PDT Bedah Umum PDF
PDT Bedah Umum PDF
PDT Bedah Umum PDF
BEDAH UMUM
KANKER PAYUDARA
Bidang pembedahan yang juga relative baru menjadi bahan diskusi yang
menarik adalah dikembangkannya teknik onkoplasti, yaitu mengembalikan bentuk
payudara kembali secara simetri, tanpa harus mengorbankan prinsip onkologis.
KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI KANKER PAYUDARA
Untuk kanker payudara dipakai klasifikasi histologi berdasarkan:
Malignant (Carcinoma)
1. Non invasive carcinoma
a. Non invasive ductal carcinoma
b. Lobular carcinoma in situ
2. Invasive carcinoma
a. Invasive ductal carcinoma
A1. Papillobular carcinoma
A2. Solid-tubular carcinoma
A3. Scirrhous carcinoma
b. Special types
B1. Mucinous carcinoma
B2. Medullary carcinoma
B3. Invasive lobular carcinoma
B4. Adenoid cystic carcinoma
B5. Squamous cell carcinoma
B6. Spindle cell carcinoma
B7. Apocrine carcinoma
B8. Carcinoma with cartilaginous and or osseous metaplasia
B9. Tubular carcinoma
B10. Secretory carcinoma
B11. Others
c. Pagets diseases
Tipe Histopatologi menurut Page, 2005; Lagios, 2005., Bleiwess & Jaffer, 2005
(dikutip dari Roses D.F., Breast Cancer)
Pathology Evolution of Preinvasive Breast Cancer: The Atypical Ductal Hyperplasia
Pathology of In Situ Breast Cancer
Tis (Paget)
: Penyakit Paget pada puting tanpa ada masa tumor
(Penyakit Paget dengan masa tumor dikelompokkan berdasar ukuran tumor)
T1
N2a
N2b
terdapat
metastasis pada KGB aksila
N3
: Klinis ada metastasis pada KGB infraklavikula ipsilateral dengan atau tanpa
metastasis pada KGB aksila, atau klinis terdapat metastasis pada KGB
mamaria interna dan metastasis KGB aksila
N3a : Metastasis ke KGB infraklavikula ipsilateral
N3b : Metastasis ke KGB mamaria interna dan KGB aksila
N3c : Metastasis ke KGB supraklavikula
Catatan: Terdeteksi secara klinis artinya terdeteksi dengan pemeriksaan fisik dan
imaging (diluar scintigraphy)
: KGB regional tidak bias dinilai (telah diangkat sebelumnya, atau tidak
diangkat, tetapi klinis tidak ada pembesaran)
pN0
Catatan:
a. Klasifikasi berdasarkan diseksi KGB aksila dengan atau tanpa pemeriksaan
sentinel node. Klasifikasi berdasarkan hanya pada diseksi sentinel node tanpa
diseksi KGB aksila ditandai dengan sn untuk sentinel node. Contoh pN0(i+)(sn)
b. RT-PCR: Reserve Transcriptase (real time) Polymerase Chain Reaction
pN1
: Metastasis pada 1-3 KGB aksila atau KGB mamaria interna (klinis
negatif* secara mikroskopis yang terdeteksi dengan Sentinel node diseksi.
pN1mic
: Mikrometastasis (lebih dari 0,2 mm sampai 2,00 mm)
pN1a
pN1b
pN1c
pN2
pN2a
: Metastasis pada 4-9 KGB aksila (paling tidak ada deposit 1 deposit
pN2b
pN3
pN3a
pN3b
Tis
N0
M0
Stadium 1
T1*
N0
M0
Stadium IIA
T0
T1*
T2
N1
N1
N0
M0
M0
M0
Stadium IIB
T2
N1
M0
T3
N0
M0
T0
T1
T2
T3
T3
N2
N2
N2
N1
N2
M0
T4
T4
N0
N1
M0
M0
Stadium IIIA
Stadium IIIB
M0
M0
M0
M0
T4
N2
M0
Stadium IIIC
Tiap T
N3
M0
Stadium IV
Tiap T
Tiap N
M1
4.
5.
6.
pemeriksaan molekuler.
Klasifikasi mayor pada status KGB tergantung dari jumlah KGB yang positif,
tidak saja dengan pewarnaan konvensional dengan H & E, tetapi juga
dengan pewarnaan immunohistokimia.
Penilaian metastasis pada KGB infra-klavikula dimasukkan sebagai N3.
Metastasis pada KGB mamaria interna, berdasarkan metode deteksi dan ada
tidaknya metastasis pada KGB aksila. Metastasis mikroskopis KGB mamaria
interna parasternal yang terdeteksi dengan cara diseksi sentinel node dan
penggunaan limfoskintigrafi (dan bukan dengan pemeriksaan klinis
diklasifikasikan sebagai N1. Metastasis secara makroskopis dari KGB
mamaria interna yang ditentukan dengan imaging studies (selain
limfoskinigrafi) ataupun dengan pemeriksaan klinis diklasifikasikan sebagai
N2 jika tidak disertai dengan metastasis KGB aksila, dan dikatakan sebagai
N3 jika didapatkan bersama metastasis KGB aksila.
Metastasis pada KGB supra-klavikula diklasifikasikan sebagai N3 dan bukan
M1.
PROSEDUR DIAGNOSTIK
A. Pemeriksaan Klinis
1. Anamnesis :
a. Keluhan di payudara atau ketiak dan riwayat penyakitnya.
Benjolan
Kecepatan tumbuh
Rasa sakit
Nipple discharge
Benjolan ketiak
Edema lengan
b. Keluhan ditempat lain berhubungan dengan metastasis, al :
Batuk
Sesak
Usia penderita
Riwayat menyusukan
Riwayat menstruasi
o Menstruasi pertama pada usia pertama
o Keteraturan siklus mentruasi
o Menopause pada usia berapa
2. Pemeriksaan Fisik
a. Status generalis, cantumkan performance status
b. Status lokalis :
Masa tumor :
o Lokasi
o
o
Ukuran
Konsistensi
o
o
Permukaan
Bentuk dan batas tumor
Jumlah tumor
Perubahan kulit :
o Kemerahan, dimpling, edema, nodul satelit
o
Nipple :
o
o
o
o
Tertarik
Erosi
Krusta
Discharge
Foto Toraks
Bone scanning atau dan bone survey (bilamana sitologi + atau klinis
sangat mencurigai pada lesi > 5 cm
CT scan
10
Core Biopsy
Pemeriksaan Imunohistokimia : ER, PR, c-erb B-2 (HER-2 neu), cathepsinD, p53 (situasional)
E. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin dan pemeriksaan kimia darah sesuai dengan
perkiraan metastasis.
SCREENING
Metode :
SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri)
Pemeriksaan Fisik
Mamografi
SADARI : Dilaksanakan pada wanita mulai usia subur, setiap 1 minggu setelah
hari pertama Menstruasi terakhir.
Mamografi:
o Pada wanita diatas 35 tahun 50 tahun
: setiap 2 tahun
o Pada wanita diatas 50 tahun
: setiap 1 tahun
Catatan :
Pada daerah yang tidak ada mamografi USG, untuk deteksi dini dilakukan dengan
SADARI dan pemeriksaan fisik saja.
PROSEDUR TERAPI
A. Modalitas terapi
Pembedahan
Radioterapi
Kemoterapi
Terapi hormonal
11
Operasi :
Jenis operasi untuk terapi
Simple mastektomi
Radikal mastektomi
Radioterapi :
Kemoterapi :
Kemoterapi diberikan sebagai kombinasi. Kombinasi kemoterapi yang telah
menjadi standar adalah :
CMF
CAF, CEF
Gapecitabine
Therapic Chemoteraphy
Sebagai metronomic
angiogenesis
chemotherapy
(cyclophosphamide)
anti
Hormonal :
Pemberian terapi hormonal dapat bersifat
Tamoxifen
12
Obat-obat diatas
BCS
Mastektomi simple
Terapi definitive pada T0 tergantung pada pemeriksaan blok paraffin, lokasi
didasarkan pada hasil pemeriksaan imaging.
Indikasi BCS
T 3 cm
13
ER/PR
Dapat berupa :
o Radiasi
o Kemoterapi
o Hormonal terapi
Adjuvant therapy pada NODE NEGATIVE (KGB histopatologi negative)
Menopause
Hormonal Receptor
Status
High Risk
Premenopause
ER (+) / PR (+)
ER (-) / PR (-)
Kh + Tam / Ov
Kh
Post menopause
ER (+) / PR (+)
ER (-) / PR (-)
Tam + Khemo
Kh
Old Age
ER (+) / PR (+)
ER (-) / PR (-)
Tam + Khemo
Kh
Hormonal Receptor
High Risk
Premenopause
ER (+) / PR (+)
ER (-) / PR (-)
Kh + Tam / Ov
Kh
Post menopause
ER (+) / PR (+)
ER (-) / PR (-)
Kh + Tam
Kh
Old Age
ER (+) / PR (+)
ER (-) / PR (-)
Tam + Khemo
Kh
High Grade
ER / PR negative
Terapi Adjuvant :
Radiasi
Diberikan apabila ditemukan keadaan sbb :
14
o
o
Khemoterapi
Khemoterapi : Kombinasi CAF (CEF), CMF, AC
Khemoterapi adjuvant
: 6 siklus
Khemoterapi paliatif
: 12 siklus
Khemoterapi neoadjuvant : o 3 siklus pra terapi primer ditambah
o 3 siklus pasca terapi primer
Kombinasi CAF
Dosis C : Cyclophosfamide
500 mg/m2
hari 1
hari 1
hari 1
: 3 minggu
Kombinasi CEF
Dosis C : Cyclophospamide 500 mg/m2
E : Epirubicin
50 mg/m2
hari 1
hari 1
500 mg/m2
hari 1
F : 5 Fluoro Uracil
Interval
: 3 minggu
Kombinasi CMF
Dosis C : Cyclophospamide 100 mg/m2
15
hari 1 s/d 14
M: Metotrexate
F : 5 Fluoro Uracil
Interval
: 4 minggu
500 mg/m IV
hari 1 & 8
hari 1 & 8
Kombinasi AC
Dosis A
C
40 mg/m2IV
: Adriamycin
: Cyclophospamide
Optional :
o Kombinasi Taxan + Doxorubicin
o Capecitabine
o Gemcitabine
Hormonal Terapi :
Macam terapi hormonal
1. Additive : pemberian tamoxifen
2. Ablative : bilateral oophorectomi (ovarektomi bilateral)
Dasar pemberian :
1. Pemeriksaan Reseptor
ER+ PR+ ;
ER+ PR- ;
ER- PR+
2. Status hormonal
Additive : Apabila ER- PR+
ER+ PR- (menopause tanpa pemeriksaan ER & PR)
ER- PR+
Ablasi : Apabila
Premenopause
3.2
16
Pra Operatif
o Latihan pernafasan
o Latihan batuk efektif
Pasca Operatif
Hari 1 2
o Latihan lingkup gerak sendi untuk siku pergelangan tangan dan jari
lengan daerah yang dioperasi.
o Untuk sisi sehat latihan lingkup gerak sendi lengan secara penuh.
o Untuk lengan atas bagian operasi latihan esometrik.
o Latihan relaksasi otot leher dan toraks.
o Aktif mobilisasi.
Hari 3 5
o
o
Bebas gerakan.
Edukasi untuk mempertahankan lingkup gerak sendi dan usaha untuk
mencegah/ menghilangkan timbulnya lymphedema.
B. Follow Up
Tahun 1 dan 2
17
Tahun 3 s/d 5
Setelah tahun 5
Pemeriksaan fisik
Thorax foto
: tiap 6 bulan
Lab. Marker
: tiap 2 3 bulan
Bone scanning
DAFTAR PUSTAKA
1. Fleming I D Cooper J S, Henson D E, Hutter R V P, Kennedy B J, Murphy G P,
OSullivan B, Sobin L H, Yarbro J W(ed), AJCC Cancer Staging Manual, 5th ed,
Philadelphia, Lippincott-Raven, 1997, 171-180
2. Sobin L H & Wittekind Ch (ed), TNM Classification of Malignant Tumours, 6th ed,
New York, Wiley-Liss, 2002, 131-141
3. Prosnitz L R, Iglehart J D, Winer E P, Breast Cancer, in Rubin P, Williams J P,
Clinical Oncology A Multidisciplinary Approach for Physicians and Students, 8th
ed, Philadelphia, W.B, Saunders Company, 2001, 267-299
4. Winer E P, Morrow m, Osborne V K, Harris J R, Malignant Tumors of the Breast,
DeVita Jr V T, Hellman S, Rosenberg S A (ed), Cancer Principles & Practice of
Oncology, 6th ed, Philadelphia, Lippincott-Raven, 2001 DeVita Jr V T, Hellman S.
Rosenberg S A (ed), Cancer Principles & Practice of Oncology, 6th ed,
Philadelphia, Lippincott-Raven, 2001, 1651-1716
5. Golshan M., 2010: Mastectomy In Harris J., Lippman M. E., Morrow M., Osborne
C.K., (editors). Disease of the Breast. 4th edition. Wolters Kluwer/Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia VII. 36:501 506
18
MSKCC
Age
Complete Excision
Size
: Tumor Factors
Patient Factors
High Risk Group (poor tumor & patient factors)
Moderate Risk (good tumor factors & bad patient factors or
bad tumor factors and good patient factors)
Low Risk Factors (good tumor & patient factors)
19
Pasien dengan low risk karsinoma tiroid pada umumnya tidak memerlukan
radioterapi atau thyro-scan/ ablation sehingga manajemen bedah tidak harus
dilakukan tiroidektomi total, dan tidak semua pasien memerlukan terapi supresi.
Pemberian hormon tiroksin pascatiroidektomi total masih merupakan kontroversi
apakah diperlukan sebagai adjuvant terapu ataukah sebagai terapi substitusi.
KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI DAN STADIUM BERDASARKAN TNM
Klasifikasi Histopatologi Berdasarkan WHO
Tumor Epitel Maligna
Karsinoma Folikuler
Karsinoma Papiler
Karsinoma Campuran (folikuler papiler)
Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma Medulare
Tumor Non-Epitel Maligna
Fibrosarkoma
Lain-lain
Tumor Maligna Lainnya
Sarcoma
Limfoma Maligna
Hemagiotelioma Maligna
Teratoma Maligna
Tumor Sekunder dan Unclassified Tumors
Rosal J membedakan tumor tiroid atas adenoma folikulare, karsinoma papilare,
karsinoma follikulare, hurthle cell tumors, clear cell tumors, tumor sel skuamous,
tumor musinus, karsinoma medulare, karsinoma berdiferensiasi buruk dan
undifferentiated carcinoma.
Untuk menyederhanakan penatalaksanaan Mc Kenzie membedakan kanker tiroid
atas 4 tipe yaitu: karsinoma papilare, karsinoma medulare, karsinoma folikulare dan
karsinoma anaplastik.
Klasifikasi Berdasarkan Stadium
Klasifikasi Stadium berdasarkan Sistem TNM (Edisi 6, 2002)
T Tumor Primer
Tx
T0
20
T1
T2
pada tiroid
Tumor dengan ukuran terkecil lebih dari 2 cm, dan ukuran terbesar
T3
T4a
T4b
Karsinoma papiler
Karsinoma folikuler
21
Karsinoma medulare
Karsinoma anaplastik
Karsinoma Papiler atau Folikuer, umur < 45 tahun
Stadium I
Stadium II
Tiap T
Tiap T
Tiap N
Tiap N
M0
M1
T1
T2
T3
T1, T2, T3
T1, T2, T3
T4a
T4b
Tiap T
N0
N0
N0
N1a
N1b
N0, N1
Tiap N
Tiap N
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M1
Tiap N
Tiap N
Tiap N
M0
M0
M1
Karsinoma Anaplastik
Stadium IVa
Stadium IVb
Stadium IVc
T4a
T4b
Tiap T
DIAGNOSIS
A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
1. Pengaruh usia dan jenis kelamin
Resiko malignansi : apabila nodul tiroid terdapat pada usia dibawah 20 tahun,
dan diatas 50 tahun jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko malignansi lebih
tinggi.
