Referat Airway Management

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

AIRWAY MANAGEMENT

Pembimbing:
dr. Indra K. Ibrahim, Sp.An
Disusun oleh:
Fenny Florencia A (2014-061-105)
Agatha Kristanti (2014-061-106)

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
RSUD R. SYAMSUDIN, SH
PERIODE 21 MARET 2016 -23 APRIL 2016
Manajemen jalan nafas adalah teknik yang esensial dalam praktek anestesi.
ANATOMI

Jalan nafas atas terdiri dari faring, hidung, mulut, laring, trakea, dan
bronkus. Mulut dan faring juga merupakan bagian atas dari traktus
gastrointestinal. Laring merupakan bagian untuk mencegah aspirasi ke dalam
trakea.
Terdapat dua bukaan ke jalan nafas manusia, yaitu hidung yang terbuka ke
nasofaring dan mulut yang terbuka ke orofaring. Jalan ini terpisah secara anterior
oleh palatum tetapi bergabung posterior di bagian faring.

Faring berbentuk U merupakan struktur fibromuskular yang memanjang dari


dasar tengkorak ke kartilago crcoid pada jalan masuk menuju esofagus. Ini
membuka secara anterior kedalam rongga hidung, mulut dan laring, nasofaring,
orofaring dan laringofaring. Nasofaring terpisah dari orofaring oleh bentuk
imajiner yang memanjang ke posterio. Pada dasar lidah, epiglotis secara
fungsional memisahkan orofaring dari laringofaring (hipofaring). Epiglotis
mencegah aspirasi dengan menutupi glotis (pembukaan laring) selama
mengunyah. Laring merupakan kartilago yang disangga oleh ligamen dan otot.
Laring terdiri dari sembilan kartilago: tiroid, cricoid, epiglotis, dan arytenoid,
corniculata, dan cuneiform. Kartilago tiroid melindungi conus elasticus yang
membentuk vocal cord.

Persarafan sensorik pada jalan nafas atas berasal dari saraf cranialis.
Membran mukosa dari hidung dipersarafi oleh divisi ophtalmicus (V1) dari nervus
trigeminal

anterior (saraf ethmoidal anterior) dan oleh divisi maxilary (V2) posterior (saraf
sphenoplatine). Saraf palatina merupakan serat sensorik dari nervus trigeminus
(V) ke permukaan superior dan inferior palatum durum dan molle. Nervus
olfaktorius (nervus kranialis I) memepersarafi mukosa nasal untuk memberikan
sensasi bau. Nervus lingual (cabang divisi mandibular (V3) dari nervus
trigeminus) dan nervus glosofaringeus (N IX) memberikan sensasi secara umum
pada 2/3 anterior dan 1/3 posterior lidah. Cabang dari nervus facialis (VII) dan
nervus glosofaringeus memberikan sensari rasa ke area tersebut. Nervus
glosofaringeal juga mempersarafi atap faring, tonsil dan permukaan bawah
palatum mole. Nervus vagus memberikan sensasi udraa dibawah epiglotis.
Cabang laringeal superior dari vagus terbagi menjadi eksternal (motorik) dan
internal (sensorik) yang memberikan suplai sensorik ke laring diantara epiglotis
dan vocal cords. Cabang lain dari vagus, nervus larinegal rekuren mempersarafi
laring dibawah vocal cords dan trakea.

Otot laring dipersarafi oleh nervus laringeus rekuren dengan penegcualian


otot cricotiroid, yang mana dipersarafi oleh nervus laringeus external (motorik),
cabang nervus laringeus superior. Otot cricoaritenoid posterior mengabduksi vocal
cord, sedangkan otot cricoaritenoid lateral merupakan aduktor.
Phonasi

melibatkan aksi complex simultan oleh beberapa otot laringeal.

Kerusakan pada saraf motorik yang memeprsarafi laring menyebabakan gangguan


berbicara. Denervasi unilateral dari otot cricothyroid menyebabkan manifestasi
klinis ringan. Palsy bilateral dari nervus laringeus superior menyebabakan
hoarseness atau mudah lelah saat mengeluarkan suara tetapi tidak mengganggu
pernafasan.

Paralisis unilateral dari nervus laringeus rekuren menyebabkan paralisis


ipsilateral vocal cord , menyebabakan perubahan kualitas suara. Pada nervus
laringeus superior yang intak, palsy nervus laringeal rekuren bilateral akut dapat
menghasilkan stridor dan distres nafas karena adanya tension pada otot
cricothyroid. Masalah jalan nafas jarang terjadi pada hilangnya nervus laringeal
rekuren bilateral kronis karena adanya mekanisme kompensasi (contohnya atrofi
muskulus laringeal).
Kerusakan bilateral nervus vagus mempengaruhi nervus laringeal rekuren
dan superior . denervasi vagal bilateral menyebabkan flaccid, midposisi vocal
cord serupa setelah pemberian suksinilcolin. Meskipun phonasi bermasalah cukup
berat, tetapi gangguan jalan nafas jarang merupakan amslaah.
Aliran darah dari laring berasal dari cabang arteri tiroid. Arteri cricotiroid
berasal dari arteri tiorid superior sendiri, cabang pertama yang berasal dari arteri
carotis eksterna, dan menyebrangi membran cricotiroid atas (CTM), yang meluas
dari kartilago cricoid ke kartilago tiroid. Arteri tiorid superior ditemukan
sepanjang lateral dari CTM.
Trakea dimulai dari kartilago cricoid dan memanjang ke carina, ke titik
yang mana bronkus utama kanan dan kiri terbagi. Bagian anterior trakea terdiri
dari cincin kartilago, posterio terdiri dari membran.

