Aliran Pendidikan Progresivisme

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 29

ALIRAN PENDIDIKAN PROGRESIVISME

oleh: ahmad mustain (mahasiswa uin tarbiyah sunan kalijaga)

PENDAHULUAN
Progresivisme ditampilkan sebagai aliran filsafat pendidikan yang dapat digunakan
sebagai basis epistimologi bagi pengembangan pendidikan partisipasif, setidaknya ada beberapa
alasan. Pertama, ia kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang
timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang. Kedua, inti perhatiannya pada
kemajuan atau progress. Ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang
oleh progresivisme merupakan bagian utama dari kebudayaan. Ketiga, pengalaman adalah ciri
dinamika hidup. Keempat, Progresivisme tidak cukup hanya mengakui ide-ide, teori-teori, atau
cita-cita sebagai hal yang ada, tetapi yang ada itu harus dicari artinya bagi suatu kemajuan atau
maksud-maksud baik yang lain. Kelima, progresivisme mengharuskan manusia dapat
memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan yang silih
berganti.
Dewasa ini pendidikan islam di Indonesia sering mendapatkan kritikan dari berbagai
pihak. Diantara kritikan tersebut adalah bahwa pendidikan islam di Indonesia belum menemukan
sebuah paradigma dan blueprint yang sustainable baik dalam tatanan teoritis filosofis maupun
operasionalnya sehingga terkesan pendidikan hanya sebagai ajang percobaan. Oleh karenanya
wajar jika muncul sebuah pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya pendidikan islam di
Indonesia tidak terwujud secara factual. Pendapat seperti itu kiranya cukup beralasan karena
penampilan pendidikan itu sendiri yang masih abstrak belum menyentuh realitas budaya
masyarakat Indonesia. Indikator yang paling mudah ditemukan untuk mengungkapkan pendapat
diatas adalah implementasi pendidikan di Indonesia dewasa ini masih banyak mengalami
kendala berupa tujuan pembelajaran masih terfokus pada aspek kognitif, masih banyak guru
tidak professional, kurikulum yang sering berubah dan tidak akuntable, metode pembelajaran
yang tidak tepat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sudah saatnya dilakukan upaya perbaikan
atas kondisi tersebut dengan melacak pada akar masalah yang paling mendasar secara filosifis
dengan harapan dapat terungkap sebab sebab essensial kegagalan system pendidikan islam di
Indonesia.
Dalam konteks pendidikan modern yang diilhami oleh jiwa renaissance (pencerahan)
dengan mengedepankan corak pemikiran rasionalis dan empirik, berkembang sebagai konsep
atau teori-teori pendidikan seperti nativisme, empirisme dan konvergensi. Disamping itu muncul
aliran progesivisme, essensialisme, perenialisme, dan rekonstruksionisme. Progesisvisme
sesungguhnya berkembang pada awal abad 20 dibarat, aliran ini lahir sebagai pembaharu dalam
dunia filsafat pendidikan terutama pada saat ia tampil sebagai lawan kebijakan-kebijakan
konvesional yang diwarisi dari generasi sebelumnya yaitu dari abad 19. Pandangan-pandangan

progesivisme dianggap sebagai the liberal road to culture dalam artian bahwa liberal berarti
fleksibel, berani, toleran, dan bersikap terbuka.
Makalah ini ingin mencoba mengungkapkan lebih dalm tentang teori pendidikan
progresivisme dan pandangannya tentang pendidikan di Indonesia sekarang dan harapannya
adalah munculnya paradigma konseptual baru tentang pendidikan(khususnya pendidikan islam)
di Indonesia yang didasari teori yang berasal dari Negara maju sehingga ikut memajukan
pendidikan di Indonesia. Dari penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya bila masih tertapat
kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini, terima kasih kepada bapak dosen serta rekanrekan yang lain yang telah memberikan saran dalam pembuatan makalah ini.

ALIRAN PROGRESIVISME
Perkembangan Progresivisme
Manusia dulunya selama berabad-abad menghadapi dunia ini hanya dengan ototnya. Akan tetapi
tidaklah begitu banyak membuahkan hasil sebelum lahirnya ilmu pengetahuan yang teratur.
Tatkala manusia telah memulai menyadari alangkah hebatnya tenaga yang mereka miliki ketika
mereka mempergunakan otak mereka sejalan dengan tangan dan anggota badan mereka, maka
terbayanglah kepada mereka bahwa dunia ini dapat mereka perbaiki. Tetapi bukanlah karena
kesadaran yang berangsur-angsur ini, bahkan ide tentang progress atau kemajuan pada akhirnya
tumbuh. Secara lambat laun pula menusia menginsyafi bahwa dunia ini merupakan jalan.
Kata progress pada dasarnya adalah suatu kata baru yang baru bisa di pahami dan dimengerti
maksud dan arti yang sebenarnya pada abad ke 19, namun tidak dapat disangkal lagi bahwa
maksud dari kata tersebut dewasa ini telah dipergunakan dan dikenal di dalam segala
pengalaman hidup kita yang mengandung ide oerbaikan dalam segala sektor kehidupan, seperti
politik, masalah-masalah kemasyarakatan, hubungan kemanusiaan, kehidupan keluarga,
perawatan anak didalam segala keadaan kehidupan termasuk juga bidang agama.
Progresivisme berkembang sejak zaman yunani purba, meskipun baru muncul dengan jelas pada
pertengahan abad ke 19. Itu bisa dilihat dari pemikiran-pemikiran filsuf zaman itu, seperti:

