LP SDH

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

SUBDURAL HEMATOM
A.

PENGERTIAN
Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar

otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh cairan. Paling sering
disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan perdarahan yang
serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih sering terjadi pada vena dan
merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang
subdural (Muttaqin, 2008).
Perdarahan subdural adalah perdarahan karena trauma yang terjadi antara
membran luar dan menengah (meninges) yang meliputi otak. Hematoma subdural
disebabkan karena robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah
vena. Hematoma subdural dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang
subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh
cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan
beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang
menunjukkan lokasi gumpalan darah (Mansjoer, 2001).
Subdural hematoma adalah penimbunan darah di dalam rongga
subdural (di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi
akibat robeknya vena- vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan
sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat
laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling
sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga
menutupi

seluruh

dibawahnya berat.

permukaan

hemisfer

otak

dan

kerusakan

otak

Gambar 1. Subdural hematoma


(boards.medscape.com dan stonybrookphysician.adam.com)

Gambar 2. Meningen (withfrenship.com)

Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena, biasanya


darah yang terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena tamponade
hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi
yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan
jaringan

yang

kaya dengan pembuluh darah sehingga dapat memicu lagi

timbulnya perdarahan-perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong subdural


yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematome dibagi menjadi
3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang dari 72
jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3 minggu
lebih setelah trauma (Mansjoer, 2001).
B.

ETIOLOGI
Keadaan subdural hematoma timbul setelah cedera/trauma kepala hebat,
seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi
dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
1. Trauma kapitis
2. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak - anak.
4. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
5. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
6. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati (Muttaqin, 2008).

C.

PATOFISIOLOGI
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal
dapat

bergerak,

sedangkan

sinus

venosus

dalam

keadaan

terfiksir,

berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa
vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan
yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma
epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya
akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat
laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang
berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi
serebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume
otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat
menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan
karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya
hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural
yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar
biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus
hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di
dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada
membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan
volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan

tekanan

intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial
dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh

sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif
perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik
tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains
intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang
dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial
atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika
seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,
didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih
terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural
kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan
darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang
terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan
peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari
perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini,
yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam
subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah
merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis
juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik,
karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi
di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
Perdarahan subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat
timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:
1. Perdarahan Akut

Gejala yang timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma.


Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah
terganggu kesadaran dan tanda-tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang
dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening
tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan Subakut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari
sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan
darah dan cairan darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena
terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan Kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.
Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu
berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma
yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita
harus berhati-hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi
membesar secara perlahan-lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan
herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma, pada yang lebih baru, kapsula masih belum
terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat
pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi
duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah
ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar

dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar


hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50
tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
GEJALA KLINIS
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak
berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan
cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih
dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada
hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan
vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya
trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa

jam.Dengan

meningkatnya

tekanan

intrakranial

seiring

pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar


dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan
oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan
dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama

merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi


perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari
setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan
adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan
ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan
merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah
ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling
sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik.
Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan, selama beberapa
minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI
bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap
secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan
gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

D.

a.

sakit kepala yang menetap

b.

rasa mengantuk yang hilang-timbul

c.

linglung

d.

perubahan ingatan

e.

kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan (Muttaqin, 2008).

PENATALAKSANAAN
Konservatif:
1. Bedrest total
2. Pemberian obat-obatan
3. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

Prioritas Perawatan (Heardman, 2012):


1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak
2. Mencegah komplikasi
3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana
pengobatan, dan rehabilitasi.
Tujuan:
1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
2. Komplikasi tidak terjadi
3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh
keluarga sebagai sumber informasi.
E.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72
jam setelah injuri.
2. MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti:
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8. CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.

9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan


(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
10. Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen

Toxicologi:

Untuk

mendeteksi

pengaruh

obat

sehingga

menyebabkan penurunan kesadaran (Muttaqin, 2008).


F.

PROSES KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah,
pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
3. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
Kesadaran GCS.
Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang
otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
Skala Koma Glasgow
No
1

RESPON
Membuka Mata :

NILAI

-Spontan

-Terhadap rangsangan suara

-Terhadap nyeri

-Tidak ada
Verbal :

-Orientasi baik

-Orientasi terganggu

-Kata-kata tidak jelas

-Suara tidak jelas

-Tidak ada respon


Motorik :

- Mampu bergerak

-Melokalisasi nyeri

-Fleksi menarik

-Fleksi abnormal

-Ekstensi

-Tidak ada respon

1
3-15

Total

d. Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.
Jika pasien sadar tanyakan pola makan?
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.

e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia,


gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf
fasialis.
g. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang
didapat pasien dari keluarga.
DIAGNOSA
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
2. Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan
sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak.
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (soporos coma).
5. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Kecemasan keluarga berhubungan keadaan yang kritis pada pasien.
8. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
9. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
10. Risiko

injuri

berhubungan

dengan

menurunnya

kesadaran

atau

meningkatnya tekanan intrakranial.


11. Risiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.

INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda
hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang cepat
dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan
lambat meningkatkan tekanan Pa CO 2 dan menyebabkan asidosis
respiratorik.
b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat
dalam pemberian tidal volume.
c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x
lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai
kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat
mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan
meningkatkan resiko infeksi.
e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat
menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan
penyebaran udara yang tidak adekuat.
f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu
membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
2. Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan
sputum.
Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi
alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.

Rencana tindakan :
a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi
dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme
atau masalah terhadap tube.
b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan
yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube
yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila
sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus
dibatasi untuk mencegah hipoksia.
d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk
semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan
sputum.
3. Resiko gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak
Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi
motorik.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
a. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode
GCS.
Rasional : Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat
kesadaran.
Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus
eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk
menentukan refleks batang otak.
Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal
peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.
b. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.

Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat


kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya
pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan
metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi.
Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.
c. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada
vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
d. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan
pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.
Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial.
e. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat
meningkatkan tekanan intrakrania.
f. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Dapat menurunkan hipoksia otak.
g. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar
(kolaborasi).
Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia
seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga
dapat

menurunkan

udem

otak,

steroid

(dexametason)

untuk

menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang


untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek
negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk
menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (soporos coma)
Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil :

Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai


dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
a. Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama
yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
b. Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan
mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan
kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa
nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.
c. Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus
dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan
sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.
d.

Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga


lingkungan yang aman dan bersih.
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan
yang ada di ruangan.

e. Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan


lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.
5. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer.
Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Rencana tindakan :
a.

Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk
menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.

b.

Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.

c.

Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk
daerah yang menonjol.

d.

Ganti posisi pasien setiap 2 jam

e.

Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan


memudahkan terjadinya kerusakan kulit.

f.

Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam


sekali.

g.

Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.

h.

Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap
8 jam.

i.

Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam
dengan menggunakan H2O2

6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.


Tujuan: Klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan klien tidak
mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi
nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau
lambat, berkeringat dingin.
b. Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
c. Kurangi rangsangan.
d. Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
e. Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
f. Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
7. Kecemasan keluarga berhubungan keadaan yang kritis pada pasien.
Tujuan : Kecemasan keluarga dapat berkurang
Kriteri evaluasi :
Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan
Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan
meningkat.

Rencana tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya.
Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga.
b. Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa
diperhatikan.
c. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan
dilakukan pada pasien.
Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan.
d. Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.
e. Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan
keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis.
8. Defisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat
badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur
bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan
kecil dapat dibantu.
Intervensi:
a. Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan minum,
mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan
kebersihan perseorangan.
b. Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
c. Perawatan kateter bila terpasang.
d. Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk
memudahkan BAB.
e. Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
9. Risiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau


dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit
baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji intake dan out put.
b. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubunubun atau mata cekung dan out put urine.
c. Berikan cairan intra vena sesuai program.
10. Risiko

injuri

berhubungan

dengan

menurunnya

kesadaran

atau

meningkatnya tekanan intrakranial.


Tujuan: Anak terbebas dari injuri.
Intervensi:
a. Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon
terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas
pergerakan menurun, dan kejang.
b. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
c. Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
d. Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
e. Berikan analgetik sesuai program.
11. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Klien akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak
ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada
pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji adanya drainage pada area luka.
b. Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
c. Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
d. Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk,
iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.

Fraktur depresi tulang


tengkorak

Arteri meningeal tengah


robek

Perdarahan
Hematoma epidural

Vena robek

Perdarahan dlm
substansi otak

Perdarahan
Hematoma intrakranial
Hematoma subdural

Hematoma meluas
TIK
Perpindahan jaringan otak & herniasi
Aliran darah otak menurun
Resiko gangguan perfusi otak

Kerusakan jar. otak

Suplai O2 & otak menurun


Hipoksia

Metabolisme anaerob

Kesadaran menurun
Hilang control volunteer otot
pernapasan

Perubahan frekuensi, irama, &


kedalaman pernapasan

Trauma

Reflex menelan/batuk
menurun
Cedera kepala
Akumulasi sekret

Pola nafas tidak efektif


Bersihan jl nafas
tdk efektif

As. Laktat & retensi CO2


Asidosis respiratorik

Hiperkapnea
Hiperventilasi
Pola nafas tdk efektif

Fraktur intertulang

memar pd area otak

Nyeri akut

Defisit
perawatan diri

immobilisasi

Resi
ko
injur
i

Intoleran
si
aktivitas

Resiko gg.
integritas kulit

Anda mungkin juga menyukai