MANAJEMEN JALAN NAFAS RUTIN


Manajemen jalan nafas rutin berhubungan dengan anestesi umum terdiri dari:

Penilaian jalan nafas


Persiapan dan penegcekan peralatan
Posisi pasien

Preoksigenasi
Bag and mask ventilation (BMV)
Intubasi (jika diindikasikan)
Konfirmasi peletakan endotracheal tube
Manajemen intraoperatif dan penyelesaian masalah
Ekstubasi

PENILAIAN JALAN NAFAS


Penilaian jalan nafas adalah langkah pertama dalam manajemen jalan nafas yang
sukses. Beberapa manuver fungsional dan anatomical dapat dilakukan untuk
memeperkirakan kesulitan intubasi endotrakeal; meskipun, merupakan hal yang
penting untuk diingat bahwa ventilasi yang sukses (dengan atau tanpa intbasi)
harus dicapai oleh anestetis jika ingin mortalitas dan morbiditas dihindari,
penilaian meliputi:

Pembukaan mulut: jarak incisor 3cm atau lebih pada dewasa


Test gigit bibir atas: gigi bawah dibawa ke depan gigi atas. Jarak sampai
mana ini dapat dilakukan menggambarkan jarak pergerakan sendi

temporomandibular.
Klasifikasi malampati: test yang sering untuk menilai ukuran lidah dalam
rongga mulut. Semakin besar lidah yang mengobstruksi penampakan
struktur faring, semakin susah intubasi.

I: seluruh arkus faring, termasuk pilar bilateral dapat terlihat


samapi ke dasar
II: bagian atas dari pilar faring dan sebagian uvula terlihat.

III: hanya palatum durum dan mole yang terlihat


IV: hanya palatum durum terlihat
Jarak thyromental: jarak diantara mentum dan tonjolan torid superior.

Jarak yang diharapkan lebih dari 3 jari.


Lingkar leher: lebih dari 27 sugestif adanya kesulitan di visualisasi

pembukaan glotis.
Penemuan ini tidak sensitif untuk deteksi intubasi sulit, sedangkan absens dari
penemuan ini prediktif untuk intubasi yang relatif mudah.
Pasien dengan obesitas atau BMI lebih dari sama dengan 30kg/m2 meskipun
memiliki anatomi leher dan kepala yang normal, tetapi sebagian memiliki jarinagn
faringeal yang banyak dan peningkatan lingkar leher. Tidak hanya sulit di intubasi,
ventilasi rutin dengan bag mask juga problematik.
PERALATAN
Peralatan yang dibutuhkan dalam manajemen jalan nafas adalah:

Sumber oksigen
BMV
Laringoskop (direk dan video)
Beberapa ett dengan berbagai ukuran
Alat jalan nafas lain (oral dan nasal airway)
Suction
Oximetry dan deteksi CO2
Stetoskop
Tape
Monitor tekanan darah dan EKG
Akses intravena

JALAN NAFAS ORAL DAN NASAL


Kehilangan tonus otot jalan nafas atas (ex: kelemahan dari otot genioglosus) pada
pasien yang dianestesia menyebabakan lidah dan epiglotis jatuh ke belakang ke
dinding posterior faring. Reposisi kepala atau jaw thrust merupakan tekhnik yang
dipilih untuk membuka jalan nafas. Untuk mempertahankannya, jalan nafas
artifisial dapat dimasukkan lewat mulut atau hidung untuk mempertahakan aliran
udara diantara lidah dan dinding faring posterior. Pasien yang sadar atau
dianestesi ringan dengan refleks laring yang intak dapat batuk atau bahkan terjadi
laringospasme pada saat pemasangan. Peletakan jalan nafas oral kadang

difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang penekanan lidah
dengan spatula lidah. Jalan nafas oral dewasa berukuran kecil (80mm [guedel
no.3]), medium (90 mm [guedel no 4]), besar (100 mm[guedel no 5]).
Panjang jalan nafas nasal dapat diperkirakan dengan jarak dari nares ke
meatus telinga dan harus 2-4 cm lebih panjang dari jalan nafas oral. Karena resiko
epistaxis, jalan nafas hidung jarang pada pasien dengan antikoagulasi atau
trombositopeni. Jalan nafas hidung (dan nasogastric tube) seharusnya digunakan
dengan perhatian pada pasien fraktur tengkorak basilar, dimana terdapat laporan
kasus NGT memasuki kranial. Semua tube yang dimasukan lewat hidung harus
dilubrikasi sebelum memasuki jalan nafas.

