Laporan Kasus Epulis Gilut 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 36

Laporan Kasus

EPULIS GRANULOMATOSA

Disusun Oleh:
M. Auzan Ridho P., S.Ked 04084821719238

Pembimbing
drg. Galuh Anggraini, MARS

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Epulis Granulomatosa”
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu
Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada drg. Galuh
Anggraini, MARS selaku pembimbing yang telah membantu penyelesaian laporan
kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda
dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini,
semoga bermanfaat, amin.

Palembang, April 2019

Penulis

2
BAB I
STATUS PASIEN

1.1 Identifikasi Pasien


Nama : An. SA
Tanggal lahir : 09/08/09 (10 tahun)
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Palembang
Kebangsaan : Indonesia
Pendidikan : SD
No. RM : 1116931
Kunjungan : 5 April 2019

1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Pasien datang bersama orang tua dengan keluhan timbul benjolan pada
gigi kanan bawah.

b. Keluhan Tambahan
Tidak ada

c. Riwayat Perjalanan Penyakit:


± 6 bulan yang lalu terdapat benjolan merah di sela-sela gigi belakang
kanan bawah. Benjolan terasa sakit dan mudah berdarah, pasien tidak
nyaman dan ingin di obati.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan yang sama sebelumnya disangkal

3
e. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Keluhan yang sama pada keluarga disangkal

f. Riwayat Penyakit atau Kelainan Sistemik


Penyakit atau Kelainan Sistemik Ada Disangkal
Alergi : debu, dingin √
Penyakit Jantung √
Penyakit Tekanan Darah Tinggi √
Penyakit Diabetes Melitus √
Penyakit Kelainan Darah √
Penyakit Hepatitis A/B/C/D/E/F/G/H √
Kelainan Hati Lainnya √
HIV/ AIDS √
Penyakit Pernafasan/paru √
Kelainan Pencernaan √
Penyakit Ginjal √
Penyakit Rinosinusitis √
Epilepsi √

g. Riwayat Penyakit Gigi dan Mulut Sebelumnya


 Riwayat cabut gigi (-)
 Riwayat tumpat gigi (-)
 Riwayat membersihkan karang gigi (-)
 Riwayat trauma (-)

h. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan menggosok gigi 1 kali sehari.

i. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya

4
1.3 Pemeriksaan Fisik (Rabu, 26 Juli 2017, pukul 10.15 WIB)
a. Status Umum Pasien
1. Keadaan Umum Pasien : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital Sign
- Nadi : 78x/menit
- Respiration rate : 18x/menit
- Temperatur : 36.70C

b. Pemeriksaan Ekstra Oral


Wajah : Simetris
Bibir : Sehat
Kelenjar getah bening submandibula:
Kanan : tidak teraba dan tidak sakit
Kiri : tidak teraba dan tidak sakit
Kelenjar lainnya :-

c. Pemeriksaan Intra Oral


Debris : Tidak ada
Plak : Tidak ada
Kalkulus : Ada di regio a
Perdarahan papila interdental : Tidak ada
Gingiva : Terdapat perdarahan papilla interdental di regio d
Mukosa : Terdapat benjolan berwarna merah dengan ukuran <1cm
pada gigi 45
Palatum : tidak ada kelainan
Lidah : tidak ada kelainan
Dasar mulut : tidak ada kelainan
Hubungan rahang : orthognathi
Kelainan gigi : tidak ada kelainan
Lain-lain : Tidak ada

5
d. Odontogram

7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

V IV III II I I II III IV V

V IV III II I I II III IV V

e. Status Lokalis
Gigi Lesi Sondase CE Perkusi Palpasi Mobilitas Diagnosis/ ICD
White spot kering
26 Karies - Td - - -
(D1)

36 Radix - Td - - - Sisa akar

f. Temuan
a. Kalkulus pada regio a
b. Massa 45
c. Sisa akar 36
d. White spot kering (D1) 26.

g. Perencanaan
o Kalkulus gigi : pro scalling
o White spot kering (D1) : pro aplikasi fluor topikal
o Sisa akar : pro exo
o Rujuk ke spesialis bedah mulut Pro eksisi / Ekskokleasi Epulis
dengan lokal anastesi pada gusi rahang kanan bawah.

