Masterplan Drainase Bandung Raya
Masterplan Drainase Bandung Raya
Masterplan Drainase Bandung Raya
Akhir
Bab 1
Pendahuluan
Daerah Metropolitan Bandung, sebagai Pusat Kegiatan Nasional, juga tidak luput dari
permasalahan tersebut. Banjir besar rutin terjadi tiap tahun di kawasan Bandung
Selatan, seperti di Dayeuh Kolot dan Majalaya. Sedangkan penanganan genangan
juga selalu terjadi disetiap turun hujan besar, misalnya di beberapa titik di Kota
Bandung seperti Kawasan Gede Bage, di Kabupaten Bandung seperti di Rancaekek
dan Cicalengka, serta di daerah Kopo dan Soreang.
Untuk dapat memahami hal tersebut di atas, yang berarti dapat mencari akar
permasalahan sistem drainase di Metropolitan Bandung, maka Dinas Permukiman dan
Perumahan Provinsi Jawa Barat pada tahun anggaran 2009 menyelenggarakan
Maksud dari pekerjaan Perencanaan Induk Drainase di Wilayah Metro Bandung ini
adalah agar dihasilkan suatu dokumen yang dapat memberikan acuan secara lengkap
dan menyeluruh atas kondisi permasalahan dan potensi sistem drainase sebagai dasar
perencanaan jaringan drainase di wilayah Metropolitan Bandung.
Secara garis besar Laporan Antara ini disajikan dalam 5 (lima) bab, yang meliputi :
BAB I Pendahuluan
Berisikan Latar Belakang, Maksud, Tujuan dan Sasaran, Ruang Lingkup,
Lokasi Kegiatan, Keluaran yang dihasilkan dan Sistematika Pembahasan.
Pada bab ini disajikan mengenai Pendekatan dan Metodologi yang diusulkan
dalam pelaksanaan kegiatan PERENCANAAN INDUK DRAINASE DI
WILAYAH METRO BANDUNG.
Pada bab ini disajikan mengenai kondisi eksisting wilayah studi / Lokasi
Kegiatan secara umum.
Pada bab ini disajikan mengenai analisis hidrologi dari daerah perencanaan
diantaranya analisis curah hujan dan analisis curah hujan rencana.
Pada bab ini akan akan disajikan analisis dan evaluasi dari Metro Bandung
yang mengulas tentang analisis pengembangan struktur ruang dll.
Bab 2
Kebutuhan terhadap drainase berawal dan kebutuhan air untuk kehidupan manusia di
mana untuk kebutuhan tersebut manusia memanfaatkan sungai untuk kebutuhan
rumah tangga, pertanian, perikanan, peternakan dan lainnya. Untuk kebutuhan rumah
tangga menghasilkan air kotor yang perlu dialirkan dan dengan makin bertambahnya
pengetahuan manusia mengenai industri yang juga mengeluarkan limbah yang perlu
dialirkan. Pada musim hujan terjadi kelebihan air berupa limpasan permukaan yang
sering kali menyebabkan banjir sehingga manusia mulai berfikir akan kebutuhan
sistem saluran yang dapat mengalirkan air lebih terkendali dan teratur dan
berkembang menjadi ilmu drainase.
Dalam pembahasan lebih lanjut akan dititikberatkan pada drainase perkotaan sebab
drainase yang lebih komplek terdapat pada wilayah perkotaan. Drainase perkotaan
adalah ilmu drainase yang khusus mengkaji kawasan perkotaan yang erat kaitannya
dengan kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya yang ada di kawasan
kota tersebut. Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan pengaliran air
dari wilayah perkotaan yang meliputi kawasan pemukiman, industri, dan perdagangan,
sekolah, rumah sakit, lapangan olah raga, lapangan parkir, instalasi militer, instalasi
listrik, telekomunikasi, pelabuhan udara, pelabuhan laut atau sungai serta fasilitas
umum lainnya yang merupakan bagian dari sarana kota. Desain drainase pekotaan
memiliki keterkaitan dengan tata guna lahan, tata ruang kota, masterplan drainase kota
dan kondisi sosial budaya masyarakat terhadap kedisiplinan dalam hal pembuangan
sampah. Pengertian dranase perkotaan tidak terbatas pada teknik penanganan
kelebihan air, namun lebih luas lagi menyangkut aspek kehidupan di kawasan
perkotaan. Pada semua kawasan perkotaan persoalan drainase cukup komplek, oleh
sebab itu untuk perencanaan dan pembangunan bangunan air untuk drainase
perkotaan, keberhasilannya tergantung pada kemampuan masing-masing perencana,
dan dibutuhkan kerjasama antar beberapa ahli bidang lain yang terkait.
2. Saluran Tertutup
Sistem saluran yang permukaan airnya tidak terpengaruh dengan udara luar.
Saluran ini sering digunakan untuk mengalirkan air limbah atau air kotor yang
mengganggu kesehatan lingkungan dan keindahan.
1. Saluran Interseptor
Saluran yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari
suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya. Saluran ini biasanya dibangun
dan diletakkan pada bagian sejajar dengan kontur. Outlet saluran ini biasanya
terletak pada kolektor atau konveyor atau pada saluran alamiah/sungai.
Suatu daerah yang memiliki jaringan drainase mulai hulu hingga ke satu muara
pembuang tersendiri sehingga jaringan drainasenya terpisah dengan jaringan drainase
daerah pelayanan lainnya. Daerah pelayanan dapat terdiri dari satu atau lebih daerah
aliran. Daerah aliran adalah daerah yang dibatasi oleh batas-batas toporafi sehingga
air yang menggenanginya tidak membebani daerah aliran lainnya.
Pembagian menjadi beberapa daerah pelayanan mempunyai keuntungan yaitu luas
daerah genangan menjadi lebih kecil sehingga debit rencana yang dialirkan saluran
relative lebih kecil, dan akhirnya dapat memberikan dimensi saluran menjadi relatif
lebih ekonomis. Selain itu, dapat menghindari terjadinya kemungkinan letak elevasi
dasar saluran permukaan air di saluran berada di bawah elevasi muka air sungai.
tanah, menambah tinggi muka air tanah, juga merembes di dalam tanah ke arah muka
air terendah, akhirnya juga kemungkinan sampai di laut, danau, sungai. Lalu terjadi lagi
penguapan.
Limpasan permukaan merupakan bagian dan curah hujan yang berlebihan mengalir
selama periode hujan atau sesudah periode hujan. Sumber dari limpasan sebenarnya
bukanlah hanya dari air yang mengalir di atas permukaan tanah saja, melainkan juga
dari air yang mengalir di bawah permukaan yaitu sebagian air yang mengalir ke sungai
dan prosses infiltrasi di bawah permukaan tanah sebelum sampai ke muka air tanah.
Banyak faktor yang mempengaruhi limpasan diantaranya adalah tata guna lahan,
daerah pengaliran, kondisi toporafi dari daerah pengaliran, jenis tanah dan faktor lain
seperti karakteristik sungai, adanya daerah pengaliran yang tidak langsung, daerah
tampungan, drainase buatan dan lain-lain. Untuk mengatasi masalah hujan dan
limpasan dapat digunakan persamaan rasional yang dikemukakan para ahli yang
sifatnya empiris dengan dasar pemikiran bahwa debit yang terjadi akibat adanya hujan
berbanding luruus dengan intensitas hujan dan luas daerah hujan namun untuk
mendekati akurasi perkiraan perlu dikoreksi dengan koefisien-koeffsien tertentu.
Pengaliran di dalam sungai disebabkan terutama oleh hujan. Jatuhnya hujan di suatu
daerah baik menurut waktu atau pembagian geografisnya tidak tetap melainkan
berubah-ubah tergantung pada musim yang sedang berlangsung. Pada musim hujan
besarnya intensitas hujan dan lama waktu hujan dan hari ke hari, jam ke jam tidak
sama demikian pula dari tahun ke tahun, dan juga hujan maksimum juga berlainan.
2.2.1.1. Hujan
Pengelompokan hujan tiap hari yang besarnya tertentu selama bertahun-tahun
memperlihatkan bahwa hujan kecil terjadi lebih sering daripada hujan besar.
Peninjauan lebih lanjut mengenai hujan menunjukkan bahwa hujan yang besarnya
tertentu mempunyai masa ulang rata-rata tertentu pula dalam angka waktu yang cukup
panjang. Pada hujan harian yang besarnya 40 mm terjadi rata-rata 10 tahun sekali,
artinya dalam 50 tahun terjadi 5 kali atau dalam 100 tahun terjadi 10 kali dan
selanjutnya hujan yang besarnya 40 mm sehari itu mempunyai masa ulang rata-rata 10
tahun.
Jumlah air yang dihasilkan akibat hujan tergantung dari intensitas hujan dan lama
waktu hujan. Intensitas hujan yang besar dalam waktu yang singkat akan
menghasilkan yang berbeda dengan intensitas kecil dan waktu yang lama. Keadaan
yang paling ekstrim adalah intensitas besar dengan waktu yang lama. Hal ini dapat
mengakibatkan banjir.
Banjir terjadi akibat adanya limpasan permukaan yang sangat besar yang disebabkan
oleh hujan dan tidak dapat ditampung oleh sungai atau saluran drainase, disamping
limpasan permukaan yang berlebihan disebabkan tanah yang sudah jenuh air.
2.2.1.2. Limpasan
Limpasan permukaan adalah air yang mencapai sungai tanpa mencapai permukaan air
tanah yakni curah hujan yang dikurangi sebagian dari infiltrasi. Limpasan permukaan
merupakan bagian terpenting dari puncak banjir. Bagian dari curah hujan yang
berlebihan dan mengalir selama periode hujan dan sebagian lagi sesudah periode
hujan.
Salah satu sebab pengurangan debit puncak adalah hubungan antara intensitas curah
hujan maksimum yang berbanding terbalik dengan luas daerah hujan tersebut,
berdasarkan asumsi tersebut curah hujan dianggap merata, tetapi mengingat intensitas
curah hujan maksimum yang kejadiannya diperkirakan dalam frekuensi yang tetap
menjadi lebih kecil dengan daerah pengaliran yang lebih besar, maka perkiraan
puncak banjir akan menjadi lebih kecil.
Di Indonesia, alat ini sangat sedikit dan jarang, yang banyak digunakan adalah alat
pencatat hujan biasa yang mengukur hujan 24 jam atau hujan harian. Apabila yang
tersedia hanya data hujan harian ini maka intensitas hujan dapat diestimasi dengan
menggunakan rumus Mononobe seperti berikut:
Di mana
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm/jam)
T = durasi curah hujan (menit) atau (jam)
Karena intensitas hujan tidak dapat kita tentukan atau kita atur karena hujan terjadi
secara alamiah, namun kita dapat melakukan perkiraan berdasarkan perencanaan
data-data hujan sebelumnya maka dalam mendesain bangunan air kita dapat
memperkirakan hujan rencana berdasarkan periode ulangnya.
Dari Gambar 2-13 memperlihatkan hidrograf rasional untuk durasi hujan sama dengan
waktu konsentrasi. Debit maksimum terjadi saat waktu konsentrasi yaitu setelah aliran
dan tempat yang paling jauh dengan aliran dari bagian lainnya bersama-sama sampai
ke tempat pengukuran dan aliran langsung kembali mengecil setelah hujan berenti.
Apabila lama hujan lebih lama dari waktu konsentrasi, maka debit akan konstan
sebesar debit maksimum sampai hujan berhenti dan kemudian aliran mengcil kembali.
Gambar 2.13. (a) hidrograf durasi hujan (T) sama dengan waktu konsentrasi (TC) dan
(b) durasi hujan (T) lebih besar dari waktu konsentrasi
Dimana
Rr = hujan rencana periode ulang T tahun (mm)
R = hujan harian tahunan maksimum rata-rata (mm)
Sd = standar deviasi
R1 = hujan harian maksimum tahun ke 1
n = jumlah data atau tahun
C=Q/R
Dimana :
C = koefisien pengaliran
Q= jumlah limpasan
R = jumlah curah hujan
Koefisien pengaliran merupakan nilai banding antara bagian hujan yang membentuk
limpasan langsung dengan hujan total yang terjadi. Besaran ini dipengaruhi oleh tata
guna lahan, kemiringan, jenis dan kondisi tanah, pemilihan koefisien pengaliran harus
memperhitungkan kemungkinan adanya perubahan tata guna lahan di kemudian hari,
Koefisien pengaliran secara umum diperlihatkan pada Tabel 2.3.
Di wilayah perkotaan, luas daerah pengeringan pada umumnya terdiri dari beberapa
daerah yang mempunyai karakteristik permukaan tanah yang berbeda sehingga
koefisien pengaliran untuk masing-masing subarea nilainya berbeda dan untuk
menentukan koefisien pengaliran pada wilayah tersebut dilakukan penggabungan dari
masing-masing subarea. Variabel luas subarea dinyatakan dengan Aj dan koefisien
pengaliran dari tiap subarea dinyatakan dengan Cj maka untuk menentukan debit
digunakan rumus sebagai berikut:
Dimana :
Q = debit (m3/det)
C = koefisien aliran sub area
j = intensitas huian selama waktu konsentrasi mm/jam)
Aj = luas daerah aliran (km2)
Rumus rasional lainnya yang menggambarkan hubungan hujan dan limpasannya yang
dipengaruhi oleh penyebaran hujannya sebagai berikut:
Q=CB/A
Dimana :
Q = debit (m3/det)
C = koefisien aliran
B = koefisien penyebaran hujan
l = intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)
A = luas daerah aliran (km2)
B 5 0,995
C 10 0,980
D 15 0,955
E 20 0,920
F 25 0,875
G 30 0,820
H 50 0,500
Dari rumus rasional diatas dapat kita ketahui bahwa besarnya debit sangat dipengaruhi
intensitas hujan dan luas daerah hujan. Karena luas daerah hujan adalah tetap
(merupakan variable bebas) dan intensitas hujan dapat berubah-ubah (variable terikat)
maka dapat dikatakan bahwa besamya debit berbanding lurus dengan intensitas hujan.
Debit air sangat tergantung dan besarnya intensitas hujan maka dapat dikatakan
bahwa semakin besar intensitas hujan maka semakin besar pula debit air yang
dihasilkan.
Dimana :
Cs = koefisien tampungan
Te = waktu konsentrasi (jam)
Td = waktu air mengalir di dalam saluran dari hulu sampai ke tempat pengukuran
(jam)
Waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di atas permukaan tanah menuju
saluran drainase.
b. Conduit time (td)
Waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di sepanjang saluran sampai titik kontrol
yang ditentukan di bagian hilir.
Waktu konsentrasi untuk drainase perkotaan terdiri dari waktu air untuk mengalir
melalui permukaan tanah dan tempat terjauh ke saluran terdekat ditambah waktu untuk
mengalir di dalam saluran ke tempat pengukuran. Waktu konsentrasi dapat dihitung
dengan rumus berikut:
Te=To+Td
Dimana :
Gambar 2.14. Lintasan aliran waktu inlet time dan conduit time
dimana :
Td = conduit time sampai ke tempat pengukuran (jam)
L1 = jarak yangditempuh di dalam saluran ke tempat pengukuran (jam)
V = kecepatan aliran di dalam saluran (m/detik)
Lama waktu mengalir didalam saluran (td) ditentukan dengan rumus sesuai dengan
kondisi salurannya, untuk saluran alami, sifat-sifat hidroliknya sukar ditentukan, maka t d
dapat ditentukan dengan menggunakan perkiraan kecepatan air seperti pada Tabel 3-5
. Pada saluran buatan nilai kecepatan aliran dapat dimodifikasi berdasarkan nilai
kekasaran dinding saluran menurut Manning, Chezy atau yang lainnya.
Harga Tc ditentukan oleh panjang saluran yang dilalui aliran dan kemiringan saluran,
seperti rumus berikut
Atau
dimana :
To = inlet time ke saluran terdekat (menit)
Lo = jarak aliran terjauh di atas tanah hingga saluran terdekat (m)
So = kemiringan muka tanah yang dilalui aliran di atasnya
n = koefisien kekasaran, untuk aspal dan beton adalah 0.013, untuk tanah
bervegetasi adalah 0.02 dan tanah perkerasan adalah 0.100
Harga Td ditentukan oleh panjang saluran yang dilalui aliran dan kecepatan aliran di
dalam saluran, seperti pada rumus berikut:
Dimana
Tc = waktu konsentrasi (jam)
L = panjang jarak dan tempat terjauh di daerah aliran sampai tempat
pengamatan banjir, di ukur menurut jalannya sungai (km)
S = perbandingan dari selisih tinggi antara tempat terjauh dan tempat
pengamatan, diperkirakan sama dengan kemiringan rata-rata dari daerah
aliran.
2.3.1. Pengukuran
Hujan merupakan komponen yang amat penting dalam analisis hidrologi pada
perancanan debit untuk menentukan dimensi saluran drainase. Pengukuran hujan
dilakukan selama 24 jam, dengan cara ini berarti hujan yang diketahui adalah hujan
total yang terjadi selama satu hari. Untuk berbagai kepentingan perancangan drainase-
tertentu data hujan yang diperlukan tidak hanya data hujan harian, akan tetapi juga
distribusi jam-jaman atau menitan. Dalam pemilihan data dianjurkan untuk
menggunakan data hujan hasil pengukuran dengan alat ukur otomatis.
Gambar 2.17. Hasil Pencatatan Alat Ukur Hujan Otomatis (Automatic Raingauge)
Dimana
R = curah hujan daerah
Cara Thienssen ini memberikan hasil yang lebih teliti daripada cara aljabar. Akan tetapi
penentuan titik pengamatan dan pemilihan ketinggian akan mempengaruhi ketelitian
hasil yang didapat. Kerugian yang lain umpamanya untuk penentuan kembali jaringan
segitiga jika terdapat kekurangan pengamatan pada salah satu titik pengamatan.
Cara Isohyet
Peta Isohyet digambarkan pada peta topografi dengan perbedaan 10 mm sampai 20
mm berdasarkan data curah hujan pada titik-titik pengamatan di dalam dan sekitar
daerah yang dimaksud. Luas bagian daerah antara 2 garis Isohyet yang berdekatan
diukur dengan Planimeter. Demikian pula dengan harga rata-rata dari garis-garis
Isohyet yang berdekatan yang termasuk bagian-bagian itu dapat dihitung. Curah hujan
daerah itu dihitung menurut persamaan sebagai berikut:
Dimana :
R = curah hujan daerah
R1, R2...Rn = curah hujan rata-rata pada bagian A1, A2,... An
A1, A2,... An = luas bagian-bagian antara garis isohyet
Cara ini adalah cara rasional yang terbaik jika garis-garis Isohyet dapat digambarkan
dengan teliti. Akan tetapi jika titik-titik pengamatan itu banyak dan variasi curah hujan
di daerah bersangkutan besar, maka pada pembuatan peta Isohyet ini akan terdapat
kesalahan pribadi si pembuat data.
Dimana
R = curah hujan rata-rata setahun I tempat pengamatan R
50 tahunan yang mungkin tidak akan pernah terjadi selama umur bangunan tersebut.
Debit banjir sungai dapat ditentukan dengan menggunakan data debit aliran
maksimum, apabila debit ini tidak ada maka debit banjir dapat diestimasi dengan
menggunakan data hujan maksimum. Data debit sungai yang tercatat adalah data
sampel dan debit aliran sungai, karena secara faktual tidaklah mungkin pada suatu
sungai memilih data populasi debit sungai, yang mengandung makna data debit sejak
sungai tersebut ada hingga tiada. Oleh karenanya untuk menggambarkan karakteristik
populasi debit banjir digunakan analisis statistik.
Debit rencana yang digunakan sebagai nilai rencana pada perencanaan teknik sipil
disebut dengan debit rencana. Besar debit rencana ini ditetapkan dengan suatu nilai
debit banjir disamai atau dilampaui dalam periode ulang T tahun. Semakin besar
periode ulangnya maka semakin besar nilai debit banjirnya. Debit rencana periode
ulang 10 tahun lebih besar dari debit rencana periode ulang 5 tahun. Debit rencana
ulang T tahun mengandung makna, misalnya debit rencana 100 tahun, nilai debit banjir
ini akan disamai atau dilampaui rata-rata 1 kali dalam 100 tahun atau rata-rata 5 kali
dalam 500 tahun atau 10 kali dalam 1000 tahun. Untuk menetapkan nilai debit rencana
ini dapat digunakan statistic hidrologi Distribusi Gumbel Tipe I atau Distribusi Log
Pearson Tipe 2.
Sebaran data curah hujan harian maksimum tahunan akan mengikuti sebaran nilai-nilai
ekstrim. Dari beberapa tipe sebaran nilai ekstrim yang ada, tipe sebaran Gumbel
merupakan yang sering digunakan di Indonesia untuk menyelesaikan analisis statistik
nilai-nilai ekstrim komponen hidrologi. Faktor frekuensi (K) tipe sebaran Gumbel ini
untuk periode ulang T tahun dapat diperoleh dengan rumus berikut ini
atau
Dimana:
QT = debit rencana penoe ulang T tahun (m3/det)
Qmaks = debit aliran maksimum tahunan rata-rata (m3/det)
K = faktor frekuensi untuk periode ulang T tahun
Sd = standar deviasi (m3/det)
Qmaks = debit aliran maksimum tahunan ke i
n = jumlah data atau tahun
T = periode ulang T tahun
Yn = reduced mean
Sn = reduced standar deviasi
Untuk menentuhan reduced mean (Yn) pada perhitungan nilai faktor frekuensi (K)
untuk periode ulang T tahun, dapat dilihat pada Tabel 2.6 dan untuk menentukan nilai
reduced standar deviasi (Sn) dapat dilihat pada Tabel 2.7
Dimana
P = peluang (%)
m = nomor urut data
n = jumlah data
- Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih terbesar antara peluang
pengamatan dengan peluang teoritis.
2.4.1. Umum
Dalam ilmu hidrolika, system pengaliran dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu sistem
melalui saluran tertutup (pipe flow) dan saluran terbuka (open cannel flow).
Pada pengaliran melalui saluran terbuka terdapat permukaan air yang bebas dimana
dipengaruhi ole tekanan udara luar secara langsung. Pada sistem saluran tertutup
seluruh pipa diisi dengan air sehingga tidak terdapat permukaan yang bebas, oleh
karena itu permukaan air secara langsung tidak dipengaruhi oleh tekanan udara luar,
kecuali hanya oleh tekanan hidrolik yang ada dalam aliran saja. Jika sistem pengaliran
melalui pipa yang airnya tidak penuh maka dalam menyelesaikan masalahnya masih
termasuk pada sistem pengaliran saluran terbuka.
Kedua jenis aliran hampir sama, penyelesaian masalah dalam pengaliran di saluran
terbuka lebih sulit dibandingkan aliran dalan pipa tekan, oleh karena kedudukan
permukaan air bebas cenderung berubah sesuai dengan waktu dan ruang, dan juga
bahwa kedalaman aliran, debit, kemiringan dasar saluran dan kedudukan permukaan
bebas saling bergantung satu sama lain.
Aliran dalam suatu saluran tertutup tidak selalu bersifat aliran pipa. Apabila terdapat
permukaan bebas, harus digolongkan sebagai aliran saluran terbuka. Sebagai contoh,
saluran drainase air hujan (parit) yang merupakan saluran tertutup, biasanya dirancang
untuk aliran saluran terbuka sebab aliran saluran drainase diperkirakan hampir setiap
saat, memilih permukaan bebas.
Aliran disebut seragam apabila variable aliran seperti kedalaman, tampang basah,
kecepatan dan debit pada setiap tampang disepanjang aliran tetap.
Aliran disebut berubah apabila variable aliran seperti kedalaman, tampang basah,
kecepatan dan debit pada setiap tampang di sepanjang aliran tidak tetap. Aliran
berubah dibedakan sebagai berikut:
- Aliran berubah lambat laun (gradually varied)
Terjadi apabila kedalaman aliran berubah secara lambat laun.
