LP SDH
LP SDH
LP SDH
SUBDURAL HEMATOM
A.
PENGERTIAN
Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar
otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh cairan. Paling sering
disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan perdarahan yang
serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih sering terjadi pada vena dan
merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang
subdural (Muttaqin, 2008).
Perdarahan subdural adalah perdarahan karena trauma yang terjadi antara
membran luar dan menengah (meninges) yang meliputi otak. Hematoma subdural
disebabkan karena robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah
vena. Hematoma subdural dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang
subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh
cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan
beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang
menunjukkan lokasi gumpalan darah (Mansjoer, 2001).
Subdural hematoma adalah penimbunan darah di dalam rongga
subdural (di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi
akibat robeknya vena- vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan
sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat
laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling
sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga
menutupi
seluruh
dibawahnya berat.
permukaan
hemisfer
otak
dan
kerusakan
otak
yang
ETIOLOGI
Keadaan subdural hematoma timbul setelah cedera/trauma kepala hebat,
seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi
dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
1. Trauma kapitis
2. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak - anak.
4. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
5. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
6. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati (Muttaqin, 2008).
C.
PATOFISIOLOGI
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal
dapat
bergerak,
sedangkan
sinus
venosus
dalam
keadaan
terfiksir,
berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa
vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan
yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma
epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya
akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat
laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang
berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi
serebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume
otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat
menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan
karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya
hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural
yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar
biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus
hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di
dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada
membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan
volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan
tekanan
intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial
dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh
sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif
perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik
tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains
intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang
dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial
atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika
seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,
didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih
terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural
kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan
darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang
terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan
peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari
perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini,
yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam
subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah
merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis
juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik,
karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi
di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
Perdarahan subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat
timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:
1. Perdarahan Akut
jam.Dengan
meningkatnya
tekanan
intrakranial
seiring
D.
a.
b.
c.
linglung
d.
perubahan ingatan
e.
PENATALAKSANAAN
Konservatif:
1. Bedrest total
2. Pemberian obat-obatan
3. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72
jam setelah injuri.
2. MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti:
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8. CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
Toxicologi:
Untuk
mendeteksi
pengaruh
obat
sehingga
PROSES KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah,
pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
3. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
Kesadaran GCS.
Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang
otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
Skala Koma Glasgow
No
1
RESPON
Membuka Mata :
NILAI
-Spontan
-Terhadap nyeri
-Tidak ada
Verbal :
-Orientasi baik
-Orientasi terganggu
- Mampu bergerak
-Melokalisasi nyeri
-Fleksi menarik
-Fleksi abnormal
-Ekstensi
1
3-15
Total
d. Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.
Jika pasien sadar tanyakan pola makan?
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
injuri
berhubungan
dengan
menurunnya
kesadaran
atau
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda
hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang cepat
dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan
lambat meningkatkan tekanan Pa CO 2 dan menyebabkan asidosis
respiratorik.
b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat
dalam pemberian tidal volume.
c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x
lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai
kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat
mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan
meningkatkan resiko infeksi.
e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat
menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan
penyebaran udara yang tidak adekuat.
f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu
membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
2. Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan
sputum.
Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi
alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi
dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme
atau masalah terhadap tube.
b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan
yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube
yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila
sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus
dibatasi untuk mencegah hipoksia.
d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk
semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan
sputum.
3. Resiko gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak
Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi
motorik.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
a. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode
GCS.
Rasional : Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat
kesadaran.
Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus
eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk
menentukan refleks batang otak.
Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal
peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.
b. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.
menurunkan
udem
otak,
steroid
(dexametason)
untuk
Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk
menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
b.
Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
c.
Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk
daerah yang menonjol.
d.
e.
f.
g.
h.
Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap
8 jam.
i.
Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam
dengan menggunakan H2O2
Rencana tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya.
Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga.
b. Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa
diperhatikan.
c. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan
dilakukan pada pasien.
Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan.
d. Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.
e. Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan
keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis.
8. Defisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat
badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur
bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan
kecil dapat dibantu.
Intervensi:
a. Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan minum,
mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan
kebersihan perseorangan.
b. Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
c. Perawatan kateter bila terpasang.
d. Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk
memudahkan BAB.
e. Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
9. Risiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
injuri
berhubungan
dengan
menurunnya
kesadaran
atau
Perdarahan
Hematoma epidural
Vena robek
Perdarahan dlm
substansi otak
Perdarahan
Hematoma intrakranial
Hematoma subdural
Hematoma meluas
TIK
Perpindahan jaringan otak & herniasi
Aliran darah otak menurun
Resiko gangguan perfusi otak
Metabolisme anaerob
Kesadaran menurun
Hilang control volunteer otot
pernapasan
Trauma
Reflex menelan/batuk
menurun
Cedera kepala
Akumulasi sekret
Hiperkapnea
Hiperventilasi
Pola nafas tdk efektif
Fraktur intertulang
Nyeri akut
Defisit
perawatan diri
immobilisasi
Resi
ko
injur
i
Intoleran
si
aktivitas
Resiko gg.
integritas kulit