Case Kak Deswan Dan Indah

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

ENSEFALOPATI SEPSIS E.C. KARIES DI SEMUA


REGIO GIGI

Disusun Oleh:

Deswan Capri Nugraha, S.Ked 04084821517068


Dwi Indah Lestari, S.Ked 04011181320023

Pembimbing
drg. Billy Sujatmiko, Sp.KG

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus dengan judul ENSEFALOPATI SEPSIS E.C. KARIES DI
SEMUA REGIO GIGI sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada drg. Billy Sujatmiko,
Sp.KG selaku pembimbing yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat kami harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat, amin.

Palembang, April 2017

Penulis

BAB I
STATUS PASIEN

1.1 Identifikasi Pasien


Nama : Tn. KK
Umur : 5 tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Belum Kawin
Agama : Islam
Alamat : Ilir Timur II, Kota Palembang
Kebangsaan : Indonesia
Pekerjaan : Belum Bekerja
Pendidikan :-
Ruangan : IKA
MRS : 30 Januari 2017

1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama: Pasien dikonsulkan dari bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH
dengan rampan karies di semua regio gigi dan oral hygiene pasien.
b. Keluhan Tambahan: Kesulitan menyikat gigi anak karena timbul perdarahan dan
keadaan anak yang kejang terus menerus.
c. Riwayat Perjalanan Penyakit: Pasien dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSMH dengan diagnosis ensefalopati sepsis + mikrosefali + tetraparase (perbaikan)
+ marasmus FV + FTT + GDD + Hipertensi stage I (terkontrol) + pneumonia
orthostatic + neurogenic bladder (perbaikan) + chronic lung disease + ISK +
ventrikulomegali + multipel nefrolithiasis kiri. Alloanamnesis yang didapatkan
berupa gusi pasien mudah berdarah terutama saat menyikat gigi sejak 1 bulan
yang lalu. Anak rewel ketika disikat giginya, lidah kering (+), mulut kering (+), dan
gusi bernanah (-). Pasien kontrol ke dokter gigi tiap 3 bulan selama 2 tahun yang
lalu.

d. Riwayat Penyakit atau Kelainan Sistemik

Penyakit atau Kelainan Sistemik Ada Disangkal


Alergi : debu, dingin
Penyakit Jantung
Penyakit Tekanan Darah Tinggi
Penyakit Diabetes Melitus
Penyakit Kelainan Darah
Penyakit Hepatitis A/B/C/D/E/F/G/H
Kelainan Hati Lainnya
HIV/ AIDS
Penyakit Pernafasan/paru
Kelainan Pencernaan
Penyakit Ginjal
Penyakit Rinosinusitis
Epilepsi

e. Riwayat Penyakit Gigi dan Mulut Sebelumnya


Riwayat cabut gigi (-)
Riwayat tambal gigi (-)
Riwayat membersihkan karang gigi (-)
Riwayat trauma (-)
Riwayat kejang epileptic, rajin mengonsumsi obat anti-kejang (fenitoin) selama
2 tahun.

f. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan sering minum susu namun tidak suka minum air
putih.
Pasien digosokkan giginya sebanyak dua kali sehari oleh ibu pasien atau
keluarga pasien dengan menggunakan Silicone finger Toothbrush dan pasta
gigi untuk anak-anak.

1.3 Pemeriksaan Fisik (Jumat, 31 Maret 2017, pukul 08.00 WIB)


a. Status Umum Pasien
1. Keadaan Umum Pasien : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : Apatis
3. Berat Badan : 10 kg
4. Tinggi Badan : 100 cm
5. IMT : 10
6. Vital Sign
- Tekanan Darah : 90/60 mmHg
- Nadi : 101x/menit
- Respiration rate : 30x/menit
- Temperatur : 37.30C

b. Pemeriksaan Ekstra Oral


Wajah : Tidak Simetris
Bibir : Kering
Kelenjar getah bening : Tidak teraba

c. Pemeriksaan Intra Oral


Debris : semua regio gigi
Plak : semua regio gigi
Kalkulus : semua regio gigi
Perdarahan papila interdental : Tidak ada
Gingiva : Hiperplasi gingiva
Mukosa : kering
Palatum : T.A.K
Lidah : T.A.K
Dasar mulut : T.A.K
Hubungan rahang : Orthognathi
Kelainan gigi : Tidak ada

d. Odontogram

e. Status Lokalis

Gigi Lesi Sondase CE Perkusi Palpasi Diagnosis/ ICD


51 D5 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
52 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
53 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
54 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
55 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
61 D5 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
62 D5 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
63 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
64 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
65 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
71 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
72 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
73 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
74 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
75 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
81 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
82 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
83 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
84 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin
85 D4 + Sulit dinilai Sulit dinilai - Karies Dentin

f. Temuan
a. Karies Dentin di semua regio
b. Plak dan Kalkulus di semua regio
c. Hiperplasia gingiva
d. Staining di semua regio

g. Perencanaan Terapi
a. Plak dan kalkulus gigi : edukasi menyikat gigi dengan baik dan benar
b. Karies rampan di semua gigi : pro konservasi dan pemberian ZnO untuk relief
of pain (bila memungkinkan dengan kondisi pasien).
c. Gingiva hyperplasia : edukasi menyikat gigi menggunakan Silicone finger
Toothbrush 2x sehari dengan pasta gigi low floride (sudah dilakukan).
h. Lampiran Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Rujukan normal Kesan