- Aliran berubah tiba-tiba (rapidly varied)
a. Saluran Terbuka
Analisis hidrolika yang dimaksud adalah mendapatkan deskripsi saluran, baik terbuka
maupun tertutup, sesuai kapasitas debit yang mengalir. Kriteria perencanaan debit
saluran yang biasa digunakan adalah persamaan umum
Q = A.v
A = (b + mh)h
P = b + 2h m2 + 1
R = A/P
Kecepatan aliran ini dapat didekati dengan persamaan dari Manning, yaitu
dengan c = koefisien
koefisien c ditentukan dengan persamaan menurut Bazin
Saluran Keterangan K
Tanah Q >10 45
5<Q<10 42,50
1<Q<5 40
1>Q dan saluran tersier 35
Pasangan batu kali Pasangan pada satu sisi 42
Pasangan pada dua sisi 45
Pasangan pada semua sisi 50
Pasangan batu kosong Seluruh permukaan 45
Pada dua sisi 42
Pada satu sisi 40
Beton Seluruh permukaan 70
Pada dua sisi 50
Pada satu sisi 45
Kecepatan aliran rencana disesuaikan dengan jenis tanah dimana saluran dibangun.
Kecepatan rencana sangat erat hubungannya dengan kemiringan, dengan kemiringan
yang makin besar kecepatannya juga makin besar. Perencana cenderung membuat
kecepatan rencana yang lebih kecil, tetapi kita harus melihat apakah dengan
kecepatan yang makin besar tuntutan elevasi air rencana masih dapat dipenuhi, jika
masih harus dilihat apakah tidak terjadi gerusan dan apabila terjadi gerusan apakah
kita perlu membuat saluran dengan perkuatan. Demikian juga apabila elevasi air
rencana tidak terpenuhi apakah dengan memperkecil kecepatan rencana tidak
mengakibatkan sedimentasi di saluran.
Khusus saluran-saluran yang lebih besar, stabilitas talud yang diberi pasangan harus
diperiksa agar tidak terjadi gelincir dan sebagainya. Tekanan air dari belakang
pasangan merupakan faktor penting dalam keseimbangan ini.
Meningginya muka air sampai di atas tinggi yang telah direncanakan bisa disebabkan
oleh penutupan pintu secara tiba-tiba di sebelah hilir, variasi ini akan bertambah
dengan membesarnya debit. Meningginya muka air dapat pula diakibatkan pengaliran
air buangan ke dalam saluran.
Tabel 2.12. Kemiringan Minimum Talud untuk Saluran yang Dipadatkan dengan
Baik
Kedalaman air + jagaan D(m) Kemiringan minimum talud
D < 1,0 1 : 10
1,0 < D < 2,0 1 : 1,5
D > 2,0 1 : 2,0
Meningginya muka air sampai di atas tinggi yang telah direncanakan bisa disebabkan
oleh penutupan pintu secara tiba-tiba di sebelah hilir, variasi ini akan bertambah
dengan membesarnya debit. Meningginya muka air dapat pula diakibatkan pengaliran
air buangan ke dalam saluran.
Lebar jalan inspeksi dengan perkerasan adalah 5,0 meter, dengan lebar perkerasan
3,0 meter.
Kurve pengempangan digunakan untuk menghitung panjang serta elevasi muka air
dan tanggul rencana di sepanjang saluran yang terkena pengaruh adanya
pengempangan. Perhitungan yang tepat untuk kurve pengempangan dapat dikerjakan
dengan metode langkah standar (standar step method) bila potongan melintang
kemiringan dan faktor kekerasan saluran ke arah hulu lokasi bangunan yang
terempang cukup jauh.
Perkiraan kurve pengempangan yang cukup akurat dan aman adalah (lihat Gambar 2-
22)
z = H (1 - (x/L))2
Untuk H/a 1, L= 2. H/i
Untuk H/a 1, L = (a + H)/i
dengan
n = koefisien kekasaran Manning
a = kedalaman air tanpa pengempangan (m)
H = tinggi air berhubung adanya pengempangan (m)
L = panjang total dimana kurve pengempangan terlihat (m)
z = kedalaman air pada jarak x dari bangunan pengempang (m)
x = Jarak dari bendung (m)
i = Kemiringan saluran
Saat hujan turun air buangan dari areal pertanian, dan atau dan kampung-kampung
terkumpul dan kemungkinan akan masuk ke saluran ingasi. Besar debit buangan ini,
mungkin beberapa kali besarnya dari debit normal, yang menyebabkan banjir pendek.
Masalah pokok dalam mempersiapkan desain, adalah membuat identifikasi dan
perhitungan aliran buangan ini.
Untuk saluran yang membawa air buangan, kapasitas saluran harus dicek dengan
debit totalnya yaitu:
Qt = 0,70. Qi + Qd
dengan
n = koefisien kekasaran Manning
Qi = debit rencana saluran
Qd = debit kumulatif air buangan yang masuk
Unsur -unsur geometris dari enam penampang hidrolika terbaik dimuat dalam Tabel 2-
18, namun penampang-penampang ini tidak selalu dapat dipakai datam praktek, akibat
kesulitan pembangunannya dan pemakaian bahannya. Dan segi pandang praktis,
penampang hidrolik terbaik adalah penampan dengan luas terkecil dari suatu debit
tertentu, tetapi tidak menghasilkan alian sekecil-kecilnya.
b. Bangunan Terjun
Bangunan terjun ini dipersyaratkan untuk tinggi terjun < 1,5 m. Rumus-rumus yang
digunakan untuk perencanaan hidrolis adalah sebagai berikut:
Lebar efektif
Panjang olakan
L = C1 . z . dc + 0,25
dengan
B = lebar efektif (m)
Q = debit (m3/det )
m = koefsien (1,30)
H1 = tinggi garis energi di hulu (m)
H1 = tinggi muka air di hulu (m)
V1 = kecepatan air di saluran hulu (m/det)
a = Tinggi ambang di hilir (m)
dc = Kedalaman air kritis (m)
g = Percepatan gravitasi (= 9,8 m/det2)
L = Panjang kolam olak (m)
z = Tinggi terjun (m)
dengan
B = lebar efektif (m)
Q = debit ( m3/det )
M = koefisien (1 00)
H1 = tinggi garis energi di hulu (m)
H1 = tinggi muka air di hulu (m)
D = kedalaman kolam olak (m)
L = panjang kolam olak (m)
R = jari-jari hidrolis (m)
Z = kehilangan tekanan ( m )
H = tinggi gans enery terhadap mercu ( m )
c. Got Miring
Got miring merupakan bangunan air dimana aliran di dalamnya adalah superkritis dan
bagian peralihannya harus licin dan berangsur agar tidak terjadi gelombang.
Gelombang ini bisa menimbulkan masalah di dalam potongan got miring dan kolam
olak karena gelombang sulit diredam.
1. Peralihan
Peralihan masuk non simetris dan perubahan-perubahan pada trase tepat di depan
bangunan harus dihindari karena hal-hal tersebut bisa mengakibatkan terjadinya
gelombang-gelombang slang di dalam got miring dan arus deras di dalam kolam olak.
2. Bangunan Pembawa
Untuk menghitung perubahan aliran di dasar got miring digunakan persamaan
Bernoulli's
D1 + hvt + Z1 = d1 + hv1 + hr + Zz
dengan
d1 = kedalaman di ujung hulu kolam, m
hvt = tinggi kecepatan di ujung hulu, m
d2 = kedalaman di ujung hilir kolam, m
hv2 = tinggi kecepatan di ujung hilir, m
hf = kehilangan energi akibat gesekan pada ruas, m
Z1 = jarak bidang referensi, m
Z2 = jarak bidang referensi, m
Kehilangan energi karena gesekan h1 sama dengan sudut gesekan rata-rata Sa pada
ruas kali panjangnya L.
dengan
d1 = kedalaman di ujung hulu kolam, m
V = kecepatan, m/det
K = koefisien kekasaran
R = jari-jari hidrolis, m
Kehilangan energi akibat gesekan, hf boleh diabaikan untuk got miring yang
panjangnya kurang dan 10 m.
Potongan biasa untuk bagian miring bangunan ini adalah segi empat. Tetapi andaikata
ada bahaya terjadinya aliran yang tidak stabil dan timbulnya gelombang, maka
potongan dengan dasar berbentuk segitiga dan dinding vertikal dapat dipilih.
Tinggi dinding got miring yang dianjurkan sama dengan kedalaman maksimum
ditambah dengan tinggi jagaan (lihat Tabel 2.19) atau 0,4 kali kealaman kritis di dalam
potongan got miring ditambah dengan tinggi jagaan, yang mana saja yang lebih besar.
Tabel 2.19. Tinggi Minimum untuk Got Miring (dari USBR, 1973)
Kapasitas (m3/dt) Tinggi jagaan (m)
Q < 3,5 0,30
3,5 < q < 17,0 0,40
q> 17,0 0,50
Bila kecepatan di dalam got miring lebih dan 9 m/det, maka mungkin volume air
tersebut bertambah akibat penghisapan udara oleh air. Peninggian dinding dalam
situasi ini termasuk persyaratan yang harus dipenuhi, disamping persyaratan bahwa
kedalaman air tidak boleh kurang dari 0,4 kali kedalaman kritis.
Jika kemiringan got miring ini kurang dan 1: 2, maka bagian potongan curam yang
pendek harus dibuat untuk menghubungkan dengan kolam olak. Kemiringan potongan
curam ini sebaiknya antara 1 : 1 dan 1 : 2. Diperlukan kurve vertikal di antara potongan
got miring dan potongan berkemiringan curam tersebut. USBR menganjurkan
penggunaan kurve parabola untuk peralihan ini karena kurve ini akan menghasilkan
harga K yang konstan.
dengan
d1 = kedalaman di ujung hulu kolam, m
X = jarak horisontal dari awal, m
Y = jarak vertikal dari awal, m
Lt = panjang horisontal dan awal sampai akhir/ujung, m
O = sudut kemiringan lantai pada awal kurve
L = sudut kemiringan pada ujung kurve
Panjang Lt harus dipilih dengan bantuan persamaan pada bagian 1. Peralihan, untuk
mana K = 0,50 atau kurang.
Aliran saluran terbuka dimana kedalaman aliran berubah sepanjang waktu dan ruang.
Aliran ini dapat dibedakan menjadi:
Terjadi apabila kedalaman aliran berubah sepanjang waktu dan ruang secara lambat
laun.
a. Aliran Laminar
Aliran dikatakan laminar apabila gaya kekentalan (viscosity) relative sangat besar
dibandingkan dengan gaya inersia sehingga kekentalan berpengaruh besar terhadap
perilaku aliran. Butir-butir air bergerak menurut lintasan tertentu yang teratur atau lurus,
dan selapis cairan tipis seolah-olah menggelincir diatas aliran lain.
b. Aliran Turbulen
Aliran dikatakan turbulen apabila gaya kekentalan relative lemah jika dibandingkan
dengan gaya inersia. Butir-butir air bergerak menurut lintasan yang tidak teratur, tidak
lancar dan tidak tetap, walau butir-butir tersebut bergerak mau didalam aliran secara
keseluruhan.
c.Aliran transisi
Diantara keadaan laminar dan turbulen terdapat suatu campuran antara keduanya
yang disebut aliran transisi.
Aliran laminar akan terjadi dalam aliran terbuka untuk harga-harga bilangan Reynold
Re lebih kecil dan 500 dan aliran turbulen terjadi jika Re lebih besar dan 1000. Panjang
karakteristik yang ada pada angka Reynold adalah jari-jari hidrolis yaitu perbandingan
antara luas tampang basah dan keliling basah. Untuk aliran saluran terbuka, Re = 4 R
V/v dimana R adalah jari-jari hidrolik.
Selain klasifikai diatas, pada saluran terbuka dapat dibedakan berdasarkan kecepatan
dan kedalaman aliran sebagai berikut:
Terjadi apabila kedalaman aliran diberi gangguan seperti melemparkan batu ke dalam
aliran dan terjadi panjalaran kearah hulu. Aliran sub kritis dapat ditentukan
berdasarkan Angka Froud (Fr). Kecepata aliran (V) lebih kecil dari kecepatan rambat
gelombang (gy) dinyatakan dengan Fr < 1.
Terjadi apabila kecepatan aliran cukup besar sehingga aliran yang diberi ganguan
seperti melemparkan batu ke dalam aliran menyebabkan panjajaran tidak ke hulu.
Aliran ini dapat ditentukan berdasarkan Angka Froud (Fr). Kecepatan aliran (V) lebih
besar dari kecepatan rambat gelombang (gy) dinyatakan dengan FR >1.
c. Aliran kritis
Aliran kritis adalah aliran diantara sub kritis dan superkritis dimana kecepatan aliran
sama dengan kecepatan rambat gelombang (). Aliran kritis dapat ditentukan
berdasarkan Angka Froud Fr = 1.
Angka Froud adalah perbandingan antara kecepatan aliran dengan kecepatan rambat
gelombang yang dirumuskan sebagai berikut:
dimana :
Fr = angka Froud
V = kecepatan aliran
g = gravitasi
y = kedalaman aliran
Pembagian kecepatan pada penampang saluran juga tergantung pada faktor faktor
lain, seperti bentuk penampang yang tidak lazim, kekasaran saluran dan adanya
tekukan-tekukan. Pada arus yang lebar, deras dan dangkal atau saluran yang sangat
licin kecepatan maksimum sering terjadi di permukaan bebas. Pada tikungan,
kecepatan meningkat pada bagian cembung menimbulkan gaya sentrifugal pada
aliran.
Kecepatan minimum terjadi di dekat dinding batas dan bertambah besar dengan jarak
menuju permukaan. Kecepatan maksimum terjadi di sekitar tengah-tengah lebar
saluran dan sedikit di bawah permukaan. Pengukuran kecepatan di lapangan di
lakukan dengan menggunakan Current Meter (berupa baling-baling yang dihubungkan
dengan gauge yang memberikan hubungan antara kecepatan sudut baling-baling
dengan kecepatan aliran).
A. Kecepatan Aliran
V = C(RI)
Dimana:
V = kecepatan rata-rata (m/det)
C = koefisien Chezy
R = jari-jari hidrolik
= kemiringan permukaan air atau gradient energy atau dasar saluran,
garis-gansnya sejajar untuk aliran mantap yang merata
b. Manning
Dimana
V = kecepatan rata-rata (m/det)
C = koefisien Manning
R = jari-jari hidrolik
c. Strickler
Dimana
V = kecepatan rata-rata im/det)
ks = koefisien Strickler
d35 = diameter yang berhubungan dengan 35 % berat material dengan
diameter yang lebih besar
R = jari-jari hidrolik
I = kemiringan permukaan air atau gradient energy atau dasar
saluran,gans-gansnya sejajar untuk aliran mantap yang merata
B. Koefisien C
Dimana
G = gravitasi
F = parameter tergantung R1 kekasaran dinding dan Re
C. Debit (Q)
Head Loss atau kehilangan energy dinyatakan dalam rumus Manning adalah:
Untuk aliran tidak merata, harga rerata dari V dan R bisa digunakan dengan ketelitian
yang masih masuk akal. Untuk saluran yang panjang, dengan pendekatan saluran
pendek dimana perubahan-perubahan kedalamannya kira-kira sama besarnya.
Distribusi tegak dari kecepatan dalam suatu saluran terbuka lebar ke dalam rerata ym
distribusi kecepatannya biasa dinyatakan sebagai berikut:
Untuk aliran turbulen merata dalam saluran terbuka lebar distribusi kecepatannya
dinyatakan sebagai berikut:
F. Energi Spesifik
Energi per satuan berat (Nm/N) relative terhadap dasar saluran yaitu:
Sebuah pernyataan yang lebih pasti dari suku energy kinetiknya akan merupakan:
av2/2g
dengan a sebagai factor koreksi energy kinetik dalam suku-suku laju aliran q per
satuan lebar b (yaitu q = Q/b)
Untuk aliran rerata energi spesifiknya selalu tetap dari bagian ke bagian. Untuk aliran
tak merata energi spesifiknya sepanjang, dengan saluran bisa naik bisa turun.
G. Kedalaman Kritis
Kedalaman kritis Yc untuk suatu aliran satuan tetap q dalam saluran segi empat terjadi
bila energi spesifiknya minimum dengan persamaan:
Jadi bila bilang tersebut Re = 1, terjadi aliran kritis ,jika Re > 1, terjadi aliran super kritis
atau aliran deras dan jika Re = < 1, terjadi aliran subkritis atau aliran tenang.
Aliran satuan maksimum atau Q maka dalam saluran segiempat untuk setiap energy
spesifik E tertentu adalah:
Dimana b' adalah lebar permukaan air atau bisa disusun kembali dengan membagi
dengan A2 sebagai berikut:
Untuk aliran tak merata, suatu saluran terbuka biasanya dibagi ke dalam panjang-
panjang L yang disebut daerah-daerah untuk studi. Untuk menghitung kurva-kurva air
yang dibendung, persamaan energinya:
Dimana
Profil permukaan tanah kondisi aliran yang berubah perlahan-lahan dalam saluran
segiempat lebar bias dianalisa dengan menggunakan:
Suku dy/dL menyatakan kemiringan permukaan air relatif terhadap dasar saluran. Jadi
jika dy/dL positif, kedalamannya kearah hilir.
J. Lompatan Hidrolik
Lompatan hidrolik terjadi bila suatu aliran super kritis berubah menjadi sub kritis.
Dalam hal seperti ini ketinggian air naik secara tiba-tiba dalam arah alirannya. Untuk
suatu aliran tetap sebuah saluran segiempat dinyatakan dalam persamaan berikut:
2.4.8. Gorong-Gorong
Bangunan gorong-gorong ini dimaksudkan untuk meneruskan aliran air buangan yang
melintas di bawah jalan raya. Dalam merencanakan gorong-gorong ini perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Arus cukup besar untuk melewatkan debit air maksimal dan daerah pengaliran
secara efisien
Kemiringan dasar gorong-gorong dibuat lebih besar dari saluran pembuangannya
dimaksudkan agar dapat menggelontorkan sedimen.
Keadaan aliran pada gorong-gorong.
Untuk setiap pengendalian rumus serta faktor yang berlainan harus digunakan.
Adapun rumus-rumusnya sebagai berikut:
Rumus untuk gorong-gorong kotak yang pendek yang berpengendalian inlet telah
diberikan oleh Henderson FM Open Channel Flow" (1966), yaitu:
a. Apabila Hw/D < 1,2 kira-kira permukaan air pada bagian masuk tidak akan
menyinggung bagian atas dari lubang gorong-gorong oleh karena itu arus menjadi
kritis. Oleh karena itu debitnya adalah:
Dimana
B = lebar lubang
CD = koefisien yang menyatakan pengaruh lebar penyempitan aliran.
Apabila tepi vertikalnya dibuat bulat dengan radius 0,1B atau lebih, maka tidak
akan ada penyempitan samping dan Cb = 1, bila tepi vertikalnya dibiarkan tetap
persegi Cb = 0,9
b. Apabila Hw/D > 1,2 kira-kira permukaan air akan meyentuh bagian atas gorong -
gorong dan untuk nilai yang lebih besar dari 4 maka tempat masuk gorong - gorong
akan berlalu pintu geser. Hasil eksperimen memperlihatkan bahwa pengaruh
kombinasi dari penyempitan vertical atau horizontal dapat diutarakan sebagai satu
koefisien penyempitan, Cb, di bidang tegak, yang untuk dasar langit-langit yang
dibulatkan dan tepi vertikal adalah 0,8, sedangkan untuk tepi persegi adalah 0,6.
Debit bisa dihitung berdasarkan asumsi:
2. Kecepatan minimum aliran agar ditentukan tidak lebih kecil dan kecepatan
minimum yang diijinkan sehingga tidak terjadi pengendapan dan pertumbuhan
tanaman air.
3. Bentuk penampang saluran agar dipilih berupa segi empat, trapesium, lingkaran,
bagian dari lingkaran, bulat telor, bagian dan bulat telor, atau kombinasi dari bentuk
diatas.
4. Saluran hendaknya dibuat dalam bentuk majemuk terdiri dari saluran kecil dan
saluran besar guna mengurangi beban pemeliharaan.
5. Kelancaran pengaliran air dari jalan ke dalam saluran drainase agar dilewatkan
melalui lubang pematus yang berdimensi dan berjarak penempatan tertentu.
Perencanaan debit rencana untuk drainase perkotaan dan jalan raya dihadapi dengan
persoalan tidak tersedianya data aliran. Umumnya untuk menentukan debit aliran
akibat air hujan diperoleh dari hubungan rasional antara air hujan dengan limpasannya.
Untuk debit air limbah rumah tangga diestimasikan 25 liter perorang perhari yang
meningkat secara linier dengan jumlah penduduk.
Merupakan analisa yang menyangkut sifat-sifat atau karakteristik aliran air pada suatu
media pengalirannya, yang terutama dipengaruhi oleh kondisi topografi media yang
dilalui. Analisa ini dilakukan untuk mengetahui kondisi pengaliran air pada sungai baik
yang menyangkut kapasitas pengaliran air sungai.
Setelah dilakukan analisa hidrolika akan dapat diidentifikasi daerah-daerah yang terjadi
luapan air banjir dan berapa besar volume luapan dengan acuan data kapasitas sungai
yang ada dan analisa debit banjir dari berbagai kala ulang.
Topografi adalah informasi yang diperlukan untuk menentukan arah penyaluran dan
batas wilayah tadahnya. Pemetaan kontur di suatu daerah urban dilakukan pada skala
1: 5000 atau 1: 10.000 dengan beda kontur 0,5 meter pada area datar dan beda kontur
1 meter pada area curam. Pemetaan kontur dengan skala 1: 50.000 atau 1: 100.000
juga mungkin diperlukan untuk menentukan luas DAS di hulu kota dengan beda kontur
25 meter.
a. Sistem jaringan yang ada (drainasi, irigasi, air minum, telepon dan listrik)
b. Batas-batas area pemilikan
c. Letak dan jumlah prasarana yang ada
d. Tingkat kebutuhan drainase yang diperlukan
e. Gambaran prioritas area secara garis besar
Data tersebut diatas dimaksudkan agar dalam penyusunan tata letak sistem jaringan
drainase tidak terjadi pertentangan kepentingan (conflict of interest).
Penentuan tata letak dari jaringan drainase bertujuan untuk:
a. Sistem jaringan drainase dengan sasaran dapat berfungsi sesuai perencanaan
b. Dampak lingkungan seminim mungkin
c. Nilai pakai setinggi mungkin ditinjau dan segi konstruksi dan fungsi
d. Biaya pelaksanaan seekonomis mungkin.
b. Data topografi
Data tata guna lahan sangat berkaitan dengan besar aliran permukaan. Aliran
permukaan menjadi besaran dari aliran drainasi. Besar aliran permukaan tergantung
debit air hujan yang run off di muka tanah. Besar air yang meresap tergantung
angka (e) atau porositas (n,p) dan ini berkaitan dengan penggunaan lahan.
d. Jenis tanah
Jenis tanah untuk menentuhan daya tanah menyerap air. Juga untuk menentukan
kuat/daya dukung tanah.
Yaitu data jaringan air minum, telepon, pipa gas, pipa bahan bakar, kabel listrik dll.
h. Data kependudukan
i. Kelembagaan
j. Peraturan penggunaan
p. Data hujan
Untuh mencegah gelombang atau kenaikan muka air yang melimpah ke tepi, maka
perlu tinggi jagaan dapat saluran yaitu jarak vertical dari puncak saluran ke permukaan
air pada kondisi debit rencana. Tinggi jagaan ini berkisar 5 % sampai 30 % kedalaman
aliran.
Dibandingkan dengan air limbah, air hujan memiliki perbandingan yang besar antara
debit puncak dan debit normal. Hal tersebut menyebabkan saluran drainase air hujan
mempunyai efektifitas rendah dan dapat berfungsi maksimal pada saat musim hujan
saja. Oleh karena itu, untuk drainase air hujan dianjurkan penampangnya berbentuk
saluran tersusun, misalnya seperti pada gambar dibawah ini. Penampang setengah
lingkaran diharapkan berfungsi mengalirkan debit lebih kecil dari debit rencana atau
debit akibat hujan harian maksimum rata-rata.