DESAIN SUGKUP WAJAH DAN TEKNIK


Pengguanan sungkup wajah dapat memfasilitasi pemberian oksigen atau gas
anestesi dari breathing system ke pasien dengan membentuk airtight seal dengan
wajah pasien. Pinggiran dari sungkup berkontur sesuai dengan beragam jenis
wajah. Orificium 22 mm sungkup disambungkan dengan breathing circuit dari
mesin anestesi lewat right angle connector. Sungkup tranparan dapat digunakan
untuk mengobservasi udara humidifikasi ekshalasi dan muntah secara cepat. Kait
disekitar orificum dapat disambungkan dengan gantungan di kepala sehingga
masker tidak perlu dipegang terus menerus. Beberapa masker pediatri didesain
secaar spesifik untuk meminimalisir dead space.

Ventilasi sungkup efektif membutuhkan udara yang pas didalam masker


dan jalan nafas yang patent. Teknik sungkup yang tidak tepat dapat mengkibatkan
deflasi terus menerus dari reservoir bag anestesi ketika katup APL ditutup, yang
mengindikasikan adanya udara yang bocor disekitar masker. Sedangkan tekanan
sirkuit pernafasan yang tinggi dengan pergerakan dada yang minimal dan suara
nafas mengindikasikan jalan nafas atau tube yang terobstruksi.
Jika masker dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan dapat digunakan
untuk memberikan positive pressure ventilation dengan memompa breathing bag.
Sungkup diletakkan di wajah dengan memberikan tekanan di badan sungkup
dengan jempol kiri dan telunjuk kiri. Jari tengah dan jari manis memegang
mandibula untuk memberikan ekstensi sendi atlanto occipital. Tekanan jari harus
diberikan di tulang mandibula bukan dari jaringan lunak yang menyangga dasar
lidah, yang dapat mengobstruksi jalan nafas. Jari kelingking diletakkan dibawah
sudut dagu dan digunakan untuk mebuat dagu ke depan untuk memberikan
ventilasi ke pasien.
Pada posis sulit, dua tangan dapat digunakan untuk memberikan jaw thrust
yang adekuat dan memberikan segel sungkup. Asisten dapat memompa bag atau
dengan menggunakan ventilasi mekanik. Jempol menekan sungkup ke bawah dan
jari lain membawa dagu ke depan. PPV dengan sungkup harus dibatasi samapi
20cm H2O untuk mecegah inflasi lambung.

Ventilasi dengan sungkup dalam waktu lama dapat menyebabkan luka


tekanan pada cabang nervus trigeminus atau facialis. Mata harus di tutup dengan
selotip untuk meminimalisir resiko abrasi kornea.
POSISI
Ketika memanipulasi jalan nafas, posisi pasien yang tepat dibutuhkan. Alignment
oral dan faring dicapai dengan posisi sniffing. Ketika dicurigai patologi
cervical, kepala harus ada pada posisi netral. Stabilisasi leher harus dipertahankan.
Pasien obesitas harus diposisikan naik 30o, karena FRC memburuk pada posisi
supine.

PREOKSIGENASI
Ketika memungkinkan, preoksigenasi dengan sungkup wajah oksigen harus
mendahului semua intervensi manejemen jalan nafas. Oksigen diberikan via
masker selama beberapa menit sebelum induksi anestesi. Sehingga kapasitas
fungsional residual (FRC) dibersihkan dari nitrogen. Sampai 90% dari normal
FRC dari pemberian 2L preoksigenasi dipenuhi dengan oksigen. Dengan
kebutuhan oksigen 200-250 mL/menit, preoksigenasi memberikan cadangan 5-8
menit. Peningkatan durasi apneu tanpa desaturasi meningkatkan kemanan, jika
ventilasi setelah induksi terlambat. Kondisi yang meningkatkan kebutuhan
oksigen (sepsis, kehamilan) dan penuruanan FRC (obesitas, kehamilan)
mengurangi preiode apneu sebelum desaturasi muncul.
BAG AND MASK VENTILATION (BMV)

BMV adalah langkah pertama dalam manajemen jalan nafas pada kebanyakan
kasus, dengan pengecualian pasien akan diberikan intubasi cepat. Induksi sekuens
cepat menghindari BMV untuk menghindari inflasi lambung dan mengurangi
potensi untuk aspirasi isi gaster pada pasien tidak puasa dan pasien dengan
pengosongan lambung yang cepat. Jika jalan nafas patent, memompa bag akan
menghasilkan kenaikan dinding dada, bila inefektif (tidak ada kenaikan dada,
tidak ada deteksi CO2 end tidal, tidak ada embun di sungkup), oral atau nasal
airway dapat diletakkan untuk membebaskan jalan nafas dari obstruksi karena
jaringan faringeal. Ventilasi sungkup yang susah pada pasien dengan obesitas,
jambang, deformitas craniofacial.
SUPRAGLOTIC AIRWAY DEVICES (SAD)
SAD digunakan pada pasien yang bernafas spontasn atau dikontrol selama
anestesi. SAD terdiri dari tube yang disambungkan ke circuit pernafasan atau
breathing bag, yang disambungkan ke perangkat hipofaring yang mengunci dan
memberikan udara ke glotis, trakea, dan paru. Alat jalan nafas ini menutupi
esofagus dengan berbagai derajat, mengurangi distensi gas dari lambung.