2. Pengaruh radiasi di daerah leher dan kepala
Radiasi pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan malignansi pada tiroid
kurang lebih 33 37%.
3. Kecepatan tumbuh tumor
22
Keluhan gangguan menelan, perasaan sesak napas, perubahan suara dan nyeri
dapat terjadi akibat desakan dan atau infiltrasi tumor.
5. Riwayat penyakit serupa pada family/ keluarga
Bila ada, harus curiga kemungkinan adanya malignansi tiroid tipe medulare.
6. Temuan pada Pemeriksaan Fisik
Pada tumor primer dapat berupa suatu nodul soliter atau multiple dengan
konsistensi bervariasi dari kistik sampai dengan keras bergantung kepada
jenis patologi anatomi (PA) nya.
Disamping ini perlu dicari ada tidaknya benjolan pada kalvaria, tulang
belakang, klavikula, sternum dll, serta tempat metastasis jauh lainnya yaitu di
paru-paru, hati, ginjal dan otak.
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
23
disebut nodul hangat (warm nodule) dan bila afinitasnya lebih maka disebut
nodul panas (hot nodule).
Karsinoma tiroid sebagian besar adalah nodule dingin. Sekitar 10 17% struma
dengan nodule dingin ternyata adalah suatu keganasan.
Bila akan dilakukan pemeriksaan sidik tiroid maka obat-obatan yang
mengganggu penangkapan jodium oleh tiroid harus dihentikan selama 2 4
minggu sebelumnya.
Pemeriksaan sidik tiroid ini tidak mutlak diperlukan, jika tidak ada fasilitasnya,
tidak usah dikerjakan.
5. Pemeriksaan Sitologi Melalui Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH)
Keberhasilan dan ketepatan pemeriksaan Bajah tergantung dari 2 hal yaitu:
Faktor kemampuan pengambilan sampel dan faktor ketepatan interprestasi oleh
seorang sitolog sehingga angka akurasinya sangat bervariasi.
Ketepatan pemeriksaan sitologi untuk kanker tiroid anaplastik, medulare dan
papilare hamper mendekati 100% tetapi untuk jenis folikulare hampir tidak dapat
dipakai karena gambaran sitologi untuk adenomatus goiter, adenoma folikuler
dan adeno karsinoma folikuler adalah sama, tergantung dari gambaran invasi ke
kapsul dan vascular yang hanya dapat dilihat dari gambaran histopatologi.
6. Pemeriksaan Histopatologi
Untuk kasus inoperable, jaringan yang diperiksa diambil dari tindakan biopsi
insisi.
24
25
26
27
28
29
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Bodenner D.L., Breau R.L., Suen J.Y., 2003: Cancer of the Thyroid. In Rhys
Evans P.H., Montgomery P.Q., Gullane P.J.(editors), Principles and Practice of
Head and Neck Oncology. Martin Dunitz. London. 19: 431-464.
2. Burch H.B., 1995.: Evaluation and Management if the Solid Thyroid Nodule. In
Burman K.D., (editor). Endocrinology and Metabolism Clinics of North America.
24. 4: 663-710
3. Gemsenjaeger E., 2009. Atlas of Thyroid Surgery. Principles, Practice, and
Clinical Cases. Thieme. New York
4. McDougal I.R., 2006, (editor): Management of Thyroid Cancer and Related
Nodular Disease. Springer-Verlag. London.
5. Randolph G.W., (editor), 2003. Surgery of the Thyroid and Parathyroid Glands.
Saunders. Philadelphia.
6. Wartofsky L., Nostrand D.V., 2006. Thyroid Cancer. A Comprehensive Guide to
Clinical Management. Humana Press. Totowa, New Jersey.
31
Glandula parotis
Glandula submandibula
Glandula sublingual
32
ukuran tumor
radikalitas operasi
33
N = Nodus regional
ukuran k.g.b
pengobatannya
berapa lama kelambatan???
b. Pemeriksaan fisik
1). Status generalis
Pemeriksaan umum dari kepala sampai kaki, tentukan :
a). penampilan (Karnofski / WHO)
b). keadaan umum
34
CT scan/ MRI, pada tumor yang mobilitas terbatas, untuk mengetahui luas
ekstensi tumor lokoregional. CT scan perlu dibuat pada tumor parotis lobus
profundus untuk mengetahui perluasan ke orofaring
Sidikan Tc seluruh tubuh, pada tumor ganas untuk deteksi metastasis jauh.
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium rutin, seperti: darah, urine, SGOT/SPT, alkali
fosfatase, BUN/kreatinin, globulin, albumin, serum elektrolit, faal hemostasis, untuk
menilai keadaan umum dan persiapan operasi.
4. PEMERIKSAAN PATOLOGI
1). FNA
Belum merupakan pemeriksaan baku.
Pemeriksaan ini harus ditunjang oleh ahli sitopatologi handal yang
khusus menekuni pemeriksaan kelenjar liur.
35
Keterangan
Tx
T0
T1
ST
T1
T2
N0
N0
M0
M0
II
T3
N0
M0
T2
III
T1
T2
N1
N1
M0
M0
T3
IV
T4
T3
T4
N0
N1
N1
M0
M0
M0
T4
Tiap T
Tiap T
Tiap T
N2
N3
Tiap N
M0
M0
M1
Nx
N0
N1
N2
36
ipsilateral/bilateral/kontralateral
N2a
N2b
N2c
N3
Mx
M0
M1
Metastasis jauh
PROTOKOL TERAPI
A. Tumor operabel
1. Terapi utama ( pembedahan)
(1) Tumor parotis
a. parotidektomi superfisial, dilakukan pada:
tumor jinak parotis lobus superfisialis
b. parotidektomi total, dilakukan pada:
37
38
diulang
tiap 3
minggu
39
Parotidektomi superfisial
Potong beku
Jinak
Ganas
Stop
Parotidektomi total +
sampling k.g.b subdigastrikus
potong beku
meta k.g.b (-)
stop
40
Eksisi gld.submandibula
Potong beku
Jinak
Ganas
Stop
submandibula
Diseksi
Potong beku
Stop
41
RND
Ganas
Stop
Radikalitas
Radikal
Stop
Tidak radikal
Re-eksisi
N POSITIP
operabel
T di operasi
radioterapi
Deseksi leher radikal
inoperabel
(RND)
inoperabel
T di radioterapi
preoperatif
radioterapi
operabel
lokoregional
dengan/tanpa
radioterapi lokoregional *)
T dioperasi
sisa (+)
lokoregional
T diradioterapi
radioterapi
sisa (-)
deseksi leher radikal
+
(RND)
42
(sitostatika)
T (-)
T (+)
+
radioterapi
lokoregional
ND parsial/
RND modifikasi
sitostatika
radioterapi
lokoregional
N positif bilateral : RND dapat dikerjakan satu tahap dengan preservasi 1 v.jugularis
interna atau dikerjakan 2 tahap dengan jarak waktu 3-4 minggu.
*) Indikasi radioterapi ajuvan pada leher setelah RND :
1. Kelenjar getah bening yang mengandung metastasis > 1 buah
2. Diameter kelenjar getah bening > 3 cm
3. Ada pertumbuhan ekstrakapsuler
4. High grade malignancy
M POSITIP
sitostatika
+
paliatif (bila perlu):
operasi (trakeotomi,gastrostomi)
radioterapi
medikamentosa
BAGAN PENANGANAN TUMOR KELENJAR LIUR YANG RESIDIF
TUMOR RESIDIF
terapi sebelumnya: operatif
radioterapi
operabel
inoperabel
operasi
sitostatika
+
radioterapi
inoperabel
radioterapi
43
terapi
operabel
operasi
sebelumnya:
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Batsakis JG. Tumors of the head and neck: Clinical and patholoical
conciderations. 2nd ed., Baltimore, Williams and Wilkins, 1979
2. Cunningham MP. Submandibular gland resection and excision of sublingual
gland tumors, In: Nyhus LM, aker RJ. (eds)., Mastery of surgery vol I, 2rd.
Ed.,Boston, Little, Brown and Company ; 1992: 113-5
3. Espat J, Carew JF, Shah JP. Cancer of head and neck, In: Bland KI, Daly JM,
Karakousis P (eds), Surgical oncology-contemporary priciples & practice, New
York, Mc Graw-Hill Companies,Inc.; 2001: 531-6
4. John ME, Kaplan MJ. Surgical therapy of tumours of the salivary glands. In:
Thawly SE, Panje WR (eds), Comprehensive Management of Head and Neck
Tumors, Philadelphia, WB Saunders Co; 1987: Million RR, Cassisi NJ. Major
salivary glandtumors, In: Million RR, Cassisi NJ (eds), Philadelphia, JB Lippincott
Company; 1984: 529-46
5. Major salivary glands (parotid, submandibular, and sublingual). In: American
Joint Committee on Cancer: AJCC Cancer Staging Manual. 5th ed.
Philadelphia,Pa, Lippincott-Raven Publishers; 1997: 53-8
6. Million RR, Cassisi NJ. Major salivary glandtumors, In: Million RR, Cassisi NJ
(eds), Philadelphia, JB Lippincott Company; 1984: 529-46
7. Million RR, Cassisi NJ. Minor salivary glandtumors, In: Million RR, Cassisi NJ
(eds), Philadelphia, JB Lippincott Company; 1984: 547-57
8. Seifert G, Sobin LH. The world healyh organizations histological classification of
salivary gland tumors. A commentary on the second edition. Cancer 1992; 70:
379-85
9. Theriault C, Fitzpatrick PJ: Malignant parotid tumors. Prognostic factors and
optimum treatment. Am J Clin Oncol 1986; 9: 510-6
10. Woods JE. Surgical management of inlammatory and neoplastic diseases of the
parotid gland, In: Nyhus LM, aker RJ. (eds)., Mastery of surgery vol I, 2rd.
Ed.,Boston, Little, Brown and Company ; 1992: 104-12
45
Depan
: tepi vermilion bibir atas dan bibir bawah
Atas
: palatum durum dan molle
Lateral : bukal kanan dan kiri
Bawah : dasar mulut dan lidah
Belakang : arkus faringeus anterior kanan kiri dan uvula, arkus
Glossopalatinus kanan kiri, tepi lateral pangkal lidah, papilla sirkumvalata
lidah.
Ruang lingkup kanker rongga mulut meliputi daerah spesifik dibawah ini :
a. bibir
b. lidah 2/3 anterior
c. mukosa bukal
d. dasar mulut
e. ginggiva atas dan bawah
f. trigonum retromolar
g. palatum durum
h. palatum molle
Tidak termasuk kanker rongga mulut ialah :
1) Sarkoma dan tumor ganas odontogen pada maksila atau mandibula
2) Sarkoma jaringan lunak dan syaraf perifer pada bibir atau pipi.
3) Karsinoma kulit bibir atau kulit pipi.
B. Epidemiologi
1) Insidens dan frekwensi relatif
Berapa besar insidens kanker rongga mulut di Indonesia belum kita
ketahui dengan pasti. Frekwensi relatif di Indonesia diperkirakan 1,5%-5%
dari seluruh kanker. Insidens kanker rongga mulut pada laki-laki yang
tinggi terdapat di Perancis yaitu 13.0 per 100.000, dan yang rendah di
Jepang yaitu 0.5 per 100.000, sedang pada perempuan yang tinggi di
46
India yaitu 5.8 per 100.000 dan yang rendah di Yugoslavia yaitu 0.2 per
100.000 (Renneker, 1988). Angka kejadian kanker rongga mulut di India
sebesar 20-25 per 100.000 atau 40% dari seluruh kanker, sedangkan di
Amerika dan Eropa sebesar 3-5 per 100.000 atau 3-5% dari seluruh
kanker. Kanker rongga mulut paling sering mengenai lidah (40%),
kemudian dasar mulut (15%), dan bibir (13%).
2) Distribusi kelamin
Kanker rongga mulut lebih banyak terdapat pada laki-laki daripada
perempuan dengan perbandingan 3/2 - 2/1
3) Distribusi umur
Kanker rongga mulut sebagian besar timbul pada usia diatas 40 tahun
(70%).
4) Distribusi geografis
Kanker rongga mulut tersebar luas di seluruh dunia. Yang tinggi
insidensnya di Perancis dan India, sedang yang rendah di Jepang.
5) Etiologi dan faktor resiko
Etiologi kanker rongga mulut ialah paparan dengan karsinogen, yang
banyak terdapat pada rokok atau tembakau.
Resiko tinggi mendapat kanker rongga mulut terdapat pada orang yang
perokok, nginang/susur, peminum alkohol, gigi karies, higiene mulut yang jelek
II. PATOLOGI
A. Klasifikasi
a. Tipe histologi
N
O
TIPE HISTOLOGI
ICD.M
5070/3
Adenocarcinoma
8140/3
Adenoid cyst.carc
8200/3
Ameloblastic carc
9270/2
Adenolymphoma
8561/3
8940/3
Pleomorphic carc
8941/3
Melanoma maligna
8720/3
Lymphoma maligna
9590/3-9711/3
47
Sebagian besar (90%) kanker rongga mulut berasal dari mukosa yang berupa
karsinoma epidermoid atau karsinoma sel skwamosa dengan diferensiasi
baik, tetapi dapat pula berdiferensiasinya sedang, jelek atau anaplastik. Bila
gambaran patologis menunjukkan suatu rabdomiosarkoma, fibrosarkoma,
malignant fibrohistiocytoma atau tumor ganas jaringan lunak lainnya, perlu
diperiksa dengan teliti apakah tumor itu benar suatu tumor ganas rongga mulut
(C00-C06) ataukah suatu tumor ganas jaringan lunak pipi, kulit atau tulang yang
mengadakan invasi ke rongga mulut.
b. Derajat diferensiasi
DERAJAT DIFERENSIASI
GRADE
KETERANGAN
G1
Differensiasi baik
G2
Differensiasi sedang
G3
Differensiasi jelek
G4
Tanpa differensiasi =
anaplastik
48
kepada
penderita
atau
2. Palpasi bimanual
49
X-foto
mandibula AP, lateral, Eisler, panoramik, oklusal,
dikerjakan pada tumor gingiva mandibula atau tumor yang lekat
pada mandibula
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium rutin, seperti: darah, urine,
SGOT/SGPT, alkali fosfatase, BUN/kreatinin, albumin, globulin, serum
elektrolit, faal hemostasis, untuk menilai keadaan umum dan persiapan
operasi
50
4. PEMERIKSAAN PATOLOGI
Semua penderita kanker rongga mulut atau diduga kanker
rongga mulut harus diperiksa patologis dengan teliti.
Spesimen diambil dari biopsi tumor
Biopsi jarum halus (FNA) untuk pemeriksaan sitologis dapat dilakukan
pada tumor primer atau pada metastase kelenjar getah bening leher.
Biopsi eksisi : bila tumor kecil, 1 cm atau kurang. Eksisi yang
dikerjakan ialah eksisi luas seperti tindakan operasi definitif ( 1 cm
dari tepi tumor).
Biopsi insisi atau biopsi cakot (punch biopsy) menggunakan tang
aligator: bila tumor besar atau inoperabel
Yang harus diperiksa dalam sediaan histopatologis ialah tipe,
diferensiasi dan luas invasi dari tumor.