Debit suatu penampang saluran (Qs) dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:
Qs = AsV
Dimana
As = luas penampang saluran tegak lurus arah aliran (m2)
V = kecepatan rata-rata aliran (m/det )
Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran dapat dihitung dengan menggunakan
rumus Manning sebagai berikut:
Dimana
V = kecepatan rata-rata aliran (m/det)
n = koefisien kekasaran Manning
R = jari-jari hidrolis (m)
S1 = kemiringan dasar saluran
As = luas penampang saluran tegak lurus arah aliran (m2)
P = keliling basah saluran (m)
Koefisen pengaliran merupakan nilai banding antara bagian hujan yang mengalir di
muka bumi dengan hujan total terjadi. Berikut ini disampaikan berbagai nilai koefisien
run off dari permukaan bumi. Koefisien tersebut sebagian besar mempunyai nilai
antara tetapi sebaiknya untuk analisis, dipergunakan nilai terbesar atau nilai
maksimum. Atau nilai pada sisi kanan dari tabel yang digunakan.
Intensitas hujan dianalisis berdasarkan data curah dan waktu konsentrasi hujan.
Kecepatan aliran air di saluran secara kasar dapat ditentukan berdasarkan tabel (i/v).
Secara teliti dan ekonomis ditentukan berdasarkan formula Manning atau Chezy.
b. Jika saluran drainase muka tanah ada, tetapi tidak terdapat sungai, danau atau laut
sebagai hilir aliran.
b. Sempurna, jika dasar sumuran menembus lapisan tanah keras, cadas, rapat air, jika
lapisan tersebut cukup dekat dengan muka tanah.
c. Guna, untuk area dengan nilai koefisien permaebilitas (k) cukup besar dan untuk
area dengan elevasi muka tanah dalam
d. Multy purpose, untuk drainase muka tanah dan drainase bawah muka tanah.
Usaha konservasi air dapat ditempuh dengan berbagai metode dan secara inter
disipliner. Usaha konservasi air untuk sistem drainase telah dilakukan oleh:
Prinsip dan system ini adalah air dan atap ditampung dalam suatu sumuran yang
dibuat di tiap halaman dengan dimensi standar dan jumlah tipe rumah. Konstruksi
sumur resapan ini merupakan sumuran berdinding bagian atas sedalam 1 meter
dan kemudian selebihnya pada bagian bawah tidak berdinding dan ruang sedalam 3
meter dan 5 meter diisi dengan batu kali dan bagian atas ditutup sebagai taman,
sehingga dari segi estetika maupun sekuritas dapat dipertanggungjawabkan.
3. Sunjoto
Sistem drainase berwawasan lingkungan adalah usaha menampung air yang jatuh
di atap pada suatu reservoir tertutup di halaman masing - masing atau secara
kolektif untuk memberi kesempatan air meresap ke dalam tanah dengan harapan
sebanyak mungkin air hujan meresap kedalam tanah.
Sumur resapan menurut Sunjoto adalah sumur gali namun berfungsi sebaliknya
yaitu menampung air hujan yang jatuh di atap untuk memberi kesempatan meresap
ke tanah.
Sumur ini diperkuat dengan dinding dan buis beton dan ruangan dipersiapkan
kolong untuk dapat menampung sebanyak mungkin air, sehingga peresapan
menjadi optimal. Pada bagian atas dilapis batu pecah setebal 30 cm untuk
memecah energi air yang jatuh, dan pada bagian atas ditutup dengan pelat beton
kemudian diurug dengan lapisan tanah, untuk dimanfaatkan sebagai taman.
Pengukuran Topografi
Sebagai langkah awal setelah tim tiba di Base Camp lapangan adalah melakukan
orientasi medan yang meliputi kegiatan- kegiatan sebagai berikut:
Melacak letak dan kondisi existing BM (BM yang telah terpasang sebelumnya) dan
pilar beton lainnya yang akan dimanfaatkan sebagai titik-titik kontrol pengukuran
Meninjau dan mengamati kondisi sungai beserta keadaan system jaringan drainase
daerah sekitarnya. Melacak serta mengamati keadaan di dalam lokasi.
Penghimpunan Tenaga Lokal (TL) yang diambil dari penduduk sekitar lokasi.
Melakukan konsolidasi internal terhadap kesiapan personil, peralatan,
perlengkapan, material, serta logistik.
Melakukan konsultasi teknis serta meninjau lokasi secara bersama-sama dengan
Pengawas Lapangan.
Pekerjaan Identifikasi dan Pengukuran ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu survey topografi
dan inventansasi bangunan eksisting. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan
meliputi:
1. Pemasangan BM dan CP disetiap sistem jaringan drainase
2. Survey Identifikasi Jaringan Drainase yang ada
3. Pengukuran Long Section saluran drainase yang bermasalah
4. Pengukuran Cross Section saluran drainase yang bermasalah
Tata cara pengukuran, peralatan dan ketelitian pengukuran sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Titik ikat yang dipakai adalah BM lama yang terdekat.
Pemasangan Patok Bench mark (BM) dan Control Point (CP) mengikuti ketentuan
dalam KAK sebagai berikut:
Pemasangan Bench Mark (BM) di lapangan sebagai titik-titik tetap yang diketahui
kordinatnya dalam sistim koordinat peta yang telah dibuat, dimaksudkan sebagai data
yang dipasang di lapangan yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan
pekerjaan-pekerjaan terkait
Baik patok beton BM, Paralon maupun patok kayu akan diberi tanda (BM dan nomor
urut).
Konsultan akan membuat BM diikat dengan rnenggunakan GPS.
Pemasangan patok batas dilakukan dengan dasar petunjuk petugas yang
berwenang dari perusahaan dan diusahakan petugas tersebut betul-betul
mengetahui secara pasti letak masing-masing titik batas areal.
Bentuk dan ukuran serta pemasangan patok beton seperti terlihat pada Gambar 2-24
dan Gambar 2-25 berikut:
dan atau sungai drainase utama serta menginventarisasi kondisi saluran dan
bangunannya Sketsa detail semua bangunan yang dilengkapi dengan dimensi,
ukuran pintu, dsb akan dibuat Rincian perbaikan yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan EOM, ditulis dalam sketsa tersebut. Data ini dimasukkan ke dalam form
yang disediakan. Semua bangunan yang penting difoto untuk menggambarkan
pekerjaan yang dibutuhkan.
e. Peta skema yang tersedia dipelajari sebelum survey lapangan. Alternatif yang
mungkin adalah meningkatkan saluran tersier yang ada menjadi saluran sekunder
atau saluran muka, atau memindah sebagian areal ke bangunan sadap lain.
Sebaliknya, saluran kecil yang melayani kurang dan 100 ha dicatat untuk
direklasifikasikan sebagai saluran tersier/saluran muka kalau sekarang dianggap
sebagai saluran sekunder.
f. Melakukan pengukuran terhadap beda tinggi dan jarak dengan menggunakan GPS
di semua jaringan drainase yang ada
Semua hasil survey lapangan akan dibuat dalam gambar hasil pengukuran dan data
inventory yang akan digunakan pada tahap identifikasi masalah, sehingga dapat dibuat
sebaai bahan perencanaan.
Konsep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi jarak, yaitu dengan
pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah
diketahui. Pada pengamatan dengan GPS, yang dapat diukur adalah jarak antara
pengamat dengan satelit (bukan vektornya), agar posisi pengamat dapat ditentukan
maka dilakukan pengamatan terhadap beberapa satelit sekaligus secara simultan.
Secara garis besar metode penentuan posisi dengan GPS dapat dikelompokkan atas
metode yaitu absolute dan defferensial. Penentuan posisi secara absolut umumnya
disebut point positioning adalah metode penentuan posisi secara instan dengan
menggunakan satu receiver dan tipe navigasi, metode ini tidak dimaksudkan untuk
aplikasi-aplikasi yang menuntut ketelitian posisi yang tinggi. Umumnya digunakan
untuk pelayanan navigasi. Penentuan posisi secara defferensial, posisi suatu titik
ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya. Penentuan
posisi secara differensial hanya dapat dilakukan minimal menggunakan dua receiver
dan tipe pemetaan ataupun tipe geodetik.
Pada dasarnya ada beberapa macam cara untuk melakukan pengukuran titik kerangka
dasar honzontal, diantaranya yaitu dengan melakukan pengukuran dengan
menggunakan satelit GPS (Global Positioning System) dan dengan pengukuran
poligon.
Proses pengamatan relatif tidak tergantung pada kondisi terrain dan cuaca.
Ketelitian posisi yang diberikan relatif tinggi.
Sedangkan kerugiannya antara lain:
Datum untuk penentuan posisi ditentukan oleh pemilik dan pengelola satelit.
Pemakai harus menggunakan datum tersebut, atau kalau tidak, ia harus
mentransformasikannya ke datum yang digunakannya (transformasi datum)
Pemakai tidak mempunyai kontrol dan wewenang dalam pengoperasian sistem.
Pemakai hanya mengamati satelit sebagaimana adanya beserta segala
konsekuensinya.
Pemprosesan data satelit untuk mendapatkan hasil yang teliti, relatif tidak mudah.
Banyak faktor yang harus diperhitungkan dengan baik dan hati -hati.
Peralatan yang dipergunakan dalam suatu kegiatan survey topografi antara lain
adalah:
Wild T-2 Theodolit
Wild T-0 Theodolit
Wild Nak.1 Waterpass
Rambu ukur
Pita ukur
Rol meter
Kalkulator
Secara garis besar, survei topografi yang dilakukan terdiri dari kegiatan sebagai berikut
Metodologi Pengukuran
Pengukuran ini maksudkan untuk menetapkan posisi dari titik awal proyek terhadap
koordinat maupun elevasi triangulasi, agar pada saat pengukuran untuk pelaksanaan
(stake out) mudah dilakukan.
yang dilengkapi dengan dua benang silang honsontal atau lebih yang berjarak tertentu.
Benang atas dan benang bawah terlihat dan dapat dibawa pada pembagian skala
rambu yang dipegang vertikal di titik yang diinginkan.
a. Poligon
Secara umum poligon adalah cara untuk menentukan tempat titik-titik baik dengan
koordinat-koordinatnya yang harus dihitung, maupun dengan jalan penggambaran.
Pengukuran dengan jalan poligon ini yang diukur dua unsur yaitu sudut dan jarak.
Dengan kedua unsur tersebut dapat dilukis poligon di atas peta jika tidak terikat pada
koordinat yang ada dan tidak menghiraukan poligon tersebut agar satu poligon terarah
atau tertentu arahnya, maka perlu diketahui arahnya.
Untuk daerah poligon yang tidak begitu luas arah ini berhimpit dengan sumbu Y pada
peta. Agar titik koordinat dapat diketahui koordinatnya / titik-titik tetap), maka poligon
tersebut perlu diikatkan pada titik yang telah diketahui koordinatnya. Jadi koordinat di
sini dihitung dari unsur jarak dan sudut arah sebagai berikut:
Terdapat dua macam sistem pengukuran, yaitu dengan cara poligon terbuka dan
poligon tertutup. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Poligon Terbuka
Pada poligon terbuka pengukuran tidak berakhir di titik awal pengukuran. Dibagi
menjadi dua, yaitu:
Poligon terbuka yang terikat sebagian (sepihak )
Poligon ini terikat dan terarah pada salah satu titik dan tidak bisa dihitung
koreksinya.
Keterangan:
A = titik awal pengukuran
P = titik ikat awal poligon
ap = sudut awal arah poligon
S0 - Sn = sudut terukur
D1 - dn = panjan sisi poligon
Suatu poligon yang terikat dan terarah pada titik awal dan titik akhir poligon
dan besarnya koreksi yang terjadi bisa dihitung.
2. Poligon Tertutup
Yaitu poligon dimana titik akhir poligon kembali ke titik awal poligon dan besarnya
koreksi yang terjadi bisa dihitung.
Sudut jurusan dapat ditentukan bila arah antara dua titik A dan B diketahui
koordinatnya, sehingga dengan cara menggambarkan letak titik A dan B dapat
diketahui letak garis AB.
Bila titik A ada arah ke titik P maka arah itu dapat ditentukan dengan sudut BAP
antara arah AB dan AP yang mana besar sudutnya didapat dengan mengukur
langsung di titik A.
a. Pengukuran Jarak
Pengukuran jarak dilakukan dengan menggunakan pita ukur 100 m. Tingkat ketelitian
hasil pengukuran jarak dengan menggunakan pita ukur, sangat tergantung kepada
cara pengukuran itu seridiri dan keadaan permukaan tanah. Khusus untuk pengukuran
jarak pada daerah yang miring dilakukan dengan cara seperti di Gambar 2.29
Jarak AB = d1 + d2 + d3
Sudut jurusan sisi-sisi poligon adalah besarnya bacaan lingkaran horisontal alat ukur
sudut pada waktu pembacaan ke suatu titik Besarnya sudut jurusan dihitung
berdasarkan hasil pengukuran sudut mendatar di masing-masing titik poligon.
Penjelasan pengukuran sudut jurusan sebagai berikut lihat Gambar 2.30.
= sudut mendatar
AB = bacaan skala horisontal ke target kiri
AC = bacaan skala horisontal ke target kanan
Pembacaan sudut jurusan poligon dilakukan dalam posisi teropong biasa (B) dan luar
biasa (LB) dengan spesifikasi teknis sebagai berikut:
Jarak antara tutuk-titik poligon adalah 50 m.
Alat ukur sudut yang digunakan Theodolite T2.
Alat ukur jarak yang digunakan pita ukur 100 meter
Jumlah seri pengukuran sudut 4 seri (B1, B2, LB1, LB2).
Selisih sudut antara dua pembacaan <5" (lima detik).
Ketelitian jarak linier (Kl) ditentukan dengan rumus berikut.
di mana:
T = azimuth ke target
M = azimuth pusat matahari
lT = bacaan jurusan mendatar ke target
lm = bacaan jurusan mendatar ke matahari
Setiap kali pengukuran dilakukan 3 (tiga) kali pembacaan benang tengah, benang
atas dan benang bawah.
Kontrol pembacaan benang atas (BA), benang tengah (BT) dan benang bawah
(BB), yaitu :2 BT = BA + BB.
Selisih pembacaan stand 1 dengan stand 2 < 2 mm.
Jarak rambu ke alat maksimum 50 m
Setiap awal dan akhir pengukuran dilakukan pengecekan garis bidik
Toleransi salah penutup beda tinggi (T).
T = 10" D mm dimana:
D = Jarak antara 2 titik kerangka dasar vertikal dalam satu kilo meter.
Pengukuran Situasi
Dimaksudkan untuk mendapatkan data situasi dan detail lokasi pengukuran. Syarat-
syarat yang harus dipenuhi dalam pengukuran situasi, yaitu:
Pengukuran situasi detail dilakukan dengan cara Tachymetri
Ketelitiban alat yang dipakai adalah 20".
Poligon tambahan jika diperlukan dapat diukur dengan metode Raai dan Vorstraal.
Ketelitian poligon raai untuk sudut 20" n, dimana n = banyaknya titik sudut.
Ketelitian linier poligon raai yaitu 1 :1000.
Kerapatan titik detail harus dibuat sedemikian rupa sehingga bentuk topografi dan
bentuk buatan manusia dapat digambarkan sesuai dengan keadaan lapangan.
Sketsa lokasi detail harus dibuat rapi, jelas dan lengkap sehingga memudahkan
penggambaran dan memenuhi mutu yang baik dan peta.
Sudut poligon raai dibaca satu seri. Ketelitian tinggi poligon raai 10 cmD (D dalam
km).
Dengan cara tachymetri ini diperoleh data-data sebagai berikut:
Azimuth magnetis.
Pembacaan benang diafragma (atas, tengah, bawah).
Sudut zenith atau sudut miring.
Tinggi alat ukur.
Analisis data lapangan (perhitungan sementara) akan segera dilakukan selama Tim
Survai masih berada di lapangan, sehingga apabila terjadi kesalahan dapat segera
dilakukan pengukuran ulang. Setelah data hasil perhitungan sementara memenuhi
persyaratan toleransi yang ditetapkan dalam Spesifikasi teknis selanjutnya akan
dilakukan perhitungan data definitif kerangka dasar pemetaan dengan menggunakan
metode perataan bowditch.
1) Semua pekerjaan perhitungan sementara harus selesai diperbaiki saat itu juga
2) Lokasi pengamatan matahari harus tercantum pada sketsa diskripsi
3) Semua titik poligon dihitung koordinatnya pada sistem proyeksi UTM
Metode analisa dan perhitungan yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
a. Pehitungan Poligon
Dalam setiap kegiatan pemetaan diperlukan adanya kerangka dasar (honsontal dan
vertikal), jalur kerangka dasar ini harus selalu terikat pada titik tetap yang telah ada /
bench mark sehingga sistem koordinat kerangka dasar tersebut terikat dalam satu
sistem jaringan kerangka dasar horisontal, pengukuran jalur kerangka dasar honsontal
dilakukan dengan pengukuran poligon tertutup atau terikat sempurna.
Koreksi sudut artara dua kontrol azimuth = 10 . Koreksi setiap titik poligon maksimum
10 atau salah penutup sudut maksimum 10" N dimana N adalah jumlah titik poligon
pada setiap kring.
dimana
S : Sudut ukuran poligon
D: Jarak ukuran poligon
: Azimuth
1: Nomor titik Poliyon ( i = 1,2,3,.. n )
Proses perhitungan data definitif hasil pengukuran pohgon kerangka kontrol honzontal
akan dilakukan dengan metode perataan Bowditch.
Formula perataan poligon cara Bowditch adalah sebagai berikut:
dimana
fxi: koreksi absis
fyi: koreksi ordinat
di : jarak yang dikoreksi
d: jumlah jarak
x: jumlah kesalahan absis
y: jumlah kesalahan ordinat
b. Perhitungan Waterpass
Kriteria teknis pengukuran waterpass yang ditetapkan dalam spesifikasi teknis yaitu
tiap seksi yang diukur pulang-pergi mempunyai ketelitian 10 mm D (D = panjang
seksi dalam Km). Berdasarkan kriteria tersebut dapat diformulasikan cara analisis data
ukur waterpass pada setiap kring sebagai berikut:
dimana :
fh : salah penutup beda tinggi tiap kring waterpass
h : beda tinggi ukuran
i : nomor slag pengukuran waterpass ( i = 1,2,3..n )
dimana:
Zi: koreksi tinggi
i :1,2,3,4..n
dimana:
zi : harga ketinggian sementara
dz : beda tinggi
i : 1,2,3,4..n
dimana:
TA = tinggi titik A yang telah diketahui (X,Y, Z)
TB = tinggi titik B yang akan ditentukan
H = Beda tinggi antara titik A dan titik B
Ba = Bacaan diaframa benang atas
Bb = Bacaan diaframa benang bawah
Bt = Bacaan diaframa benang tengah
TA = Tinggi alat
Do = Jarak optis [100(Ba-Bb)]
Dd = Jarak datar
m = Sudut miring
Az = Azimuth
d. Buku Ukur
Pelaksanaan pekerjaan harus mempergunakan buku ukur yang telah disetujui oleh
pengawas pekerjaan. Semua catatan dan tulisan harus terang/jelas mudah dibaca dan
tidak boleh dihapus.
Apabila ada kesalahan hasil pengukuran harus dibetulkan dengan mencoret yang
salah dan menulis yang benar disampingnya. Semua data ukur, baik hasil pengukuran,
perhitungan, sketsa dan data lain, harus telah diserahkan kepada pengawas untuk
diperiksa sebelum penggambaran dimulai.
Buku ukur akan dipakai atau disediakan menurut penggunaannya (untuk poligon,
water pass, situasi, pengukuran dan hitungan azimuth matahari dan sebagainya).
Pengisian Buku Ukur dibuat jelas, bersih, ditulis dengan tinta untuk memudahkan
pengecekan.
Buku Ukur akan dibuat jurnal hari, tanggal serta nama pengukuran dan
penghitungan.
Buku ukur akan mendapat persetujuan dari direksi, tulisan dibuat jelas, bila ada
kesalahan langsung dicoret dan pembetulannya langsung ditulis, tidak dibenarkan
menutup atau menghapus tulisan pada buku ukur.
Perhitungan sementara di lapangan ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui
hasil pengukuran yang telah dilakukan apakah sudah memenuhi syarat dan kriteria
yang telah ditetapkan, sehingga dapat ditentukan apakah akan dilaksanakan
pengukuran ulang atau hanya cukup pengukuran tambahan sebagai koreksi pada
titik-titik tertentu yang diperlukan.
Perhitungan sementara ini dilakukan di lapangan setelah selesai pelaksanaan
pengukuran terutama untuk pengukuran poligon dan pengukuran levelling poligon.
Dari hasil perhitungan sementara ini dapat diketahui data mana yang tidak
memenuhi syarat sesuai ketentuan yang telah ditetapkan, maka dapat diambil
keputusan pada titik-titik yang mana akan dilakukan pengukuran ulang atau
pengukuran tambahan.
Pada got miring yang panjang ada bahaya timbulnya ketidakstabilan dalam aliran yang
disebut aliran getar(slug/ pulsating flow) . Bila got miring itu panjangnya lebih dari 30
m, ini harus dicheck dengan cara menghitung bilangan"Vedernikov" (v)
dengan :
b = lebar dasar potongan got miring, m
V = kecepatan, m/det
p = keliling basah, m
g = percepatan gravitasi, m/det2
d = kedalaman air ratarata: luas / lebar atas, m
= sudut gradien energi
I = kemiringan rata-rata gradien: tan
L = panjang yang dimaksud, m
Yang dimaksud dengan kapasitas pengaliran sungai yaitu kemampuan sungai untuk
mengalirkan debit, sesuai dengan kondisi topografi sungai.
Analisa ini dapat dibedakan menjadi dua bagian jika dalam penampang sungai
terdapat bangunan-bangunan yang melintang di sepanjang sungai (jembatan,
bendung, dll) yaitu kapisitas pengaliran pada alur sungai dan kapasitas pengaliran
pada bangunan-bangunan.
Analisa profil muka air banjir diperlukan untuk mengetahui sejauh mana tinggi muka air
banjir yang diperhitungkan terjadi dibandingkan dengan tebing kiri serta tebing kanan.
Analisa perilaku aliran sungai yang dilakukan pada pekerjaan ini akan menggunakan
bantuan perangkat lunak (software) HEC-RAS. Perangkat lunak HEC-RAS merupakan
program yany digunakan untuk perhitungan analisis hidraulik satu dimensi. Analisis
hidraulik yang dapat dilakukan tersebut adalah perhitungan profil permukaan air pada
aliran tunak (steady flow). HEC-RAS didesain untuk melakukan perhitungan pada
jaringan saluran alami maupun saluran buatan.
Profil permukaan air dihitung dari suatu potongan melintang saluran ke potongan
selanjutnya dengan memecahkan persamaan kekekalan energi dengan prosedur
interaktif yang disebut Metode Tahapan Standar (Standard Step Method). Persamaan
kekekalan energi ditulis sebagai berikut:
dimana:
Y1 Y2 = kedalaman air pada potongan melintang
Z1, Z2 = elevasi pada saluran utama
V1, V2 = kecepatan rata-rata (jumlah total debit)
1 2 = koefisien tinggi kecepatan
he = kehilangan energi
Kehilangan energi antara dua potongan melintang diakibatkan oleh kehilangan energi
akibat gesekan dan ekspansi maupun kontraksi. Persamaan kehilangan tinggi energi
dituliskan sebagai berikut:
dimana:
L = jarak sepanjang bentang yang ditinjau
Sf = kemiringan gesekan (friction slope) antara dua potongan melintang
C = koefisien ekspansi atau kontraksi
dimana:
Llob,Lch,Lrob = jarak sepanjang potongan melintang pada aliran yang ditinjau di
pinggir kiri sungai/left overbank (lob), saluran utama/main channel
(ch), dan pinggir kanan sungai/right overbank (rob).
