Asas Hkpid Internasional
Asas Hkpid Internasional
Asas Hkpid Internasional
PROF.DR.ROMLI ATMASASMITA
Pendahuluan
Pertanyaan pertama yang perlu diketahui jawabannya, adalah,
apakah Hukum pidana internasional(international criminal law) itu?
Bassiouni mengemukakan, International Criminal Law (ICL) is a
complex legal discipline that consists of several components bound by
their functional relationship in the pursuit of its value-oriented goals.1
Bassiouni mencoba menggambarkan kepada kita bahwa, pertama, ICL
merupakan disiplin ilmu yang kompleks, artinya disiplin ilmu yang
memiliki lebih dari satu aspek hukum saja, yaitu hukum pidana dan
hukum internasional; dan kedua, ICL memuat keterlibatan banyak
komponen yang secara fungsional mengandung hubungan satu sama
lain seperti,hukum internasional, hukum internasional dan hukum
regional tentang hak asasi manusia, hukum pidana nasional, dan
perbandingan hukum pidana. Ketiga, dari sisi tujuan yang hendak
dicapai, hukum pidana internasional memiliki 3(tiga) tujuan utama,
yaitu: (1) the prevention and suppression of international criminality;
(2) enhancement of accountability and reduction of impunity, dan (3)
the establishment of international criminal justice( pencegahan dan
pemberantasan kejahatan internasional; peningkatan
pertanggungjaaban dan pengurangan impunitas, dan pembentukan
pengadilan internasional). Tujuan pertama, telah dipenuhi dengan
diadopsinya kurang lebih 23 (duapuluh tiga) konvensi internasional
tentang kejahatan transnasional dan internasional; tujuan kedua,
berhubungan erat dengan tujuan ketiga karena tanpa adanya
peradilan nasional untuk mencegah dan menghukum pelaku kejahatan
transnaisonal dan internasional mustahil peradilan internasional dapat
ditegakkan.
Bertitik tolak dari definisi Bassouni dan tujuan hukum pidana
internasional tersebut di atas dapat dikatakan bahwa,hukum pidana
internasional adalah cabang ilmu hukum baru yang memiliki aspek
hukum (pidana) nasional, dan aspek hukum internasional; kedua aspek
hukum tersebut bersifat komplementer satu sama lain. 2 Keberadaan
1
M.Cherrif Bassiouni,Introduction to International Criminal Law; Transnational Publisher,Inc;2003: p.1.
2
Bassiouni, memberikan batas lingkup pengertian hukum pidana internasional/International criminal law,
dengan membedakan antara aspek hukum internasional dari hukum pidana (nasional), dan aspek hukum
pidana dari hukum internasional. Kedua aspek hukum tersebut dipandang sebagai dua disiplin hukum yang
berjalan bersamaan akan tetapi keduanya saling melengkapi satu sama lain. Selanjutnya Bassiouni
memberikan contoh konkrit: aspek pidana dari hukum internasional secara konkrit menunjuk kepada
1
cabang disiplin ilmu hukum ini berasal dari tuntutan praktik penerapan
hukum internasional3 terhadap kejahatan-kejahatan yang bersifat lintas
batas territorial dan melanggar moralitas yang telah diakui oleh
masyarakat internasional.
Sejarah perkembangan hukum pidana internasional merujuk
kepada 3(tiga) sunber yaitu, pertama, praktik hukum kebiasaan
internasional; dengan ditetapkannya, pembajakan di laut (piracy)
sebagai kejahatan yang mengancam umat manusia (hostis humanis
generis) karena menghancurkan arus lalu lintas perdagangan bahan
sandang dan pangan ke berbagai penjuru dunia. Kejahatan
pembajakan merupakan kejahatan pertama dalam sejarah hukum
internasional yang diterima dan diberlakukan prinsip yurisdiksi
universal. Selain kejahatan pembajakan di laut, praktik yang
berkembang dalam implementasi hukum internasional
( kebiasaan hukum internasional) merujuk kepada proses
pembentukan peradilan Nuremberg(1946) dan Peradilan Tokyo
4
(1948) , dan dilanjutkan dengan Adhoc Tribunal untuk bekas jajahan
Yugoslavia (1992) dan untuk Rwanda (1993). Pembentukan Adhoc
tribunal terbaru telah dilaksanakan untuk peradilan kejahatan
genosida di Darfour(2006), dan untuk peradilan genosida di
Kamboja(2007). Rujukan kedua, berasal dari perkembangan Hak
Asasi Manusia. Perkembangan sumber kedua ini menghasilkan satu
fenomena baru dalam perkembangan hukum pidana yang telah diakui
universal, yaitu bahwa, penerapan prinsip non-retroaktif dalam
proses beracara tidak berlaku mutlak, terbukti dengan dibentuknya
Adhoc Tribunal untuk memeriksa dan mengadili kasus kejahatan
dalam yurisdiksi ICC.
