Konsep Dasar Tentang Negara

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

KONSEP DASAR TENTANG NEGARA

Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing state (Inggris),
staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis) yang secara terminologi negara
diartikan sebagai organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang memiliki
cita cita untuk bersatu, hidup didalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan
yang berdaulat.
Tujuan dari suatu negara yaitu diantara nya:
a. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan
b. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum
c. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum
Dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tiga unsur penting yang harus dimiliki suatu negara yaitu :
a. Rakyat dalam pengertian nya adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan
oleh rasa persamaan dan bersama sama mendiami suatu wilayah tertentu.
b. Wilayah adalah unsur negara yang harus terpenuhi karena tidak mungkin ada
negara tanpa ada batas-batas teritorial yang jelas.
c. Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi
negara umtuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintah
melalui aparat dan alat alat negara yang menetapkan hukum, melaksankan
ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dlam rangka mewujudkan
kepentingan warga negara nya yang beragam.
d. Pengakuan negara lain bersifat menerangkan tentang ada nya negara. Hal ini
hanya bersifat deklaratif bukan konstitutif sehingga tidak bersifat mutlak. Ada
dua jenis pengakuan suatu negara yaitu:
- Pengakuan de facto, ialah pengakuan atas fakta adanya negara ( meliputi
-

wilayah, rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat).


Pengakuan de jure, merupakan pengakuan akan sah nya suatu negara atas
dasar pertimbangan yuridis menurut hukum.

PERAN

NEGARA

DEMOKRATIS

DALAM

MEMBANGUN

KEHIDUPAN

Dalam konsep tentang negara pengertian negara itu sendiri identik dengan hak dan
wewenang. Dimana dalam hal ini hak dan wewenang itu dapat membuat Negara
mempunyai kuasa tertentu untuk menjalankan Dasar Negaranya.
Sedangkan tujuan dari negara adalah sebagai berikut :
-Bertujuan untuk memperluas kekuasaan
-Bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum.
-Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dari hal-hal yang di jabarkan diatas dapat disimpulkan bahwa negara mempunyai
kuasa untuk menjalankan pemerintahannya sesuai dasar negara yang di cita-citakan dan
juga harus memenuhi kewajibannya untuk memenuhi hak-hak rakyatnya sesuai
konstitusi yang berlaku di negara tersebut.
Sistem demokrasi terbentuk dari Teori Kontrak Sosial yang dicetuskan oleh Jean
Jacques Rousseau (1712-1718) dimana menurut pandangannya bahwa keberadaan suatu
negara bersandar pada perjanjian warga negara untuk mengikatkan diri dengan suatu
pemerintah yang dilakukan melalui organisasi politik. Menurutnya, pemerintah tidak
memiliki dasar kontraktual, melainkan hanya organisasi politiklah yang dibentuk
melalui kontrak. Pemerintah sebagai pimpinan organisasi negara dibentuk dan
ditentukan oleh yang berdaulat dan merupakan wakil-wakil dari warga negara. Yang
berdaulat adalah rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya. Pemerintah tidak lebih
dari sebuah komisi atau pekerja yang melaksanakan mandat bersama tersebut.
Melalui pandangannya ini, Rousseau dikenal sebagai peletak dasar bentuk negara yang
kedaulatannya berada ditangan rakyat melalui perwakilan organisasi politik mereka.
Dengan kata lain rakyat berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanyalah merupakan
wakil-wakil rakyat pelaksana mandat bersama.
Dari teori kontrak sosial yang dicetuskan Jean Jacque Rousseau terlihat bahwa
rakyatlah yang berdaulat, rakyatlah yang memilih wakil-wakil pemerintahannya, dan
pemerintah adalah pekerja untuk menjalankan mandat rakyat teresbut.
Disini terlihat bagaimana peran negara untuk membangun kehidupan demokrasi,
sebenarnya negara hanya perlu menjalankan apa yang dimandatkan oleh rakyat dengan
sebenar-benarnya untuk menjaga dan menumbuhkan kehidupan Demokratis di negara
tersebut. Karena asal dari pemerintahan dari negara itu sendiri terbetntuk dari kehidupan
demokratis warga negaranya sebelum naiknya pemerintahan tersebut.