Penentuan penyaluran total aliran dan koefisien kecepatan untuk potongan melintang
membutuhkan pembagian aliran menjadi beberapa satuan sehingga kecepatan
didistribusikan secara merata. Pendekatan yang digunakan pada HEC-RAS adalah
membagi daerah aliran pada pinggir saluran atau sungai dengan menggunakan
masukan nilai n pada potongan melintang dimana nilai n berubah sebagai dasar
dimana:
K = penyaluran untuk suatu sub bagian
n = koefisien kekasaran Manning untuk sub bagian
A = luas daerah aliran pada sub bagian
R = jari-jari hidraulik pada sub bagian
Perencanaan
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam penyusunan Pekerjaan Perencanaan
ini meliputi:
Pada saluran drainase perkotaan secara umum dikenal ada 2 jenis konstruksi saluran
yaitu: Saluran Tanah Tanpa Perlapisan dan Saluran dengan Lapisan (pasangan batu,
beton, kayu dan baja). Saluran tanah memiliki kapasitas maksimum yang dibatasi
kemampuan jenis tanah setempat terhadap bahaya erosi akibat aliran terlalu cepat.
Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa perlu dibuat saluran lapisan meskipun
lebih mahal harganya. Untuk drinase perkotaan umumnya berupa saluran dengan
lapisan, dengan alasan lebih tahan erosi, estetika, dan kestabilan terhadap gangguan
dari luar seperti lalu lintas. Saluran drainase perkotaan berupa saluran terbuka dan
saluran tertutup dengan lubang lubang kontrol pada tempat tertentu. Saluran tertutup
bertujuan untuk memberikan pandangan yang lebih baik dan ruang gerak bagi
kepentingan lain di atasnya.
Untuk pemilihan bentuk penampang saluran yang akan dipilih perlu memperhatikan
tersedianya lahan. Penampang saluran drainase perkotaan dianjurkan mengikuti
penampang hidrolis terbaik yaitu suatu penampang yang memiliki luas terkecil untuk
suatu debit tertentu atau memiliki keliling basah terkecil dengan hantaran maksimum.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan saluran pembuang, antara
lain:
- Dibuat pada daerah paling rendah, sehingga pembuangan dapat berjalan lancar.
- Saluran pembuang dapat dibuat sejajar atau tegak lurus dengan garis tinggi yang
terletak pada lembah.
- Saluran pembuang hendaknya dibuat berdekatan dengan sungai alami.
Akan tetapi dalam perencanaan hidrolis saluran pembuang dipakai harga koefisien
kekasaran Strikler seperti pada tabel berikut, dimana harga tersebut didasarkan pada
asumi bahwa vegetasi di saluran dipotong secara teratur.
Kemiringan Talud
b. Perhitungan Saluran
Debit suatu penampang saluran (Qs) dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:
Qs = AsV
Dimana
As = luas penampang saluran tegak lurus arah aliran (m2)
V = kecepatan rata-rata aliran (m/det )
Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran dapat dihitung dengan menggunakan
rumus Manning sebagai berikut:
Dimana
V = kecepatan rata-rata aliran (m/det)
n = koefisien kekasaran Manning
R = jari-jari hidrolis (m)
S1 = kemiringan dasar saluran
As = luas penampang saluran tegak lurus arah aliran (m2)
P = keliling basah saluran (m)
Penggunaan persamaan didasarkan pada kebiasaan dan kemudahan dari persamaan
itu sendiri, untuk memudahkan kita dalam menghitung. Untuk itu beberapa komponen
perencanaan akan menggunakan persamaan tersebut.
Bab 4
Analisis Hidrologi
4.1. Umum
Dalam perencanaan drainase dibutuhkan data hujan rencana dan debit banjir rncana.
Apabila dilokasi tidak terdapat debit maka untuk perhitungan debit banjir rencana dapat
dilakukan dengan menggunakan metode empiris berdasarkan data curah hujan.
Data curah hujan yang mewakili adalah data-data dari stasiun terdekat dengan lokasi.
Pemilihan stasiun yang digunakan dalam analisiss hidrologi ini berdasarkan atas lokasi
stasiun curah hujan tersebut dan ketersediaan data dalam periode yang cukup. (lebih
dari 10 tahun) dan juga berdasarkan curah hujan tahunan yang sesuai dengan daerah
di DPS setempat. Untuk mendapatkan besarnya curah hujan rencana dan debit banjir
rencana, maka perlu melalui tahap-tahap sebagai berikut.
1) Mengisi data hujan yang kosong
2) Menghitung curah hujan wilayah (area DAS)
3) Perhitungan curah hujan wilayah (area DAS) harian maksimum tahunan
4) Pemeriksaan / uji data hujan harian maksimum tahunan
5) Perhitungan curah hujan rencana
6) Curah hujan harian maksimum boleh jadi (Probable Maximum Precipitation)
7) Perhitungan distribusi hujan jam-jaman
8) Perhitungan hidrograf satuan sintetis
9) Perhitungan debit banjir rencana
Perhitungan curah hujan rencana dan debit banjir rencana terdiri dari:
Penentuan hujan rerata daerah
Uji konsistensi data curah hujan
Perhitungan hujan rencana untuk menentukan debit banjir rencana
Perhitungan hujan jam-jaman, untuk menentukan distribusi hujan jam-jaman yang
terjadi dilokasi studi
Perhitungan debit banjir rencana untuk wilayah studi
Data curah hujan merupakan data yang diperlukan dalam simulasi hidrologis. Dalam
analisis banjir, data realtime jam-jaman harus digunakan, karena banjir biasanya
terjadi setelah beberapa jam kejadian hujan.
Tabel 4.1. Curah Hujan Harian Maksimum Selama 30 Tahun
Curah hujan rencana adalah hujan terbesar tahunan dengan peluang tertentu yang
mungkin terjadi di suatu daerah, atau hujan dengan suatu kemungkinan periode ulang
tertentu.
Curah hujan rancangan diperlukan sebagai data masukan pada analisis debit banjir
rancangan maupun analisisi modulus drainase. Untuk itu diperlukan analisis curah
hujan rancangan. Metode yang digunakan untuk melakukan analisis curah hujan
rancangan dengan kala ulang tertentu adalah sebagai berikut:
1) Distribusi Gumbel Tipe I
2) Distribusi Pearson Tipe III
3) Distribusi Log Pearson Tipe III
4) Distribusi Log Normal 3 Parameter
Gumbel menggunakan teori nilai ekstrim untuk menunjukkan bahwa dalam deret nilai-
nilai ekstrim X1, X2, X3, , XN, X merupakan variabel berdistribusi eksponensial.
Maka probabilitas kumulatif P pada sembarang nilai antara N buah nilai XN akan lebih
kecil dari nilai X tertentu (dengan periode ulang Tr), mendekati:
Y
P( X ) e e
dengan:
X X K Tr S x
X X
2
Sx
i
N 1
YTr Yn
K Tr
Sn
dengan:
Distribusi Pearson Tipe III, mempunyai bentuk kurva seperti bel (bell shape).
Fungsi kerapatan peluang distribusi dari distribusi Pearson Tipe III adalah sebagai
berikut :
b 1 x C
1 x C
P( X ) e a
a(b) a
dengan :
x = variabel acak kontinue
a = parameter skala
b = parameter bentuk
c = parameter letak
= fungsi gamma
The Hydrology Committee of the Water Resources Council, USA, menganjurkan agar
terlebih dahulu mentransformasikan data hujan ke nilai-nilai logaritmanya kemudian
menghitung parameter-parameter statistiknya. Karena transformasi tersebut maka cara
ini disebut Log Pearson Tipe III.
Perhitungan dengan metode Log Pearson tipe III juga didasarkan pada data curah
hujan harian maksimum. Persamaan yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
log X i
log X i 1
N
N
log X log X
2
i
S log X i 1
N 1
N log X i log X
N
3
g log x i 1
Distribusi Log Normal 3 parameter merupakan modifikasi distribusi log normal dengan
menambahkan suatu parameter sebagai batas bawah, dengan fungsi densitas
peluang log normal (log normal probability density function) dari variabel acak kontinue
x, dengan persamaan sebagai berikut :
2
1 ln( x ) n
1
n
P( X ) e 2
ln( x ) 2
dengan :
x = variabel acak kontinue
n = deviasi standart dari sampel dari variat ln (x - )
n = rata-rata dari sampel dari variat ln (x - )
Pada Tabel 4.2 dapat dilihat hasil analisa curah hujan rencana untuk tiap stasiun curah
hujan.
Tabel 4.2. Curah Hujan Rencana Pada Setiap Stasiun Pencatat (mm/jam)
Stasiun Pencatat Curah Hujan Rencana Tahunan
No.
Hujan 1 2 3 5 10 25 50 100 200
1. Sta.Ciparay 71.01 80.06 89.11 98.8 110.46 124.4 134.28 143.77 152.98
2. Sta.Cicalengka 65.3 76.14 86.98 98.95 113.95 132.85 146.95 161.09 175.38
3. Sta.Paseh 64.93 77.02 89.11 102.69 119.72 140.91 156.36 171.52 186.47
4. Sta.Lembang 71.62 77.28 82.94 88.17 93.58 99.03 102.36 105.22 107.71
5. Sta.Jatinangor 46.11 55.88 65.65 77.91 95.31 120.33 141.11 163.69 188.2
6. Sta.Ujung Berung 76.7 87.03 97.36 108.91 123.31 141.14 154.1 166.78 179.26
7. Sta.Buah Batu 74.73 80.92 87.11 93.05 99.45 106.26 110.62 114.5 118.02
8. Sta.Cibeureum 79.64 88.2 96.76 105.23 114.65 125.02 131.86 138.09 143.85
Sumber : Analisa Konsultan, 2009
Setelah diperoleh curah hujan rencana maka selanjutnya diperlukan analisa ishoyet
untuk menghitung curah hujan rencana yang dapat mewakili DAS tertentu.
Peta Isohyet (tempat kedudukan yang mempunyai tinggi hujan sama) digambar pada
peta tofografi dengan perbedaan 10 mm sampai 20 mm berdasarkan data curah hujan
pada titik-titik pengamatan yang dimaksud. Luas bagian daerah antara 2 garis isohyet
yang berdekatan diukur dengan planimetri. Curah hujan daerah itu dapat dihitung
menurut persamaan sebagai berikut:
A 1R 1 A 2 R 2 A 3R 4 ............................. A NR N
R
A 1 A 2 A 3 .................... A N
dimana :
Cara ini adalah cara rasional yang terbaik jika garis-garis isohyet dapat digambar
secara teliti.
S1
110 mm
110 mm A1 100 mm 90 mm
S2
100 mm A2
S4 A4
S3
95 mm
A3
90 mm
95 mm
Sesuai dengan lokasi DAS Citarum terdapat 8 stasiun pengamatan hujan yang dapat
mewakili kondisi hujan pada DAS tersebut, yaitu :
Pos Hujan
Gambar 4.2. Sebaran Lokasi Stasiun Pengamat Hujan Metro Bandung
Hasil analisa curah hujan dengan metoda isohyet untuk wilayah studi Metro Bandung
dapet dilihat pada gambar berikut
Gambar 4.3. Distribusi Curah Hujan Ishoyet Untuk Curah Hujan Rencana 2 Tahunan
Gambar 4.4. Distribusi Curah Hujan Ishoyet Untuk Curah Hujan Rencana 5 Tahunan
Gambar 4.5. Distribusi Curah Hujan Ishoyet Untuk Curah Hujan Rencana 10 Tahunan
Gambar 4.6. Distribusi Curah Hujan Ishoyet Untuk Curah Hujan Rencana 25 Tahunan
Gambar 4.7. Distribusi curah hujan ishoyet untuk curah hujan rencana 50 tahunan
Untuk menentukan besarnya intensitas hujan tiap jam di gunakan rumus Mononobe
sebagai berikut:
n
R 24
IT
24 T
Dimana:
IT : intensitas curah hujan dalam mm/jam dengan durasi T.
R : Curah hujan harian (mm)
T : Durasi Curah Hujan (jam)
n : 2/3 ~ 1/2
Hasil perhitungan intensitas curah hujan dengan metoda Mononobe dapat dilihat pada
gambar 4.8 sampai gambar 4.12.
Gambar 4.12. Kurva Intensitas Curah Hujan Dengan Periode Ulang 25 Tahunan, Pada
Setiap DAS di Metro Bandung
Kecepatan pengaliran sungai dapat dihitung dari panjang dan selisih ketinggian hulu
dan hilir sungai berdasarkan persamaan:
0.6
H
V 72
0.9 L
Dimana:
Setelah diketahui kecepatan pengaliran dapat dicari waktu puncak banjir dengan
menggunakan persamaan berikut:
L
t
V
Pada Tabel 4.3 dapat dilihat kondisi sungai-sungai utama Metro Bandung dan pada
tabel 4.4 dapat dilihat pembagian wilayah pada DAS Metro Bandung yang akan
digunakan untuk menganalisis debit banjir pada wilayah studi.
Untuk mendapatkan besaran debit banjir rencana yang lebih baik, dalam perhitungan
diperlukan beberapa metode perhitungan, kemudian dibandingkan hasil dari masing-
masing untuk diambil sebagai debit banjir rencana (design flood). Dalam analisa debit
banjir rencana disini dihitung dengan metode-metode sebagai berikut :
Rasional
HSS Nakayasu
Pada studi ini curah hujan rencana yang digunakan adalah curah hujan rencana 25
tahunan, setelah menganalisa peta ishoyet untuk curah hujan 25 tahunan maka
diperoleh curah hujan rencana yang dapat mewakili setiap DAS yang dianalisa. Hasil
analisa dengan metoda ishoyet dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut:
Curah Hujan
No. DAS
Rencana
1. Cikapundung 132.03
2. Citarik 130.27
3. Cirasea 131.35
4. Cisangkuy 118.38
5. Ciwidey 104.74
6. Cimeta 127.07
7. Cihaur 126.62
8. Ciminyak 121.01
Sumber : Analisa Konsultan, 2009
Dasar metode ini dalam teknik penyajiannya memasukkan faktor curah hujan,
keadaan fisik dan sifat hidrolika daerah pengaliran, persamaan umum dari metode ini
adalah sebagai berikut :
Q = 0.278 Co Cs I A
dimana :
Co = koefisien pengaliran
Metode ini mulanya diterapkan untuk daerah perkotaan kemudian metode ini
dikembangkan untuk daerah pengaliran sungai dengan berdasarkan anggapan
sebagai berikut :
Curah hujan mempunyai intensitas merata diseluruh daerah aliran untuk durasi
tertentu
Lamanya curah hujan sama dengan waktu konsentrasi dari daerah aliran
Puncak banjir dan intensitas curah hujan mempunyai tahun berulang yang sama
Berdasarkan tabel 4.6 maka dapat dihitung nilai koefisien pengaliran pada tiap DAS
dengan merata-ratakan koefisien pengaliran berdasarkan luas wilayah yang sesuap
dengan tipe daerah pengaliran pada tabel 4.6, hasil perhitungan koefisien pengaliran
pada tiap DAS dapat dilihat pada tabel 4.7.
No. DAS C0
1. Cikapundung 0.44
2. Citarik 0.33
3. Cirasea 0.32
4. Cisangkuy 0.32
5. Ciwidey 0.32
6. Cimeta 0.36
7. Cihaur 0.38
8. Ciminyak 0.34
Sumber : Analisa Konsultan, 2009
Sedangkan nilai Cs dapat didapat dari kurva factor reduksi luas yang dapat dilihat pada
gambar 4.13 berikut
0.8
is
k
u
d
e
R
r 0.5
o
t
k
a
F
0.3
0.0
10 100 Luas DPS (km2) 1000 10000
Hasil perhitungan Debit banjir dengan metoda rasional dapat dilihat pada tabel 4.8
berikut ini
Tabel 4.8. Hasil Perhitungan Debit Banjir Dengan Metoda Rasional
T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak
sampai menjadi 30% dari debit puncak.
Tp = Tg + 0, 8 tr
T0, 3 = x Tg
Tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir (jam). Tg
dihitung dengan ketentuan sebagai berikut :
Tg = 0, 40 + 0, 058 L
Tg = 0, 21 + L 0, 70
= parameter hidrograf
0 t Tp
2.4
t
Qt Qmax
T p
t T p
Qt Qmax T0 , 3
t T p T0.3
1.5T0 , 3
Qt Qmax 0.3
t T p 1.5T0.3
1.5T0 , 3
Qt Qmax 0.3
Rumus tersebut diatas merupakan rumus empiris, oleh karena itu dalam
penerapannya terhadap suatu daerah aliran harus didahului dengan pemilihan
parameter parameter yang sesuai seperti Tp, dan pola distribusi hujan agar
didapatkan suatu pola hidrograf yang mendekati dengan hidrograf banjir yang diamati.
Dengan telah dihitungnya hidrograf satuan, maka hidrograf banjir untuk berbagai kala
ulang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Dengan :
Rumus hidrograf banjir tersebut dalam bentuk tabel dapat disajikan sebagaimana
Tabel 4.9 berikut :
Tabel 4.9. Tabel Perhitungan Hidrograf Banjir
Hidrograf
satuan R1 R2 Rn Rm Aliran dasar Debit
(m3/dt/mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (m3/dt) (m3/dt)
Q1 q1 . R1 B Q1
Q2 q2 . R1 q1 . R2 B Q2
Q3 q3 . R1 q2 . R2 ... B Q3
Q4 q4 . R1 q3 . R2 ... q1 . Rm B Q4
Q5 q5 . R1 q4 . R2 ... q2 . Rm B Q5
... ... q5 . R2 ... q3 . Rm B Qn+1
qn qn . R1 ... ... q4 . Rm B Qn+2
qn . R2 ... q5 . Rm B Qn+3
... ... B ...
qn . Rm B Qn+m-1
Sumber : Analisa Konsultan, 2009
Hasil perhitungan hidrograf banjir untuk DAS wilayah metro bandung dapat dilihat pada
Gambar 4.13 sampai dengan Gambar 4.20
450
400
350
300
t)
e
d
/
3
m 250
(
it
b
e
D 200
150
100
50
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Waktu (jam)
500
400
t)
e
d
/
3
m 300
(
it
b
e
D
200
100
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Waktu (jam)
350
300
250
)t
e
3
/d
200
(m
it
b
e
D
150
100
50
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Waktu (jam)
350
300
250
t)
e
d
/
3
m 200
(
it
b
e
D
150
100
50
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Waktu (jam)
350
300
250
)t
e 200
3
/d
(m
it 150
b
e
D
100
50
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
-50
Waktu (jam)
250
200
t)
e
d
/
3
m 150
(
it
b
e
D
100
50
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Waktu (jam)
300
250
t) 200
e
d
/
3
m
(
it
b 150
e
D
100
50
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Waktu (jam)
500
400
t)
e
d
/
3
m 300
(
it
b
e
D
200
100
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Waktu (jam)
Dari Hasil Analisa DAS yang memiliki debit banjir yang besar adalah DAS Ciminyak,
Cikapundung dan Citarik dikarenakan memiliki DAS yang luas, akan tetapi yang perlu
menjadi perhatian adalah DAS Citarik dan Cikapundung dikarenakan pengalirannya
bermuara pada sungai Citarum yang melewati pusat wilayah Metro Bandung.
Sedangkan DAS Ciminyak bermuara pada danau Saguling yang berada pada sebelah
Barat wilayah Metro Bandung. Pada Tabel 4.10 dapat dilihat ringkasan debit banjir
maksimum yang terjadi pada DAS Metro Bandung.
Tabel 4.10. Rangkuman debit banjir maksimum hasil pengolahan metoda nakayasu
Debit Puncak Debit Puncak
No DAS (Q)2004 (Q)2029
(m3/det) (m3/det)
1. Cikapundung 471.13 513.77
2. Citarik 492.42 587.84
3. Cirasea 371.32 371.32
4. Cisangkuy 335.85 335.85
5. Ciwidey 361.63 482.27
6. Cimeta 277.38 277.38
7. Cihaur 306.07 330.47
8. Ciminyak 497.38 497.38
Sumber: Perhitungan Konsultan, 2009
Setelah diketahui debit puncak banjir yang terjadi pada tiap DAS yang terdapat pada
wilayah Metro Bandung maka selanjutnya dapat dianalisa apakah dimensi sungai
utama pada metro bandung mencukupi untuk mengalirkan debit banjir yang terjadi.
Pada Tabel 4.11 berikut dapat dilihat perhitungan kapasitas sungai sungai utama pada
DAS metro bandung.
Tabel 4.11. Kapasitas Sungai Utama per DAS
No. Sungai A (m2) p (m) R (m) n s Q (m3/s)
1. Cikapundung 60.22793 29.51878 2.040326 0.025 0.043905 812.0449
2. Citarik 58.66477 22.27854 2.633241 0.025 0.02953 768.9523
3. Cirasea 74.02459 30.5735 2.421201 0.025 0.014189 635.9592
4. Cisangkuy 110.5467 48.0256 2.301829 0.025 0.049912 1722.229
5. Ciwidey 67.99689 27.2298 2.49715 0.025 0.023579 768.7251
keterangan
A= Luas penampang
p= keliling basah
R= jari2 hidrolis
S= kemiringan sungai rata2
h= elevasi saluran
n= koefisien manning
Setelah dibandingkan antara Tabel 4.11 dengan Tabel 4.10 maka dapat disimpulkan
bahwa sungai sungai utama yang bermuara pada sungai Citarum masih mencukupi
untuk menampung debit banjir 25 tahunan.
Bab 5
Rencana struktur tata ruang yang akan diterapkan di wilayah Metropolitan Bandung
adalah konsep struktur tata ruang perkotaan polisentrik (Polisentrik Urban Region)
yang tetap mengacu pada konsep dekonsentrasi planologis. Namun konsep ini perlu
dimodifikasi karena dalam pelaksanaannya tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
Di dalam RTRW Metro Bandung strategi ruang perkotaan (Urban Spatial Strategy)
dibedakan ke dalam 2 tingkatan strategi pembangunan perkotaan, yaitu :
a. Manajemen perkotaan.
b. Dekonsentrasi pertumbuhan kota.
Manajemen perkotaan diskenariokan ke dalam 3 (tiga) skenario strategi pembangunan
perkotaan, yaitu sesuai pertumbuhan pasar, intervensi minimum dan intervensi
maksimum. Kelemahan dan keuntungan dari masing-masing strategi dapat dilihat pada
tabel 5.1 dan 5.2.
Dengan mengacu kepada strategi intervensi minimum, maka untuk memilih strategi
pengembangan ruang perkotaan, perlu ditentukan bentuk intervensi apa yang
berkaitan erat dengan pola dekonsentrasi pertumbuhan kota yang diharapkan. Satu
bentuk intervensi yang ditawarkan adalah keberadaan zona penyangga yang dapat
membatasi pertumbuhan zona utama-inti (kota Bandung) dengan kota-kota
pertumbuhan di sekitar kota inti. Oleh karena itu, strategi pengembangan ruang
perkotaan terpilih adalah strategi perumbuhan pusat-pusat kota yang tidak berdekatan
dengan intervensi daerah penyangga. Walaupun sulit untuk dicapai dan membutuhkan
biaya yang cukup besar, namun strategi ini memiliki kelebihan tertentu, yaitu
memberikan proteksi yang memadai terhadap alih fungsi sawah irigasi, meningkatkan
lapangan kerja di kota-kota kecil, serta mendorong kebijakan pemerintah daerah
setempat.
Berdasarkan data kependudukan yang ada pada dokumen Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Bandung (2001), Kota Cimahi (2002), Kabupaten Bandung
(1999), serta RTRW Kabupaten Sumedang (2002), jumlah penduduk yang berada dii
wilayah Metropolitan Bandung mencapai 6, 9 juta jiwa, dimana sebagian besar
terkonsentrasi di Kota Bandung (2, 3 juta jiwa) dengan tingkat kepadatan mencapai
139 jiwa/ha. Kepadatan penduduk terendah adalah 13 jiwa/ha terjadi di Kabupaten
Bandung.
Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2007 merupakan yang
tertinggi, yaitu mencapai 3, 12%. Dengan memperhatikan angka proyeksi jumlah
penduduk sampai dengan tahun 2029, menggambarkan bahwa penyebaran penduduk
di Metro Bandung sudah mengalami perkembangan, dimana sebelumya jumlah dan
laju pertumbuhan di Kota Bandung paling tinggi dibandingkan dengan Kota dan
Kabupaten lainnya, ini disebabkan karena banyaknya perumahan dan permukiman
yang berada di wilayah Kabupaten Bandung, akan tetapi semakin tingginya tekanan
penduduk di Kabupaten Bandung dan memungkinkan terjadinya permasalahan
lingkungan, pelayanan prasarana dasar, dan lain sebagainya yang saat inipun sudah
dirasakan. Oleh karenanya, ke depan diperlukan suatu strategi untuk memeratakan
penyebaran penduduk di wilayah Metropolitan Bandung, bukan hanya di Kab.
