Keamanan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 3

Keamanan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional

Oleh Ardiansyah
Berbagai pangan tradisional secara empiris telah diketahui mempunyai khasiat dan saat
ini telah pula dikembangkan sebagai pangan fungsional. Hal tersebut telah penulis
sampaikan pada artikel sebelumnya di BeritaIptek edisi 11 Januari 2005 dengan judul
"Pangan Tradisional sebagai Pangan Fungsional". Disamping mutu dan kesesuaian
klaim khasiat dengan dukungan ilmiah, aspek keamanan pangan fungsional yang
berbasis pangan tradisional menjadi tuntutan konsumen saat ini.
Pangan tradisional pada umumnya memiliki kelemahan dalam hal keamanannya
terhadap bahaya biologi atau mikrobiologi, kimia, dan fisik. Adanya bahaya atau
cemaran tersebut seringkali terdapat dan ditemukan karena rendahnya mutu bahan
baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya paraktek sanitasi dan higiene yang
memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani
pangan tradisional.
Keamanan pangan
Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran akan kesehatan terhadap
pangan yang dikonsumsi, mengkonsumsi pangan yang aman merupakan hal yang
harus diperhatikan oleh produsen dan konsumen. Berdasarkan UU Pangan No. 7 tahun
1996, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi atau
mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik.
Bahaya biologis atau mikrobiologis terdiri dari parasit (protozoa dan cacing), virus, dan
bakteri patogen yang dapat tumbuh dan berkembang di dalam bahan pangan, sehingga
dapat menyebabkan infeksi dan keracunan pada manusia. Beberapa bakteri patogen
juga dapat menghasilkan toksin (racun), sehingga jika toksin tersebut terkonsumsi oleh
manusia dapat menyebabkan intoksikasi. Intoksikasi adalah kondisi dimana toksin
sudah terbentuk di dalam makanan atau bahan pangan, sehingga merupakan keadaan
yang lebih berbahaya. Sekalipun makanan atau bahan pangan sudah dipanaskan
sebelum disantap, toksin yang sudah terbentuk masih tetap aktif dan bisa
menyebabkan keracunan meski bakteri tersebut sudah tak ada dalam makanan.
Adanya virus dan protozoa dalam makanan atau bahan pangan masih belum banyak
yang diteliti dan diidentifikasi. Namun informasi tentang virus hepatitis A dan
protozoa Entamoeba hystolitica telah diketahui dapat mencemari air. Cacing diketahui
terdapat pada hasil-hasil peternakan, misalnya Fasciola hepatica yang ditemukan pada

