Referat Lesi Eritroskuamosa

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Dermatosis eritroskuamosa merupakan penyakit kulit yang ditandai terutama
oleh adanya eritema dan skuama. Eritema merupakan kelainan pada kulit berupa
kemerahan yang disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah kapiler yang bersifat
reversibel. Skuama merupakan lapisan dari stratum korneum yang terlepas dari kulit.
Maka, kelainan kulit yang terutama terdapat pada dermatosis eritroskuamosa adalah
berupa kemerahan dan sisik/terkelupasnya kulit.
Dermatosis eritroskuamosa terdiri dari beberapa penyakit kulit yang
digolongkan di dalamnya, antara lain: psoriasis, parapsoriasis, dermatitis seboroik,
pitiriasis rosea, dan eritroderma.
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronik dengan dasar genetik yang
kuat dengan karakteristik perubahan pertumbuhan dan deferensiasi sel epidermis.
Faktor faktor yang berpengaruh yaitu faktor genetik dan imunologik. Sedangkan
gambaran klinis didapatkan adanya eritema dan skuama, yang disebabkan oleh hiper
keratinosit. Yang khas pada pemeriksaan psoriasis yaitu pemeriksaan tetesan lilin dan
pemeriksaan ausfitz.
Parapsoriasis merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,
pada umumnya tanpa keluhan. Terdapat tiga bentuk parapsoriasis yaitu ; Parapsoriasis
gutata, parapsoriasis variegata, parapsoriasis en plaque. Pengobatan yang dilakukan
untuk parapsoriasis sama dengan psoriasis.
Pitiriasis rosea ialah erupsi kulit akut yang sembuh sendiri, dimulai dengan
sebuah lesi inisial berbentu eritema dan skuama halus. Terutama terdapat pada umur
15 40 tahun. Etiologi belum diketahui, tetapi berdasarkan gambaran klinis dan
epidemiologis diduga infeksi sebagai penyebab. Lesi pertama adalah herald patch,
pitiriasis rosea dapat diterapi secara simptomatik dan prognosisnya baik, karena dapat
sembuh dengan sendirinya.
Eritroderma dianggap sinonim dengan Dermatitis Eksfoliativa, meskipun
sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kedua istilah tersebut
(keduanya boleh digunakan) dipakai untuk menggambarkan keadaan dimana sebagian
besar kulit berwarna merah, meradang dan berskuama. Eritroderma adalah kelainan
kulit yang ditandai dengan adanya eritem universalis (90-100%), biasanya disertai
skuama.
Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuamosa dengan predileksi di
daerah kaya kelenjar sebasea , scalp, wajah dan badan. Dermatitis ini dikaitkan
dengan malasesia terjadi gangguan imunologis mengikuti kelembaban lingkungan,
perubahan cuaca, ataupun trauma dengan penyebaran lesi dimulai dari derajat ringan,
misalnya ketombe sampai dengan bentuk eritroderma. Dermatitis seboroik berkisar
antara 3 5 % pada populasi umum.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PSORIASIS VULGARIS


2.1.1. Definisi
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronik dengan dasar genetik yang
kuat dengan karakteristik perubahan pertumbuhan dan deferensiasi sel epidermis
disertai manifestasi vaskuler, juga diduga adanya pengaruh sistem saraf. (KULIT
MERAH)
2.1.2. Epidemiologi
Psoriasis menyebar diseluruh dunia tetapi prevalensi usia psoriasis bervariasi
di setiap wilayah. Prevalensi anak berkisar dari 0% di Taiwan sampao dengam 2.1 %
di itali. Sedangkan pada dewasa di Amerika Serikat 0.98% sampai dengan 8%
ditemukan di Norwegia. Di Indonesia pencatatan pernah dilakukan oleh sepuluh RS
besar dengan angka prevalensi pada tahun 1996, 1997, dan 1998 berturut turut
0,62%; 0,59% dan 0,92%. Psoriasis terus mengalami peningkatan jumlah kunjungan
ke layanan kesehatan di banyak daerah di Indonesia. Remisi dialami oleh 17 55%
kasus dengan beragam tenggang waktu. (MERAH)
2.1.3. Etiopatogenesis
Untuk beberapa dekade, psoriasis merupakan penyakit yang ditandai dengan
terjadinya hiperplasia sel epidermis dan inflamasi dermis. Karakteristik tambahan
berdasarkan perubahan histopatologi yang ditemukan pada plak psoriatik dan data
laboratorium yang menjelaskan siklus sel dan waktu transit sel pada epidermis.
Epidermis pada plak psoriasis menebal dan hiperplastik, dan terdapat maturasi
inkomplit sel epidermal di atas area sel germinatif. Replikasi yang cepat dari sel
germinatif sangat mudah dikenali, dan terdapat pengurangan waktu untuk transit sel
melalui sel epidermis yang tebal. Abnormalitas pada vaskularisasi kutaneus ditandai
dengan peningkatan jumlah mediator inflamasi, yaitu limfosit, polimorfonuklear,
leukosit, dan makrofag, terakumulasi di antara dermis dan epidermis. Sel-sel tersebut
dapat menginduksi perubahan pada struktur dermis baik stadium insial maupun
stadium lanjut penyakit.3

Gambar 1. Patogenesis kelainan kulit pada psoriasis


Sumber: http://www.psoriasis.or.id/psoriasis_pustular.php
Terdapat beberapa factor yang berperan sebagai etiologi psoriasis, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Faktor Genetik
Sekitar 1/3 orang yang terkena psoriasis melaporkan riwayat penyakit
keluarga yang juga menderita psoriasis. Pada kembar monozigot resiko
2