LARYNGEAL MASK AIRWAY (LMA)


LMA terdiri dari tube berlubang

yang lebar yang akhir proksimalnya

berhubungan dengan circuit pernafasan dengan penghubung 15 mm, dan skhir


distalnya menempel dengan cuff elips yang dapat dikembangkan. Cuff yang
deflasi dilubrikasi dan dimasukkan ke hipofaring, sehingga ketika di inflasi
terbentuk segel dengan tekanan rendah disekitar jalan masuk laring. Ini
membutuhkan kedalaman anestesi dan relaksasi otot lebih tinggi dari yang
dibutuhkan untuk oral airway. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tetapi
tidak dari regurgitasi gaster), dan harus tetap di tempat sampai refleks jalan nafas
kembali. Hal ini ditandai oleh batuk dan terbukanya mulut dengan perintah.

Kontraindikasi relatif LMA termasuk patologi faringeal (abses), obstruksi


faring, perut yang penuh (kehamilan, hiatal hernia), komplians paru rendah
(penyakit jalan nafas restriktif) yang membutuhkan peak inspiratory presure lebih
besar dari 30 cm H2O. Berdasarkan penelitian terbaru, karena LMA tidak
diletakkan di trakea, penggunaan LMA berhubungan dengan bronkospasme yang
lebih kecil dibanding tracheal tube. LMA dapat digunakan pada pasien yang
memiliki jalan nafas yang sulit karena penggunaannya yang mudah. Sakit
tenggorokan salah satu efek yang mengikuti SAD.

ESOPHAGEAL-TRACHEAL COMBITUBE
Terdiri dari dua tube yang berfusi, setiap tube memiliki konektor pada akhir
proksimalnya. Maisng masing memiliki 100 ml cuff dan 15 ml cuff yang harus
dikembungkan. Bagian distal akan diletakkan di esofagus sehingga ventilaso dari
tube biru panjang akan memaksa udara keluar ke sisi perforasi dan kedalam
laring, sedangkan tube bening digunakan untuk dekompresi gaster
KING LARYNGEAL TUBE
Terdiri dari tube dengan balon esofagus yang kecil dan balon besar untuk
diletakkan di hipofaring.
ENDOTRACHEAL INTUBATION
TRACHEAL TUBE (TT)
Bentuk dan rigiditas dari TT dapat diubah dengan memasukkan stylet. Ujung dari
tube berbentuk miring untuk memberikan tambahan visualisasi dan kemudahan
untuk masuk lewat vocal cord. Terdapat murphy eye untuk menurunkan resiko
oklusi, terletak di carina atau trakea.

Resistensi pada jalan nafas bergantung pada diameter tube, tetapi juga oleh
panjang serta kuravtura. Ukuran TT biasanya didesain dengan diameter internal
dalam milimeter, atau skala French (diamter external dalam mm dikali tiga).
Pilihan diamter tube selalu berdasar pertimbangan maksimalisasi aliran dengan
ukuran besar dan minimalisir trauma jalan nafas dengan ukuran lebih kecil.

Terdapat dua jenis cuff, tekanan tinggi (volume rendah) dan tekanan rendah
(voulume tinggi). Cuff tekanan tinggi berhubungan dengan kerusakan iskemik di
mukosa trakea dan tidak cocok untuk intubasi durasi lama. Cuff tekanan rendah
dapat meningkatkan resiko sakit tenggorakan (area kontak mukosa yang luas),
aspirasi, extubasi spontan, dan masuk yang susah.
Tekanan cuff berdasarkan pada faktor volume inflasi, diameter cuff dan
hubungannya dengan trakea, compliance cuff dan trakea, tekanan intrathoracal
(tekanan cuff meningkat dengan batuk). Tekanan cuff juga meningkat selama
anestesi umum karena difusi nitrous oxide dari mukosa tracheal ke cuff.
Jenis TT seperti fleksibel, spiral, armored tubes yang menahan tekanan dan
berguna pada operasi kepala leher atau pada posisi prone. Jika armored tube
menjadi tertetekuk karen tekanan ekstrim (pasien menggigit), lumennya kan tetap
teroklusi secara permanen sehingga harus diganti.
LARINGOSKOP
Laringoskop adalah instrumen yang digunakan untuk memeriksa laring dan
memfasilitasi intubasi trakea. Pegangannya biasa terdapat baterai untuk
menyalakan lampu di ujung bilah atau mmemberikan tenaga pada fiberoptik yang
ada di ujung bilah. Cahaya dari fiberoptik lebih tajam dan tidak terlalu difus.
Bilah Macintosh dan Miller adalah desain lengkung dan lurus yang paling
populer,terutama di US. Pilihan bilah tergantung dari pilihan pribadi dan anatomi

pasien. Karena tidak ada blade yang sempurna untuk semua situasi, klinisi harus
mengenal berbagai desain bilah.

LARINGOSKOP VIDEO
Laringoskopi langsung dengan Macintosh dan Miller membutuhkan posisi dari
oral, faring, dan laring yang tepat untuk memfasilitasi penglihatan langsung dari
glotis. Berbagai manuver seperti, posisi sniffing, pergerakan eksternal dari
laring dengan menekan cricoid selama laringoskopi langsung digunakan asi
untukuntuk memperjelas pandangan. Laringoskop video atau optik memiliki chip
video dan sebuah lensa atau cermin pada ujung bilah intubasi untuk memberikan
gambaran glotis pada operator.