Hematologi
Hemoglobin 11,7 11,3-14,1 g/dL Normal
Eritrosit 4,58 4,40-4,48x106/mm3 Normal
Leukosit 16,3 4,5-13,5 x 103/mm3 Normal
Hematokrit 38 37-41% Normal
Trombosit 500 217.000-497.000/mm3 Normal
Hitung jenis 0 Basofil = 0-1% Monosit
Leukosit 7 Eosinofil = 1-6 % meningkat
60 Neutrofil = 50-70 % Infeksi
21 Limfosit = 20-40 % Kronis
12 Monosit = 2-8 %
LED 44 <15 mm/jam Meningkat
SGOT 21 0-38U/l Normal
SGPT 24 0-41 U/l Normal
Albumin 3,9 3,8-5,4 U/L Normal
Ureum 43 16,6-48,5 mg/dL Normal
Kreatinin 0,26 0,32-0,59 mg/dL Normal
i. Asam Urat 1,8 <8,4 mg/dL Normal
Elektrolit:
- Ca 10,2 9,2-11,0 mg/dL Normal
- Na
136 135-155 mEq/L Normal
- K
- Cl 4,7 3,5-5,5 mEq/L Normal
120 96-106 mmol Meningat

Lampiran Foto Pasien


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KARIES GIGI


2.1.1 Pengertian Karies Gigi
Karies gigi adalah suatu proses penghancuran setempat jaringan kalsifikasi yang
dimulai pada bagian permukaan gigi melalui proses dekalsifikasi lapisan email gigi yang
diikuti oleh lisis struktur organik secara enzimatis sehingga terbentuk kavitas (lubang) yang
bila didiamkan akan menembus email serta dentin dan dapat mengenai bangian pulpa
(Dorland, 2010).
Karies gigi merupakan proses kerusakan gigi yang dimulai dari enamel terus ke
dentin. Proses tersebut terjadi karena sejumlah faktor (multiple factors) di dalam rongga mulut
yang berinteraksi satu dengan yang lain. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor gigi,
mikroorganisme, substrat dan waktu (Chemiawan, 2004).

2.1.2 Patofisiologi Karies Gigi


Karies gigi bisa terjadi apabila terdapat empat faktor utama yaitu gigi, substrat,
mikroorganisme, dan waktu. Beberapa jenis karbohidrat makanan misalnya sukrosa dan
glukosa yang dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam sehingga pH plak
akan menurun sampai dibawah 5 dalam tempo 3-5 menit. Penurunan pH yang berulang-ulang
dalam waktu tertentu mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi (Kidd, 2012). Proses
terjadinya karies dimulai dengan adanya plak dipermukaan gigi. Plak terbentuk dari campuran
antara bahan-bahan air ludah seperti musin, sisa-sisa sel jaringan mulut, leukosit, limposit dan
sisa makanan serta bakteri. Plak ini mula-mula terbentuk, agar cair yang lama kelamaan
menjadi kelat, tempat bertumbuhnya bakteri (Suryawati, 2010). Selain karena adanya plak,
karies gigi juga disebabkan oleh sukrosa (gula) dari sisa makanan dan bakteri yang menempel
pada waktu tertentu yang berubah menjadi asam laktat yang akan menurunkan pH mulut
menjadi kritis (5,5) yang akan menyebabkan demineralisasi email yang berlanjut menjadi
karies gigi. Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke arah dentin melalui
lubang fokus tetapi belum sampai kavitasi (pembentukan lubang). Kavitasi baru timbul bila
dentin terlibat dalam proses tersebut. Namun kadang-kadang begitu banyak mineral hilang
dari inti lesi sehingga permukaan mudah rusak secara mekanis, yang menghasilkan kavitasi
yang makroskopis dapat dilihat. Pada karies dentin yang baru mulai, yang terlihat hanya
lapisan keempat (lapisan transparan, terdiri atas tulang dentin sklerotik, kemungkinan
membentuk rintangan terhadap mikroorganisme dan enzimnya) dan lapisan kelima (lapisan
opak/ tidak tembus penglihatan, di dalam tubuli terdapat lemak yang mungkin merupakan
gejala degenerasi cabang-cabang odontoblas). Baru setelah terjadi kavitasi, bakteri akan
menembus tulang gigi. Pada proses karies yang amat dalam, tidak terdapat lapisan-lapisan
tiga (lapisan demineralisasi, suatu daerah sempit, dimana dentin partibular diserang), lapisan
empat dan lapisan lima (Suryawati, 2010).
Patofisiologi karies gigi menurut Miller, Black dan William adalah awalnya asam (H +)
terbentuk karena adanya gula (sukrosa) dan bakteri dalam plak (kokus). Gula (sukrosa) akan
mengalami fermentasi oleh bakteri dalam plak hingga akan terbentuk asam (H +) dan dextran.
Desxtran akan melekatkan asam (H+) yang terbentuk pada permukaan email gigi. Apabila
hanya satu kali makan gula (sukrosa), maka asam (H +) yang terbentuk hanya sedikit. Tapi bila
konsumsi gula (sukrosa) dilakukan berkali-kali atau sering maka akan terbentuk asam hingga
pH mulut menjadi 5 (Chemiawan, 2004). Asam (H +) dengan pH 5 ini dapat masuk ke
dalam email melalui ekor enamel port (port dentre). Tapi permukaan email lebih banyak
mengandung kristal fluorapatit yang lebih tahan terhadap serangan asam sehingga asam hanya
dapat melewati permukaan email dan akan masuk ke bagian bawah permukaan email. Asam
yang masuk ke bagian bawah permukaan email akan melarutkan kristal hidroksiapatit yang
ada. Reaksi kimianya adalah sebagai berikut:

Apabila asam yang masuk kebawah permukaan email sudah banyak, maka reaksi akan
terjadi berulang kali. Maka jumlah Ca yang lepas bertambah banyak dan lama kelamaan Ca
akan keluar dari email. Proses ini disebut dekalsifikasi, karena proses ini terjadi pada bagian
bawah email maka biasa disebut dekalsifikasi bagian bawah permukaan. Ringkasan
terjadinya karies gigi menurut Schatz (Chemiawan, 2004):

2.1.3 Grade Karies Gigi

2.2 RAMPAN KARIES


Prevalensi karies gigi sulung lebih tinggi dibandingkan gigi tetap, hal ini disebabkan
proses kerusakannya kronis dan asimptomatis. Di samping banyak faktor yang mempengaruhi
terjadinya karies pada gigi sulung, struktur enamelnya kurang padat karena banyak
mengandung air dan pemeliharaannya kurang baik yaitu sikat gigi tidak teratur. Defenisi
rampan karies ialah suatu jenis karies yang proses terjadinya dan meluasnya sangat cepat dan
tiba-tiba, sehingga menyebabkan lubang pada gigi, terlibatnya pulpa dan cenderung mengenai
gigi yang imun terhadap karies yaitu gigi insisivus depan bawah. Tidak ada keterangan yang
menyatakan bahwa terjadinya rampan karies berbeda dengan karies biasa, hanya waktunya
lebih cepat. Dikatakan cepat karena dalam waktu satu tahun, gigi yang terlibat bisa mencapai
10 buah, dan dikatakan tiba-tiba karena pulpa langsung terlibat. Rampan karies dapat terjadi
pada mulut yang relatif bersih.

2.2.1 Gejaia Klinis dan Gambaran Radiologi


Karies rampan ini pada umumnya yang terkena adalah anak-anak usia 4 8 tahun atau
remaja usia 11 19 tahun. Bila anak-anak usia 2 4 tahun sudah terserang rampan karies
pada gigi sulung, hal ini dihubungkan dengan enamel hipoplasia dan kepekaan terhadap karies
yang tinggi. Gigi yang terkena rampan karies biasanya sudah mengalami kerusakan hebat,
beberapa gigi atau semuanya dapat menjadi gangren atau menjadi radiks. Konsistensi lesi
karies sangat lunak dengan warna kuning sampai coklat muda. Pada umumnya karies sudah
dalam. Terkenanya pulpa akan menyebabkan rasa sakit, terlebih bila disertai abses yang
mengakibatkan anak susah / tidak mau makan. Hal ini menyebabkan kurang optimalnya
fungsi pengunyahan sehingga mengakibatkan pertumbuhan rahang berkurang terutama arah
vertikal. Bila terjadi gangguan pada jaringan penyangga, melalui ronsen foto terlihat
gambaran radiolusen disekitar apeks gigi.
2.2.2 Faktor Etiologi Rampan Karies
Faktor etiologi rampan karies adalah konsumsi makanan. Seringnya mengkonsumsi
makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat terutama diantara waktu makan.
Waktu makan merupakan faktor yang dihubungkan dengan perkembangan rampan karies,
berkurangnya sekresi serta kekentalan saliva sebab saliva dapat menghambat karies karena
aksi buffer, kandungan bikarbonat, amoniak dan urea dalam saliva dapat menetralkan
penurunan pH yang terjadi saat gula dimetabolisme bakteri plak, kecepatan sekresi saliva
berakibat pada peningkatan pH dan kapasitas buffernya. Bila sekresi berkurang akan terlihat
peningkatan akumulasi plak sehingga jumlah mikroorganisme (streptococus mutans) akan
bertambah. Pada umumnya faktor psikologis dapat mengakibatkan timbulnya kebiasaan
buruk dalam makan atau memilih makanan. Stres juga dihubungkan sebagai penyebab
berkurangnya sekresi dan kekentalan saliva, adanya faktor sistemik, misalnya penderita
diabetes melitus. dan juga faktor keturunan. Orang tua yang peka terhadap karies akan
mempunyai anak yang juga peka terhadap karies. Hal ini disebabkan karena dalam keluarga
mempunyai pola kebiasan makan yang sama dan pemeliharaan kesehatan gigi yang sama
pula.
Terdapat berbagai faktor penyebab karies rampan, tetapi faktor utama ialah sering
mengonsumsi makanan dan minuman kariogenik dengan kandungan sukrosa sangat tinggi.
Sukrosa dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam sehingga pH plak akan
menurun sampai di bawah 5 dalam tempo 1-3 menit. Penurunan pH yang berulang-ulang
dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan dan
proses karies rampan dimulai. 9 Karies merupakan suatu penyakit multifaktorial karena
mencakup empat faktor yang memengaruhi, yaitu: faktor gigi, mikroorganisme (bakteri),
substrat, dan waktu.8,10,11 Umumnya karies rampan terjadi karena dipengaruhi oleh keempat
faktor penyebab karies yang utama, namun terdapat juga beberapa faktor penunjang karies
rampan, yaitu: kebersihan mulut, faktor psikologis, faktor sistemik, dan faktor herediter.
Karies rampan sering menimbulkan masalah dan yang tersering dialami oleh anak yaitu
adanya rasa nyeri. Kesulitan makan dapat menyebabkan asupan nutrisi yang kurang. Adanya
kavitas akibatnya terjadinya karies merupakan tempat tumbuh suburnya bakteri. Berbagai
macam bakteri akan berkumpul sehingga merupakan fokus infeksi untuk bagian tubuh lainya.
Selain itu, akibat karies rampan mulut berbau tidak enak karena adanya plak dan debris
makanan yang ditumbuhi bakteri.