menderita psoriasis adalah sebesar 70% bila salah seorang menderita


psoriasis.1 Bila orangtua tidak menderita psoriasis maka risiko mendapat
psoriasis sebesar 12%, sedangkan bila salah satu orang tua menderita psoriasis
maka risiko terkena psoriasis meningkat menjadi 34-39%. Berdasarkan awitan
penyakit dikenal dua tipe yaitu:
Psoriasis tipe I dengan awitan dini dan bersifat familial
Psoriasis tipe II dengan awitan lambat dan bersufat nonfamilial
Hal lain yang menyokong adanya factor genetik adalag bahwa psoriasi
berkaitan dengan HLA. Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13, B17,
Bw57 dan Cw6. Psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA-B27 dan Cw2,
sedangkan psoriasis pustulosa berkaitan dengan HLA-B27.
2. Faktor Imunologik
Defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan pada salah satu dari
ketiga jenis sel yaitu limfosit T, sel penyaji antigen (dermal) atau keratinosit.
Keratinosit psoriasis membutuhkan stimuli untuk aktivasinya. Lesi psoriasis
matang umumnya penuh dengan sebukakan limfosit T di dermis yang
terutama terdiri atas limfosit T CD4 dengan sedikit sebukan limfositik dalam
epidermis. Sedangkan pada lesi baru pada umumnya lebih didominasi oleh sel
limfosit T CD8. Pada lesi psoriasis terdapat sekitar 17 sitokin yang
produksinya bertambah. Sel Langerhans juga berperan dalam
imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya proliferasi epidermis dimulai dengan
adanya pergerakan antigen baik endogen maupun eksogen oleh sel langerhans.
Pada psoriasis pembentukan epidermis (turn over time) lebih cepat, hanya 3-4
hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari.
Nickoloff (1998) berkesimpulan bahwa psoriasis merupakan penyakit
autoimun. Lebih 90% dapat mengalami remisi setelah diobati dengan
imunosupresif. Berbaga faktor pencetus pada psoriasis yang disebutkan dalam
kepustakaan diantaranya adalah stress psikis, infeksi fokal, trauma
(Fenomenan Kobner), endokrin, gangguan metabolic, obat, alcohol dan
merokok. Stress psikis merupakan factor pencetus utama. Infeksi fokal
mempunyai hunungan yang erat dengan salah satu jenis psoriasis yaitu
psoriasis gutata, sedangkan hubungannya dengan psoriasis vulgaris tidak jelas.
Pernah dilaporkan kesembuhan psoriasis gutata setelah dilakukan
tonsilektomi. Umumnya infeksi disebabkan oleh Streptococcus. Faktor
endokrin umumnya berpengaruh pada perjalan penyakit. Puncak insidens
psoriasis terutama pada masa pubertas dan menopause. Pada waktu kehamilan
umumnya membaik sedangkan pada masa postpartum umumnya memburuk.
Gangguan metabolisme seperti dialysis dan hipokalsemia dilaporkan menjadi
salah satu factor pencetus. Obat yang umumnya dapat menyebabkan residif
ialah beta adrenergic blocking agents, litium, anti malaria dan penghentian
mendadak steroid sistemik. 2
Ada beberapa faktor predisposisi yang dapat menimbulkan penyakit
ini, yaitu:
1. Faktor herediter bersifat dominan otosomal dengan penetrasi tidak
lengkap.

2. Faktor-faktor psikis, seperti stres dan gangguan emosis. Penelitian


menyebutkan bahwa 68% penderita psoriasis menyatakan stress,
dan kegelisahan menyebabkan penyakitnya lebih berat dan hebat.
3. Infeksi fokal. Infeksi menahun di daerah hidung dan telinga,
tuberkulosis paru, dermatomikosis, arthritis dan radang menahun
ginjal.
4. Penyakit metabolic, seperti diabetes mellitus yang laten.
5. Gangguan pencernaan, seperti obstipasi.
6. Faktor cuaca. Beberapa kasus menunjukkan tendensi untuk
menyembuh pada musim panas, sedangkan pada musim penghujan
akan kambuh dan lebih hebat. 5
2.1.4. Gambaran Klinis
Keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali pada psoriasis yang menjadi
eritroderma. Sebagian pasien mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada scalp,
perbatasan scalp dengan wajah, ektremitas terutama bagian ekstensor di bagian siku
dan lutut serta daerah lumbo sacral.

Gambar 2. Letak Predileksi Psoriasis


Sumber: http://www.psoriasis.or.id/psoriasis_pustular.php
Kelainan kulit terdiri dari bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan
skuama diatasnya. Eritema sirkumskripta dan merata, tetapi pada masa penyembuhan
seringkali eritema di tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama
berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika serta transparan. Besar kelainan
bervariasi, bisa lentikular, nummular, plakat dan dapat berkonfluensi. Jika seluruhnya
atau sebagian besar berbentuk lentikular disebut psoriasis gutata, biasanya pada anakanak, dewasa muda dan terjadi setelah infeksi oleh Streptococcus.2
Lesi primer pada pasien psoriasis dengan kulit yang cerah adalah merah, papul
dan berkembang menjadi kemerahan, plak yang berbatas tegas. Lokasi plak pada
umumnya terdapat pada siku, lutut, skalp, umbilikus, dan intergluteal. Pada pasien
psoriasis dengan kulit gelap, distribusi hampir sama, namun papul dan plak berwarna
keunguan denan sisik abu-abu. Pada telapak tangan dan telapak kaki, berbatas tegas
dan mengandung pustule steril dan menebal pada waktu yang bersamaan. 3
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner
(isomorfik). Kedua fenomena yaitu tetesan lilin dan Auspitz dianggap khas,
sedangkan Kobner dianggap tidak khas, hanya kira-kira 47% dari yang positif dan
didapat pula pada penyakit lain. misalnya Liken Planus dan Veruka plana juvenilis.
4

Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada
goresan seperti lilin yang digores, disebabkan oleh perubahan indeks bias. Cara
menggoresnya bisa dengan pinggir gelas alas. Pada fenomena Auspitz tampak serum
atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis. Cara
mengerjakannya adalah dengan cara skuama yang berlapis-lapis itu dikerok dengan
ujung gelas alas. Setelah skuama habis maka pengerokan harus dilakukan dengan
pelan-pelan karena jika terlalu dalam tidak tampak perdarahan yang berupa bintikbintik melainkan perdarahan yang merata. Trauma pada kulit penderita psoriasis
misalnya trauma akibat garukan dapat menyebabkan kelainan kulit yang sama dengan
psoriasis dan disebut dengan fenomena Kobner yang timbul kira-kira setelah 3
minggu.
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku yakni sebanyak kira-kira
50% yang agak khas yaitu yang disebut dengan pitting nail atau nail pit yang berupa
lekukan-lekukan miliar. Kelainan yang tidak khas yaitu kuku yang keruh, tebal,
bagian distalnya terangkat karena terdapat lapisan tanduk dibawahnya (hyperkeratosis
subungual) dan onikolisis. Disamping menimbulkan kelainan pada kulit dan kuku,
penyakit ini dapat pula menimbulkan kelainan pada sendi. Umumnya bersifat
poliartikular, tempat predileksinya pada sendi interfalangs distal dan terbanyak
terdapat pada usia 30-50 tahun. Sendi membesar kemudian terjadi ankilosis dan lesi
kistik subkorteks. Kelainan pada mukosa jarang ditemukan.2

Gambar 3. Psoriasis pada sendi


Sumber: http://www.psoriasis.or.id/psoriasis_pustular.php
2.5 BENTUK KLINIS
1. Psoriasis Vulgaris
Bentuk ini adalah yang lazim terdapat karena itu disebut psoriasis
vulgaris. Dinamakan juga tipe plak karena lesi-lesinya pada umumnya
berbentuk plak. Tempat predileksinya yaitu pada scalp, perbatasan scalp
dengan wajah, ekstremitas terutama bagian ekstensor yaitu lutut, siku dan
daerah lumbosakral.

