Evaluasi Kebijakan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

Evaluasi Kebijakan (Policy Evalution)

Pembuatan kebijakan seharusnya berkontribusi untuk memecahkan masalah atau paling tidak
mengurangi beban masalah. Selama tahap evaluasi dari siklus kebijakan, hasil kebijakan yang
diharapkan bergerak ke pusat perhatian. Alasan normatif yang masuk akal bahwa akhirnya
pembuatan kebijakan harus dinilai terhadap tujuan dimaksud dan dampak yang membentuk titik
awal evaluasi kebijakan.

Namun, evaluasi tidak hanya terkait dengan tahap akhir dalam siklus kebijakan, yang baik berakhir
dengan penghentian kebijakan atau mendesain ulang berdasarkan persepsi masalah yang diubah
dan agenda setting. Pada saat yang sama, penelitian evaluasi membentuk sub disiplin terpisah
dalam ilmu kebijakan yang berfokus pada hasil yang diharapkan dan konsekuensi yang tidak
diinginkan dari kebijakan. Studi evaluasi tidak terbatas pada tahap tertentu dalam siklus kebijakan,
melainkan perspektif yang diterapkan untuk seluruh proses pembuatan kebijakan dan dari perspektif
yang berbeda dalam hal waktu (ex, ente, ex post).

Selain itu, peran evaluasi dalam proses kebijakan jauh melampaui ruang lingkup studi evaluasi
ilmiah. Evaluasi kebijakan berlangsung rutin dan sebagai bagian proses dan perdebatan politik. Oleh
karena itu, evaluasi ilmiah telah dibedakan dari evaluasi administrasi yang dilakukan atau
diprakarsai oleh administrasi publik dan evaluasi politik yang dilakukan oleh beragam aktor dalam
arena politik, termasuk masyarakat luas dan media (Howlett dan Ramesh, 2003).

Evaluasi dapat menyebabkan pola beragam dari pelajaran kebijakan, dengan implikasi yang
berbeda dalam hal mekanisme umpan balik dan potensi me-restart proses kebijakan. Satu pola
kebijakan sukses akan diperkuat, sebuah pola yang membentuk ide inti dari proyek percontohan
yang disebut (atau model percobaan), di mana ukuran tertentu terlebih dulu diperkenalkan dalam
(teritorial, substantif, atau temporal) konteks terbatas dan hanya diperpanjang jika evaluasi
mendukung. Namun, daripada meningkatkan berdasarkan bukti pembuatan kebijakan, proyek
percontohan dapat mewakili alat yang digunakan untuk tujuan menghindari konflik; tindakan
diperebutkan tidak akhirnya diadopsi tapi diambil sebagai proyek percontohan dan ditunda sampai
suasana politik sudah matang bagi tindakan yang lebih tahan lama.

A. Pendekatan Evaluasi Kebijakan


Evaluasi kebijakan publik memiliki tipe dan pendekatan yang beragam dan berbeda, tergantung dari
pada tujuan ataupun sudut pandang dari para evaluator yang akan melakukan evaluasi. Dunn
membagi pendekatan evaluasi menjadi tiga bagian antara lain :

1. Evaluasi Semu
Evaluasi semu (Pseudo Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode
deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan,
tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap
individu. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai
merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self evident) atau tidak kontroversial.

2. Evaluasi Formal
Evaluasi formal merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan
informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hal
tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah dimumkan secara formal oleh pembuat
kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuandan
target diumukan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai
kebijakan program.

3. Evaluasi Keputusan Teoritis.


Evaluasi keputusan teoritis adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil
kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan. Asumsi dari evaluasi
teoritis keputusan adalah bahwa tujuan dan sasaran dari perilaku kebijakan baik yang dinyatakan
secara formal maupun secara tersembunyi merupakan ukuran yang layak terhadap manfaat atau
nilai kebijakan dan program.

B. Tahapan dan Kendala Evaluasi Kebijakan


Evaluasi dalam pelaksanaanya memiliki tahapan atau langkah-langkah yang dapat dilakukan agar
dapat berjalan secara sistematis. Evaluasi dengan ilmiah merupakan evaluasi yang mempunyai
kemampuan yang lebih baik untuk menjalankan evaluasi kebijakan dibandingkan dengan tipe
evaluasi lain. Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan
enam langkah dalam evaluasi kebijakan yaitu :

1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi.

