Tutorial Kasus Leukimia Myeloblastik Akut

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 44

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Hematologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Tutorial Klinik

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA) DENGAN


SELULITIS PADA SEORANG ANAK

Disusun oleh:
Alif Via Saltika Putri
Firyal Soraya Nurhidayati

Pembimbing:
dr. Diane M. Supit, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
MEI 2015

Tutorial Klinik

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA) DENGAN


SELULITIS PADA SEORANG ANAK

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak


ALIF VIA SALTIKA PUTRI
FIRYAL SORAYA NURHIDAYATI

Menyetujui,

dr. Diane M. Supit, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
MEI 2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
yang berjudul Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) dengan Selulitis pada
Seorang Anak.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Diane M. Supit, Sp. A., sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
ilmu kesehatan anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2014 yang telah bersedia
memberikan saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, Mei 2015

Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat
irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari mana sel itu
berasal.

Pada kasus

leukemia, sel darah putih tidak merespon kepada

tanda/signal yang diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol


(abnormal) akan keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah
perifer atau darah tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan
dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti
ini (Leukemia) akan menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena
penyakit infeksi, anemia dan perdarahan.
Acute myeloblastik leukaemia (LMA) atau leukemia mieloblastik akut
(LMA), yaitu lransformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor
dari seri mieloid. Di negara berkembang 30% ALL, 17% LMA, lebih tinggi pada
anak kulit putih dibandingkan kulit hitam. leukemia akut pada anak mencapai
97% dari semua leukemia pada anak, dan terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia
limfoblastik akut (LLA) 82% dan leukemia mieloblastik akut (LMA) 18%.
1.2 Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan tutorial klinik ini adalah agar penulis atau pembaca dapat
mengerti tentang Leukemia mieloblastik akut (LMA) meliputi definisi, penyebab,
penyebaran, perjalanan penyakit, gejala penyakit dan penatalaksanaan penyakit
ini. Serta mengetahui kasus LMA yang ada apakah sudah sesuai dengan teori yang
ada atau tidak.
Manfaat dari tutorial klinik ini antara lain mahasiswa bisa lebih mengerti
akan suatu penyakit karena secara langsung membuat dan menyusun laporannya,
serta mampu menerangkan tentang kasus yang didapat.

RESUME KASUS
Pasien MRS pada tanggal 4 Mei 2015 melalui IGD RSUD A.W. Sjahranie
Samarinda dan dirawat inap di Ruang Melati.
Identitas Pasien:
Nama

: An. NH

Umur

: 11 tahun 4 bulan

Jenis kelamin

: Perempuan

Anak ke

:8

Alamat

: Jln. P. Bendahara, Berau

Tanggal masuk

: 4 Mei 2015

No. RM

: 84 03 56

Identitas Ayah Pasien:


Nama

: Bpk. H (Alm)

Pekerjaan

: Swasta

Pendidikan terakhir : SMP


Alamat

: Jln. P. Bendahara, Berau

Identitas Ibu Pasien:


Nama

: Ibu. N

Umur

: 56 tahun

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan terakhir : SD
Alamat

: Jln. P. Bendahara, Berau

Riwayat Saudara-Saudara Pasien


No
1
2
3

Aterm/
prematur/
lahir mati
Aterm
Aterm
Aterm

Persalinan
spontan/ SC
Spontan
Spontan
Spontan

Usia/
tanggal
lahir
35 tahun
32 tahun
30 tahun

Sehat/
tidak

Umur
meninggal

Sebab
meninggal

Sehat
Sehat
Sehat

4
5
6
7

Aterm
Aterm
Aterm
Aterm

Spontan
Spontan
Spontan
Spontan

28 tahun
26 tahun
18 tahun
15 tahun

Sehat
Sehat
Sehat
Sehat

Anamnesis:
1. Keluhan Utama
Demam
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Demam sejak 15 hari SMRS RSUD AWS Samarinda. Selain
keluhan demam, saat itu pasien juga mengeluh lemas dan tidak napsu
makan. Demam turun jika diberi obat penurun panas Paracetamol. Setelah
demam seminggu di rumah, pasien sempat dirawat selama 8 hari di rumah
sakit Berau. Saat dirawat inap di rumah sakit Berau pasien sempat
didiagnosis dengan demam berdarah sebelum akhirnya diduga adanya
keganasan hematologi. Karena kondisi pasien tidak kunjung membaik dan
fasilitas rumah sakit tersebut tidak cukup lengkap maka pada tanggal Mei
2015 pasien dirujuk ke RSUD AWS Samarinda kemudian di rawat inap di
ruang Melati. Saat dirawat di ruang Melati pasien awalnya masih
mengeluhkan demam dan ketika demam pasien juga sempat mengeluhkan
sakit pada ulu hati dan bagian dadanya serta napasnya terasa berat. Selain
itu pasien juga mengeluhkan nyeri ketika digerakkan maupun disentuh
pada bagian lengan atas tangan kirinya. Diakui awalnya nyeri berasal dari
luka bekas tusukan jarum namun lama kelamaan bengakak dan
kemerahan. Batuk dan pilek tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Riwayat MRS tidak ada.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang pernah dan sedang mengalami
keluhan serupa.

5. Riwayat Lingkungan
Rumah tempat tinggal pasien dan keluarga diakui cukup bersih dan
terdapat beberapa ventilasi, tidak pengap dan pencahayaannya cukup.
Jarak antara rumah cukup berdekatan.
6. Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Post Persalinan
Ibu rutin melakukan pemeriksaan ANC ke bidan terdekat setiap
bulan. Selama hamil ibu tidak mengalami permasalahan, demam tidak ada,
hipertensi tidak ada, diabetes tidak ada, trauma tidak ada, mengkonsumsi
jamu tidak ada, mengkonsumsi alkohol dan rokok tidak pernah. Ibu pasien
rutin mengonsumsi sumplemen penambah darah yang diberi oleh bidan.
Pasien lahir spontan pervaginam pada usia kandungan 9 bulan ditolong
oleh bidan di rumah. Pasien lahir dengan BB 3000 gram, langsung
menangis kuat, biru atau kuning disangkal.
Ibu pasien saat ini tidak memakai KB.
7. Riwayat Makanan & Minuman
ASI eksklusif dari lahir hingga usia 2 tahun. Pasien tidak diberi minum
susu formula. Makan bubur susu saat usia 6 bulan dan makanan padat beserta
lauknya saat usia 12 bulan.
8. Riwayat Imunisasi
Imunisasi

Usia saat
imunisasi
I
BCG
+
Polio
+
Campak
+
DPT
+
Hepatitis B
+

II
////////
+
+
+

III
///////
+
///////
+
+

IV
///////
+
///////
///////
///////

Booster I
///////
///////
-

9. Pertumbuhan dan perkembangan anak


BB Lahir

: 3000 gram

BB sekarang

: 28 kg

PB Lahir

: lupa

TB sekarang

: 133 cm

Booster II
///////
///////
-

Gigi keluar

: lupa

Berdiri

: 10 bulan

Tersenyum

: lupa

Berjalan

: 10 bulan

Miring

: lupa

Berbicara 2 suku kata : lupa

Tengkurap

: lupa

Masuk TK

: 5 tahun

Duduk

: lupa

Masuk SD

: 7 tahun

Merangkak

: lupa

Sekarang kelas

: 5 SD

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: komposmentis, E4V5M6

Tanda-tanda vital

Frekuensi nadi

:130x/menit kuat angkat

Frekuensi nafas

:30x/menit

Suhu

:38,3oC

Status Gizi

Berat Badan

: 28 kg

Panjang Badan

: 133 cm

BB/PB

: Gizi kurang

Status generalisata
Kepala

Bentuk : Normocephali

Rambut : hitam, tipis, tidak mudah dicabut

Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera tidak ikterik, pupil isokor,

refleks cahaya (+/+)

