Sepotong Hati Yang Baru
Sepotong Hati Yang Baru
Sepotong Hati Yang Baru
Aku tertawa getir, menggeleng. Diam sejenak. Sungguh hatiku tidak baik-baik
saja.
Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah berlalu. Tertinggal jauh di
belakang. Aku menelan ludah. Berusaha menjawab bijakaku tahu itu bohong, pura-pura
bijaksana.
Sungguh maafkan aku, Alysa menyeka sudut-sudut matanya, Aku tidak pernah
tahu akan seperti ini jadinya.
Aku menggeleng, Kau tidak harus minta maaf, meskipun seharusnya kau tahu,
sehari setelah kau memutuskan pergi, aku lelah membujuk hatiku agar tegar, tetapi
percuma. Menyakitkan. Semua itu membuat sesak. Kalimat itu mungkin benar, ada
seseorang dalam hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu.
Alysa, kau pergi. Dan kau bahkan membawa lebih dari separuh hatiku.
Ombak menghantam cadas semakin kencang. Bulan purnama di atas sana membuat
lautan malam ini pasang. Lautan yang kosong sepanjang mata memandang, menyisakan
kerlip kapal nelayan atau entahlah di kejauahan. Jemari Alysa terlihat sedikit gemetar
memainkan sendok-garpu.
Kau tahu, aku melalui minggu-minggu menyedihkan itu. Dan yang lebih membuat
semuanya terasa menyedihkan, aku tidak pernah mengerti mengapa kau pergi.
Sesungguhnya aku tidak pernah yakin atas segalanya, aku tidak pernah baik-baik saja.
Enam bulan berlalu, hanya berkutat mengenangmu. Mendendang lagu-lagu patah-hati,
membaca buku-buku patah-hati. Hidupku jalan di tempat.
Maafkan aku. Suara Alysa bahkan kalah dengan desau angin, matanya mulai
basah menahan tangis.
Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku mendongak keluar, menatap purnama.
Berusaha mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menyelimuti hati. Sudahlah. Buat apa
diingat lagi. Kemudian kembali menatap wajah Alysa, tersenyum, Kau tahu, di tengah
semua kesedihan itu, setidaknya saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah
bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu
sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati
yang benar-benar baru.
*****
Bedanya tidak ada kesedihan di sana. Aku mengeluarkan kotak cincin batu bulan
itu.
Aku tahu ini bukan permata. Tersenyum, Hanya cincin sederhana, berhiaskan
batu bulan, simbol tanggal kelahiranmu. Apakah kau suka?
Kalimat itu meluncur begitu saja. Aku lupa kalau selama sebulan terakhir
merencanakan banyak hal. Menyiapkan prolog dan kalimat pembuka yang indah. Malam
itu, menatap wajahnya, kalimat itu meluncur begitu saja.
Tetapi pernahkah kalian menyimak film-film. Yang ketika pasangan itu siap
menikah beberapa hari lagi, salah-satu pemerannya entah kenapa bertemu dengan
seseorangbiasanya seseorang itu calon mempelai perempuan. Seseorang yang terlihat
begitu sempurna. Seseorang yang mengambil segalanya. Ketika kalian menonton film itu,
bahkan kalian tega membela perasaan yang baru muncul di hati jagoan wanitanya. Tega
berharap agar pernikahan itu tidak jadi. Berharap calon mempelai perempuan berhasil
mendapatkan seseorang yang tiba-tiba muncul, amat memesona itu. Berharap cinta
hebat yang tumbuh mendadak yang menang, membenarkan alasan si calon mempelai
perempuan. Akui sajalah, kita selalu membela cinta model ini.
Itulah yang terjadi denganku. Persis lima hari sebelum kami menikah, Alysa
bertemu dengan pria gagah itu. Dalam sebuah pertemuan yang mengesankan. Aku tidak
peduli di mana, kapan, dan entahlah pertemuan itu terjadi. Tidak peduli. Sama tidak
pedulinya siapa sesungguhnya pemuda itu. Yang pasti dia meremukkan seluruh kenangan
indahku bersama Alysa. Menghancurkan kedekatan kami , keluarga kami, dan sebagainya
dengan lima hari pertemuan. Ya Tuhan, bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi?
Maafkan aku. Alysa berkata pelan, Aku, aku tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi.
Astaga? Setelah bilang dia tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan kami,
Alysa juga tidak tahu apa yang sedang terjadi? Ini bencana besar, jika tidak baginya,
tapi setidaknya bagi dua keluarga yang sudah menyiapkan banyak hal.
Aku, aku mencintainya. Alysa menghela nafas, Kau tahu, akan terasa, akan
terasa menyakitkan kalau kita tetap menikah dengan kenyataan aku mencintainya.
Maafkan aku. Suara Alysa bergetar, Kau tahu, itu seperti cinta pertama pada
pandangan pertama. Aku, aku pikir semua rencana pernikahan kita keliru.