2
Pembentukan peradilan Nuremberg dan Tokyo 5 telah
memberikan kontribusi penting dalam perkembangan hukum pidana
internasional, baik terhadap hukum pidana materiel maupun dalam
perkembangan hukum pidana formil.
Kontribusi penting dalam hukum pidana materiel yaitu
6
diterimanya konsep pertanggungjawaban pidana individual dalam
hukum internasional, dan konsep pertanggungjawaban komandan dan
bawahan yang tidak mengenal impunitas (non-impunity principle). 7
Kontribusi penting dalam hukum pidana formil, yaitu diterimanya
prinsip komplementaritas (complementarity principle) 8 dalam hal
pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court) ke dalam yurisdiksi hukum nasional dengan segala
persyaratan-persyaratan yang melekat kepada prinsip tsb. Kontribusi
kedua dalam hukum pidana formil, yaitu diakui nya prinsip non-
retroaktif 9 untuk peradilan kasus kejahatan yurisdiksi ICC
diperbolehkan dengan pembentukan Mahkamah Adhoc, seperti, di
bekasa Jajahan Yugoslavia, Rwanda, Darfur, dan Kamboja, dan Sierra
Leone. Kontribusi ketiga, dihapuskannya asas statute of limitation 10
penuntutan terhadap pelanggaran HAM berat. Kontribusi keempat,
yaitu penerapan ass non-bis in idem bersifat terbatas.11
Konsep pertanggungjawaban pidana individual (individual
criminal liability) dalam penerapan hukum internasional, merupakan
terobosan besar (major breakthough) dalam hukum internasional yang
selama ini hanya mengakui, Negara(State) dan Organisasi
Internasional , sebagai subjek hukum internasional. Prinsip
pertanggungjawaban ini merupakan refleksi dari pendirian Mahkamah
Peradlan Nuremberg yang menegaskan, bahwa, crimes are
committed by men, not by abstract entities.Only by punishing
individuals, international law can be enforced.12 Prinsip baru ini telah
meletakkan dasar-dasar pertanggungjawaban pidana dalam hukum
5
Proses peradilan Nuremberg dan Tokyo kemudian diperkuat dengan telah diadopsi
nya Statuta Mahkamah Pidana Internasional (Statute of International Criminal Law)/atau
dikenal dengan,Statuta Roma, pada tahun 1998; yang telah berlaku efektif sejak 17
Juli tahun 2002.
6
Pasal 25 , Statuta ICC, Individual Criminal Responsibility
7
Alinea Kelima Mukadimah Statuta ICC dan Pasal 27 Statuta ICC,Irrelevance of Official Capacity;
dan Pasal 28 Statuta ICC, Responsibility of commanders and other superiors.
8
Alinea Kesepuluh Mukadiman Statuta ICC dan Pasal 17 Statuta ICC, Issues of admissibility; dan Pasal
20 ayat (3), Non bis in idem
9
Pasal 24 Statuta ICC,Non-Retroactivity rasione personae
10
Pasal 29 Stauta ICC, Non-applicability of statute of limitation
11
Pasal 20 ayat (3) .Statuta ICC
12
Nuremberg Decisions,.
3
internasional yang menempatkan seseorang individu sebagai subjek
hukum internasional dalam kasus-kasus kejahatan internasional 13,atau
disebut, ratione personae par excellence dari hukum pidana
internasional.14
Prinsip Nuremberg yang tersirat dari Putusan Mahkamah Militer
di Nuremberg merupakan landmark case dalam sejarah hukum
internasional pada umumnya, khususnya hukum pidana internasional;
bahkan bagi perkembangan hukum nasional di seluruh dunia.