Hidung : nafas cuping hidung -|- , sekret (-)

Telinga : bentuk normal, secret (-)

Mulut

KGB : terdapat pembesaran kelenjar getah bening

: mukosa basah, tidak pucat, tidak sianosis, faring tidak hiperemis

Thorax

Inspeksi

: gerakan dinding dada simetris, retraksi suprasternal (-),

retraksi intercostal (-)

Palpasi

: vokal fremitus sama kanan dan kiri

Perkusi

: sonor di semua lapangan paru

Auskultasi : wheezing (-/-), ronki (-/-), S1S1tunggal reguler, murmur (-)

Abdomen

Inspeksi

: bentuk normal, simetris, datar, scar (-)

Palpasi

: soefl, nyeri tekan (+). hepar teraba 2 jari di bawah arcus

costae, nyeri ketuk hepar (-). splenomegali Schuffner 4, nyeri tekan (-)

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus normal

Ekstremitas

Superior

: akral hangat, CRT <2 detik, edema lengan D dan S

Inferior

: akral hangat, CRT <2 detik, tidak edema

DIAGNOSA SEMENTARA
LMA dengan Selulitis
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Rontgen Thoraks

Tampak infiltrat pada pericardial dextra


Kesimpulan : Bronkitis
2. Pemeriksaan EKG

3. Pemeriksaan Echocardiography
Kesimpulan : Diastolic dysfunction
4. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Hemoglobin
Leukosit
Trombosit
Hematokrit

10

06/05/2015
8,7
198.000
38.000
26,4

09/05/2015
9,1
242.800
58.000
23,6

13/05/2015
7,5
242.990
46.000
23

Value
11-16,5 g/dl
4.500-14.500/L
150000-450000/L
37,0-54,0 %

GDS
160
Na
132
K
1,7
Cl
97
SGOT
18
SGPT
13
Bil Total
0,2
Bil Direk
0,1
Bil Indirek
0,1
Protein Total 7,0
Albumin
4,0
Globulin
3,0
Kolesterol
264
Asam urat
3,0
Ureum
21,0
Creatinin
0,6
5. Pemeriksaan Urin Lengkap (06/05/2015)
06/05/2015
Berat Jenis
1.029
Ketone
Nitrit
Leuko
+
Hb/Darah
+
Warna
Kuning
Kejernihan
Agak keruh
pH
5,5
Protein
Glukosa
Bilirubin
Urobilinogen
Sel Epitel
+
Lekosit
2-8
Eritrosit
10-20
Silinder
Kristal
Bakteri
Jamur
Lain-lain
6. Pemeriksan Feses (06/05/2015)
Warna
Konsistensi
Darah
Lendir
Eritrosit
Lekosit

11

Coklat
Lembek
0-2
1-2

Value
1,003-1,303
Jernih
4,8-7,8
3,2
Sedikit
<10/lpb
0-1/lpb
-

50-150 mg/dl
135-155
3,6-5,5
95-108
<31
<32
0-1,0
0-0,26
0-0,75
6,6-8,7
3,2-4,5
2,3-3,5
150-220
2-6
10-40
0,5-1,6

Amuba
Krista
Telur cacing
Sisa Amylum
Sisa Lemak
7. Bone Marrow Puncture

Kesimpulan : Gambaran darah tepi dan sumsum tulang menunjukkan suatu


keadaan Acute Myeloblastic leukemia (LMA)

12

Follow Up
5 Mei 2015
S Demam (+), mual (+),
muntah (-), napsu
makan , nyeri
tangan kiri, BAB dan
BAK normal
O KU: tampak sakit
T 38,60C
N 104x/menit kuat
angkat
RR 25x/menit
Anemis (-/-), ikterik
(-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB
S1S2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Vesikuler (+/+),
rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Flat, soefl, BU(+)N,
NT(-), hepatomegali 2
jari BAC,
splenomegali scf 4
Akral hangat, edema
(-), CRT < 2
A Suspek ALL +
Selulitis
P - IVFD NaCl 0,9% +
20 meq Nabic 3435 tpm
(hiperhidrasi)
- Inj. Cefotaxime 3 x
850 mg IV
- Paracetamol tab 3 x
300 mg PO
-Paracetamol drip 3 x
280 mg IV
-Alupurinol 3 x 300
mg
-Kloramfenikol salf 3
x 1 ue
- Pro: DL, HDT, Ur,
Cr, LDH, SGOT,
SGPT, Na, K, Cl,
UL, FL, foto

13

6 Mei 2015
Demam (+), mual (+),
muntah (+), napsu
makan , nyeri perut,
nyeri tangan kiri, BAB
dan BAK normal
KU: tampak sakit
T 37,70C
N 108x/menit kuat
angkat
RR 28x/menit
Anemis (-/-), ikterik
(-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB
S1S2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Vesikuler (+/+), rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
Flat, soefl, BU(+)N,
NTE(+),hepatomegali
2 jari BAC,
splenomegali scf 4
Akral hangat, edema
(+) lengan atas tangan
kiri, CRT < 2
Suspek ALL + Selulitis

7 Mei 2015
Demam (+), mual (-),
muntah (-), napsu
makan , nyeri perut
, nyeri tangan kiri,
BAB dan BAK normal
KU: tampak sakit
T 38,50C
N 112x/menit kuat
angkat
RR 28x/menit
Anemis (-/-), ikterik
(-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB
S1S2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Vesikuler (+/+), rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
Flat, soefl, BU(+)N,
NTE(+),hepatomegali
2 jari BAC,
splenomegali scf 4
Akral hangat, edema
(+) lengan atas tangan
kiri, CRT < 2
Suspek ALL + Selulitis

- IVFD NaCl 0,9% +


20 meq Nabic 3435 tpm (hiperhidrasi)
- Inj. Cefotaxime 3 x
850 mg IV
-Paracetamol drip 3 x
280 mg IV
-Alupurinol 3 x 300
mg
-Ranitidin 2 x 25 mg
IV
-Kloramfenikol salf 3
x 1 ue

- IVFD D5 NS + 20
meq Nabic 34-35
tpm
- Inj. Cefotaxime 3 x
850 mg IV
- Inj. Gentamisin 1 x
80 mg IV
-Paracetamol drip 3 x
280 mg IV
-Alupurinol 3 x 300
mg
- Ranitidin 2 x 25 mg
IV
-Kloramfenikol salf 3
x 1 ue
- Rencana echo

thoraks, EKG, Echo,


BMP, analisa LCS

8 Mei 2015
Demam (+), mual (-),
muntah (-), napsu
makan , nyeri perut
, nyeri tangan kiri,
BAB dan BAK
normal

O KU: tampak sakit


T 36,90C
N 104x/menit kuat
angkat
RR 28x/menit
Anemis (-/-), ikterik
(-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB
S1S2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Vesikuler (+/+),
rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Flat, soefl, BU(+)N,
NTE(+),
hepatomegali 2 jari
BAC, splenomegali
scf 4
Akral hangat, edema
(+) lengan atas tangan
D dan S, CRT < 2
A Suspek ALL +
Selulitis