Tumor besar yang diperkirakan masih operabel :
Biopsi sebaiknya dikerjakan dengan anestesi umum dan sekaligus dapat
dikerjakan eksplorasi bimanuil untuk menentukan luas infiltrasi tumor
(staging)
Tumor besar yang diperkirakan inoperabel :
Biopsi dikerjakan dengan anestesi blok lokal pada jaringan normal di
sekitar tumor.( anestesi infiltrasi pada tumor tidak boleh dilakukan untuk
mencegah penyebaran sel kanker).
(B) PENENTUAN STADIUM
Menentukan stadium kanker rongga mulut dianjurkan memakai
sistem TNM dari UICC, 2002. Tatalaksana terapi sangat tergantung dari
stadium. Sebagai ganti stadium untuk melukiskan beratnya penyakit kanker
dapat pula dipakai luas ekstensi penyakit.
Stadium karsinoma rongga mulut :
ST
0
I
II
T
TIS
T1
T2
N
N0
N0
N0
M
M0
M0
M0
TNM
KETERANGAN
T0
TIS
Tumor in situ
T1
2 cm
T2
>2 cm - 4 cm
T3
> 4 cm
T4a
Bibir :infiltrasi
inferior, dasar
51
tulang,
n.alveolaris
mulut, kulit
Rongga mulut : infiltrasi tulang, otot
lidah
(ekstrinsik /deep), sinus maksilaris,
T4b
kulit
Infiltrasi masticator space, pterygoid
plates,
dasar tengkorak, a.karotis interna
III
IVA
T3
N0
M0
T1
N1
M0
N0
T2
N1
M0
N1
3 cm
T3
N1
M0
N2a
>3 - 6 cm
N2b
< 6 cm
N2c
< 6 cm
N3
KGB > 6 cm
M0
M1
Metastase jauh
T4
Tiap
T
N0,N
1
N2
M0
M0
IVB
Tiap
T
N3
M0
IVC
Tiap
T
Tiap
N
M1
LUAS EKSTENSI
Kanker In Situ
Kanker lokal
Ekstensi lokal
Metastase jauh
52
secara
53
sebelum tindakan operasi dapat diberikan pada kanker rongga locally advanced
(T3,T4).
Radioterapi dapat diberikan secara interstisial atau eksternal, tumor yang
eksofitik dengan ukuran kecil akan lebih banyak berhasil daripada tumor yang
endofitik dengan ukuran besar.
Peran kemoterapi pada penanganan kanker rongga mulut masih belum
banyak, dalam tahap penelitian kemoterapi hanya digunakan sebagai neoadjuvant pre-operatif atau adjuvan post-operatif untuk sterilisasi kemungkinan
adanya mikro metastasis.
Sebagai pedoman terapi untuk kanker rongga mulut dianjurkan seperti tabel 9
berikut:
Anjuran terapi untuk kanker rongga mulut
S
T
T.N.M.
OPERASI
RADIOTERA
PI
CHEMOTERA
PI
T1.N0.M0
Eksisi radikal
ata
u
Kuratif, 50-70
Gy
Tidak
dianjurkan
II
T2.N0.M0
Eksisi radikal
ata
u
Kuratif, 50-70
Gy
Tidak
dianjurkan
III
T3.N0.M0
T1,2,3.N1.M
0
Eksisi radikal
dan
CT
IV
A
T4N0,1.M0
Tiap
Eksisi radikal
dan
Post.op 30-40
Gy
T.N2.M0
IV
Tiap
T.N3.M0
-operabel
CT
Eksisi radikal
dan
-inoperabel
IV
C
TiapT.tiapN.
M1
Paliatif, 50-70
Gy
Paliatif
Paliatif
54
Paliatif
Residif lokal
Operasi untuk
residif
post
RT
RT
untuk dan
residif post op
CT
Metastase
Tidak
Tidak
CT
dianjurkan
dianjurkan
Karsinoma bibir
T1
: eksisi luas atau radioterapi
T2
: eksisi luas
Bila mengenai komisura, radioterapi akan memberikan kesembuhan
dengan fungsi dan kosmetik yang lebih bai
T3,4 : eksisi luas + deseksi suprahioid + radioterapi pasca bedah
Karsinoma dasar mulut
T1
: eksisi luas atau radioterapi
T2
: tidak lekat periosteum - eksisi luas
Lekat periosteum
- eksisi luas dengan mandibulektomi marginal
T3,4 : eksisi luas dengan mandibulektomi marginal+deseksi supraomohioid
+ radioterapi pasca bedah Karsinoma lidah
T1,2 : eksisi luas atau radioterapi
T3,4 : eksisi luas + deseksi supraomohioid + radioterapi pasca bedah
Karsinoma bukal
T1,2 : eksisi luas
Bila mengenai komisura oris, radioterapi memberikan kesembuhan
dengan fungsi dan kosmetik yang lebih baik
T3,4 : eksisi luas + deseksi supraomohioid + radioterapi pasca bedah
Karsinoma ginggiva
T1,2
T3
deseksi
dengan
55
T4 (infiltrasi tulang)
56
berat
Prinsip dasar operasi kanker rongga mulut ialah :
1) Pembukaan harus cukup luas untuk dapat melihat seluruh
tumor dengan ekstensinya
2) Eksplorasi tumor: untuk menentukan luas ekstensi tumor
3) Eksisi luas tumor
- Tumor tidak menginvasi tulang, eksisi luas 1-2 cm diluar tumor
- Menginvasi tulang,eksisi luas disertai reseksi tulang yang terinvasi
4) Diseksi KGB regional (RND = Radical Neck Disection atau
modifikasinya), kalau terdapat metastase KGB regional.
Diseksi ini dikerjakan
secara enblok
dengan tumor primer
bilamana memungkinkan.
5) Tentukan radikalitas operasi durante operasi dari tepi sayatan
dengan pemeriksaan potong beku .
Kalau tidak radikal buat garis sayatan baru yang lebih luas sampai
bebas tumor.
6) Rekonstruksi defek yang terjadi.
2. Radioterapi
Indikasi radioterapi
1) Kasus inoperabel
2) T1,2 tempat tertentu (lihat diatas)
3) Kanker pangkal lidah
4) Umur relatif tua
5) Menolak operasi
6) Ada ko-morbiditas yang berat
Radioterapi dapat diberikan dengan cara:
1) Teleterapi memakai: ortovoltase, Cobalt 60, Linec dengan dosis 5000
- 7000 rads.
2) Brakiterapi: sebagai booster dengan implantasi intratumoral jarum
Irridium 192 atau Radium 226 dengan dosis 2000-3000 rads.
(2) Terapi tambahan
1. Radioterapi
Radioterapi tambahan diberikan pada kasus yang terapi utamanya
operasi.
57
58
e) Anoreksia
f) Fistula oro-kutan
b) Sesak nafas
e) Badan mengurus
c) Sukar bicara
f) Badan lemah
dipakai
antara
lain:
2-3 minggu
Flourouracil,
Mithomycin-C,
Ciplatin, Adyamycin, dengan angka remisi 20-30%.
Misalnya: a) Obat tunggal
Dosis permulaan
: Flourouracil:
: 500 mg/m2
59
M = Mithomycin-C: 10 mg/m2, h1
) 6 minggu
sekunder,
terapinya
60
sesuai
dengan
penyakit
yang
Leukoplakia/Eritroplakia
Klas II
Klas III
Klas IV
Klas V
3 bl
Ulangan sitologi
Bila 2x ulangan sitologi
hasilnya tetap Klas I-III
Biopsi
61
< 1 cm
> 1 cm
ganas
tak ganas
biopsi insisional
ganas
tak ganas
eksisi
tak radikal
radikal
re-eksisi/
meragukan
radioterapi lokal
operabel
T1
T2
T3,4a
inoperabel/
kemo
dan/radioterapi
lokal
preoperatif
radioterapi
inoperabel
operabel
eksisi luas
eksisi luas
+
deseksi KGB leher selektif*/
radioterapi lokoregional
tak
radikal
radikal
radioterapi
lokoregional
+
62
(sitostatika)
re-eksisi/radioterapi lokal meta kgb(+)
radioterapi
radioterapi
lokal
lokoregional
N 1,2
T di operasi
preoperatif
N3
T di radioterapi
radioterapi
radioterapi
operabel
lokoregional
T dioperasi
diradioterapi
radioterapi
63
sisa (+)
sisa (-)
lokoregional
deseksi leher radikal
(RND)
(sitostatika)
T (-)
T (+)
+
radioterapi
ND parsial/
lokoregional
+
(sitostatika)
sitostatika
RND modifikasi
radioterapi
lokoregional
+
(sitostatika)
Letak lesi ditengah (midline) : Untuk T 3,4 ------ penanganan N negatif bilateral
N positif bilateral : RND dapat dikerjakan satu tahap dengan preservasi 1 v.jugularis
interna atau dikerjakan 2 tahap dengan jarak waktu 3-4 minggu.
*) Indikasi radioterapi ajuvan pada leher setelah RND :
1. Kelenjar getah bening yang mengandung metastase > 1 buah
2. Diameter kelenjar getah bening > 3 cm
3. Ada pertumbuhan ekstrakapsuler
4. High grade malignancy
64
M POSITIP
sitostatika
+
paliatif (bila perlu):
operasi (trakeotomi,gastrostomi)
radioterapi
medikamentosa
TUMOR RESIDIF
operabel
inoperabel
operabel
operasi
+
radioterapi
+
(sitostatika)
radioterapi
operasi
+
(sitostatika)
inoperabel
sitostatika
+
sitostatika
65
radiologis
reseksi segmental
enblok
reseksi marginal
enblok
REKONSTRUKSI
Jaringan lunak
mandibula
maksila
rekonstruksi segera
rekonstruksi temporer
protese (obturator)
residif (-)
residif (+)
66
rekonstruksi permanen
tandur tulang
V. PROSEDUR FOLLOW UP
Jadwal follow up dianjurkan sebagai berikut:
1) Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan
2) Dalam 3-5 tahun
: setiap 6 bulan
3) Setelah 5 tahun
: setiap tahun sekali untuk seumur hidup
Pada follow up tahunan, penderita diperiksa secara lengkap, fisik, X-foto toraks,
USG hepar, dan bone scan untuk menentukan apakah penderita betul bebas
dari kanker atau tidak.
Pada follow up ditentukan:
1) Lama hidup dalam tahun dan bulan
2) Lama interval bebas kanker dalam tahun dan bulan
3) Keluhan penderita
4) Status umum dan penampilan
5) Status penyakit
(1) Bebas kanker (2) Residif
(3) Metastase
(4) Timbul kanker atau penyakit baru
6) Komplikasi terapi
7) Tindakan atau terapi yang diberikan
67
APENDIKS
A. Klasifikasi kanker rongga mulut
Tabel 1 : Jenis-jenis kanker rongga mulut
NO
1
JENIS KANKER
NO.ICD
JENIS KANKER
KANKER BIBIR
Bibir atas,
NO.ICD
C00
bagian C00.0
C00.5
Sudut bibir
C00.6
Bibir,
luar
bagian C00.2
C00.8
Bibir atas,
dalam
bagian C00.3
C00.9
Bibir bawah,
dalam
bagian C00.4
luar
C01
C02
Lidah,
dorsal
permukaan C02.0
permukaan C02.2
Lidah, 2/3
anterior
4
C02.1
C02.4
C02.8
C02.9
bagian C02.3
KANKER GUSI
C03
Gusi atas
C03.0
Gusi bawah
C03.1
C03.9
C04
C04.0
C04.8
C04.1
C04.9
KANKER PALATUM
C05
Palatum durum
C05.0
Palatum,
tindih
Palatum molle
C05.1
Palatum,
spesifikasi
Uvula
C05.2
68
tumpang C05.8
tanpa C05.9
C06
Mukosa pipi
C06.0
C06.8
Vestibulum oris
C06.1
C06.9
Regio retromolar
C06.2
B. Prosedur Diagnostik
1. Pemeriksaan toluidine blue
Untuk memudahkan melihat adanya kanker dapat digunakan larutan toluidine
biru yang akan memberi warna biru pada sel kanker. Jaringan normal tidak
mengisap warna, sedang lesi pra-ganas atau non neoplasma tidak konstan
mengisap warna.
Menurut Mashberg tehnik memberi warna rongga mulut sebagai berikut:
a. 1. Kumur dengan larutan asam asetat 1%
: 20 detik
b. 2. Kumur dengan air
: 20 detik, 2 x
c. 3. Kumur dengan larutan toluidine blue 1%
: 5-10 cc
d. 4. Kumur lagi dengan larutan asam asetat 1% : 1 menit
b. Kumur dengan air.
Pembacaan hasil pemeriksaan dilakukan 24 jam kemudian, pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 90%.
Adapun larutan toluidine biru terdiri dari :
1. Toluidine chlorida : 1 gr
2. Asam asetat
3. Alkohol absolut
4. Aquadest
: 10 cc
: 4,2 cc
: 100 cc
2. Pemeriksaan panendoskopi
Pada kanker rongga mulut, paru, dan esofagus kadang didapatkan
synchronous tumor (10%), oleh karena itu ada yang menganjurkan
pemeriksaan panendoskopi dilakukan sebagai prosedur diagnostik baku.
3. Pemeriksaan sitologi
Sitologi eksfoliatifa dari spesimen kerokan atau inprint dari tumor primer
dikerjakan pada lesi yang berupa bercak/superfisial
Bila hasilnya :
Klas I- III
: lakukan ulangan sitologi 3 bulan lagi.
Bila 2x ulangan sitologi tetap klas I-III
maka perlu dibiopsi
Klas IV-V
: lakukan biopsi
69
70
DAFTAR PUSTAKA
1. Espat J, Carew JF, Shah JP. Cancer of the Head and Neck, in Surgical
Oncology- Contemporary Principles & Practice, Blaad KI, Daly JM, Karakousis
CP (eds.), Mc.Graw-Hill Co.,New York, 2001, pp.519-525
2. Greene FL,Balch CM, Fleming ID, Fritz ADG, Haller DG, Morrow M, Page DL.
AJCC Cancer Staging Handbook- TNM Classification of Malignant Tumors,
Springer-Verlag Heidelberg, Heidelberg, 2002.
3. Kazi RA. Current Concepts In the Management of Oral Cancer.
http://www.indiandoctors.com/papers.htm
4. Mashberg, A.: Tolonium chloride (Toluidine) rinse. A screening method for
recognation of squamous carcinoma. Continuing study of oral cancer. IV.
JAMA, 245: 2408-2410,1981.
5. Million RR, Cassisi NJ, Mancuso AA. Oral Cancer, in Management of Head and
Neck Cancer: A Multidisciplinary Aproach, Million RR and Cassisi NJ (eds), 2nd
ed.,JB Lippincott Co., Philadelphia, 1994, pp.321-400
6. 6.National Cancer Institute. Lip and Oral Cavity Cancer-Treatment statement
health
professionals,Med.News,
http://www.meb.unibonn.de/cancer.gov/CDR0000062930.html
7. Ord RA, Blanchaert RH. Current management of oral cancer- A multidisciplinary
approach, JADA 2001; 132: 195-235
8. Panje, W.R.: Surgical Therapy of Oral Cavity Tumors. In Comprehensive
Management of Head and Neck Tumors, Thawley, S.E., Parje, W.R. (eds),
Philadelphia, W.B. Saunders Co., 1987,pp.460-606
9. 9.Schantz SP, Harrison LB, Forastiere AA. Tumors of the Nasal Cavity and
paranasal sinuses, Nasopharynx, Oral Cavity, and Oropharynx, in CancerPrinciples & Practice of Oncology, 6th ed., DeVita,Jr.VT, Hellman S, Rosenberg
SA (eds.),Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2001; pp. 832-842
10. 10.Rubin P, McDonald S. and Oazi R.: Clinical Oncology. A multidisciplinary
Approach for Physicians
and
Students.
7th. ed., WB.Saunders Co.