Pengakuan seorang individu sebagai subjek hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam perkembangan lingkup hukum
internasional merupakan pembaruan penting sejak diakuinya negara
sebagai subjek hukum internasional sebagaimana dicantumkan dalam
Perjanjian Versailles yang telah mengakhiri Perang Dunia Ke I.15
Konsep pertanggungjawaban Komandan atau Atasan dalam
Statuta ICC telah menambah referensi baru di dalam perkembangan
hukum pidana internasional dan hukum pidana nasional. Konsep
pertanggunngjawaban tsb menghapuskan sama sekali prinsip
impunitas (non-impunity principle) dalam hal pertanggunjawaban
seorang komandan atau atasan lainnya terhadap 4(empat) jenis
pelanggaran HAM berat. Sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 5
Statuta ICC.
Kontribusi penting dalam Statua ICC yang patut dicermati dan
dikaji secara mendalam adalah, pemberlakuan prinsip
komplementaritas (Complementarity principle( Inggeris); la
complementarite (Perancis)). Prinsip ini merupakan asas yang diakui
merupakan asas umum pemberlakuan Statuta ICC dalam kasus
kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC: genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi.16 Uraian secara rinci
mengenai asas hukum ini akan terdapat pada uraian mengenai asas-
asas umum hukum pidana internasional.
Eksistensi perkembangan hukum pidana internasional telah
memperkuat sanksi penerapan norma-norma hukum internasional
terhadap pelanggaran hukum internasional yang mengatur kejahatan
13
Lazzimnya telah diakui dalam hukum internasional bahwa subjek hukum internasional adalah negara
(state) dan badan-badan internasional dalam lingkup Perserikatan Bangsa-Bangsa.(Starke, Mochtar
Kususmaatmadja;Brierly).
14
Bassiouni,opc.cit.halaman 12
15
Baca Sejarah Perjanjian Perdamaian Versailles
16
Tiga kejahatan pertama telah berlaku sejak Statuta ICC berlaku efektif pada tanggal 17 Juli 2002,
sedangkan agresi(kejahatan keempat) mulai berlaku terhitung sejak tahun 2009.
4
internasional,17 dan sekaligus juga merupakan jawaban langsung atas
pertanyaan yang sering diajukan para ahli hukum tentang efektivitas
pemberlakuan sanksi internasional di dalam penegakan hukum
18
internasional.
Keberadaan hukum pidana internasional, lebih tepat dikatakan,
the bridging science yang menghubungkan dua kepentingan, yaitu
hukum internasional (international interest) di satu sisi, dan
kepentingan hukum nasional (national interest) di sisi lain, sehingga
keduanya merupakan pasangan disiplin ilmu yang serasi dan saling
melengkapi. Sebagai contoh, kasus ekstradisi Hendra Rahardja,
merupakan upaya penegakan hukum pidana nasional (locus delicti di
Indonesia, Hendra Rahardja , warga negara Indonesia, kerugian
diderita pemerintah Indonesia) ke dalam hukum internasional
(hubungan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia).
Contoh kasus lain, pengadilan HAM Adhoc untuk kasus di Bekas
Jajahan Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Yugoslavia)
tahun 1992, dan Rwanda (International Criminal Tribunal for
Rwanda)tahun 1993. Dalam dua kasus terakhir, telah terjadi, bukan
hubungan antara negara dengan negara, akan tetapi hubungan antara
negara dan ICC(Mahkamah Pidana Internasional). 19 Disinilah letak
keunikan Statuta International Criminal Court (Pengadilan Pidana
Internasional).20
Hukum Pidana Internasional sebagai cabang disiplin ilmu baru,
memiliki modal awal (modalities) baik dalam asas-asas hukum
maupun kaidah-kaidahnya, termasuk ketentuan mengenai prosedur
beracara di muka Pengadilan Pidana Internasional, dan lembaga yang
melaksanakan proses peradilan terhadap pelanggaran HAM berat. 21
17
Bassiouni telah menetapkan 22(duapuluh dua) kejahatan internasional yang tersebar dalam kovensi2
internasional (Baca Cherrff Bassiouni, International Criminal Law; 2003). Romli Atmasasmita, Pengantar
Hukum Pidana Internasional; Penerbit Refika Aditama; edisi kedua, 2003.)