Video atau laringoskopi indirek memberikan keuntungan yang minimal


bagi pasien tanpa komplikasi jalan nafas, tetapi pada jalan nafas yang susah
memberikan penglihatan struktur laring yang lebih baik, meskipun tidak
menjamin intubasi yang sukses. Laringoskop indirek tidak membuat perubahan
pada tulang servikal, tetapi pada psien kemungkinan fraktur servikal harus
berjaga-jaga.
Jenis laringoskopi indirek meliputi:

Berbagai bilah Macintosh dan Miller pada ukuran dewasa dan anak
memiliki kapabilitas di sistem Storz DCI. Bilahnya mirip bilah intubasi

konvensional,yang dapat digunakan untuk laringoskopi direk dan indirek.


Lariongskop McGrath merupakan laringoskop video portabel dengan

ukuran bilah yang dapat diatur untuk anak 5 tahun hingga dewasa.
Glidescope dengan bilah sekali pakai pada ukuran anak dan dewasa. Bilah
ditaruh di tengah dan dimasukkan sampai terlihat glotis. Glidescope

memiliki sudut 60o, mencegah laringoskopi langsung.


Airtraq merupak laringoskop optikal sekali pakai pada ukuran anak dan
dewasa, perangkan ini memiliki hubungan untuk memandu ett ke glotis.

Perangkat ini diletakkan di garis tengah.


Stylet intubasi video memiliki kepabilitas video dan sumber cahaya.

BRONKOSKOP FIBEROPTIK FLEKSIBEL (FOB)


Pada beberapa keadaan, sebagai contoh, pasien dengan cervical yang tidak stabil,
ROM yang buruk pada TMJ, gangguan kongenital, anomali jalan nafas atas yang
didapat, laringoskopi direk maupun indirek tidak diharapkan atau mustahil. FOB
flexibel memberikan visualisasi langsung dari laring pada beberapa kasus atau di
situasi intubasi sadar diinginkan. Bronkoskop terdiri dari coated glass fiber yang
memberikan cahaya dan gamabr dari refleksi internal. Terdapat lubang aspirasi

yang dapat digunakan untuk suction sekret, insuflasi oksigen, instilasi anestesi
lokal. Lubang aspirasi susah dibersihkan dan jika tidak dengan benar dibersihkan
dan disterilkan akan membuat sumber infeksi.

TEKNIK LARINGOSKOPI DAN INTUBASI DIREK DAN INDIREK


Indikasi Intubasi
Memasukkan tube ke dalam trakea menjadi bagian rutin saat melakukan
anestesi umum. Intubasi bukanlah suatu prosedur yang bebas risiko, dan tidak
semua pasien menerima anestesi umum sebagaimana perlunya. ETT secara umum
bertujuan untuk memelihara jalan nafas dan sebagai akses terhadap jalan nafas.
Intubasi diindikasikan pada pasien dengan risiko aspirasi dan akan dilakukan
prosedur pembedahan pada tubuh atau kepala dan leher. Ventilasi dengan sungkup
atau LMA biasanya digunakan untuk prosdur pembedahan minor yang
membutuhkan waktu singkat.
Persiapan Laringoskopi Direk
Persiapan untuk intubasi termasuk mengecek peralatan yang akan
digunakan dan memposisikan pasien dengan benar. Cuff dari ETT dapat dicek
dengan mengembangkan cuff menggunakan spuit 10 ml. Tekanan pada cuff
setelah dikembangkan dengan menggunakan spuit memastikan katub dan cuff
tersebut berfungsi dengan baik. Beberapa ahli anestesi memotong TT untuk
mengurangi dead space, risiko intubasi bronkial, dan risiko okluasi dari tube

kinking. Konektor harus terpasang dengan baik untuk mencegah terlepasnya


secara tidak sengaja. Alat suction dibutuhkan untuk membersihkan jalan nafas
apabila terdapat banyak sekresi, darah, atau emesis.
Intubasi yang berhasil didasarkan pada posisi pasien yang benar. Kepala
pasien harus setinggi atau lebih tinggi dari dada ahli anestesi untuk mencegah
ketegangan punggung saat melakukan laringoskopi. Laringoskopi direk
memindahkan jaringan lunak faringeal untuk membuat jalur penglihatan langsung
dari mulut menuju pembukaan glotis. Elevasi kepala (5-10 cm) dan ekstensi sendi
atlantooksipital menempatkan pasien pada posisi sniffing. Bagian bawah dari
tulang servikal difleksikan dengan menempatkan bantal pada kepala pasien.
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga termasuk preoksigenasi. Dengan
memberikan 100% oksigen dapat menyediakan batas aman yang lebih apabila
pada pasien tersebut sulit dilakukan ventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat
dihilangkan pada pasien yang akan digunakan face mask, sebagaimana kegagalan
preoksigenasi dapat meningkatkan risiko desaturasi yang cepat diikuti dengan
apneu.
Karena anestesi umum dapat menghilangkan refleks proteksi pada kornea,
harus diperhatikan untuk tidak melukai mata pasien dengan tanpa sengaja
mengelupas

kornea. Mata pasien sebaiknya

ditutup, meskipun setelah

mengaplikasikan salep obat sebelum manipulasi jalan nafas.

