Artikel MKL Financial Distress

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

KESULITAN KEUANGAN (FINANCIAL DISTRESS)

Oleh : Dwiki Wicaksono


Financial Distress?
Kesulitan keuangan dimulai ketika perusahaan tidak dapat memenuhi jadwal
pembayaran atau ketika proyeksi arus kas mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut akan
segera tidak dapat memenuhi kewajibannya (Brigham dan Daves, 2003). Ada beberapa definisi
kesulitan keuangan, sesuai tipenya, yaitu economic failure, business failure, technical
insolvency, insolvency in bankruptcy, dan legal bankruptcy (Brigham dan Gapenski, 1997).
Berikut ini adalah penjelasannya:
1. Economic failure
Economic failure atau kegagalan ekonomi adalah keadaan dimana pendapatan
perusahaan tidak dapat menutupi total biaya, termasuk cost of capitalnya. Bisnis ini
dapat melanjutkan operasinya sepanjang kreditur mau menyediakan modal dan
pemiliknya mau menerima tingkat pengembalian (rate of return) di bawah pasar.
Meskipun tidak ada suntikan modal baru saat aset tua sudah harus diganti, perusahaan
dapat juga menjadi sehat secara ekonomi.
2. Business failure
Kegagalan bisnis didefinisikan sebagai bisnis yang menghentikan operasi dengan akibat
kerugian kepada kreditur.
3. Technical insolvency
Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan technical insolvency jika tidak dapat
memenuhi kewajiban lancar ketika jatuh tempo. Ketidakmampuan membayar hutang
secara teknis menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara, yang jika
diberi waktu, perusahaan mungkin dapat membayar hutangnya dan survive. Di sisi lain,
jika technical insolvency adalah gejala awal kegagalan ekonomi, ini mungkin menjadi
perhentian pertama menuju bencana keuangan (financial disaster).
4. Insolvency in bankruptcy
Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan Insolvent in bankruptcy jika nilai buku
hutang melebihi nilai pasar aset. Kondisi ini lebih serius daripada technical insolvency
karena, umumnya, ini adalah tanda economic failure, dan bahkan mengarah kepada
likuidasi bisnis. Perusahaan yang dalam keadaan insolvent in bankruptcy tidak perlu
terlibat dalam tuntutan kebangkrutan secara hukum.
5. Legal bankruptcy
Perusahaan dikatakan bangkrut secara hukum jika telah diajukan tuntutan secara resmi
dengan undang-undang (Brigham dan Gapenski, 1997).

Brigham dan Gapenski (1997) menjelaskan pula, ketidakmampuan perusahaan yang


mengalami technical insolvency disebabkan masalah arus kas secara temporer. Biasanya
masalah ini diselesaikan dengan restrukturisasi hutang oleh para kreditur. Sedangkan pada
insolvency in bankruptcy, masalahnya bersifat permanen dan dapat mengarah pada likuidasi
bisnis. Brigham dan Gapenski memasukkan legal bankruptcy sebagai salah satu tipe kesulitan
keuangan. Namun literatur lain membedakannya. Misalnya Scott (1981) yang mengatakan
bahwa perusahaan yang kesulitan memenuhi komitmen keuangannya tidak selalu mengarah
kepada kebangkrutan (Low et al., 2001).
Technical insolvency dalam Brigham dan Gapenski di atas sama dengan equity
insolvency menurut Altman (1983). Equity insolvency tergambar jika perusahaan tidak dapat
membayar hutangnya ketika jatuh tempo dalam kegiatan bisnis yang biasa. Insolvency in
bankruptcy dalam Brigham dan Gapenski sama dengan bankruptcy insolvency menurut
Definisi lain mengenai financial distress adalah Blacks Law Distionary yaitu inability to pay
ones debt lack of means of paying ones debts. Such a condition of a womans or (mans)
assets and liabilities that the former made immediately available would be insufficient to
discharge the latter. Definisi ini melihat financial distress pada ketidakmampuan membayar
utang secara umum, baik jangka pendek dan jangka panjang, dan juga menyoroti financial
distress dari sisi ketidak mampuan aset menutupi liabilitas.
Secara tersirat terdapat dua cara pandang mengenai financial distress yaitu : stocks and
flows yang digambarkan seperti di bawah ini :

Cara pandang stocks menekankan pada adanya net worth (kekayaan bersih) perusahaan
yang negatif. Sedangkan cara pandang flows lebih pada ketidakmampuan membayar utang
jangka pendek maupun jangka panjang.

Apa yang Terjadi Ketika Perusahaan Mengalami Financial Distress?