6
h. Lampiran Foto Pasien

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gingiva
2.1.1 Definisi
Gingiva merupakan bagian dari jaringan periodontal yang melekat pada
prosesus alveolaris dan gigi. Fungsi gingiva adalah melindungi akar gigi, selaput
periodontal dan tulang alveolar terhadap rangsangan dari luar, khususnya dari
bakteri-bakteri dalam mulut (Itjiningsih, 1995). Dalam istilah awam disebut gusi
(gum). Gingiva merupakan bagian terluar dari jaringan periodontal yang nampak
secara klinis.

2.1.2 Gingiva Normal


Tanda-tanda gingiva yang normal yaitu :
1. Berwarna merah muda atau merah salmon, warna ini tergantung dari derajat
vaskularisasi, ketebalan epitel, derajat keratinisasi dan konsentrasi pigmen
melanin.
2. Konturnya berlekuk, berkerut-kerut seperti kulit jeruk dan licin.
3. Konsistensinya kuat dan kenyal, melekat pada struktur dibawahnya.
4. Melekat dengan gigi dan tulang alveolar.
5. Ketebalan free gingiva 0,5-1,0 mm, menutupi leher gigi dan meluas menjadi
papilla interdental.
6. Sulkus gingiva tidak ≥2 mm.
7. Tidak mudah berdarah.
8. Tidak oedem.
9. Tidak ada eksudat.
10. Ukuran tergantung dengan elemen seluler, interseluler dan suplai
vaskuler.

8
2.1.3 Anatomi Gingiva
Secara anatomis jaringan pendukung periodontal terdiri dari :
1. Gingiva
2. Membran periodontal
3. Prosesus alveolar
4. Sementum

Gambar 1. Anatomi Jaringan Periodontal

9
Gambar 2. Anatomi gingival

Tabel 1. Bagian-bagian Gingiva

2.1.4 Gambaran Mikroskopik Gingiva


Tepi gingiva terdiri dari jaringan ikat fibrous, terbungkus oleh epitel
squamous komplek. Seperti epitel squamous yang lain, epitel ini mengalami

10
pembaharuan konstan oleh sel reproduksi pada lapisan terdalam dan peluruhan dari
lapisan superfisial. Kedua aktivitas tersebut terjadi secara seimbang sehingga
ketebalan epitel akan tetap. Karakteristik dari lapisan epitel squamous :
1. Lapisan basal atau sel formatif terdiri dari sel kolumner dan kuboid.
2. Lapisan spinosum (stratum spinosum) atau sel-sel runcing terdiri dari sel-sel
berbentuk poligonal.
3. Lapisan granuler (stratum granulosum) sel-selnya tersebar terdiri dari banyak
partikel keratohialin.
4. Lapisan tanduk (stratum corneum) sel-selnya pipih dan berkeratin ataupun
berparakeratin.

2.1.5 Vaskularisasi, aliran limfatik, dan innervasi gingiva


Pembuluh darah arteri mencapai gingiva melalui 3 jalan yang berbeda :
1) Cabang arteri alveolar
2) Cabang arteri intraseptal masuk daerah Krista procesus alveolar.
3) Pembuluh-pembuluh darah pada ligamen periodontal bercabang keluar
kearah daerah gingiva.
Drainase limfatik dimulai pada papila jaringan ikat dan terserap ke dalam nodus
limpatikus regional. Dari gingiva mandibula menuju nodus limfatikus cervix,
submandibula, dan submentalis; dari gingiva maxilla menuju nodus limpatikus
cervical profunda.
Innervasi gingiva dibentuk oleh cabang-cabang dari nervus trigeminus.
Sejumlah akhiran saraf pada jaringan ikat gingiva sebagai corpusculum taktile serta
reseptor nyeri dan suhu.

2.2 EPULIS

11
Gambar 3. Gambaran predileksi epulis pada gusi dan bukalis

2.2.1 Definisi
Epulis adalah istilah yang nonspesifik untuk tumor dan massa seperti
tumor pada gingiva (gusi). Ada beberapa jenis dari epulis, masing-masing memiliki
karakteristik yang unik dan khas.

2.2.2 Faktor predisposisi


Iritasi kronis lokal misalnya kalkulus, karies servikal, sisa akar gigi.