18
Putusan Mahkamah Militer di Nuremberg( 1946) dan Tokyo (1948) dan beberapa Putusan Mahkamah
Adhoc dalam kasus kejahatan Hak Asasi Manusia di Rwanda, Yugoslavia, dan Darfour serta di Khmer
Merah telah membuktikan efektivitas peranan sanksi hukum internasional dalam berbagai kejahatan
internasional.
19
Sejak kelahiran Mahkamah Militer di Nuremberg dan Tokyo, pengertian istilah TRIAL tampak lebih
popular dan telah diakui dalam praktik hukum internasional, yang dalihbahasakan menjadi, Mahkamah ;
sedangkan untuk pembentukan pengadilan adhoc telah dipergunakan istilah, TRIBUNAL, seperti,
International Criminal Tribunal l for Yugoslavia, yang dalihbahasakan, dan lebih tepat, disebut,
Pengadilan Adhoc. Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, telah
menggunakan istilah, Pengadilan HAM, dan Pengadilan HAM Adhoc.
20
Sampai dengan tahun 2006 telah terdapat lebih dari 100 negara peratifikasi Statuta ICC. Indonesia tidak
termasuk negara penandatangan dan peratifikasi Statuta ICC.
21
Istilah pelanggaran HAM berat merupakan alih bahasa dari,Gross violation of human
rights.Pengertian istilah tersebut tidak sama dengan istilah,pelanggaran HAM Yang Berat, karena
pengertian istilah terakhir memiliki konotasi adanya perbedaan pelanggaran HAM Yang Ringan, sedangkan
5
Keseluruhan asas hukum dan kaidah tersebut telah dimuat di dalam
Statuta ICC (Statuta Roma) tahun 1998.22
Bassiouni setelah mengemukakan bahwa dalam hukum pidana
internasional terdapat penal aspect of international law dan
international aspect of national criminal law; maka ia berkesimpulan
bahwa, hukum pidana internasional merupakan suatu degree of cross-
fertilization yang muncul antara kedua aspek tersebut di atas. Proses
ini memberikan kontribusi terhadap harmonisasi norma substantive
dan procedural dalam hukum internasional dan hukum pidana
nasional.23
untuk istilah ini, tidak ada padanannya dalam kejahatan selain yang diatur dalam KUHP, yang termasuk ke
dalam kejahatan konvensional. Selain itu, KUHP ditujukan terhadap SETIAP ORANG, sedangkan Statuta
ICC ditujukan terhadap PENYELENGGARA NEGARA atau SUATU ORGANISASI YANG DISPONORI
OLEH KEKUASAAN.
22
Materi Muatan Statuta ICC meliputi, 13 (tugabelas) bab, dan 128 (seratus dua puluh delapan) pasal.
Keitga belas bab tsb, adalah, Preamble; Part 1, Establishment of the Court; Part 2, Jurisdiction,
adminissibility and applicable law; Part 3, General Principle of Law; Part 4, Composition and
administration of the Court; Part 5, Investigation and Prosecution; Part 6, The Trial; Part 7, Penalties; Part
8, Appeal and Revision; Part 9,International cooperation and judicial assistance; Part 10, Enforcement; Part
11, Assembly of State Parties; Part 12, Financing; Part 13, Final Clauses.
23
Bassiouni, op.cit.halaman 5-6
6
maupun secara teoritik tentang kegunaan disiplin ilmu hukum baru
tersebut.
Karakter hukum pidana internasional sesungguhnya merupakan hukum
pidana nasional yang memiliki aspek internasional, dan bukan
sebaliknya. Di dalam pengertian istilah hukum pidana internasional
terkandung makna penegasan dominasi hukum (pidana) nasional
terhadap hukum internasional atau dengan kata lain sesungguhnya
masih diakui teori monisme dengan primat hukum nasional di atas
teori monisme dengan primat hukum internasional. 24 Mengapa
demikian?
Hukum pidana internasional dalam perspektif Statuta ICC telah
mengakui kebenaran penerimaan teori monisme dengan primat hukum
nasional sekalipun Statuta ICC merupakan suatu perjanjian
internasional yang bersifat non-reserved convention, dan telah
berlaku efektif sejak tanggal 17 Juli tahun 2002.