14

9 Mei 2015
Demam (+), mual (-),
muntah (-), napsu
makan , nyeri perut
, nyeri tangan kiri,
nyeri dada jika demam
(+), napas terasa berat
(+), BAB dan BAK
normal
KU: tampak sakit
T 38,50C
N 100x/menit kuat
angkat
RR 38x/menit
Anemis (-/-), ikterik
(-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB
S1S2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Vesikuler (+/+), rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
Flat, soefl, BU(+)N,
NTE(+),hepatomegali
2 jari BAC,
splenomegali scf 4
Akral hangat, edema
(+) lengan atas tangan
D dan S, CRT < 2

11 Mei 2015
Demam (-), batuk (+),
mual (-), muntah (-),
napsu makan , nyeri
perut (-), nyeri dada
jika demam (+), napas
terasa berat (-), BAB
dan BAK normal
KU: tampak sakit
T 37,10C
N 116x/menit kuat
angkat
RR 34x/menit
Anemis (-/-), ikterik
(-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB
S1S2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Vesikuler (+/+), rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
Flat, soefl, BU(+)N,
NTE(+),hepatomegali
2 jari BAC,
splenomegali scf 4
Akral hangat, edema
(+) lengan atas tangan
D dan S, CRT < 2

Suspek ALL + Selulitis Suspek ALL + Selulitis

- IVFD D5 NS +
20 meq Nabic 3435 tpm
- Inj. Cefotaxime 3 x
850 mg IV
- Inj. Gentamisin 1 x
80 mg IV
-Paracetamol drip 3 x
280 mg IV
-Alupurinol 3 x 300
mg
- Ranitidin 2 x 25 mg
IV
-Kloramfenikol salf 3
x 1 ue
-Kompres NaCl 0,9%
selang seling dengan
air hangat
- Post transfusi TC 5
unit
- Cek
DL
post
transfusi
- Echo hari ini

- O2 1-2 lpm
- IVFD D5 NS + 20
meq Nabic 34-35
tpm
- Inj. Cefotaxime 3 x
850 mg IV
- Inj. Gentamisin 1 x
80 mg IV
-Paracetamol drip 3 x
280 mg IV
-Alupurinol 3 x 300
mg
-Ranitidin 2 x 25 mg
IV
-Kloramfenikol salf 3
x 1 ue
-Kompres NaCl 0,9%
selang seling dengan
air hangat
-

- O2 1-2 lpm
- IVFD D5 NS + 20
meq Nabic 34-35
tpm
- Inj. Cefotaxime 3 x
850 mg IV
- Inj. Gentamisin 1 x
80 mg IV
-Paracetamol drip 3 x
280 mg IV
-Alupurinol 3 x 300
mg
- Ranitidin 2 x 25 mg
IV
-Kloramfenikol salf 3
x 1 ue
-Kompres NaCl 0,9%
selang seling dengan
air hangat
-

12 Mei 2015
S Demam (-), batuk (+),
napsu makan , nyeri
perut (-), , nyeri
tangan kiri, nyeri
dada jika demam (-),
BAB dan BAK
normal
O KU: tampak sakit
T 37,00C
N 116x/menit kuat
angkat
RR 28x/menit
Anemis (-/-), ikterik
(-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB (+)
S1S2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Vesikuler (+/+),
rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Flat, soefl, BU(+)N,
NTE(+),

13 Mei 2015
Demam (+), batuk (+),
napsu makan , nyeri
perut (-), nyeri tangan
kiri (+), nyeri dada jika
demam (-), BAB dan
BAK normal

15 Mei 2015
Demam (+), batuk (+),
napsu makan , nyeri
perut (-), nyeri tangan
kiri & kanan (+), nyeri
dada jika demam (-),
BAB dan BAK normal

KU: tampak sakit


T 37,70C
N 120x/menit kuat
angkat
RR 27x/menit
Anemis (-/-), ikterik
(-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB (+)
S1S2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Vesikuler (+/+), rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
Flat, soefl, BU(+)N,
NTE(+), hepatomegali
2 jari BAC,

KU: tampak sakit


T 38,30C
N 130x/menit kuat
angkat
RR 30x/menit
Anemis (-/-), ikterik
(-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB (+)
S1S2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Vesikuler (+/+), rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
Flat, soefl, BU(+)N,
NTE(+), hepatomegali
2 jari BAC,

15

hepatomegali 2 jari
BAC, splenomegali
scf 4
Akral hangat, edema
(+) lengan atas tangan
D dan S, CRT < 2
A Suspek ALL +
Selulitis
P - O2 1-2 lpm
- IVFD D5 NS +
20 meq Nabic 3435 tpm
- Inj. Cefotaxime 3 x
850 mg IV
- Inj. Gentamisin 1 x
80 mg IV
-Paracetamol drip 3 x
280 mg IV
-Alupurinol 3 x 300
mg
- Ranitidin 2 x 25 mg
IV
-Kloramfenikol salf 3
x 1 ue
-Kompres NaCl 0,9%
selang seling dengan
air hangat
- Pro
BMP
dan
analisa LCS

splenomegali scf 4
Akral hangat, edema
(+) lengan atas tangan
D dan S, CRT < 2

splenomegali scf 4
Akral hangat, edema
(+) lengan atas tangan
D dan S, CRT < 2

LMA + Selulitis

LMA + Selulitis

- O2 1-2 lpm
- IVFD D5 NS + 20
meq Nabic 34-35
tpm
- Inj. Cefotaxime 3 x
850 mg IV
- Inj. Gentamisin 1 x
80 mg IV
-Paracetamol drip 3 x
280 mg IV
-Alupurinol 3 x 300
mg
- Ranitidin 2 x 25 mg
IV
-Kloramfenikol salf 3
x 1 ue
-Kompres NaCl 0,9%
selang seling dengan
air hangat

- O2 1-2 lpm
- IVFD D5 NS + 20
meq Nabic 34-35
tpm
- Inj. Cefotaxime 3 x
850 mg IV
- Inj. Gentamisin 1 x
80 mg IV
-Paracetamol drip 3 x
280 mg IV
-Alupurinol 3 x 300
mg
- Ranitidin 2 x 25 mg
IV
-Kloramfenikol salf 3
x 1 ue
-Kompres NaCl 0,9%
selang seling dengan
air hangat

Penatalaksanaan:
- O2 1-2 lpm
- IVFD D5 NS + 20 meq Nabic 34-35 tpm
- Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV
- Inj. Gentamisin 1 x 80 mg IV
-Paracetamol drip 3 x 280 mg IV
-Alupurinol 3 x 300 mg
- Ranitidin 2 x 25 mg IV
-Kloramfenikol salf 3 x 1 ue
-Kompres NaCl 0,9% selang seling dengan air hangat
-Transfusi TC 4 kali
-Rencana Kemoterapi