2.2.3 Jenis-jenis Epulis


Epulis dapat dibedakan berdasarkan etiologi terjadinya antara lain :
1. Epulis Gravidarum
2. Epulis Congenitalis
3. Epulis Fibromatosa
4. Epulis Granulomatosa
5. Epulis Fissuratum
6. Epulis Angiomatosa

2.2.3. Epulis Gravidarum


2.2.3.1 Definisi

12
Epulis gravidarum adalah granuloma pyogenik yang berkembang pada gusi
selama kehamilan. Tumor ini adalah lesi proliferatif jinak pada jaringan lunak
mulut dengan angka kejadian berkisar dari 0.2 hingga 5 % dari ibu hamil. Epulis
tipe ini berkembang dengan cepat, dan ada kemungkinan berulang pada kehamilan
berikutnya.Tumor kehamilan ini biasanya muncul pada trimester pertama
kehamilan namun ada pasien yang melaporkan kejadian ini pada trimester kedua
kehamilannya.

2.2.3.2 Etiologi
Perkembangannya cepat seiring dengan peningkatan hormon estrogen dan
progestin pada saat kehamilan. Penyebab dari tumor kehamilan hingga saat ini
masih belum dipastikan, namun diduga kuat berhubungan erat dengan perubahan
hormonal yang terjadi pada saat wanita hamil. Faktor lain yang memberatkan
keadaan ini adalah kebersihan mulut ibu hamil yang buruk.

Gambar 4. Epulis gravidarum pada wanita hamil

2.2.3.3 Pemeriksaan Fisik


Gejala tumor kehamilan ini tampak sebagai tonjolan pada gusi dengan warna
yang bervariasi mulai dari merah muda, merah tua hingga papula yang berwarna
keunguan, paling sering dijumpai pada rahang atas.

13
2.2.3.4 Riwayat Penyakit
Umumnya pasien tidak mengeluhkan rasa sakit, namun lesi ini sangat mudah
berdarah saat pengunyahan atau penyikatan gigi. Pada umumnya lesi ini
berukuran diameter tidak lebih dari 2 cm, namun pada beberapa kasus dilaporkan
ukuran lesi yang jauh lebih besar sehingga membuat bibir pasien sulit dikatupkan.

2.2.3.5 Perawatan
Umumnya lesi ini akan mengecil dan menghilang dengan sendirinya segera
setelah ibu melahirkan bayinya, sehingga perawatan yang berkaitan dengan lesi ini
sebaiknya ditunda hingga setelah kelahiran kecuali bila ada rasa sakit dan
perdarahan terus terjadi sehingga mengganggu penyikatan gigi yang optimal dan
rutinitas sehari-hari.
Namun pada kasus-kasus dimana epulis tetap bertahan setelah bayi lahir,
diperlukan biopsi untuk pemeriksaan lesi secara histologis. Rekurensi yang terjadi
secara spontan dilaporkan pada 75 % kasus, setelah 1 hingga 4 bulan setelah
melahirkan.Bila massa tonjolan berukuran besar dan mengganggu pengunyahan
dan bicara, tonjolan tersebut dapat diangkat dengan bedah eksisi yang konservatif.
Namun terkadang tumor kehamilan ini dapat diangkat dengan laser karena memberi
keuntungan yaitu sedikit perdarahan.

2.2.4 Epulis fibromatosa


Epulis jenis ini lebih sering dijumpai dibandingkan jenis lainnya dan sering
mengalami rekuren (kambuh) bila operasi pengangkatannya tidak sempurna.
Umumnya dijumpai pada orang dewasa. Terutama pada bagian gingiva, bibir dan
mukosa bagian bukal

 etiologi : iritasi kronis


 klinis : letak antara 2 gigi, bertangkai, warna agak pucat, konsistensi kenyal
 pengobatan : eksisi
 terjadi pada mukosa mulut terutama pada tepi ginggiva, pipi dan lidah

14
Epulis ini terjadi pada rongga mulut terutama pada tepi gingival dan juga sering
terjadi pada pipi dan lidah. Etiologinya berasal dari iritasi kronis. Tampak klinis
yang terlihat antara lain bertangkai, dapat pula tidak, warna agak pucat, konsistensi
kenyal, batas tegas, padat dan kokoh. Epulis ini pula tidak mudah berdarah dan
tidak menimbulkan rasa sakit.
Jika epulis fibroma menjadi terlalu besar, bisa mengganggu pengunyahan dan
menjadi trauma serta ulserasi. Histologis ditandai oleh proliferasi jaringan ikat
collagenic dengan berbagai derajat dari sel infiltrasi inflamasi. Permukaan lesi
ditutupi oleh epitel skuamosa berlapis.
Pengobatan ini dengan eksisi biopsi bedah dan memiliki tujuan untuk
menyingkirkan lesi/neoplasma lainnya.