Bandung saja tapi merata ke kabupaten lainnya.
Tabel 5.4. Proyeksi Penduduk Metropolitan Bandung sampai dengan Tahun 2029
Laju Proyeksi Jumlah Penduduk
Jumlah
Kawasan Metropolitan Pertumb.
Pddk 2007
Bandung Pddk 2009 2014 2019 2029
(Jiwa)
(%)
Kab. Bandung 3, 12 3.038.082 3.132.870 3.719.348 4.415.615 5.931.065
Kota.Bandung 1, 30 2.329.928 2.360.217 2.544.319 2.742.781 3.135.009
Kota Cimahi 2, 69 536.743 551.181 640.147 743.472 963.475
Kec. Tanjungsari 1, 97 20.320 20.720 23.174 25.919 31.545
Kec. Cimanggung 2, 00 21.600 22.032 24.681 27.648 33.740
Kec. Jatinangor 2, 04 21.200 21.632 24.285 27.263 33.391
Kec. Pamulihan 1,91 5.292 5.393 5.898 6.404 7.415
Kec. Sukasari 1,96 31.563 32.182 35.275 38.368 44.554
Kab. Bandung Barat 2, 54 1.493.238 1.531.166 1.764.521 2.033.439 2.601.592
Total 2, 86 7.497.966 7.677.393 8.781.648 10.060.909 12.781.786
Sumber : Hasil Analisis
Untuk menjamin tersedia pelayanan publik bagi masyarakat, maka dalam Peraturan
Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom, pada pasal 3 butir (3) disebutkan bahwa Daerah
Wajib Melaksanakan Pelayanan Minimal. Dalam hal ini Standar Pelayanan Minimal
(SPM) merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat (pasal 2 ayat 4 butir b). Untuk
bidang jalan, Departemen Kimpraswil telah mengeluarkan standar pelayanan minimal
bidang jalan.
SPM di bidang jalan ini dikembangkan dalam sudut publik sebagai pengguna jalan,
dimana ukurannya merupakan common indicator yang diinginkan oleh pengguna.
Basis SPM dikembangkan dari 3 (tiga) keinginan dasar para pengguna jalan, yakni :
1. Kondisi jalan yang baik (tidak ada lubang)
2. Tidak macet (lancar sepanjang waktu)
3. Dapat digunakan sepanjang tahun (tidak banjir waktu musim hujan)
Dalam kaitan ini penyelenggara jalan harus mengakomodir tuntutan publik terhadap
SPM dengan mengikuti norma/kaidah/aspek dibidang investasi jalan, yang meliputi
aspek : efisiensi, efektivitas, ekonomi-investasi dan aspek kesinambungan.
Pada dasarnya item dalam SPM jalan hampir sama dengan kriteria kemantapan jalan
dimana tujuan adalah memelihara jalan minimal dalam kondisi fisik yang sedang
(indikator IRI), tidak macet (VCR < 0, 8), lebar cukup dan jumlah panjang jaringan
jalan yang mencukupi (aspek aksesibilitas dan mobilitas). Namun demikian untuk
menetapkan kebutuhan pembangunan dan pengembangan jaringan jalan tidak hanya
didasarkan kepada kebutuhan untuk mencapai 100% jalan mantap ataupun SPM jalan,
namun juga terkait dengan kebutuhan jalan bagi pengembangan wilayah, dukungan
bagi sektor dan kawasan andalan, prediksi kebutuhan lalu lintas di masa akan datang.
Kab. Purwakarta
Kota Bandung
Kab. Subang
Lembang
Padalarang
Kab. Sumedang
Cicalengka
Soreang
Banjaran M ajalaya
Kab. Cianjur
Kab. Garut
Keterangan :
Terlihat bahwa sisi kuantitas penyediaan jaringan jalan (relatif terhadap luas wilayah
maupun terhadap jumlah penduduk) kabupaten/kota di wilayah Metropolitan Bandung
pada umumnya di bawah SPM (Standar Pelayanan Minimum), kecuali Kota Bandung
dari sisi indeks aksesibilitas sedikit di atas SPM.
Dari sisi kualitas kondisi jalan (panjang jalan yang kondisinya rusak relatif terhadap
panjang jalan keseluruhan) data tahun 2001 menunjukan bahwa rata-rata untuk
wilayah Metropolitan Bandung 45% dalam kondisi rusak.
Dalam penyediaan prasarana jalan (supply) sampai pada tahun 2029 diwilayah
metropolitan Bandung harus ada jaringan jalan sepanjang 5.170 km dan jika
dibandingkan dengan eksisting yang ada (3.990, 6 km) maka harus ada pembangunan
jalan baru sepanjang 1.179 km
Dari sisi moda transportasi proporsi saat ini didominasi oleh kendaraan mobil jenis
penumpang pribadi sebesar 86%, angkutan umum 2, 5% dan sisanya 11, 5%
kendaraan Barang.
a. Air Bersih
Tabel 5.6. Proyeksi Kebutuhan Air Bersih di Metropolitan Bandung Th. 2007-2029
Total Tahun
2007 2009 2014 2019 2029
Penduduk 7.524.231 7.639.820 8.740.476 10.016.136 12.729.816
Metropolitan
Bandung
Kebutuhan air 752423, 1 763.982 874.047, 6 1.001.613, 6 1.272.981, 6
3
(m /hari)
Sumber : Hasil Analisis, 2009
b. Drainase
Berdasarkan data sistem drainase yang ada, secara umum dapat diketahui, bahwa
pemeliharaan sistem drainase mikro yang sudah ada masih sangat kurang, tidak ada
pembangunan sistem drainase mikro sesuai standar dan kriteria sebagai konsekuensi
logis pengembangan kawasan perkotaan serta masih kurangnya perhatian terhadap
peningkatan dan pemeliharaan sistem drainase makro atau badan air penerima. Selain
itu, berdasarkan kondisi yang ada, saluran yang yang ada selain berfungsi sebagai
drainase yang khusus mengalirkan air hujan juga berfungsi sebagai saluran air limbah
domestik yang mengalirkan limbah cair maupun padat dari rumah tangga. Ada juga
saluran irigasi yang difungsikan sebagai saluran drainase dengan akibat terganggunya
fungsi irigasi dan tidak optimalnya fungsi drainasenya.
Berkaitan dengan kondisi topografi Cekungan Bandung dan aliran Sungai Citarum
yang berkelok-kelok dan mempunyai beda elevasi yang rendah, maka terdapat
kawasan yang sangat kritis terhadap ancaman genangan air, yaitu Kawasan
Bojongsoang dan tegalluar, sehingga sebagai suatu sistem drainase makro dan mikro
perlu dilakukan penanganan secara khusus.
Sebagaimana diuraikan terdahulu, potensi limbah domestik akan naik pesat seiring
kenaikan jumlah penduduk, potensi dampak pencemaran limbah domestik naik
terhadap sistem perairan, lahan, maupun dari timbulan sampah akan dominan di
masa depan (tahun 2025), apabila limbah domestik yang dihasilkan tersebut tidak
diolah terlebih dahulu. Sistem septik tank hanya efektif untuk skala rumah tangga atau
perumahan sedang. Semakin tingginya kepadatan penduduk, dan lahan yang
tersedia, sistem septic tank akan sulit dibuat dan tidak efektif. Keberadaan IPAL
Domestik Bojongsoang saat ini masih belum cukup membantu mengatasi limbah
domestik, karena kapasitasnya diperkirakan baru untuk 500.000 jiwa. Apabila limbah
penduduk yang melalui septik tank diperhitungkan sebesar 30%, maka potensi limbah
cair domestik yang terbuang ke sungai masih sangat besar atau sekitar 4 juta jiwa.
Kondisi di atas menggambarkan perlunya ketersediaan IPAL Domestik untuk
mengatasi permasalah besarnya potensi limbah cair domestik. IPAL Domestik dapat
berbentuk sistem-sistem komunal yang dintegrasikan dengan sistem skala perumahan
atau skala permukiman.
Dari analisis sumber daya air menunjukkan bahwa sarana IPAL Terpadu akan
dibutuhkan untuk daerah daerah yang masih dimungkinkan adanya industri. Fungsi
IPAL Terpadu sebagai upaya efektif dalam melakukan pengendalian pencemaran dan
optimasi proses pengolahan limbah. Kapsitas dan karakteristiknya akan sangat
bergantung kepada alternatif alternatif industri-industri yang akan dilayani, misalnya
untuk wilayah timur yang diharapkan menjadi kawasan industri non polutan akan
berbeda dengan wilayah barat yang diharapkan menjadi kawasan relokasi industri
proses, kimia, atau manufaktur. Sehingga di wilayah barat perlu adanya IPAL B3
yang terintegrasi dengan IPAL Terpadu. IPAL B3 berfungsi melayani limbah B3 yang
dihasilkan baik dari kegiatan yang menghasilkan limbah B3 seperti industri, rumah
sakit, atau TPS/TPA.
IPAL B3 sangat penting karena limbah B3 harus diolah tersendiri dan khusus sesuai
aturan yang telah ada. Limbah B3 yang dihasilkan dari wilayah Cekungan Bandung
saat ini sekitar 520 ton per tahun ( studi WJEMP ), sementara fasilitas pengolahan
limbah B3 di Cileungsi Bogor hanya mampu menangani rata-rata 200 ton per tahun.
Kondisi ini sangat mengkawatirkan di masa depan, karena banyak sekali limbah B3
yang tidak terolah, tercampur dengan limbah domestik, dan tidak tahu dibuang
kemana di wilayah Metro Bandung.
Selain itu, diperkirakan sampai tahun 2010 cakupan wilayah pelayanan masih berada
di bawah angka 50% apabila tidak ada upaya khusus untuk mengatasi persoalan
tersebut. Akibat tingkat pelayanan yang rendah tersebut, sebagian besar sampah
dibakar atau dibuang sehingga akan berdampak terhadap pencemaran udara, lahan,
maupun perairan. Pada beberapa wilayah kota, tumpukan sampah di saluran drainase
menyebabkan kasus-kasus banjir lokal pada saat musim hujan.
Alokasi penempatan lokasi TPA dan beberapa TPS akan menimbulkan potensi
dampak negatif apabila tidak dikaji secara benar, terutama dari pola pergerakan
angkutan truk sampah terhadap kemacetan, lingkungan yang dilewati. Biaya terbesar
pengolahan sampah selama ini adalah dari sistem pengangkutan, sehingga di masa
depan akan lebih efektif bila distribusi pengolahan sampah dilakukan di setiap TPS
yang dintegrasikan dengan sistem permukiman, menggunakan sistem operasi dan
teknologi pemilahan, reduksi volume, dan daur ulang. Pola ini akan lebih efektif,
terutama mengurangi dampak negatif saat dibawa ke TPA. Dengan pola ini, TPA
Leuwigajah yang sebenarnya sudah tidak layak dari lokasi dan sistem operasinya
dapat direhabilitasi, diganti sistem operasinya, difungsikan sebagai TPS. Beberapa
TPA Regional perlu dibangun untuk melayani pengelolaan sampah Metro Bandung.
Beberapa TPA Regional yang telah diusulkan adalah di daerah Cipatat untuk melayani
Wilayah Barat dan Kota Bandung Barat, Pasir Durung untuk melayani wilayah Timur
dan Bandung Timur, dan Jelekong untuk melayani wilayah Kota Bandung Selatan,
Soreang, dan Banjaran. Khusus untuk wilayah Bandung Utara fungsi TPA Pasirbuluh
dapat ditingkatkan sistem operasi dan teknologinya untuk TPA lokal, kerena
memperhitungkan aksesibilitasnya.
Dari sistem distribusi lokasi dan perbaikan sistem pengelolaan sampah tersebut
diharapkan di masa depan dampak-dampak negatif dari sektor persampahan akan
dapt diminimalisasi, dan fungsi-fungsi pelayanan terhadap masyarakat dapat
meningkat.
Lahan Lahan
POLA TATA Kenaikan
LUAS (Ha) Terbangun Terbangun Kenaikan
RUANG (%)
1994 2001
Hutan Konservasi 21.431, 8 42, 8 152, 8 110.0 257, 00
Hutan Lindung 72.715, 5 393, 4 1.558, 2 1.164, 8 296, 08
Lindung Non Hutan 50.122, 4 886, 8 2.518, 0 1.631, 2 183, 94
SUB TOTAL 144.269, 7 1.323 4.229 2.906 219.65
Hutan Produksi 12.393, 9 150, 9 592, 2 441, 3 292, 44
Budidaya 183.067.2 39.558, 1 54.592, 9 15.034, 8 38, 00
Diluar terbangun 143.504, 0 128.416, 4 -15.087, 6 -10, 51
SUB TOTAL 195.461, 1 183.213 183.601, 5 388, 5 21, 20
Danau/ Waduk/Situ 7.805, 4 7.805, 4 7.805, 4 - -
TOTAL 347.536, 2 41.032.0 59.414, 1 18.382, 10 -
Sumber : Hasil Analisis, Bapeda 2006
Keterangan : luasan berdasarkan pola tata ruang tersebut adalah luasan normatif berdasarkan
kriteria yang ditetapkan dalam RTRWP.
Analisis daya dukung lingkungan pada bagian ini beranjak pada analisis yang
dilakukan pada bab sebelumnya, terutama berkaitan dengan perkembangan
kependudukan, sosial ekonomi, ketersediaan lahan dan sumber daya air, serta
rencana pengembangan infrastruktur dan sarana prasarana perkotaan di Metropolitan
Bandung. Analisis daya dukung lingkungan akan lebih menekankan pada potensi
dampak penting yang akan berkembang apabila rasio supplai demand terlampaui atau
belum, bagaimana interaksi satu dampak dengan dampak ikutan lainnya untuk suatu
pengembangan kegiatan atau wilayah sehingga menjadi faktor pembatas atau
pendukung pengembangan wilayah, struktur ruang, dan kegiatannya di Metroploitan
Bandung. Untuk lebih sistematis dan fokus, analisis akan ditinjau dari daya dukung
lahan, sumber daya air, infrastruktur wilayah, dan kualitas udara.
Hasil analisis guna lahan menunjukkan bahwa secara umum ketersediaan lahan di
wilayah Metro Bandung untuk kawasan budidaya yang dapat dikembangkan hanya
Pengembangan kawasan budi daya di luar wilayah Kota Bandung dan Cimahi, harus
tetap mengacu kepada kebijakan pola tata ruang untuk menjaga dan
mempertahankan luas kawasa lindung, sehingga pola pengembanganan kawasan
tidak meluas dan mengarah ke arah bagian Utara dan Selatan yang berfungsi
sebagai kawasan yang berfungsi lindung. Melihat kondisi fisik wilayah, ketersediaan
infrastruktur, dan pola arah angin di Metro Bandung, maka arah pengembangan
kawasan budidaya seharusnya diarahkan pada koridor Barat Timur, karena akan
meminimisasi potensi dampak negatif yang muncul, karena penyebaran permukiman
akan terjaga, dinamika transport polutan udara terjaga pada arah Timur Barat dan
dapat dikurangi tingkat konsentrasinya dengan adanya kawasan vegetasi di utara,
selatan, dan barat. Disisi lain, secara alami, aliran utama sungai Citarum yang
berfungsi sebagai pasokan utama sumber daya air dan sistem drainase di Wilayah
Metro Bandung, juga mengalir dari Timur ke Barat, jadi secara alamiah pun
kesesuaian pembangunan di wilayah ini secara ekologi adalah sepanjang koridor
bagian tengah dari Timur ke Barat.
Ketersediaan air baku terutama air bersih bagi pengembangan wilayah Metro Bandung
dengan semua aktivitasnya merupakan faktor penting yang harus menjadi perhatian
utama. Fenomena kelangkaan air baku yang telah mulai dirasakan di beberapa daerah
di wilayah Metro Bandung, skalanya akan lebih besar apabila aspek pemanfaatan
dan rehabilitasi sumber-sumber air tidak segera dilakukan. Analisis terhadap rasio
ketersediaan dan kebutuhan air baku menunjukkan bahwa laju kebutuhan air akan
meningkat seiring dengan pesatnya pertambahan penduduk dan jenis kegiatan.
Pada tahun 2010, diperkirakan tingkat kebutuhan air telah melampui potensi yang
dapat dimanfaatkan, kenaikan terutama untuk rumah tangga dan kegiatan perkotaan.
Kondisi tersebut merupakan indikator, bahwa efisiensi pemanfaatan air dan upaya
upaya lain untuk memperoleh sumber-sumber baru untuk tambahan air baku harus
mulai dilakukan saat ini. Potensi terbesar adalah dari air permukaan, baik dari sungai
dan waduk , yang diperkirakan lebih dari 5 milyar m3/tahun. Rehabilitasi dan
pemulihan kondisi air bawah tanah, selain diharapkan sebagai sumber air bersih
utama penduduk, akan berdampak pada meningkatnya fungsi-fungsi konservasi, baik
konservasi air maupun lahan. Air permukaan dan air tanah walaupun wujud dan
keberadaanya berbeda-beda namun sumberdaya air tersebut memiliki keterkaitan
antara satu dan lainnya, membentuk satu kesatuan sistem tata air dalam suatu
wilayah Daerah Airan Sungai (DAS), yakni DAS Citarum.
Berikut ini kami sampaikan data penurunan air tanah di Wilayah Metro Bandung, yang
dikeluarkan oleh Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan, DGTL, Tahun 2004.
LINGKUNGAN
PENURUNAN MUKA AIR TANAH
CICAHEUM
CIBALIGO
UTAMA
1,63 2,12
3,11 5,12
3,11 5,12 CIPADUNG
CIMINDI CIKERUH
1,61 3,1
CIJERAH CIKERUH
ARJUNA
CIKANCUNG
1,27 4,32
MALEBER 0,52 3,85
PASIRKALIKI
1,27 4,32
MAJALAYA
1,27 4,32
0,32 3,9
BANJARAN
GARUDA
0,89 4,57 CIPARAY
1,27 4,32
0,89 4,57
BUAHBATU CIBUNTU PAMEUNGPEUK
Legenda :
1,27 4,32 1,27 4,32 0,89 4,57
DAERAH
KATAPANG
PENURUNAN MUKA DAYEUHKOLOT SOREANG
AIR TANAH 0,38 1,6
(m/thn) 1,61 3,1 0,38 1,6
Upaya penanganan air tanah seharusnya mulai dilakukan saat ini, terutama
pemanfaatannya di daerah-daerah industri. Melihat kondisi kritis yang ada, sudah
seharusnya dilakukan susbtitusi pemakaian air baku yang berasal dari air tanah ke air
permukaan. Kendala utama adalah kualitas air permukaan di hampir semua sungai
dan waduk ternyata tidak memenuhi baku mutu untuk air baku (Golongan B).
Sungai Citarum mulai dari hulu hingga ke intake Waduk Saguling telah menunjukkan
kategori pencemaran sedang hingga sangat barat, kondisi ini juga terjadi pada
beberapa anak sungai Citarum. Penyebab utama adalah pencemaran air, baik oleh
industri dan domestik yang membuang limbahnya ke sepanjang sungai pada DAS
Citarum. Industri proses, khususnya industri tekstil, kimia, dan elektroplating yang
cukup dominan berada di Metro Bandung, merupakan industri yang berpotensi tinggi
menghasilkan limbah cair dalam volume besar dan bersifat B3.
Penurunan daya dukung air tidak terlepas dari penurunan daya dukung lahan,
khususnya kawasan kawasan konservasi yang berfungsi untuk daur hidrologi pada
satu sistem DAS. Dampak kerusakan DAS Citarum yang terjadi mulai dari daerah hulu,
yang didindikasikan dengan menurunnya nilai indeks konservasi dari 0, 7 menjadi 0, 4
(BPLHD Jawa Barat, 2002), telah dapat dirasakan dari tahun ke tahun, dengan
semakin turunnya debit minimum pada musim kemarau dan sebaliknya meningkat
tajam pada musim hujan. Dampak yang terasakan adalah fenomena kekeringan dan
banjir yang selalu terjadi tiap tahun.
Sebagai indikator adalah, pada musim kemarau telah terjadi penurunan debit ekstrim
minimum di Stasiun Nanjung dari 6, 35 m3/detik menjadi 5, 70 m3/detik, namun di
musim hujan, nilai debit ekstrim maksimum meningkat dari 217, 6 m 3/detik menjadi
285, 8 m3/detik. Dampak ini akan terus terjadi dalam skala yang lebih luas apabila
upaya untuk menormalisasi rasio debit minimum dan maksimum tidak dilakukan.
Fenomena banjir juga akan semakin diperparah dan meluas apabila tidak ada upaya
untuk memperbaiki sistem drainase perkotaan, mengurangi air larian (run off), dan
normalisasi daya tampung sungai, tidak dilakukan. Penataan infrastruktur perkotaan,
konsistensi antara pemanfaatan ruang dengan pengendalian pemanfaatannya sangat
diperlukan dalam penataan ruang Metro Bandung ke depan.
Salah upaya menurunkan debit limpasan air hujan, run off, adalah dengan membangun
sumur resapan, khususnya di lahan terbangun. Kemampuan sumur resapan
meresapkan air hujan adalah sekitar 240 m3/hari. Angka ini adalah untuk sumur
resapan individual dengan kedalaman akifer mulai kedalam 3,0 m dengan ketebalan
akifer rata-rata 1,5 m.
Berikut kami sampaikan efektivitas sumur resapan terhadap penurunan puncak banjir
di sungai terkait. Dari angkanya dapat dihitung, sumur resapan ini jika dibuat sesuai
dengan rekomendasi mampu menurunkan puncak banjir antara (16 21)%.
Tabel 5.11. Efektifitas sumur resapan terhadap debit puncak tiap DAS
5.6. Resume
5.6.1. Sosial-ekonomi
Bertitik tolak dari perkiraan laju pertumbuhan penduduk yang relatip masih tinggi
khususnya di wilayah perkotaan dan distribusi penyebarannya yang tidak merata
mengarah perlu upaya penanganan yang leih serius terhadap upaya mengendalikan
laju pertumbuhan penduduk serta penyebarannya baik melalui mekanisme
administratif maupun mekanisme non-administratif.
sebesar 27, 2 % terhadap PDRB atas dasar harga konstan sedangkan sektor jasa dan
perdagangan tumbuh dengan laju 19, 24 % dengan kontribusi sekitar 33 %. Untuk
Wilayah Kabupaten Bandung sektor dominan yang berkembang didarah ini adalah
sektor Industri Pengolahan yang tumbuh dengan laju rata-rata sebesar 9, 11 % dengan
kontribusi sebesar 51, 8 % terhadap PDRB atas dasar harga konstan sedangkan
sektor perdanganagn tumbuh sebesar 3, 4 % dengan kontribusi sebesar 14, 8 % dan
sektor pertanian tumbuh dengan laju 0, 49 % per tahun dengan kontribusi sebesar 10,
3 % atas dasar harga konstan.
Dengan teridentifikasikannya ke-7 sektor basis diatas yang pada umumnya adalah
sektor-sektor perkotaan (sektor sekunder dan tersier) maka kecenderungan
perkembangan wilayah metropolitan sampai dengan tahun 2025 cenderung
berkembang kearah sektor perkotaan. Sektor perkotaan yang diperkirakan akan terjadi
perlambatan pertumbuhan adalah sektor industri manufaktur akibat diterapkannya
AFTA dan kebijakan internal yang memperketat perijinan lokasi industri yang tidak
sesuai dengan daya dukungnya. Sektor pertanian yang sifatnya produksi diwilayah
diperkirakan akan tumbuh konstan sampai dengan tahun 2025 namun kecenderungan
perkembangan pertanian yang sifatnya agribisnis diperkirakan akan tetap tumbuh lebih
tinggi lagi. Demikian pula dengan sektor Jasa Pariwisata diperkirakan akan tetap
berkembang dengan pesat.