16

Diagnosis Kerja
LMA dengan Selulitis
Prognosis
Dubia ad malam

17

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT
2.1.1 Definisi
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari
sumsum tulang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi
adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam
pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur
dan tidak terkendali dan fungsinya pun menjadi tidak normal. Oleh karena proses
tersebut, fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga
menimbulkan gejala leukemia dalam klinik. Leukemia mieloblastik akut (LMA)
adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan
diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid.
2.1.2 Epidemiologi
Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan.
Insidens rata-rata 4 4,5 kasus/tahun/100.000 anak di bawah 15 tahun. Di negara
berkembang 30% ALL, 17% LMA, lebih tinggi pada anak kulit putih
dibandingkan kulit hitam. Di Asia kejadian leukemia pada anak lebih tinggi pada
anak lebih tinggi pada anak kulit putih. Di Jepang mencapai 4/100.000 anak, dan
diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun
1994 insidennya mencapai 2.76/100.000 anak usia 1-4 tahun. Pada tahun 1996
didapatkan 5-6 pasien leukemia baru tiap bulan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,
sementara itu di RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun 2002 dijumpai 70 kasus
leukemia baru.
leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak,
dan terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) 82% dan leukemia
mieloblastik akut (LMA) 18%. Leukemia kronik mencapai 3% dari seluruh
leukemia pada anak. Di RSUD Dr. Sardjito LLA 79%, LMA 8% dan 4% leukemia
kronik.

18

Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati 1
untuk LMA. Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih
dengan ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia
ini. Kejadian ini tidak tampak pada kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut
merupakan faktor-faktor lingkungan di negara industri belum diketahui.
2.1.3 Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun anak-anak dengan
cacat genetik (Trisomi 21, sindrom Bloom's, anemia Fanconis's dan ataksia
telangiektasia) mempunyai lebih tinggi untuk menderita leukemia dan kembar
monozigot. Trisomi kromosom 21 juga dijumpai penyakit herediter Sindrom
Down. Pasien Sindrom Down dengan trisomi kromosom 21 mempunyai risiko 10
hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7.
Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal.
Moskow melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan
paternal/maternal terhadap pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat
peningkatan risiko leukemia pada keturunannya. Penggunaan marijuana maternal
juga menunjukkan hubungan yang signifikan.
Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan di
Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan
radiasi dosis tinggi in utero secara signifikan tidak mengarah pada peningkatan
insidens leukemia, demikian juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal
ini masih merupakan perdebatan.
Kontroversi tentang paparan bidang elektromagnetik masih tetap ada.
Beberapa studi tidak menemukan peningkatan, tapi studi terbaru menunjukkan
peningkatan 2x diantara anak-anak yang tinggal di jalur listrik tegangan tinggi,
namun tidak signifikan karena jumlah anak yang terpapar sedikit.
Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anakanak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves. Ia
mempercayai ada 2 langkah mutasi pada sistem imun. Pertama selama kehamilan
atau awal masa bayi dan kedua selama tahun pertama kehidupan sebagai
konsekuensi dari respon terhadap infeksi pada umumnya.

19

Tahun-tahun terakhir, perhatian khusus dilakukan terhadap LMA sekunder


setelah kemoterapi yang agresif. Risiko LMA setelah penyakit Hodgkin
disebabkan oleh obat pengakilasi. Kloning leukemia sering menunjukkan adanya
kelainan kromosom nomor 5 dan 7 dan memiliki FAB tipe M1/M2. Terdapat pula
hubungan antara penggunaan epipodofilotoksin dengan LMA sekunder. LMA-nya
berbeda dengan yang mendapat terapi obat pengalkilasi, yaitu terdapat periode
laten yang lebih pendek dan mayoritas melibatkan perubahan kromosom 11q23
dan sebagian FAB tipe M4/M5. Mielodisplasia dan LMA sekunder juga
meningkat pada pasien yang mendapat terapi mieloblatif pada transplantasi sel
stem autologus.
Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor risiko terjadinya leukemia
pada anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingus dkk (1995). Faktor-faktor
tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia,
berat badan lahir >4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk
(1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol meningkatkan
risiko terjadinya leukemia pada bayi, terutama LMA.
2.1.4 Patofisiologi dan Klasifikasi Morfologik
Leukemia sebenarnya merupakan suatu istilah untuk beberapa jenis
penyakit yang berbeda dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda pula.
Mulai dari yang berat dengan penekanan sumsum tulang yang berat pula seperti
pada leukemia akut sampai kepada penyakit dengan perjalanan yang lambat dan
gejala ringan (indolent) seperti pada leukemia kronik. Pada dasarnya efek
patofisiologi berbagai macam leukemia akut mempunyai kemiripan tetapi sangat
berbeda dengan leukemia kronik.
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal
mula gugus sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan
morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap
sel normal.
Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang
berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat
terdeteksi. Walau etiologi leukemia pada manusia belum diketahui benar, tetapi

20

pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang percobaan


ditemukan bahwa penyebab (agent) nya mempunyai kemampuan melakukan
modifikasi nukleus DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu
kondisi (mungkin suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi
dan mutasi onkogen seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa
leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik yang mengakibatkan terbentuknya
gugus (clone) abnormal.
Dalam hematopoiesis normal, myeloblast merupakan prekursor belum
matang myeloid sel darah putih, sebuah myeloblast yang normal secara bertahap
akan tumbuh menjadi sel darah dewasa putih. Namun, dalam LMA, sebuah
myeloblast tunggal akumulasi perubahan genetik yang "membekukan" sel dalam
keadaan imatur dan mencegah diferensiasi. Mutasi saja tidak menyebabkan
leukemia, namun ketika seperti "penangkapan diferensiasi" dikombinasikan
dengan mutasi gen lain yang mengganggu pengendalian proliferasi, hasilnya
adalah pertumbuhan tidak terkendali dari klon, yang mengarah ke klinis LMA.
Dari analisis mengenai sitogenetik, isoenzim, dan fenotip sel, dapat ditarik
kesimpulan bahwa transformasi sel pada LMA dapat terjadi di berbagai tempat
pada jalur perkembangan sel induk. Dengan demikian ekspresinya berupa
perkembangan gugus sel tertentu (clone) dengan akibat dapat terjadi pada sel
induk pluripoten, yang akan mengenai eritrosit dan trombosit, atau terjadi pada
gugus

sel

induk

yang

telah

dijuruskan

untuk

granulositopoisis

atau

monositopoisis.
Telah pula dapat dibedakan masing-masing sel leukemia yang termasuk
golongan LMA yang berasal dari sel induk granulosit-monosit yang relatif tua
(mature) dari sel induk yang lebih muda fenotipnya. Sebagian besar keragaman
dan heterogenitas LMA berasal dari kenyataan bahwa transformasi leukemia dapat
terjadi di sejumlah langkah yang berbeda di sepanjang jalur diferensiasi. Skema
klasifikasi modern untuk LMA mengakui bahwa karakteristik dan perilaku dari sel
leukemia mungkin tergantung pada tahap di mana diferensiasi dihentikan.
Perbedaan ini mudah dikenal oleh para ahli dan berdasarkan hal ini dibuatlah
klasifikasi jenis leukemia yang termasuk golongan LMA dan yang sekarang

21

dianut, adalah klasifikasi morfologik menurut FAB (Perancis, Amerika, British)


seperti berikut:

M-0 leukemia mielositik akut dengan diferensiasi minimal

M-1 leukemia mielostik akut tanpa maturasi

M-2 leukemia mielositik akut dengan maturasi

M-3 leukemia promielositik hipergranular

M-4 leukemia mielomonositik akut

M-5 leukemia monositik akut

M-6 leukemia eritroblastik (eritroleukemia)