Gambar 5. Epulis fibromatosa

2.2.4.1 Mikroskopis
Terlihat jaringan gusi dibatasi oleh epitel gepeng berlapis yang mengalami
proliferasi dengan ditandai oleh adanya rate peg tidak beraturan. Stroma terdiri
dari jaringan ikat fibrosa padat dan kolagen yang tersusun dalam berkas yang
tidak beraturan. Juga ada sel radang kronis dalam stroma.

15
Gambar 6. Mikroskopis epulis fibromatosa

2.2.4.2. Epulis Granulomatosa


Epulis granulomatosa dapat terjadi pada semua umur namun kasus ini paling
banyak didiagnosa pada pasien dalam golongan umur 40-60 tahun, dan terutama
terjadi pada wanita.

Gambar 5. Epulis granulomatosa pada daerah palatal gigi insisif atas

2.2.4.3 Gejala
Lesi tampak sebagai pembesaran gusi yang muncul di antara dua gigi, kaya
vaskularisasi sehingga mudah berdarah dengan sentuhan dan umumnya berwarna
merah keunguan.
Ukurannya bervariasi, sebagian besar kasus biasanya berukuran kurang dari 2 cm
namun ada kasus yang ukurannya diameter melebihi 4 cm.
Lesi ini dapat tumbuh menjadi massa yang bentuknya tidak beraturan yang
dapat menjadi ulserasi dan mudah berdarah. Pada beberapa kasus giant cell epulis
dapat menginvasi tulang di bawahnya sehingga pada gambaran radiografis akan

16
terlihat erosi tulang. Sebagian besar terdiri atas jaringan granulasi. Konsistensi
kenyal, mudah berdarah bila tersenggol.
Terlihat jaringan gusi dibatasi oleh epitel gepeng berlapis yang mengalami
proliferasi dengan rete peg (papil epitel yang masuk ke dalam stroma jaringan ikat
dibawah epitel) yang tidak beraturan. Stroma terdiri dari jaringan granulasi yang
disusun oleh jaringan ikat, pembuluh darah, sebukan sel radang akut dan kronis.
Bila ada ulserasi, biasnya sel radang yang banyak dijumpai adalah PMN sehingga
gambarannya menyerupai granuloma piogenikum.

Gambar 6. Mikroskopis epulis granulomatosa

2.2.4.4 Perawatan
Perawatan giant cell epulis melibatkan bedah eksisi dan kuretase tulang yang
terlibat. Gigi yang berdekatan dengan epulis juga perlu dicabut bila sudah tidak
dapat dipertahankan, atau dilakukan pembersihan karang gigi (scaling) dan
penghalusan akar (root planing). Dilaporkan angka rekurensi sebesar 10 % sehingga
diperlukan tindakan eksisi kembali.

2.2.5. Epulis Kongenital


2.2.5.1 Definisi
Penyebab dari terjadinya epulis kongenital belum pasti namun para ilmuwan
meyakini bahwa epulis ini berasal dari sel-sel mesenkim primitif yang asalnya dari
neural crest.

17
Epulis tipe ini adalah kondisi kongenital yang sangat jarang ditemui, dan terjadi
pada bayi saat kelahiran. Dari penelitian didapati bahwa epulis kongenital lebih
banyak dijumpai pada bayi perempuan daripada laki-laki dengan rasio 8:1, dan
paling banyak terjadi pada maksila (rahang atas) dibandingkan mandibula (rahang
bawah).

Gambar 7. Seorang bayi perempuan dengan congenital epulis, kasus yang pertama
kali dilaporkan pada tahun 1871 dan hingga kini hanya sekitar 200 kejadian yang
pernah dilaporkan.