Philadelphia, 1993, pp.332-336
11. Ship JA, Chavez EM, Gould KL, Henson BS, Sarmadi M. Evaluation and
Management of Oral Cancer. Home Health Care Consultant 1999;6: 2-1212
.WHO : ICD-10 International Classification of Disease and Related Health
Problems, WHO, Geneve, 1992.
12. 13 .WHO : ICD-0. International Classification of Disease for Oncology. 2nd ed.
WHO, Geneve,1990.
71
MELANOMA MALIGNA
Melanoma maligna ialah kanker kulit yang berasal dari sel melanosit di kulit.
PENDAHULUAN
Kriteria diagnosis :
-
Diagnosis :
Keluhan : Andeng andeng yang cepat membesar, timbul progresif,gatal, mudah
berdarah, timbul luka.
Pemeriksaan fisik : Tumor di kulit berwarna kehitaman, coklat,bentuk nodul, plaque,
bisa disertai luka.
Lesi bersifat A : Asimetri
B : Border / tepi tak teratur
C : Color / Warna kegelapan
D : Diameter, umumnya > 6 mm
E : Evolution, permukaan yang meninggi
Macam-macam :
1. Lentigo melanoma maligna (LMM)
Lesi: makula coklat seperti kehitaman, beberapa cm, tepi irreguler, pada
permukaan dijumpai bercak- bercak warna gelap (warna biru) tersebar tidak
teratur, dapat menjadi nodul biru kehitaman invasive agak hiperkeratonik.
2. Superfisial spreading melanoma (SSM)
Lokasi: wanita; tungkai bawah; laki- laki: badan dan leher.
Lesi: plak archiformis berukuran 0,5 3 cm tepi meninggi, irreguler, dapat
mencapai 2 cm dalam 1 than nodul biru kehitaman pada permukaan
72
terdapat campuran bermacam- macam warna seperti coklat, abu- abu, biru,
hitam, sering kebmerahan.
3. Nodular Malignant Melanoma (NMM)
Lokasi: laki- laki: punggung, dapat pada setiap lokasi.
Lesi: Nodul bentuk setengah bola (dome shaped ) atau polipoid dan eksofitik,
warna coklat kemerahan atau biru sampai kehitaman dapat mengalami
ulserasi perdarahan, timbul lesi satelit.
4. Acral Lentigenous Melanoma (ALM)
Lokasi: letak kaki, tumit, telapak tangan, dasar kuku, ibu jari tangan.
Lesi: macula, warna bervariasi, pada permukaan timbul papul, nodul,
ulserasi, kadang- kadang lesi tidak mengandung pigmen.
Pemeriksaan penunjang:
1. Laboratorium: darah, urine, SGOT/ SGPT, BUN, kreatinin.
2. Radiologi:
Atas indikasi : X-foto tulang di daerah lesi, USG abdomen, CT-Scan, MRI.
3. Sitologi: FNA, inprint sitologi.
4. Patologi: a) biopsi: apa jenis histologi dan bagaimana derajat diferensiasi sel.
b) pemeriksaan specimen operasi:
tumor primer: besar tumor, jenis histologi, derajat diferensiasi
sel, luas dan dalamnya infilterasi, radikalitas operasi.
Nodus regional: jumlah kelenjar yang ditemukan dan yang
positif, infasi tumor ke kapsul atau ekstranodal, tinggi level
metastasis.
4. Biopsi: prinsip harus komplit. Dilakukan biopsi terbuka oleh karena
dibutuhkan informasi mengenai kedalaman tumor. Biopsi tergantung pada
anatomical sitenya.
1. a. bila diameter lebih dari 2 cm.
b. bila secara anatomi sulit (terutama di daerah wajah)
dilakukan insisional biopsi
2. bila kurang dari 2 cm dilakukan eksisi tumor dengan safety margin 1 cm
(diagnostik dan terapi). Specimen dikirimkan dengan mapping dan diberi
tanda batas- batas sayatan.
73
Staging:
Std
0
I
II
III
IV
TNM
Ptis. N0. M0.
Tumor Primer
pTx
PT0
Tidak ditemukan
pTIS
PT1
0.75 mm
PT2
PT3
1.5 4 mm
PT4a
PT4b
Nodus regional
Nx
No
N1
Nodus regional 3 cm
N2a
N2b
Metastasis in transit
N2c
N2a + N2b
Metastasis jauh
Mx
M0
M1a
M1b
Tiap T. tiapN. M1
Klasifikasi Clark
Tingkat I
: Sela melanoma terletak diatas membrana basalis epidermis (insitu)
Tingkat II
: Invasi sel melanoma sampai lapisan papilaris dermis
Tingkat III
: Invasi sel melanoma sampai dengan perbatasan antara lapisan
papilaris dan retikularis dermis.
Tingkat IV
: Invasi sel melanoma sampai lapisan retikularis dermis
Tingkat V
: Invasi sel melanoma sampai jaringan subkutan.
Klasifikasi Breslow
Golongan I
Golongan II
Golongan III
74
Terapi:
Primer: tindakan wide eksisi dengan safety margin sesuai criteria ketebalan, dan
dilakukan rekonstruksi.
Sampai dengan ketebalan 0,76 mm, safety margin 1 cm
Antara 0,76 mm 1,5 mm safety margin 1,5 cm
Ketebalan > 1,5 mm safety margin 2 cm
Bila hasil biopsi safety margin tidak sesuai dengan ketebalan Breslow,
harus dilakukan re-eksisi secepatnya sampai dasar (fascia).
Regional: pada limfonodi secara histopatologis positif, dilakukan diseksi limfonodi :
Di daerah inguinal: deep (atas indikasi: ulkus, multiple limfonodi)
Di daerah aksiler: hingga level II
Di daerah leher: RND
Adjuvant terapi : pada stadium III dapat berupa imunoterapi, radioterapi, dan
kemoterapi
Intransit: kombinasi treatment.
Recurrent :
Dilakukan reevaluasi
Lokal
:
Eksisi luas ulang
Regional : Bila sebelumnya belum dilakukan diseksi, dilakukan diseksi +
adjuvant.
Bila sudah pernah diseksi, dilakukan radiasi
Metastasis: diberikan paliatif treatment.
75
BASALIOMA
76
77
7.
TNM
Tx
T0
Tidak ditemukan
Tis
Kanker in situ
T1
T2
T3
Tumor > 5 cm
T4
Nodus Regional
Nx
N0
N1
Metastasis jauh
Mx
M0
M1
I
II
III
IV
N1. M0.
tiapT. tiapN.
M1
Tumor Primer
78
jaringan
di
Terapi:
Eksisi luas dengan safety margin 0,5 - 1 cm.
Pelaporan histopatologis yang diharapkan :
- Jenis
- Sub tipe
- Bebas tumor / tidak
Radioterapi : diberikan bila upaya untuk mencapai radikalitas secara bedah
tak tercapai.
Recurrent :
- Operabel : Eksisi luas ulang
-
Inoperabel : Radioterapi
Risiko toinggi mendapat kanker kulit adalah pada penderita kelainan pre
kanker (xeroderma pigmentosum, keratosis senilis, compund nevus,
multiple dysplatic nevi), bangsa kulit putih, terbakar sinar matahari,
terpapar sinar pengion, arsen, jelaga, keloid luka bakar, penderita dengan
fistula, immuno supresi, dsb.
Prosedur Diagnosis :
1. Tumor : terdapat lesi di kulit terutama pada kulit yang terpapar sinar matahari
atau trauma, bentuk plaque, nodus, papel, tumor atau ulkus, mudah berdarah,
konsistensi padat, tumbuh ada yang eksofitik, endofitik, infiltratif, progresif
79
dengan cepat. Tumor dapat timbul de novo atau dari lesi pra kanker yang telah
lama ada.
2. Nodus regional : ada pembesaran kelenjar limfe regional, single atau multiple,
mobile atau melekat.
3. Metastasis : mungkin ada tanda-tanda metastasis jauh, seperi pada paru, hati,
dsb.
Pemeriksaan penunjang :
1. Radiology: X-foto paru, X-foto tulang di daerah lesi,
indikasi)
2. Patologi: a) biopsi: Lebih kecil dari 2 cm dilakukan biopsi eksisional, lebih dari 2
cm dilakukan biopsi insisional
b) pemeriksaan specimen :
Terapi :
Pelaporan histopatologis yang diharapkan :
- Sub tipe
- Grading
- Bebas tumor.
Stadium I / II dan III (dengan T4 N0 M0) dilakukan eksisi luas dengan batas sayatan
1 cm dan rekonstruksi kalau perlu.
Stadium III (dengan any T N1 M0) dilakukan eksisi luas dan diseksi limfonodi.
Stadium IV diberikan terapi paliatif.
80
ADENOKARSINOMA
81
DAFTAR PUSTAKA
1. Fleming I D, Cooper J S, Henson D E, Hutter RVP, Kennedy B J, Murphy G P,
OSullivan B, Sobin L H, Yarbro J W (ed), AJCC Cancer Staging Manual, 5th ed,
Philadelphia, Lippincott-Raven, 1997, 157-170
2. Sobin L H & Wittekind Ch (ed), TNM Classification of Malignant Tumours, 6th ed,
New York, Wiley-Liss, 2002, 123-130
3. Lang Jr. P J, Maize JC, Basal Cell Carcinoma, in Friedman R J, Rigel D S, Kopf
A W, Harris M N, Baker D (ed), Cancer of the Skin, Philadelphia, W.B. Saunders
Company, 1991, 35-73
4. Friedman R J, Hellman E R, Gottleb G J, Waldo E D, Rigel D S, Malignant
Melanoma: Clinicopathologic Correlation, in Friedman R J, Rigel D S, Kopf A W,
Harris M N, baker D(ed), Cancer of the Skin, Philadelphia, W.B. Saunders
Company, 1991, 148-176
5. Harris M N, Roses D F, Malignant Melanoma: Treatment, in Friedman R J, Rigel
D S, Kopf A W, harris M N, baker D (ed), Cancer of the Skin, Philadelphia, W.B.
Saunders Company, 1991, 177-197
82
I. PENDAHULUAN :
Soft tissue sarcoma atau Sarkoma Jaringan Lunak ( SJL ) adalah penyakit
keganasan yang berasal dari jaringan embrional mesoderm yang terdapat di seluruh
tubuh ( jaringan penunjang, otot, lemak ) dan termasuk jaringan syaraf perifer yang
asalnya dari ektoderm. Sebagai tumor non-epithelial tidak termasuk disini tumor dari
kelenjar getah bening, sel-sel pembentuk darah dan jaringan syaraf pusat.
Keganasan ini sangat jarang dan dilaporkan angka kejadian SJL pada orang dewasa
sekitar 1% dari seluruh keganasan, sedangkan pada anak 15% dari seluruh
keganasan pada anak. Di Amerika Serikat dilaporkan 8.300 kasus baru per tahun (
2002 ) yang terdiri laki-laki 4.400 dan perempuan 3.900 dengan prakiraan kematian
3.900 kasus.
Tidak berbeda dengan beberapa kepustakaan, di Indonesia lokasi SJL pada dewasa
yang paling sering adalah daerah ekstremitas diikuti
badan, leher&kepala dan
retroperitonium. Pada anak-anak predileksi lokasi yang sering dijumpai adalah
leher&kepala dan badan dengan tipe histologik rhabdomyosarkoma. Untuk
keganasan SJL tidak terdapat perbedaan gender dan sering didapatkan pada
kelompok umur diatas 30 tahun.
Etiologi dan faktor resiko :
Secara umum penyebab SJL sampai saat ini belum diketahui dimana besar
kemungkinannya karena sifatnya yang heterogeneous dan adanya berbagai faktor
yang berperan pada karsinogenesis SJL
Genetik : Saat ini faktor genetik dan kelainan genetik dihubungkan dengan
pertumbuhan dan progresifitas tumor termasuk sarkoma jaringan lunak. Adanya
kelainan genetik tertentu akan memberikan faktor resiko terjadinya SJL seperti ras
gene pada rhabdomyosarkoma dan fibrosarkoma ; ekspresi myc gene pada
rhabdomyosarkoma ; perubahan gen p53 pada 1/3 kasus SJL ; amplifikasi gen
MDM2 dan inhibisi p53 pada 1/3 kasus SJL lainnya serta gen retinoblastoma yang
berperan terjadinya SJL. Beberapa penyakit dengan kelainan genetik yang
mempunyai faktor resiko tinggi terjadinya SJL adalah : Neurofibromatosis Von
Recklinghausen, sindroma Li Fraumeni, sindroma Gardner, sindroma Nevus Sel
Basal, sindroma Werner.
Radiasi : intervensi pemberian radiasi akan meningkatkan resiko terjadinya SJL.
Frekwensi akan meningkat dengan tingginya dosis radiasi dan sebaliknya frekwensi
yang rendah jika diberikan dengan dosis rendah.
83
Bahan kimia : disamping obat sitostatika alkilating agent, beberapa bahan kimia
seperti : phenoxy herbecides, chlorinat phenols, telah dibuktikan berhubungan
dengan terjadinya SJL.
Insidens SJL sangat jarang dan tidak di rekomendasikan untuk kegiatan skrining.
Terabanya masa tumor di jaringan lunak patut untuk dicurigai kemungkinan suatu
SJL. Dengan tidak dijumpainya tanda-tanda infeksi, pertumbuhan yang cepat dan
sukar melakukan palpasi karena letaknya yang dalam, padat dan ter-fiksasi ; perlu
penilaian klinis yang cermat terhadap masa tumor. Pada beberapa kasus kadangkadang timbul keluhan kompresi pada syaraf atau alat viseral ( usus atau ureter )
atau nyeri yang mungkin tumor berasal dari jaringan tulang.
Pedoman atau protokol sarkoma jaringan lunak bertujuan untuk menjawab hal-hal
mendasar yang berhubungan dengan :
- tindakan atau upaya apa saja yang dibutuhkan pada penderita dengan
kecurigaan tumor jaringan lunak
- apa yang dibutuhkan pada proses pemeriksaan spesimen patologik dan
informasi apa saja yang perlu dilaporkan sebagai pelaporan standar
- pengobatan apa saja yang optimal dari modalitas bedah, radiasi dan
khemoterapi yang perlu diberikan pada SJL primer.
II. PATOLOGI dan BIOLOGI
A. II.1. Sifat biologik
SJL berasal dari jaringan mesodermis, termasuk malignant schwannoma dimana
keganasan tersebut berasal dari jaringan ektodermis.
Terdapat perubahan gen P53 pada 1/3 kasus SJL ; 1/3 lainnya terjadi amplifikasi
gen MDM2 dan inhibisi gen P53.
SJL membentuk masa tumor yang padat dan tumbuh secara sentrifugal dengan
komposisi daerah perifer terdiri dari sel yang tidak matang. Pada pertumbuhan
tumor, pada bagian tepi akan terbentuk pseudocapsule yang merupakan kapsul
palsu yang terbentuk akibat penekanan sel normal oleh tumor. Kapsul palsu atau
disebut juga zona reaktif ( reactive zone ) terdiri dari :
a. sel tumor yang terdorong akibat pertumbuhan tumor ,
b. zona fibro-vaskuler dari jaringan yang reaktif dan
c. komponan jaringan inflamasi yang ber-interaksi dengan jaringan normal.
Ketebalan zona reaktif ini bervariasi dan tergantung dari derajat keganasan dan tipe
histologik.
SJL dengan derajat keganasan rendah, masa tumor akan jelas batasnya dengan
kapsul palsu. Pertumbuhan tumor kadang-kadang dapat merobek kapsul palsu dan
terbentuk satelittes lesions didaerah zona reaktif.