Intubasi orotrakeal
Laringoskop digenggam dengan tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka, blade
laringoskop dimasukkan dari sisi kanan orofaring dengan hati-hati menghindari
gigi. Lidah kemudian dibawa ke kiri dan ke atas menuju dasar faring dengan
menggunakan pinggiran blade. Keberhasilan memindahkan lidah ke sisi kiri akan
memperlihatkan secara jelas penempatan untuk ETT.

Menjepit bibir di antara gigi dan blade serta menumpu pada gigi haruslah
dihindari. ETT dipegang dengan tangan kanan, dan ujungnya dimasukkan ke
dalam pita suara yang abduksi. Digunakan manuver BURP (backward, upward,
rightward, pressure) untuk memindahkan glotis posterior ke anterior untuk
memvisualisasikan glotis. Cuff ETT seharusnya berada di trakea bagian atas,
namun di luar laring. Laringoskop kemudian dikeluarkan secara hati-hati untuk
menghindari trauma pada gigi.
Cuff kemudian dikembangkan dengan udara yang minimal untuk
mengunci selama ventilasi tekanan positif agar meminimalisir tekanan terhadap
mukosa trakea. Pengembangan berlebihan di atas 30 mmHg dapat menghambat
aliran darah kapiler, dan melukai trakea.

Setelah intubasi, dada dan epigastrium secara cepat diauskultasi, dan jalur
kapnografik dilakukan untuk memastikan lokasi intratrakeal. Apabila ragu ETT
masuk ke dalam esofagus atau trakea, dapat dilakukan laringoskopi ulang untuk
memastikan. Setelah itu, ETT difiksasi untuk menjaga agar tidak terjadi
perubahan posisi.

Cuff sebaiknya tidak berada di atas kartilago cricoid, karena lokasi


intralaringeal dalam waktu yang lama dapat menyebabkan suara serak setelah
operasi dan meningkatkan risiko kesalahan saat ekstubasi. Posisi ETT dapat pula
dilihat dengan radiografi dada.
Kegagalan intubasi sebaiknya tidak dilakukan berulang kali dengan
kesalahan yang sama. Dapat dilakukan perubahan untuk meningkatkan
keberhasilan seperti membenarkan posisi pasien, menurunkan ukuran ETT,
menggunakan mandrin untuk menuntun, memilih blade dengan ukuran lain,
menggunakan laringoskopi indirek, mencoba rute nasal, atau dilakukan oleh ahli
anestesi lain.

Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang
hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas
lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 0,25%) menyebabkan
pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi,
pemberian tetes hidung phenyleprine yang berlebihan dapat menimbulkan

hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan
blok saraf dapat digunakan.
TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan
dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT disisi lateral jauh
dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung
proksimal dari TT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur
dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring, laringoskop, digunakan aduksi
pita suara. Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada trakea tanpa
kesulitan. Jika ditemukan kesulitan memasukkan ujung pipa menuju pita suara
mungkin difasilitasi dengan forcep Magil, yang dilakukan dengan hati-hati agar
tidak merusakkan balon. Memasukkan TT melalaui hidung atau pemasangan
kateter nasogastrik berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat
disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.
Flexible Fiberoptic Intubation
Fiberoptic intubation (FOI) sering digunakan pada pasien yang sadar
ataupun tidak sadar dengan permasalahan jalan nafas. FOI ideal pada :
-