Gambar 4. Psoriasis vulgaris


Sumber: Atlas of Dermatology in Internal Medicine
2. Psoriasis Gutata
Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbulnya mendadak
dan diseminata, umumya setelah infeksi Streptococcus di saluran napas bagian
atas sehabis influenza atau morbili terutama pada anak dan dewasa muda.
Selain itu juga dapat timbul setelah infeksi yang lain baik bacterial maupun
viral.

Gambar 5. Psoriasis Gutata


Sumber: Atlas of Dermatology in Internal Medicine
3. Psoriasis Inversa ( Psoriasis Fleksural)
Psoriasis ini mempunyai tempat predileksi di daerah fleksor sesuai dengan
namanya.

Gambar 6. Psoriasis Inversa


Sumber: UBC Dermatology. Diunduh dari: http://www.derm.ubc.ca/
4. Psoriasis Eksudativa
Bentuk ini sangat jarang. Biasanya kelainan pada psoriasis itu dalam
bentuk kering, tetapi pada jenis ini kelaianannya bersifat eksudatif seperti pada
dermatitis akut.
6

5. Psoriasis Seboroik
Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara
psoriasis dan dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi agak
berminyak dan agak lunak. Selain berlokasi pada tempat yang lazim, juga
terdapat pada tempat seboroik
6. Psoriasis Pustulosa
Ada 2 pendapat mengenai psoriasis pustulosa, pertama dianggap
sebagai penyakit tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis. Terdapat
2 bentuk psoriasis pustulosa yaitu:
a. Psoriasis Pustulosa Palmoplantar (Barber)
Psoriasis pustulosa palmoplantar bersifat kronik dan residif,
mengenai telapak tangan atau telapak kaki atau keduanya. Kelainan
kulit berupa kelompok-kelompok pustule kecil steril dan dalam, di atas
kulit yang eritematosa, disertai rasa gatal.

Gambar 7. Psoriasis Pustulosa Palmoplantar (Barber)


Sumber: http://www.wikimedia.org//
b. Psoriasis Pustulosa Generalisata Akut (Von Zumbusch)
Psoriasis pustulata generalisata akut (von Zumbusch) dapat
ditimbulkan oleh berbagai faktor provokatif, misalnya obat yang
tersering karena penghentian kortikosteroid sistemik. Obat lain
contohnya, penisilin dan derivatnya, serta antibiotik betalaktam yang
lain, hidroklorokuin, kalium iodide, morfin, sulfapiridin, sulfonamide,
kodein, fenilbutason, dan salisilat. Faktor lain selain obat ialah
hipokalsemia, sinar matahari, alkohol, stres emosional, serta infeksi
bakterial dan virus. Penyakit ini dapat timbul pada penderita yang
sedang atau telah mendapat psoriasis. Dapat pula muncul pada
penderita yang belum pernah menderita psoriasis. Gejala awalnya ialah
kulit nyeri, hiperalgesia disertia gejala umum berupa demam,malese,
nausea, anoreksia. Plak psoriasis yang telah ada makin eritematosa.
Setelah beberapa jam timbul banyak plak edematosa dan eritematosa
pada kulit yang normal. Dalam beberapa jam timbul banyak pustul
miliar pada plak-plak tersebut. Dalam sehari pustul-pustul
berkonfluensi membentuk lake of pus berukuran beberapa cm.1 Pustul
besar spongioform terjadi akibat migrasi neutrofil ke atas stratum
malphigi, di mana neutrofil ini beragregasi di antara keratinosit yang
menipis dan berdegenerasi.3 Kelainan-kelainan semacam itu akan terus
7

menerus dan dapat menjadi eritroderma. Pemeriksaan laboratorium


menunjukkan leukositosis, kultur pus dari pustul steril.

Gambar 8. Psoriasis pustulata generalisata akut (von Zumbusch)


Sumber: UBC Dermatology. Diunduh dari: http://www.derm.ubc.ca/
7. Eritroderma psoriatic
Psoriasis eritroderma dapat disebabkan oleh pengobatan topical yang
terlalu kuat atau karena penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang
khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama
tebal universal. Adakalanya lesi psoriasis masih tampak samar-samar yakni
lebih eritematosa dan kulitnya lebih meninggi. 2,6

Gambar 9. Psoriasis eritroderma


Sumber: UBC Dermatology. Diunduh dari: http://www.derm.ubc.ca/
2.1.5. Diagnosis Banding
Psoriasis memiliki gambaran spesifik berupa plak erotoomatosa dengan
skuamma yang memiliki gambaran mirip dengan dermatosis, yang terdapat pada tabel
berikut
Diagnosis
Diagnosis Banding
Plakat
Dermatitis
numularis
atau
neurodermatitis, tinea korporis, liken
planus, LE, parapsoriasis, CTCL.
Fleksural
Dermatitis seboroik, dermatitis popok,
tinea kruris, kandidiosis.
Gutata
Pitiriasis rosea, dermatitis numularis,
erupsi obat, parapsoriasis, SII, CTCL.
8