5.6.2. Infrastruktur
merupakan salah satu kunci dari perwujudan struktur Metropolitan Bandung yang
direncanakan. Salah satu strategi yang perlu dilakukan dalam pengembangan sistem
transportasi Metropolitan Bandung adalah pengembangan sistem angkutan masal
terpadu (Mass Rapid Tranport System) khususnya di wilayah inti Metropolitan
Bandung. Kebijaksanaan ini sangat penting dalam kerangka mengurangi terjadinya
kemacetan di wilayah Kota Bandung dan sekitarnya.
Kondisi daya dukung lingkungan di cekungan Bandung, saat ini kondisinya sudah
sangat kritis menjadi factor pembatas bagi pengembangan pembangunan di Wilayah
Metropolitan Bandung kedepan. Walaupun dengan asumsi terjadi upaya penanganan
dan rehabilitasi lingkungan secara terpadu, namun upaya pemulihan terhadap
perbaikan kondisi lingkungan ini akan memerlukan waktu yang relatip cukup lama.
Oleh karena itu maka arah pengembangan pembangun di wilayah Metropolitan
Bandung kedepan tetap harus diarahkan pada lokasi-lokasi yang mempunyai kondisi
daya dukung yang sesuai, memasukan sentuhan-sentuhan teknologi serta upaya
penegakan hukum lingkungan. Pemulihan daya dukung terutama diarahkan pada
upaya pemulihan DAS Citarum beserta ke-11 Sub DASnya, upaya rehabilitasi
terhadap kawasan-kawasan resapan air dan pemulihan terhadap pencemaran udara
diperkotaan melalui pembatasan angkutan pribadi dan menyediakan angkutan masal
terpadu serta pengendalian pencemaran limbah udara dari kegiatan Industri yang saat
ini masih ada.
Bab 6
Kelembagaan
(3) Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua urusan
pemerintahan di luar urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Urusan pemerintahan terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan
meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum;
d. perumahan;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. sosial;
n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
Urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam hal ini
pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota adalah sebagai berikut
diatur dalam Bab II, Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 :
(1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi
dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar.
(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. lingkungan hidup;
d. pekerjaan umum;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perumahan;
(1) Penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan
dilaksanakan secara bertahap.
(2) Pemerintahan daerah yang melalaikan penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang bersifat wajib, penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan
pembiayaan bersumber dari anggaran dan belanja daerah yang bersangkutan.
(3) Sebelum penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Pemerintah melakukan langkah-langkah pembinaan terlebih dahulu
berupa teguran, instruksi, pemeriksaan, sampai dengan penugasan pejabat
Pemerintah ke daerah yang bersangkutan untuk memimpin penyelenggaraan
urusan peperintahan yang bersifat wajib tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan presiden.
Pengelolaan urusan pemerintahan lintas daerah diatur dalam Bab IV, Pasal 13
ayat (1) dan ayat (2) sebagi berikut :
(1) Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas
daerah dikelola bersama oleh daerah terkait.
(2) Tata cara pengelolaan bersama urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-
undangan.
a. Pemerintah :
1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dalam
penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.
2. Penetapan NSPK penyelenggaraan drainase dan pematusan
genangan.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi provinsi
berdasarkan kebijakan dan strategi nasional.
2. Penetapan peraturan daerah NSPK provinsi berdasarkan SPM
yang ditetapkan oleh pemerintah di wilayah provinsi.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi
kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi.
2. Penetapan peraturan daerah NSPK drainase dan pematusan
genangan di wilayah kabupaten/kota berdasarkan SPM yang
disusun pemerintah pusat dan provinsi.
a. Pemerintah
1. Fasilitasi bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan
pengelolaan drainase.
2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara
drainase dan pematusan genangan secara nasional.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan).
2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara
drainase dan pematusan genangan di wilayah provinsi.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara
drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota.
a. Pemerintah
1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan
operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas
provinsi.
2. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS
drainase dan pengendalian banjir di kawasan khusus dan strategis
nasional.
3. Fasilitasi penyusunan rencana induk penyelenggaraan prasarana
sarana drainase dan pengendalian banjir skala nasional.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan
operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas
kabupaten/kota.
2. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS
drainase di wilayah provinsi.
3. Penyusunan rencana induk PS drainase skala regional/lintas
daerah.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem
drainase dan penanggulangan banjir di wilayah kabupaten/kota
serta koordinasi dengan daerah sekitarnya.
2. Penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di
wilayah kabupaten/kota.
3. Penyusunan rencana induk PS drainase skala kabupaten/kota.
a. Pemerintah
1. Evaluasi kinerja penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali
banjir secara nasional.
2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan
pengendalian banjir secara lintas provinsi.
3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Evaluasi di provinsi terhadap penyelenggaraan sistem drainase
dan pengendali banjir di wilayah provinsi.
2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan
pengendalian banjir lintas kabupaten/kota.
3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan
pengendali banjir di wilayah kabupaten/kota.
2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan
pengendalian banjir di kabupaten/kota.
3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Penjelasan :
Intisari atau hakikat PP 38/2007 ini adalah membagi tanggung jawab antara
Pemerintah, Pemprov dan Pemkab/Pemkot. Pemprov maupun
Pemkab/Pemkot harus mampu mengelola daerahnya masing-masing sesuai
dengan kemampuan SDM dan karakteristik dan daya dukung wilayahnya.
Peraturan ini merupakan konsekuensi logis dari diberlakukannya UU 32
Tahun 2004 tentang otonomi daerah.
Dalam kaitan ini Pemprov mempunyai kewajiban yang sama untuk wilayah
kabupaten/kota yang pengembangannya tidak bisa dipisahkan atau harus
terintegrasi dengan pengembangan wilayah kabupaten/kota yang
berbatasan, karena secara fisik wilayahnya sudah bersatu atau secara
geografis dan topografi saling mempengaruhi. Seperti pada pengembangan
wilayah metropolitan, dimana saling terkait dan saling mempengaruhi
pengembangan sektor drainase dan penanggulangan banjir antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya. Misalnya penanggulangan banjir yang terjadi
di Kota Bandung, tidak terlepas dari pengelolaan tataguna lahan yang ada di
wilayah Kabupaten Bandung maupun di wilayah Kabupaten Bandung Barat.
rusak air, dan system informasi sumber daya air yang disusun dengan
memperhatikan kondisi wilayah masing-masing. Demikian jelas bahwa
upaya-upaya konservasi dan pendaya gunaan sumber daya air (termasuk
yang berasal dari curah hujan) merupakan hal yang harus dikedepankan
dalam pengelolaan sistem drainase dan penanggulangan banjir ini. Upaya
konservasi ini fisiknya berupa antara lain, reboisasi hutan dan lahan kritis,
pembangunan waduk, embung, sumur resapan, parit resapan, pengamanan
sempadan sungai, perluasan hutan kota dan kawasan terbuka hijau dll.
Karena dengan upaya konservasi ini minimal ada 3 (tiga) hal manfaat utama
yang kita dapatkan, yaitu : 1. Mengurangi run off sehingga mengurangi
kebutuhan dimensi saluran drainase, 2. mengurangi tingkat bahaya
akibat banjir dan 3. Meningkatkan cadangan air tanah (sumber daya air).
Salah satu pemkot yang sudah melaksanakan upaya konservasi ini adalah
Pemkot Cimahi, berupa pembuatan sumur resapan dengan alokasi dana dari
APBD Kota Cimahi. Jumlah sumur resapan yang sudah dibangun di Kota
Cimahi, sementara ini adalah:
1. Kurun waktu Tahun (2003 2006) dibangun 42 bh sumur resapan
dengan kedalaman rata-rata 3 m,
2. Kurun waktu Tahun (2007 - 2009) dibangun 395 bh sumur resapan
dengan kedalaman (bervariasi, sesuai dengan akifer setempat) antara (4
15) m.
STANDAR PELAYANAN
UNTUK JENIS PELAYANAN DASAR BIDANG PEKERJAAN UMUM
SUB BIDANG : DRAINASE
LOKASI : PERKOTAAN & PERDESAAN KOTA METRO, BESAR, SEDANG & KECIL
STANDAR PELAYANAN
No KETERANGAN
CAKUPAN TINGKAT PELAYANAN KUALITAS
1 2 3 4 5
1 Tidak terjadi Penanganan genangan > 10 Ha melalui drainase Makro Bila masih terjadi genangan rata rata < 30 cm, dan lama Untuk Kriteria desai
genangan akibat Penanganan Genangan < 10 Ha melalui drainase Mikro genangan < 2 jam mengacu kepada :
banjir di kawasan kota Pemeliharaan menerus saluran saluran drainase Frekwensi kejadian banjir < 2 kali setahun - SNI M.18-1989
> 10 Ha sebagai pematus air Terbebasnya saluran drainase dari sampah sehingga mampu Untuk
Penyuluhan > 2 kali pertahun berfungsi sebagai pematus air hujan standar/metode
Berkurangnya genangan permanent dan temporer hingga 75% perhitungan debit
dari kondisi eksisting banjir
- SNI T -07-1990-F
a. Pemerintah :
1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS
air limbah.
2. Pembentukan lembaga penyelenggara pelayanan PS air limbah
lintas provinsi.
3. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS
air limbah secara nasional termasuk SPM.
4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah yang bersifat
lintas provinsi.
5. Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli
dan terampil bidang air limbah.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air
limbah di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
2. Pembentukan lembaga tingkat provinsi sebagai penyelenggara
PS air limbah di wilayah provinsi.
3. Penetapan peraturan daerah NSPK berdasarkan SPM yang
ditetapkan oleh pemerintah.
4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah lintas
kabupaten/kota.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air
limbah di wilayah kabupaten/kota mengacu pada kebijakan
nasional dan provinsi.
2. Pembentukan lembaga tingkat kabupaten/kota sebagai
penyelenggara PS air limbah di wilayah kabupaten/kota.
3. Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan
oleh pemerintah dan provinsi.
4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah di wilayah
kabupaten/kota.
a. Pemerintah
1. Fasilitasi penyelesaian permasalahan antar provinsi yang bersifat
khusus, strategis baik yang bersifat nasional maupun
internasional.
2. Fasilitasi peran serta dunia usaha tingkat nasional dalam
penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.
3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Fasilitasi penyelesaian masalah yang bersifat lintas
kabupaten/kota.
2. Fasilitasi peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah
lintas kabupaten/kota.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Penyelesaian masalah pelayanan di lingkungan kabupaten/kota.
2. Pelaksanaan kerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat
dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah
kabupaten/kota.
3. Penyelenggaraan (bantek) pada kecamatan, pemerintah desa,
serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan
PS air limbah.
a. Pemerintah
1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah skala kota untuk kota-kota
metropolitan dan kota besar dalam rangka kepentingan strategis
nasional.
2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas
provinsi.
3. Penanganan bencana alam tingkat nasional.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota di
wilayah provinsi.
2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas
kabupaten/kota.
3. Penanganan bencana alam tingkat provinsi.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Penyelenggaraan pembangunan PS air limbah untuk daerah
kabupaten/kota dalam rangka memenuhi SPM.
2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah
kabupaten/kota.
3. Penanganan bencana alam tingkat lokal (kabupaten/kota).
a. Pemerintah
1. Pengendalian dan pengawasan atas penyelenggaraan
pengembangan PS air limbah.
2. Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah secara nasional.
3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan PS air limbah
di wilayahnya.
2. Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah di wilayah
provinsi lintas kabupaten/kota.
3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Monitoring penyelenggaraan PS air limbah di kabupaten/kota.
2. Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan air limbah di
kabupaten/kota.
3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan SPM.
Penjelasan :
Air limbah sangat erat kaitannya dengan sistem drainase dan penanggulangan
banjir. Drainase, air limbah dan persampahan merupakan rangkaian hal yang
tidak dapat dipisahkan baik dalam permasalahan maupun penanggulangannya.
Perbaikan fisik sistem drainase tidak akan lama bertahan jika tidak secara
komprehensiv ditangani pula permasalahan air limbah dan pengelolaan
sampahnya.
Pada umumnya air limbah domestik di kota-kota di Indonesia, belum ditangani
secara off site sistem. Hanya beberapa kota saja yang telah mempunyai sistem
sewerage, dan itupun belum bisa melayani seluruh penduduk kota. Limbah dari
closet (blackwater) umumnya dibuang ke septic tank, dan limbah air bekas
(greywater) dibuang ke saluran drainase.
Dibuangnya limbah domestik ke saluran drainase ini menyebabkan percepatan
pengendapan dan tumbuhnya gulma air di badan air. Kita tahu limbah domestik
mengadung organik yang merupakan pupuk/hara bagi tumbuhan. Proses
dekomposisi atau euthrifikasi zat organik yang terkandung dalam limbah
domestik ini menyebabkan tumbuh suburnya jenis tumbuhan tertentu di saluran
dan badan air. Disamping itu limbah domestik yang dibuang ke saluran
drainase, pada musim kemarau, mengendap, karena mengandung padatan
tersuspensi yang relativ cukup tinggi (sekitar 150 200 mg/l), dan tidak
tergelontor. Endapan yang menumpuk semasa musim kemarau tersebut
menjadikan tersumbat atau kurang lancarnya limpasan air (run off) pada waktu
musim hujan. Kondisi timbulan limbah domestik ini yang seyogyanya difahami
betul oleh pemkab/pemkot ybs, dimana karakter dan kesadaran masyarakatnya
juga akan beragam dalam menyikapi hal ini. Inilah salah satu yang mendasari
pembagian kewenangan Pemerintah dengan pemprov dan pemkab/pemkot.
Untuk itu pemkab/pemkot harus mampu memetakan kinerja pelayanan sistem
pengelolaan limbah domestiknya dan mempunyai target sesuai dengan aturan
yang berlaku.
Dari uraian diatas tertera jelas bahwa permasalahan limbah cair domestik di
wilayah kabupaten/kota harus diselesaikan dan menjadi tanggung jawab
pemkab/pemkot yang bersangkutan. Pengertian bertanggung jawab disini
adalah termasuk hal teknis dan keuangan. Masterplan atau perencanaan induk
sistem pengelolaan limbah domestik di wilayah kabupaten/kota, jelas
merupakan kewajiban dan harus dipunyai oleh setiap pemkab/pemkot.
STANDAR PELAYANAN
UNTUK JENIS PELAYANAN DASAR BIDANG PEKERJAAN UMUM
SUB BIDANG : AIR LIMBAH
LOKASI : PERKOTAAN & PERDESAAN (NASIONAL)
STANDAR PELAYANAN
No KETERANGAN
CAKUPAN TINGKAT PELAYANAN KUALITAS
1 2 3 4 5
1 70,10% jumlah 1) Jamban Pribadi 2) Systim On Site / Setempat Systim On Site / Setempat
penduduk yang a. Dengan tangki septic - Grey water (mandi,cuci) terpisah - Lebih diarahkan untuk kawasan dengan kepadatan < 200 jiwa
terlayani (s/d tahun - IPLT dengan truk tinja dengan black water (kakus) /ha dengan tarap muka air tanah > 2 m yaitu untuk kota
2010) - SBS / Small Bore Sewer disalurkan ke sumur resapan. sedang dan kecil yang potensi pemulohan biayanya / cost
+ IPLT - Saluran tertutup untuk black water recovery belum mendukung untuk membangun baik modullar
2 75,34% jumlah b. Tanpa Tangki septic ke tangki septik tidak bocor dan atau full sewerage system
penduduk yang - Cubluk tidak berbau - Kualitaa hasil pengolahan limbah terpusat baik cairan maupun
terlayani (s/d tahun - Modular/full Sewerage - Tidak terjadi kontak langsung cairan padatan wajib memperhatikan standar baku mutu air buangan
2015) dengan jaringan dari tangki septic ke air tanah sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku
perpipaan + IPAL - Efisiensi BOD removal dan SS > - Jarak antara subluk, bidang resapan dengan sumur dangkal >
2) Fasilitas Umum 85% 10 m
a. Dengan tangki septic - Tidak ada keluhan masyarakat atas - Air limbah dari jamban / WC modular yang dapat dipindah
- IPLT dengan truk tinja kegiatan penyedotan lumpur tinja pindah dapat dibawa ke fasilitas umum dengan tangki septic
- SBS + IPAL dari tangki septic yang selanjutnya - Kawasan permukiman padat > 200 jiwa/ha bila menggunakan
b. Tanpa tangki septic dibawa ke IPLT On Site Systim setidaknya menggunakan tangki septic dengan
- Cubluk 3) Sistim Off Site / Terpusat up flow filter, dimana efisiensi BOS dan SS mencapai 100%
- Modular/ full sewerage - Sistim terpisah/separate gray water,
dengan jaringan black water terpisah dengan storm Systim Off Site / Terpusat
perpipaan + IPAL water/air hujan - Dapat diterapkan sepanjang didukung oleh kemampuan
- Jamban modular (WC - Tidak terjadi kebocoran pada sistim Pemerintah Kab/Kota
bergerak) perpipaan - Desain Sewerage dapat dibenarkan dengan systim tercampur
3) Penyuluhan > 2 kali - Efisiensi BOD removal dan SS > (combine systim)
pertahun 90% dan Eserchia Colli > 99,9% - Untuk criteria desain mengacu kepada
- SK SNI T-07-1989-F
- Kep.DJCK No. 07/KPTS tahun 1999
STANDAR PELAYANAN
UNTUK JENIS PELAYANAN DASAR BIDANG PEKERJAAN UMUM
SUB BIDANG : AIR LIMBAH
LOKASI PERKOTAAN : KOTA METRO & BESAR
STANDAR PELAYANAN
No KETERANGAN
CAKUPAN TINGKAT PELAYANAN KUALITAS
1 2 3 4 5
1 74,58% jumlah 1) Jamban Pribadi 1) Systim On Site / Setempat i. Systim On Site / Setempat
penduduk yang a. Dengan tangki septic - Grey water (mandi,cuci) terpisah - Lebih diarahkan untuk kawasan dengan kepadatan < 200
terlayani (s/d tahun - IPLT dengan truk tinja dengan black water (kakus) jiwa /ha dengan tarap muka air tanah > 2 m yaitu untuk kota
2010) - SBS / Small Bore Sewer disalurkan ke sumur resapan. sedang dan kecil yang potensi pemulihan biayanya / cost
+ IPLT - Saluran tertutup untuk black water ke recovery belum mendukung untuk membangun baik
2 78,82% jumlah b. Tanpa Tangki septic tangki septik tidak bocor dan tidak modullar atau full sewerage system
penduduk yang - Cubluk berbau - Kualitaa hasil pengolahan limbah terpusat baik cairan
terlayani (s/d tahun - Modular/full Sewerage - Tidak terjadi kontak langsung cairan maupun padatan wajib memperhatikan standar baku mutu
2015) dengan jaringan dari tangki septic ke air tanah air buangan sesuai dengan peraturan perundang
perpipaan + IPAL - Efisiensi BOD removal dan SS > undangan yang berlaku
2) Fasilitas Umum 85% - Jarak antara subluk, bidang resapan dengan sumur dangkal
a. Dengan tangki septic - Tidak ada keluhan masyarakat atas > 10 m
- IPLT dengan truk tinja kegiatan penyedotan lumpur tinja - Air limbah dari jamban / WC modular yang dapat dipindah
- SBS + IPAL dari tangki septic yang selanjutnya pindah dapat dibawa ke fasilitas umum dengan tangki septic
b. Tanpa tangki septic dibawa ke IPLT - Kawasan permukiman padat > 200 jiwa/ha bila
- Cubluk 2) Sistim Off Site / Terpusat menggunakan On Site Systim setidaknya menggunakan
- Modular/ full sewerage Sistim terpisah/separate gray water, tangki septic dengan up flow filter, dimana efisiensi BOS dan
dengan jaringan black water terpisah dengan storm SS mencapai 100%
perpipaan + IPAL water/air hujan ii. Systim Off Site / Terpusat
- Jamban modular (WC Tidak terjadi kebocoran pada sistim 1. Dapat diterapkan sepanjang didukung oleh kemampuan
bergerak) perpipaan Pemerintah Kab/Kota
4) Penyuluhan > 2 kali Efisiensi BOD removal dan SS > 90% 2. Desain Sewerage dapat dibenarkan dengan systim
STANDAR PELAYANAN
UNTUK JENIS PELAYANAN DASAR BIDANG PEKERJAAN UMUM
SUB BIDANG : AIR LIMBAH
LOKASI PERDESAAN : KOTA METRO, BESAR, SEDANG & KECIL
STANDAR PELAYANAN
No KETERANGAN
CAKUPAN TINGKAT PELAYANAN KUALITAS
1 2 3 4 5
1 65,67% jumlah 1) Jamban Pribadi 1) Systim On Site / Setempat i. Systim On Site / Setempat
penduduk yang a. Dengan tangki septic - Grey water (mandi,cuci) terpisah - Lebih diarahkan untuk kawasan dengan kepadatan < 200 jiwa
terlayani (s/d tahun - Lumpur Tinja dipendam dengan black water (kakus) /ha dengan tarap muka air tanah > 2 m
2010) disalurkan ke sumur resapan. - Bila akan menggunakan Off Site Syatem, maka harus
b. Tanpa Tangki septic - Saluran tertutup untuk black water ke mengacu pada systim perkotaan
2 71,39% jumlah - Cubluk tangki septik tidak bocor dan tidak - Jarak antara subluk, bidang resapan dengan sumur dangkal >
penduduk yang - berbau 10 m
terlayani (s/d tahun 2) Fasilitas Umum - Tidak terjadi kontak langsung cairan 1. Untuk criteria desain mengacu kepada
2015) a. Dengan tangki septic dari tangki septic ke air tanah a. SK SNI T-07-1989-F
- Lumpur tinja dipendam - Efisiensi BOD removal dan SS > b. Kep.DJCK No. 07/KPTS tahun 1999
85%
b. Tanpa tangki septic
- Cubluk
STANDAR PELAYANAN
UNTUK JENIS PELAYANAN DASAR BIDANG PEKERJAAN UMUM
SUB BIDANG : AIR LIMBAH
LOKASI PEKOTAAN : KOTA SEDANG & KOTA KECIL
STANDAR PELAYANAN
No KETERANGAN
CAKUPAN TINGKAT PELAYANAN KUALITAS
1 2 3 4 5
1 65,67% jumlah 1) Jamban Pribadi 1) Systim On Site / Setempat i. Systim On Site / Setempat
penduduk yang a. Dengan tangki septic - Grey water (mandi,cuci) terpisah - Lebih diarahkan untuk kawasan dengan kepadatan < 200 jiwa
terlayani (s/d tahun - Lumpur Tinja dipendam dengan black water (kakus) /ha dengan tarap muka air tanah > 2 m
2010) disalurkan ke sumur resapan. - Bila akan menggunakan Off Site Syatem, maka harus
b. Tanpa Tangki septic - Saluran tertutup untuk black water ke mengacu pada systim perkotaan
2 71,39% jumlah - Cubluk tangki septik tidak bocor dan tidak - Jarak antara subluk, bidang resapan dengan sumur dangkal >
penduduk yang - berbau 10 m
terlayani (s/d tahun 2) Fasilitas Umum - Tidak terjadi kontak langsung cairan 1. Untuk criteria desain mengacu kepada
2015) a. Dengan tangki septic dari tangki septic ke air tanah a. SK SNI T-07-1989-F
- Lumpur tinja dipendam - Efisiensi BOD removal dan SS > b. Kep.DJCK No. 07/KPTS tahun 1999
85%
b. Tanpa tangki septic
- Cubluk
a. Pemerintah :
1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS
persampahan..
2. Penetapan lembaga tingkat nasional penyelenggara pengelolaan
persampahan (bila diperlukan).
3. Penetapan NSPK pengelolaan persampahan secara nasional
termasuk SPM.
4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas
provinsi.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS
persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi mengacu
pada kebijakan nasional.
2. Penetapan lembaga tingkat provinsi penyelenggara pengelolaan
persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.
3. Penetapan peraturan daerah NSPK pengelolaan persampahan
mengacu kepada SPM yang ditetapkan oleh pemerintah.
4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas
kabupaten/kota.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS
persampahan di kabupaten/kota mengacu pada kebijakan
nasional dan provinsi.