2. Analisis terhadap masalah.

3. Deskripsi dan standardisasi kegiatan.

4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi.

5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan


tersebut atau karena penyebab lain.

6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.

Langkah-langkah tersebut dibuat agar suatu evaluasi dapat efektif dengan berjalan secara
sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak terlepas dari kemungkin timbulnya masalah
atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang kompleks, sehingga kendala
atau masalah tersebut dapat menghambat pelaksanaan evaluasi tersebut.

Anderson dalam Winarno mengidentifikasi enam masalah yang akan dihadapi dalam proses
evaluasi kebijakan, antara lain:
1. Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan. Bila tujuan-tujuan dari suatu
kebijakan tidak jelas atau tersebar, maka kesulitan yang timbul adalah
menentukan sejauh mana tujuan-tujuan tersebut telah dicapai. Ketidakjelasan
biasanya berangkat dari proses penetapan kebijakan.
2. Kausalitas. Terdapat kesulitan dalam melakukan penentuan kausalitas antara
tindakan-tindakan yang dilakukan terutama dalam masalah-masalah yang
kompleks. Sringkali ditemukan suatu perubahan terjadi , tetapi tidak disebabkan
suatu tindakan atau kebijakan.
3. Dampak kebijakan yang menyebar. Tindakan-tindakan kebijakan mungkin
mempengaruhi kelompok-kelompok lain selain kelompok-kelompok yang menjadi
sasaran kebijakan. Hal ini sebagai akibat dari eksternalitas atau dampak yang
melimpah yakni suatu dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan
atau kelompok selain mereka yang menjadi sasaran kebijakan.
4. Kesulitan-kesulitan dalam memperoleh data. Kekurangan data statistik dan
informasi-informasi lain yang relevan akan menghalangi para evaluator untuk
melakukan evaluasi kebijakan.
5. Resistensi pejabat. Para pejabat pelaksana program mempunyai
kecenderungan untuk tidak mendorong studi-studi evaluasi, menolak
memberikan data, atau tidak menyediakan dokumen yang lengkap.
6. Evaluasi mengurangi dampak. Berdasarkan alasan tertentu, suatu evaluasi
kebijakan yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik sebagai
evaluasi yang tidak meyakinkan. Hal inilah yang mendorong mengapa suatu
evaluasi kebijakan yang telah dilakukan tidak mendapat perhatian yang
semsetinya bahkan diabaikan, meskipun evaluasi tersebut benar.

Parameter Evaluasi Kebijakan


Evaluasi kebijakan publik, dalam tahapan pelaksanaannya menggunakan pengembangan beberapa
indikator untuk menghindari timbulnya bias serta sebagai pedoman ataupun arahan bagi evaluator.
Kriteria-kriteria yang ditetapkan menjadi tolak ukur dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu
kebijakan publik. Nugroho menjelaskan bahwasannya evaluasi memberi informasi yang valid dan
dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan
telah dapat dicapai melalui tindakan publik. William N. Dunn mengemukakan beberapa kriteria
rekomendasi kebijakan yang sama dengan kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi
kebijakan terdiri atas:
1. Efektifitas (effectiveness). Berkenaan dengan apakah suatu alternatif
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya
tindakan. Efektifitas, yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis,
selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya.
2. Efisiensi (efficiency). Berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efektifitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari
rasionalitas ekonomi adalah merupakan hubungan antara efektifitas dan usaha,
yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter.
3. Kecukupan (adequacy). Berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan menumbuhkan adanya
masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara
alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
4. Perataan (equity). Erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan
menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang
berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah
kebijakan yang akibatnya (misalnya, unit pelayanan atau manfaat moneter) atau
usaha (misalnya biaya moneter) secara adil didistribusikan. Kebijakan yang
dirancang untuk mendistribusikan pendapatan, kesempatan pendidikan, atau
pelayanan pendidikan kadang-kadang didistribusikan atas dasar kriteria
kesamaan. Kriteria kesamaan erat berhubungan dengan konsepsi yang saling
bersaing, yaitu keadilan atau kewajaran dan terhadap konflik etis sekitar dasar
yang memadai untuk mendistribusikan risoris masyarakat.
5. Responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-
kelompok masyarakat tertentu. kriteria responsivitas adalah penting karena
analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya efektifitas, efisiensi,
kecukupan, kesamaan masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual
dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.
6. Ketepatan (appropriateness). Kriterian ketepatan secara dekat berhubungan
dengan rasionalitas, substantif, karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan
tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi dua atau lebih kriteria
secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan
program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.
Secara umum, Dunn mengggambarkan kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik sebagai berikut :
Sumber : William N. Dunn, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi
Kedua, Yogyakarta; Gadjah Mada University Press Hal. 610