2.2.3 Perawatan
Ada beberapa langkah penting dalam memutuskan perawatan yang tepat untuk kasus
rampat karies sebagai berikut:
1) Relief of pain (menghilangkan rasa sakit).
Tindakan yang dapat dilakukan pada kunjungan pertama adalah menghilangkan
rasa sakit dan melenyapkan peradangan. Untuk menghilangkan rasa sakit pada
peradangan gigi yang masih vital (pulpitis) dapat dilakukan pemberian zinc oksid
eugenol (ZnO). Untuk gigi yang non vital (gangren pulpa) lakukan trepanasi
kemudian diberikan obat-obatan melalui oral (antibiotik, analgetik). Bila dijumpai
abses, berikan premedikasi terlebih dahulu, kemudian lakukan insisi.
2) Menghentikan proses karies.
Tiap kavitas meskipun kecil mempunyai jaringan nekrotik. Setelah rasa sakit
hilang kavitas dipreparasi untuk membuang semua jaringan yang nekrotik
sehingga proses karies terhenti. Pada beberapa kasus yang tidak dapat ditambal
langsung, lakukan tambalan sementara lebih dahulu, misal pada hiperemi pulpa,
berikan pulp capping (Ca hidroksid).
3) Diet.
Anjuran untuk melakukan diet kontrol dan jelaskan mengenai DHE dan oral
hygiene. Lakukan oral profilaksis pada gigi.
4) Perawatan dan restorasi.
Perawatan dan pembuatan restorasi tergantung pada diagnosa masing-masing gigi
misalnya pulpotomi, pulpektomi, pencabutan, pembuatan amalgam atau crown.
5) Topikal aplikasi .
Lakukan topikal aplikasi dengan larutan fluor pada gigi sebagai preventif. Pada
evaluasi bila tidak dijumpai karies baru, topikal aplikasi tidak dilakukan lagi,
cukup dengan pemakaian pasta gigi yang mengandung fluor.
6) Evaluasi
Evaluasi secara periodik setiap 3 bulan sampai diperoleh keadaan oral hygene
yang baik dan diet yang sesuai dengan anjuran. Koreksi faktor sistemik (bila ada),
saliva (terutama bila berhubungan dengan stres) bila perawatan yang telah
dilakukan tidak berhasil.
.

2.3 Ensefalopati
2.3.1 Definisi Ensefalopati
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak
menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati adalah disfungsi
kortikal umum yang memiliki karakteristik perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga
beberapa hari), secara nyata terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal,
halusinasi dan delusi yang sering dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum
meingkat, akan tetapi dapat menurun). Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan
perubahan umum pada fungsi otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa
agitasi hiperalert hingga koma. Istilah ensefalopati biasanya diikuti oleh kata lain yang
menunjukkan penyebab dari kelainan otak tersebut.Beberapa jenis ensefalopati berdasarkan
penyebabnya: a) Ensefalopati hepatik, yaitu ensefalopati akibat kelainan fungsi hati. b)
Ensefalopati uremik, yaitu ensefalopati akibat gangguan fungsi ginjal. c) Ensefalopati
hipoksia, yaitu ensefalopati akibat kekurangan oksigen pada otak. d) Ensefalopati wernicke,
yaitu ensefalopati akibat kekurangan zat tiamin (vitamin B1), biasanya pada orang yang
keracunan alcohol. e) Ensefalopati hipertensi, yaitu ensefalopati akibat penyakit tekanan
darah tinggi yang kronis. f) Ensefalopati salmonela, yaitu ensefalopati yang diakibatkan
bakteri Salmonella penyebab sakit tipus.

2.3.2 Etiologi Ensefalopati


Penyebab ensefalopati keduanya banyak dan beragam. Beberapa contoh penyebab
ensefalopati meliputi : a) menular (bakteri, virus, parasit, atau prion). b) anoxic (kekurangan
oksigen ke otak, termasuk penyebab traumatis), c) beralkohol (toksisitas alkohol). d) hepatik
(misalnya, gagal hati atau kanker hati). e) uremik (ginjal atau gagal ginjal). f) Penyakit
metabolik (hiper atau hipokalsemia, hipo- atau hipernatremia, atau hipo- atau hiperglikemia).
g) tumor otak. h) banyak jenis bahan kimia beracun (merkuri, timbal, atau amonia). i)
perubahan tekanan dalam otak (sering dari perdarahan, tumor, atau abses). j) gizi buruk
(vitamin yang tidak memadai asupan B1 atau penarikan alkohol).

