Laporan Kasus Epulis Gilut 1
Laporan Kasus Epulis Gilut 1
Laporan Kasus Epulis Gilut 1
EPULIS GRANULOMATOSA
Disusun Oleh:
M. Auzan Ridho P., S.Ked 04084821719238
Pembimbing
drg. Galuh Anggraini, MARS
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Epulis Granulomatosa”
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu
Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada drg. Galuh
Anggraini, MARS selaku pembimbing yang telah membantu penyelesaian laporan
kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda
dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini,
semoga bermanfaat, amin.
Penulis
2
BAB I
STATUS PASIEN
1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Pasien datang bersama orang tua dengan keluhan timbul benjolan pada
gigi kanan bawah.
b. Keluhan Tambahan
Tidak ada
3
e. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Keluhan yang sama pada keluarga disangkal
h. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan menggosok gigi 1 kali sehari.
i. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya
4
1.3 Pemeriksaan Fisik (Rabu, 26 Juli 2017, pukul 10.15 WIB)
a. Status Umum Pasien
1. Keadaan Umum Pasien : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital Sign
- Nadi : 78x/menit
- Respiration rate : 18x/menit
- Temperatur : 36.70C
5
d. Odontogram
7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
V IV III II I I II III IV V
V IV III II I I II III IV V
e. Status Lokalis
Gigi Lesi Sondase CE Perkusi Palpasi Mobilitas Diagnosis/ ICD
White spot kering
26 Karies - Td - - -
(D1)
f. Temuan
a. Kalkulus pada regio a
b. Massa 45
c. Sisa akar 36
d. White spot kering (D1) 26.
g. Perencanaan
o Kalkulus gigi : pro scalling
o White spot kering (D1) : pro aplikasi fluor topikal
o Sisa akar : pro exo
o Rujuk ke spesialis bedah mulut Pro eksisi / Ekskokleasi Epulis
dengan lokal anastesi pada gusi rahang kanan bawah.
6
h. Lampiran Foto Pasien
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gingiva
2.1.1 Definisi
Gingiva merupakan bagian dari jaringan periodontal yang melekat pada
prosesus alveolaris dan gigi. Fungsi gingiva adalah melindungi akar gigi, selaput
periodontal dan tulang alveolar terhadap rangsangan dari luar, khususnya dari
bakteri-bakteri dalam mulut (Itjiningsih, 1995). Dalam istilah awam disebut gusi
(gum). Gingiva merupakan bagian terluar dari jaringan periodontal yang nampak
secara klinis.
8
2.1.3 Anatomi Gingiva
Secara anatomis jaringan pendukung periodontal terdiri dari :
1. Gingiva
2. Membran periodontal
3. Prosesus alveolar
4. Sementum
9
Gambar 2. Anatomi gingival
10
pembaharuan konstan oleh sel reproduksi pada lapisan terdalam dan peluruhan dari
lapisan superfisial. Kedua aktivitas tersebut terjadi secara seimbang sehingga
ketebalan epitel akan tetap. Karakteristik dari lapisan epitel squamous :
1. Lapisan basal atau sel formatif terdiri dari sel kolumner dan kuboid.
2. Lapisan spinosum (stratum spinosum) atau sel-sel runcing terdiri dari sel-sel
berbentuk poligonal.
3. Lapisan granuler (stratum granulosum) sel-selnya tersebar terdiri dari banyak
partikel keratohialin.
4. Lapisan tanduk (stratum corneum) sel-selnya pipih dan berkeratin ataupun
berparakeratin.
2.2 EPULIS
11
Gambar 3. Gambaran predileksi epulis pada gusi dan bukalis
2.2.1 Definisi
Epulis adalah istilah yang nonspesifik untuk tumor dan massa seperti
tumor pada gingiva (gusi). Ada beberapa jenis dari epulis, masing-masing memiliki
karakteristik yang unik dan khas.
12
Epulis gravidarum adalah granuloma pyogenik yang berkembang pada gusi
selama kehamilan. Tumor ini adalah lesi proliferatif jinak pada jaringan lunak
mulut dengan angka kejadian berkisar dari 0.2 hingga 5 % dari ibu hamil. Epulis
tipe ini berkembang dengan cepat, dan ada kemungkinan berulang pada kehamilan
berikutnya.Tumor kehamilan ini biasanya muncul pada trimester pertama
kehamilan namun ada pasien yang melaporkan kejadian ini pada trimester kedua
kehamilannya.