Eritroderma

Dermatitis atopik, dermatitis seboroik,


DKA, erupsi obat, PRP, pitiriasis rosea,
fotosensitivitas, CTCL, limfoma kutis.
Kuku
Tinea ungium, kandidiosis, traumatik
onikolisis, liken planus, 20 nail
dystrophy, penyakit darier
Skalp
Dermatitis seboroik, tinea kapitis, PRP,
eritroderma, LE, karsinoma bowen.
Palmoplantar
Dermatitis tangan, DKA, tinea, SII,
scabies, limfoma kutis.
PPG
Impetigo
herpetiformis,
pustular
dermatosis subkorneal, erupsi obat
pustulosa, akrodermatitis enteropatika
(anak).
LE = Lurus Eritomatosa, CTCL = cell T cutaneous lymphoma, DKA = Dermatitis
Kontak Alergik, PRP = Pitiriasis Rubra Piliaris.
2.1.6. Komplikasi
Pasien dengan psoriasis memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang
meningkat terhadap gangguan kardiovaskular terutama pada pasien psoriasis berat
dan lama. Risiko infark miokard terutama sekali terjadi pada psoriasis muda usia yang
menderita dalam jangka waktu panjang. Pasien psoriasis juga mempunyai
peningkatan resiko limfoma malignum. Gangguan emosional yang diikuti masalah
depresi sehubungan dengan manifestasi klinis berdampak terhadap menurunnya harga
diri, penolakan sosial, merasa malu, masalah seksual, dan gangguan kemampuan
professional. Semuanya diperberat dengan perasaan gatal dan nyeri, keadaan ini
menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien. Komplikasi yang dapat terjadi pada
pasien eritroderma adalah hipotermia dan hipoalbuminemua sejunder terhadap
pengelupasan kulit yang berlebihan juga dapat terjadi gagal jantung dengan
pneumonia. Sebanyak 10 17% pasien dengan psoriasis pustulosa generalisata (PPG)
menderia arthralgia, myalgia, lesi mukosa
2.1.7. Pengobatan
Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal bekerja sebagai antiinflamasi, antiproliferasi, dan
vasokonstriktor masih tetap banyak dipakai dalam pengobatan psoriasis secara
tunggal atau kombinasi. Terapi jenis ini masih diminati oleh banyak dokter maupun
pasien karena efektif, relatif cepat, ditoleransi dengan baik, mudah digunakan, dan
tidak terlalu mahal dibandingkan dengan terapi alternatif lainnya.
Resistensi merupakan gejala yang sering terlihat dalam pengobatan keadaan
ini disebabkan oleh proses takifilaksis. Bila dalam 4 6 minggu lesi tidak membaik,
pengobatan sebaiknya dihentikan, diganti dengan terapi jenis lain, sedangkan
kortikosteroid superpoten hanya diperbolehkan 2 minggu. Pemakaian obat secara
oklusi hanya diperkenankan untuk daerah telapak tangan dan kaki. Harus diingat
psoriasis sensitif terhadap kortikosteroid, tetapi juga resisten terhadap obat yang
sama, hal ini terjadi karena takifilaksis.
Efek samping yang mengancam cukup banyak, seperti penipisan kulit, atrofik,
striae, talengiekrasis, erupsi akneiformis, rosasea, dermatitis kontak, perioral
dermatitis, absorbs sistemik yang dapat menimbulkan supresi aksis hipotalamus
ptuitari.
9

Kalsipotriol / Kalsipotrien
Kalsipotriol adalah analog vitamin D yang mampu mengobati psoriasis ringan
sampai sedang. Mekanisme kerja sediaan ini adalah antiproliferasi keratinosit,
menghambat proliferasi sel, dan meningkatkan deferensiasi juga menghambat
produksi sitokin yang berasal dari keratinosit maupun limfosit. Kalsipotriol
merupakan pilihan pertama atau kedua pengobatan topical walaupun tidak seefektif
kortikosteroid super poten, namun obat ini tidak memiliki efek samping yang
mengancam seperti kortikosteroid. Dermatitis kontak iritan merupakan efek samping
terbanyak yang dijumpai, pemakaian 100g seminggu dapat meningkatkan kadar
kalsium darah.
Vitamin D lebih efektif dibandingkan dengan emolien ataupun tar untuk
meredakan gejala psoriasis, namun setara dengan kortikosteroid poten. Kortikosteroid
poten lebih efektif sedikit dibandingkan dengan vitamin D untuk pengobatan psoriasis
pada kulit kepala. Obat topical paling efektif adalah kortikosteroid superpoten yang
mempunyai efek samping yang harus mempunyai perhatian ketat. Vitamin D dan
kortikosteroid poten mempunyai efektivitas terhadap psoriasis yang sangat baik bila
dibandingkan dengan vitamin D tunggal atau kortikosteroid.
Retinoid Topikal
Acetylenic retinoid adalah asam vitamin A dan sintetik analog dengan reseptor
dan . Retinoid meregulasi transkripsi gen dengan berikatan RAR-RXR
heterodimer, berikatan langsung elemen respon asam retinoat pada sisi promoter gen
aktivasi. Tazaroten menormalkan proliferasi dan diferensiasi kerinosit serta
menurunkan jumlah sel radang. Tarzarotene 0,1% lebih efektif dibandingkan dengan
0,05%, pada pemakaian 12 minggu sediaan ini lebih efektif dibandingkan vehikulum
dalam meredakan skuama dan infiltrat psoriasis.
Ter dan Antralin
Ter berasal dari destilasi destruktif bahan organik, misalnya kayu, batubara,
dan fosil ikan (antara lain iktiol). Tar dapat dikombinasikan dengan ultraviolet yang
meningkatkan khasiatnya. Ter merupakan senyawa yang aman untuk pemakaian
psoriasis ringan sampai sedang, namun pemakaiannya menyebabkan mengakibatkan
kulit lengket,mengotori pakaian, berbau, kontak iritan, terasa terbakar dan dapat
menjadi fotosensitivitas.
Fototerapi
Fototerapi yang dikenal ultraviolet A (UVA) dan ultraviolet B (UVB).
Fototerapi memiliki kemampuan menginduksi apoptosis, imunosupresan, mengubah
profil sitokin dan mekanisme lainnya. Sekarang tersedia lampu UVB (TL-01) yang
dapat memancarkan sistem monokromatik dan disebut spektrum sempit
(narrowbrand) dalam berbagai uji coba penyinaran 3 5 kali semingu dengan dosis
eritemogenik memiliki hasil yang efektif. Bila dibandingkan dengan UVB spectrum
luas, UVB spectrum kecil nampaknya lebih efektif. Psoriasis sedang sampai berat
dapat diobati dengan UVB, kombinasi dengan ter dapat menghilangkan efektivitas
terapi. Efeksamping cepat berupa sub burn, eritema, vesikulasi dan kulit kering. Efek
jangka panjang berupa penuaan kulit dan keganasan kulit yang masih sulit dibuktikan.
Sistemik
Untuk menentukan pengobatan sistemik sebaiknya mengikuti algoritma yang
membutuhkan penanganan semacam ini biasanya dipakai pada psoriasis berat
termasuk psoriasis plakat luas, eritroderma atau psoriasis pustulosa generalisata atau
psoriasis artritis.
Metotreksat

