaan kepala rel searah gerakan kendaraan rel.
II - 29
5. Gaya Angin.
Gaya angin pada jembatan dianggap sebagai baban terbagi rata pada bidang
vertikal jembatan, bekerja dalam arah horizontal dan tegak lurus sumbu
memanjang jembatan. Gaya angin terdiri atas tekanan dan hisapan, sebesar 100
kg/m2 untuk tekanan dan 50 kg/m2 untuk hisapan.
6. Gaya Gempa.
Dipakai untuk menghitung struktur bangunan bawah dan stabilitas struktur
bangunan atas pada waktu terlanda gempa.
i.
gaya gempa
G=Kg*M................................................................................... (37)
Dimana :
G
Kg
= koefisien gempa
ditinjau
ii.
koefisien gempa
Kg = Kr * ft............................................................................(38)
Dimana :
Kg
= koefisien gempa
Kr
Ft
7. Gaya Tabrakan.
Gaya-gaya tabrakan dengan garis kerja 1,80 m di atas permukaan jalan raya hanya
diperhitungkan dalam satu arah dan besarnya adalah :
a. Searah jalan raya = 100 ton.
b. Tegak lurus arah jalan raya = 50 ton.
8. Tekanan Tanah.
Bangunan jembatan yang menahan tanah harus dirancang dapat menahan tekanan
tanah sesuai dengan rumus-rumus yang umum digunakan. Bila kereta api dapat
mendekati ujung atas bangunan penahan tanah maka perlu dihitung pengaruhnya
II - 30
terhadap bangunan penahan tanah. Besarnya beban rangkaian kereta api dapat
dihitung berdasarkan kondisi yang mungkin terjadi dengan memperhatikan
peraturan pembebanan yang berlaku di PT. Kereta Api Indonesia (Persero).
2.6.9 Perhitungan Beton Bertulang
Konstruksi
Underpass ini berupa konstruksi abutment yang berarti bahwa struktur yang
direncanakan nantinya berupa abutment dan dinding penahan tanah. Abutment selain
berfungsi menahan beban lalu lintas diatasnya, tetapi juga sebagai dinding penahan
tanah yang menahan beban tekanan tanah aktif. Ketinggian abutment terhadap muka
jalan dibawah jembatan harus sesuai ketentuan kelas jalan untuk mendapatkan ruang
bebas yang baik.Perencanaan struktur beton bertulang ini mengacu pada peraturan
dalam SK SNI T-15-1991-03.
2.6.10 Pembebanan Pada Konstruksi
Beban yang bekerja pada stuktur plat beton adalah sebagai berikut :
1. Beban kaki abutment / poer
Karena kaki abutment berfungsi sebagai pilecap / poer yang mengikat kepala tiang
pancang / pondasi sumuran, maka beban yang bekerja adalah :
Beban akibat tekanan tanah
Beban sendiri abutment
2. Beban pada dinding / badan abutment
Plat pada dinding berfungsi sebagai tembok penahan tanah maka beban yang bekerja adalah
tekanan tanah aktif.
3. Beban plat lantai jembatan
Plat lantai jembatan menahan beban-beban sebagai berikut :
Beban lalu lintas atas
Beban bahan-bahan struktur perkerasan jalan
Beban timbunan tanah (bila ada)
II - 31
min
hmax
Ly 0,8 + fy
1500
...........................................................................(39)
36 +(9)
fy
Ly 0,8
=
1500
36
...........................................................................(40)
Dimana :
hmin
Lx
Fy
Ly
=................................................................................................................(41)
Lx
Selanjutnya mengenai tebal plat beton yang digunakan akan menggunakan SK
SNI T-15-1991-03 sebagai acuan perencanaannya.
2.6.11 Desain Beton Bertulang
Perhitungan penulangan plat beton bertulang menggunakan metode Rangka
Ekivalen dan mengacu pada SK SNI T-15-1991-03 serta peraturan yang tercantum dalam
tabel CUR IV.