2.2.5.2 Gejala
Pada bayi yang baru lahir dijumpai massa tonjolan pada mulutnya, biasanya
pada tulang rahang atas bagian anterior (depan). Dari 10% kasus yang dilaporkan,
lesi yang terjadi adalah lesi multipel namun dapat juga berupa lesi tunggal. Ukuran
lesi bervariasi, dari 0.5 cm hingga 2 cm namun ada kasus di mana ukuran epulis
mencapai 9 cm. lesi ini lunak, bertangkai dan terkadang berupa lobus-lobus dari
mukosa alveolar. Bila epulis terlalu besar, dapat mengganggu saluran pernafasan
dan menyulitkan bayi saat menyusu.
Secara histologis, epulis kongenital mirip dengan granular cell tumor yang
terjadi pada orang dewasa. Perbedaannya adalah pada epulis kongenital tidak
rekuren dan tampaknya tidak berpotensi ke arah keganasan. Kelainan ini dapat
ditemui secara dini saat ibu memeriksakan kandungan melalui alat sonography
namun diagnosa yang pasti belum dapat ditegakkan.

18
2.2.5.3 Perawatan
Pada sebagian besar kasus, epulis cenderung mengecil dengan sendirinya
dan menghilang saat bayi mencapai usia sekitar 8 bulan. Dengan demikian lesi yang
berukuran kecil tidak membutuhkan perawatan.
Lesi yang lebih besar dapat mengganggu pernafasan dan/atau menyusui
sehingga perlu dilakukan pembedahan dengan anestesi total. Dilaporkan
keberhasilan penggunaan laser karbondioksida untuk mengoperasi lesi epulis yang
besar. Dari kasus-kasus yang ada, kejadian ini tampaknya tidak mengganggu proses
pertumbuhan gigi.

2.2.6 Penatalaksanaan
Ekskokleasi epulis ialah pengangkatan jaringan patologis dari ginggiva,
pencabutan gigi yang terlibat serta pengerokan sisa jaringan pada bekas akar gigi.
a. Indikasi operasi
Epulis kecuali epulis gravidarum
b. Kontra indikasi Operasi
Ko morbiditas berat
c. Diagnosis Banding
Karsinoma gingiva
d. Pemeriksaan Penunjang
FNA
e. Teknik Operasi
Menjelang operasi
 Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi
yang akan dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan
persetujuan dan permohonan dari penderita untuk dilakukan operasi.
(Informed consent).
 Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi.
 Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi.
 Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau Clindamycin kombinasi dengan
Garamycin, dosis menyesuaikan untuk profilaksis.

19
Tahapan operasi
 Dilakukan dalam kamar operasi, penderita dalam narkose umum dengan
intubasi nasotrakheal kontralateral dari lesi, atau kalau kesulitan bisa
orotrakeal yang diletakkan pada sudut mulut serta fiksasinya kesisi
kontralateral, sehingga lapangan operasi bisa bebas. Posisi penderita
telentang sedikit “head-up”(20-250), ekstensi (perubahan posisi kepala
setelah didesinfeksi).
 Desinfeksi intraoral dengan Hibicet setelah dipasang tampon steril di
orofaring.
 Desinfeksi lapangan operasi luar dengan Hibitane-alkohol 70% 1:1000.
 Posisikan penderita tengadah dengan mengganjal bantal pundaknya.

 Dengan menggunakan mouth spreader mulut dibuka sehingga lapangan


operasi lebih jelas. Insisi dilakukan diluar tepi lesi pada jaringan yang sehat
dengan menggunakan couter-coagulation, lakukan rawat perdarahan,
lakukan pembersihan lebih lanjut dengan jalan mencabut gigi yang terlibat
serta lakukan kerokan pada sisa sekitar tumor.
 Surat pengantar PA diberi keterangan klinis yang jelas.

f. Komplikasi operasi
 Perdarahan
 Infeksi
 Residif

g. Mortalitas
Sangat rendah

h. Perawatan Pascabedah
 Infus Ringer Lactate dan Dextrose 5% dengan perbandingan 1 : 4 (sehari).
Antibiotik profilaksis diteruskan 1 hari.

20
 Setelah sadar betul bisa dicoba minum sedikit-sedikit, setelah 6 jam tidak
mual bisa diberi makan.
 Pada penderita yang dipasang kasa verband tampon steril pada saat
operasi untuk menghentikan perdarahan pada bekas akar gigi, bisa dilepas
setelah 1 jam dari operasi atau ancaman perdarahan sudah berhenti.
 Kumur-kumur/Oral hygiene penderita di teruskan terutama sebelum dan
sesudah minum/makan.
 Penderita boleh pulang sehari kemudian.

i. Follow-Up
Tiap minggu sampai luka operasi sembuh

2.2.7. Epulis Fissuratum


2.2.7.1 Definisi
Epulis fissuratum adalah hyperplasia mukosa akibat trauma ringan kronik oleh
pinggiran gigi palsu. Epulis fissuratum dianalogikan sebagai akantoma fissuratum
pada kulit.
Epulis fissuratum muncul berhubungan dengan pinggiran gigi palsu. Epulis
biasanya ditemukan pada vestibuler maksila atau mandibula.