Pengakuan tersebut di atas terdapat dalam Alinea Kesepuluh
Mukadimah Statuta ICC, yang menegaskan bahwa, the International
Criminal Court established under this Statute shall be complementary
to national criminal jurisdiction; dengan menggunakan kalimat, shall
berarti bunyi Aline Kesepuluh merupakan suatu penegasan kewajiban
setiap negara atau organ PBB (mandatory obligation) untuk mematuhi
atau mentaati prinsip ini (prinsip komplementaritas) kecualia
pengadilan nasional tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
mengadili pelaku kejahatan internacional (HAM) maka ICC akan
mengambil alih proses peradilan terhadap pelaku ybs.25
Karakter hukum pidana internacional secara tegas memperkuat
kedaulatan hukum suatu negara di dalam hubungan internacsonal
dengan beberapa persyaratan tertentu sehingga dari perspektif
Statuta ICC kedaulatan hukum suatu negara tidak bersifat absolut.
Kedaulatan hukum suatu negara bersifat tidak absolut terhadap
24
Baca Mochtar Kusumaatmadja, tentang hubungan hukum nasional dan hukum internasional dalam Buku,
Pengantar Hukum Internasional:Bagian Kesatu; Biina Cipta,tahun..
25
Persyaratan tsb dikenal dengan konsep unwillingness, dan konsep unable (baca
Pasal 17 sd 19 Statuta ICC). Pasal 17 dengan judul, Inadmissibility principle, dirumuskan
secara nyata prinsip tsb dengan kalimat sebagai berikut:
1.Having regard to paragraph 10 of the Preamble and article 1, the Court shall determine that a
case is inadmisible where:
(a) the case is being investigated or prosecuted by a State which has jurisdiction over it, unless
the State is unwilling or unable to genuinely to carry out the investigation or prosecution;
(b) The case has been investigated by a State which has jurisdiction over it and the State has
decided not to prosecute the person concerned, unless the decisin resulted from the
unwillingness and inability of the State genuinely to prosecute..
7
4(empat) jenis pelanggaran HAM Berat (Pasal 5 Statuta ICC) . Kedua
konsep prasyarat pemberlakuan peradilan oleh Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court) di Den Haag (Hague) yang
merupakan karaker hukum pidana internacional ICC tsb menegaskan
kembali dominasi teori monisme dengan primat hukum nasional
terhadap monisme dengan primat hukum internasional.26
Konsekuensi logis dari fakta tersebut di atas maka tepat jika
dikatakan bahwa, hukum pidana internacional adalah hukum pidana
nasional yang memiliki aspek internasional. Kesimpulan ini sejalan
dengan pendapat Bassiouni27 mengenai pengertian dan lingkup
Hukum Pidana Internasional yang merupakan dua disiplin ilmu hukum
yang berjalan bersama-sama akan tetapi saling melengkapi satu sama
lain. Di jelaskan lebih oleh Bassiouni bahwa lingkup hukum pidana
internasional meliputi aspek substantive dan aspek prosedural.
Aspek substantif dari hukum pidana internasional meliputi setiap
Konvensi PBB yang mengatur kejahatan transnasional dan kejahatan
internasional28 yang telah diratifikasi (diakui) sebagai sumber hukum
nasional. Aspek prosedural (internasional) meliputi prosedur
bagaimana penegakan hukum hukum substantif tersebut di dalam
negeri maupun dalam hubungan luar negeri. Aspek ini meliputi seluruh
bentuk kerjasama internasional yang telah diakui dalam hukum
internacional seperti: ekstradisi, bantuan timbal balik dalam masalah
pidana, transfer of sentenced persons; transfer of criminal
proceedings, joint investigation, handing over dll.29
Asas hukum pidana internasional dapat dibedakan dalam dua
kelompok, yaitu pertama, asas-asas hukum yang telah lama diakui
sebagai asas hukum pidana dan asas hukum internasional pada
26
Di dalam peradilan pelanggaran HAM Berat di Bekas Jajahan Yugoslavia, dan Rwanda, Peradlan ICC
diterapkan secara langsung karena yurisdiksi kriminal nasional tidak dapat melaksanakan tugasnya
(kerusuhan dan konflik etnis berkepanjangan) sehingga lembaga penegak hukum tidak efektif. Dalam kasus
Sierra Leone, dan di Timor Leste, dan Kamboja, telah dilaksanakan dengan peradilan campuran atau
Hybrid Court dengan menugaskan hakim internasional bersama dengan hakim local melaksanakan
proses peradilan terhadap pelanggar ham berat.