Debur ombak menghantam cadas terdengar bagai lagu penuh kesedihan. Bukan,
bukan karena semua ini tidak aku mengerti yang membuatku sakit hati. Bukan karena
tiba-tiba, bukan kenapa harus terjadi lima hari sebelum pernikahan kami. Aku juga tidak
mampu membenci pria itu. Apa salahnya? Aku tahu, selalu ada bagian yang tidak masuk
akal dalam perjalanan cinta. Tetapi lebih karena, lihatlah, percakapan ini, aku tahu
persis, separuh hatiku akan pergi. Persis seperti sebuah daun berbentuk hati, diiris
paksa oleh belati tajam, dipotong dua. Aku sama sekali tidak bisa mencegahnya.
Kita tidak berjodoh. Maafkan aku. Dan Alysa pergi malam itu. Di tempat yang
sama ketika aku memperlihatkan cincin batu bulan itu kepadanya.
*****
Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku. Alysa ragu-ragu
bertanya lagi, dengan suara yang semakin pelan dan semakin cemas.
Dan aku sungguh tidak mengerti mengapa aku harus menemuinya. Semua itu sudah
selesai. Bangunan hubungan kami sudah hancur berkeping-keping, bahkan jejak
pondasinya pun tidak ada lagi. Hanyut tercerabut setahun silam. Tetapi aku toh tetap
menemuinya. Di tempat pertama kali aku mengenalnya. Di tempat dia membatalkan
begitu saja rencana pernikahan kami. Di tempat kenangan kami.
Alysa datang mengenakan gaun putih. Syal hijau. Matanya sembab, wajahnya
sendu. Dan terisak perlahan setelah setengah jam berlalu. Alysa menceritakan banyak
hal. Meski lebih banyak menahan tangis. Aku hanya diam. Dulu, setiap melihatnya
menangis, aku pasti seolah ikut menangis. Bergegas berusaha menghiburnya, melucu,
memberikan kata-kata motivasi, apa saja.
Malam ini, aku hanya menatap kosong ke arah lautan. Menyerahkan sapu-tangan.
Lantas diam.Apa yang harus kulakukan? Apa yang Alysa harapkan?
Ketika hati itu terkoyak separuhnya setahun lalu, aku sudah bersumpah untuk
menguburnya dalam-dalam. Berjanji berdamai meski tak akan pernah kuasa melupakan.
Malam ini saat Alysa bilang hubungan hebatnya dengan pria memesona itu gagal, aku
sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan. Apa aku harus senang? Sedih? Marah?
Tidak peduli? Ya Tuhan, ini semua sungguh menyakitkan.
Apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku. Alysa bertanya lagi, kali ini
seperti bertanya kosong.
Aku hanya diam. Lihatlah, Alysa dicampakkan begitu saja. Itu menurut
pengakuannya. Apa yang sebenarnya terjadi, aku tidak tahu. Sama tidak tahunya kenapa
dia dulu tiba-tiba merasa begitu jatuh cinta dan tega membatalkan pernikahan kami. Itu
bukan urusanku.
Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku. Suara Alysa kalah
oleh desau angin. Tertunduk.
Aku menggigit bibir, menggeleng, Kau tahu, saat itu aku akhirnya menyadari, aku
tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak
bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat hati yang
baru. Ya, hati yang benar-benar baru.
Maafkan aku Alysa, aku sudah menikah. Bukan dengan seseorang yang amat aku
cintai, aku inginkan. Tetapi setidaknya ia bisa memberikanku sepotong hati yang baru.
Maafkan aku. Kau lihat. Ini cincin pernikahan kami, batu giok. Aku menelan ludah.
Alysa menyeka ujung-ujung matanya. Mengangguk pelan. Ia tahu persis itu simbol
batu tanggal kelahiranku. Malam ini semua sungguh terasa menyesakkan. Gadis itu
beringsut berdiri dari tempat duduknya, beranjak pergi. Aku menatap punggungnya
hilang dari balik pintu rumah makan.
Maafkan aku Alysa, aku berbisik pelan menatap selimut gelap lautan. Melepas
cincin itu. Ini bukan cincin milikku. Ini kepunyaan adikkuyang juga menyukai batu giok.
Ada gunanya juga memutuskan mengenakan cincin ini sebelum bertemu dengan Alysa.
Aku belum menikah. Aku selalu mengharapkan kau kembali. Selalu. Hingga detik ini.
Bahkan minggu-minggu pertama kau pergi aku tega berharap dan berdoa Tuhan
menakdirkan pria itu bernasib malang.
Tetapi malam ini, ketika melihat wajah sendumu, mata sembabmu, semua cerita
tidak masuk akal itu, aku baru menyadari, cinta bukan sekadar soal memaafkan. Cinta
bukan sekadar soal menerima apa adanya. Cinta adalah harga diri. Cinta adalah
rasionalitas sempurna.
Jika kau memahami cinta adalah perasaan irrasional, sesuatu yang tidak masuk
akal, tidak butuh penjelasan, maka cepat atau lambat, luka itu akan kembali menganga.
Kau dengan mudah membenarkan apapun yang terjadi di hati, tanpa tahu, tanpa
memberikan kesempatan berpikir bahwa itu boleh jadi karena kau tidak mampu
mengendalikan perasaan tersebut. Tidak lebih, tidak kurang.