2.2.7.2 Etiologi
Penyebab dari epulis fissuratum adalah iritasi kronis ringan pada tempat
pemasangan gigi palsu. Biasanya, berhubungan dengan resopsi dari tulang alveolar,
supaya gigi palsu dapat bergerak pada mukosa vestibuler, mengakibatkan inflamasi
hiperplasi jaringan yang berproliferasi pada tepi gigi palsu tersebut.

2.2.7.3 Faktor Resiko


Ras
Kebanyakan epulis fissuratum terjadi pada ras kulit putih. Ini berhubungan dari
dominasi ras kulit putih untuk sering menggunakan gigi palsu.

21
Jenis Kelamin
Kebanyakan kasus terjadi pada wanita. Pada kenyataannya, wanita lebih suka
menggunakan gigi palsu dalam waktu yang lebih lama, karena alasan estetik.
Kemungkinan, perubahan epitel menjadi atropi pada wanita menopause,
mempengaruhi kejadiannya pada wanita yang lebih tua.

Umur
Epulis fissuratum terbanyak terjadi pada umur 50, 60, dan 70-an, tapi dapat
ditemukan pada hampir seluruh umur. Epulis fissuratum pernah ditemukan pada
anak kecil. Faktanya, lesi berhubungan dengan penggunaan gigi palsu dan proses
iritasi yang kronis memiliki insidensi lebih tinggi pada individu yang lebih tua.

2.2.7.4 Riwayat Penyakit


 Epulis fissuratum berkembang lambat pada periode yang panjang pada
pasien dengan nyeri pada penggunaan gigi palsu.
 Biasanya, pasien dengan epulis fissuratum adalah asimptomatik.

2.2.7.5 Pemeriksaan Fisik

 Pemeriksaan pada pasien epulis fissuratum patient typically ditemukan


pembengkakan pada mukosa hiperplastik, dimana meliputi pinggiran dari
gigi palsu. Lesi lebih sering pada bagian depan dari gigi palsu. Lesi pada
daerah lingual jarang ditemukan. Lesi ini lebih sering pada bagian anterior
rahang.
 Permukaan dari massa epulis fissuratum : halus, biasanya berbentuk ulseran
atau papiler.
 Ukuran dari lesi epulis fissuratum lesion bervariasi; pada beberapa lesi
kecil, tapi dapat meliputi seluruh mukosa vestibuler yang kontak dengan
gigi palsu.

22
 Walaupun sering dalam warna mukosa, eritema juga bisa terjadi, jika terjadi
inflamasi. Beberapa lesi muncul mejadi granuloma piogenik, disebabkan
proliferasi kapiler.

Gambar 8. Epulis Fissuratum pada anterior mandibula, pada tempat gigi palsu
biasa dipasang. Terlihat fambaran eritema. Pada permukaan lesi biasanya halus
seperti pada gambar.

2.2.7.6 Perawatan
PerawatanLesi ini dapat dihilangkan dengan eksisi. Selain itu, gigi tiruan yang
menjadi timbulnya lesi ini harus diperbaiki hingga dapat memiliki kecekatan yang
baik namun tidak memberi tekanan berat terhadap mukosa supaya mencegah iritasi
yang lebih berat lagi.
Meski lesi ini sangat jarang dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa,
namun sebagai tindakan preventif sebaiknya dilakukan pemeriksaan mikroskopis
pada lesi yang telah dibuang tersebut.

2.2.7.7 Pencegahan
Pemeriksaan gigi rutin, dapat mencegah epulis fissuratum. Pasien yang
menggunakan gigi palsu jarang sadar, bahwa mereka juga perlu memeriksakan
kesehatan mulut mereka ke dokter gigi, sehingga meningkatkan resiko terjadinya
epulis fissuratum.

2.2.7.8 Prognosis
Dengan penatalaksanaan segera, prognosis dari epulis fissuratum ini adalah
baik. Masalah yang mungkin terjadi adalah, massa pada daerah mukosa vestibuler
dan berhubungan dengan gigi palsu sering lolos dari diagnosis sebagai epulis

23
fissuratum. Tetapi, pada kasus yang jarang, massa ini dapat menjadi skuamos sel
karsinoma atau sudah bermetastase, karena itu jaringan ini setelah diesktirpasi harus
diperiksa secara histologis.