84
Pada SJL yang high grade, tumor dapat menembus kapsul palsu pada satu
kompartemen dan membentuk metastasis lokal diluar zona reaktif yang disebut skip
lesions. Lesi ini merupakan suatu metastasis loco-regional yang tidak melalui
pembuluh darah. Tanda-tanda ini memungkinkan seringnya terjadi kekambuhan
lokal jika tidak dilakukan eksisi yang adekwat.
Pola penyebaran jauh SJL biasanya melalui pembuluh darah ( hematogen ) dengan
organ yang paling sering adalah paru untuk tumor primer SJL di ekstremitas dan
badan ; sedangkan SJL retroperitonium dan intra-abdomen pola metastasis
biasanya
ke hati. Metastasis lebih sering pada derajat keganasan tinggi
dibandingkan dengan derajat keganasan rendah.
Penyebaran regional ke kelenjar getah bening sangat jarang ( 5% - 10% ) dan hanya
pada tipe histologik tertentu seperti : sinovial sarkoma, epiteloidsarkoma,
rhabdomyosarkoma embrional dan malignan fibrous histiositoma.
B. II.2 Tipe histologik
Berikut tipe histologik SJL pada orang dewasa serta ICD-O ( International
Classification of Disease for Oncology ) untuk kode morfologi.
Histologik
ICD-O. M
alveolar soft-part sarkoma
M-9581/3
angiosarkoma
M-9120/3
chondrosarkoma extraskeletal c.
M-9220/3
chondrosarkoma, dedifferentiated c.
M-9240/3
clear-cell sarkoma
M-9044/3
dermatofibrosarkoma protuberans
M-8832/3
epitheloid sarkoma
M-8840/3
fibrosarkoma
M-8810/3
M-9580/3
hemangiopericytoma, malignant h.
M-9159/3
hemangioendothelioma, malignant h.
M-9130/3
leiomyosarkoma
M-8890/3
leiomyosarkoma epitheloid l.
M-8891/3
liposarkoma, dedifferentiated l.
M-8858/3
liposarkoma, myxoid l.
M-8852/3
liposarkoma, pleomorphic l.
M-8854/3
M8853/3
liposarkoma, well-differentiated l.
M-8851/3
lymphangiosarkoma
M-9170/3
85
M-8830/3
malignant mesenchymoma
M-8990/3
mesenchymoma, malignant m.
M-8990/3
osteosarkoma extraskeletal o.
M-9180/3
M-8963/3
neurofibrosarkoma
M-9540/3
M-9560/3
synovial sarkoma
M-9040/3
sarkoma, NOS
M-8800/3
86
kapan terjadinya
jika terdapat keluhan nyeri, tumor mungkin berasal dari jaringan tulang
B. Pemeriksaan fisik :
lokasi tumor
diskripsi tumor :
o batas tegas / tidak
o ukuran
o permukaan
o konsistensi
o mobilitas
o nyeri tekan / tidak
Masa tumor dicurigai SJL jika konsistensi padat, letak dalam dan ter-fiksasi
C. Pemeriksaan penunjang :
Foto thorak
87
D. Biopsi :
a. Core biopsi / tru-Cut biopsi
b. Biopsi terbuka ( pembedahan ):
b.1 : Insisi - tumor > 3 cm
b.2 : Eksisi - tumor < 3 cm
Catatan : Lokasi insisi dipertimbangkan untuk pembedahan definitif
Beberapa hal perlu diperhatikan pada biopsi :
E. Jika sudah di konfirmasi hasil patologik anatomik kelainan sarkoma, maka untuk
penentuan stadium klinik dan strategi operasi dapat dipertimbangkan untuk
melakukan pemeriksaan: bone scan dan angiografi
IV. STADIUM KLINIK
Berdasarkan UICC dan AJCC (2002), klasifikasi stadium tumor SJL sangat
dipengaruhi faktor derajat keganasan. SJL dengan derajat keganasan rendah
termasuk disini stadium IA, IB dan IIA ; sedangkan SJL dengan derajat keganasan
tinggi adalah stadium IIB, IIC dan III. SJL jarang menyebar ke kelenjar getah bening
( < 10% ) dan jika terdapat penyebaran maka akan masuk dalam kelompok IVA ;
sedangkan adanya penyebaran jauh masuk kedalam stadium IVB.
IV.1.1 Klasifikasi TNM ( UICC/AJCC, 2002 )
TX : Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : Tidak terdapat tumor primer
T1 : Ukuran tumor < 5 cm pada dimensi yang terbesar
88
Stadium IB
G1 T2a N0 M0
G2 T2a N0 M0
Stadium IIA
G1 T2b N0 M0
G2 T2b N0 M0
G3 T1a N0 M0
G3 T1b N0 M0
G4 T1a N0 M0
G4 T1b N0 M0
Stadium IIC
G3 T2a N0 M0
G4 T2a N0 M0
Stadium III
G3 T2b N0 M0
G4 T2b N0 M0
Stadium IV
Any G Any T N1 M0
Any G Any T N0 M1
Stadium IA
Stadium IIB
89
Tingginya frekwensi metastasis paru serta dengan indikasi tertentu perlu melakukan
operasi pada paru, maka dianjurkan secara rutin pemeriksaan photo toraks dan scan
paru.
V. TERAPI
a. Assessment :
b. Modalitas :
1. Bedah : dengan prinsip radical wide excision
Evaluasi
: - Intra lesion
- Eksisi marginal
- Eksisi luas
- Eksisi kuratif
(NB : masuk dalam penilaian patologi)
Standar operasi : sesuai protokol dari grup Jepang ( The Surgical Society
for Musculoskeletal Sarcoma)
2. Radiasi
3. Khemoterapi
Pengobatan / terapi bedasarkan stadium dan derajat keganasan
Stad. IA, IB, IIA
Low grade (1 dan 2)
Khemotherapi
diberikan
bedah
+ pembedahan + radiasi pasca bedah
# Tu. retroperitoneum / trunk dan L&K :
Eksisi luas + radiasi
Radiasi pra bedah + eksisi luas
90
tidak
High grade
M1
# Eksisi luas radikal + radiasi
Reseksi lesi metastasis dapat
dilakukan
dengan kriteria tertentu.
- reseksi dengan batas sayatan (-)
- lesi resektabel dengan batas
sayatan
tidak adekewat : radiasi
- lesi tidak resektabel : th/ kombinasi
radiasi dan khemoterapi
- lesi retropert./ badan dan H&L :
bedah + khemoterapi + radiasi
# Untuk tujuan paliatif diberikan terapi
kombinasi khemoterapi:
- CYVADIC
- Ifos + Doxo + Mesna
91
Mencegah amputasi
Pada kasus yang pernah kambuh lokal, mempunyai resiko besar terjadinya
metastasis jauh.
Catatan :
VII. FOLLOW UP
Waktu
Pemeriksaan
bulan ke 3
Pem. fisik
bulan ke 6
bulan ke 12
92
Identifikasi penderita
Data klinik
Dx/
Data modalitas terapi ( pra bedah dan pasca bedah )
Data prosedur pembedahan beserta jarak batas sayatan dengan
referensi dari The Surgical Society for Musculoskeletal Sarkoma
, Jepang.
Data kekambuhan lokal dan metastasis jauh.
Komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Fleming I D, Cooper JS, Henson D E, Hutter R V P, Kennedy B J, Murphy G P,
O Sullivan B, Sobin L H, Yarbro J W(ed), AJCC Cancer Staging Manual, 5th ed,
Philadelphia, Lippincott-Raven, 1997, 149-156
2. Sobin L H & Wittekind Ch (ed), TNM Classification of Malignant Tumours, 6th ed,
New York, Willey-Liss, 2002, 114-118
3. Brennan M F, Alektiar K M, Maki R G, Soft Tissue Sarcoma, in DeVita Jr V T,
Hellman S, Rossenberg S A (ed), Cancer Principles & Practice of Oncology, 6th
4.
5.
6.
7.
93
BEDAH THORAK
Atelektasis paru
Pneumotoraks, hematotoraks
Tension Pneumotoraks ( Ventiel )
Flail Chest
94
PENATALAKSANAAN
1. Fiksasi kosta yang patah, dengan clip atau wire tutup luka primer pada
trauma tajam
2. Analgetika
3. Lakukan X foto control, lihat situasi dan diagnosis selanjutnya
95
BATASAN
Pneumotoraks :
Terdapatnya udara dalam rongga pleura sehingga paru kolaps
Hematotoraks :
Terdapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak, dan juga ada
tanda-tanda perdarahan.
Gabungan :
Hemato-pneumotoraks
PATOFISIOLOGI
1. Karena tekanan negative infra pleura bila luka terbuka maka udara luar
terhisap masuk ke rongga pleura ( sucking-wound )
2. Karena sifat elastis paru, maka paru akan kolaps
3. Karena sifat elastic dinding toraks, maka kurungan ini melesat kea rah luar
4. Karena ada trauma baik tajam maupun robekan akibat patah tulang rusuk,
ada perdarahan, darah akan masuk ke rongga pleura, dengan atau tanpa
pneumotaks
GEJALA KLINIS
1.
2.
3.
4.
DIAGNOSIS BANDING
Satus asmatikus
96
KOMPLIKASI
1. Tension pneumotoraks, distress nafas
2. Pneumotoraks bilateral ( sesak hebat )
3. ( lambat ) : emfisema
PENATALAKSANAAN
1. Ada pneumotoraks,hematotoraks pasang selang dada disambung dengan
Continous Suction unit
2. Pada keadaan pneumotoraks yang residif lebih dari dua kali harus
dipertimbangkan tarakotomi
3. Pada hematotoraks yang massif ( terdapat perdarahan melalui drain lebih
dari 800 cc ), segera torakotomi
Catatan tambahan/ resume :
Indikasi melakukan drainase rongga toraks :
1. Pneumotoraks
2. Persiapan respirator
3. Persiapan pembiusan dengan intubasi endotrakeal
4. Pneumotoraks residif
5. Kombinasi dengan hematotoraks ( hemato-pneumotoraks )
6. Hematotoraks
7. Pneumotoraks bilateral
8. Hematotoraks bilateral
9. Flail Chest
97
BATASAN
Hilangnya kontiunitas jaringan tulang iga karena rudapaksa atau penyakit
GEJALA KLINIS
1. Deformitas
2. Nyeri tekan
3. Nyeri tekan sumbu
4. Kripitasi fragmen tulang yang patah, gerakan dada asimetris
DIAGNOSIS BANDING
Kontusio muskulorum
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Radiologi : foto polos rongga dada PA/LAT untuk mengetahui kondisi tulang
2. Laboratorium : darah dan ECG untuk persiapan pembedahan
PERAWATAN RUMAH SAKIT
1. Bila single tanpa penyulit tak perlu dirawat di rumah sakit
2. Bila multiple dan atau bila terdapat komplikasi atau flail chest perlu di rawat di
rulah sakit, observasi dan terapi definitive
PEMERIKSAAN PA
Khusus untuk fraktur patologis dan osteomyelitis
PENYULIT
1.
2.
3.
4.
5.
PENATALAKSANAAN
Non bedah
98
Bedah
DAFTAR PUSTAKA :
1. Bonie, J : Management Of Emergencies in Thoracic Surgery.Century Crofts,New
York,1992
2. Cohn,I.H.F,Doty D.B,Mc Elvein,R.B. : Decision Making in Cardiothoracic
Surgery.B.C.Ducker Inc,Toronto,1987
3. Emerson,P : Thoracic Medicine,Butteworths & Co,(tk),1981
4. Puruhito : Pengantar Tindakan Bedah Akut pada Toraks,Airlangga University
Press,Surabaya,1983
5. Richard,A.B.Kenneh,M.M : manual of Clinical Problems in Pulmonary
Medicine,Asian
Ed.Little
Brown
Co.Medical
Sciences
International
Ltd,Tokyo,1985
99
TUMOR PARU
BATASAN
Yang dimaksud dengan tumor paru ialah pertumbuhan neoplastik pada paru baik
jinak maupun ganas.
Maligna :
Primer
: A) Karsinoma
B) Adenoma
: Tumor Mestastase
Sekunder
Benigna :
Hamartoma, lipoma dan sebagainya
PATOFISIOLOGI
1. Perjalanan penyakit tergantung jenis dan tipe histopatologi, pola penyebaran
lokalisasinya ( lihat klasifikasi WHO)
2. Pola pertumbuhan tumor dapat terjadi :
a. Pertumbuhan
invasive
:
kea
rah
dinding
toraks,diafragma,esophagus,pericardium,vena
cava
superior,pleksus
brakialis,ganglion stellatum,nervus frenicus,nervus rekurens.
b. Metastase, ke luar paru secara :
Limfogen ke hilus, mediastinum, parabronkial, supraklavikula
Hematogen ke hepar, adrenal, otak, tulang dan ginjal
Tumor metastase dapat berasal dari : mamma,prostat,tulang,otak,ginjal dan
organ lain
GEJALA KLINIS
1. Hemoptoe,batuk kronis
2. Nyeri dada
3.
4.
5.
6.
100
Gejala metastase :
Neurologis, sefalgia
Ikterik
Kaheksia
Toraks AP/Lat
Bronkoskopi
k.p.esofagografi,angiografi
2. Kontra-indikasi pembedahan :
a. Test faal paru jelek
b. Metastase jauh ke : pleksus, jantung, esophagus , vena kava superior
101
3. Radioterapi :
Indikasi :
a. Karsinoma anaplasik
b. Sindroma Vena Kava Superior
c. Residif setelah pembedahan
d. Ada metastase jauh
Kontraindikasi radioterapi
a. Ada nekrosis tumor
b. Pleuritis
c. Infeksi
4. Terapi lain
a. Kemoterapi
b. Immunoterapi
c. Kombinasi
102
TUMOR MEDIASTINUM
BATASAN
Tumor mediastinum ialah pertumbuhan neoplastik dalam rongga medistinum, baik
anterior, posterior, superior maupum inferior
PATOFISIOLOGI
Massa menyebabkan penekanan atau obstruksi organ di dekatnya :
1. Ke vena kava superior : oedema bagian kepala/leher, sianosis, kolateral
2.
3.
4.
5.
DIAGNOSIS BANDING
Tumor paru
Predileksi dari lokalisasi tumor :
Anterior
Tinoma
Teratoma
Struma
Posterior
Neurinoma
Limfoma
Aneurisma
Inferior/Tengah
Kista-bronkogen
Limfoma
Superior
Struma
Timoma
Aneurisma
PENATALAKSANAAN
Pembedahan untuk ekstirpasi tumor : struma,timoma,neurinoma,kista-bronkogen
melalui thorakotomi atau stemotomi
Limfoma : condong ke radioterapI
103
BATASAN
Tumor dinding toraks ialah pertumbuhan neoplastik pada dinding toraks yang bukan
berasal dari kulit
PATOFTSIOLOGI
Dapat berasal dari tulang iga atau sternum
GEJALA KLINIS
Benjolan nyeri tanda-tanda radang dengan atau tanpa patah tulang
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Roentgenologis : evaluasi pleura atau medistinum
2. Punksi percobaab
3. CT-Scan toraks
DIAGNOSIS BANDING
1. Infeksi banal jaringan lunak
2. Perikondritis tbc
KOMPLIKASI
1. Pneumotoraks, Piotharaks
2. Hambatan obstruksi nafas
PENATALAKSANAAN
Pembedahan
1. Benigna : eksisi
2. Maligna : radiasi pra-bedah,eksisi luas,reseksi iga
DAFTAR PUSTAKA
1. Burnette W : Clinical Science for Surgeons.Butterworths & Co.(tk),1981
2. Cohn,L.H.Doty,D.B.McElvein,R.B : Decision Making in Cardiothoracic Surgery
B.C.Decker Inc,Toronto,1987
3. Emerson P : Thoracic Medicine,Butterworth & Co (tk)1981
4. Puruhito: Indikasi Pembedahan Pada Karsinoma Bronchogenik, Airlangga
University Press,Surabaya 1982
104
VARISES TUNGKAI
BATASAN
Varises tungkai ialah memanjangnya, berkelok-kelok dan pembesaran dari vena di
tungkai.