Tujuan Evaluasi Kebijakan


Tujuan dan lingkup analisis (riset) evaluasi menurut Carol H. Weiss (1972, p.4)
adalah : To measure the effects of a program against the goals it set out to accomplish
as a means of contributing to subsequent decision making about the program and
improving future programming. The effect emphasizes the outcomes of the program,
rather than its efficiecy, honesty, morale, or adherence to rule or standars. The
comparison of effects with goals stresses the use of explicit criteria for judging how well
the program is doing. Weis secara tegas menyatakan bahwa tujuan analisis evaluasi
lebih pada pengukuran efek dan dampak sebuah program/kebijakan pada masyarakat,
dibanding pengukuran atas efisiensi, kejujuran pelaksanaan, dan lain-lain yang terkait
dengan standar-standar pelaksanaan. Tujuan kebijakan itu sendiri adalah untuk
menghasilkan dampak/perubahan, sehingga wajar jika untuk itulah evaluasi dilakukan.
Adapun yang membedakan antara analisis studi implementasi dengan analisis studi
evaluasi dapat kita lihat yang dinyatakan oleh Parsons : evaluation eximines how
public policy and the people who deliver it may be appraised, audited, valued and
controlled while the study of implementation is about how policy is put into action and
practice (1995, p. 461).

Meskipun dilakukan secara sistematis, namun ada beberapa hal yang membedakan
analisi evaluasi dengan analisis akademik lainnya, yang menurut Weiss (p. 6-7)adalah :

1. Evaluasi ditujukan untuk pembuatan keputusan, untuk menganalisis problem


sebagaimana yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan oleh periset,
sebab si pembuat keputusanlah yang berkentingan terhadap hasil evaluasi.

2. Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam
setting akademik, karenanya pertanyaan-pertanyaan evaluasi diarahkan oleh
program. Peneliti tidak membangun asumsi dan hipotesisnya sendiri
sebagaimana pada studi-studi lain.
3. Evaluasi memberikan penilaian atas pencapaian tujuan, bukan mengevaluasi
tujuan Atau dari pernyataan Browne & Wildavsky : Evaluators are able to tell us
a lot about what happened which objectives, whose objectives, were achieved
and a little about why the causal connections (Hill & Hupe, 12), yang
merupakan wilayah analisis implementasi.
Karena meski tujuan dan dampak saling berinteraksi namun dampak tidak dapat dinilai
melalui seperangkat tujuan yang dirumuskan secara tegas. Ada pun tujuan evaluasi
antara lain:

1. Mengukur efek suatu program/kebijakan pada kehidupan masyarakat dengan


membandingkan kondisi antara sebelum dan sesudah adanya program tersebut.
Mengukur efek menunjuk pada perlunya metodologi penelitian. Sedang
membandingkan efek dengan tujuan mengharuskan penggunaan kriteria untuk
mengukur keberhasilan

2. Memperoleh informasi tentang kinerja implementasi kebijakan dan menilai


kesesuaian dan perubahan program dengan rencana

3. Memberikan umpan balik bagi manajemen dalam rangka perbaikan/


penyempurnaan implementasi

4. Memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan untuk pembuatan keputusan


lebih lanjut mengenai program di masa datang sebagai bentuk pertanggung-
jawaban publik/ memenuhi akuntabilitas publik.