Beberapa hal yang mungkin dilakukan oleh perusahaan yang mengalami financial
distress antara lain :
1. Menjual aset-aset utamanya
2. Merger dengan perusahaan lain
3. Mengurangi belanja modal untuk penelitian dan pengembangan
4. Menerbitkan saham atau obligasi baru
5. Negoisasi dengan bank atau kreditor lainnya
6. Mengkonversi utang menjadi ekuitas
7. Mengajukan permohonan kepailitan
Strategi ketika terjadi financial distress :
1. Langkah nomor 1, 2, dan 3 merupakan langkah-langkah yang terkait dengan aset
perusahaan atau disebut dengan asset restructuring.
2. Langkah nomor 4, 5, 6, dan 7 merupakan langkah terkait sisi kanan laporan posisi
keuangan perusahaan (sisi pendanaan) dan merupakan contoh financial restructuring.
3. Perusahaan yang mengalami financial distress dapat sekaligus melakukan asset
restructuring dan financial restructuring.
4. Manfaat melakukan asset restructuring
a) Perusahaan menjual aset-aset yang tidak terkait dengan bisnis utama perusahaan,
misalnya anak perusahaan atau divisi yang tidak berkontribusi kepada keuntungan
perusahaan.
b) Hasilnya dari asset restructuring adalah perusahaan memiliki struktur organisasi baru
yang lebih ramping dan dapat fokus pada strategi baru yang sesuai dengan core
bussines perusahaan.
Kebangkrutan, Likuidasi, dan Reorganisasi
Perusahaan yang tidak memperoleh atau memilih untuk tidak membuat kesepakatan
terkait dengan pembayaran utangnya kepada kreditor, memiliki dua pilihan, yaitu melakukan
likuidasi dan reorganisasi.
Likuidasi berarti menghentikan kegiatan operasi perusahaan (going concern). Kegiatan
yang dilakukan dalam likuidasi adalah perusahaan menjual aset-aset yang dimiliki. Hasil dari
penjualan tersebut kemudian dibagikan kepada kreditur dan sisanya (jika ada) kepada
pemegang saham perusahaan.
Reorganisasi adalah pilihan untuk mempertahankan kelangsungan usaha (going
concern) perusahaan, diantaranya dengan menerbitkan efek baru untuk menggantikan efek
lama.

Likuidasi

dan reorganisasi dapat

dilakukan melalui mekanisme

kebangkrutan

(bankcruptcy).
Kebangkrutan (bankruptcy) adalah sebuah upaya hukum yang permohonannya dapat
diajukan sendiri (voluntary) oleh perusahaan atau dapat diajukan oleh kreditor (involuntary).

Likuidasi
Di Amerika Serikat, langkah langkah yang harus ditempuh untuk melakukan straight
liquidation tercantum dalam Chapter 7 of the Bankruptcy Reform Act of 1978. Langkah-langkah
tersebut mencakup :
1. Permohonan diajukan kepada Pengadilan Federal. Permohonan bisa diajukan sendiri oleh
perusahaan (voluntary) maupun oleh kreditor (involuntary bankruptcy). Kurator (bankruptcy
trustee) ditunjuk oleh kreditor untuk mengambil alih aset debitur. Kurator bertugas
melakukan likuidasi aset. Setelah aset dilikuidasi, dan dikurangi pembayaran biaya-biaya
administrasi, hasil likuidasi dibagikan kepada kreditor. Jika aset masih tersisa setelah
digunakan untuk membayar biaya-biaya dan pembayaran kepada kreditor, maka sisanya
dibagikan kepada pemegang saham.
2. Setelah perusahaan ditetapkan bangkrut, maka proses likuidasi dimulai. Pembagian hasil
likuidasi dilakukan berdasarkan urutan prioritas berikut :
a) Beban administrasi terkait proises likuidasi perusahaan yang bangkrut
b) Klaim-klaim tanpa jaminan (unsecured claims) yang terjadi setelah pengajuan
permohonan involuntary bankruptcy
c) Upah, gaji, dan komisi
d) Iuran kepada dana pensiun yang terjadi dalam 180 hari sebelum tanggal pengajuan
e)
f)
g)
h)
i)

permohonan kebangkrutan.
Klaim dari konsumen
Klaim pajak
Klaim kreditor baik dengan atau tanpa jaminan
Klaim dari pemegang saham preferen
Klaim dari pemegang saham biasa

Urutan prioritas dalam likuidasi disebut absolute priority rule (APR).


Reorganisasi
Di Amerika Serikat, reorganisasi diatur dalam Chapter 11 of the Federal Bankruptcy
Reform Act of 1978. Langkah-langkah reorganisasi adalah sebagai berikut:
1. Permohonan dapat diajukan oleh perusahaan (voluntary petition) atau oleh 3 atau lebih
kreditor (bisa diajukan 1 kreditor jika jumlah kreditor kurang dari 12). Permohonan
kepailitan oleh kreditor (involuntary petition) harus disertai keterangan bahwa perusahaan
tidak membayar utangnya. Pada umumnya, hakim federal menerima permohonan dan
menetapkan waktu untuk menyampaikan bukti dari klaim kreditor dan pemegang saham.
Pada umumnya, perusahaan masih tetap beroperasi.
2. Waktu untuk menyampaikan rencana reorganisasi adalah 120 hari. Setelah diajukan,
perusahaan diberi waktu 180 hari untuk meminta persetujuan terhadap rencana tersebut.