Lalu bagaiman dengan NKRI ? Berdirinya negara Indonesia bersandar pada


semangat kebersamaan seluruh komponen bangsa yang memiliki kesamaan pengalaman
senasib dan seperjuangan sebagai bangsa terjajah. Semangat inilah yang melahirkan
rasa persatuan dan kesatuan di kalangan tokoh kebangsaan Indonesia untuk kemudian
bersepakat (gentleman agreement) untuk membentuk sebuah negara kesatuan dalam
bentuk republik yang berdasarkan prinsip-prinsip negara modern yang tidak
berdasarkan atas suatu keyakinan (agama), kesukuan, kedaerahan, dan unsur-unsur
primordial lainnya. Hal ini terbukti dalam pembukaan UUD 1945 dan dasar negara
Indonesia Pancasila yang bersifat inklusif dan terbuka.
Di sini terlihat bahwa demokrasi Indonesia terbentuk dari berbagai keragaman
agama, suku, dan daerah yang bersatu karena perasaan senasib. Inilah yang
melandaskan dasar negara Bangsa Indonesia sebagai demokrasi yang mempersatukan.
Sehingga keberagaman ini di anggap sebagai sikap inklusif dan toleran terhadap
kemajemukan Indonesia.
Negara Indonesia wajib untuk menjaga sifat persatuaan ini dengan baik. Agar
demokrasi dapat terlaksana dengan baik. Keberagaman ini harus di kawal agar jangan
terjadi Disintegrasi antara warga negara dimana penduduk mayoritas yang terdiri dari
suatu individu atau kelompok memaksakan kehendaknya terhadap individu atau
kelompok yang lain.
Negara dan agama, melalui kekuatan masyarakat sipilnya adalah dua komponen
utama dalam proses membangundemokrasi di Indonesia yang berkeadaban. Dua
komponen ini memiliki peluang yang sama sebagai komponen strategis bagi
pembangunan karakter bangsa dan demokrasi Indonesia. Salah satu dari pembangunan
karakter demokrasi ini adalah melalui proses membangun kepercayaan (trust) di antara
sesama warga negara maupun antar warga negara dan negara.

TEORI PEMBENTUKAN NEGARA


1. TeoriKontrakSosial (Social Contract)

Teori kontrak social atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara di
bentuk berdasarkan perjanjian perjanjian masyarakat dalam tradisi social masyarakat.
Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara tirani, karena
keberlangsungannya bersandar pada kontrak kontrak social antara warga negara
dengan lembaga negara.
Penganut teori kontrak social :
a. Thomas Hobbes (1588-1679)
Kehidupan manusia terpisah dua zaman, yakni keadaan selama belum ada negara,
atau keadaan alamiah dan keadaan setelah ada negara.Keadaan alamiah merupakan
keadaan social yang kacau, tanpa hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan social
antar individu didalamnya. Karenanya dibutuhkan kontrak social.
b. John Locke (1632-1704)
Keadaan alamiah menurut John Locke adalah keadaan yang damai, penuh
komitmen baik, saling menolong dalam masyarakat. Meskipun demikian, hal
tersebut

tetap

berpotensi

memunculkan

kekacauan

karena

tidak

adanya

kepemimpinan. Karenanya negara mutlak didirikan dan dibutuhkan kontrak social.


c. J.J Rousseau (1712-1778)
Keberadaan suatu negara bersandar pada perjanjian warga negara untuk mengikat
diri dengan pemerintah yang dilakukan melalui organisasi politik. Pemerintah
sebagai pemimpin organisasi negara dibentuk dan ditentukan oleh yang berdaulat dan
merupakan wakil wakil dari negara. Pemerintah tidak lebih dari sebuah komisi
yang melaksanakan mandate bersama.
Rousseau dikenal sebagai peletak dasar negara yang kedaulatannya ditangan
rakyat melalui organisasi politik mereka. Juga dikenal sebagai penggagas paham
negara demokrasi yang bersumberkan pada kedaulatan rakyat, yakni rakyat berdaulat
dan penguasa negara hanyalah wakil rakyat pelaksana mandat bersama.

2. Teori Ketuhanan (Teokrasi)


Teori ketuhanan yang dikenal dengan doktrin teokratis merupakan doktrin yang
memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki para raja berasal dari Tuhan.
Paham teokrasi islam berkembang menjadi paham bahwa dalam islam tidak ada
pemisahan antara agama (church) dan negara (state). Berbeda dengan islam, Barat
Kristen secara umum mampu memisahkan antara kekuasaan gereja dan negara.