Jenis/pembagian
1. Vaeises trunkal
2. Varises retikularis
3. Varises kapilaris
PATOFISIOLOGI
Terdapat inkompetensi dari katub vena, hingga terdapat reversal flow atau aliran
balik dalam pembuluh vena, lalu mengembang dan berkelok, menimbulkan pula rasa
nyeri/kemeng
Inkompetensi katub dapat terjadi pada :
1. VV perforantes
varises trunkal
2. VV komunitas varises retikulasi et kapilaris
Hormonal berpengaruh pada timbulnya keluhan primer ( alfa reseptor otot polos,
dinding vena ) dan kekuatan memompa m gastroknemius mempengaruhi arah aliran
darah balik.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Terdapat 4 stadium klinis :
1. Stadium I
: keluhan tidak
gringgingen, kesemutan dan
2. Stadium H
3. Stadium IH
spesifik,kemeng, linu,
sebgainya
reslessleg
: Fleboekstasia
: Varises sesungguhnya, keluhan jelas
4. Stadium IV
: Chronic Venous Insufficiency ada ulkus-varikosum,
kelainan trofik
KOMPLIKASI
1. Perdarahan Varises yang pecah
2. Tromboflebitis akut / kronis
3. Selulitis,gangrene
105
PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan :
Striping
varices,
ligasi
W
W.Perforantes,ekstraksi vena ( Babcock ), pada :
komunikasi,
ligasi
106
c. Bila :
-
DAFTAR PUSTAKA
1. Dale,Andrew,W.Management of Vascular Surgical Problem. Mc-Graw Hill Book
Co (tk) 1985
2. Puruhito,Beberapa Aspek dari Varises Tungkai dan Cara-cara Pengobatannya
Bag1 Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,Surabaya 1981
3. Puruhito : Pengantar Bedah Vuskulus,Airlangga University Press,1987
107
BATASAN
Penyakit Arteria Perifer ialah kelainan arteria yang mengakibatkan gejala-gejala
akral hipovaskularisasi yang ditimbulkannya : gejala-gejala akral tersebut bukan
karena proses degenerative / organic.
PATOFISIOLOGI
Dasar utama penyakit adalah arteritis arteria perifer non spesifik, yang bersifat
angioneuropati dan terjadi pada orang muda. Sifat khusus tidak melampaui stadia
menurut Fontaine, dan langsung berupa gejala yang sepadan dengan FontaineStadium IV, berupa nekrosis gangrene, akral dingin, prestasi dan kelainan trofik.
Nyeri akral hebat karena arteritisnya.
Ateritis : adalah proses keradangan / inflamasi dari dinding arteri, yang
menyebabkan penebalan dari dinding dan juga akan member sumbatan arteria yang
kronis.
Jadi merupakan proses keradangan obliteratif, yang umumnya menyerang
penderita-penderita muda.
WINI-WARTER-BUERGER atau Thrombendangitis-Obliterans
Termasuk pula dalam katagori ini adalah penyakit-penyakit kolagen misalnya :
1. Giant-cell arteritis
2. Periarteritis nodosa
3. Lupus eritematosus
Golongan penyakit ini umumnya menyerang arteria-arteria kecil dan menimbulkan
sumbatan dan mikro aneurisma.
Salah satu bentuk lain daripada arteritis ini adalah apa yang disebut sebagai
arteritis non spesifik yang menyerang arteria-arteria besar. Bentuk-bentuk yang
dikenal terdapat pembagian geografis yang jelas, yaitu terutama di benua Asia dan
Amerika Latin.
Yang dikenal dalam golongan arteritis non spesifik ini adalah :
1. Penyakit Takayashu , yaitu sumbatan pada awal dari percabangan supraaortal
2. Eosinofil-arteritis yang menyerang aorta,arteria iliaka dan arteria besar
lainnya.
3. Inflammatory-arteriorsclerosis (LINDER - DOERR) proses arteriosklerosis
pada umur muda belia.
108
Sebagai patogenesis dari golongan penyakit ini, umumnya disepakati bahwa masih
belum jelas etiologinya. Salah satu factor kuat dari etiologi, adalah sering disebut
adanya factor rokok , karena sering terdapatnya penyakit ini pada perokok berat.
Bagaimana mekanisme nikotin atau rokok tersebut membentuk proses arteriitis,
masih belum jelas.
GEJALA
Nyeri hebat dengan tanda-tanda cepat nekrosis ujung jari/akral,gangrene. Omset
kurang dari 6 bulan.
Posisi tungka / lengan fleksi
Ada hubungan dengan habitus merokok banyak
Penderita umur muda, kurang dari 35 tahun.
Seperti yang telah dikemukakanpada cara0cara diagnostic, pemeriksaan melalui
anamnesis,inspeksi,plapasi dan auskultasi tetap harus dilakukan.
Dari anamnesis, perlu ditanyakan tentang timbulnya rasa nyeri tadi :
1. Nyeri waktu bekerja/berjalan/olah raga
2. Yang hilang bila beristirahat
Merupakan tanda adanya sumbatan / stenose pembuluh arteria
Perjalanan penyakit menentukan pula apakah proses tersebut bersifat :
1. Degenerative
2. Obliteratif
3. Akut
4. Semi-akut (it is)
Pada proses yang degenaritif obliteratif, meke perjalanan penyakit secara kronologis
dapat menuruti pola tertentu, ayng oleh Fontaine disusun menurut urutan :
Skema suatu rekonstruksi arteri perifer ( femoralis-poplitea) berupa Bypass Vena,
pada sumbatan arteria karena proses arteriosklerosis
Stadium I
sebagainya
Stadium II
intermittens )
Stadium III
inrreversibel
Stadium IV
109
Pada proses yang berjalan cepat, (akut,atis) maka kejadian yang bersifat kronologis
tadi umumnya tidak terdapat, karena mekanisme kompensasi oleh sirkulasi kollateral
belum sempat terjadi.
Pada adanya factor-faktor resiko : rokok,hipertensi,diabetes dan lain sebagainya
,anamnesis perlu diarahkan lebih teliti.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Rabaan pulsasi arteri ada tapi agak berkurang, akral dingin,luka nyeri
2. Pulsasi arteria sentral/proksimal ada
3. Arteriografi : gambaran ular den arteria halus
Pencatatan (registrasi) dari pendapatan pemeriksaan klinis ini harus dicantumkan
setiap kali penderita dating, untuk ini diperlukan beberapa formulir khusus untuk
menolong mempercepat pencatatan, selain itu memberikan pula konsistensi dan
terpadunya hasil pemeriksaan.
Sebagai ketentuan umum, maka pencatatan hasil palpasi dilakukan sebagai berikut :
Extrenitas bawah
Extrenitas
atas
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
a.axillaris
a.cubiti
a.radialis
a.ulnaris
a.femoralis
a.poplitea
a.dor-pedis
a.tib-post
110
DAFTAR PUSTAKA
1. Hershley,FB.Colmann,C.H. : Atlas of Vaskular Surgery,CV Mosby, Co,1973
2. Puruhito : Pengantar Bedah Vaskulus,Airlangga University Press 1987
3. Rutherford,RB : Vascular Surgery.WB .Saunders Co, 1984
111
TROBOFLEBITIS AKUTA
BATASAN
Toromboflebitis akuta ialah suatu infeksi akut pembuluh darah vena yang disertai
terbentuknya thrombus
PATOGENESIS
1. Pada keadaan vena yang normal / tidak ada kelainan sebelumnya maka
dapat terjadi suatu thrombosis karena sebab-sebab luar, misahnya trauma,
kelelahan pasca bedah, adanya malignitas (karsinoma), yang terjadi hanya
pada salah satu segmen vena.Trombosis ini mengadakan reaksi radang local
pada dinding vena. Dalam hal ini,terjadinya thrombosis adalah menganut
postulat yang disebutkan oleh Virchow yaitu adanya perlambatan aliran
darah, kelainan dinding pembuluh darah dan keadaan hiperkoagulabilitis .
(Trias Virchow).
2. Pada Vena yang sebelumnya terdapat venaektasia atau varises, maka
terdapatnya turbulensi darah pada kantong-kantong vena di sekitar klep
(katup) vena merangsang terjadinya thrombosis primer, tanpa disertai reaksi
radang primer, yang kemudian karena factor local, daerah yang ada
trombusnya tersebut mendapat radang. Menipisnya dinding vena karena
adanya varises sebelumnya, mempercepat proses keradangan. Dalam
keadaan ini, maka dua factor utama kelainan dinding vena dan melambatnya
aliran darah, menjadi sebab penting dari terjadinya tromboflebitis.
3. Beberapa sebab khusus karena rangsangan langsung pada vena dapat
menimbulkan keadaan ini. Umumnya pemberian infuse ( di lengan atau
tungkai ) dalam jangka waktu lebih dari 2 hari pada tempat sama atau
pemberian obat yang irritant secara intra venous. Banyak pendapat yang
menyatu tentang penggunaan kontrasepsi peroral, yang dihubungkan
dengan terjadinya tromboemboli.
Kelainan jantung yang secara hemodinamik menyebabkan kelainan pula pada
system aliran vena juga keadaan-keadaan dehidrasi berat ( hemokonsentrasi ),
koagulasi intravasal yang meluas ( D.I.C ) ataupun infeksi sistemik dapat
menimbulkan rangsangan untuk patogenesis ini. Juga tumor-tumor intra abdominal,
umumnya di daerah rongga panggul yang memberikan hambatan aliran vena
ekstanitas bawah, hingga terjadi rangsangan pada segmen vena di tungkai.
112
GEJALA KLINIS
Penderita umumnya mengeluh spontan terjadinya nyeri di daerah vena, yang nyeri
tekan kulit di sekitarnya kemerahan dan panas, juga dinyatakan adanya oedema
atau pembengkakan agak luas, nyeri bila berjalan atau menggerakkan lengan, juga
pada gerakan gerakan otot tertentu
Pada kasus-kasus yang agak berat, dapat terjadi keadaan seperti gambaran
eripelas, tetapi biasanya terbatas pada satu bagian ekstremitas. Pada perabaab,
selain nyeri tekan, diraba pula pengerasan dari jalus vena tersebut , pada tempattempat di mana terdapat katub vena, kadang-kadang diraba fluktuasi,sebagai tanda
adanya hambatan aliran vena dan mengembangnya vena di daerah katub. Fluktuasi
ini dapat pula terjadi karena pembentukan abses.
Febris dapat terjadi pada penderita-penderita ini, tetapi biasanya pada orang
dewasa hanya dirasakan sebagai sumer (jawa) atau malaise.
PENATALAKSANAAN
Bila menghadapi keadaan-keadaan tersebut, maka setelah benar-benar dapat
disipulkan terhadapnya flebitis vena superficialis, terapi dapat dilakukan dengan pola
sebagai beriku :
1. Penderita diminta tiduran, lokalisasi flebitis ditentukan dengan pasti dan
diraba di mana pengerasan dan nyeri tekan. Tempat tersebut dilakukan
desinfeksi dengan alcohol atau disinfektans lainnya (antiseptic).
2. Disiapkan sebuah skalpet/bisturi tajam (bisturi streril No.11 tanpa pegangan),
beberapa kasa steril.
3. Dengan tuntunan dua jari di sekitar vena yang mengeras tadi, dilakukan insisi
pendek dengan skapel tersebut, cepat dan singkat sedalam kulit sampai
vena, dan vena dipijat dengan dua jari,thrombus atau darah vena yang
mengental dikeluarkan, kalau perlu dengan mengurut kea rah lubang insisi.
4. Bila perlu, dilakukan lagi insisi pada tempat-tempat lain di mana masih teraba
pengerasan. Dengan insisi yang cepat dan singkat ini rasa nyeri hanya
dirasakan seperti penyuntikan biasa ; sebaiknya dipakai disposibel.
5. Setelah selesai, tempat-tempat insisi kasa alkohol dan ekstremitas yang
bersangkutan dibebat dengan elastic dari arah distal. Bebat ini dipertahankan
paling sedikit 24 jam.
6. Obat-obat yang paling baik member keringanan gejala adalah golongan
phenylbutason atau derivatnya, dapat diberikan :
Perinjeksi, pada saat itu, dosis satu kali, disusul pemberian per-oral selama
5-7 hari
113
114
115
BEDAH DIGESTIF
BATU EMPEDU
ICD (K 80)
BATASAN
Terdapat batu di dalam kantong empedu. Dapat disertai batu saluran empedu.
PATOFISIOLOGI
80% batu empedu terdiri dari kolestreol. Kolesterol tidak larut dalam air. Kelarutan
kolesterol di dalam cairan empedu dipengaruhi asam empedu dan fosfolipid.
Bilamana karena suatu hal terjadi gangguan keseimbangan ini. Terjadi presipitasi
kolesterol (empedu litogenik dan terbentuk batu empedu (segitiga SMALL.
Epidemiologi penyakit batu empedu :
1. Lebih banyak dijumpai pada wanita dengan perbandingan 2:1 dengan pria
Female.
2. Lebih sering pada orang yang gemuk Fat.
3. Bertambah dengan tambahnya usia Forty.
4. Lebih banyak pada multipara Fertile.
5. Lebih banyak pada orang-p\orang dengan diet tinggi kalori dan obat-obatan
tertentu Food.
6. Sering memberi gejala-gejala saluran cerna Flatulen.
GEJALA KLINIS
Kurang lebih 10% penderita batu empedu bersifat asimtomatik.
Gejala-gejala yang dapat timbul :
1. Nyeri (60%) : bersifat kolik, mulai daerah epigastrium atau hipokondrium kanan
dan menjalar ke bahu kanan. Nyeri ini sering timbul karena rangsangan makanan
berlemak. Nyeri dapat terus, bila terjadi penyumbatan atau keradangan.
2. Demam : timbul bila terjadi keradangan (kolesistisis/kolangitis). Disertai
menggigil.
3. Ikterus : Ikterus obstruksi terjadi bila ada batu yang menyumbat saluran empedu
utama (duktus hepatikus/koledukus). Dapat disertai gejala cholangitis.
4. Pemeriksaan fisik : bila terjadi penyumbatan-duktus sistikus atau kolesistisis
dijumpai nyeri tekan hipokondrium kanan, terutama pada waktu penderita
menarik napas dalam (MURPHYS SIGN).
116
117
DAFTAR PUSTAKA
1. Way LW. : Disease of the gallbladder & bile duct. Current surgical Diagnosis &
Treatment, Appleton & Lange 1994, p.546 558.
2. Harris HW. : Biliary System, surgery Basic Science and Clinical Evidence ed. By
Norton JA, Springer, Verlag, New York 2001 p. 553 581.
3. Namir Kathkouda : Advance Laparoscopic Surgery. Techniques and Tips, WB.
Saunders Co, London 1998 p.26 34.
118
PERITONITIS
(ICD K 65)
BATASAN
Keradangan umum peritoneum (peritonitis generalisata)
PATOFISIOLOGI
Peritonitis dapat primer atau sekunder karena keradangan / perforasi dalam
abdomen
GEJALA KLINIS
1. Penderita panas disertai nyeri perut yang hebat
2. Adanya tanda-tanda syok dan dehidrasi
PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
1. Inspeksi : pernafasan perut tertinggal
2. Palpasi : nyeri tekan seluruh perut, defans muskuler
3. Perkusi : nyeri ketok seluruh perut, suara redup hati hilang (oleh karena ada
pneumo peritoneum)
4. Auskultasi : suara bisisng usus hilang
Foto
: foto polos perut (diafrgama) dan foto lateral tampak pneumo
peritoneum
berupa gambaran udara di bawah diafragma di atas
hepar air sickle
USG
: cairan bebas positif, kelainan organ (pancreas, hepar, kandung
empedu, genetalia interna) akut abdomen yang lain
DIAGNOSA BANDING
1. Ileus obstruksi dengan strangulasi (invaginasi, volvulus, streng dll.)
2. Trombosis mesentrial
KOMPLIKASI
1. Septikemia
2. Multi organ failure
119
PENATALAKSANAAN
1.