o
o
o

Heraklitus (544-484 sM). progresivisme dalam filsafat heraklitus dapat terbaca pada salah satu
pemikirannya sifat yang terutama dari realita adalah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap di
dunia ini, semuanya berubah-ubah kecuali perubahan itu sendiri. Dengan berpijak pada konsep
segala sesuatu berubah, dapat di maknai bahwa dengan perubahan itu akan tercipta kemajuan
atau progresivitas.
Socrates (469-399 sM). Orang yang berusaha menyatukan epistemologi dengan aksiologi.
Ajarannya bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebijakan, yang berarti bahwa kekuatan
intelektual dan pengatahuan yang baik, menjadi pedoman bagi menusia mampu melakukan yang
baik dengan kemampuan itu ia akan terus melakukan perubahan menuju kemajuan.
Aristoteles (383-322 sM). Ia menyarankan moderasi dan kompromi (jalan tengah, bukan jalan
ekstrim) dalam kehidupan. Dengan menghindari ekstrimitas, manusia dapat menggagas
perubahan dan kemajuan (progress) secara lebih jernih, sehingga sikap moderasi merupakan
salah satu langkah menuju kemajuan.
Pad abad ke 16 muncul nama-nama yang berperan dalam memberikan dasar-dasar bagi
perkembangan progresivisme, seperti:
Francis Bacon (1561-1626 M). Ia memberikan sumbangan pemikiran dalam proses terjadinya
aliran progresivisme, yaitu dengan usahanya memperbaiki dan memperluas metode
eksperimental (metode ilmiah dalam ilmu pengetahuan alam)
Immanuel Kant (1724-1804 M). Ia berpendapat bahwa memuliakan menusia, menjunjung tinggi
kepribadian menusia, member martabat manusia adalah sesuatu kedudukan yang tinggi. Karena
itu sejalan dengan konsep progresivisme yang selalu menghendaki perubahan dan kemajuan.
Hegel. Ia mengajarkan bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya dalam keadaan
gerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tak ada hentinya.
Pada abad 19dan 20 tokoh-tokoh yang terkenal banyak yang berasal dari amerika, namun
yang lebih terkenal adalah Jhon Dewey. Mekipun tokoh-tokoh progresivisme yang terkenal ada
di amerika, namun sejak Perang Dunia I, di Amerika sudah ada sejenis pernag dingin di bidang
filsafat pendidikan antar pengikut-pengikut madzhab progresivisme (kemudian dinamakan
modern). Madzhab tradisional hanyalah dasar-dasar esensial pengetahuan itu untuk menjadi titik
tolak bagi si murid dalam kehidupannya dikemudian hari. Madzhab progresivisme
mempertahankan bahwa sekolah itu harus mencerminkan keadaan masyarakat sekelilingnya dan
anak-anak harus dipersiapkan untuk menjadi warga yang baik bagi masyarakat kelak.
Aliran progresivisme mengkui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam
semua realita, terutama dalam kehidupan untuk tetap survive terhadap semua tantangan hidup
manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme
dinamakan instrumentalisme, karena aliran in beranggapan bahwa kemampuan intelegensi
manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mnegembangkakn kepribadian
manusia. Dinmakan eksperimentalisme karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan
asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Progresivisme
dinamakan environtalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup ini mempengaruhi
pembinaan kepribadian.
Dalam pendapat lain, pragmatisme berpendapat bahwa suatu keterangan itu benar kalau
kebenaran itu seseai dengan realitas, atau suatu keterangn akan di aktakn benar kalau kebenaran
itu sesuai dengan kenyataan. Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan yang meliputi: ilmu hayat, bahwa manusia untuk mengetahui semua masalah
kehidupan. Antropologi yaitu bahwa manusia memiliki pengalaman, pencipta budaya, dengan

demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akn berpikir tentang dirinya sendiri,
lingkungan, pengelaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya.

TOKOH-TOKOH PROGRESIVISME
Filsafat pendidikan progresivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti Jhon
Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg di awal abad 20.
Progresivisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan member penekanan lebih
besar pada kreativitas, aktivitas,belajar naturalistik, hasil belajar dunia nyata, dan juga
pengalaman teman sebaya.
William James (1842-1910).
William james adalah seorang psycologist dan seorang filsuf Amerika yang sangat terkenal.
Paham dan ajarannya sangat berpengaruh diberbagai Negara Eropa dan Amerika. Meskipun
demikian, dia sangat terkenal dikalangan umum Amerika sebagai penulis yang sangat brilian,
dosen serta penceramah dibidang filsafat, juga terkenal sebagai pendiri pragmatisme. James
berkeyakinan bahwa otak atau pikiran harus memiliki fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup,
seperti halnya aspek dari eksistensi organik. Dan ia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu
dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James
menolong untuk membebaskan ilmu jiwa prakonsepsi teologis, dan menempatkannya pada di
atas dasar ilmu prilaku. Buku karangannya yang berjudul prinsiples of psycologi yang terbit
tahun 1890 yang membahas dan mengembangkan ide-ide tersebut, dengan cepat menjadi ilmu
klasik dalam bidang itu, hal inlah yang mengantarkan William James terkenal sebagai ahli
filsafat pragmatisme dan empirisme radikal.
Jhon Dewey (1859-1952)
Jhon Dewey adalah seorang professor di univarsitas Chicago dan Columbia(Amerika).
Torinya tentang sekolah adalah progresivisme yang menekankan pada anak didik dan minatnya
daripada mata pelajaran itu sendiri. Maka muncullah child centered kutikulum dan child
centered school. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini di banding masa depan yang
belum jelas, seperti yang di ungkapkan dewey dalam bukunya my pedagogical creed, bahwa
pendidikan adalah proses dari kehidipan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi
ide dewey anak-anak banyak yang berpartisipasi dalam kegiatan fisik baru peminatan.
Dewey mengembangkan pragmatisme dalam bentuknya yang orisinil, tapi meski demikian
namanya sering pula dihubungkan dengan versi pemikiran yang disebut instrumentalisme.
Dapun ide filsafatnya yang utama, berkisar dalam hubungan dengan problema pendidikan yang
konkrit, baik teori maupun praktik. Ia terkenal oleh internasional berkat sumbangan
pemikirannya terhadap filsafat pemdidikan progresivisme Amerika. Ia tidak hanya berpengaruh

dalam kalangan ahli filsafat professional, akan tetapi juga karena perkembangan idenya yang
fundamental dalam bidang ekonomi, hukum, antropologi, teori politik adan ilmu jiwa. Ia adalah
juru bicara yang sangat terkenal di Amerika Serikat dari cara-cara kehidupan demokratis.
Hans Vaihinger (1852-1933)
Menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis.persesuaian dnegan objeknya tidak
mungkin dibuktikan, satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa yunani
pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejaduan di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya
hanya buatan semata jika pengertian itu berguna untuk mengusai dunia, bolehlah di anggap
benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
George Santaya
George digolongkan pada penganut pragmatism ini, tapi amat sukar untuk memberikan
sifat bagi hasil pemikirannya, karena banyak pengaruh yang bertentangan dengan apa yang
dialaminya.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
A.

B.

PANDANGAN PROGRESIVISME TENTANG PENDIDIKAN


Progresivisme dalam pendidikan adalan bagian dari gerakan revormasi umum social-politik
yang menandai kehidupan Amerika. Progresivisme sebagai sebuah teori muncul sebagai bentuk
reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode-metode formal pengajaran,
belajar mental (kejiwaan), dan suasana klasik peradaban barat. Pada dasarnya teori ini
menekankan beberapa prinsip. Adapun prinsipnya yaitu:
Proses pendidikan berawal dan berakhir pada anak.
Subjek didik adalah aktif, bukan pasif.
Perfan guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing, ataupengarah.
Sekolah adalah masyarakat kecil dari masyarakat besar.
Sekolah harus kooperatif dan demokratif
Aktivitas lebih focus pada pemecahan masalah, bukan untuk pengajaran materi kajian.
Berangkat dari prinsip-prinsip di atas, berikut adalah pandangan progresivisme mengenai
pendidikan dan elemen-elemennya.
Pendidikan
Menurut progresivisme proses pendidikan memiliki dua segi, yaitu psikologis dan
sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya
yang ada pada anak didik yang akan di kembangkan. Psikologinya seperti yang berpangaruh di
Amerika, yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan Pregmatisme. Dari segi sosiologis,
pendidik harus mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya.
Dewey mengatakan tenaga-tenaga itu harus diabdikan pada masyarakat atau kehidupan
social, jadi mempunyai tujuan social. Maka pendidikan adalah proses social dan sekolah adalah
suatu lembaga sosial.
Tujuan umum pendidikan adalah masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih
mengutamakan bidang-bidang studi seperti IPA, Sejarah, Ketrampilan,serta hal-hal lain yang
berguna atau dirasakan langsung oleh masyarakat. Metode scientific lebih dipentingakan dari
pada memorisasi. Praktek kerja di laboratorium, bengkel, kebun, atau sawah merupakan bagian
yang di anjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing (belajar sambil bekerja,
terintegrasi dalam unit).
Kurikulum
Kurikulum sebagai jantung pendidikan tidak saja dimaknai sebagai seperangkat rangkaian mata
pelajaran yang ditawarkan sebagai gaet dalam sebuah program pendidikan disekolah, tetapi