Mulut yang hanya dapat terbuka sedikit

Pasien trauma atau reumatoid artritis dengan perbatasan pergerakan


pada tulang servikal

Obstruksi jalan nafas atas, misalnya angioedema atau massa tumor

Deformitas pada wajah ataupun trauma wajah

FOI dapat dilakukan secara sadar dan tidak sadar melalui rute oral atau
nasal
-

FOI secara sadar : prediksi ketidakmampuan untuk mengambil alih


jalan nafas dengan mask, obstruksi jalan nafas atas

FOI secara tidak sadar : kegagalan intubasi, pada pasien dengan


keterbatasan pergerakan tulang servikal, pasien dengan penolakan
intubasi sadar

FOI melalui oral : luka pada wajah

FOI melalui nasal : mulut tidak dapat membuka lebar

FOI harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik, harus ada


persetujuan dari pihak pasien ketika akan dilakukan intubasi secara sadar. Jalan
nafas dianestesi dengan anestesi lokal, dan pada pasien diberikan sedasi.
Dexmedetomidine dapat digunakan untuk memelihara respirasi ketika pemberian
sedasi. Ketika dipilih jalur melalui nasal, kedua lubang hidung diberikan tetes
vasokonstriktor. Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih mudah.
Pilihan lain, jalan nafas nasal yang lebar dapat dipasang dalam lubang
hidung kontralateral. Sirkuit pernafasan dapat langsung dihubungkan pada ujung
dari jalan nafas nasal untuk memberikan O2 100% selama laringoskopi. Jika
pasien tidak sadar dan tidak bernafas spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi
dilakukan melalui nasal airway tunggal. Bila teknik ini digunakan adekuat
ventilasi dan oksigenasi harus dikonfirmasi dengan capnograph dan pulse
oximetry. TT yang telah diberi pelumas dimasukkan ke dalam lubang hidung
lainnya sepanjang nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi pelicin
dimasukan ke dalam lubang TT. Selama endoskopi, jangan dimasukkan lebih
dalam jika hanya dinding dari TT atau membran mukosa yang terlihat. Ini juga
penting untuk mempertahankan tangkai bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala
dari bronkoskop diputar secara langsung, ujung distal akan bergerak dengan
derajat yang sama. Ketika ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT, epiglotis
dan glotis harus tampak. Ujung dari bronchoskop dimanipulasi untuk melewati
pita suara yang telah abduksi.
Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat bernafas
adekuat dan pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat,
FOB ditarik dan lakukan ventilasi dengan face mask. Minta asisten untuk jaw
thrust atau lakukan tekanan pada krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus
sulit. Jika pasien bernafas spontan, tarik lidah dengan klem dapat memfasilitasi
intubasi.
Sekali dalam trakea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya cincin
trakhea dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di dorong dari FOB.
Sudut sekitar cartilago arytenoid dan epiglotis dapat mencegah mudahnya
memasukan pipa. Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya menurunkan
masalah ini disebabkan lebih besarnya fleksibilitas dan sudut pada bagian distal

lebih tumpul. Posisi TT yang tepat dikonfirmasi dengan melihat ujung dari pipa
diatas karina sebelum FOB ditarik.

TEKNIK PEMBEDAHAN JALAN NAFAS


Jalan nafas yang invasif dibutuhkan ketika tidak dapat dilakukan intubasi
atau ventilasi, dan mungkin diperlukan sebagai antisipasi dari beberapa pasien
dengan kondisi tertentu. Pembedahan yang ada antara lain : krikotirotomi,
krikotirotomi dengan kateter atau jarum, kateter transtrakeal dengan ventilasi jet,
dan intubasi retrograde.
Krikotirotomi merupakan pembedahan pada CTM dan penempatan dari
tabung atau selang untuk bernafas. Pembedahan ini dengan cara melakukan insisi
horizontal pada CTM dengan menggunakan teknik dilator / kateter Seldinger.
Kateter dengan spuit dimasukkan ke dalam CTM, kemudian dituntun masuk ke
dalam trakea.

Intubasi retrograde merupakan pendekatan lain untuk mempertahankan


jalan nafas. Kateter dengan wire dimasukkan dan ditempatkan di CTM. Sudut dari
wire tersebut diarahkan ke kepala melalui mulut atau hidung. Ujung distal dari
wire tersebut difiksasi untuk mencegah terlepasnya dari CTM. Pilihan lain dapat
digunakan kateter epidural dengan jarum epidural ke dalam CTM.
PERMASALAHAN DALAM INTUBASI
Untuk dapat melakukan intubasi dengan sukses, dibutuhkan perhatian
khusus. Ahli anestesi harus memastikan bahwa tube terpasang dengan benar
dengan ventilasi yang baik di kedua paru. Saturasi oksigen yang menurun dapat
terjadi setelah penempatan tube, terlebih pada anak-anak atau bayi. Penurunan
saturasi oksigen pada saat operasi dapat disebabkan oleh transfer oksigen yang
tidak adekuat atau ventilasi dan perfusi yang tidak sejalan (biasanya pada pasien
dengan penyakit paru). Ketika saturasi tidak benar, dilakukan auskultasi pada dada
pasien untuk memastikan penempatan tube dan memastikan udara masuk ke
kedua paru, dan untuk mendengarkan adanya wheezing, ronki yang menandakan
adanya kelainan paru. Sirkuit juga sebaiknya dicek untuk memastikan berfungsi
dengan baik.
Peningkatan tekanan jalan nafas menunjukkan adanya obstruksi atau
tertekuknya tube endotrakeal atau penurunan komplians paru. Endotrakeal tube
harus dibersihkan dengan suction dan dada pasien diauskultasi untuk