2.3.3 Gejala Ensefalopati


Meskipun penyebabnya banyak dan beragam, setidaknya satu gejala hadir dalam
semua kasus adalah kondisi mental yang berubah. Kondisi mental berubah mungkin kecil dan
berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun (misalnya, pada hepatitis mengalami
penurunan kemampuan menggambar desain sederhana, disebut apraxia) atau mendalam dan
berkembang pesat (misalnya, anoksia otak menyebabkan koma atau kematian dalam beberapa
menit). Seringkali, gejala perubahan status mental dapat hadir seperti tidak dapat memberikan
perhatian, penilaian buruk atau buruknya koordinasi gerakan. Gejala serius lainnya yang
mungkin terjadi antara lain : (2) a) Letargi. b) Demensia. c) Kejang. d) Tremor. e) Otot
berkedut dan mialgia, f) Respirasi Cheyne-Stokes (pola pernapasan diubah terlihat dengan
kerusakan otak dan koma). g) Koma. Seringkali keparahan dan jenis gejala berhubungan
dengan penyebab kerusakan. Misalnya, kerusakan hati akibat alkohol (sirosis alkoholik) dapat
mengakibatkan tremor tangan involunter (asteriksis), sedangkan anoksia berat (kekurangan
oksigen) dapat menyebabkan koma. Gejala lain mungkin tidak parah dan akan lebih
terlokalisasi seperti kelumpuhan saraf kranial (kerusakan salah satu dari 12 saraf kranial yang
keluar otak). Beberapa gejala mungkin sangat minimal dan hasil dari cedera berulang ke
jaringan otak. Sebagai contoh, ensefalopati kronis traumatik (CTE), karena cedera seperti
gegar otak berulang kali ditopang oleh pemain sepak bola dan lain-lain yang bermain olahraga
dapat menyebabkan perubahan lambat dari waktu ke waktu yang tidak mudah di diagnosis.
Kecederaan tersebut dapat mengakibatkan depresi kronis atau perubahan kepribadian lain
yang dapat mengakibatkan hal yang lebih serius.

2.3.4 Ensefalopati akibat infeksi


a. Definisi.

Infeksi sistem saraf pusat termasuk didalamnya meningitis, meningoensefalitis,


ensefalitis, empiema subdural atau epidural dan abses otak. Virus dan bakteri menyebabkan
meningitis, infeksi jamur dapat terjadi pada pasien yang menjalani transplantasi dan pada
pasien yang mengalami imunosupresi. Ensefalitis dan ensefalopati harus dapat dibedakan,
dimana pada ensefalopati terjadi kerusakan fungsi otak tanpa adanya proses inflamasi
langsung di dalam parenkim otak. Neonatus tidak selalu memberikan gejala ubun ubun besar
yang menonjol. Pasien dapat menunjukkan gejala ensefalopati global seperti koma atau status
epileptikus. Diagnosis dan pengobatan awal dengan antibiotik atau antiviral yang sesuai
menjadi penting.

Ensefalopati yang disebabkan oleh infeksi sistemik adalah keadaan yang paling sulit
dibedakan dengan ensefalitis. Perbedaan yang dapat diidentifikasi antara ensefalopati dan
ensefalitis pada umumnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Perbedaan antara ensefalopati dan ensefalitis


Ensefalopati Ensefalitis

Manifestasi klinis

Demam Tidak umum Umum


Nyeri kepala Tidak umum Umum
Depresi status mental Deteriorasi Mungkin fluktuasi
Tanda neurologis fokal Tidak umum Umum
Tipe kejang Umum Umum atau fokal

Temuan Laboratoris

Darah Leukositosis tidak umum Leukositosis umum


LCS Pleositosis tidak umum Pleositosis umum
MRI Terkadang normal Abnormalitas fokal

Disfungsi serebral difuse ataupun multifokal yang diinduksi oleh respons sistemik
terhadap infeksi tanpa bukti klinis maupun laboratoris adanya infeksi otak secara langsung
disebut dengan ensefalopati sepsis.
b. Patogenesis.

Patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas. Beberapa kemungkinan diajukan


sebagai penyebab adanya kerusakan otak selama sepsis berat yaitu efek endotoksin dan
mediator inflamasi, disfungsi sawar darah otak dan kerusakan cairan serebro spinal,
perubahan asam amino dan neurotransmiter, apoptosis, stres oksidatif dan eksitotoksisitas,
akan tetapi hipotesis yang paling dipercaya adalah multifaktorial.

Endotoksin. Toksin bakteri dan partikelnya, lipopolisakarida, merupakan salah satu