sesungguhnya kurikulum mengandung arti lebih luas, oleh karenannya banyak pakar memaknai
kurikulum dengan titik tekan yang berbeda. Ambil contoh Hirtsdan petters menekankan pada
aspek fungsional yakni kurikulum diposisikan sebagai rambu-rambu yang menjadi acuan dalam
proses belajar mengajar. Sedangkan musgave menekankan pada ruang lingkup pengalaman
belajar yang meliputipengalaman di luar amupun di dalam sekolah.pendapat musgave ini seirama
dengan pendapat romine Stephen yang mengatakan bahwa kurikulum menyakup segala materi
pelajaran, aktivitas dan pengalaman anak didik, dimana ia berada dalam control lembaga
pendidikan, baik yang terjadi di luar maupun yang di dalam kelas.
Dengan dua ragam penekanan arti kurikulum di atas dapat di pahami bahwa karena kurikulum
berfungsi sebagai rambu-rambu dalm proses pembelajaran, kurikulum harus bersifat luwes
sesusai dengan situasi dan kondisi. Untuk itu kurikulum harus harus disusun berdasarkan realitas
kehidupan dan pengalaman sehari-hari peserta didik, di sesuaikan dengan minat peserta didik,
bukan atas dasar selera guru. Progresivisme sebagai salah satu aliran dalam filsafat
pendidikan ingin mengembangkan child centered curriculum, artinya pendidikan
diorientasikan peda pengembangan individu anak didik, memberikan mereka kebebasan
berkreasi, beraktivitas, dan berkembang sebagai pribadi mandiri dengan jalan member
penghayatan-penghayatan emosional, intelektual, dan social ynag seluas dan sekaya mungkin.
Menurut William H. Kilpatrick, kurikulum yang baik didasarkan pada tiga prinsip: pertama,
peningkatan kualitas hidup anak sebaik-baiknya menurut tingkat perkembangan. Kedua,
menjadikan kehidupan actual kea rah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan
menyeluruh. Ketiga, mengembangkan aspek kreatifitas kehidupan yang merupakan tolok ukur
utama bagi keberhasilan sekolah, hingga anak didik berkembang dalam kemampuannya yang
actual, secara aktif memikirkan hal-hal baru untuk dipraktikkan dalam bertindak secara bijaksana
melalui pertimbangan yang matang.
Dari bernagai pandangan tersebut di atas, dapat di simpulkan bahwa sesungguhnya kkurikulum
pendidikan progresivisme menekankan pada how to think dan how to do, bukan what to think
dan what to do artinya lebih menekankan dan mengutamakan metode daripada materi. Tujuannya
adalah memberikan individu kemampuan yang memungkinkannya uuntuk berinteraksi denegan
lingkungan sekitar yang selalu berubah. Dengan menekankan pada aspek metodologi
kurikulum yang disusun berlandaskan filosofis progresivisme, akan dapt menyesuaikan situasi
dan kondisi, luwes atau fleksibel dalam menghadapi perubahan, serta familiar terhadap masa
kini. Progresifisme memandang masa lalu sebagai cermin untuk memahami masa kini dan masa
kini sebagai landasan bagi masa yang akan datang.
C. Pendidik
Guru menurut pandangan filsafat progresivisme adalah sebagai penasihat, pembimbing,
pengarah dan bukan sebagai orang pemegang otoritas penuh yang dapat berbuat apa saja
(otoriter) terhadap muridnya. Sebagai pembimbing karena guru mempunyai pengetahuan dan
pengalaman yang banyak di bidang anak didik maka secara otomatis semestinya ia akan menjadi
penasihat ketika anak didik mengalami jalan buntu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi.
Oleh karena itu peran utama pendidik adalah membantu peserta didik atau murid bagaimana
mereka harus belajar dengan diri mereka sendiri, sehingga pesrta didik akan berkembang
menjadi orang dewasa yang mandiri dalam suatu lingkungannya yang berubah.
Menurut John Dewey, guru harus mengetahui ke arah mana anak akan berkembang, karena anak
hidup dalam lingkungan yang senantiasa terjadi proses interaksi dalam sebuah situasi yang silih
berganti dan sustainable (berkelanjutan). Prinsip keberlanjutan dalam penerapannya berarti
bahwa masa depan harus selalu diperhitungkan di setiap tahapan dalam proses pendidikan. Guru