2.2.7.9 Edukasi pasien


Menyarankan kepada pasien untuk memeriksakan gigi mereka secara rutin jika
dibutuhkan dan jika ada gangguan pada jaringan mulut.

Gambar 9. massa pada mukosa vestibuler posterior ini, berhubungan dengan


penggunaan gigi palsu total. Pada pasien ini, massa sudah berubah menjadi
skuamous sel karsinoma.

2.2.8 Epulis Telangiectatica (gingival pyogenic granuloma)


Pembengkakan lunak pada ginggiva, yang karakteristik jaringan granulasi
merah pucat. Mudah berdarah oleh karena dilatasi pembuluh darah kapiler. Mudah
berdarah, pertumbuhan yang cepat, resorbsi tulang, rekurensi bila operasinya
inkomplit menyebabkan secara klinis mirip suatu neoplasma. Gambaran
histopatologis juga suatu proses inflamasi.

2.3 Karsinoma Nasofaring


2.3.1 Definisi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima,
2006 dan Nasional Cancer Institute, 2009).

24
2.3.2 Epidemiologi
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di
bawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-laki lebih banyak
dari wanita dengan perbandingan antara 2 – 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum
dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika
Syarikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 (Nasional Cancer Institute, 2009).
Disebagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-
30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan
Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden
tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara
lain. Hal ini menunjukkan sebuahkecenderungan untuk penyakit ini apabila
dikombinasikan dengan lingkungan pemicu (Fuda Cancer Hospital Guangzhou,
2002 dan Nasional Cancer Institute, 2009).
Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang
terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung
dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF
(Nasir, 2009). Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi
4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun (Punagi,2007). Dari
data laporan profil KNF di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar ,periode Januari 2000 sampai Juni 2001
didapatkan 33% dari keganasan di bidang THT adalah KNF. Di RSUP H. Adam
Malik Medan pada tahun 2002 -2007 ditemukan 684 penderita KNF.

2.3.3 Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin
mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF
adalah:
1. Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi

25
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim
sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma
nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir, 2009) .

2. Infeksi Virus Eipstein-Barr


Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma
nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum
pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer
maupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen
kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan
antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi.
Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat
karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan
karsinoma nasofaring tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma
nasofaring non-keratinisasi (non-keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop
cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel skuamosa atau elemen
limfoid dalam limfoepitelioma (Nasir, 2009 dan Nasional Cancer Institute,
2009).

3. Faktor Lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan
timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin,diantaranya
dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik,
diantaranya nikel sulfat (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2009).

2.3.4 Klasifikasi & Histopatologi


Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi tipe
1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran histologinya
karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang dan sebagian
lainnya dengan sel yang lebih ke arah diferensiasi baik, tipe 3 karsinoma tanpa

26
diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas membentuk sinsitial dengan batas
sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa
keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai
titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa
dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan
dengan virus Epstein-Barr (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2009).

2.3.5 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring


2.3.5.1 Gejala Dini
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin,Anida,
2007).
Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien
mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang
telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan
kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga
telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin
banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat
gangguan pendengaran ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute,
2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh
sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau
mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain
itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-
kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala
telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini,
karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-

27
lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang (
Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).

2.3.5.2 Gejala Lanjut


Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5
sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan
pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas
ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga
sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,
menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi
melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih
lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter (Nutrisno , Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009).
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah
rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf
otak dan menyebabkan ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa)
didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan
pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit
kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka
akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan
hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus
pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima, 2006 dan Nurlita, 2009).
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama
aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari
nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang,
hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis
sangat buruk (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).

2.3.6 Diagnosis
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan
daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak

28
akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan foto tengkorak potongan
anteroposterior, lateral dan Waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah
nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di
daerah fossa serebri media. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain -
lain dilakukan untuk mendeteksi metastasis (Nasir,2008).
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-
B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung
dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi
dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring
kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy (Krishnakat,
Samir,2002 dan Nasir, 2008).
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga
dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor
nasofaring umumnya dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%. Bila
dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam nakrosis. Endoskopi
dapat membantu dokter untuk melihat bagian dalam tubuh dengan hanya
menggunakan thin,fexible tube. Pasien disedasi semasa tuba dimasukkan melalui
mulut ataupun hidung untuk menguji area kepala ataupun leher. Apabila
endoskopi telah digunakan untuk melihat nasofaring,disebut nasofaringoskopi
(Pandi, 1983 dan Arima, 2006).