M-7 leukemia megakariositik akut


Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang

menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda
(blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast
di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan
pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone
marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia ( anemia,
leukopeni, trombositopeni).
Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada
patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih belum
diketahui. Bahwa tidak selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan desakan
populasi sel leukemia, terlihat pada keadaan yang sama (pansitopenia) tetapi
dengan gambaran sumsum tulang yang justru hiposeluler.
Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus
yang lebih berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan
tanda-tanda perdarahan, sedangkan adanya leukopenia akan menyebabkan pasien
rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari flora normal bakteri yang
ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya
kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ
lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak
organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

22

Kematian pada pasien leukemia akut umumnya diakibatkan penekanan


sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh
infiltrasi sel leukemia tersebut ke organ tubuh pasien.
2.1.5 Manifestasi Klinis
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu
dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang
15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami
netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di
darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting
untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan
awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita
LMA.
Tanda dan gejala LMA pada anak dapat dibagi menjadi tiga, yakni (1) yang
disebabkan defisiensi sel yang berfungsi normal, (2) yang disebabkan proliferasi
dan abnormalitas dari populasi sel leukemia, dan (3) Gejala konstitusional. Tanda
dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang
disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana telah disebutkan
di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang
sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan
retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai
dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3.
Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektil,
sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA
dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100
ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat
aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi,
tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan
kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.

23

Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi


tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan
menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan
tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan
nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan
menimbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan.
Pembengkakan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke
dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel
blast ke daerah meningen dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan
sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.
2.1.6 Diagnosis
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai
untuk

menegakkan

diagnosis

leukemia.

Namun

untuk

memastikan harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum


tulang dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada,
cairan serebrospinal dan beberapa pemeriksaan penunjang yang
lainnya. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus,
sedangkan sisanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu
sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi molekuler.
Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan
ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan
klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi
ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi
FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia
yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan
hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6.
Kadang-kadang diagnosis LMA diawali dengan prolonged
prelukimia, biasanya ditunjukkan adanya kekurangan produksi
sel darah merah yang normal sehingga terjadi anemia refrakter,

24

neutropenia atau trombositopenia. Pemeriksaan sumsum tulang


tidak menunjukkan leukemia tetapi ada perubahan morfologi
yang

jelas.

Kondisi

ini

sering

mengarah

pada

sindrom

mielodisplastik (MDS) dan mempunyai klasifikasi FAB sendiri


(Hasle

1994).

hiperseluler,

Biasanya

sumsum

kadang-kadang

tulang

hipoplastik

menunjukkan

yang

kemudian

berkembang menjadi leukemia akut.


Diagnosis, evaluasi, dan terapi anak yang menderita LMA
belum memuaskan bila dibandingkan dengan LLA. Pada LMA,
hasil

pemeriksaan

darah

menunjukkan

adanya

anemia,

trombositopenia, dan leukositopenia, dan leukositosis. Kadar


hemoglobin sekitar

7.0 sampai 8.5 g/dl, jumlah trombosit

umumnya <50.000/ul dan jumlah leukosit sekitar 24.000/ul.


Sekitar 20% pasien jumlah leukositnya >100.000/ul.
Pada saat diagnosis leukemia ditegakkan akan menimbulkan
beberapa permasalahan baik karena tindakan yang invasif
maupun kondisi psikologis orang tua atau keluarga. Aspirasi
sumsum tulang dan pungsi lumbal dapat menimbulkan nyeri dan
ketakutan pada anak dan kekhawatiran pada orang tua, sehingga
perlu penjelasan dan edukasi, pemberian obat penenang dan
pendekatan psikologi. Tindakan tersebut juga perlu dilakukan
pada saat mengevaluasi perkembangan penyakit dan kemajuan
pengobatan, sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Edukasi dan
pendampingan orang tua pada saat dilakukan tindakan aspirasi
sumsum

tulang

dan

pungsi

lumbal

adalah

langkah

yang

bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan rasa


percaya diri pasien.
2.1.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding leukemia pada anak yang perlu dipikirkan
antara lain anemia aplastik, gangguan mieloproliferatif, PTI,

25

keganasan lain, penyakit reumatologi atau penyakit kolagen


vaskular, sindrom hemofagosti familial atau induksi virus, infeksi
virus Ebstein-Barr, infeksi mononucleosis, reaksi leukemoid, dan
sepsis.
2.1.8 Penatalaksanaan
Penanganan

leukemia

meliputi

kuratif

dan

suportif.

Penanganan suportif meliputi penyakit lain yang menyertai


leukemia

dan

pemberian

pengobatan

komplikasi

antara

lain

berupa

transfusi darah/trombosit, pemberian antibiotik,

pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur,


pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek psikososial.
Perbaiki keadaan umum yaitu : anemia diberikan tranfusi darah dengan PCR
(Packed red cell) atau darah lengkap. Trombositopeni yang mengancam diatasi
dengan transfusi konsetrat trombosit. Apa bila ada infeksi diberikan antibiotika
yang adekuat.
Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan
leukemianya berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi,
intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan.
Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi menentukan protokol
kemoterapi.

Secara

umum

regimen

kemoterapi

meliputi

kombinasi dari antracycline (paling sering daunorubicin) dengan


cytosine arabinoside (cytarabin). Obat lain yang dapat diberikan
yakni fludarabine, etoposide, amsacrine, dexamethasone, 6thioguanine, cyclophosphamide, dan mitoxantrone.
Terapi spesifik seperti terapi leukemia pada umumnya dimulai dengan tahap
induksi dengan : Doxorubicin 40 mg/mm2 berat badan hari 1-5. Dilanjutkan
denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7. Obat pengganti adriamycin adalah
Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis dan hematologis. Pemeriksaan sumsum
tulang pada akhir minggu ketiga. Apabila tidak terjadi remisi atau remisi hanya
bersifat parsial maka terapi harus diganti dengan regimen lain. Apabila terjadi

26

remisi lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai tahap konsolidasi. Pada
tahap ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm2 hari 1-2 dan Ara C 1-5. Regimen ini
diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu.
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan
dan bebas gejala klinis leukemia, pada aspirasi sumsum tulang
didapatkan jumlas sel blast <5% dari sel berinti, hemoglobin
>12g/dl tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3000/ul dengan hitung
jenis

leukosit

normal,

jumlah

granulosit

>2000/ul,

jumlah

trombosit > 100.000/ul. Dan pemeriksaan cairan serebrispinal


normal.
Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada
98% pasien. 2-3% anak akan meninggal dalam CCR ( Continous
Complete Remission) dan 25-30 % akankambuh. Sebab utama
kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum
tulang

yang

terjadi

(dalam

18

bulan

sesudah

diagnosis)

memeperburuk prognosis (10-20% long-term survival) sementara


relaps yang terjadi setelah penghentian terapi mempunyai
prognosis lebih baik. Terapi relaps harus lebih agresif unutk
mengatasi resistensi obat.
Transplantasi

sumsum

tulang

mungkin

membarikan

kesempatan untuk sembuh khususnya bagi anak-anak dengan


leukemia sel-T yang setelah relaps mempunyai prognosis yang
buruk dengan terapi sitostatika konvensional.
Secara keseluruhan survival setelah relaps adalah 20-40%
pada seri yang berbeda. Survival meningkat dari 52% (19811985), sampai 68% (1986-1991) sampai dengan saat ini 81%
(1992-1995). Alasan utama dibalik perbaikan ini adalah lebih
intensifnya terapi untuk semua kelompok risiko.