harus mampu menciptakan suasana kondusif di kelas dengan cara membangungun kesadaran
bersama setiap individu di kelas tersebut akan tujuan bersama sesuai dengan tanggungjawab
masing-masing dalam konteks pembelajaran di kelas, serta konsisten pada tujuan tersebut.
Dengan argumentasi di atas, sesungguhnya Dewey telah meletakkan amanat dan tanggungjawab
yang berat kepada guru. Karena alasan inilah ia tergelincir dalam pernyataan hiperbolanya
dengan menggunakan bahasa Injil-Sosial dengan mengatakan bahwa guru sebagai penjaga pintu
kerajaan Allah yang sesungguhnya.
Teori progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas pendidik sebagai pembimbing aktivitas anak
didik dan berusaha memberikan kemungkinan lingkungan terbaik untuk belajar. Sebagai
Pembimbing ia tidak boleh menonjolkan diri, ia harus bersikap demokratis dan memperhatikan
hak-hak alamiah peserta didik secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan psikologis dengan keyakinan bahwa memberi motivasi lebih penting dari pada hanya
memberi informasi. Pendidik atau guru dan anak didik atau murid bekerja sama dalam
mengembangkan program belajar dan dalam aktualisasi potensi anak didik dalam kepemimpinan
dan kemampuan lain yang dikehendaki.
Dengan demikian dalam teori ini pendidik/guru harus jeli, telaten, konsisten (istiqamah), luwes,
dan cermat dalam mengamati apa yang menjadi kebutuhan anak didik, menguji dan
mengevaluasi kepampuan-kemampuannya dalam tataran praktis dan realistis. Hasil evaluasi
menjadi acuan untuk menentukan pola dan strategi pembelajaran ke depan. Dengan kata lain
guru harus mempunyai kreatifitas dalam mengelola peserta didik, kreatifitas itu akan
berkembang dan berfariasi sebanyak fariasi peserta didik yang ia hadapi.
D. Pesrta Didik
Teori progresivisme menempatkan pesrta didik pada posisi sentral dalam melakukan
pembelajaran. karena murid mempunyai kecenderungan alamiah untuk belajar dan menemukan
sesuatu tentang dunia di sekitarnya dan juga memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus
terpenuhi dalam kehidupannya. Kecenderungan dan kebutuhan tersebut akan memberikan
kepada murid suatu minat yang jelas dalam mempelajari berbagai persoalan.
Anak didik adalah makhluk yang mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk
lain karena peserta didik mempunyai potensi kecerdasan yang merupakan salah satu
kelebihannya. Oleh karenanya setiap murid mempunyai potensi kemampuan sebagai bekal untuk
menghadapi dan memecahkan permasalahan-permasalahannya. Tugas guru adalah meningkatkan
kecerdasan potensial yang telah dimiliki sejak lahir oleh setiap murid menjadi kecerdasan realitas
dalam lapangan pendidikan untuk dapat merespon segala perubahan yang terjadi di
lingkungannya.
Secara institusional sekolah harus memelihara dan manjamin kebebasan berpikir dan berkreasi
kepada para murid, sehingga mereka memilki kemandirian dan aktualisasi diri, namun pendidik
tetap berkewajiban mengawasi dan mengontrol mereka guna meluruskan kesalahan yang
dihadapi murid khusunya dalam segi metodologi berpikir. Dengan demikian prasyarat yang harus
dilakukan oleh peserta didik adalah sikap aktif, dan kreatif, bukan hanya menunggu seorang guru
mengisi dan mentransfer ilmunya kepada mereka. Murid tidak boleh ibarat botol kosong yang
akan berisi ketika diisi oleh penggunanya. Jika demikian yang terjadi maka proses belajar
mengajar hanyalah berwujud transfer of knowledge dari seorang guru kepada murid, dan ini
tidak akan mencerdasakan sehingga dapat dibilang tujuan pendidikan gagal.
E. Teknik dan Proses Belajar
Sebagaimana dikutip oleh Slamet Yahya, John Dewey sebagai tokoh sentral dalam pembahasan
ini, membagi perkembangan anak menjadi tiga fase. Pertama, fase bermain, yaitu pada anak usia

empat samapai delapan tahun. Pada fase ini ditandai dengan hubungan personal dan sosial secara
langsung. Anak mulai berkembang dari interaksi dengan lingkungan rumah tangga menjadi
kehidupan sosial di sekitarnya. Kedua, ketika anak berumur delapan tahun sampai dua belas
tahun. Fase ini ditandai dengan respon dan perhatian sepontan terhadap sesuatu. Pada usia ini
anak bersikap kritis, banyak menanyakan hal-hal disekitarnya, mereka sudah mulai bisa diajari
keterampilan dasar, karena perkembangan inderanya sudah berfungsi secara permanent. Fase
ketiga, ketika anak berusia dua belas ke atas, pada periode ini ditandai dengan adanya perhatian
reflektif terhadap sesuatu, anak sudah mulai bisa bereksperimen mencari masalah,
mengidentifikasi dan sekaligus mencoba mencari solusinya.
Dari paparan fase di atas dapat dipahami bahwa pada fase pertama anak belum memiliki
kemampuan untuk menghubungkan pengalaman aktif dengan pengalaman pasif, keduanya
masing-masing dipahami secara terpisah satu sama lain, sehingga pada fase ini anak belum bisa
mengambil pelajaran langsung tanpa arahan dari orang dewasa. Dalam berinteraksi dengan
lingkungannya anak cenderung memberikan respon spontan tanpa melibatkan pertimbangan
rasio, khususnya pada usia empat sampai lima tahun. Oleh sebab itu sangat diperlukan perhatian
khusus dari orang dewasa dalam memberikan stimulus yang tepat. Pengalaman belajar yang
diberikan pada usia ini biasanya berbentuk permainan yang dapat merangsang kreatifitas anak
didik.
Pada usia delapan sampai dua belas tahun pola berpikir anak mulai berkembang. Pada fase ini
pendidik hendaknya mengarahkan mereka dalam usaha mengaplikasikan daya tersebut ke dalam
pengalaman, perlu mengenalkan mereka langkah-langkah dalam proses berpikir. Permasalahan
yang diberikan kepada anak usia tersebut harus berangkat dari yang konkrit dalam ranah
kehidupan sehari-hari, karena pola pikir mereka pada usia ini belum bisa menangkap hal-hal
yang abstrak.
Pada fase usia dua belas tahun ke atas hingga usia dewasa daya pikir anak bisa diterapkan dalam
penyelasaian masalah yang lebih kompleks dengan melakukan keterampilan tertentu misalnya
perbengkelan, pertukangan, dan sebagainya. Bahkan karena pada periode ini kemampuan
reflektif anak mulai meningkat, maka langkah-langkah tersebut dapat ditemukan dalam solusi
alternatif terhadap masalah yang dihadapinya.
Dengan demikian yang terpenting menurut teori pendidikan progresivisme adalah mengajarkan
cara belajar yang tepat, sehingga seorang dapat belajar setiap saat dari realitas secara mandiri,
baik di dalam maupun di luar sekolah, pada saat, sedang, ataupun setelah menyelesaikan
pendidikan formal. Dengan cara demikian sekolah akan melahirkan individu-individu yang
cerdas, kreatif, dan inovatif yang pada akhirnya dapat melakukan transformasi budaya positif
kearah yang lebih baik dari masyarakat yang progresif.

KESIMPULAN
Teori pendidikan yang di bangun dari filsafat progresivisme dengan Jhon Dewey sebagai
tokoh utamanya pada dasarnya mengutamakan lima hal. Pertama, kurikulum hendaknya disusun
berdasarkan pengalaman edukatif, eksperimental, tersusun secara teratur dan tidak di paksakan
mengikuti selera pembuat kurikulum. Kedua, guru harus mempunyai kelebihan dalam bidang
ilmu pengetahuan dan menguasai bidang tersebut. Guru dalam mendidik tidak boleh memaksa
otoriter kepada anak didik, tetapi guru seharusnya mengarahkan bagaimana cara belajar anak
dengan baik menjalankan fungsinya sebagai penunjuk jalan. Ketiga anak didik memiliki
kesempatan untuk berkembang, aktif dan kreatif, serta mempunyai kebebasan beraktualisasi

dalm menentukan langkah mereka. Keempat, lingkungan merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dalam menunjang keberhasilan dalam pendidikan. kelima, dalam proses pendidikan
hendaknya metode lebih dikedepankan dari pada materi.