Keberhasilan ini biasa disebut dengan istilah sekularisasi, atau pemisahan antara agama
(gereja) dan negara (state).
Semakin berkembangnya peradaban manusia, pertanggung jawaban politik pun
mengalami perubahan sesuai tuntutan zaman. Mekanisme pertanggung jawaban public
dalam system demokrasi selanjutnya dikenal dengan istilah pelaksanaan fungsi saling
mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan yang disebut dengan istilah check
and balance.
Pengaruh sistem demokrasi terhadap dunia tidak sepi dari pertentangan dan
kerisauan di kalangan umat islam. Menurut Ghanou shijika demokrasi adalah sebuah
system pemerintahan liberal yang memberikan kebebasan bagi rakyat untuk memilih
pemimpin dan wakil mereka di parlemen sebagai cara peralihan kekuasaan,
sebagaimana kebebasan public dan perlindungan atas hak asasi manusia, maka tidak ada
urusan bagi umat islam dengan agama mereka untuk menolak demokrasi yang berlaku
di Barat.
3. Teori Kekuatan
Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya
dominasinegara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi
pembenaran dari terbentuknya sebuah negara. Melalui penaklukan satu kelompok atas
kelompok lainnya kemudian menjadi proses awal pembentukan suatu negara.
Teoriter bentuknya negara diatas kurang tepat pada pembentukan NKRI pada 1945.
Berdirinya negara Indonesia bersandar pada semangat kebersamaan seluruh komponen
bangsa yang memiliki kesamaan pengalaman senasib dan seperjuangan sebagai bangsa
terjajah. Semangat ini yang membentuk kesepakatan untuk membentuk sebuah negara
kesatuan dalam bentuk republik yang berdasarkan prinsip prinsip negara modern yang
tidak berdasarkan atas suatu keyakinan (agama), kesukuan, kedaerahan, dan unsur
unsur primordial lainnya. Hal ini terbukti dalam pembukaan UUD 1945 dan dasar
negara Indonesia Pancasila yang bersifat inklusif dan terbuka.

PENGALAMAN RELASI NEGARA DAN AGAMA (ISLAM) DI


INDONESIA DI MASA ORDE BARU DAN SETELAHNYA

Munculnya kekuasaan Orde Baru yang berpusat pada Presiden Soeharto melahirkan
babak baru hubungan Islam dan negara di Indonesia. Hubungan antara keduanya secara
umum dapat digolongkan ke dalam dua pola : antagonis dan akomodatif. Hubungan
antagonis merupakan sifat hubungan yang mencirikan terjadi saling mencurigai,
sedangkan akomodatif menunjukkan kecenderungan saling membutuhkan antara
kelompok Islam dan Orde Baru.
Sikap curiga dan kekawatiran terhadap kekuatan Islam membawa implikasi terhadap
keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi
(pendangkalan dan penyempitan) gerak kekuatan politik Islam, baik semasa orde lama
mauoun awal-awal pemerintahan Presiden Soeharto. Keinginan para pemimpin dan
aktivis politik Islam di era 40 dan 50 yang berjuang hendak menjadikan Islam sebagai
ideologi dan/atau agama negara masih menyisahkan kecurigaan neara di era-era
selanjutnya. Kuatnya kecurigaan pemerintahan Orde Baru terhadap kekuatan umat islam
telah menempatkan kekuatan Islam sebagai kelompok minoritas atau di luar negara.
Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan Islam dan
pemerintahan Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik
Presiden Soeharto yang dinilai positif bagi umat Islam.Pengasahan RUU Pendidikan
Nasional, penesahan RUU Peradilan Agama, pembolehan jilbab bagi siswi Muslim di
sekolah umu, kemunculan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (IMCI),
dan lahirnya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang langsung dipimpin oleh
Presiden Soeharto merupakan indikator adanya hubungan akomodatif yang dilakukan
elit penguasa Orde Baru yang dijatuhkan oleh gerakan reformasi pada tahun 1998.
Peran agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sangat
strategis bai proses transformasi dan substansialisasi demokrasi di Indonesia.
Kesuksesan Indonesia dalam berdemokrasi ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari
karakter ideologi negara Pancasila yang fleksibel dan akomodatif terhadap perubahan
mainstream politik global di mana demokrasi menjasi wacan dan prosedur utamanya.
Kontribusi Islam dan Pancasila terhadap proses demokratisasi sepanjang era reformasi
ini telah berbuah positif bagi posisi Indonesia di mata dunia sebagai negara Muslim
paling demokratis di dunia Muslim dan menempati peringkat ketiga sebagai negara
demokratis di dunia setelah Amerika Serikat dan India.