27

Tiga puluh tahun lalu, hampir semua anak dengan LMA


meninggal dan tidak ada kelompok yang teridentifikasi. Saat ini
gambaran survival hidup lebih dari 40% dilaporkan pada banyak
studi. Perubahan terjadi pada tahun 0- dengan dikenalnya
sitarabin (Arac) dan antrasiklin. Dengan kombinasi obat yang
berbeda, remisi bisa berpengaruh pada 75-85% anak, namun
tanpa terapi lanjut kebanyakan anak-anak relaps dalam 1 tahun.
M3 berjumlah sekitar 10-15%. Penyakit ini dikarenakan
dengan t(15;170 dimana breakpoint pada gen untuk reseptor inti
asam retinotil pada kromosom 17 dan PML (promyelocytic
leukemia) berada pada kromosom 15. Tahun 1998 ilmuwan Cina
melaporkan bahwa induksi remisi lengkap bisa terjadi pada M3
dengan menggunakan asam retinositik (ATRA) sebagai agen
tunggal. Tentu saja keterlibatan reseptor inti untuk asam
retinositik mempengaruhi sensitivitas leukemia terhadap vitamin
ini, meskipun detail molekuler masih belum diketahui. Kerugian
terbesar dari terapi retinotik ATRA adalah komplikasi perdarahan
yang tidak bisa dihindari.

28

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi dini :

Infesi serius

Alopecia

Emesis

Perdarahan Saluran Cerna

Malnutrisi

Kematian

Komplikasi lanjut :

Gagal jantung kongestif dan aritmia

Kelainan Pertumbuhan

Malignansi sekunder

Kematian

2.1.10 Faktor Prognostik

29

LMA memiliki angka survival di rentang 45-60%. Prognosis LMA terus


membaik secara signifikan sejak abad ke 20. Berdasarkan faktor prognostik maka
pasien LMA dapat digolongkan ke dalam risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli
telah melakukan penelitian dan membuktikan faktor prognostik itu ada
hubungannya dengan in vitro drug resistance. Faktor risiko LMA lebih sulit
untuk diidentifikasi. Faktor-faktor tersebut antara lain :
Umur saat diagnosis tidak terlalu penting seperti pada ALL.
Pengalaman beberapa peneliti menunjukkan bahwa bayi
mempunyai prognosis lebih baik.
Leukosit tinggi, tetapi tidak pada semua studi.
FAB

M3

(promielositik

leukemia)

bereaksi

pada

asam

retinoik, sebaiknya diterapi dengan kombinasi vitamin dan


kemoterapi.
Anak-anak dengan sindrom Down terdapat pada 10% kasus.
Sebagian besar merupakan FAB M7 dan mempunyai
respons baik dengan kemoterapi. Translokasi kromosom
adalah faktor penting. Prognosis baik berhubungan dengan
t(8;12), t(15;17) dan inversi Ploidi juga mempengaruhi
prognosis.
Respons awal terapi.

2.2 SELULITIS
2.2.1 Definisi
Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan subkutis,
biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptokokus
betahemolitikus dan Stafilokokus aureus. Selulitis umumnya terjadi akibat
komplikasi suatu luka/ulkus atau lesi kulit yang lain. Gambaran klinisnya
umumnya pada semua bentuk ditandai dengan kemerahan yang batasnya tidak
jelas, nyeri tekan, pembengkakan, dan tampak seperti kulit jeruk yang mengelupas

30

(peau d'orange). Penyebaran dan perluasan kemerahan ini dapat timbul secara
cepat di sekitar luka/ulkus yang ada disertai demam, lesu. Pada keadaan akut,
kadang-kadang timbul bula (Djuanda, 2009).
2.2.2 Etiologi
Selulitis bisa disebabkan oleh berbagai jenis bakteri yang berbeda, yang
paling sering adalah Streptococcus B hemolyticus. Staphylococcus juga bisa
menyebabkan selulitis, tetapi biasanya terbatas di daerah yang lebih sempit.
Dalam keadaan normal, kulit memiliki berbagai jenis bakteri. Tetapi kulit yang
utuh merupakan penghalang yang efektif, yang mencegah masuk dan
berkembangnya bakteri di dalam tubuh. Jika kulit terluka, bakteri bisa masuk dan
tumbuh di dalam tubuh, menyebabkan infeksi dan peradangan. Jaringan kulit yang
terinfeksi menjadi merah, panas dan nyeri. Selulitis paling sering menyerang
wajah dan tungkai bagian bawah (Siregar, 2005).
Faktor resiko terjadinya selulitis adalah:

Gigitan dan sengatan serangga, gigitan hewan, atau manusia

Luka di kulit

Riwayat penyakit pembuluh darah perifer, kencing manis

Tindakan terhadap penyakit jantung, paru-paru atau gigi, yang


baru-baru ini dijalani oleh penderita

Pemakaian obat imunosupresan atau kortikosteroid.

2.2.3 Gejala Klinis


Terdapat gejala konstitusi antara lain demam, malaise. Penyakit ini
didahului trauma, karena itu tempat pedileksinya di tungkai bawah. Kelainan kulit
yang utama adalah eritema yang berwarna merah, berupa infiltrat yang difus di
subkutan dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai edema, vesikel, dan bula.
Terdapat leukositosis. Jika tidak diobati akan menjalar ke sekitarnya terutama ke
proksimal (Djuanda, 2009).
Gejala awal berupa kemerahan dan nyeri tekan yang terasa di suatu daerah
yang kecil di kulit. Kulit yang terinfeksi menjadi panas dan bengkak, dan tampak
seperti kulit jeruk yang mengelupas (peau d'orange). Pada kulit yang terinfeksi

31

bisa ditemukan lepuhan kecil berisi cairan (vesikel) atau lepuhan besar berisi
cairan (bula), yang bisa pecah. Karena infeksi menyebar ke daerah yang lebih
luas, maka kelenjar getah bening di dekatnya bisa membengkak dan teraba lunak.
Kelenjar getah bening di lipat paha membesar karena infeksi di tungkai, kelenjar
getah bening di ketiak membesar karena infeksi di lengan. Penderita bisa
mengalami demam, menggigil, peningkatan denyut jantung, sakit kepala, dan
tekanan darah rendah. Kadang-kadang gejala-gejala ini timbul beberapa jam
sebelum gejala lainnya muncul di kulit. Tetapi pada beberapa kasus gejala-gejala
ini sama sekali tidak ada. Kadang-kadang bisa timbul abses sebagai akibat dari
selulitis. Meskipun jarang, bisa terjadi komplikasi serius berupa penyebaran
infeksi d bawah kulit yang menyebabkan kematian jaringan (seperti pada gangren
streptokokus dan fasitis nekrotisasi) dan penyebaran infeksi melalui aliran darah
(bakteremia) ke bagian tubuh lainnya. Jika selulitis kembali menyerang sisi yang
sama, maka pembuluh getah bening di dekatnya bisa mengalami kerusakan dan
menyebabkan pembengkakan jaringan yang bersifat menetap (Siregar 2005).