penyebab disfungsi otak selama sepsis. Lipopolisakarida pada keadaan sepsis akan meningkat
dan akan bereaksi langsung dengan otak dalam organ sirkumventrikular yang tidak dilindungi
oleh sawar darah otak. Lipopolisakarida dapat berikatan dengan reseptor seperti reseptor
menyerupai toll, menginduksi sintesis sitokin inflamasi, prostaglandin dan nitrit okside dari
mikroglia dan astrosit. Pada konsentrasi yang rendah, endotoksin dapat menginduksi sekresi
sitokin inflamasi, IL6 dari monosit/makrofag, yang akan bereaksi langsung dengan
menginduksi ekspresi mediator inflamasi.
Mediator inflamasi. Ketika infeksi terjadi, maka makrofag/monosit perifer akan
mensekresi sitokin inflamasi termasuk didalamnya, IL1, TNF , dan IL 6 yang memegang
peranan penting dalam memediasi respon serebral dalam infeksi. Ketiga mediator tersebut
dapat menginduksi cyclooxygenase 2 (COX2) dari sel glia dan mensintesis prostaglandin E2
yang bertanggung jawab dalam aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, demam dan
perubahan kebiasaan. Aktifasi dari kaskade komplemen, diantaranya anafilaktoksin C5a, juga
dikaitkan dengan disfungsi otak selama sepsis, kemungkinan dengan menginisiasi kerusakan
sawar darah otak.
Disfungsi sawar darah otak. Baik lipopolisakarida maupun sitokin dapat
menginduksi aktifasi endotelial yang disebut panendotelitis. Mereka akan menginduksi
ekspresi dari molekul adesi pada sel endotelial mikrovasel otak, mereka juga menginduksi
sekresi sitokin proinflamasi dan nitrit oxide syntase (NOS). Aktifasi endotelial menghasilkan
permeabilitas yang meningkat dan kerusakan sawar darah otak dengan konsekuensi
selanjutnya akan terbentuk edema otak vasogenik. Kaki astrosit disekitar pembuluh darah
korteks akan mengalami pembengkakan dan akan terjadi ruptur membran dan melepaskan
dinding pembuluh darah. Pembengkakan kaki astrosit merupakan konsekuensi langsung dari
kerusakan sawar darah otak. Edema otak yang terjadi pada ensefalopati sepsis lebih berkaitan
dengan hilangnya autoregulasi dibandingkan dengan kerusakan sawar darah otak meskipun
jika edema vasogenik awal dapat menjadi edema sitotoksik.
Aliran darah otak dan autoregulasi serebrospinal. Aliran darah otak menurun dan
iskemia otak mungkin disebabkan oleh kerusakan otak selama sepsis berat. Kerusakan aliran
darah otak juga merupakan akibat dari kerusakan mikrovaskular, yang terjadi pada organ lain,
bukan karena efek hipotensi sistemik.
Disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria berhubungan dengan apoptosis sel
neuron dan persediaan energi yang tidak adekuat. Penurunan ATP yang dihasilkan oleh
mitokondria disebabkan oleh sitokin, reactive oxygen species (ROS) dan NO. Mitokondria
juga dapat menginduksi terjadinya apoptosis dengan mengeluarkan cytokrom C.
c. Gejala Klinis.

Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi awal sepsis berat dan menyebabkan gagal
multiorgan. Keadaan klinis yang paling sering ditimbulkan adalah penurunan tingkat
kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan hingga tak berespon dan koma. Status
konfusional fluktuatif, inatensi dan kebiasaan yang tidak sesuai juga terkadang timbul pada
pasien ensefalopati ringan. Pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan delirium, agitasi
dan deteriorasi kesadaran dan koma. Gejala motorik jarang terjadi pada ensefalopati sespsis,
dan banyak terjadi pada ensefalopati metabolik, misalnya asteriksis, mioklonus dan tremor.
Pada ensefalopati sepsis yang mungkin timbul adalah berupa rigiditas paratonik, merupakan
resistensi yang tergantung pada kecepatan menjadi gerakan pasif. Kejang juga dapat timbul
pada ensefalopati septik, tetapi tidak umum, disfungsi saraf kranial dan lateralisasi jarang
terjadi dan harus dapat menyingkirkan penyebab lain yang mungkin.

d. Diagnosis.

Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung pada penyingkiran penyebab


lain yang mungkin dari deteriorisasi otak (metabolik atau struktural). EEG merupakan salah
satu pemeriksaan penunjang yang sensitif dan dapat menunjukkan abnormalitas walaupun
pemeriksaan neurologis normal. Pola EEG yang dapat ditemukan pada ensefalopati sepsis
adalah normal EEG, eksesif theta, predominan delta, gelombang triphasik, supresi.
Pemeriksaan EEG pada ensefalopati septik ini tidak spesifik, karena juga dapat ditemukan
pada pengaruh sedasi dan kerusakan metabolik. CT Scan kepala tidak ditemukan kelainan,
akan tetapi dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya kerusakan otak yang
disebabkan oleh hipoksik/iskemik. Perkembangannya adalah penggunaan biomarker untuk
mendeteksi adanya ensefalopati septik, yaitu S100B dan NSE. S100B adalah protein yang
terikat oleh kalsium yang dihasilkan oleh sistem saraf pusat, terutama oleh sel astroglial.
S100B akan meningkat pada serum dan cairan serebro spinal setelah terjadi cedera otak. NSE
adalah enzim glikolitik intrasitoplasmik enolase, yang dapat ditemukan pada sel saraf dan
jaringan neuroendokrin dan meningkat pada sirkulasi darah setelah meningkatnya kematian
sel saraf.
e. Penatalaksanaan.

Pengobatan ensefalopati septik secara khusus masih belum ada, penanganannya


dilakukan dengan penanganan sepsis pada umumnya.

Dibutuhkan terapi suportif seperti menjaga suhu lingkungan yang hangat, memberi
pengobatan simptomatik seperti muntah, anemia dan demam. Kemudian dilakukan pemberian
antibiotik untuk penanganan definitif selama kurang lebih 14 hari.