10

Merupakan pengobatan yang sudah lama dikenal dan masih sangat efektif
untuk psoriasis maupun psoriasis artritis. Mekanisme kerjanya melalui kompetisi
antagonis dari enzim hidrofolat reduktasi. Metotreksat memiliki struktu rmirip asam
folat yang merupakan substrat dasar enzim tersebut.
Metotreksat mampu menekan proliferasi limfosit dan produksi sitokin, oleh
karena itu bersifat imunosupresif. Penggunaannya terbukti sangat berkhasiat untuk
psoriasis tipe plakat berat rekalsitran, dan juga merupakan indikasi untuk penanganan
jangka panjang pada psoriasis berat seperti psoriasis pustulosa dan psoriasis
eritroderma. Metabolit obat ini disekresi di ginjal, karena bersifat teratogenik. Oleh
karena itu, metotreksat tidak boleh diberkan pada ibu hamil. Dosis pemakaian untuk
dewasa dimulai dengan dosis rendah 7,5 15 mg setiap minggu, dengan pemantauan
ketat pemeriksaan fisik dan penunjang
Asitretin
Merupakan derivate vitamin A yang sangat teratogenik, efek terhadap
peningkatan trigliserida dan mengganggu fungsi hati. Dosis yang dipakai berkisar 0.5
1 mg per kilogram berat badan perhari.
Siklosporin
Merupakan penghambat enzim kalsineurin sehingga tidak terbentuk gen
interleukin-2 dan inflamasi lainnya. Dosis rendah; 2,5 mg/kgBB/hari dipakai sebagai
terapi awal dengan dosis maksimum 4 mg/kgBB/hari. Hipertensi dan toksik ginjal
adalah efek samping yang harus diperhatikandan beberapa peneliti juga
mengkhawatirkan keganasan. Obat ubu memiliki interaksi dengan beberapa macam
obat, dapat berkompetisi menghambat sitokrom P-450.
Agen Biologik
Obat ini bekerja dengan menghambat biomolekuler yang berberan dalam
tahapan pathogenesis psoriasis. Terdapat tiga tipe obat yang beredar di pasaran, yaitu
recombinant human cytokine, fusi protein dan monoclonal antibody.
Perkembangannya sangat pesat dan yang dikenal adalah alefacept, efalizumab,
infliximab, dan ustekinumab. Pemakaian terbatas pada kasus yang berat atau yang
tidak berhasil dengan pengobatan sistemik klasik. Efek samping yang harus
diperhatikan adalah infeksi karena agen ini bersifat imunosupresif, reaksi infus dan
pembentukan antibody serta pemakaian jangka panjang masih harus di evaluasi.
2.2 PARAPSORIASIS
2.2.1. Definisi
Parapsoriasis merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,
pada umumnya tanpa keluhan, kelainan kulit ditandai dengan adanya eritema dan
skuama, pada umumnya tanpa keluhan dan berkembang secara perlahan-lahan dan
kronik. Tahun 1902, Brock pertama kali menggambarkan 3 tanda utama yaitu
Pitiriasis lichenoides (akut dan kronik), Parapsoriasis plak yang kecil dan
Parapsoriasis plak yang luas (parapsoriasis dan plak).1
2.2.2

Epidemiologi
Diagnosis parapsoriasis jarang dibuat dikarenakan kriteria diagnosis masih
controversial. Di Eropa lebih banyak dibuat diagnosis parapsoriasis daripada di
Amerika Serikat.
2.2.3

Klasifikasi
Pada umumnya parapsoriasis dibagi menjadi 3 bagian yaitu :1
Parapsoriasis gutata
11

Parapsoriasis variegata
Parapsoriasis en plaque
2.2.4 Gambaran klinis
Parapsoriasis Gutata
Bentuk ini terdapat pada dewasa muda terutama pada pria dan relative paling sering
ditemukan. Ruam terdiri atas papul miliar serta lentikular, ertema dan skuama dapat
hemoragik, kadang-kadang berkonfluensi, dan umumnya simetrik. Penyakit ini
sembuh spontan tanpa meninggalkan sikatriks. Tempat predileksi pada badan, lengan
atas dan paha, tidak tedapat pada kulit kepala, muka dan tangan.1
Bentuk ini biasanya kronik, tetapi dapat akut dan disebut parapsoriasis gutata akut
( penyakit Mucha-Habermann). Gambaran klinisnya mirip varisela, kecuali ruam
yang telah disebutkan dapat ditemukan vesikel, papulonekrotik dan krusta. Jika
sembuh meninggalkan sikatriks seperti variola, karena itu dinamakan pula psoriasis
varioliformis akuta atau pitiriasis likenoides et varioliformis akuta atau pitiriasis
likenoides et varioliformis.1
ParapsoriasisVariegata
Kelainan ini terdapat pada badan, bahu dan tungkai, bentuknya seperti kulit zebra;
terdiri atas skuama dan eritema yang brgaris-garis.
Parapsoriasis en Plaque
Insidens penyakit ini pada orang kulit berwarna rendah. Umumnya mulai pada usia
pertengahan, dapat terus-menerus atau mengalami remisi, lebih sering pada pria
daripada wanita. Tempat predileksi pada badan dan ektremitas. Kelainan kulit berupa
bercak eritematosa, permukaan datar, bukat atau lonjong dengan diameter 2,5 cm
dengan sedikit skuama yang berwarna merah jambu, coklat atau agak kuning. Bentuk
ini sering berkembang menjadi mikosis fungoides.3

Gambar 4. Tanda dan Gejala Klinis pada parapsoriasis


2.2.5 Histopatologi
Parapsoriasis gutata
Terdapat sedikit infiltrat limfohistiositik di sekitar pembuluh darah superficial,
hyperplasia epidermal yang ringan dan sedikit spongiosis setempat.1
Parapsoriasis variegata
Epidermis tampak meinipis disertai keratosis setempat-setempat. Pada dermis terdapat
infiltrat menyerupai pita terutama terdiri atas limfosit.1
Parapsoriasis en plaque
Gambarannya tak khas, mirip dermatitis kronik.
2.2.6