Infus rehidrasi dengan ringer laktat kurang lebih 4 liter, dalam waktu 2-4
jam
2.
Sefalosporin generasi III / IV
Metronidazole
3.
Laparotomi
a. Tindakan sesuai dengan kelainan primer
b. Cuci rongga perut dengan larutan garam faali 3 4 liter bila perlu dapat
pasang drain intraperitoneal
c. Drain subfasial
d. Sub kutan dan kulit dijahit situasi sekunder)
DAFTAR PUSTAKA
1. Boey JH. : Acute secondary bacterial peritonitis in current Surgical Diagnosis &
Treatment ed by Way LW.,Appleton and Lange 1994 p. 453-457.
2. Schecter WP. : Peritoneal and acute abdomen in surgery Basic Science and
Clinical Evidence ed by Noton JA, springer, Verlag, New York 2001, p. 413-427
3. Solomkin IS. : Intra abdominal infection in Principel of Surgery ed. By Schwartz
SL Mc Graw Hill 7th ed.1999, pg. 1521-1546.
120
ILEUS OBSTRUKSI
(ICD K 56)
BATASAN
Gangguan pasase isi usus secara normal ke rectum karena hambatan
ekstrinsik atau intrinsic, baik pada usus kecil maupun pada usus besar.
PATOFISIOLOGI
Obstruksi usus menyebabkan reaktif hiperperistaltik, di tensi lumen usus oleh
gas, cairan dan pertumbuhan kuman kuman. Transudasi cairan ke dalam lumen
usus menyebabkan syok hipovolemik.
Kehilangan cairan asam lambung dan klorida pada obstruksi daerah pilorus
atau jejunum proksimal menyebabkan alkalosis metabolic.
Metabolik asidosis terjadi pada obstruksi usus distal.
Pada close loop obstruction dapat terjadi gangguan dan perforasi dari usus.
GEJALA KLINIS
Kolik, borborygmi dan bising usus meningkat. Didapatkan kontur dan
steifung disertai obstipasi dan distensi. Pada obstruksi proksimal muntah terjadi
lebih dini, sedangkan pada obstruksi distal, muntah terjadi lebih lambat.
Didapatkan dehidrasi dan febris. Bila obstruksi disertai dengan stangualasi,
dirasakan nyeri hebat yang terlokalisir terus menerus dan keadaan umum yang
cepat menurun. Pada pemeriksaan colok dubur didapatkan rectum kosong.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Foto polos abdomen dengan posisi tegak atau lateral decubitus tampak distensi
usus proksimal dari hambatan dan fenomena anak tangga.
2. Pada volvulus sigmoid tampak sigmoid yang disertai berbentuk U terbalik.
3. Pada dugaan tumor colon dapat dibuat foto barium enema.
4. Enteroclysis.
Penyebab ileus obstruksi yang paling sering dijumpai di Indonesia :
1. Hernia Inguinalis Inkarserata / hernia femoralis
2. Perlekatan streng
3. Keganasan usus besar
4. Pada anak-anak sering dijumpai kelainan kongenital
5. Kelainan lain adalah volvulus, invaginasi dan lain-lain.
121
Pada ileus obstruksi perlu dibedakan antara yang tanpa strangulasi (simple) dan
yang disertai strangulasi. Pada ileus disertai strangulasi perlu tindakan bedah
segera.
DIAGNOSIS BANDING
1. Ileus Paralitik
2. Oklusi vascular usus akut
Macam
Ileus
Nyeri Usus
Distensi
Obstruksi
simple
tinggi
++
(kolik)
Obstruksi
simple
rendah
+++
(kolik)
+++
Obstruksi
dengan
strangulasi
++++
(terus
++
menerus,terlokalisir)
Paralitik
Obstruksi
vaskuler
++++
Muntah/
Borborigmi
+++
Bising Usus /
Abdomen
Keterangan
Meningkat
+ lambat
fekal
Meningkat
+++
Tak
tentu,biasanya
meningkat
++++
Menurun
+++
+++
Menurun
PENYULIT
Bila disertai strangulasi dapat terjadi gangrene usus. Cepatnya penegangan sangat
menetukan prognoso penderita.
PENATALAKSANAAN
1. Dekompresi dengan pipa lambung
2. Pemasangan infus untuk koreksi keseimbangan dan elektrolit juga
keseimbangan asam basa
3. Koreksi bedah. Tindakan bedah yang dilakukan sesuai dengan kelainan
patologinya.
4. Antibiotik profilaksis dan terapeutik tergantung proses patologi penyebabnya.
122
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz SI. : Principles of Surgery, 7th ed, Mc Graw Hill, 1999, P.1054-61.
2. Way LW. : Current surgical Diagnosis and Treatment 10th ed, Appleton Lange,
1994, p.610-18, 628-29, 640-43.
3. Hodin RS, Mathew JB : Small instentine in surgery Basic Science and Clinical
Evidence, springer-Verlag, 2001, p.623-628.
123
KARSINOMA ESOFAGUS
(ICD C 15)
BATASAN
Keganasan esofagus
PATOFISIOLOGI
Rokok dan alcohol merupakan factor resiko tinggi. Kelainan esofagus juga
dapat merupakan pre malignan yaitu achalasia, esofagus refluks, perlukaan kaustik,
sindroma Plummer Vinson, leukoplakia dan divertikel esofagus.
60% squamous cell carcinoma dan didistribusikan merata pada 1/3 atas, tengah dan
bawah. 40% berupa adeno carcinoma di bagian distal esofagus.
GEJALA KLINIS
1. Disfagia progesif
2. Anemia karena perdarahan samar
3. Nyeri terjadi pada stadium lanjut
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Barium intake
Esofagoskopi
CT Scan untuk staging
Endoultra sonografi
Stadium
T1
T2
T3
T4
N0
N1
M0
No distant metastases
M1
Distant metastases
DIAGNOSIS BANDING
1. Achalasia
2. Esofagus refluks dengan stenosis esofagus
3. Striktura esofagus kaustik
124
PENATALAKSANAAN
Stadium dini
Stadium lanjut
: reseksi esofagus
: reseksi paliatif
By pass esofago gastrostomi
Endoprosthesis
Gastrostomi
Radiasi
Chemoteraphy
DAFTAR PUSTAKA
1. Pellegrini CA : Carcinoma of the esofagus in current Surgical Diagnosis and
Treatment, Appleton and Lange 1th ed 1994, p. 234-437.
2. Smith CD : Malignant esofagheal tumor in surgery Basic Science and Clinical
Evidence ed by Norton JA, Springer Verlag, 2001, p.478-481.
3. Pearson FG : Esophageal Cancer in Esophageal Surgery ed by Pearson FG,
Churchill Livingstone 1995, p.539-628.
4. Peters JH and De Meester TR : Carcinoma of the esophagus in Principles
Surgery ed by Schwartz SL Mc Graw Hill 7th ed, New York 1999, p. 11371152.
5. Hermanek P,TNM Atlas (ACC) 7th ed, Springer Verlag, Paris, 1998, p. 7182.
125
KARSINOMA HEPATOSELULER
(ICD C 22)
BATASAN
Keganasan sel hepar
PATOFISIOLOGI
Terjadi hepatitis B dan C kronis aktif (HBV dan HVC) dan sirosis hepatic.
KHS terjadi juga karena aflatoksin dari jamur-jamur aspergillus dan kanan yang
karsinogenik. Terjadi juga karena sterois.
GEJALA KLINIS
1.
2.
3.
4.
T3
T4
N1
M1
Distant metastasis
126
DIAGNOSIS BANDING
1. Cholangio carcinoma
2. Hepatoblastoma pada anak
3. Metastase organ lain
Komplikasi
1. Perdarahan spontan dari rupture tumor
2. Hipertensi portal
PENATALAKSANAAN
Stadium dini
127
KARSINOMA LAMBUNG
(ICD C 16)
BATASAN
Keganasan lambung.
PATOFISIOLOGI
Etiologi sebagian besar dihubungkan dengan diet. Risiko meningkat pada
infeksi H.pylori. karsinoma lambung lebih banyak dijumpai pada golongan darah A.
Gastritik atrofik diserati anemia perniciosa disebut pre maligna.
Secara morfologis karsinoma lambung berupa :
1. Ulseratif 25%
2. Polipoid 25%
3. Penyebaran superfisial early gastric cancer 15%
4. Linitis plastic 15%
5. Karsinoma lambung lanjut 35%
GEJALA KLINIS
Anorexia dan berat badan turun, anemia berat dan perdarahan samar. Disfagia dan
vomitis.
PEMERIKSAASN DAN DIAGNOSIS
Pada stadium lanjut dapat teraba tumor abdomen dan nyeri.
Gastroskopi dan barium intake.
CT scan dengan kontras untuk staging
STADIUM
T1
T2
T3
T4
N1
N2
N3
M1
Distant metastasis
128
DIAGNOSIS BANDING
1. Karsinoma esofago gastric junction
2. Lymphoma lambung
3. Tumor jinak lambung
PENATALAKSANAAN
Reseksi lambung beserta kelenjar regional
Karsinoma lambung pada cardia, fundus dan corpus dilakukan total gastrektomi
dengan splenektomi
Pada kasus inresektabel dilaukan by pass gastro jejunostomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ashley SW : Gastric cancer in Principles of surgery ed by Schwatz 7th ed, Mc
Graw Hill, 1999, p. 1201-1212.
2. Livingstone EH : Gastric carcinoma in Surgery Basic Science and Clinical
Evidence, ed by Norton JA, Springer, Verlag, New York, 2001, p. 504-509.
3. Raines SA : Surgery for cancer of the stomach in Upper gastrointestinal Surgery
ed by Griffin SM and Rains SA, WB Saunders 2th ed 2001, p. 155-202.
4. Fergusson JI and Brown SP : Staging of esophageal and gastric cancer in Upper
gastro intestinal Surgery ed by Griffin SM and Rams SA, WB Saunders 2nd ed
2001, p. 57-92.
5. Hermanek P : TNM Atlas (UICC) 4th ed Springer Verlag, Paris, 1998, p. 81-92.
129
KARSINOMA PANKREAS
(ICD C 25)
BATASAN
Neoplasma ganas pancreas
PATOFISIOLOGI
Sebagian besar berasal dari kelenjar eksokrin. Keganasan kelenjar eksorin
jarang, seperti insulinoma, somatostatinoma, gastrinoma lebih sering dijumpai pada
penderita diabetes mellitus dan penderita pankreatitits kronis.
GEJALA KLINIS
60% karsinoma pancreas berasal dari kaput pancreas (C 25.0), disertai
gejala icterus dan berat badan menurun, gatal-gatal karena asam empedu di bawah
kulit dan kencing seperti the. Tinja akholis. Nyeri menunjukkan gejala lanjut.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Fisik
: icterus dan pembesaran kantong empedu (tanda Courvoisier).
Tumor abdomen menunjukkan gejala lanjut.
Gatal-gatal pada kulit goresan-goresan.
Laboratorium : Bilirubin darah meningkat, terutama bilirubin conjugated dan
progresif
Gamma glukoronil transferase meningkat
Alkali fosfatase meningkat.
Faal hemostasis terganggu tumor pancreas.
Kadar CA 19.9 meningkat.
USG
: Tumor pancreas
Kandung empedu dan saluran empedu melebar
Saluran empedu intra dan ekstra hepatal melebar
CT Scan
MRI
130
STADIUM
T1
T2
T3
T4
N1
M1
Distant metastasis
DIAGNOSIS BANDING
Batu saluran empedu
Tumor ganas pancreas yang berasal endokrin
Tumor ganas ampula vater (ICD C 24.1)
Cholangio carcinoma (ICD C 24.0)
KOMPLIKASI
Ikterus obstruksi
PENATALAKSANAAN
Stadium dini : reseksi pancreas. Pada kaput pancreas dilakukan duodenopancreatectomy cephalic. Resektabilitas ditentukan ditentukan pra bedah dengan
CT-scan dan endo ultrasonography.
Tumor dinyatakan resektabel bila :
1. Masih kecil, kurang dari 2 cm
2. Belum ada penyebaran local yang jauh
3. Belum mengenai pembuluh darah
4. Belum ada metastase kelenjar regiener dan hepar
5. Terapi adjuvant chemotherapy
6. Stadium lanjut by pass bilio digestif
131
DAFTAR PUSTAKA
1. Reber HA : Adeno carcinoma of the pancreas in current surgical diagnosis &
treatment ed by Way LW, 1994, p. 586-588.
2. Mulvikill SJ : Pancreatic Cancer in Surgery Basic Science and Clinical Evidence
ed by Norton JA, 2001, p. 536-546.
3. Reber HA : Tumors of the pancreas in Principles of surgery ed by Schwatz SI,
Mc Graw Hill 7th ed. 1999, P. 1488-1497
4. Devenis CG and Bassi C : Pancreatic tumors, achievements and prospective,
Georg Thieme, Verlag, stugart 2000, p. 137-274.
5. Hermanek P. : TNM atla (UICC), Springer Verlag, Paris 4th ed, 1998, p. 131152.
132
BEDAH ANAK
KELAINAN ANOREKTAL BAWAAN
BATASAN
Kelainan anorektal bawaan merupakan kelainan yang sangat bervariasi.
Penanganan yang tepat memerlukan pengertian tentang kelainan anatomi yang
dihadapi. Untuk memudahkan dapat dibuat pemisahan antara kelainan rendah (infra
levator) dan kelainan tinggi (supra levator), yang berdasarkan pada patologi
terhadap otot levator ani dan dasar panggul.
PATOFISIOLOGI
1. Kelainan rendah (infra levator) : Migrasi normal rectum ke arah kaudal sudah
melewati otot dasar panggul panggul (pubo rectal sling), tebal lapis jaringan
antara ujung buntu rectum dan kulit anus tidak lebih dari satu sentimeter.
Kelainan rendah ini dapat disertai fistula atau tanpa fistula. Pada bayi laki-laki
biasanya fistula anokutan, sedang wanita fistula anovestibulear atau anokutan.
2. Kelainan tinggi (supra levator) : Migrasi rectum tidak mencapai otot dasar
panggul, di sini lapis jaringan antara ujung buntu rectum dan kulit anus (anal
dimple) berjarak cukup tebal, lebih dari satu sentimeter. Kelainan tinggi juga
dapat disertai fistula, yaitu pada bayi laki biasanya didapatkan fistula
rektourethral, pada wanita dapat terjadi fistula rektovaginal atau rektovestibular.
Kelainan letak yang sangat tinggi, yaitu ujung buntu rectum berada intra
abdominal, dapat juga disertai fistula dengan buli-buli.
GEJALA KLINIS
Kelainan ini mengakibatkan pengeluaran mekonium terhalang, bila dibiarkan
dapat timbul gejala obstruksi ileus dengan segala komplikasinya. Kelainan anorektal
dengan fistula letak rendah sering kali tanpa gejala obstruksi ileus, akan tetapi bila
fistula tidak adekuat maka harus dilakukan tindakan bedah segera agar mekonium
dapat keluar. Pada kelainan dengan fistula letak tinggi selalu memberikan gejala
obstruksi. Pada laki-laki dengan fistula rektouretral pada urine ditemui mekonium.
Pada wanita dengan fistula letak tinggi rektovaginal sering kali didapatkan mekonium
di introitus vagina, sedang pada fistula rektovestibuler didapatkan fistula pada
vestibulum vagina yang selalu tidak adekuat, sehingga selalu disertai tanda
obstruksi ileus.