2. Penetapan lembaga tingkat kabupaten/kota penyelenggara
pengelolaan persampahan di wilayah kabupaten/kota.
3. Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan
oleh pemerintah dan provinsi.
4. Pelayanan perizinan dan pengelolaan persampahan skala
kabupaten/kota.
a. Pemerintah
1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi.
2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama
pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pengembangan PS persampahan.
3. Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan PS
persampahan.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar
kabupaten/kota.
2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama
pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.
3. Memberikan bantuan teknis dan pembinaan lintas kabupaten/kota.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama dunia
usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan
PS persampahan kabupaten/kota.
2. Memberikan bantuan teknis kepada kecamatan, pemerintah desa,
serta kelompok masyarakat di kabupaten/kota.
a. Pemerintah
1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS
persampahan secara nasional (lintas provinsi).
2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan
lintas provinsi.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS
persampahan secara nasional di wilayah provinsi.
2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan
lintas kabupaten/kota.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Penyelengaraan dan pembiayaan pembangunan PS
persampahan di kabupaten/kota.
2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan
kabupaten/kota.
a. Pemerintah
1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan
secara nasional.
2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan PS persampahan secara
nasional.
3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
b. Pemerintahan Provinsi
1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan di
wilayah provinsi.
2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan yang bersifat lintas
kabupaten/kota.
3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK (Norma,
Standar, Pedoman dan Kriteria)
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan pengembangan
persampahan di wilayah kabupaten/kota.
2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan di wilayah kabupaten/kota.
3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Penjelasan:
STANDAR PELAYANAN
UNTUK JENIS PELAYANAN DASAR BIDANG PEKERJAAN UMUM
SUB BIDANG : PERSAMPAHAN
LOKASI : PERKOTAAN & PERDESAAN (NASIONAL)
STANDAR PELAYANAN
No KETERANGAN
CAKUPAN TINGKAT PELAYANAN KUALITAS
1 2 3 4 5
1 60% jumlah penduduk 1) Penanganan melalui Systim pengelolaan 5) Systim On Site / Setempat Untuk Kriteria desai
yang terlayani (s/d Untuk kawasan pusat kota/Business Centre District /BCD Ditangani secara individual dan saniter / tidak mencemari mengacu kepada :
tahun 2010) dan pasar pasar ditangani secara penuh. Lingkungan. - SNI-T_12 1999-03
Untuk kawasan permukiman dengan kepadatan > 100 Reduce, Reuse, dan Recycle / 3R (Daur tentang Tata cara
2 66% jumlah penduduk jiwa / ha ditangani secara penuh Ulang pengelolaan
yang terlayani (s/d Untuk kawasan permukiman dengan kepadatan > 100 Recycle dengan teknologi tepat guna seperti Composting sampah
tahun 2015) jiwa / ha ditangani rata rata 80% nya 6) Penanganan melalui systim pengolahan permukiman
Untuk limbah industri ditangani secara penuh Ditangani oleh unit pengelola seperti antara lain Dinas Kebersihan - SNI-19-2454-1999
Untuk limbah bahan buangan berbahaya / B3 dan (DK), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah - SNI-T-13-1990
buangan limbah medis/medical waste ditangani secara (BUMD) atau swasta tentang Tata cara
penuh Ditangani secara terintegrasi antara pewadahan, pengumpulan, pengelolaan
2 ) Penanganan secara setempat pengangkutan s/d pengolahan akhir sampah perkotaan
Untuk sisa dari penanganan melalui system Tersedianya tempat pewadahan sesuai dengan kapasitasnya
3) Pembakaran setempat harus dihindari Pengumpulan dan pengangkutan dilakukan secara regular
4) Pengambilan sampah dari setiap RT > 2 kali seminggu Penangana akhir tidak berupa open dumping
5) Frekwensi pengangkutan dari TPS ke TPA > 2 kali Tidak dibenarkan pembuangan secara liar
seminggu Tingkat daur ulang minimal 10%
6) Pengambilan sampah dari TPS ke TPA > 2 kali Penanganan akhir sampah dengan teknologi Sanitari Landfill
seminggu Penanganan secara 3R ditetapkan pada setiap industri
7) Pengurangan sampah dari sumbernya > 50% dari total Penanganan dengan teknologi padat modal antara lain Waste to
samapah yang dihasilkan (tahun 2010) Energy / WTE untuk daerah mampu sudah dapat dilakukan
8) Kuantitas sampah yang diolah di TPA > 80% dari diawali dengan kegiatan uji coba
jumlah sampah yang diproduksi (tahun 2015) Madical waste dan B3 ditangani secara khusus secara :
9) Tersedianya fasilitator > 1 orang per kota Swakelola
STANDAR PELAYANAN
UNTUK JENIS PELAYANAN DASAR BIDANG PEKERJAAN UMUM
SUB BIDANG : PERSAMPAHAN
LOKASI : PERKOTAAN SEDANG & KECIL
STANDAR PELAYANAN
No KETERANGAN
CAKUPAN TINGKAT PELAYANAN KUALITAS
1 2 3 4 5
1 72% jumlah penduduk 1) Penanganan melalui Systim pengelolaan 7) Systim On Site / Setempat Untuk Kriteria desai
yang terlayani (s/d Untuk kawasan pusat kota/Bentre business District /BCD Ditangani secara individual dan saniter / tidak mencemari mengacu kepada :
tahun 2010) dan pasar pasar ditangani secara pebuh. Lingkungan. - SNI-T_12 1999-03
Untuk kawasan permukiman dengan kepadatan > 100 Reduce, Reuse, dan Recycle / 3R (Daur tentang Tata cara
80% jumlah penduduk jiwa / ha ditangani secara penuh Ulang pengelolaan
2 yang terlayani (s/d Untuk kawasan permukiman dengan kepadatan > 100 Recycle dengan teknologi tepat guna seperti Composting sampah
tahun 2015) jiwa / ha ditangani rata rata 80% nya 8) Penanganan melalui systim pengolahan permukiman
Untuk limbah industri ditangani secara penuh Ditangani oleh unit pengelola seperti antara lain Dinas Kebersihan - SNI-19-2454-1999
Untuk limbah bahan buangan berbahaya / B3 dan (DK), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah - SNI-T-13-1990
buangan limbah medis/medical waste ditangani secara (BUMD) atau swasta tentang Tata cara
penuh Ditangani secara terintegrasi antara pewadahan, pengumpulan, pengelolaan
2 ) Penanganan secara setempat pengangkutan s/d pengolahan akhir sampah perkotaan
Untuk sisa dari penanganan melalui system Tersedianya tempat pewadahan sesuai dengan kapasitasnya
3) Pembakaran setempat harus dihindari Pengumpulan dan pengangkutan dilakukan secara regular
4) Pengambilan sampah dari setiap RT > 2 kali seminggu Penangana akhir tidak berupa open dumping
5) Frekwensi pengangkutan dari TPS ke TPA > 2 kali Tidak dibenarkan pembuangan secara liar
seminggu Tingkat daur ulang minimal 10%
6) Pengambilan sampah dari TPS ke TPA > 2 kali Penanganan akhir sampah dengan teknologi Controlled Landfill
seminggu yang harus ditingkatkan ke Sanitari Landfill
7) Pengurangan sampah dari sumbernya > 50% dari total Penanganan secara 3R ditetapkan pada setiap industri
samapah yang dihasilkan (tahun 2010) Madical waste dan B3 ditangani secara khusus secara :
8) Kuantitas sampah yang diolah di TPA > 80% dari Swakelola
jumlah sampah yang diproduksi (tahun 2015) Swasta
Untuk dimusnahkan melalui teknologi tepat
STANDAR PELAYANAN
UNTUK JENIS PELAYANAN DASAR BIDANG PEKERJAAN UMUM
SUB BIDANG : PERSAMPAHAN
LOKASI : KOTA METRO DAN KOTA BESAR
STANDAR PELAYANAN
No KETERANGAN
CAKUPAN TINGKAT PELAYANAN KUALITAS
1 2 3 4 5
1 72% jumlah penduduk 1) Penanganan melalui Systim pengelolaan 9) Systim On Site / Setempat Untuk Kriteria desai
yang terlayani (s/d Untuk kawasan pusat kota/Bentre business District /BCD Ditangani secara individual dan saniter / tidak mencemari mengacu kepada :
tahun 2010) dan pasar pasar ditangani secara pebuh. Lingkungan. - SNI-T-12 1999-03
Untuk kawasan permukiman dengan kepadatan > 100 Reduce, Reuse, dan Recycle / 3R (Daur tentang Tata cara
2 80% jumlah penduduk jiwa / ha ditangani secara penuh Ulang pengelolaan
yang terlayani (s/d Untuk kawasan permukiman dengan kepadatan > 100 Recycle dengan teknologi tepat guna seperti Composting sampah
tahun 2015) jiwa / ha ditangani rata rata 80% nya 10) Penanganan melalui systim pengolahan permukiman
Untuk limbah industri ditangani secara penuh Ditangani oleh unit pengelola seperti antara lain Dinas Kebersihan - SNI-19-2454-1999
Untuk limbah bahan buangan berbahaya / B3 dan (DK), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah - SNI-T-13-1990 F
buangan limbah medis/medical waste ditangani secara (BUMD) atau swasta tentang Tata cara
penuh Ditangani secara terintegrasi antara pewadahan, pengumpulan, pengelolaan
2 ) Penanganan secara setempat pengangkutan s/d pengolahan akhir sampah perkotaan
Untuk sisa dari penanganan melalui system Tersedianya tempat pewadahan sesuai dengan kapasitasnya
3) Pembakaran setempat harus dihindari Pengumpulan dan pengangkutan dilakukan secara regular
4) Pengambilan sampah dari setiap RT > 2 kali seminggu Penangana akhir tidak berupa open dumping
5) Frekwensi pengangkutan dari TPS ke TPA > 2 kali Tidak dibenarkan pembuangan secara liar
seminggu Tingkat daur ulang minimal 10%
6) Pengambilan sampah dari TPS ke TPA > 2 kali Penanganan akhir sampah dengan teknologi Sanitari Landfill
seminggu Penanganan secara 3R ditetapkan pada setiap industri
7) Pengurangan sampah dari sumbernya > 50% dari total Penanganan dengan teknologi padat modal antara lain Waste to
samapah yang dihasilkan (tahun 2010) Energy / WTE untuk daerah mampu sudah dapat dilakukan
8) Kuantitas sampah yang diolah di TPA > 80% dari diawali dengan kegiatan uji coba
jumlah sampah yang diproduksi (tahun 2015) Madical waste dan B3 ditangani secara khusus secara :
9) Tersedianya fasilitator > 1 orang per kota Swakelola
STANDAR PELAYANAN
UNTUK JENIS PELAYANAN DASAR BIDANG PEKERJAAN UMUM
SUB BIDANG : PERSAMPAHAN
LOKASI : PERDESAAN KOTA METRO, BESAR, SEDANG & KECIL
STANDAR PELAYANAN
No KETERANGAN
CAKUPAN TINGKAT PELAYANAN KUALITAS
1 2 3 4 5
1 45% jumlah penduduk 1) Penanganan SECARA On Site 11) Systim On Site / Setempat Untuk Kriteria desai
yang terlayani (s/d Ditangani secara individual dan saniter / tidak mencemari mengacu kepada :
tahun 2010) Pembakaran setempat harus dihindari Lingkungan. - SNI-M-36 1991-03
Reduce, Reuse, dan Recycle / 3R (DaurUlang) - SNI-19-2454-1991
2 50% jumlah penduduk Recycle dengan teknologi tepat guna seperti Composting - SNI-T-03-3241-
yang terlayani (s/d Tersedianya tempat pewadahan sesuai dengan kapasitasnya 1994
tahun 2015) Penanganan akhir dengan penimbunan - Kep.DJCK No.
Penangana akhir tidak berupa open dumping 07/KPTS/1999
Tidak dibenarkan pembuangan secara liar - SNI-033242-1994
Tingkat daur ulang minimal 10% Tentang Tata Cara
Pengelolaan
Sampah di
Permukiman
Intisari atau hakikat PP 38/2007 ini adalah membagi tanggung jawab antara
Pemerintah, Pemprov dan Pemkab/Pemkot. Pemprov maupun
Pemkab/Pemkot harus mampu mengelola daerahnya masing-masing sesuai
dengan kemampuan SDM dan karakteristik dan daya dukung wilayahnya.
Peraturan ini merupakan konsekuensi logis dari diberlakukannya UU 32
Tahun 2004 tentang otonomi daerah.
Bagian kedua
Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air
Pasal 5
Kebijakan pengelolaan sumber daya air mencakup aspek konservasi sumber
daya air, pendaya gunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air, dan
system informasi sumber daya air yang disusun dengan memperhatikan
kondisi wilayah masing-masing.
Pasal 6
(1) Kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat nasional, yang
selanjutnya disebut kebijakan nasional sumber daya air, disusun dan
dirumuskan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional dan ditetapkan oleh
Presiden.
(2) Kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat provinsi disusun dan
dirumuskan oleh wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air provinsi dan
ditetapkan oleh gubernur.
(3) Kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat kabupaten/kota disusun
dan dirumuskan oleh wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air
kabupaten/kota dan ditetapkan oleh bupati/walikota.
Bagian Ketiga
Kriteri dan Tata Cara Penetapan Wilayah Sungai
Pasal 9
Wilayah sungai sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf b
ditetapkan sebagai:
a. Wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
b. Wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
c. Wilayah sungai lintas provinsi;
d. Wilayah sungai lintas negara;
e. Wilayah sungai strategis nasional.
(3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam
penyelenggaraan:
a. Konservasi sumber daya air
b. Pendayagunaan sumber daya air; dan/atau
c. Pengendalian daya rusak air.
(4) Pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
berpedoman pada rencana dan/atau program pengelolaan sumber daya air
yang telah ditetapkan pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Secara rinci kewenanan penanganan drainase dapat dilihat pada Gambar 6.1.
Namun yang sangat direkomendasikan untk ditangani oleh Ditjen Cipta Karya adalah
waduk dan embung yang terletak di perkotaan, yakni Kabupaten Bandung Barat
(Waduk Sukawana untuk pelayananan Kota Cimahi) dan Kota Bandung (Embung
Cikapundung/Rancabentang).
Bab 7
7.1. Permasalahan
Air limbah dan sampah sangat erat kaitannya dengan sistem drainase dan
penanggulangan banjir. Drainase, air limbah dan persampahan merupakan rangkaian
hal yang tidak dapat dipisahkan baik dalam permasalahan maupun
penanggulangannya. Perbaikan fisik sistem drainase tidak akan lama bertahan jika
tidak secara komprehensiv ditangani pula permasalahan air limbah dan pengelolaan
sampahnya.
Pada umumnya air limbah domestik di kota-kota di Indonesia, belum ditangani secara
off site sistem. Hanya beberapa kota saja yang telah mempunyai sistem sewerage,
dan itupun belum bisa melayani seluruh penduduk kota. Limbah dari closet
(blackwater) umumnya dibuang ke septic tank, dan limbah air bekas (greywater)
dibuang ke saluran drainase.
tumbuh suburnya jenis tumbuhan tertentu di saluran dan badan air. Disamping itu
limbah domestik yang dibuang ke saluran drainase, pada musim kemarau,
mengendap, karena mengandung padatan tersuspensi yang relativ cukup tinggi
(sekitar 150 200 mg/l), dan tidak tergelontor. Sebagai gambaran tingginya
pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah domestik adalah sbb: kandungan BOD5
dalam greywater sekitar 190 mg/l, dimana rata-rata setiap orang membuang limbah
greywaternya sekitar 90 l/hari. Dengan demikian setiap orang memberi kontribusi
pencemaran sebesar 17,10 gr BOD5/org/hari. Bisa dibayangkan berapa ton perhari zat
pencemar yang diterima oleh badan air di wilayah metro bandung.
Disamping itu, dalam standar pelayanan untuk drainase ada salah satu persyaratan
kulitas drainase yang disyaratkan, yaitu : Terbebasnya saluran drainase dari
sampah sehingga mampu berfungsi sebagai pematus air hujan. Ini sangat
relevan dengan kondisi sistem drainase dan karakter di lingkungan perkotaan di
wilayah metro bandung.
2. terhalangnya street inlet dimana air di jalan tidak bisa masuk ke saluran drainase
(menjadikan jalan jadi saluran air).
Jadi dalam hal ini permasalahan dan kendala di sektor drainase tidak terlepas dari
permasalahan dan kendala dalam pengelolaan bidang persampahan. Sebagai
gambaran timbulan sampah di Kota Bandung saat ini yang sekitar 682 ton/hari, tidak
seluruhnya terangkat dan terangkut ke TPA. Yang terangkut ke TPA hanya sekitar (70
80)% nya. Bisa diduga sisa yang tidak terangkut tersebut sebagian besar akan
dibuang ke sungai dan mengisi saluran drainase. Hasil identifikasi permasalahan
drainase di Kota Bandung memperkuat dugaan ini. Sebagian besar disebabkan karena
bertumpuknya sampah dan endapan di saluran drainase.
Terjadinya alih fungsi lahan, dimana yang sebelumnya merupakan lahan sawah yang
diubah menjadi pemukiman, memberikan konsekuensi dipaksanya saluran irigasi
menjadi saluran drainase, yang secara sistem tentunya sangat bertolak belakang. Hal
ini menjadikan timbulnya genangan dan banjir lokal menjadi sulit dihindari.
Kendala lain yang timbul adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi
membersihkan saluran drianase lingkungannya masing-masing, dan masih banyaknya
masyarakat yang membuang sampah ke saluran drainase dan badan air.
Di wilayah Metro Bandung ini sebenarnya sudah ada rencana membangun waduk (5
bh) dan embung (13 bh) yang selain berfungsi mengendalikan banjir juga untuk
meningkatkan keandalan sumber daya air sebagai air baku untuk air minum.
Hanya sayangnya rencana yang sangat bagus ini, belum ada satupun yang
direalisasikan, karena berbagai macam kendala, terutama kesulitan anggaran. Berikut
ini kami sampaikan lokasi rencana pembangunan waduk dan embung di Wilayah Metro
Bandung yang merupakan strategi bagian dari upaya penanggulangan banir dan
penyediaan air baku.
Jika rencana ini bisa direalisasikan akan sangat terasa manfaatnya, karena bahaya
akibat banjir akan sangat jauh berkurang. Pembuatan embung dan waduk ini akan
memangkas puncak banjir sehingga bahayanya dapat diminimalisasi.
Dalam analisa kami, penampang muara sungai yang bermuara ke Sungai Citarum,
(Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy dan Ciwidey) masih mampu menampung
debit puncak banjir untuk kala ulang banjir 25 tahunan. Hal ini berarti masalah utama
terjadinya banjir dan genangan bukan disebabkan karena sungai nya tidak mampu,
tetapi lebih disebabkan karena permasalahan di sistem drainasenya, seperti yang telah
disampaikan sebelumnya.
S. Cimahi
WADUK CIRATA
S.Cibeureum
G. Tangkuban Parahu
Waduk Cirata CIKALONG W ETA N
% $
CIPEUNDE UY
%
%
ZONA LEMBANG
S. Cibeur eum
CISARUA
%
%
LEMBANG
CIPATAT PARONGP ONG
% ndun g
% S . Cikapu
% Waduk
NGAMPRAH Waduk
%
PADAL ARA NG Sukawana S.Cikapundung SUKAS ARI
%
ZONA PADALARANG % CIMENY AN
KOTA CIMAHI % CILENGKRANG
BATUJAJA R % % TANJUNGSARI
ZONA JATINANGOR
Waduk Saguling KOTA BANDUNG
CILEUNYI
JATINANGOR
%
% ZONA BANDUNG %
S.Citarik
KABUPATEN SUMEDANG Hulu
WADUK SAGULING MARGAASIH % CIMANGGUNG
% %
RONGGA CIPONGKOR
CILILIN MARGAHAYU
Gua Walet (Mata airG. Cigalumpit
Krenceng
% DAYEUHKOL OT
% BOJ ONGSOANG
%
RANCAEKE K $
dan Sirah Cijagra)
S . Citar ik
% CICALENGKA
m
%
Citaru SOLOKAN JERUK S. Ci
SOREANG KATAPANG % S.
% t ar ik
%
% BALEENDA H
PAMEUNGPEUK CIKANCUNG NAGRE G
CIPARA Y
% % ZONA RANCAEKEK
% %
GUNUNGHALU ZONA SOREANG
%
% % MAJALA YA % PASEH
SINDANGKERTA ARJAS ARI
BANJA RAN G. Mandalawangi
$
%
%
ZONA GN.HALU - CIWIDEY %
IBUN
% KABUPATEN BANDUNG
idey CIMAUNG
S . Ciw
PASIRJAM BU %
CIWIDEY
% PACET
Hulu
S.Ciwidey
tarum
S. Ci san gkuy
S . Ci
RANCABALI
% Waduk.Ciwidey I & 2 %
PANGALENGAN
S.Cisangkuy/Cibatarua
Waduk Santosa
%
KERTASARI
$ G. Patuha
G. Malabar
$
Dinegara berkembang seperti Indonesia ini pola penataan pembangunan dan utilitas
lainnya belum tertata dengan baik, seperti contoh tumpang tindihnya jalur pipa PDAM,
jaringan telkom, pipa pertamina dan yang lainnya yang melintas diatas saluran yang
tidak memperhatikan fungsi saluran tersebut. Berdasarkan hasil survai dilapangan
banyak sekali utilitas yang menyebabkan terjadinya banjir seperti contoh gambar
dibawah ini:
Peletakan pipa
yang salah
Bab 8
8.1. Umum
Tentunya upaya-upaya ini harus didukung dengan hasil kajian yang komprehesiv, baik
tinjauan terhadap kajian yang telah dilaksanakan sebelumnya, maupun terhadap kajian
yang saat ini sedang dilaksanakan.
Sebelum studi ini terlaksana, banyak kajian, rencana ataupun strategi yang telah
dibuat untuk pencapaian infrastruktur secara menyeluruh di kawasan Metro Bandung.
Kajian dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kinerja sistem prasarana, termasuk
prasarana drainase di Metro Bandung, antara lain adalah Kebijakan Mempertahankan
Lingkungan Kawasan Tangkapan Air di Metropolitan Bandung (Bapeda Prov. Jabar,
2007). Dalam kebijakan ini antara lain ada rencana membangun Waduk (4 buah) dan
Embung (13 buah) di Cekungan Bandung yang bertujuan untuk menambah pasokan
air baku dan pengendalian banjir. Seperti kita ketahui, adanya embung di suatau DAS,
akan menurunkan puncak banjir yang akan terjadi, sehingga bahaya akibat banjir
tersebut akan berkurang, disamping tentunya menambah pasokan air baku untuk air
minum.
Yang terangkut ke TPA hanya sekitar (70 80)% nya. Bisa diduga sisa yang tidak
terangkut tersebut sebagian besar akan dibuang ke sungai dan saluran drainase.
Demikian juga halnya dengan air limbah domestik yang pada umumnya masih dibuang
ke saluran drainase yang akan menyebabkan terjadinya percepatan sedimentasi dan
pendangkalan saluran. Sedangkan dilain pihak anggaran atau biaya untuk
pemeliharaan saluran (baca: pengerukan) umumnya belum teralokasikan atau bisa
terlaksana secara rutin.
Sumur resapan dapat mengurangi volume limpasan air hujan menjadi lebih kecil,
karena sebagian limpasan tersebut dimasukkan kedalamnya, bahkan bisa lebih kecil
dari sebelumnya, tergantung dari konstruksi dan kedalaman sumur resapan dimaksud.
Disamping itu penerapan sumur resapan akan meningkatkan cadangan air tanah yang
saat ini masih dikonsumsi oleh sebagian masyarakat kota yang belum berlangganan
PDAM.