Gambar 1. Infeksi Kulit Selulitis (Siregar 2005)


2.2.4 Diagnosis
Pada pemeriksan fisik akan ditemukan daerah pembengkakan yang
terlokalisir (edema), kadang ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening.
Pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih dan adanya
infeksi bakteri. Bila perlu, bisa dilakukan pembiakan darah (Siregar 2005).
2.2.5 Penatalaksanaan
Pengobatan sistemik ialah antibiotik, topikal diberikan kompres terbuka
dengan larutan antiseptik. Antibiotik segera diberikan setelah diagnosis selulitis

32

ditegakkan. Bagian tubuh yang terkena diistirahatkan, tidak boleh digerakkan dan
untuk

mengurangi

pembengkakan,

kaki

biasanya

dielevasikan/digantung

tingginya sedikit lebih tinggi daripada letak cor. Kompres dingin dan basah bisa
mengurangi rasa tidak nyaman. Untuk selulitis yang disebabkan oleh streptokokus
biasanya diberikan penisilin per-oral. Pada kasus yang berat, penisilin bisa
diberikan secara intravena dan bisa ditambahkan klindamisin. Jika penderita alergi
terhadap penisilin bisa diganti dengan eritromisin untuk kasus yang ringan atau
klindamisisn untuk kasus yang berat. Selulitis yang disebabkan oleh stafilokokus
bisa diobati dengan dikloksasilin. Untuk kasus yang berat bisa diberikan oksasilin
atau nafsilin. Gejala-gejala selulitis biasanya menghilang beberapa hari setelah
pemberian antibiotik. Kepada penderita selulitis berulang bisa diberikan suntikan
penisilin setiap bulan atau

penisilin per-oral selama 1 minggu setiap bulan

(Djuanda, 2009 & Siregar, 2005).


Pengobatan antimikroba antara lain:

Beta-laktam antibiotik, aktivitasnya melawan S. Aureus

Ciproflocaxin (750 mg/12 jam), aman dan efektif bagi berbagai


variasi kulit dan infeksi struktur kulit.

Moxiflocaxin (400 mg/hari), efektif pada kulit yang tidak sukar


dan infeksi jaringan lunak.

Cephalexin (500 mg 3 kali/hari), sama seperti Moxiflocaxin.

Penisilin dosis tinggi (1,2-2,4 juta unit selama 14-21 hari).

Eritromisin (4 x 1 gram selama 14-21 hari).

Antibiotik berspektrum luas lainnya seperti golongan sefalosporin


dan golongan amoksisilin (4 kali sehari 250 mg selama 5-7 hari).

Jika dengan pengobatan oral tanda dan gejala selulitis tidak juga
menghilang, meluas, atau menjdi demam tinggi, maka perlu perawatan rumah
sakit secara intensif dan mengonsumsi antibiotik melalui pembuluh darah. Obatobat yang digunakan antara lain:
Levoflocaxin dosis tinggi (750 mg sekali / hari), pada kulit dengan ciri
khusus yang rumit dan infeksi struktur kulit.

33

Ticarcillin-clavulanate (3,1 gram / 4-6 jam), sama seperti Levoflocaxin


dosis tinggi.
Linezolid (600 mg / 12 jam), pada penderita dengan komplikasi kulit
dengan lesi, penekanan immun, atau pembuluh darah yang tidak cukup.
Oxacillin (2 gram / 6 jam), sama seperti Linezolid (Siregar 2005).

34

35

BAB 3
ANALISA KASUS
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An. NH usia 11
tahun 4 bulan datang diantarnya keluarganya ke IGD RSUD AWS Samarinda atas
rujukan dari rumah sakit Berau pada Mei 2015 setelah sebelumnya selama 8 hari
dirawat di rumah sakit Berau dengan keluhan utama demam. Diagnosis masuk
dan diagnosis kerja pasien ini adalah Suspek leukemia. Diagnosis diruangan
adalah LMA dengan Selulitis. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan hasil dari
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
TEORI
ANAMNESIS

KASUS

LMA

LMA

Pasien dapat masuk dengan keluhan Pasien


utama

seperti

adanya

rasa

datang

dengan

keluhan

lelah, demam, rasa lelah. Pasien sempat

perdarahan dan infeksi. Perdarahan didiagnosis Demam Berdarah di RS


biasanya terjadi dalam bentuk purpura sebelumnya dengan ptekie (+). Pasien
atau petekia yang sering dijumpai di juga datang dengan keluhan nyeri,
ekstremitas

bawah

atau

berupa bengkak, dan kemerahan pada luka

epistaksis, perdarahan gusi dan retina.

bekas tusukan jarum di bagian lengan


atas tangan kirinya, hal ini diduga
karena terlah terjadi infeksi di tempat
tersebut.

Selulitis
Selulitis

umumnya

terjadi

akibat

komplikasi suatu luka/ulkus atau lesi


kulit yang lain. Gambaran klinisnya
umumnya pada semua bentuk ditandai
dengan kemerahan yang batasnya tidak
jelas, nyeri tekan, pembengkakan, dan
tampak

seperti

mengelupas

36

kulit
(peau

jeruk

yang

d'orange).

Selulitis
Setelah ambil darah dan ganti infus
beberapa kali karena infus macet atau
bengkak
merasakan

pada
nyeri,

tangan
bengkak,

pasien
dan

kemerahan pada luka bekas tusukan


jarum di bagian lengan atas tangan
kirinya.

Penyebaran dan perluasan kemerahan


ini dapat timbul secara cepat di sekitar
luka/ulkus yang ada disertai demam,
lesu. Pada keadaan akut, kadangkadang timbul bula.
Faktor

resiko

terjadinya

selulitis

adalah:

Gigitan dan sengatan serangga,


gigitan hewan, atau manusia

Luka di kulit

Riwayat

penyakit

pembuluh

darah perifer, kencing manis

Tindakan

terhadap

penyakit

jantung, paru-paru atau gigi,


yang baru-baru ini dijalani oleh
penderita

Pemakaian obat imunosupresan


atau kortikosteroid.
PEMERIKSAAN FISIK

LMA

LMA

Pada pasien LMA terjadi leukositosis, Pada pemeriksaan (sesuai follow up)
gejala leukositosis sangat bervariasi. pasien sempat mengeluhkan nyeri
Gejala yang sering dijumpai adalah dada dan sesak nafas.
gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri Pada pemeriksaan (sesuai follow up)
dada.

didapatkan

Pada pasien AML bisa didapatkan splenomegali


tanda & gejala dari proliferasi &
abnormalitas populasi sel leukemia
seperti hepatomegali & splenomegali
Selulitis

Selulitis

Terdapat gejala konstitusi antara lain Suhu tubuh

37

hepatomegali

&

demam, malaise. Kelainan kulit yang Daerah

pembengkakan

yang

utama adalah eritema yang berwarna terlokalisir (edema) pada lengan atas
merah, berupa infiltrat yang difus di tangan kiri, kemerahan, dan nyeri bila
subkutan dengan tanda-tanda radang digerakkan atau disentuh.
akut.

Pembengkakan kelenjar getah bening

Pemeriksaan fisik akan ditemukan pada leher.


daerah pembengkakan yang terlokalisir
(edema),

kadang

ditemukan

pembengkakan kelenjar getah bening.