mendengarkan adanya tanda bronkospasme, edema paru, intubasi endotrakeal,


atau pneumothorax.
TEKNIK EKSTUBASI
Ekstubasi dapat dilakukan ketika pasien masih dalam keadaan teranestesi
(deep extubation) atau ketika pasien sudah sadar (awake extubation). Pemulihan
dari agen pemblok neuromuskular harus adekuat sebelum melakukan ekstubasi.
Jika menggunakan agen pemblok neuromuskular, pasien harus sudah dapat
mengontrol pernafasannya sendiri dan mesin ventilator sudah harus dilepas
sebelum melakukan ekstubasi.
Ekstubasi selama taraf anestesi yang dangkal (status antara sadar dan tidak
sadar) harus dihindari karena meningkatkan risiko laringospasme. Perbedaan
antara kadar anestesia yang dalam dan dangkal biasanya dapat dilihat ketika
melakukan suction faring : reaksi seperti menahan nafas dan batuk adalah tanda
kadar anestesi yang rendah, sementara jika tidak ada reaksi menandakan kadar
anestesi yang dalam. Mata yang membuka dan pergerakan tubuh menandakan
bahwa pasien cukup sadar untuk ekstubasi.
Ekstubasi pada pasien sadar biasanya berhubungan dengan batuk, hal ini
akan meningkatkan denyut nadi, tekanan vena sentral, tekanan darah arteri,
tekanan intrakranial, tekanan intraabdominal. Juga dapat menyebabkan luka
terbuka dan meningkatkan perdarahan. ETT pada pasien dengan riwayat asma
yang dalam keadaan sadar dapat memicu bronkospasme. Hal ini dapat dicegah
dengan menggunakan lidokain intravena 1,5mg/kg dalam 1-2 menit sebelum
melakukan suction atau ekstubasi, meskipun ekstubasi dalam lebih diuntungkan
pada pasien yang tidak dapat toleransi.
ETT yang dilepas dalam keadaan pasien sadar atau tidak sadar, faring
harus dilakukan suction sebelum ekstubasi untuk menurunkan risiko aspirasi
darah atau sekret. Pasien sudah harus diberikan oksigen 100% untuk mengatasi
apabila pasien kesulitan bernafas setelah ekstubasi. Sebelum ekstubasi, harus
dipastikan ETT dalam keadaan tidak terfiksasi dan cuff ETT sudah dikempiskan.
ETT dilepas dengan gerakan tunggal yang halus, dan setelah itu pasien diberikan
oksigen dengan face mask, sampai ke ruang pemulihan post anestesi.

KOMPLIKASI LARINGOSKOPI DAN INTUBASI


Komplikasi dari laringoskopi dan intubasi meliputi hipoksia, hiperkarbia,
trauma gigi dan jalan nafas, malposisi selang, respon fisiologi terhadap instrumen
jalan nafas, atau malfungsi selang. Komplikasi ini dapat terjadi selama
laringoskopi dan intubasi, ketika selang berada di dalam jalan nafas, atau selama
ekstubasi.
Trauma Jalan Nafas
Instrumentasi dengan pisau laringoskopi atau ketika memasukkan
peralatan yang kaku dapat menyebabkan trauma pada jalan napas. Kerusakan pada
gigi merupakan komplikasi yang sering terjadi. Laringoskopi dan intubasi dapat
memicu komplikasi mulai dari suara serak smpai terjadinya stenosis trakea. Hal
ini disebabkan oleh lamanya tekanan eksternal pada struktur jalan nafas yang
sensitif. Ketika tekanan melebihi tekanan darah kapiler arteriolar (kurang lebih
30 mmHg), iskemia jaringan dapat memicu terjadinya inflamasi, ulserasi,
granulasi, dan stenosis.
Kejadian laringotrakeobronkitis (croup) pasca intubasi yang disebabkan
oleh edema pada glotis, laring, dan trakea sering terjadi pada anak-anak. Paralisis
pita suara yang terjadi karena kompresi cuff atau trauma lain terhadap nervus
laringeus rekuren dapat menyebabkan suara serak dan meningkatkan risiko
aspirasi. Insidensinya meningkat pada pasien dengan obesitas, intubasi yang sulit,
dan anestesi untuk waktu yang lama. Ukuran ETT yang kecil (6,5 untuk wanita
dan 7 untuk pria) berhubungan dengan rendahnya kejadian nyeri tenggorokan
pasca operasi.
Respon Fisiologis terhadap Instrumen Jalan Nafas
Laringoskopi dan intubasi trakea merupakan suatu perlawanan terhadap
refleks proteksi jalan nafas pasien dan dapat menyebabkan hipertensi dan
takikardia.

Penggunaan

LMA

lebih

sedikit

mempengaruhi

perubahan

hemodinamik. Perubahan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan lidokain,

opioid, beta bloker, atau memperdalam anestesia inhalasi pada menit sebelum
laringoskopi.
Laringospasme adalah spasme involunter dari otot-otot laring yang
disebabkan oleh stimulus sensorik dari nervus laringeus superior. Pemicu stimulus
termasuk sekresi faring atau ketika ETT melewati laring selama ekstubasi.
Laringospasme dapat dicegah dengan ekstubasi dalam atau ketika pasien sudah
benar-benar

bangun.

Penanganan

laringospasme

dilakukan

dengan

cara

memberikan ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100% atau memberikan


lidocain secara IV (1-1,5 mg/kg).
Bronkospasme merupakan refleks lain sebagai respon terhadap intubasi
dan paling sering terjadi pada pasien dengan asma. Efek lain dari intubasi meliputi
peningkatan tekanan intrakranial dan intraokular.
Malfungsi ETT
ETT tidak selalu berfungsi dengan baik. Contohnya yang berbahan
polyviny chloride dapat terbakar oleh cauter atau laser di dalam lingkungan yang
kaya oksigen atau nitrous oxide. Obstruksi dapat terjadi karena kinking, aspirasi
benda asing, atau penumpukan sekresi pada lumen.

DAFTAR PUSTAKA
1. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhails Clinical

Anesthesiology. 5th edition. United States of America: McGraw-Hill


Companies, Inc;2013;p309-341.