3. Kreditor dan pemegang saham dibagi ke dalam kelompok-kelompok. Sekelompok kreditor


dianggap menerima rencana jika 2/3 dari kelompok tersebut (berdasarkan jumlah kredit)
dan dari kelompok tersebut (berdasarkan jumlah kreditor) menyetujui rencana
reorganisasi.
4. Setelah disetujui kreditor, rencana reorganisasi disahkan oleh pengadilan.
5. Pembayaran dalam bentuk kas, aset property, dan efek dilakukan kepada kreditor dan
pemegang saham. Rencana reorganisasi bisa juga mencakup penerbitan efek baru.

Mana yang Lebih Baik: Private Workout atau Kepailitan?


Perusahaan yang mengalami financial distress memiliki dua pilihan untuk formal
bankruptcy atau private workout. Kedua pilihan tersebut sama-sama menerbitkan efek baru
untuk ditukarkan dengan efek lama. Biasanya, senior debt diganti dengan junior debt, junior
debt digantikan dengan ekuitas. Sejumlah penelitian membandingkan private workouts dengan
formal bankruptcies. Beberapa hasilnya antara lain:
1. Berdasarkan data historis, setengah dari financial restructurings dilakukan dengan skema
private workouts, walaupun akhir-akhir ini formal bankruptcies mulai banyak digunakan.
2. Perusahaan yang mampu bangkit dari financial distress dengan menggunakan skema
private workouts mengalami kenaikan harga saham yang jauh lebih tinggi daripada
perusahaan yang bangkit dari financial distress dengan skema formal bankruptcies.
3. Biaya langsung (direct costs) skema private workouts jauh lebih murah daripada biaya
formal bankruptcies.
4. Top management biasanya sama-sama mengalami penurunan gaji atau bahkan
kehilangan jabatan baik dalam private workouts maupun formal bankruptcies.
Melihat hal-hal di atas, kemudian timbul pertanyaan, mengapa ada perusahaan yang
memilih untuk menggunakan formal bankruptcies?
1. Marginal Firm
Bagi perusahaan pada umumnya, formal bankruptcies biasanya membutuhkan
biaya yang lebih besar, tetapi untuk sebagian perusahaan yang lain biaya untuk
formal bankruptcy justru lebih kecil.
Dengan menggunakan skema

formal

bankruptcy,

perusahaan

dapat

menerbitkan surat utang debtor in possession (DIP). Di Amerika Serikat, surat


utang ini hanya dapat diterbitkan oleh perusahaan yang mengajukan permohonan
kebangkrutan.
Bagi perusahaan yang membutuhkan injeksi kas dalam jangka pendek, surat
utang DIP merupakan alternative yang cukup menarik. Sebab dengan mekanisme

tersebut, perusahaan memperoleh sejumlah keuntungan pajak (tax advantages).


Perusahaan tidak kehilangan tax carry forwards (kompensasi kerugian) karena
mengajukan kebangkrutan.
Selain itu, perlakuan pajak untuk pembatalan utang juga lebih menguntungkan
bagi perusahaan yang mengajukan permohonan kebangkrutan.
2. Holdouts
Sebagian proses formal bankruptcies mengabaikan absolute priority rule,
sehingga memberikan keuntungan bagi pemegang saham. Pemegang saham yang
tadinya berada pada prioritas terakhir bisa memperoleh lebih banyak dari yang
seharusnya. Oleh karena itu, pemegang saham akan mendorong perusahaan untuk
menggunakan mekanisme formal bankruptcies saja.
3. Complexity
Perusahaan yang memiliki struktur modal yang kompleks biasanya akan
mengalami kesulitan untuk melakukan private workout. Jenis utang yang bermacammacam membuat negoisasi dengan pihak kreditor menjadi semakin rumit.
4. Lack of Information
Pada saat perusahaan mengalami kekurangan kas (cash flow shortfall), tidak
dapat diprediksi apakah hal ini hanya sementara atau akan terus berlanjut. Jika
kekurangan kas terjadi terus-menerus, maka kreditor akan mendorong agar
dilakukan proses formal bankruptcy.
Akan tetapi, jika kekurangan kas terjadi sementara, maka formal bankruptcy
belum diperlukan. Apabila perusahaan mengetahui informasi tersebut dengan
akurat, maka perusahaan dapat menentukan alternatif mana yang sebetulnya lebih
murah biayanya bagi perusahaan.
Prepackaged Bankruptcy
Prepackaged bankruptcy adalah kombinasi antara private workout dengan legal
bankruptcy (perusahaan yang telah diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan bangkrut menurut
hukum kebangkrutan atau pailit). Sebelum perusahaan mengajukan permohonan kebangkrutan,
perusahaan terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan kreditor serta membawa rencana
reorganisasi perusahaan. Kedua belah pihak kemudian melakukan negoisasi untuk mencari
kesepakatan mengenai rincian bagaimana keuangan perusahaan direstrukturisasi (contoh:
perpanjangan waktu jatuh tempo hutang, kreditur secara sukarela memberikan potongan pokok
hutang). Kemudian perusahaan dan kreditor sekaligus menyiapkan dokumen adminstrasi yang
diperlukan sebelum mengajukan kebangkrutan. Permohonan disebut prepackage jika pada