2.3.7 Terapi bagi Karsinoma Nasofaring

29
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan
tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap
terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan) ( Roezin, Anida, 2007 National Cancer
Institute, 2009).
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil
saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.
Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan
epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan
mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang
bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan
kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Fuda Cancer Hospital Guangzhou,
2002 dan Arisandi, 2008).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di
leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk
(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi (Roezin, Anida, 2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.
Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor
sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien
untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan
mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang
keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa
kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala,
kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual ( Roezin,
Anida, 2007).

30
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap
dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul
metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua
keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain
pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya
meninggal dalam keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung dan
nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital
akibat metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Roezin,
Anida, 2007).

2.3.8 Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan
lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih
agresif daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase
limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir.
Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik
karsinoma skuamus berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk oleh beberapa
faktor seperti stadium lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada
perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih (Arima, 2006).

2.3.9 Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis
dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi,
dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat
terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism
dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural
mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal
dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima
bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula
merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan
gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009).

31
2.3.10 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta
mengubah cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul
dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang
tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang
berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Akhir sekali,
melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring lebih dini (Tirtaamijaya, 2009).

32
BAB IV
ANALISIS MASALAH

Diagnosa ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan


pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan histopatologi. Anamnesis pasien
didapatkan An. SA, 10 tahun, perempuan, datang ke poli gigi dan mulut RSMH
dengan keluhan utama terdapat benjolan merah di sela-sela gigi belakang kanan
bawah yang sakit dan mudah berdarah.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak kompos mentis,
denyut nadi 80x/m, laju pernapasan 18x/m, suhu 36,70 C dan tekanan darah 120/70
mmHg. Pada pemeriksaan ekstraoral, dijumpai bentuk wajah simetris. Pada
pemeriksaan intraoral bagian mukosa terdapat benjolan berwarna merah dengan
ukuran <1cm pada gigi 45 di lingual, terdapat kalkulus (+) pada regio a, palatum,
lidah dan dasar mulut tidak ada kelainan. Karies D1 26. Sisa akar 36.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan penunjang ditegakkan
diagnosis epulis regio 45.
Pada pasien ditemukan karies D1 26 dan sisa akar 36. Iritasi kronis lokal
misalnya kalkulus, karies servikal, sisa akar gigi merupakan factor predisposisi
terjadinya epulis. Pada pasien ditemukan benjolan berwarna merah dengan ukuran
<1cm pada gigi 45 di lingual. Benjolan berada di antara dua gigi, kaya vaskularisasi
sehingga mudah berdarah dengan sentuhan dan berwarna merah keunguan sehingga
diagnosis pasien epulis granulomatosa.

33
34
DAFTAR PUSTAKA

Fawcett D.W. 2002. Buku Ajar Histologi. Ed. 12. Jakarta : EGC
Ghom, Anil Govindrao. Texbook of Oral Medicine, 2th edition. India: Jaypee
Brothers Medical Publishers (P) Ltd; 2010:901-3.
Glick, Michael. Burket’s Oral Medicine, 12th edition. USA: People’s Medical
Publishing House; 2015:93(8):567-78.
Lewis, Michael A.O, Richard C. K Jordan. 2012. A Colour Handbook of Oral
Medicine, 2th edition London: Manson Publishing.
Mohan, Hars. Essentials Pathology for Dental Student. London: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd;2011:512.
Pearce, Evelyn. C. (2006); “Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis”,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pedersen, Anne M.L. Oral Infections and General Health. Denmark:
Springer;2016:65-70.
Schwartz, dkk., 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Penerbit buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Silverman, S.L, L Boy Eversole, Edmon L.T. Essentials of Oral Medicine. London:
BC Decker Inc; 2002: 93-5.
Waal, Isaac van der. Atlas of Oral Diseases. Amsterdam: Springer; 2016:23-4

35
36

Anda mungkin juga menyukai