2.2.3.2 Etiologi
Perkembangannya cepat seiring dengan peningkatan hormon estrogen dan
progestin pada saat kehamilan. Penyebab dari tumor kehamilan hingga saat ini
masih belum dipastikan, namun diduga kuat berhubungan erat dengan perubahan
hormonal yang terjadi pada saat wanita hamil. Faktor lain yang memberatkan
keadaan ini adalah kebersihan mulut ibu hamil yang buruk.
13
2.2.3.4 Riwayat Penyakit
Umumnya pasien tidak mengeluhkan rasa sakit, namun lesi ini sangat mudah
berdarah saat pengunyahan atau penyikatan gigi. Pada umumnya lesi ini
berukuran diameter tidak lebih dari 2 cm, namun pada beberapa kasus dilaporkan
ukuran lesi yang jauh lebih besar sehingga membuat bibir pasien sulit dikatupkan.
2.2.3.5 Perawatan
Umumnya lesi ini akan mengecil dan menghilang dengan sendirinya segera
setelah ibu melahirkan bayinya, sehingga perawatan yang berkaitan dengan lesi ini
sebaiknya ditunda hingga setelah kelahiran kecuali bila ada rasa sakit dan
perdarahan terus terjadi sehingga mengganggu penyikatan gigi yang optimal dan
rutinitas sehari-hari.
Namun pada kasus-kasus dimana epulis tetap bertahan setelah bayi lahir,
diperlukan biopsi untuk pemeriksaan lesi secara histologis. Rekurensi yang terjadi
secara spontan dilaporkan pada 75 % kasus, setelah 1 hingga 4 bulan setelah
melahirkan.Bila massa tonjolan berukuran besar dan mengganggu pengunyahan
dan bicara, tonjolan tersebut dapat diangkat dengan bedah eksisi yang konservatif.
Namun terkadang tumor kehamilan ini dapat diangkat dengan laser karena memberi
keuntungan yaitu sedikit perdarahan.
14
Epulis ini terjadi pada rongga mulut terutama pada tepi gingival dan juga sering
terjadi pada pipi dan lidah. Etiologinya berasal dari iritasi kronis. Tampak klinis
yang terlihat antara lain bertangkai, dapat pula tidak, warna agak pucat, konsistensi
kenyal, batas tegas, padat dan kokoh. Epulis ini pula tidak mudah berdarah dan
tidak menimbulkan rasa sakit.
Jika epulis fibroma menjadi terlalu besar, bisa mengganggu pengunyahan dan
menjadi trauma serta ulserasi. Histologis ditandai oleh proliferasi jaringan ikat
collagenic dengan berbagai derajat dari sel infiltrasi inflamasi. Permukaan lesi
ditutupi oleh epitel skuamosa berlapis.
Pengobatan ini dengan eksisi biopsi bedah dan memiliki tujuan untuk
menyingkirkan lesi/neoplasma lainnya.
2.2.4.1 Mikroskopis
Terlihat jaringan gusi dibatasi oleh epitel gepeng berlapis yang mengalami
proliferasi dengan ditandai oleh adanya rate peg tidak beraturan. Stroma terdiri
dari jaringan ikat fibrosa padat dan kolagen yang tersusun dalam berkas yang
tidak beraturan. Juga ada sel radang kronis dalam stroma.
15
Gambar 6. Mikroskopis epulis fibromatosa
2.2.4.3 Gejala
Lesi tampak sebagai pembesaran gusi yang muncul di antara dua gigi, kaya
vaskularisasi sehingga mudah berdarah dengan sentuhan dan umumnya berwarna
merah keunguan.
Ukurannya bervariasi, sebagian besar kasus biasanya berukuran kurang dari 2 cm
namun ada kasus yang ukurannya diameter melebihi 4 cm.
Lesi ini dapat tumbuh menjadi massa yang bentuknya tidak beraturan yang
dapat menjadi ulserasi dan mudah berdarah. Pada beberapa kasus giant cell epulis
dapat menginvasi tulang di bawahnya sehingga pada gambaran radiografis akan
16
terlihat erosi tulang. Sebagian besar terdiri atas jaringan granulasi. Konsistensi
kenyal, mudah berdarah bila tersenggol.
Terlihat jaringan gusi dibatasi oleh epitel gepeng berlapis yang mengalami
proliferasi dengan rete peg (papil epitel yang masuk ke dalam stroma jaringan ikat
dibawah epitel) yang tidak beraturan. Stroma terdiri dari jaringan granulasi yang
disusun oleh jaringan ikat, pembuluh darah, sebukan sel radang akut dan kronis.