Dari data yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan (DGTL) terindikasi
penurunan muka air tanah yang sangat signifikan di Wilayah Metro Bandung, terutama
di Kota Bandung, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini. (Gambar 8 -1)
LINGKUNGAN
PENURUNAN MUKA AIR TANAH
CICAHEUM
CIBALIGO
UTAMA
1,63 2,12
3,11 5,12
3,11 5,12 CIPADUNG
CIMINDI CIKERUH
1,61 3,1
CIJERAH CIKERUH
ARJUNA
CIKANCUNG
1,27 4,32
MALEBER 0,52 3,85
PASIRKALIKI
1,27 4,32
MAJALAYA
1,27 4,32
0,32 3,9
BANJARAN
GARUDA
0,89 4,57 CIPARAY
1,27 4,32
0,89 4,57
BUAHBATU CIBUNTU PAMEUNGPEUK
Legenda :
1,27 4,32 1,27 4,32 0,89 4,57
DAERAH
KATAPANG
PENURUNAN MUKA DAYEUHKOLOT SOREANG
AIR TANAH 0,38 1,6
(m/thn) 1,61 3,1 0,38 1,6
Dalam kaitan pelaksanaan pembuatan sumur resapan ini, lebih diprioritaskan daripada
upaya konservasi lain, seperti waduk dan embung, karena antara lain sebagai berikut:
1. Pembuatan sumur resapan tidak perlu lahan yang luas, cukup di pekarangan
bahkan bisa di bawah taman atau carport. Dengan demikian tidak perlu proses
pembebasan lahan, yang biasanya memerlukan proses yang lama, seperti halnya
dalam membangun waduk atau embung,
2. Sumur resapan sangat efektiv dalam memasukkan air kedalam tanah, karena
kedalaman sumur resapan dibuat sampai lapisan akifer (lapisan pembawa air),
berbeda dengan biopori yang umumnya dibuat dengan kedalaman 1 m. Seperti
Untuk menentukan karakteristik tanah untuk sumur resapan diwilayah Metro Bandung
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah:
1. Kecepatan meloloskan air minimum 2 cm/menit (ditentukan dengan test perkolasi)
2. Kedalaman aquifer minimum 3 meter
Kedalaman aquifer air tanah dapat ditentukan berdasarkan kondisi geologi setempat,
kondisi ini dapat dilihat pada peta geohidrologi dibawah ini;
Berdasarkan hasil analisis kebutuhan sumur resapan untuk wilayah metro Bandung
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Desain sumur resapan sangat sederhana dan tipikal, tidak perlu desain yang rumit
seperti waduk atau embung dan tidak perlu ada studi lingkungan yang diperlukan untuk
membangun waduk dan embung,
Bisa dilaksanakan oleh masyarakat langsung, serentak dan tidak perlu proses tender.
Tabel 8.2. Rencana Pembangunan Waduk dan Embung Sebagai Sumber Air Baku
Kapasitas
No. Nama Waduk/Embung Juta Daerah Pelayanan
M3/tahun
M3/tahun
Waduk
1. Waduk Cipamokolan 30 82.192 Cilengkrang-Cimenyan-Cileunyi
2. Waduk Sukawana 12,44 34.082 Daerah Cimahi dan sekitarnya
3. Waduk Tegalluar 30 82.192 Daerah Kertasari dan sekitarnya
4. Waduk Santosa 31,1 85.205 Dayeuhkolot-Baleendah-Bojongsoang
Embung
1. E. Cikuda 1,6 4.384 Cilengkrang
2. E. Peuris Hilir 3,56 9.753 Cilengkrang
3. E. Sekejolang 1,25 3.425 Cimenyan
4. E. Cangkorah 4 10.959 Pasirjambu
5. E. Babakan 2,71 7.425 Ciwidey
6. E. Bojongjambu 3,95 10.822 Sindangkerta
7. E. Ciwidey 13 35.616 Ciwidey
8. E. Pangalengan 26 71.233 Pangalengan
9. E. Lembang 6,22 17.041 Lembang
10. E. Cikapundung 1,56 4.274 S. Cikapundung
11. E. Pasirsangiang 13,5 36.986 Cilengkrang
12. E. Citarum 15 41.096 Pacet dan Ibun
13. E. Cikalong 1,71 4.685 Cikalong Wetan
Secara rinci rencana pengembangan embung dapat dilihat pada Gambar 8.3.
S. Cimahi
WADUK CIRATA
S.Cibeureum
G. Tangkuban Parahu
Waduk Cirata CIKALONG W ETA N
% $
CIPEUNDE UY
%
%
ZONA LEMBANG
S. Cibeur eum
CISARUA
%
%
LEMBANG
CIPATAT PARONGP ONG
% ndun g
% S . Cikapu
% Waduk
NGAMPRAH Waduk
%
PADAL ARA NG Sukawana S.Cikapundung SUKAS ARI
%
ZONA PADALARANG % CIMENY AN
KOTA CIMAHI % CILENGKRANG
BATUJAJA R % % TANJUNGSARI
ZONA JATINANGOR
Waduk Saguling KOTA BANDUNG
CILEUNYI
JATINANGOR
%
% ZONA BANDUNG %
S.Citarik
KABUPATEN SUMEDANG Hulu
WADUK SA GULING MARGAASIH % CIMANGGUNG
% %
RONGGA CIPONGKOR
CILILIN MARGAHAYU
Gua Walet (Mata airG. Cigalumpit
Krenceng
% DAYEUHKOLOT
% BOJ ONGSOANG
%
RANCAEKE K $
dan Sirah Cijagra)
S . Citar ik
% CICALENGKA
m
%
Citaru SOLOKAN JERUK S. Ci
SOREANG KATAPANG % S.
% t ar ik
%
% BALEENDA H
PAMEUNGPEUK CIKANCUNG NAGREG
CIPARA Y
% % ZONA RANCAEKEK
% %
GUNUNGHALU ZONA SOREANG
%
% % MAJALA YA % PASEH
SINDANGKERTA ARJAS ARI
BANJA RAN G. Mandalawangi
$
%
%
ZONA GN.HALU - CIWIDEY %
IBUN
% KABUPATEN BANDUNG
idey CIMAUNG
S . Ciw
PASIRJAM BU %
CIWIDEY
% PACET
Hulu
S.Ciwidey
tarum
S. Ci san gkuy
S . Ci
RANCABAL I
% Waduk.Ciwidey I & 2 %
PANGAL ENGAN
S.Cisangkuy/Cibatarua
Waduk Santosa
%
KERTASARI
$ G. Patuha
G. Malabar
$
2000 m dpl
UPAYA DALAM KONTEKS HULU-HILIR DAERAH
ALIRAN SUNGAI
t0
Hulu
t1
Tengah
t2
Hilir t3
Reboisasi hutan (GRLK dan Normalisasi sungai dan Perbaikan / pemeliharaan
GNRHL) penguatan tanggul drainase perkotaan
Penanaman pohon di rumah- Optimalisasi kapasitas Penanggulangan sampah
rumah penduduk saluran drainase dan saluran sungai
Kontrol ketat terhadap irigasi Perluasan daerah resapan
pembangunan rumah Sumur Resapan air (sumur resapan)
Sumur resapan Pendidikan masyarakat Perluasan hutan kota dan
Pemberdayaan masyarakat untuk tidak membuang kawasan terbuka hijau
cinta lingkungan sampah ke sungai Penataan permukiman di
Pembangunan waduk, dam Pengamanan sempadan sempadan sungai
penahan, dam pengendali sungai Revitalisasi sistem polder
Penegakan hukum Perbaikan bendung strategis dan pompa
Dalam konteks Perencanaan Induk Drainase ini, disamping apa yang telah
disampaikan diatas, ada beberapa rekomendasi yang seyogyanya bisa segera
dilaksanakan untuk mengembalikan kinerja sistem drainase di Metro Bandung.
Agar pelaksanaan pengembangan sistem drainase ini dapat berjalan dengan baik,
perlu di dukung oleh peraturan yang harus dipatuhi oleh seluruh stakeholder di wilayah
yang bersangkutan. Dengan adanya peraturan yang dipatuhi dengan sanksi yang jelas
dan tegas bagi yang tidak melaksanakannya, diharapkan akan terwujud sistem
drainase yang andal dan langgeng.
bagi setiap bangunan yang mempunyai IMB, baik bangunan pribadi maupun
gedung pemerintah. Untuk gedung pemerintah yang belum mempunyai sumur
resapan, instansi tersebut harus segera menyiapkan biaya untuk pembuatan
sumur resapan tersebut, sesuai dengan kriteria teknisnya. Disamping itu
pemkot/pemkab terkait harus secara konsisten menganggarkan biaya pembuatan
sumur resapan secara bertahap setiap tahun, sampai target kebutuhan seperti
yang sampaikan pada Bab 4, mengenai jumlah sumur resapan yang harus
dibangun secara bertahap.
3. Bangunan pribadi (seperti pemukiman dan toko) instansi yang berwenang harus
dapat memaksa pemilik bangunan tersebut agar membuat sumur resapan.
Dalam hal ini perlu upaya sosialisasi yang baik di semua fasilitas media (langsung,
media massa, radio, tv).
4. Pengembang yang membangun pemukiman atau kawasan komersial, perlu
diperketat dalam proses perijinannya agar upaya konservasi dimaksud (sumur
resapan, biopori dsb) bisa terwujud.
5. Upaya mengurangi potensi pendangkalan saluran drainase yang diakibatkan oleh
limbah domestik maupun komersial (rumah makan dll) harus dibuat pengolahan
agar air limbahnya tidak mempercepat terjadinya pendangkalan di saluran
drainase. Untuk kegiatan seperti rumah makan/restoran pengolahan air limbahnya
minimal harus dibuat Unit Penangkap Lemak (Grease Trap) yang memadai, agar
limbah lemaknya tidak sampai terbawa ke saluran drainase.
6. Semua Kantor Pemerintah, Rumah Sakit dan Perguruan Tinggi harus
menyediakan/membangun Unit Pengolahan Limbah (IPAL), sehingga air yang
dibuang ke saluran drainase sudah bersih dan dapat berfungsi sebagai air
pembilas jaringan drainase, karena airnya sudah relativ bersih. Bagi
bangunan/gedung yang belum mempunyai IPAL tersebut, harus segera
menganggarkan pembiayaannya.
7. Masyarakat yang membuka usaha pencucian mobil, motor dan sejenisnya, harus
menyediakan unit penampung lumpur agar lumpur dari kendaraan yang dicuci
tersebut tidak terbawa ke saluran drainase yang akhirnya menyebabkan
pendangkalan dan dapat menymbat saluran drainase.
8. Mengurangi potensi membuang sampah ke sungai, upaya yang harus ditempuh
adalah melaksanakan konsep Water Front City, dimana rumah yang berada
dibantaran sungai harus dibuat menghadap sungai tersebut, sehingga keasrian
dan kebersihan sungai tersebut akan terwujud. Disamping itu perlu dibuat strategi
Untuk mengurangi debit banjir dan genangan diwilayah kota Bandung tidak cukup
dengan menambah dimensi saluran, karena penambahan dimensi saluran harus
adanya pembebasan lahan yang membutuhkan biaya cukup mahal. Pola penanganan
saluran drainase di kota Bandung harus dilakukan secara bertahap yaitu:
1. Pemerintah kota Bandung harus melaksanakan PERDA secara konsisten bahwa
setiap instasi pemerintah, swasta, pengembang perumahan dan masyarakat
umumnya harus membuat sumur resapan yang tujuannya untuk meresapkan
sebagian air limpasan sekaligus sebagai cadangan penyimpanan air di dalam tanah.
Kantor yang dibawah kewenangan Pemkot, harus dialokasikan anggaran biaya
untuk pembuatan resapan dimaksud. Hal ini juga sebagai sosialisasi tidak langsung,
masyarakat jadi mengetahui keseriusan pemkot dalam upaya mengatasi
permasalahan drainase ini.
2. Meningkatkan pelayanan bidang pengelolaan pesampahan, dengan menambah
armada pengangkut sampah, agar semua timbulan sampah bisa terangkut ke TPA.
Hal ini tentunya diikuti juga dengan program lainnya seperti pelaksanaan 3R dan
kompos di TPSS. Salah satu contoh kota yang sudah melaksanakan pembuatan
kompos di TPSS adalah Kota Malang.
3. Melakukan pembinaan terhadap masyarakat untuk tidak membuang sampah ke
saluran drainase karena kebiasaan hal tersebut akan mengakibatkan penyumbatan
saluran drainase yang pada akhirnya akan berakibat terjadinya genangan dan
banjir.
4. Pemeliharaan saluran drainase harus dialkukan secara rutin terprogram dan
berkesinambungan seperti halnya pengelolaan persampahan.
Peruntukan daerah untuk sumur resapan dapat dilihat didalam peta geologi,
disesuaikan dengan karakteristik tanah dengan hasil tes perkolasi dan ketinggian muka
air tanah (rekomendasi minimal aquifer pada kedalaman 3 meter).
Lokasi banjir yang memerlukan penanganan prioritas di wilayah kota Bandung dapat
dilihat pada Tabel 8.3. dibawah ini.
67. Bawah Jembatan - Dimensi saluran - harus ada pelebaran saluran drainase
Cimindi/Fly Over Cimindi mengecil - pengerukan dan pemeliharaan saluran
- Banyaknya sampah dan secara rutin
endapan di saluran - Pemindahan utilitas kabel yang
- Ada utilitas kabel menghalangi tersebut.
melintang saluran
Nama Lokasi
No Penyebab Permasalahan Rekomendasi
Subdas Citarik
6. Sungai Wirahma - Sampah dan endapan di - pengerukan dan pemeliharaan saluran
saluran secara rutin.
7. Sungai Bihbul - Sampah dan endapan di - pengerukan dan pemeliharaan saluran
saluran secara rutin.
8. Sungai Cibiuk - Sampah dan endapan di - pengerukan dan pemeliharaan saluran
saluran secara rutin.
9. Sungai Cihanyir - Sampah dan endapan di - pengerukan dan pemeliharaan saluran
saluran secara rutin.
10. Sungai Cibuni - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
11. Sungai Cigentur - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
12 Sungai Ciburial - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
13. Sungai Cipariuk - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
14. Sungai Cibangkonol - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
15. Sungai - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
Cipondoh/Ciguruwik sampah di saluran secara rutin.
16. Sungai Cijambe - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
17. Sungai Cinapel - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
18. Sungai Cikalang - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
19. Sungai Cikandang - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
20. Sungai Cibeusi - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
21. Sungai Leugok - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
Badak sampah di saluran secara rutin.
22. Sungai Cijalupang - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
23. Sungai Ciwaru - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
24. Sungai Cigiringsing - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
25. Sungai Pasir Honje - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
26. Sungai Cilaja - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
- harus adanya penyesuaian dimensi
saluran
27. Sungai Cigorowong - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
28 Sungai Cipanjalu - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
29. Sungai Cidurian - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
30. Sungai Cisanggarung - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
Nama Lokasi
No Penyebab Permasalahan Rekomendasi
Subdas Citarik
31. Sungai Cipurut - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
32. Sungai Panyandaan - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
33. Sungai Cibuntu - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
34. Sungai Cihalarang - Banyaknya tumpukan - pengerukan dan pemeliharaan saluran
sampah di saluran secara rutin.
Sumber: Data sekunder Dinas SDAPE Kab. Bandung, 2009
Nama Lokasi
No Penebab Permasalahan Rekomendasi
Subdas Cirasea
- terjadi penyempitan penangkap sampah secara otomatis
dimensi saluran karena model trsrake
tergeser permukiman
6. Saluran Cimariuk - banyaknya endapan - pemeliharaan saluran secara rutin.
sedimen dan sampah - harus dilaksanakan pengerukan
didasar sungai sedimen minimal 6 bulan sekali
- sebagian ruas sungai
mengalami penyempitan
dimensi
7. Saluran Saparkoneng - banyaknya endapan dan - pemeliharaan saluran secara rutin.
sampah didasar sungai - harus ditingkatkannya sistem
pengelolaan sampah yang berbasis
kemasyarakatan
8. Saluran Tarikolot - banyaknya sampah - pemeliharaan saluran secara rutin.
disaluran - harus dilaksanakan pengerukan
sedimen minimal 6 bulan sekali
9. Saluran Cisunggalah - tingginya sedimen didasar - pemeliharaan saluran secara rutin.
saluran - harus dilaksanakan pengerukan
- banyaknya tumpukan sedimen minimal 6 bulan sekali
sampah didasar saluran
10. Saluran Cibotor - tingginya endapan di dasar - pemeliharaan saluran secara rutin
saluran - harus adanya penertiban bangunan
- banyaknya tumpukan yang mengganggu saluran
sampah didasar saluran - harus ditingkatkannya sistem
- terjadi penyempitan pengelolaan sampah yang berbasis
dimensi saluran karena kemasyarakatan
tergeser permukiman
11. Saluran Cijuanti - tingginya endapan di dasar - pemeliharaan saluran secara rutin
saluran - harus adanya penertiban bangunan
- banyaknya tumpukan yang mengganggu saluran
sampah didasar saluran - harus ditingkatkannya sistem
pengelolaan sampah yang berbasis
kemasyarakatan
12. Saluran Cigede Kaler - tingginya endapan di dasar - pemeliharaan saluran secara rutin
saluran - harus adanya penertiban bangunan
- banyaknya tumpukan yang mengganggu saluran
sampah didasar saluran - harus ditingkatkannya sistem
pengelolaan sampah yang berbasis
kemasyarakatan
13. Cigede Wetan - tingginya endapan di dasar - pemeliharaan saluran secara rutin
saluran - harus adanya penertiban bangunan
- banyaknya tumpukan yang mengganggu saluran
sampah didasar saluran - harus ditingkatkannya sistem
pengelolaan sampah yang berbasis
kemasyarakatan
Sumber: Data Sekunder Dinas SDAPE Kab. Bandung, 2009
Penanganan drainase di wilayah kota Cimahi sesuai dengan pola tataruang dan
peruntukannya serta daya dukung lingkungan ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan yaitu:
1. Untuk wilayah utara kota Cimahi yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung
Barat, izin mendirikan bangunan (IMB) harus diperketat karena akan terjadinya
perubahan fungsi lahan menjadi permukiman, dampak dari alih fungsi lahan
tersebut akan menimbulkan banjir pada daerah kota Cimahi.
2. Untuk wilayah ini sistem drainase harus didesain khusus, karena mempunyai
kemiringan lahan yang terjal, sehingga kemiringan dasar saluran, slope, harus
dibuat lebih daripada kemiringan permukaan tanah. Dengan demikian
konsekuensinya harus dibuat terjunan (semacam dropmanhole) dibeberapa
tempat diruas drainase dimaksud untuk menselaraskan lagi dengan kemiringan
permukaan tanah, khusus yakni dibuatkan trap (pemecah arus) sistem ini
diterapkan untuk mencegah terjadinya longsoran tebing tanah.
Wilayah kota Cimahi sangat cocok untuk dilaksanakan pembangunan infrastrur sumur
resapan terutama di wilayah utara kota Cimahi yang berbatasan dengan Kabupaten
Bandung Barat.
Jumlah sumur resapan yang direkomendasikan untuk wilayah kota Cimahi 5.308 unit,
sedangkan untuk ruas saluran drainase yang memerlukan pemeliharaan untuk di
prioritaskan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
25. Bumi Asri RW.02 - Banyaknya tumpukan - pemeliharaan saluran secara rutin.
sampah di saluran
29. Jalan Ciawitali RW.10 - Banyaknya tumpukan - pemeliharaan saluran secara rutin.
sampah di saluran
32. Jalan Cimindi Rel KA. - Banyaknya tumpukan - pemeliharaan saluran secara rutin.
sampah di saluran - harus adanya pelebaran dimensi
- Adanya utilitas umum saluran drainase
kabel listrik - harus adnya pelebaran dan
- Adanya penyempitan pembonglaran dimensi saluaran
dimensi saluaran
2. Perumahan Graha - dimensi saluran terlalu kecil - pemeliharaan saluran secara rutin
Padalarang Indah - bayaknya tumpukan sampah - DED pelebaran dimensi saluran
di saluran drainase drainase sementara disusun
- aliran air terlalu deras - harus dibuatkan polder-polder dan
sumur resapan
3. Graha Cipta Mandiri - dimensi saluran terlalu kecil - pemeliharaan saluran secara rutin
Padalarang - bayaknya tumpukan sampah - DED pelebaran dimensi saluran
di saluran drainase drainase sementara disusun
- aliran air terlalu deras - harus dibuatkan polder-polder dan
sumur resapan
Wilayah kabupaten Sumedang sesuai dengan RTRWN yang tergabung dalam wilayah
Metro Bandung terdiri dari 6 Kecamatan yaitu:
1. Kecamatan Jatinanggor
2. Kecamatan Tanjungsari
3. Kecamatan Sukasari
4. Kecamatan Cimanggung
5. Kecamatan Pamulihan
6. Asrama STPDN - saluran drainase tidak jelas - pemeliharaan saluran secara rutin
aotlet-nya - harus dilakukan pembuatan sumur
- tingginya sedimen disaluran resapan untuk mengurangi debit air
drainase limpasan
- harus dilakukan pembenahan saluran
drainase sampai pembuang akhir
(badan air penerima)
7. Depan pasar - saluran drainase kondisinya - pemeliharaan saluran
Tanjungsari rusak berat - harus adanya rehabilitasi saluran
- banyaknya sedimen dan drainase
sampah di saluran drainase
8. Desa Sayang depan - kondisi saluran rusak - pemeliharaan saluran
perumahan - banyaknya tumpukan - harus adanya rehabilitasi saluran
BRIMOB sampah di saluaran drainase drainase
- banyaknya sedimen di - harus adnya pengerukan drainase
saluaran darainase secara rutin
Sumber: Dinas Cipta Karya Kab. Sumedang & Identifikasi Konsultan, 2009
3. Fly Over Jembatan - kondisi jalan yang - harus adanya dan pemeliharaan
Tol Cibaduyut, bergelombang sehingga air saluran drainase secara rutin
Perbatasan antara tidak biasa mengalir - harus adanya koordinasi lintas wilayah
Kota Bandung dan - saluran pembuangan di - panjang dimensi saluran yang perlu
Kabupaten bawah jembatan tol terlalu ditangani .500 meter
Bandung kecil - harus dibuatkan sodetan atau
- banyaknya sampah yang peninggian jalan 25 cm melintasi jalan
menyumbat di saluran untuk mengalirkan air dari bawah
drainase jembatan
- belum dilakukan penanganan baik
pemprov maupun kab/kota
4. Jalan Budi/Sodetan - dimensi saluran terlalu kecil - harus adanya dan pemeliharaan
Strobery, - banyaknya endapan di saluran drainase secara rutin
perbatasan antara saluran drainase - harus adanya koordinasi lintas wilayah
Kabupaten - panjang dimensi saluran yang perlu
5. Jalan Rengas- - dimensi saluran terlalu kecil - harus adanya dan pemeliharaan
Ranca Malang- - banyaknya endapan di saluran drainase secara rutin
Cigondewah, saluran drainase - harus adanya koordinasi lintas wilayah
Perbatasan antara - banyaknya tumpukan - panjang dimensi saluran yang perlu
Kota Bandung dan sampah disaluran drainase ditangani .2.500 meter
Kabupaten - DED pelebaran dan peninggian
Bandung drainase sementara disusun pada tahun
2009
- sedang dalam proses penanganan
pemprov
6. Kali Cimande, Dsn - adanya penyempitan saluran - harus adanya dan pemeliharaan
Bunter RT.01/02 akibat sedimen saluran drainase secara rutin
Desa Cihanjuang - adanya pipa pertamina - harus adanya koordinasi lintas wilayah
Kecamatan dibawah jembatan yang - panjang dimensi saluran yang perlu
Cimanggung menghambat aliran air ditangani .3.500 meter
Kabupaten - dimensi saluran sudah tidak - DED pelebaran dan peninggian
Sumedang, bisa menampung saat debit drainase sementara disusun pada tahun
Perbatasan antara puncak 2009
Kabupaten - banyaknya tumpukan - sedang dalam proses penanganan
Bandung dan sampah yang menempel pemprov
Kabupaten pada pipa pertamina
Sumedang.
Bab 9
Pada bab ini akan diuraikan indikasi program penanganan drainase untuk wilayah
Metropolitan Bandung yang mencakup uraian kegiatan, lokasi penanganan, tahapan
penanganan, dan kelembagaan yang menangani.
Secara rinci indikasi program penanganan untuk setiap wilayah dapat dilihat pada
Tabel 9.1. sampai Tabel 9.5.