Dalam konteks konsolidasi demokrasi setelah lengsernya Orde Baru yang otoriter,
umat Islam seyoyanya memandang dan menjadikan kesepakatan di antara kalanan
nassionalis sekuler dan nasionalis Muslim untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar
negera NKRI sebagai komitmen kebangsaan yang harus tetap dijaga dan dipertahankan
sampai kapan pun.
Bersandar pada komitmen kebangsaan tersebut adalah tidak relevan, bahkan
ahistoris, jika masih dijumpai segelintir individu mauoun kelompok dalam umat Islam
yang hendak mengusung gagasan atau ide negara agama. Hal ini selain tidak sejalan
dengan prinsip kebhinekaan dan demokrasi, tetapi juga menghianati kesepakatan para
pendiri bangsa yang di antara mereka adalah para tokoh umat islam yang telah
disebutkan di atas.
Untuk mewujudkan pola hubungan yan dinamis antara agama dan negara di
Indonesia, pemerintah dan masyarakat harus mengedepankan cara-cara dialogis
manakala terjadi perselisihan pandangan antara keduanya. Untuk menopang tumbuhnya
budaya dialog, negara sebagai komponen penting di dalamnya harus tetap menjaga
prinsip-prinsip demokrasi, seperti kebebasan pers, kebebasan berorganisasi,
kebebasan,berbicara dan mengeluarkan pendapat.
Negara dan agama, melalui kekuatan masyarakat sipilnya adalah dua komponen
utama dalam proses membangun demokrasi di Indonesia yang berkeadaban. Dua
komponen ini memiliki peluang yang sama sebagai komponen strategis bagi
pembangunan karakter bangsa dan demokrasi Indoneisa. Salah satu dari pembangunan
karakter demokrasi ini adalah melalui proses membangun kepercayaan di antara sesama
warga negara maupun antara warga negara dan negara.

PARADIGMA DAN POLA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA


Hubungan agama dan negara dalam konteks dunia Islam masih menjadi perdebatan
yang intensif di kalangan para pakar Muslim hingga kini. Berbaai eksperimen telah
dilakukan untuk menyelaraskan antara din(agama) dan dawlah(negara) dengan
konsepdan kultur politik. Politik masyarakat Muslim. Seperti halnya percobaan

demokrasi di sejumlah negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah di banyak negaranegara Muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan wacana demokrasi di
kalangan negara-negara Muslim dewasa ini semakin menambah maraknya perdebatan
Islam dan negara.
Perbedaan Islam dan negara erangkat dari keyakinan di kalangan umat Islam bahwa
Islam adalah sebuah agama yang lengkap dan menyeluruh (kaffah). Artinya Islam
sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (ssyumuli), yang mengatur semua
kehidpuan manusia, tidak saja mengandung dimensi hubungan antara seorang hamba
denan Allah atau aspek ritual (ibadah), tetapi kuga menandung ajaran tentang hubungan
antara sesama manusia. Unsur terakhir ini termasuk di dalamnua hal-hal terkait dengan
politik dan ketatanegaraan.
Hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan ke dalam
tia pandangan : integralistik, simbiotik, dan sekularistik.
1. Paradigma Integralistik
Paradigma Integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi Islam.
Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pergulatan Islam dan negara modern, pola
hubungan integratif ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang
berarti bahwa kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip agama.
Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh negara Kerajaan Saudi Arabia dan
penganut paham Syiah di Iran.
2. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan aama dan negara berada pada posisi salin
membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam pandangan ini,
agama membutuhkan negara sebgaia instrumen dalam melestarikan dan
mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama
sebagai sumber moral, etika ,dan spiritualitas. Agama tidak mendominasi kehidupan
bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan kepada
paradima ini.

3. Pardima Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan
negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak
boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah publik. Sementara aama
merupakan wilayah pribadi masing-masing warga negara. Neagara Turki modern dapt
digolongkan ke dalam paradigma ini.

Anda mungkin juga menyukai