DARTAR PUSTAKA
Iman, Muis Sad, Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme Jon
Dewey, Yogyakarta: Safira Insani Press, 2004
Ahmad, Zainal Arifin, Handout Kuliah Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: 2011
http://mahsunmahfudh.blogspot.com/2010/10/implementasi-teori-progresivismedalam.html
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2133097-perbedaan-konsepprogresifisme-dewey-dengan/#ixzz1fiRzRbci
http://wahyudisy.blogspot.com/2008/01/aliran-progresivisme-aliran.html

1.
2.
3.
4.
5.
6.
A.

PANDANGAN PROGRESIVISME TENTANG PENDIDIKAN


Progresivisme dalam pendidikan adalan bagian dari gerakan revormasi umum social-politik
yang menandai kehidupan Amerika. Progresivisme sebagai sebuah teori muncul sebagai bentuk
reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode-metode formal pengajaran,
belajar mental (kejiwaan), dan suasana klasik peradaban barat. Pada dasarnya teori ini
menekankan beberapa prinsip. Adapun prinsipnya yaitu:
Proses pendidikan berawal dan berakhir pada anak.
Subjek didik adalah aktif, bukan pasif.
Perfan guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing, ataupengarah.
Sekolah adalah masyarakat kecil dari masyarakat besar.
Sekolah harus kooperatif dan demokratif
Aktivitas lebih focus pada pemecahan masalah, bukan untuk pengajaran materi kajian.
Berangkat dari prinsip-prinsip di atas, berikut adalah pandangan progresivisme mengenai
pendidikan dan elemen-elemennya.
Pendidikan
Menurut progresivisme proses pendidikan memiliki dua segi, yaitu psikologis dan
sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya
yang ada pada anak didik yang akan di kembangkan. Psikologinya seperti yang berpangaruh di
Amerika, yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan Pregmatisme. Dari segi sosiologis,
pendidik harus mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya.
Dewey mengatakan tenaga-tenaga itu harus diabdikan pada masyarakat atau kehidupan
social, jadi mempunyai tujuan social. Maka pendidikan adalah proses social dan sekolah adalah
suatu lembaga sosial.
Tujuan umum pendidikan adalah masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih
mengutamakan bidang-bidang studi seperti IPA, Sejarah, Ketrampilan,serta hal-hal lain yang

berguna atau dirasakan langsung oleh masyarakat. Metode scientific lebih dipentingakan dari
pada memorisasi. Praktek kerja di laboratorium, bengkel, kebun, atau sawah merupakan bagian
yang di anjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing (belajar sambil bekerja,
terintegrasi dalam unit).
B. Kurikulum
Kurikulum sebagai jantung pendidikan tidak saja dimaknai sebagai seperangkat rangkaian mata
pelajaran yang ditawarkan sebagai gaet dalam sebuah program pendidikan disekolah, tetapi
sesungguhnya kurikulum mengandung arti lebih luas, oleh karenannya banyak pakar memaknai
kurikulum dengan titik tekan yang berbeda. Ambil contoh Hirtsdan petters menekankan pada
aspek fungsional yakni kurikulum diposisikan sebagai rambu-rambu yang menjadi acuan dalam
proses belajar mengajar. Sedangkan musgave menekankan pada ruang lingkup pengalaman
belajar yang meliputipengalaman di luar amupun di dalam sekolah.pendapat musgave ini seirama
dengan pendapat romine Stephen yang mengatakan bahwa kurikulum menyakup segala materi
pelajaran, aktivitas dan pengalaman anak didik, dimana ia berada dalam control lembaga
pendidikan, baik yang terjadi di luar maupun yang di dalam kelas.
Dengan dua ragam penekanan arti kurikulum di atas dapat di pahami bahwa karena kurikulum
berfungsi sebagai rambu-rambu dalm proses pembelajaran, kurikulum harus bersifat luwes
sesusai dengan situasi dan kondisi. Untuk itu kurikulum harus harus disusun berdasarkan realitas
kehidupan dan pengalaman sehari-hari peserta didik, di sesuaikan dengan minat peserta didik,
bukan atas dasar selera guru. Progresivisme sebagai salah satu aliran dalam filsafat
pendidikan ingin mengembangkan child centered curriculum, artinya pendidikan
diorientasikan peda pengembangan individu anak didik, memberikan mereka kebebasan
berkreasi, beraktivitas, dan berkembang sebagai pribadi mandiri dengan jalan member
penghayatan-penghayatan emosional, intelektual, dan social ynag seluas dan sekaya mungkin.
Menurut William H. Kilpatrick, kurikulum yang baik didasarkan pada tiga prinsip: pertama,
peningkatan kualitas hidup anak sebaik-baiknya menurut tingkat perkembangan. Kedua,
menjadikan kehidupan actual kea rah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan
menyeluruh. Ketiga, mengembangkan aspek kreatifitas kehidupan yang merupakan tolok ukur
utama bagi keberhasilan sekolah, hingga anak didik berkembang dalam kemampuannya yang
actual, secara aktif memikirkan hal-hal baru untuk dipraktikkan dalam bertindak secara bijaksana
melalui pertimbangan yang matang.
Dari bernagai pandangan tersebut di atas, dapat di simpulkan bahwa sesungguhnya kkurikulum
pendidikan progresivisme menekankan pada how to think dan how to do, bukan what to think
dan what to do artinya lebih menekankan dan mengutamakan metode daripada materi. Tujuannya
adalah memberikan individu kemampuan yang memungkinkannya uuntuk berinteraksi denegan
lingkungan sekitar yang selalu berubah. Dengan menekankan pada aspek metodologi
kurikulum yang disusun berlandaskan filosofis progresivisme, akan dapt menyesuaikan situasi
dan kondisi, luwes atau fleksibel dalam menghadapi perubahan, serta familiar terhadap masa
kini. Progresifisme memandang masa lalu sebagai cermin untuk memahami masa kini dan masa
kini sebagai landasan bagi masa yang akan datang.
C. Pendidik
Guru menurut pandangan filsafat progresivisme adalah sebagai penasihat, pembimbing,
pengarah dan bukan sebagai orang pemegang otoritas penuh yang dapat berbuat apa saja
(otoriter) terhadap muridnya. Sebagai pembimbing karena guru mempunyai pengetahuan dan
pengalaman yang banyak di bidang anak didik maka secara otomatis semestinya ia akan menjadi
penasihat ketika anak didik mengalami jalan buntu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi.