Bila ada ulserasi, biasnya sel radang yang banyak dijumpai adalah PMN sehingga
gambarannya menyerupai granuloma piogenikum.
2.2.4.4 Perawatan
Perawatan giant cell epulis melibatkan bedah eksisi dan kuretase tulang yang
terlibat. Gigi yang berdekatan dengan epulis juga perlu dicabut bila sudah tidak
dapat dipertahankan, atau dilakukan pembersihan karang gigi (scaling) dan
penghalusan akar (root planing). Dilaporkan angka rekurensi sebesar 10 % sehingga
diperlukan tindakan eksisi kembali.
17
Epulis tipe ini adalah kondisi kongenital yang sangat jarang ditemui, dan terjadi
pada bayi saat kelahiran. Dari penelitian didapati bahwa epulis kongenital lebih
banyak dijumpai pada bayi perempuan daripada laki-laki dengan rasio 8:1, dan
paling banyak terjadi pada maksila (rahang atas) dibandingkan mandibula (rahang
bawah).
Gambar 7. Seorang bayi perempuan dengan congenital epulis, kasus yang pertama
kali dilaporkan pada tahun 1871 dan hingga kini hanya sekitar 200 kejadian yang
pernah dilaporkan.
2.2.5.2 Gejala
Pada bayi yang baru lahir dijumpai massa tonjolan pada mulutnya, biasanya
pada tulang rahang atas bagian anterior (depan). Dari 10% kasus yang dilaporkan,
lesi yang terjadi adalah lesi multipel namun dapat juga berupa lesi tunggal. Ukuran
lesi bervariasi, dari 0.5 cm hingga 2 cm namun ada kasus di mana ukuran epulis
mencapai 9 cm. lesi ini lunak, bertangkai dan terkadang berupa lobus-lobus dari
mukosa alveolar. Bila epulis terlalu besar, dapat mengganggu saluran pernafasan
dan menyulitkan bayi saat menyusu.
Secara histologis, epulis kongenital mirip dengan granular cell tumor yang
terjadi pada orang dewasa. Perbedaannya adalah pada epulis kongenital tidak
rekuren dan tampaknya tidak berpotensi ke arah keganasan. Kelainan ini dapat
ditemui secara dini saat ibu memeriksakan kandungan melalui alat sonography
namun diagnosa yang pasti belum dapat ditegakkan.
18
2.2.5.3 Perawatan
Pada sebagian besar kasus, epulis cenderung mengecil dengan sendirinya
dan menghilang saat bayi mencapai usia sekitar 8 bulan. Dengan demikian lesi yang
berukuran kecil tidak membutuhkan perawatan.
Lesi yang lebih besar dapat mengganggu pernafasan dan/atau menyusui
sehingga perlu dilakukan pembedahan dengan anestesi total. Dilaporkan
keberhasilan penggunaan laser karbondioksida untuk mengoperasi lesi epulis yang
besar. Dari kasus-kasus yang ada, kejadian ini tampaknya tidak mengganggu proses
pertumbuhan gigi.
2.2.6 Penatalaksanaan
Ekskokleasi epulis ialah pengangkatan jaringan patologis dari ginggiva,
pencabutan gigi yang terlibat serta pengerokan sisa jaringan pada bekas akar gigi.
a. Indikasi operasi
Epulis kecuali epulis gravidarum
b. Kontra indikasi Operasi
Ko morbiditas berat
c. Diagnosis Banding
Karsinoma gingiva
d. Pemeriksaan Penunjang
FNA
e. Teknik Operasi
Menjelang operasi
Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi
yang akan dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan
persetujuan dan permohonan dari penderita untuk dilakukan operasi.
(Informed consent).
Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi.
Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi.
Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau Clindamycin kombinasi dengan
Garamycin, dosis menyesuaikan untuk profilaksis.
19
Tahapan operasi
Dilakukan dalam kamar operasi, penderita dalam narkose umum dengan
intubasi nasotrakheal kontralateral dari lesi, atau kalau kesulitan bisa
orotrakeal yang diletakkan pada sudut mulut serta fiksasinya kesisi
kontralateral, sehingga lapangan operasi bisa bebas. Posisi penderita
telentang sedikit “head-up”(20-250), ekstensi (perubahan posisi kepala
setelah didesinfeksi).