PEMERIKSAAN PENUNJANG
LMA

LMA

Pada LMA, hasil pemeriksaan Hasil pemeriksaan penunjang sempat


darah

menunjukkan

adanya menunjukkan adanya anemia dengan

anemia, trombositopenia, dan kadar hemoglobin 7,5 g/dl. Lalu,


dan jumlah trombosit sempat berada di

leukositopenia,

leukositosis. Kadar hemoglobin angka 38.000/L dan 46.000/L.


sekitar

7.0 sampai 8.5 g/dl, Pada pasien ini jumlah leukosit selalu

jumlah

trombosit

umumnya >100.000/L,

yakni

198.000/L,

<50.000/ul dan jumlah leukosit 242.800 L, dan 242.990/L.


sekitar 24.000/ul. Sekitar 20% Pada pemeriksaan HDT didapatkan
pasien

leukositnya peningkatan leukosit dengan jumlah

jumlah

>100.000/ul. Pada pasien LMA mieloblast 70%.


tidak selalu dijumpai leukositosis. Pada BMP didapatkan akumulasi sel
Leukositosis terjadi pada sekitar 50% blast, dengan
kasus LMA, sedang 15% pasien mieloblast.
yang Pemeriksaan
normal dan sekitar 35% mengalami hasil positif.
mempunyai

angka

leukosit

netropenia.
Sel-sel

blast

signifikan

di

dalam
darah

jumlah

yang

tepi

akan

ditemukan pada 85% kasus LMA.


Patogenesis utama LMA adalah adanya

38

presentasi

sitokimia

80%

menjukkan

blokade maturitas yang menyebabkan


proses diferensiasi sel-sel seri mieloid
terhenti pada sel-sel muda (blast)
dengan akibat terjadi akumulasi blast
di sumsum tulang.
Pengecatan sitokimia yang penting
untuk pasien LMA adalah Sudan Black
B (SSB) dan mieloperoksidase (MPO).
Kedua pengecatan sitokimia tersebut
akan memberikan hasil positif pada
pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4,
dan M6.

Selulitis
Peningkatan

Selulitis
Pemeriksaan

darah

menunjukkan

jumlah

leukosit

(leukositosis)

peningkatan jumlah sel darah putih dan


adanya infeksi bakteri. Bila perlu, bisa
dilakukan pembiakan darah (Siregar
2005).
DIAGNOSIS
LMA

LMA

Gejala klinis dan pemeriksaan Pada pasien ini telah ditemukan


darah lengkap dapat dipakai gejala yang mengarah ke diagnosis
untuk

menegakkan

leukemia.

Namun

memastikan

harus

diagnosis LMA, seperti rasa lelah, infeksi.


untuk Pada pasien ini juga telah dilakukan
dilakukan beberapa

pemeriksaan

penunjang

pemeriksaan aspirasi sumsum seperti aspirasi sumsum tulang dan


tulang dan dilengkapi dengan radiografi dada. Pada pasien ini juga
pemeriksaan radiografi dada, telah direncanakan untuk dilakukan
cairan
beberapa

serebrospinal

dan pemeriksaan

pemeriksaan serebrospinal.

penunjang yang lainnya. Cara


ini dapat mendiagnosis sekitar

39

pada

cairan

90% kasus, sedangkan sisanya


memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut,

sitokimia, Selulitis

yaitu

imunologi,

sitogenetika,

dan

biologi molekuler.

Bengkak,

kemerahan,

dan

terasa nyeri pada luka bekas


tusukan

jarum

di

bagian

lengan atas tangan kirinya.

Daerah pembengkakan yang


terlokalisir

(edema)

pada

lengan atas tangan kiri

Pembengkakan kelenjar getah


bening pada leher.

Peningkatan jumlah leukosit

LMA

O2 1-2 lpm

Penanganan leukemia meliputi

IVFD D5 NS + 20 meq

PENATALAKSANAAN

kuratif

dan

suportif.

Penanganan

suportif

Nabic 34-35 tpm

meliputi penyakit lain yang


menyertai

leukemia

pengobatan
antara

dan

komplikasi
lain

pemberian

berupa
transfusi

IV

Inj. Gentamisin 1 x 80 mg IV

Paracetamol drip 3 x 280 mg


IV

Alupurinol 3 x 300 mg

Ranitidin 2 x 25 mg IV

meningkatkan

Kloramfenikol salf 3 x 1 ue

granulosit, obat anti jamur,

Kompres NaCl 0,9% selang

darah/trombosit, pemberian
antibiotik, pemberian obat
untuk

seling dengan air hangat

pemberian nutrisi yang baik,


dan

pendekatan

psikososial.

Perbaiki

aspek

Transfusi trombosit 4 kali

keadaan

Kemoterapi

umum yaitu : anemia diberikan


tranfusi darah dengan PCR (Packed

40

Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg

red

cell)

atau

darah

lengkap.

Trombositopeni yang mengancam


diatasi dengan transfusi konsetrat
trombosit. Apa bila ada infeksi
diberikan antibiotika yang adekuat.
Terapi

kuratif/spesifik

bertujuan

untuk

menyembuhkan
leukemianya

berupa

kemoterapi

yang

meliputi

induksi remisi, intensifikasi,


profilaksis

susunan

saraf

pusat dan rumatan.


Terapi spesifik seperti terapi leukemia
pada umumnya dimulai dengan
tahap induksi dengan : Doxorubicin
40 mg/mm2 berat badan hari 1-5.
Dilanjutkan denagan Ara C 100 mg
IV, tiap 12 jam hari 1-7. Obat
pengganti

adriamycin

adalah

Farmorubicin. Dilakukan evaluasi


klinis

dan

hematologis.

Pemeriksaan sumsum tulang pada


akhir mimggu ketiga.
Selulitis

Pengobatan

sistemik

ialah

antibiotik,

topikal

diberikan

kompres

terbuka

dengan

larutan antiseptik. Antibiotik


segera

41

diberikan

setelah

diagnosis selulitis ditegakkan.


Untuk

selulitis

yang

disebabkan oleh streptokokus


biasanya diberikan

penisilin

per-oral. Pada kasus yang berat,


penisislin bisa diberikan secara
intravena dan bisa ditambahkan
klindamisin.

Jika

penderita

alergi terhadap penisilin bisa


diganti dengan

eritromisin

untuk kasus yang ringan atau


klindamisisn untuk kasus yang
berat. klindamisin untuk kasus
yang berat.

Pilihan

lain:

berspektrum

Antibiotik

luas

lainnya

seperti golongan sefalosporin


dan golongan amoksisilin (4
kali sehari 250 mg selama 5-7
hari).

Bagian tubuh yang terkena


tidak boleh digerakkan dan
untuk

mengurangi

pembengkakan, kaki biasanya


digantung.

Kompres dingin dan basah bisa


mengurangi rasa tidak nyaman.

42

43

DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, A. dkk. 2009. Selulitis, ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kedua.
FKUI. Jakarta.
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. Philadelphia: Elsevier. 2007
Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar HematologiOnkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2005
Siregar RS. 2005. Atlas berwarna saripati kulit. EGC. Jakarta.
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti
Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2006.
Weinblatt ME. Pediatric Acute Myelotic Leukemia Treatment & Management.
Medscape Drug & Diseases. 2014

44

Anda mungkin juga menyukai