Oleh karena itu peran utama pendidik adalah membantu peserta didik atau murid bagaimana
mereka harus belajar dengan diri mereka sendiri, sehingga pesrta didik akan berkembang
menjadi orang dewasa yang mandiri dalam suatu lingkungannya yang berubah.
Menurut John Dewey, guru harus mengetahui ke arah mana anak akan berkembang, karena anak
hidup dalam lingkungan yang senantiasa terjadi proses interaksi dalam sebuah situasi yang silih
berganti dan sustainable (berkelanjutan). Prinsip keberlanjutan dalam penerapannya berarti
bahwa masa depan harus selalu diperhitungkan di setiap tahapan dalam proses pendidikan. Guru
harus mampu menciptakan suasana kondusif di kelas dengan cara membangungun kesadaran
bersama setiap individu di kelas tersebut akan tujuan bersama sesuai dengan tanggungjawab
masing-masing dalam konteks pembelajaran di kelas, serta konsisten pada tujuan tersebut.
Dengan argumentasi di atas, sesungguhnya Dewey telah meletakkan amanat dan tanggungjawab
yang berat kepada guru. Karena alasan inilah ia tergelincir dalam pernyataan hiperbolanya
dengan menggunakan bahasa Injil-Sosial dengan mengatakan bahwa guru sebagai penjaga pintu
kerajaan Allah yang sesungguhnya.
Teori progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas pendidik sebagai pembimbing aktivitas anak
didik dan berusaha memberikan kemungkinan lingkungan terbaik untuk belajar. Sebagai
Pembimbing ia tidak boleh menonjolkan diri, ia harus bersikap demokratis dan memperhatikan
hak-hak alamiah peserta didik secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan psikologis dengan keyakinan bahwa memberi motivasi lebih penting dari pada hanya
memberi informasi. Pendidik atau guru dan anak didik atau murid bekerja sama dalam
mengembangkan program belajar dan dalam aktualisasi potensi anak didik dalam kepemimpinan
dan kemampuan lain yang dikehendaki.
Dengan demikian dalam teori ini pendidik/guru harus jeli, telaten, konsisten (istiqamah), luwes,
dan cermat dalam mengamati apa yang menjadi kebutuhan anak didik, menguji dan
mengevaluasi kepampuan-kemampuannya dalam tataran praktis dan realistis. Hasil evaluasi
menjadi acuan untuk menentukan pola dan strategi pembelajaran ke depan. Dengan kata lain
guru harus mempunyai kreatifitas dalam mengelola peserta didik, kreatifitas itu akan
berkembang dan berfariasi sebanyak fariasi peserta didik yang ia hadapi.
D. Pesrta Didik
Teori progresivisme menempatkan pesrta didik pada posisi sentral dalam melakukan
pembelajaran. karena murid mempunyai kecenderungan alamiah untuk belajar dan menemukan
sesuatu tentang dunia di sekitarnya dan juga memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus
terpenuhi dalam kehidupannya. Kecenderungan dan kebutuhan tersebut akan memberikan
kepada murid suatu minat yang jelas dalam mempelajari berbagai persoalan.
Anak didik adalah makhluk yang mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk
lain karena peserta didik mempunyai potensi kecerdasan yang merupakan salah satu
kelebihannya. Oleh karenanya setiap murid mempunyai potensi kemampuan sebagai bekal untuk
menghadapi dan memecahkan permasalahan-permasalahannya. Tugas guru adalah meningkatkan
kecerdasan potensial yang telah dimiliki sejak lahir oleh setiap murid menjadi kecerdasan realitas
dalam lapangan pendidikan untuk dapat merespon segala perubahan yang terjadi di
lingkungannya.
Secara institusional sekolah harus memelihara dan manjamin kebebasan berpikir dan berkreasi
kepada para murid, sehingga mereka memilki kemandirian dan aktualisasi diri, namun pendidik
tetap berkewajiban mengawasi dan mengontrol mereka guna meluruskan kesalahan yang
dihadapi murid khusunya dalam segi metodologi berpikir. Dengan demikian prasyarat yang harus
dilakukan oleh peserta didik adalah sikap aktif, dan kreatif, bukan hanya menunggu seorang guru

mengisi dan mentransfer ilmunya kepada mereka. Murid tidak boleh ibarat botol kosong yang
akan berisi ketika diisi oleh penggunanya. Jika demikian yang terjadi maka proses belajar
mengajar hanyalah berwujud transfer of knowledge dari seorang guru kepada murid, dan ini
tidak akan mencerdasakan sehingga dapat dibilang tujuan pendidikan gagal.
E. Teknik dan Proses Belajar
Sebagaimana dikutip oleh Slamet Yahya, John Dewey sebagai tokoh sentral dalam pembahasan
ini, membagi perkembangan anak menjadi tiga fase. Pertama, fase bermain, yaitu pada anak usia
empat samapai delapan tahun. Pada fase ini ditandai dengan hubungan personal dan sosial secara
langsung. Anak mulai berkembang dari interaksi dengan lingkungan rumah tangga menjadi
kehidupan sosial di sekitarnya. Kedua, ketika anak berumur delapan tahun sampai dua belas
tahun. Fase ini ditandai dengan respon dan perhatian sepontan terhadap sesuatu. Pada usia ini
anak bersikap kritis, banyak menanyakan hal-hal disekitarnya, mereka sudah mulai bisa diajari
keterampilan dasar, karena perkembangan inderanya sudah berfungsi secara permanent. Fase
ketiga, ketika anak berusia dua belas ke atas, pada periode ini ditandai dengan adanya perhatian
reflektif terhadap sesuatu, anak sudah mulai bisa bereksperimen mencari masalah,
mengidentifikasi dan sekaligus mencoba mencari solusinya.
Dari paparan fase di atas dapat dipahami bahwa pada fase pertama anak belum memiliki
kemampuan untuk menghubungkan pengalaman aktif dengan pengalaman pasif, keduanya
masing-masing dipahami secara terpisah satu sama lain, sehingga pada fase ini anak belum bisa
mengambil pelajaran langsung tanpa arahan dari orang dewasa. Dalam berinteraksi dengan
lingkungannya anak cenderung memberikan respon spontan tanpa melibatkan pertimbangan
rasio, khususnya pada usia empat sampai lima tahun. Oleh sebab itu sangat diperlukan perhatian
khusus dari orang dewasa dalam memberikan stimulus yang tepat. Pengalaman belajar yang
diberikan pada usia ini biasanya berbentuk permainan yang dapat merangsang kreatifitas anak
didik.
Pada usia delapan sampai dua belas tahun pola berpikir anak mulai berkembang. Pada fase ini
pendidik hendaknya mengarahkan mereka dalam usaha mengaplikasikan daya tersebut ke dalam
pengalaman, perlu mengenalkan mereka langkah-langkah dalam proses berpikir. Permasalahan
yang diberikan kepada anak usia tersebut harus berangkat dari yang konkrit dalam ranah
kehidupan sehari-hari, karena pola pikir mereka pada usia ini belum bisa menangkap hal-hal
yang abstrak.
Pada fase usia dua belas tahun ke atas hingga usia dewasa daya pikir anak bisa diterapkan dalam
penyelasaian masalah yang lebih kompleks dengan melakukan keterampilan tertentu misalnya
perbengkelan, pertukangan, dan sebagainya. Bahkan karena pada periode ini kemampuan
reflektif anak mulai meningkat, maka langkah-langkah tersebut dapat ditemukan dalam solusi
alternatif terhadap masalah yang dihadapinya.
Dengan demikian yang terpenting menurut teori pendidikan progresivisme adalah mengajarkan
cara belajar yang tepat, sehingga seorang dapat belajar setiap saat dari realitas secara mandiri,
baik di dalam maupun di luar sekolah, pada saat, sedang, ataupun setelah menyelesaikan
pendidikan formal. Dengan cara demikian sekolah akan melahirkan individu-individu yang
cerdas, kreatif, dan inovatif yang pada akhirnya dapat melakukan transformasi budaya positif
kearah yang lebih baik dari masyarakat yang progresif.