27
Cherriff Basiouni,Introductio to International Criminal Law; Transnational Publisher; Inc, 2003: p.2- 5;
Romli Atmaasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional;Refika aditama; 2003: halaman 27-28
28
Kejahatan transnasional terorganisasi telah diatur dalam Konvens PBB Anti Kejahatan Transnational
Terorganisasi (UN Convention Against Transnational Organized Crime) tahun 2000, dan Konvensi PBB
Anti Korupsi tahun 2003 (UN Convention Against Corruption). Kejahatan intrnasional (international
crime) telah ditetapkan dan diatur proses peradilannya dalam Statuta ICC (1998) berlaku efektif tahun
2002.
29
Lihat Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi; Undang-undang Nomor 1 tahun 2006
tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana; Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 UU
Pengesahan Asean Mutual Legal Assistance in Criminal Matters(AMLA) tahun 2004 yang telah
dtandatangani oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Kamboja.
8
umumnya; dan kedua, asas-asas hukum yang berkembang dan berasal
dari praktik hukum pidana internasional yang dihasilkan dari putusan
Mahkamah Adhoc Pidana Internasional sejak Putusan Mahkamah Militer
Perang Dunia ke II.
Asas-asas umum hukum pidana yang telah diakui secara
universal ,30 adalah asas legalitas, asas non-retroaktif, asas ne bis in
idem, asas kesalahan individual, asas lex locus delicti, asas hukum
due process of law; asas yurisdiksi personal, serta asas yurisdiksi
universal. Selain asas-asas hukum pidana tersebut, asas umum hukum
internasional yang telah diakui secara universal, seperti, asas pacta
sunt servanda, asas non-interference(prinsip state-souvereingnty),
dan asas hostis humanis generic.31
9
yang menyatakan secara eksplisit, Emphazing that the International
Criminal Court established under this Statute shall be complementary
to national criminal jurisdiction.
Aliena Kesepuluh tersebut menegaskan bahwa, ICC bukan
perpanjangan dari yurisdiksi pengadilan nasional untuk menegaskan
bahwa, pengadilan ICC bersifat independent,imparsial dan akuntabel,
tidak dapat dipengaruhi oleh kepentingan negara mamapun. Alinea
Kesepuluh tsb menegaskan bahwa, tidak ada hubungan langsung
antara ICC dengan yurisdiksi pengadilan nasional dan ICC bukan
pengadilan tingkat Kasasi terhadap pengadilan nasional.
Alinea Kesepuluh harus dibaca dan ditafsirkan serta
dihubungkan dengan Pasal 17(asas inadmisissibility), dan Pasal 98
(penundaan penyerahan kepada ICC). Asas komplementaritas atau
yang saya sebut,Asas kelengkapan mengandung arti bahwa,
pertama, ICC masih mengakui eksistensi kedaulatan Negara (state-
sovereignty) akan tetapi pengakuan tsb tidaklah bersifat mutlak ketika
berhadapan dengan ICC Crimes33. Prinsip non-absolute principle
dalam yurisdiksi atas kejahatan ICC akan diuraikan secara rinci dalam
uraian mengenai rules of inadmissibility. Kedua, sekalipun ICC hanya
berhubungan dengan Negara (State), bukan dengan Pengadilan
(National Court) akan tetapi dalam praktik, implementasi ICC sangat
dipengaruhi oleh integritas dan imparsialitas pengadilan nasional.