Diagnosis banding
Sebagai diagnosis banding adalah ptiriasis rosea dan psoriasis. Psoriasis
berbeda dengan parapsoriasis, karena pada psoriasis skuamanya tebal,kasar, berlapis12

lapis, dan terdapat fenomena tetesan lilin dan Auspitz. Selain itu gambaran
histopatologiknya berbeda.1
Ruam pada pitiriasis rosea juga terdiri atas eritema dan skuama, tetapi perjalanannya
tidak menahun seperti pada parapsoriasis. Perbedaan lain adalah pada pitiriasis rosea
susunan ruam sejajar dengan lipatan kulit dan kosta. Pitiriasis rosea ditandai dengan
suatu lesi yang berukuran 2-10 cm. Biasanya pitiriasis rosea berawal sebagai suatu
bercak tunggal dengan ukuran yang lebih besar, yang disebut herald patch atau mother
patch. Beberapa hari kemudian akan muncul bercak lainnya yang lebih kecil. Bercak
sekunder ini paling banyak ditemukan di batang tubuh, terutama di sepanjang tulang
belakang dan penyebabnya tidak diketahui.1
2.2.7

Penatalaksanaan
Penyinaran dengan lampu ultraviolet merupakan terapi yang paling sering
mendatangkan banyak manfaat dan dapat membersihkan sementara ataupun menetap,
atau bahkan hanya meninggalkan scar yang minimal. Penyakit ini juga dapat
membaik dengan pemberian kortikosteroid topikal seperti yang digunakan pada
pengobatan psoriasis. Meskipun demikian hasilnya bersifat sementara dan sering
kambuh. Obat yang digunakan diantaranya : kalsiferol, preparat ter, obat antimalaria,
derivat sulfon, obat sitostatik, dan vitamin E.1
Adapun pengobatan parapsoriasis gutata akut dengan eritromisin (40 mg/kg
berat badan) dengan hasil baik juga dengan tetrasiklin. Keduanya mempunyai efek
menghambat kemotaksis neutrofil.
2.2.8

Prognosis
Parapsoriasis secara khusus memiliki perjalanan penyakit yang kronik dan
lama, kecuali parapsoriasis en plaque yang berpotensi untuk menjadi mikosis
fungoides, yang berpotensi lebih fatal.
3. PITIRIASIS ROSEA
2.3.1. Definisi
Pitiriasis rosea ialah erupsi kulit akut yang sembuh sendiri, dimulai dengan
sebuah lesi inisial berbentu eritema dan skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi
lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan tungkai atas yang tersusun sesuai dengan
lipatan kulit dan biasanya sembuh dalam waktu 3 8 minggu.
2.3.2. Epidemiologi
Pitiriasis rosea didapati pada semua umur, terutama antara 15 40 tahun,
jarang pada usia kurang dari 2 tahun dan lebih dari 65 tahun. Ratio perempuan dan
laki laki adalah 1,5 : 1.
2.3.3. Etiologi
Etiologi belum diketahui, tetapi berdasarkan gambaran klinis dan
epidemiologis diduga infeksi sebagai penyebab. Berdasarkan bukti ilmiah, diduga
pitiriasis rosea merupakan eksantema virus menentukan eksantema
Erupsi menyerupai pitiriasis rosea dapat terjadi setelah pemberian obat,
misalnya bismuth, arsenic, barbiturate, metoksipromazin, kaptopril, klonidin,
interferon, ketofilen, ergotamine, metronidazole, inhibitor tirosin kinase dan telah
dilaporkan timbul setelah pemberian agen biologik, misalnya adalimumab.

13

2.3.4. Gejala Klinis


Gejala konstitusi umumnya tidak ada. Pada sebagian kecil pasien dapat terjadi
gejala menyerupai flu termasuk malaise, nyeri kepala, nausea, hilang nafsu makan,
demam dan arthralgia. Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Pitiriasis berarti
skuama halus. Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di
badan, soliter, berbentuk oval dan anular, diameternya kira kira 2 cm. Ruam terdiri
atas eritema dan skuama halus di pinggir. Lamanya beberapa hari hingga beberapa
minggu. Lesi berikutnya timbul 4 -10 hari setelah lesi pertama, dengan gambaran
serupa dengan lesi pertama, namun lebih kecil, susunannya sejajar dengan tulang iga,
sehingga menyerupai pohon cemara terbalik. Lesi tersebut timbul secara serentak atau
dalam beberapa hari. Tempat predileksi yang sering adalah pada badan, lengan atas
bagian proksimal dan tungkai atas.

Gambar 40. Pitiriasis Roseau


Sumber: http://www.webmd.com/skin-problems-and-treatments/toc-image-picture-ofpityriasis-rosea
2.3.5. Diagnosis Banding
Pitiriasis Rosea
Tinea Korporis

Terdapat
eritema
skuama
di
tepi
berbentuk anular.
gatal berat
skuama kasar
sediaan KOH positif

dan gatal tidak


lesi tinea korporis
skuama halus

Sifilis Sekunder

Riwayat chancre dan tidak


ada riwayat herald patch.
Terdapat keterlibatan telapak
tangan dan kaki, pembesaran
KGB, kondilomata lata
Tes serologic sifilis positif

Dermatitis Numularis

Plak berbentuk sirkuler


- Plak oval
Tempat di tungkai bawah
atau punggung tangan

seberat

14

Psoriasis Glutata

Pityriasis
Chronica

Berukuran lebih kecil dan


tidak tersusun sesuai lipatan
kulit.
Skuama tebal

Lichenoides penyakit berlangsung lebih


lama, lesi lebih kecil,
skuama lebih tebal
herald patch (-)
sering pada ekstremitas

Dermatitis Seboroik

herad patch (-)


lesi berkembang perlahan,
paling banyak di bagian
atas, leher dan scalp, waena
lebih gelap, skuama tebal
dan berminyak