KESIMPULAN

Teori pendidikan yang di bangun dari filsafat progresivisme dengan Jhon Dewey sebagai
tokoh utamanya pada dasarnya mengutamakan lima hal. Pertama, kurikulum hendaknya disusun
berdasarkan pengalaman edukatif, eksperimental, tersusun secara teratur dan tidak di paksakan
mengikuti selera pembuat kurikulum. Kedua, guru harus mempunyai kelebihan dalam bidang
ilmu pengetahuan dan menguasai bidang tersebut. Guru dalam mendidik tidak boleh memaksa
otoriter kepada anak didik, tetapi guru seharusnya mengarahkan bagaimana cara belajar anak
dengan baik menjalankan fungsinya sebagai penunjuk jalan. Ketiga anak didik memiliki
kesempatan untuk berkembang, aktif dan kreatif, serta mempunyai kebebasan beraktualisasi
dalm menentukan langkah mereka. Keempat, lingkungan merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dalam menunjang keberhasilan dalam pendidikan. kelima, dalam proses pendidikan
hendaknya metode lebih dikedepankan dari pada materi.

DARTAR PUSTAKA
Iman, Muis Sad, Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme Jon
Dewey, Yogyakarta: Safira Insani Press, 2004
Ahmad, Zainal Arifin, Handout Kuliah Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: 2011
http://mahsunmahfudh.blogspot.com/2010/10/implementasi-teori-progresivismedalam.html
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2133097-perbedaan-konsepprogresifisme-dewey-dengan/#ixzz1fiRzRbci
http://wahyudisy.blogspot.com/2008/01/aliran-progresivisme-aliran.html

ikhsanhidayat28
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Standar

April 21, 2013 Tinggalkan komentar Uncategorized

1. A.

Pengertian

Pembelajaran konstruktivistik adalah pembelajaran yang lebih menekankan pada


proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi
pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk

mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya


sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif.
Yang terpenting dalam teori konstruktivistik adalah bahwa dalam proses pembelajaran
siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Peserta didik perlu
dibiasakan untuk memecahkan masalah dan menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu
dikembangkan karena kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri
sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.

Pembentukan pengetahuan menurut model konstruktivisme memandang subyek aktif


menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan
bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif
akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh
subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan
tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi
secara terus menerus melalui proses rekonstruksi (Piaget,1988:60).
Belajar lebih diarahkan pada experiental learning yaitu merupakan adaptasi
kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman
sejawat, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep
baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik
melainkan pada pebelajar. Belajar seperti ini selain berkenaan dengan hasilnya (outcome)
juga memperhatikan prosesnya dalam konteks tertentu. Pengetahuan yang
ditransformasikan diciptakan dan dirumuskan kembali (created and recreated), bukan
sesuatu yang berdiri sendiri. Bentuknya bisa objektif maupun subjektif, berorientasi pada
penggunaan fungsi konvergen dan divergen otak manusia ( Semiawan, 2001: 6 ).
Pengetahuan dalam pengertian konstruktivisme tidak dibatasi pada pengetahuan
yang logis dan tinggi. Pengetahuan di sini juga dapat mengacu pada pembentukan
gagasan, gambaran, pandangan akan sesuatu atau gejala sederhana. Dalam
konstruktivisme, pengalaman dan lingkungan kadang punya arti lain dengan arti sehari-hari.
Pengalaman tidak harus selalu pengalaman fisis seseorang seperti melihat, merasakan
dengan indranya, tetapi dapat pula pengalaman mental yaitu berinteraksi secara pikiran

dengan suatu obyek (Suparno, 1997 : 80). Dalam konstruktivisme kita sendiri yang aktif
dalam mengembangkan pengetahuan.

1. B.

Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik

1. Proses belajar konstruktivistik


Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai
perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan
sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui prosesnya asimilasi
dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar
lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pangetahuan dari fakta-fakta
yang terlepas-lepas. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu
tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi
dalam jaringan sosial, yang unik yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar
kelas. Oleh sebab itu pengelolaan siswa dalam memperolah gagasannya, bukan sematamata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau
prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah,
dan sebagainya.

2. Peran Siswa
Menurut pandangan kontruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan
kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang
dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan
yang memberi peluang optimal bagian terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling
menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah
lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendala belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki
kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi
dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh karena itu meskipun

kemamuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat
guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.

3. Peranan Guru
Dalam belajar kostruksi guru atau pendidik berperan membantu agar proses
pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa untuk membentuk pengetahuaanya sendiri.
Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar.
Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan
sesuai dengan kemampuannya.
Peranan guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendali, yang meliputi;
1) Menumbuhkan kamandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil
keputusan dan bertindak.
2) Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak dengan meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3) Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa
mempunyai peluang optimal untuk latihan.
Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan
belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala
sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya.

4. Sarana belajar
Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas
siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media,
peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikiranya
tentang sesuatu yang dihadapinya. Untuk menyampaikan pengalaman yaitu menyajikan
bahan kepada murid-murid yang sekiranya tidak mereka peroleh dari pengalaman
langsung. Ini dapat di lakukan dengan melalui film, TV, rekaman suara, dan lain-lain. Hal ini
merupakan pengganti pengalaman yang langsung.

5. Evaluasi
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung
munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan,
serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.

1. C.

Karakteristik perspektif konstruktivistik

Beberapa karakteristik yang merupakan prinsip dasar prespektif kontruktivistik dalam


pembelajaran adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan strategi alternatif untuk memperoleh dan menganalisis informasi.
2. Dimungkinkannya prespektif jamak dalam proses belajar.
3. Peran siswa utama dalam proses belajar, baik dalam mengatur atau mengendalikan
proses berfikirnya sendiri maupun ketika berinteraksi dengan lingkungannya.
4. Peran pendidik atau guru lebih sebagai tutor, fasilitator, dan mentor untuk
mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa.
5. Pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik.

Beranda

WIaRE family
Rabu, 13 Februari 2013

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dari Teori Belajar Konstruktivisme


Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda
dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme
lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamannya.Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain,
karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya.
Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses
asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk
suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang
lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai
penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai
penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan
mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai
upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa mengkonstruksi atau
membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan
menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar
menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman.
Pengetahuan bukanlah hasil pemberian dari orang lain seperti guru, akan tetapi
hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil
dari pemberian tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh
melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan
memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat
dalam setiap individu.

Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:

1.

Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu
sendiri.

2.

Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari


sendiri pertanyaannya.

3.

Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep


secara lengkap.

4.

Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.

5.

Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.


Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori
belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa
juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989:
159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak
melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam
pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena
adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi
1988:133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang
meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau
memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu
(Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.
Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993;
Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of
Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan

sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau


melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama
tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan
kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia
dapat melakukannya (Slavin, 1997).
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar
dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan,
peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan,
memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu
belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis
sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial
memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi
matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah
(problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika,
Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socioconstructivism), siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan
berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi
untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis
sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.

2.2 Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme


Adapun ciri ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah:
1.

Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan


dalam dunia sebenarnya.

2.

Menggalakkan soalan/idea yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya


sebagai panduan merancang pengajaran.

3.

Menyokong pembelajaran secara koperatif mengambil kira sikap dan


pembawaan murid.

4.

Mengambil kira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide.

5.

Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid.

6.
7.

8.

Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru.


Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan
hasil pembelajaran.
Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

2.3 Prinsip-Prinsip Konstruktivisme


Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam
belajar mengajar adalah:
1.

Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.

2.

Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar.

3.

Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi


perubahan konsep ilmiah.

4.

Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi
berjalan lancar.

5.

Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.

6.

Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.

7.

Mmencari dan menilai pendapat siswa.

8.

Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.


Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak
boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat
membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan
mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri
untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu
nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.

2.4 Hakikat Anak Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh


seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan
proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat
dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak
mengkonstruksi
ilmu
berbeda-beda
berdasarkan
kematangan
intelektual
anak berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan
konstruktivisme.
Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan
karakteristik sebagai berikut:
1.

Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.

2.

Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa.

3.

Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara
personal.

4.

Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan


pengaturan situasi kelas.

5.

Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran,


materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir
yang dikembangkan dari teori belajar kognitif. Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif
untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring
laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas
yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pembelajar dengan
faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap
perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa
disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan:

Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu


terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami
urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, tahap-tahap tersebut
didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan,
pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, dan gerak melalui tahap-tahap
tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif
yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial
yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi,
1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak
(Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut:
1.

Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan


individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi.

2.

Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang


memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta
didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar
kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan

3.

Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman
yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada
diri peserta didik.

2.5 Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme


Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif
secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan
kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-

botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan
kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga
penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah
peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua
adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara
bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang
diterima.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam
teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek
dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
1.

Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang


mereka miliki.

2.

Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti.

3.

Strategi siswa lebih bernilai, dan

4.

Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman


dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler
(1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan
pembelajaran, sebagai berikut:

1.

Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan


bahasa sendiri.

2.

Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya


sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.

3.
4.

Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.


Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki
siswa.

5.

Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan

6.

Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.


Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada

kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan


siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri
pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

2.6 Kelebihan Dan Kelemahan Teori Konstruktivistik

Kelebihan

1. Berfikir : Dalam proses membina pengetahuan baru, murid


menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.

berfikir

untuk

2. Faham : Oleh ksrana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan
baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3. Ingat : Oleh karana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat
lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri
kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan
masalah dalam situasi baru.
4. Kemahiran sosial : Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan
dan guru dalam membina pengetahuan baru.
5. Seronok : Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan
berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam
membina pengetahuan baru.

Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam
proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik sepertinya kurang begitu
mendukung.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,


yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori
atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian
dari teori kognitif juga. Piaget menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme
pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas
lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah
sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak
dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial
yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan
siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa
dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Teori konstruktivisme pada dasarnya menekankan pembinaan konsep yang
asas sebelum konsep itu dibangunkan dan kemudiannya diaplikasikan apabila
diperlukan .

DAFTAR RUJUKAN

Budianto. 2010. Teori Belajar dan Implikasi dalam Pembelajaran, (Online),


(http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/09/teori-belajar-dan-implikasinya-dalampembelajarn), diakses 7 Februari 2012.
Nanang wahid. 2009. Teori Belajar Konstruktisme, (Online), (http://209.85.175.132/search?
q=cache:57Ip5H6 1RWsJ:one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/teoribelajar-konstruktivisme
+teori+belajar+bermakna&hl=id&ct=clnk&cd=6&gl=id&client=firefox-a), di akses
7 Februari 2012.
Rochmad. 2009. Bermakna, (Online), (http://209.85.175.132/search?q=cache:l5
Mxjna6c1UJ:rochmad-unnes.blogspot.com/2008/02/tinjauan-filsafat-danpsikologi.html +4.+Pembelajaran+matematika+berdasarkan+filosofi+kons
truktivistik&hl=id&ct=clnk &cd=1&gl=id), diakses 7 Februari 2011.

Suratno J. 2010. Konstruktivisme, (Online), (Jokosuratno's Blog Just another WordPress.com


weblog), diakses 7 Februari 2012.
Tanpa nama. 2010. Teori Konstruktivisme, Analisis, dan
Perkembangannya, (Online), (http://id.shvoong.com/socialsciences/education/2072099-teori-belajar-analisis-danperkembangannya/#ixzz1NoL82pK3), diakses 7 Februari 2012.
Tanpa nama. 2011. Konstruktivisme, (Online), (Copyright dias [email protected]),
diakses 7 Februari 2012.
Tanpa nama. 2011. Konstruktivisme, (Online),
(http://dias.student.umm.ac.id/2010/01/29/isi/), diakses 7 Februari 2012.
Tanpa nama. 2011. Pertumbuhan dan Perkembangan, (Online),
(http://www.contohmakalah.co.cc/2011/05/pertumbuhan-dan-perkembanganterhadap.html), diakses 7 Februari 2012.
Tanpa nama. 2011. Aplikasi Konstruktivistik, (Online),
(http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/194507161976031CORNELIS_JACOB/APLIKASI_PENDEKATAN_KONSTRUKTIVIS_(PPMasy).pdf), diakses 7
Februari 2012.
Tanpa nama. 2012. Konstruktivisme, (Online),
(Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.), diakses 7 Februari 2012.

Konstruktivistik merupakan metode pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dan
kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman atau dengan
kata lain teori ini memberikan keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi,
pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri. Dalam
proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan
bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan
imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek untuk aktif menciptakan
struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya
ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut
disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa
harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah.
Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman suatu konsep secara
lengkap.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa
pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat
sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna
serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang
berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.
Teori ini lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, pengetahuan
sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya,
meskipun usianya tua tetap saja tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap
benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang
sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh
masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang
berkembang terus-menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang sangat menentukan perrkembangan
pengetahuannya.
Unsur-unsur penting dalam teori konstruktivistik:
1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
3. Adanya lingkungan social yang kondusif

Sign in|Recent Site Activity|Report Abuse|Print Page|Powered By Google Sites

Anda mungkin juga menyukai