Desinfeksi intraoral dengan Hibicet setelah dipasang tampon steril di
orofaring.
Desinfeksi lapangan operasi luar dengan Hibitane-alkohol 70% 1:1000.
Posisikan penderita tengadah dengan mengganjal bantal pundaknya.
f. Komplikasi operasi
Perdarahan
Infeksi
Residif
g. Mortalitas
Sangat rendah
h. Perawatan Pascabedah
Infus Ringer Lactate dan Dextrose 5% dengan perbandingan 1 : 4 (sehari).
Antibiotik profilaksis diteruskan 1 hari.
20
Setelah sadar betul bisa dicoba minum sedikit-sedikit, setelah 6 jam tidak
mual bisa diberi makan.
Pada penderita yang dipasang kasa verband tampon steril pada saat
operasi untuk menghentikan perdarahan pada bekas akar gigi, bisa dilepas
setelah 1 jam dari operasi atau ancaman perdarahan sudah berhenti.
Kumur-kumur/Oral hygiene penderita di teruskan terutama sebelum dan
sesudah minum/makan.
Penderita boleh pulang sehari kemudian.
i. Follow-Up
Tiap minggu sampai luka operasi sembuh
2.2.7.2 Etiologi
Penyebab dari epulis fissuratum adalah iritasi kronis ringan pada tempat
pemasangan gigi palsu. Biasanya, berhubungan dengan resopsi dari tulang alveolar,
supaya gigi palsu dapat bergerak pada mukosa vestibuler, mengakibatkan inflamasi
hiperplasi jaringan yang berproliferasi pada tepi gigi palsu tersebut.
21
Jenis Kelamin
Kebanyakan kasus terjadi pada wanita. Pada kenyataannya, wanita lebih suka
menggunakan gigi palsu dalam waktu yang lebih lama, karena alasan estetik.
Kemungkinan, perubahan epitel menjadi atropi pada wanita menopause,
mempengaruhi kejadiannya pada wanita yang lebih tua.
Umur
Epulis fissuratum terbanyak terjadi pada umur 50, 60, dan 70-an, tapi dapat
ditemukan pada hampir seluruh umur. Epulis fissuratum pernah ditemukan pada
anak kecil. Faktanya, lesi berhubungan dengan penggunaan gigi palsu dan proses
iritasi yang kronis memiliki insidensi lebih tinggi pada individu yang lebih tua.
22
Walaupun sering dalam warna mukosa, eritema juga bisa terjadi, jika terjadi
inflamasi. Beberapa lesi muncul mejadi granuloma piogenik, disebabkan
proliferasi kapiler.
Gambar 8. Epulis Fissuratum pada anterior mandibula, pada tempat gigi palsu
biasa dipasang. Terlihat fambaran eritema. Pada permukaan lesi biasanya halus
seperti pada gambar.
2.2.7.6 Perawatan
PerawatanLesi ini dapat dihilangkan dengan eksisi. Selain itu, gigi tiruan yang
menjadi timbulnya lesi ini harus diperbaiki hingga dapat memiliki kecekatan yang
baik namun tidak memberi tekanan berat terhadap mukosa supaya mencegah iritasi
yang lebih berat lagi.
Meski lesi ini sangat jarang dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa,
namun sebagai tindakan preventif sebaiknya dilakukan pemeriksaan mikroskopis
pada lesi yang telah dibuang tersebut.
2.2.7.7 Pencegahan
Pemeriksaan gigi rutin, dapat mencegah epulis fissuratum. Pasien yang
menggunakan gigi palsu jarang sadar, bahwa mereka juga perlu memeriksakan
kesehatan mulut mereka ke dokter gigi, sehingga meningkatkan resiko terjadinya
epulis fissuratum.
2.2.7.8 Prognosis
Dengan penatalaksanaan segera, prognosis dari epulis fissuratum ini adalah
baik. Masalah yang mungkin terjadi adalah, massa pada daerah mukosa vestibuler
dan berhubungan dengan gigi palsu sering lolos dari diagnosis sebagai epulis
23
fissuratum. Tetapi, pada kasus yang jarang, massa ini dapat menjadi skuamos sel
karsinoma atau sudah bermetastase, karena itu jaringan ini setelah diesktirpasi harus
diperiksa secara histologis.
24
2.3.2 Epidemiologi
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di
bawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-laki lebih banyak
dari wanita dengan perbandingan antara 2 – 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum
dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika
Syarikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 (Nasional Cancer Institute, 2009).
Disebagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-
30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan
Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden
tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara
lain. Hal ini menunjukkan sebuahkecenderungan untuk penyakit ini apabila
dikombinasikan dengan lingkungan pemicu (Fuda Cancer Hospital Guangzhou,
2002 dan Nasional Cancer Institute, 2009).
Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang
terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung
dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF
(Nasir, 2009). Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi
4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun (Punagi,2007). Dari
data laporan profil KNF di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar ,periode Januari 2000 sampai Juni 2001
didapatkan 33% dari keganasan di bidang THT adalah KNF. Di RSUP H. Adam
Malik Medan pada tahun 2002 -2007 ditemukan 684 penderita KNF.
2.3.3 Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin
mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF
adalah:
1. Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
25
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim
sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma
nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir, 2009) .
3. Faktor Lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan
timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin,diantaranya
dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik,
diantaranya nikel sulfat (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2009).
26
diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas membentuk sinsitial dengan batas
sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa
keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai
titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa
dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan
dengan virus Epstein-Barr (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2009).
27
lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang (
Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
2.3.6 Diagnosis
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan
daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak
28
akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan foto tengkorak potongan
anteroposterior, lateral dan Waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah
nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di
daerah fossa serebri media. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain -
lain dilakukan untuk mendeteksi metastasis (Nasir,2008).
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-
B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung
dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi
dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring
kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy (Krishnakat,
Samir,2002 dan Nasir, 2008).
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga
dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor
nasofaring umumnya dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%. Bila
dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam nakrosis. Endoskopi
dapat membantu dokter untuk melihat bagian dalam tubuh dengan hanya
menggunakan thin,fexible tube. Pasien disedasi semasa tuba dimasukkan melalui
mulut ataupun hidung untuk menguji area kepala ataupun leher. Apabila
endoskopi telah digunakan untuk melihat nasofaring,disebut nasofaringoskopi
(Pandi, 1983 dan Arima, 2006).
29
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan
tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap
terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan) ( Roezin, Anida, 2007 National Cancer
Institute, 2009).
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil
saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.
Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan
epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan
mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang
bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan
kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Fuda Cancer Hospital Guangzhou,
2002 dan Arisandi, 2008).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di
leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk
(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi (Roezin, Anida, 2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.
Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor
sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien
untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan
mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang
keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa
kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala,
kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual ( Roezin,
Anida, 2007).
30
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap
dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul
metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua
keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain
pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya
meninggal dalam keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung dan
nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital
akibat metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Roezin,
Anida, 2007).
2.3.8 Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan
lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih
agresif daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase
limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir.
Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik
karsinoma skuamus berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk oleh beberapa
faktor seperti stadium lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada
perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih (Arima, 2006).
2.3.9 Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis
dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi,
dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat
terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism
dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural
mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal
dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima
bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula
merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan
gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009).
31
2.3.10 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta
mengubah cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul
dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang
tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang
berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Akhir sekali,
melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring lebih dini (Tirtaamijaya, 2009).
32
BAB IV
ANALISIS MASALAH
33
34
DAFTAR PUSTAKA
Fawcett D.W. 2002. Buku Ajar Histologi. Ed. 12. Jakarta : EGC
Ghom, Anil Govindrao. Texbook of Oral Medicine, 2th edition. India: Jaypee
Brothers Medical Publishers (P) Ltd; 2010:901-3.
Glick, Michael. Burket’s Oral Medicine, 12th edition. USA: People’s Medical
Publishing House; 2015:93(8):567-78.
Lewis, Michael A.O, Richard C. K Jordan. 2012. A Colour Handbook of Oral
Medicine, 2th edition London: Manson Publishing.
Mohan, Hars. Essentials Pathology for Dental Student. London: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd;2011:512.
Pearce, Evelyn. C. (2006); “Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis”,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pedersen, Anne M.L. Oral Infections and General Health. Denmark:
Springer;2016:65-70.
Schwartz, dkk., 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Penerbit buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Silverman, S.L, L Boy Eversole, Edmon L.T. Essentials of Oral Medicine. London:
BC Decker Inc; 2002: 93-5.
Waal, Isaac van der. Atlas of Oral Diseases. Amsterdam: Springer; 2016:23-4
35
36