Erupsi Obat Menyerupai menyerupai


gambaran
Dermatitis Rosasea
pitiriasis rosasea klasik,
tetapi
sering
memberi
gambaran atipikal.
Lesi lebih besar
Hiperpigmentasi
dan
berubah menjadi dermatitis
likenoid
2.3.6. Tatalaksana
Bersifat simtomatik, untuk gatalnya dapat diberikan sedativa, sedangkan
sebagai obat topical dapat diberikan bedak asam salisilat yang dibubuhi mentol 1%. Bila ada gejala menyerupai flu dan atau kelainan kulit luas, dapat diberikan
asiklovir 5 x 800 mg per hari selama satu minggu. Pengobatan ini dapat mempercepat
penyembuhan.
Pada kelainan kulit luas dapat diberikan terapi sinar UVB. UVB dapat
mempercepat penyambuhan karena menghhambat fungsi sel Langerhans sebagai
penyaji antigen. Pemberian harus hati hati karena UVB dapat meningkatkan resiko
hiperpigmentasi pasca-inflamasi.
2.3.7. Prognosis
Prognosis baik karena penyakit sembuh spontan, biasanya dalam kurun waktu
3 8 minggu. Beberapa kasus menetap sampai 3 bulan. Dapat terjadi hipo atau
hiperpigmentasi pasca-inflamasi sementara yang biasanya hilang tanpa bekas.
Kekambuhan jarang, tetapi dapat terjadi kekambuhan pada 2% kasus.
3. ERITRODERMA
Eritroderma dianggap sinonim dengan Dermatitis Eksfoliativa, meskipun
sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kedua istilah tersebut
(keduanya boleh digunakan) dipakai untuk menggambarkan keadaan dimana sebagian
besar kulit berwarna merah, meradang dan berskuama.
15

2.3.1

Definisi
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritem
universalis (90-100%), biasanya disertai skuama. Bila ertiemanya antara 50-90%
dinamakan pre-eritroderma. Pada definisi tersebut mutlak harus ada ialah eritema,
sedangkan skuama tidak selalu terdapat, misalnya pada eritroderma karena aleri obat
sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama, baru kemudian pada stadium
penyembuhan timbul skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jela
karena bercampur dengan hiperpigmentasi.1
2.3.2

Patofisiologi
Pada dermatitis eksfoliatif terjadi pelepasan stratum korneum (lapisan kulit
yang paling luar) yang mencolok yang menyebabkan kebocoran kapiler,
hipoproteinemia dan keseimbangan nitrogen yang negatif. Karena dilatasi pembuluh
darah kulit yang luas, sejumlah besar panas akan hilang jadi dermatitis eksfoliativa
memberikan efek yang nyata pada keseluruh tubuh.1,6
Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama (pelepasan lapisan tanduk dari
permukaan kulit sel-sel dalam lapisan basal kulit membagi diri terlalu cepat dan selsel yang baru terbentuk bergerak lebih cepat ke permukaan kulit sehingga tampak
sebagai sisik/plak jaringan epidermis.
Mekanisme terjadinya alergi obat seperti terjadi secara non-imunologik dan
imunologik(alergi). Tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada
mekanisme imunoligik, alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang
sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah
awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat/metaboliknya
yang berupa hapten ini harus berkojugasi dahulu dengan protein misalnya jaringan,
serum/protein dari membrane sel untuk membentuk antigen obat dengan berat
molekul yang tinggi daoat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap.1,6
2.3.3 Manifestasi klinik
Eritroderma akibat alergi obat, biasanya secara sistemik. Biasanya timbul secara akut
dalam waktu 10 hari. Lesi awal berupa eritema menyeluruh, sedangkan skuama baru
muncul saat penyembuhan.
Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit yang tersering adalah psoriasis dan
dermatitis seboroik pada bayi (Penyakit Leiner). 1,6
Eritroderma karena psoriasisDitemukan eritema yang tidak merata. Pada tempat
predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak
meninngi daripada sekitarnya dengan skuama yang lebih kebal. Dapat ditemukan
pitting nail.
Penyakit Leiner (eritroderma deskuamativum)Usia pasien antara 4-20 minggu
keadaan umum baik biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit berupa eritama seluruh
tubuh disertai skuama kasar.
Eritroderma akibat penyakit sistemik, termasuk keganasan. Dapat ditemukan adanya
penyakit pada alat dalam, infeksi dalam dan infeksi fokal.

16

Gambar 6. Tanda dan Gejala pada Eritroderma


2.3.4 Pengobatan
1. Hentikan semua obat yang mempunyai potensi menyebabkan terjadinya penyakit ini.
2. Rawat pasien di ruangan yang hangat.
3. Perhatikan kemungkinan terjadinya masalah medis sekunder (misalnya dehidrasi,
gagal jantung, dan infeksi).
4. Biopsi kulit untuk menegakkan diagnosis pasti.
5. Berikan steroid sistemik jangka pendek (bila pada permulaan sudah dapat didiagnosis
adanya psoriasis, maka mulailah mengganti dengan obat-obat anti-psoriasis.
6. Mulailah pengobatan yang diperlukan untuk penyakit yang melatarbelakanginya.
Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I,
yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 3 x 10 mg- 4 x 10
mg. Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari beberapa minggu.
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid.
Dosis mula prednison 4 x 10 mg- 4 x 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak
tampak perbaikan dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan
perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis,
maka obat tersebut harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati
dengan etretinat. Lama penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu
hingga beberapa bulan, jadi tidak secepat seperti golongan I.6
Pengobatan penyakit Leiner dengan kortokosteroid memberi hasil yang baik.
Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrome Sezary pengobatannya terdiri atas
kortikosteroid dan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg
sehari.
Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet tinggi protein, karena
terlepasnya skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula
diolesi emolien untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema, misalnya
dengan salep lanolin 10%. 6
2.3.5