133
Kelainan anus malformasi ini sering disertai kelainan lain VACTERRL yaitu :
V-ertebra, A-nal, C-ardiac, T-rakheoesofagial, R-adial, R-enal, dan L-imb.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
A. Kelainan letak rendah (infra levator)
1. Anus stenosis :
a. Penyempitan kanalis ani bawaan, sehingga mekonium terhambat ke luar.
b. Letak anus anatomis.
c. Pada sondase didapatkan anus menyempit.
2. Anus konvertus (membrane ani persisten = anus membranosa)
Inspeksi : Anus tertutup oleh membran tipis, transparan, berwarna gelap dan
menonjol karena terdorong oleh mekonium yang tertumpuk di atasnya.
3. Fistula anokutan
a. Tidak didapatkan anus.
b. Didapatkan lubang fistula pada perineum, perianal sampai scrotum.
c. Mekonium berwarna hitam tampak jelas di subcutis dan ke luar melalui
lubang luar fistula tersebut, sering kali fistula tersebut sangat kecil,
sebesar ujung jarum.
d. Pada bayi laki lubang luar fistula dapat mencapai raphe scrotum.
4. Anus vestibularis
a. Kelainan tersering pada bayi wanita, anus berada di vestibulum vagina.
b. Pantensi biasanya adekuat, akan tetapi dapat pula stenosis, sehingga
menghambat pengeluaran mekonium.
c. Bila stenosis, dilakukan dilatasi dengan bouginator Hegar maka mekonium
dapat keluar, bila gagal maka dilakukan insisi secara cut back agar
mekonium dapat keluar dengan lancar.
5. Anus anterior
a. Anus berada di perineum, yaitu anterior dari tempat yang seharusnya.
b. Ada kalanya stenosis sehingga menghambat mekonium keluar.
6. Anus atresia
a. Tidak tampak lubang anus, hanya didapatkan anal dimple
b. Tidak didapatkan fistula
c. Pada foto invertografi tampak ujung buntu rectum terletak tidak lebih satu
sentimeter dari marker anal dimple
B. Kelainan letak tinggi (Supra levator) :
1. Anus atresia :
a. Tidak tampak lubang anus, hanya didapatkan anal dimple
134
135
136
Anoplasty
Consider PSRAP with or
without colostomy
137
Sacrum
Spinal U/S
Cardiacecho
DAFTAR PUSTAKA
1. Filston, H. C. Imperforate anus. : Surgical problems in children, recognition and
referral, C.V.Mosby St.Louis, 1982, p.97
2. Cook, R.C.M. at al : Anorectal malformations. Neonatal Surgery, 2nd. Ed
Butterworths. London 1979, p. 457.
3. Ravitch. M.M. et al. Rectu and anus, Imperforate anus in Pediatric Surgery. Year
Books Publ. Chicago, 1962, p. 821-636.
4. James Lister. Irene M. Irving : Neonatal Surgery, 3rd edButterworths, 1990,
p.547.
138
PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
BATASAN
Penyakit hirschsprung adalah suatu penyakit yang diakibatkan tidak adanya /
tidak terbentuknya sel-sel ganglio saraf parasimpatis mienterikus di dinding segmen
usus (tersering pada kolon distal atau anorektal).
PATOFISIOLOGI
Akibat tidak terbentuknya sel-sel ganglion parasimpatis mienterikus Auerbach dan
Meissner pada dinding usus, maka gelombang peristaltic daerah aganglioner
tersebut terganggu, sehingga aktifitas saraf simpatis pada daerah yang agangliner
dominan. Hal ini mengakibatkan usus menjadi spasme yang akhirnya mengganggu
fungsi usus tersebut. Feses tidak dapat melewati usus yang spasme, dan
menumpuk di proksimal. Usus bagian proksimal ini akan menyebabkan dilatasi,
hipertrofi, odematus hingga dapat terjadi enterokolitis.
GEJALA KLINIS
1. Pada Neonatus :
a. Terlihat mekonium terlambat ke luar. Mekonium normal akan ke luar pada 24
jam pertama kelahiran
b. Sembelit dengan perut yang membuncit serta muntah kehijauan, atau tanda
retensi cairan lambung bila sudah terpasang pipa lambung sebelumnya.
c. Pada waktu colok dubur, jari ditarik maka udara beserta feses akan ke luar
menyemprot dan obstruksi pada abdomen hilang.
2. Pada Anak :
a. Gangguan defekasi dan pola buang air besar tidak teratur, atau setiap kali
buang air besar harus dibantu dengan pencahar dan sering harus
memanipulasi anus agar feces yang keras dapat ke laur.
b. Perut membuncit, kurus dan pertumbuhan yang terlambat
PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
1. Colok dubur :
Teraba sfingter ani tonus normal, ampula recti kosong dan teraba feces yang
keras di sebelah proximal (rectosigmoid).
Colok dubur pada bayi, saat jari dicabut ke luar feces dan gas yang menyemprot
dan abdomen menjadi kempis
139
2. Radiologis
a. Foto polos abdomen : Sebaiknya dibuat sebelum colok dubur, didapatkan
gambaran :
- Obstruksi ileus dengan kolon dilatasi hebat
- Pada anak yang lebih besar didapatkan tumpukan fekal material yang
banyak
- Tidak didapatkan udara pada sigmoid (dalam rongga pelvis)
b. Foto dengan kontras (Barium enema)
- Tampak segmen aganglioner yaitu bagian yang menyempit, sedangkan
bagian yang melebar adalah bagian yang berganglion. Bagian yang
menyempit ini meyerupai ekor tikus (rat tail).
- Perbatasan antara segmen yang aganglioner dengan segmen ganglioner
disebut zona transisional. Zona ini pada foto tampak sebagai usus yang
terbentuk seperti corong, yaitu bagian yang mungkin jumlah sel sarafnya
normal tetapi immature atau sel-sel sarafnya matur, akan tetapi jumlahnya
tidak banyak.
- Bila segmen aganglioner ini panjang maka terlihat gambaran seperti
bergerigi yang diakibatkan disritma otot-otot usus.
- Pada segmen kolon yang dilatasi dapat dijumpai gambaran sarang lebah
(honey comb) yang berarti sudah terjadi entero colitis.
- Foto post evacuasi setelah 24-48 jam masih terlihat adanya sisa kontras.
3. Pemeriksaan Manometri Rektum :
Dilakukan pengukuran tekanan intra luminal. Pada segmen yang aganglioner
tekanan intra luminarnya lebih tinggi dibanding dengan kolon yang berganglioner
4. Pemeriksaan Biopsi :
Pemeriksaan histologist dinding rectum yang dicurigai aganglioner
a. Histopatologi : Yaitu pemeriksaan dengan cara melakukan eksisi dinding
rectum (cara Swenson)
b. Histokhimia : Yaitu pemeriksaan biopsy aspirasi mukosa rectum, kemudian
dilakukan pengecatan sehingga dapat melihat aktivitas acetylcholine
esterase (cara Noblett).
Diagnosis penderita penyakit hirschsprung dapat ditentukan dengan
pemeriksaan klinis, foto polos abdomen dan barium enema. Bila pada
pemeriksaan klinis dan radiologis tersebut didapatkan keraguan, maka
pemeriksaan harus dilanjutkan dengan pemeriksaan hispatologis.
140
DIAGNOSIS BANDING
1. Mekonium ileus (pada bayi baru lahir)
2. Rektum stenosis
3. Tumor rongga pelvis yang menekan rectum
4. Konstipasi idiopatik
KOMPLIKASI
1. Konstipasi
2. Enterokolitis
3. Malnutrisi
4. Perforasi kolon
PENATALAKSANAAN
1. Bila segmen aganglionernya kurang dari satu sentimeter dilakukan konservatif,
yaitu diperlukan pencahar secara periodic bila buang air besar.
2. Bila segmen aganglionernya lebih dari satu sentimeter dan kurang dari dua
sentimeter, maka diperlukan miektomi posterior.
3. Bila segmen aganglionernya panjang (lebih dari 2 sentimeter)
a. Tindakan awal : urgen sigmoidostomi, baik double barrel atau single barrel
sesuai dengan kemampuan operator
b. Tindakan definitive : tindakan operasi reseksi dan tarik terobos (pull trough)
dengan macam teknik sesuai dengan kemampuan operator.
4. Perawatan pasca operasi sangat penting untuk menghindari komplikasi lanjut
yaitu : rectum stenosis dan enterokolitis pasca operasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jemes Lister. Irene M.Irving : Neonatal Surgery 3th.Ed. Butterworths. London
1990. p. 523.
2. John G. Raffensperger : Swensons Pediatric Surgery. 5th. Ed. Appleton & Lange,
Connecticut. 1990. p. 555.
141
ATRESIA ESOFAGUS
BATASAN
Atresia esophagus merupakan kelainan bawaan, sebagian segmen esophagus tidak
terbentuk atau tidak sempurna dengan atau tanpa fistula dengan trachea.
PATOFISIOLOGI
Atresia esophagus terjadi karena gangguan pertumbuhan esophagus dalam
kehidupan embrio 3-6 minggu dengan sebab yang tidak jelas. Bila terjadi kegagalan
penutupan celah laringo-trakheal maka dapat menimbulkan atresia esophagus
dengan atau tanpa fistula ke trachea.
PATOLOGI :
Ada lima macam bentuk kelainan
Klasifikasi
Klasifikasi
Gambar
Prosentase
Gross
Vogt
7%
3a
2%
3b
85 %
3c
3%
3%
tracheofistula
(H-type fistula)
142
GEJALA KLINIS
1. Perawatan prenatal : Ada riwayat hidramnion pada ibu
2. Perawatan antenatal : Terlihat keluar air liur yang berlebihan dari mulut.
3. Bila bayi diberi minum akan tersedak, batuk hingga sianosis.
4. Aspirasi pneumoni.
5. Pasang pipa lambung (NGT) ukuran besar (no : 10F). Bila bayi dengan atresia
esophagus, maka NGT tidak bisa masuk hingga lambung, atau hanya bisa
masuk kurang dari 10 cm dari batas gusi depan.
6. Atresia esophagus sering disertai kelainan lain : VATERR : yaitu : V-ertebra, Anal, T-rakhea, E-sofagus, R-adial, R-enal anormaly.
CARA PEMERIKSAAN
1. Klinis
2. Foto polos thorak abdominal didapatkan gambaran :
a. Pipa lambung berhenti atau berbelok ke atas.
b. Terlihat udara dalam lambung dan usus :Berarti terdapat fistula tracheal
esophagus
c. Bila tidak ada udara dalam lambung dan usus lainnya, brarti tidak ada fistula
antara esophagus dengan trachea.
3. Esofagografi dengan kontras dilanjutkan hanya bila dicurigai trachea esophagus
dengan fistula tipe D dan E.
DIAGNOSIS BANDING
1. Gangguan pernafasan akibat sebab lain
2. Stenosis esophagus
3. Obstruksi usus lebih distal : muntah mengandung asam lambung atau asam
empedu dan timbul lebih lambat serta NGT dapat mudah masuk sampai
lambung.
PENYULIT
1. Aspirasi hingga terjadi pneumoni
2. Dehidrasi hingga gangguan elektrolit
PENATALAKSANAAN
1. Pertolongan pertama
a. Pasang pipa lambung dan lakukan penghisapan terus menerus (stump
suction)
143
b. Letakkan penderita dalam incubator dengan posisi kepala dan leher lebih
tinggi dengan kepala menoleh ke kanan atau ke kiri (TEF tipe C,D,E). Tipe A
dan B bayi ditidurkan dalam posisi kepala dan leher lebih rendah dari badan
(head down)
c. Pasang infus
2. Persiapan pembedahan
a. Koreksi gangguan cairan, elektrolit
b. Buat foto polos thorakoabdominalis
c. Berikan antibiotic
d. Siapkan darah
e. Evaluasi penderita berdasarkan KRITERIA WATERSTON
- Kriteria A : Bila berat badan lebih atau sama dengan 2,5 kg dengan
keadaan umum yang baik.
- Kriteria B1 : Bila berat badan 1,8 kg 2,5 kg dengan keadaan umum
baik.
- Kriteria B2 : Bila berat badan lebih atau sama dengan 2,5 kg dengan
pneumoni sedang atau ada kelainan bawaan lain.
- Kriteria C1 : Bila berat badan kurang dari 1,8 kg.
- Kriteria C2 : Semua berat badan dengan pneumoni berat dengan atau
kelainan bawaan lain yang berat.
3. Pembedahan
a. Penderita kriteria A : dilakukan anastomosis primer dan gastrostomi segera.
b. Penderita B1, B2 dan C1 segera dilakukan gastrostomi dan jejunostomi
feeding trans pylorus dengan general anestesi, kemudian perbaiki keadaan
umum hingga optimal untuk dilakukan anastomosis,
c. Penderita dengan criteria C2 lakukan gastrostomi dan jenunostomi feeding
dengan local anestesi, kemudian perbaiki keadaan umum hingga optimal
untuk dilakukan operasi definitive.
DAFTAR PUSTAKA
1. Filston, H C. Surgical problems in Children, recognition and refeal, C.V
Mosby. St. Louis. 1982
2. Ravitch, M. M. et. Al. Congenital Esophagus atresia and Tracheo Esophageal
Fistula in Pediatric Surgery : Year Books Medical Publ. Chicago, 1962, p.
266-288.
144
INTUSSUSCEPTION
BATASAN
Intususepsi (intussusceptions) adalah suatu keadaan segmen usus proximal
mengalami invaginasi (masuk) ke dalam usus segmen distal.
PATOFISIOLOGI
Biasanya sebagian besar kasus ileum dan mesentrium masuk ke sekum hingga
kolon. Bagian ujung usus yang masuk disebut intususeptum, sedangkan bagian
pangkal usus yang masuk akan terjepit dan mesentriumnya tertarik. Keadaan ini
menyebabkan obstruksi usus dan gangguan aliran darah arteri, venus dan saluran
limfe. Akibat obstruksi ini terjadi mukosa edema, yang selanjutnya menyebabkan
strangulasi, kemudian nekrosis dan perforasi. Dalam penelitian keadaan invaginasi
ini menyebabkan nekrosis setelah 48 jam tanpa pengobatan. Sebagian besar
etiologi intususepsi nonspesifik, hanya ebagian kecil saja ada penyebabnya, yaitu
divertikel Meckel, polip, duplikatur usus. Dikatakan nonspesifik karena banyak factor
yang mungkin sebagai penyebab, antara lain : perubahan makanan, diare, infeksi
virus yang menyebabkan pembesaran kelenjar pada mesentrium iliokalica, sehingga
menyebabkan gangguan paristaltis usus.
GEJALA KLINIS
1. Nyeri perut
Sifatnya mendadak pada bayi usia sekitar 3-9 bulan. Bayi menjadi rewel, gelisah,
menangis keras dan teriak-teriak. Nyeri perut ini bersifat kolik.
2. Muntah
Muntah dapat terjadi sejak awal, pada awalnya tumpahan jernih makin lama
bersifat fekal.
3. Berak darah dan lendir :
Gejala ini sangat klasik akibat laserasi mukosa.
4. Adanya massa (sausage-shaped mass) yang biasanya berlokasi di upper mid
abdomen sesuai dengan lokasi intususepsinya
PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
1. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi :
a. Kadang-kadang dapat dilihat gambaran usus/peristaltis usus pada dinding
perut
145
146
DAFTAR PUSTAKA
1. Filston, H.c. : Surgical Problems in Children. The CV Mosby Co. 1982, p. 209
2. Reffensperger, J.G : Swenson Pediatric Surgery, 5th. Ed. Applenotn and
Lange. 1990, p. 221.
147