2.4 Patofisiologi Karies ke Ensefalopati Sepsis


Adanya kavitas akibat terjadinya karies merupakan tempat tumbuh suburnya bakteri.
Berbagai macam bakteri akan berkumpul sehingga merupakan focus infeksi untuk bagian
tubuh lainnya. Fokus infeksi ini dapat terjadi kapan saja, dimana saja serta bagian tubuh apa
saja yang terkena tergantung bakteri tersebut menginfeksinya. Adanya fokus infeksi ini tentu
merupakan awal akibat kemungkinan terjadinya kefatalan.
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan
oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang paling
sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan
Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik
langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari
host terhadap infeksi. Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus
syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat
yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya
ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin,
cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah
infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.
Adapun contoh jenis-jenis bakteri yang sering terdapat didalam mulut adalah
Staphylococcus epidermitis, Staphylococcus aureus, Streplococcus mitis dan streptococcus a-
hemolitik laiinnya, Streptococcus salivarius, Peptostreptokokus, Actinomyces israelii,
Haemophilus influenza, Bacterioides fragilis, Bacterioides oralis, Fusobacterium
nucleate, Bacterioides melaninogenicus, Laktobasilus, Veillonella alcalescen, dan flora
normal dalam mulut (Streptococus viridans, Streptococcus mutans, Staphylococcus sp,
Lactobacillus sp, dan Candida albicans).
Penyebaran infeksi dari fokus primer ke tempat lain dapat berlangsung melalui
beberapa cara, yaitu transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen), transmisi melalui aliran
limfatik (limfogen), perluasan infeksi dalam jaringan, dan penyebaran dari traktus
gastrointestinal dan pernapasan akibat tertelannya atau teraspirasinya materi infektif.
Transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen)
Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya merupakan
area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan kemungkinan masuknya
organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di lain pihak,
infeksi dan inflamasi juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang selanjutnya
menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah.
Vena-vena yang berasal dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir ke pleksus vena pterigoid
yang menghubungkan sinus kavernosus dengan pleksus vena faringeal dan vena maksilaris
interna melalui vena emisaria. Karena perubahan tekanan dan edema menyebabkan
penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak berkatup, maka aliran
darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah, memungkinkan penyebaran infeksi langsung
dari fokus di dalam mulut ke kepala atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon
perlawanan terhadap infeksi tersebut. Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena
jugularis internal dan eksternal dan kemudian ke jantung dapat membuat sedikit kerusakan.
Namun, saat berada di dalam darah, organisme yang mampu bertahan dapat menyerang organ
manapun yang kurang resisten akibat faktor-faktor predisposisi tertentu.
Kemudian, salah satu etiologi untuk ensefalopatinya sendiripun ada yang dikarenakan
bakteri, virus, parasit, dan prion. Namun, patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas.
Beberapa kemungkinan diajukan sebagai penyebab adanya kerusakan otak selama sepsis berat
yaitu efek endotoksin dan mediator inflamasi, disfungsi sawar darah otak dan kerusakan
cairan serebro spinal, perubahan asam amino dan neurotransmiter, apoptosis, stres oksidatif
dan eksitotoksisitas, akan tetapi hipotesis yang paling dipercaya adalah multifaktorial.
Pada kasus ini kemungkinan disebabkan oleh fokal infeksi yang terdapat pada gigi dan
mulut yang masuk melalui karies gigi dan menyebar ke jaringan lain melalui jalur hematogen
(pembuluh darah).
BAB III
ANALISIS MASALAH

Tn. KK, 5 tahun 10 bulan, laki-laki, dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang dengan diagnosis Ensefalopati Sepsis. Pasien
dikonsulkan dari bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH dengan rampan karies di semua regio
gigi dan oral hygiene pasien. Keluhan lain juga dirasakan kesulitan menyikat gigi karena
timbul perdarahan dan keadaan anak yang kejang terus menerus.
Pasien dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH dengan diagnosis ensefalopati
sepsis + mikrosefali + tetraparase (perbaikan) + marasmus FV + FTT + GDD + Hipertensi
stage I (terkontrol) + pneumonia orthostatic + neurogenic bladder (perbaikan) + chronic lung
disease + ISK + ventrikulomegali + multipel nefrolithiasis kiri. Alloanamnesis yang
didapatkan berupa gusi pasien mudah berdarah terutama saat menyikat gigi sejak 1 bulan
yang lalu. Pasien rewel ketika disikat giginya, lidah kering (+), mulut kering (+), dan gusi
bernanah (-). Pasien kontrol ke dokter gigi tiap 3 bulan selama 2 tahun yang lalu.
Riwayat tambal gigi, cabut gigi, membersihkan karang gigi (-) menandakan pasien
tidak pernah melakukan perawatan gigi. Dari riwayat kebiasaan, pasien memiliki kebiasaan
sering minum susu namun tidak suka minum air putih. Sehingga, menurut alloanamnesis
didapatkan bahwa akibat kebiasaan tersebut sehingga muncul karang-karang gigi (kalkulus) di
semua regio gigi pasien tersebut.
Saat dikonsulkan ke bagian Gigi dan Mulut, keadaan umum pasien tampak sakit berat
dan kesadaran pasien apatis, nadi 101 x/m, pernafasan 30 x/m, suhu 37.30 C dan tekanan darah
90/60 mmHg. Menurut index IMT berdasarkan WHO menyatakan bahwa pasien tersebut
underweight.
Pada pemeriksaan ekstra oral ditemukan kelainan berupa wajah asimetris (mikrosefali)
dan bibir kering. Pada pemeriksaan intra oral bagian mukosa bukal labial kering, namun
palatum dalam batas normal. Kemudian ditemukan debris, plak dan kalkulus di semua regio
gigi, terdapat hyperplasia gingival, dan hubungan antar rahang ortognati. Debris disebabkan
oleh sisa makanan atau minuman (susu) yang menempel dan indikasi kurangnya perlindungan
kesehatan gigi dan mulut (oral hygiene) pasien karena pasien tidak mau minum air putih
untuk membilas sisa-sisa susu yang melekat pada gigi. Hal ini menjadi faktor resiko
terbentuknya karies dan menjadi fokal infeksi yang dapat menyebar ke jaringan lain.
Pada status lokalis, ditemukan adanya karies dentin di semua regio gigi. Adanya
kavitas akibat terjadinya karies merupakan tempat tumbuh suburnya bakteri. Berbagai macam
bakteri akan berkumpul sehingga merupakan fokus infeksi untuk bagian tubuh lainnya. Fokus
infeksi ini dapat terjadi kapan saja, dimana saja serta bagian tubuh apa saja yang terkena
tergantung bakteri tersebut menginfeksinya. Adanya fokus infeksi ini tentu merupakan awal
akibat kemungkinan terjadinya kefatalan. Salah satu etiologi untuk ensefalopatinya sendiripun
ada yang dikarenakan bakteri, virus, parasit, dan prion. Namun, patogenesis ensefalopati
sepsis masih belum jelas. Beberapa kemungkinan diajukan sebagai penyebab adanya
kerusakan otak selama sepsis berat yaitu efek endotoksin dan mediator inflamasi, disfungsi
sawar darah otak dan kerusakan cairan serebro spinal, perubahan asam amino dan
neurotransmiter, apoptosis, stres oksidatif dan eksitotoksisitas, akan tetapi hipotesis yang
paling dipercaya adalah multifaktorial. Pada kasus ini kemungkinan disebabkan oleh fokal
infeksi yang terdapat pada gigi dan mulut yang masuk melalui karies gigi dan menyebar ke
jaringan lain melalui jalur hematogen (pembuluh darah) hingga ke kepala.
Rencana terapi yang diberikan pada pasien ini adalah mengurangi sumber infeksi
dengan cara edukasi pasien untuk menjaga oral hygine pasien dengan cara menyikat gigi
menggunakan Silicone finger Toothbrush sebanyak 2x sehari (sudah dilakukan pasien).
Edukasi juga dilakukan pada pasien dalam pemilihan makanan seperti menghindari makanan
yang keras, terlalu panas dan yang mengandung banyak gula seperti yang dikonsumsi dalam
intensitas sering dan jumlah yang banyak, serta edukasi agar minum air putih setelah minum
susu hal tersebut diharapkan dapat mengontol kebersihan oral hygiene pasien. Terapi seperti
scalling atau ekstraksi gigi belum dapat dilakukan karena melihat keadaan umum atau kondisi
pasien yang jelek.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak.
Edisi ke-15. Jakarta: Penerbit EGC; 2000.h.2085-8.