Prognosis
17

Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara


sistemik, prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat
dibandingkan golongan yang lain.
Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan
kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya, penderita akan mengalami
ketergantungan kortikosteroid.1
4. DERMATITIS SEBOROIK
2.4.1. Definisi
Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuamosa dengan predileksi
di daerah kaya kelenjar sebasea , scalp, wajah dan badan. Dermatitis ini dikaitkan
dengan malasesia terjadi gangguan imunologis mengikuti kelembaban lingkungan,
perubahan cuaca, ataupun trauma dengan penyebaran lesi dimulai dari derajat ringan,
misalnya ketombe sampai dengan bentuk eritroderma.
2.4.2. Epidemiologi
Prevalensi dermatitis seboroik secara umum berkisar 3-5% pada populasi
umum. Lesi ditemui pada kelompok remaja, dengan ketombe sebagai bentuk yang
lebih sering dijumpai. Pada kelompok HIV, angka kejadian dermatitis seboroik lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 36% pasien HIV mengalami
dermatitis seboroik. Umumnya diawali sejak usia pubertas dan memuncak pada umur
40 tahun. Dalam usia lanjut dapat dijumpai bentuk yang ringan, sedangkan pada bayi
dapat terlihat lesi berupa kerak kulit kepala. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan.
2.4.3. Etiopatogenesis
Peranan kelenjar sebasea dalam pathogenesis dermatitis seboroik masih
diperdebatkan, sebab pada remaja dengan kulit berminyak yang mengalami dermatitis
seboroik, menunjukkan sekresi sebum yang normal pada laki-laki dan menurun pada
perempuan. Dengan demikian penyakit ini lebih tepat disebut sebagai dermatitis di
daerah sebasea. Namun demikian, pathogenesis dermatitis seboroik dapat diuraikan
sebagai berikut : dermatitis seboroik dapat merupakan tanda awal infeksi HIV.
Dermatitis seboroik sering ditemukan pada pasien HIV/AIDS, transplantasi organ,
malignansi, pankreatitis alkoholik kronik, hepatitis C juga pasien Parkinson. Terapi
levodopa kadang kala memperbaiki dermatitis ini. Kelainan ini sering juga dijumpai
pada pasien dengan gangguan paralisis saraf.
Meningkatnnya lapisan sebum pada kulit, kualitas sebum, respons imunologis
terhadap pityrosporum, degradasi sebum dapat mengiritasi kulit sehingga terjadi
mekanisme eksema. Jumlah ragi genus malassezia meningkat di dalam epidermis
yang terkelupas pada ketombe ataupun dermatitis seboroik. Diduga hal ini terjadi
akibat lingkungan yang mendukung. Telah banyak bukti yang mengaitkan dermatitis
seboroik dengan malassezia. Pasien dengan ketombe menunjukkan peningkatan titer
antibody terhadap malassezia serta mengalami perubahan imunitas selular. Kelenjar
sbasea aktif pada saat bayi dilahirkan, namun dengan menurunnya androgen ibu,
kelenjar ini menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun.
2.4.4. Gejala Klinis
Lokasi yang terkena seringkali di daerah kulit kepala berambut : wajah, alis,
lipat nasolabial, side bum, telinga dan liang telinga, bagian atas tengah dada dan
punggung, lipat gluteus, inguinal, genital, ketiak. Sangat jarang menjadi luas. Dapat
18

ditemukan skuama kuning berminyak, eksematoa ringan, kadang kala disertai rasa
gatal dan menyengat. Ketombe merupakan tanda awal manifestasi dermatitis
seboroik. Dapat dijumpai kemerahan perifolikular yang pada tahap lanjut menjadi
plak eritematosa berkonfluensi, bahkan dapat membentuk rangkaian plak di sepanjang
batas rambut frontal dan disebut sebagai korona seboroika.
Pada fase kronis dapat dijumpai kerontokan rambut. Lesi dapat juga dijumpai pada
daerah retroaurikular. Bila terjadi di liang telinga, lesi berupa otitis eksterna atau di
kelopak mata sebagai blefaritis. Bentuk varian di tubuh yang dapat dijumpai
pitiriasiform atau anular. Pada keadaan parah dermatitis seboroik dapat berkembang
menjadi eritroderma. Obat-obatan yang memicu dermatitis seboroik antara lain :
buspiron, klorpromazin, simetidine, etionamid, fluorourasil, gold, griseofulvin,
haloperidol, interferon alfa, litium, metoksalen, metildopa, fenotiazine, psoralen.
2.4.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan morfologi khas lesi eksema dengan skuama
kuning berminyak di area predileksi. Pada kasus yang sulit perlu pemeriksaan
histopatologi.
2.4.6. Diagnosis Banding
1. Psoriasis
2. Dermatitis atopic dewasa
3. Dermatitis kontak iritan
4. Dermatofitosis
5. Rosasea
2.4.7. Tatalaksana
1. Sampo yang mengandung obat anti malassezia, misalnya : selenium
sulfide, zinc pirithione, ketokonazol, berbagai sampo yang mengandung
ter dan solusio terbinafine 1%
2. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi sebum pada kulit
dapat dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan sabun lunak.
3. Skuama diperlunak dengan krim asal salisilat atau sulfur
4. Pengobatan simtomatik dengan kortikosteroid topical potensi sedang
5. Metronidazole topikal
6. Terapi sinar UVB atau pemberian itrakonazole
7. Prednisolone 30mg/hari
2.3.8. Prognosis
Pada sebagian kasus yang mempunyai faktor konstitusi penyakit ini
agak sukar disembuhkan.

19

BAB III
KESIMPULAN
Dermatitis eritroskuamosa ialah penyakit kulit yang terutama ditandai dengan
adanya eritema dan skuama, yaitu psoriasis, para psoriasis, pitiriasis rosea,
eritroderma, dermatitis seboroik, lupus eritemstous dan dermatofitosis.
Penyebab dermatitis eritroskuamosa dapat berasal dari dalam (endogen)
genetik maupun imunologik, yang dadpat menimbulkan kelainan klinis berupa
efloresensi eritema dan skuama, kadang disertai dengan keluhan gatal.
Dermatosis eritroskuamosa terdiri dari beberapa penyakit kulit yang
digolongkan di dalamnya, antara lain: psoriasis, parapsoriasis, dermatitis seboroik,
pitiriasis rosea, dan eritroderma.
Pada umumnya terapi dermatitis yang adekuat harus dibantu dengan
menghindari faktor pencetus dan etiologi penyakit tersebut sehingga gejala
kekambuhan juga dapat menurun.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Psoriasis. Diunduh dari: http://www.news-medical.net/health/What-isPsoriasis.aspx. April 2012.
2. Djuanda A. Dermatosis eritroskuamosa. Dalam Menaidi Sri LSW. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta:Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2015.
3. Geng A., McBean J., Zeikus P.S., et al. Psoriasis. Dalam Kelly A.P., Taylor
S.C., Editors. Dermatology for skin of color. New York:Mc Graw
Hill;2009.h.139-146.
4. Wolff K., Johnson R.A. Psoriasis. Dalam Wolff K., Johnson R.A.Fitzpatricks
color atlas and synopsis of clinical dermatology. Edisi keenam. New York:Mc
Graw Hill;2009.h.53-71.
5. Siregar R.S. Psoriasis. Dalam Harahap M. Ilmu penyakit kulit.
Jakarta:Hipokrates. 2000. h.116 - 9.
6. Psoriasis.
Diunduh
dari:
Yayasan
Psoriasis
Indonesia
dalam
http://www.psoriasis.or.id/psoriasis_pustular.php. 2005.
7. Goldenstein B., Goldenstein A. Psoriasis. Dalam Goldenstein B.,Goldenstein
A.,
Melfiawaty.,
Pendit
B.U.,
Editors.
Dermatologi
Praktis.Jakarta:Hipokrates;2001.h.187.

21

Anda mungkin juga menyukai