Hubungan antara ICC dan Negara ini bersifat unik dan
bertentangan dengan norma-norma hukum internasional umum yang
hanya mengakui NEGARA sebagai subjek hukum bukan pengadilan
ataupun individual. Kunikan hubungan kelembagaan yang diatur dalam
Statuta ICC ini telah menimbulkan pandangan negative terhadap
Statuta ICC di mana mekansime peradilan yang dibangun melalui
Statuta ICC telah merusak pembagian kekuasaan menurut
Montesquieu yang telah lama dianut dalam sistem politik di dunia
sampai saat ini (kekuasaan eksekutif,legislative dan kekuasaan
judikatif). Bahkan dinyataka secara terbuka oleh pemerintah Amerika
10
Serikat bahwa, Statuta ICC telah bertentangan dengan sistem
Konstitusi Amerika Serikat yang telah dianut sejak berabad lamanya.34
34
Uraian mengenai kontroversi ICC dan Kedaulatan Negara terdapat dalam karya, Phillip Meyner, The
International Court Controversy: A Scrutiny of the United States major objections aagainst the Rome
Statute; Transaction Publisher, 2005
35
Pasal 17 Statuta ICC :1.Having regard to paragraph 10 of the Preamble the Court shall determine thata
case is inadmissiblewhere:
(a) The case is being investigated or prosecuted by a State which have jurisdiction over it, unless the
State is unwilling or unable genuinely to carry out the investigation or prosecution
(b) (b) The case has been investigated by a State which has jurisdiction over it and the State has
decided not to prosecute the person concerned, unless the decision resulted from the unwillingnss
or inability of the State genuinely to prosevute
(c) The Peson concerned has already been tired for the conduct whih is subjected of the complaint ,
and a trial by the Court is is not permitted under article 20, paragraph 3,
11
2.No person shall be tried by another court for a crime referred
to article 5
for which that person has already been convicted or acquitted
by the
Court.
3.No person who has been tried by another court for conduct
also
proscribed under article 6,7, or 8 shall be tried by the Court
with respect
to the same conduct unless the proceedings in the other court:
(i) Were for the purpose of shielding the person concerned
from criminal responsibility for crimes within the
jurisdiction of the Court; or
(ii) Otherwise were not conducted independentky or
impartially in accordance with the norms of due process
recognized by international law and were conducted in a
manner which, in the circumstances, was inconsistent
with an intent to bring the person concerned to
justice.
12
termasuk HAK untuk Hidup dan Hak untuk memperoleh jaminan
keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan manusia dan
masyarakatnya..
Terobosan baru terhadap pemberlakuan asas ne bis in idem ini
merupakan upaya manusiaa sejak awal abad 20 khusus pasca
Deklarasi HAM Universal (1948) untuk menempatkan manusia dan
kehidupannya tidak lagi sebagaimana digambarkan Thomas Hobbes,
Homo Homini Lupus, Belumm Omnium Contra Omnes, Manusia
adalah serigala bagi manusia lainnya dan satu sama lain saling
membunuh.
Di sisi lain terobosan hukum tersebut membuktikan sekali lagi
bahwa, hal-hal yang terkait pemikiran manusia tidak bersifat abadi
karena hukum tidak pernah dapat menjangkau jauh ke pada masa
yang akan datang melainkan hanya dapat menjangkau dengan
sempurna peristiwa-peristiwa yang telah terjadi (ex-ante). Sekali lagi
hal ini menunjukkan keterbatasan (limtasi) alam pikir manusia di
hadapann Tuhan Yang Maha Esa.
Terobosan hukum ini juga menunjukkan betapa rentannya
keberadaaan asas-asas umum hukum pidana yang berlaku universal
ketika menghadapi kejahatan-kejahatan internasional yang berdampak
luar biasa besarnya terhadap keselematan umat manusia. Dalam
kaitan ini hendaknya pembaca mengingat kembali dan merenungkan
perkembangan baru ini dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja
tentang peranan dan fungsi hukum dalam pembangunan nasional.
Statuta ICC membedakan 4(empat) jenis yurisdiksi yaitu: (1)
ratione materiae dalam arti masalah yang bersifat substantive, (2)
yurisdiksi ratione personae, dalam arti individu yang terlibat dalam
pelanggaran HAM berat, (3) yurisdiksi ratione temporis dalam arti,
berkaitan dengan waktu; dan (4) yurisdiksi ratione loci, dalam arti
berkaitan dengan tempat terjadinya pelanggaran HAM berat.36
13
Asas Au dedere Au Judicare, berasal dari Bassiouni, yang berarti :
Setiap negara wajib menuntut dan menghukum kejahatan yang terjadi
di wilayah yurisdiksi negaranya, jika tidak menuntut dan mengadili,
negara wajib meng-ekstradisikan pelakunya ke negara yang memiliki
kepentingan atas kejahatan tsb.
14