daging atau hati sapi. Adanya cemaran cacing tersebut akan mengakibatkan infeksi
pada manusia jika mengkonsumsi daging atau hati sapi yang tidak dimasak dengan
baik.
Bahaya kimia pada umunya disebabkan oleh adanya bahan kimia yang dapat
menimbulkan terjadinya intoksikasi. Bahan kimia penyebab keracunan diantaranya
logam berat (timbal/Pb dan raksa/Hg). Cemaran-cemaran tersebut berasal dari
cemaran industri, residu pestisida, hormon, dan antibiotika. Terbentuknya toksin akibat
pertumbuhan dan perkembangan jamur atau kapang penghasil toksin juga termasuk
dalam bahaya kimia. Beberapa jamur atau kapang penghasil toksin (mikotoksin) adalah
Aspergillus sp., Penicllium sp., dan Fusarium sp., yang dapat menghasilkan aflatoksin,
patulin, okratoksin, zearalenon, dan okratoksin.
Bahaya fisik terdiri potongan kayu, batu, logam, rambut, dan kuku yang kemungkinan
berasal dari bahan baku yang tercemar, peralatan yang telah aus, atau juga dari para
pekerja pengolah makanan. Meskipun bahaya fisik tidak selalu menyebabkan
terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan, tetapi bahaya ini dapat sebagai pembawa
atau carier bakteri-bakteri patogen dan tentunya dapat mengganggu nilai estetika
makanan yang akan dikonsumsi.
Keamanan mikrobiologis pangan tradisional
Walaupun dalam jumlah terbatas informasi-informasi keberadaan bakteri dalam
pangan tradisional, namun diketahui bahwa sayuran sebagai sumber serat yang sangat
baik ternyata mengandung jumlah cemaran bakteri dalam jumlah yang tinggi. Menurut
hemat penulis, merupakan kebiasaan yang kurang baik sebagian masyarakat kita yang
mengkonsumsi makanan mentah. Tindakan preventif berupa pencucian yang
dilanjutkan dengan pemanasan (memasak sampai matang) merupakan beberapa
kebiasaan positif yang perlu ditingkatkan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi atau
menurunkan jumlah cemaran bakteri sehingga dapat mengurangi terjadinya bahaya
biologis atau mikrobiologis.
Salah satu pangan tradisional yang telah juga diketahui sbagai pangan fungsional yang
sejak jaman dahulu telah lama dikonsumsi oleh masyarakat kita adalah minuman jamu.
Minuman jamu dapat dibuat dan disajikan secara sederhana di tingkat rumah tangga
yang kemudian dijual sebagai "jamu gendong". Pada umumnya proses penyiapan jamu
ini menggunakan peralatan sederhana dan tingkat sanitasi dan higiene yang kurang
memadai. Hal ini masih ditambah lagi dengan rendahnya tingkat sanitasi penggunaan
peralatan maupun kemasan selama proses penyiapan jamu tersebut. Proses penyiapan
"jamu gendong" yang seadanya tersebut merupakan faktor penyebab turunnya mutu
jamu yang dihasilkan, dan tentunya ini dapat berdampak terhadap mutu mikrobiologis
jamu yang dihasilkan.

Upaya preventif
Hal penting yang harus diperhatikan dalam penyiapan makanan tradisional yang
berkaitan dengan proses penyiapannya adalah penerapan prinsip-prinsip cara
pengolahan makanan yang baik (CPMB), meskipun dengan cara-cara yang sederhana.
Pertama, memperhatikan masalah sanitasi dan higiene. Kebersihan pada setiap tahapan
proses pengolahan, yang dimulai dari persiapan dan penyediaan bahan baku,
pemakaian air bersih, tahapan pengolahan, dan pasca pengolahan (pengemasan dan
penyimpanan) makanan atau pangan tradisional merupakan langkah-langkah penting
untuk menghindari terjadinya infeksi dan intoksikasi. Selain itu usaha-usaha untuk
mencegah terjadinya kontaminasi silang antara bahan baku yang belum diolah dengan
bahan jadi juga merupakan upaya preventif yang harus dilakukan.
Kedua, memanfaatkan secara maksimal sifat sinergisme antara bahan-bahan penyusun
makanan tradisional yang dikombinasikan dengan penambahan asam untuk
menurunkan pH (keasaman) produk. Seperti kita ketahui bahwa kunyit, jahe, lengkuas,
dan bahan-bahan lainnya merupakan pangan tradisional yang diketahui mempunyai
efek antibakteri atau antimikroba. Selain itu, sifat sinergisme ini juga merupakan usaha
untuk menghindarkan penggunaan pengawet kimia.
Ketiga, upaya pelayanan purna jual yang diberikan kepada konsumen, dengan cara
penulisan label pada kemasan makanan. Penulisan informasi tentang batas akhir
penggunaan makanan (kadaluarsa), komposisi gizi penyusun makanan tradisional,
komposisi zat gizi yang terkandung, bahan pengawet yang digunakan, informasi
kehalalan, dan nama perusahaan atau industri rumah tangga yang memproduksi.
Langkah ini merupakan suatu jaminan mutu kepada konsumen tentang produk yang
akan kita pasarkan.
Ardiansyah, kandidat Doktor Lab. of Nutrition, Tohoku University, Japan dan anggota
ISTECS chapter Jepang. Email: [email protected]

Anda mungkin juga menyukai