Fungsi Evaluasi (William N. Dunn; Ripley) Evaluasi kebijakan berfungsi untuk memenuhi
akuntabilitas publik, karenanya sebuah kajian evaluasi harus mampu memenuhi esensi
akuntabilitas tersebut, yakni:

1. Memberikan Eksplanasi yang logis atas realitas pelaksanaan sebuah


program/kebijakan. Untuk itu dalam studi evaluasi perlu dilakukan
penelitian/kajian tentang hubungan kausal atau sebab akibat

2. Mengukur Kepatuhan, yakni mampu melihat kesesuaian antara pelaksanaan


dengan standar dan prosedur yang telah ditetapkan

3. Melakukan Auditing, untuk melihat apakah output kebijakan sampai pada


sasaran yang dituju? Apakah ada kebocoran dan penyimpangan pada
penggunaan anggaran, apakah ada penyimpangan tujuan program, dan pada
pelaksanaan program akunting untuk melihat dan mengukur akibat sosial
ekonomi dari kebijakan.

Misalnya seberapa jauh program yang dimaksud mampu meningkatkan pendapatan


masyarakat, adakah dampak yang ditimbulkan telah sesuai dengan yang diharapkan,
adakah dampak yang tak diharapkan.
Dimensi Evaluasi
Secara garis besar ada dua dimensi penting yang harus diperoleh informasinya dari
studi dievaluasi dalam kebijakan public.

Dimensi tersebut adalah:

1. Evaluasi kinerja pencapaian tujuan Kebijakan, yakni mengevaluasi kinerja orang-


orang yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan. Darinya kita
akan memperoleh jawaban atau informasi mengenai kinerja implementasi,
efektifitas dan efisiensi, dlsb yang terkait.

2. Evaluasi kebijakan dan dampaknya, yakni mengevaluasi kebijakan itu sendiri


serta kandungan programnya.

Darinya kita akan memperoleh informasi mengenai manfaat (efek) kebijakan, dampak
(outcome) kebijakan, kesesuaian kebijakan/program dengan tujuan yang ingin
dicapainya (kesesuaian antara sarana dan tujuan), dll Menurut Palumbo dimensi kajian
pada studi evaluasi mencakup keseluruhan siklus di dalam proses kebijakan, dari saat
penyusunan desain kebijakan, saat implementasi, hingga saat selesai
diimplementasikan. Kajian dalam studi evaluasi kebijakan meliputi dimensi-dimensi:

1. Evaluasi Proses pembuatan kebijakan atau sebelum kebijakan dilaksanakan. Pada


tahap ini menurut Palumbo diperlukan dua kali evaluasi. Pertama, evaluasi
desain kebijakan, untuk menilai apakah alternative-alternatif yang dipilih sudah
merupakan alternative yang paling hemat dengan mengukur hubungan antara
biaya dengan manfaat (cost-benefit analysis), dan lain-lain yang bersifat rasional
dan terukur. Kedua, evaluasi legitimasi kebijakan, untuk menilai derajad
penerimaan suatu kebijakan atau program oleh
masyarakat/stakeholder/kelompok sasaran yang dituju oleh kebijakan tersebut.
Metode evaluasi diperoleh melalui jajak pendapat (pooling), survery, dll.

2. Evaluasi Formatif yang dilakukan pada saat proses implementasi kebijakan


sedang berlangsung Tujuan evaluasi formatif ini utamanya adalah untuk
mengetahui seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan kondisi-
kondisi apa yang dapat diupayakan untuk meningkatkan keberhasilannya. Dalam
istilah manajemen, evaluasi formatif adalah monitoring terhadap pengaplikasian
kebijakan. Evaluasi Formatif banyak melibatkan ukuran-ukuran kuantitatif
sebagai pengukuran kinerja implementasi.

3. Evaluasi Sumatif yang dilakukan pada saat kebijakan telah diimplementasikan


dan memberikan dampak . Tujuan evaluasi Sumatif ini adalah untuk mengukur
bagaimana efektifitas kebijakan/program tersebut member dampak yang nyata
pada problem yang ditangani.
*http://ariplie.blogspot.co.id/2015/05/evaluasi-kebijakan-policy-evaluation.html

Anda mungkin juga menyukai