2. Handel MV, Swaab H, De Vries LS, Jongmans MJ. Long term cognitive and
behavioral consequences of neonatal encephalopathy following perinatal asphyxia:
a review. European Journal Pediatric. 2007;166: 645-654.

3. Evans K, Rigby AS, Hamilton P, Titchner N, Hall DM. The relationship between
neonatal encephalopathy and cerebral palsy: a cohort study. J Obstet Gynaecol.
2001;21: 11420.

4. Kurinczuk JJ, White-Koning M, Badawi N. Epidemiology of neonatal


encephalopathy and hypoksic ischemic encephalopathy. Early Human
Development. 2010;86: 329-338.

5. Benedeto-Stojanov D, Stojanov D. Minimal Hepatik Encephalopaty. In: Editor


Team Faculty of Medicine University of Nis Serbia. Miscellanea on
EncephalopatiesA Second Look. Europe: InTech. 2010.

6. Atri A, Milligan TA, Reddy KC, Kayser AS. Encephalopathy: Approch to


Diagnosis and Care. Neurology. 2008;12: 1-2.

7. Cotena S, Piazza O. Sepsis Associated Encephalopathy. Traditional Medicine.


2012;2(3): 20-27.

8. Laish I, Ari ZB. Noncirrhotic hyperammonaemic encephalopathy. Journal of The


International Association for Study of The Liver. 2011; 1259-1270.
9. Gowen CW. Assessment of the Mother, Fetus and Newborn. In: Kliegman RM,
Marcdante KJ, Jenson HB, Behrman RE. (eds.) Essential of Pediatrics. 5th ed.
Philadelphia: Saunders An Imprint of Elsevier Science. 2007.

10. Sherwood, L. Sistem Saraf Pusat. Patofisologi tubuh manusia. Jakarta : EGC

11. Irianto, Koes. Mikrobiologi. Bandung : Yrama Widya. H-169

12. Radifah S. Hubungan sikap dan pengetahuan masyarakat tentang pencabutan gigi
di kabupaten Bone [Skripsi]. Makassar: FKG Unhas, 2004

13. Chu S. Riview early childhood caries :risk and prevention in underserved
population. March 2008 ; 18(1). Available from: http://www..jyi.org/research/
re.php?id=717. Accessed : April 06,2017.

14. Heriandi S. Penanggulangan Karies Rampan serta Keluhannya pada anak. FKG
UI.Jakarta:2002

15. Kidd,Edwina. Alih Bahasa:Narlan Sumawinata. Dasar-dasar karies,penyakit dan


penanggulangannya. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;1992,P.102-18

16. Nilza M, Ribeiro E, Manoel A,Ribeiro S. Breastfeeding and early childhood


caries:a critical rivew. J pediatr (Rio de J) 2004; 80(5):2-7.

17. Promoting awarenness, preventing pain: facts on early childhood caries (ECC)
[online] 2004 [cited 2017 Apr 06]. Available from URL: http://www.
mchoralhealth.org.

Anda mungkin juga menyukai