perusahaan mengajukan permohonan ke pengadilan, namun pada saat yang sama, juga sudah
melampirkan rencana reorganisasi lengkap dengan persetujuan dari kreditor.
Prediksi kebangkrutan perusahaan: Model Z-Score
Banyak calon-calon kreditor menggunakan credit scoring model untuk mengukur
kelayakan kredit (creditworthiness) dari calon debitor. Hal ini bertujuan agar calon kreditor dapat
mengelompokkan calon debitor berdasarkan risiko kreditnya. Salah satu hal yang ingin
diketahui adalah seberapa besar kemungkinan perusahaan calon debitor akan mengalami
kebangkrutan. Edward Altman menciptakan model dengan menggunakan sejumlah rasio dalam
laporan keuangan dan menganalisis beberapa diskriminan untuk memprediksi kebangkrutan
perusahaan

manufaktur

yang

sahamnya

diperdagangkan

di

bursa

(publicly

traded

manufacturing firms). Model tersebut adalah sebagai berikut:

Z=

3,3

EBIT
Net working capital
Sales
+1,2
+1,0
Total assets
Total assets
Total assets
+0,6

Market value of equity


Accumulated retained earnings
+1,4
Book value of debt
Total assets

Dimana:
1. Z adalah indeks kebangkrutan (index of bankruptcy)
2. Jika Z-score kurang dari 2,675, hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki
kemungkinan 95% untuk bangkrut dalam waktu 1 tahun.
3. Akan tetapi, hasil Altman Z-score menunjukkan bahwa skor 1,81 sampai 2,99 merupakan
grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan mengalami kepailitan atau tidak).
Dalam penerapannya, kebangkrutan diprediksi akan terjadi jika Z
perusahaan diprediksi tidak bangrut jika Z

1,81 dan

2,99.

4. Pada mulanya Altman Z-score, hanya dapat diterapkan pada perusahaan manufaktur
yang sahamnya diperdagangkan di bursa.
5. Alman kemudian merevisi modelnya agar dapat diterapkan untuk perusahaan non-publik
dan bukan perusahaan manufaktur. Model tersebut adalah sebagai berikut:
Z=

6,56

Networking capital
Accumulated retained earnings
+3,26
Total assets
Total assets

EBIT
Book value of equity
1,05
+6,72
+
Total assets
Total liabilities
Dimana jika:

a) Z < 1,23 adalah indikasi perusahaan diprediksi akan bangkrut.


b) 1,23

2,90 adalah grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan

mengalami kepailitan atau tidak).


c) Z > 2,90 adalah indikasi perusahaan tidak bangkrut.
d)
Kesimpulan:

Secara tersirat terdapat dua cara pandang mengenai financial distress yaitu stocks and
flows, cara pandang stocks menekankan pada adanya net worth (kekayaan bersih)
perusahaan yang negatif. Sedangkan cara pandang flows lebih pada ketidakmampuan
membayar utang jangka pendek maupun jangka panjang.
Perusahaan yang tidak memperoleh atau memilih untuk tidak membuat kesepakatan

terkait dengan pembayaran utangnya kepada kreditor, memiliki dua pilihan, yaitu

melakukan likuidasi dan reorganisasi.


Restrukturisasi keuangan perusahaan dapat dicapai dengan private workout atau
kepailitan. Restrukturisasi keuangan perusahaan dapat dilakukan melalui likuidasi atau

reorganisasi melalui mekanisme kebangkrutan.


Prepackaged bankruptcy merupakan salah satu cara dalam restrukturisasi keuangan
perusahaan dimana perusahaan melakukan negoisasi dengan kreditur tentang rencana

reorganisasi dan hasil negoisasi tersebut berakhir dengan permohonan kebangkrutan.


Kreditur dapat menggunakan metode Z-score untuk memprediksi kebangkrutan
perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai