Bab I

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 105

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pers adalah dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers

elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya

terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita.

Media adalah media realitas dalam dirinya sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemain

dalam industri media, Mediapun memiliki fungsi ideologis, dan melakukan manuver

politik sesuai dengan fungsi ideologinya. Ini akan mencakup masalah siapa,

kepentingan apa, dan perspektif mana yang akan memperoleh akses ke media mereka.

Di luar fungsi ideologis yang dijalankan, bagaimanpun juga, media pertama-tama perlu

terlebih dahulu di lihat sebagai institusi ekonomi, dan karenanya manuver politik yang

dijalankan melalui politik pemberitaannya juga dikemas sebagai komoditi informasi yang

berusaha menyiasati tuntutan serta peluang pasar.

Hal lain yang penting diamati dalam pemberitaan pers saat ini, terutama sekali adalah

masalah sejauh mana mereka telah berfungsi menciptakan dirinya sebagai bagian dari

public sphere. Ini bisa dikaji melalui pengamatan tentang sejauh mana kemampuan

untuk memiliki media semakin terpusat di kaum-kaum itu-itu saja, sejauh apa media di

tangan mereka itu telah bersedia memberikan akses berimbang ke setiap unsur publik
terkait. Dalam proses tersebut pers menempati posisi sentral, khususnya dalam era

peradaban di mana praktis semua manusia menjadi bagian dari kesepakatan untuk

bersatu dalam kesatuan-kesatuan politik besar, seperti negara

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, maka penyusun merumuskan hal-hal sebagai berikut:

a) Apa itu pers?

b) Jenis-jenis pers?

c) Perkembangan pers di dunia?

d) Perkembangan pers di indonesia?

e) Bagaimana Arti Pers dalam Sistem Komunikasi ?

f) Dampak dari setiap sistem pers di dunia dan di indonesia?

g) Hakikat Pers Umumnya Dan Pers Di Indonesia?

h) Pengaruh Sistem Ideologi Terhadap Sistem Pers?

i) Bagaimana kondisi sintem pers indonesia dalam menganalisa isi berita?

j) Bagaimana korelasi antara isi berita dengan sistem pers?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :

a) Untuk mengetahui pengertian pers


b) Untuk mengetahui jenis-jenis pers

c) Untuk mengetahui perkembangan pers di dunia

d) Untuk mengetahui perkembangan pers di indonesia

e) Untuk mengetahui dan memahami tentang arti pers dalam Sistem Komunikasi

f) Untuk mengetahui dampak dari setiap sistem pers di dunia dan di indonesia

g) Untuk mengetahui Hakikat Pers Umumnya Dan Pers Di Indonesia

h) Untuk mengetahui Pengaruh Sistem Ideologi Terhadap Sistem Pers

i) Untuk mengetahui Bagaimana kondisi sintem pers indonesia dalam menganalisa isi berita

j) Untuk mengetahui Bagaimana korelasi antara isi berita dengan sistem pers

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 APA ITU PERS?

Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis,

kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa

latin,perssare dari kata premere, yang berarti Tekan atau Cetak, definisi terminologisnya adalah

media massa cetak atau media cetak. Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian
komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau

sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.

Dalam UU pers no 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang

melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,

dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta

data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik

dan segala jenis saluran yang tersedia

Pakar komunikasi, Oemar Seno Adji membagi pengertian pers dalam arti sempit dan

luas. Dalam arti sempit, pengertian pers adalah penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan,

atau berita-berita dengan jalan kata tertulis. Sedangkan, pengertian pers dalam arti

luas adalah semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan

perasaan seseorang, baik dengan kata-kata tertulis maupun kata lisan.Menurut

Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa "Pers adalah

lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik,

meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan

grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media

elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia."

Dalam ilmu komunikasi, pengertian pers adalah:

Usaha percetakan atau penerbitan,

Usaha pengumpulan dan penyiaran berita,

Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio, dan televisi,


Orang-orang yang bergerak dalam penyiaran berita,

Media penyiaran berita, yakni surat kabar, majalah, radio, dan televisi.

Setelah masuknya media elektronika dalam lingkup media massa, istilah pers menjadi

lebih luas. Pers dalam arti sempit terbatas pada media cetak saja, seperti koran,

majala, buletin, tabloid, brosur, pamflet, dan leaflet. Namun pers dalam arti luas

mencakup juga media elektronik, seperti radio, televisi, dan film. Pers merupakan

lembaga yang berdiri sendiri. Pers hidup di tengah-tengah masyarakat dan berada

dalam satu negara, tetapi bukan bagian dari pemerintahan negara tersebut. Pers lebih

dikenal sebagai "Lembaga Kemasyarakatan" (social institution). Hubungan ketiganya

saling mempengaruhi. Pers mempengaruhi masyarakat, tetapi masyarakat juga

berpengaruh pada pers. Pers mempengaruhi pemerintah, tetapi pemerintah juga

berpengaruh terhadap pers.

2.2 PERKEMBANGAN SISTEM PERS DI DUNIA

Sebelum bubarnya Negara Uni Republik Sosialis Soviet, kita bisa dengan mudah membedakan

sistem pers dalam dua kelompok besar: Pers Barat yang menganut teori pers bebas atau liberal

dan Pers Timur yang menganut pers komunis. Pers Barat di wakili oleh Amerika dan Negara-

negara sekutunya di Eropa Barat. Karena Amerika adalah pencetus teori tanggung jawab sosial

atau dikenal pula sebagai komisi kebebasan pers (1942-1947) Sedangkan Pers Timur diwakili

oleh Uni Soviet dan negara-negara satelitnya di Eropa Timur


Tetapi, sejak bubarnya Negara Uni Soviet, dan sistem politik Negara-negara Eropa Timur yang

menganut paham komunis itupun ikut berubah, maka dikotomi antara Pres Barat dan Pers

Timur itu kiranya sudah tidak relevan lagi.

Sistem Pers Timur berbeda sekali dengan sistem Pers Barat bahkan sangat bertentangan.

Karena dalam sistem Pers Timur, berita tidak dipandang sebagai barang dagangan. Maksud

dari berita tidak dipandang sebagai barang dagangan disini adalah bahwa berita bukan untuk

pemuas nafsu rasa ingin tahu namun berita adalah keharusan ikut berusaha

mengorganisasikan pembangunan dan pemeliharaan Negara sosialis

Sedangkan Pers Barat memandang berita sebagai barang yang dapat diperjual belikan maka

itu berita yang di sampaikan pada khalayak harus menarik.

Teori Perkembangan Pers di Dunia.

Teori pertama dalam Four Theories of the Press Four (empat teori tentang pers)

yakni, authoritarian Theory (teori pers otoriter) yang diakui sebagai teori pers paling tua

bersal dari abad ke 16, ia berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan

absolute jadi pada dasarnya pendekatan dilakukan dari atas ke bawah. Yang dimaksud

dengan pendekatan dari atas kebawah adalah pendekatan yang dilakukan oleh yang

berkuasa terhadap masyarakat biasa, yang mana pada keadaan ini masyarakat biasa

tidak dapat berbuat apapun, kebebasannya dirampas dan tidak bisa mengutarakan

aspirasinya. Jadi disini dimaksudkan pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan

mengabdi kepada Negara. Yang mana pemerintah bebas melakukan intervensi

terhadap pers, dan pers tidak berhak dan bahkan tidak dapat untuk mengintervensi

pemerintah dikarenakan pemerintah berkuasa penuh atas pers. Yang pentng dicatat

juga prinsip authoritarian Theory (teori pers otoriter) adalah bahwa Negara memiliki
kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai kehidupan sosial.[5]Teori ini

berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman,

Jepang dan Negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin

Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa authoritarian Theory (teori pers otoriter) adalah

bahwa Negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai

kehidupan sosial. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh Negara kita sendiri

Indonesia. Pers di Indonesia pada jaman pemerintahan orde baru atau rezim Soeharto

pers disaat itu adalah pers yang otoriter, pers tidak berhak untuk mengomentari

kebijakan presiden akan tetapi pers haruslah selalu mendukung kebijakan kebijakan

yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam masa itu pers sangat tidak berkembang dan

informasi yang disampaikan pun tidak trasparan dan tidak dapat secara gamblang

diketahui oleh masyarakat. Apabila pers melawan maka pemerintah langsung akan

bertindak.

Itulah gambaran authoritarian Theory (teori pers otoriter), yang terdapat di Indonesia

pada masa era Soeharto didengung-dengungkan adanya pers yang bertanggung jawab

namun yang sesungguhnya dipraktekkan tetap system pers yang otoriter karena masih

adanya lembaga SIUPP (surat izin penerbitan pers) dan pembreidelan, sehinggan

nampak jelas bahwa tanggung jawab itu pada penguasa bukan kepada pablik.
Pers yang bebas dan bertangggung jawab pada rezim orde baru tidaklah sama dengan

pers yang bebas dan bertangggung jawab seperti di Amerika Serikat diawali sejak

tahun 1956.

Teori yang kedua adalah Libertarian Theory (Teori Pers Bebas). Ketika kebebasan

politik, agama dan ekonomi semakin tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya

pencerahan maka tumbuh pula tuntutan akan perlunya kebebasan pers. Dalam

keadaaan seperti itulah lahir teori baru yaitu Libertarian Theory(Teori Pers Bebas) teori

ini mencapai puncaknya pada abad ke 19. Dalam teori ini manusia dipandang sebagai

makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. Pers

harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran dan bukan sebagai alat

pemerintah. Jadi tuntutan bahwa pers mengawasi pemerintah berkembang

berdasarkan teori ini.

Dari sini kita dapat melihat suatu perkembangan pers antara abad 16 ke 19, pada

perkembangan teori ini pers tidak lagi diintervensi oleh pihak manapun termasuk pihak

yang berkuasa atau yang disebut pemerintah. Akan tetapi pers mempunyai hak untuk

mengawasi kegiatan pemerintahan. Mau tidak mau pemerintah harus transparan dalam

segala informasi terhadap pers.

Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) ini memang paling banyak memberikan landasan

kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Oleh karena itu, pers bebas juga

memberikan informasi, memberikan hiburan dan paling banyak terjual tiras. Dibalik

ketiga keuntungan itu pers bebas juga paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran

umum dan sedikit melakukan control kepada pemerintah.


Sistem pers libertarian dipraktikkan di Inggris setelah tahun 1668, kemudian

menyeberang ke Amerika Serikat, bahkan ke seluruh dunia. Teori ini kebalikan

dari authoritarian Theory (teori pers otoriter)

Teori yang ketiga yaitu social responsibility theory (teori pers bertanggung jawab sosial)

disini saya berasumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu

menyederhanakan persoalan terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh

disiarkan kepada publik dan dalam versi apa. Teori pers bertanggung jawab sosial yang

ingin mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggung jawab

sosialnya ini di formulasikan secara jelas sekali pada tahun 1949 dalam laporan

commission on the freedom of the press yang diketahui oleh Robert Hutchins. Yang

menganut teori ini adalah Amerika Serikat.

Komisi yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Hutchins commission ini mengajukan

5 persyaratan sebagai syarat bagi pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat.

Lima persyaratan tersebut adalah :

1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya,

lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna. Dalam hal ini media

harus menyajikan informasi kepada masyarakat dan informasi tersebut tidak boleh

berbohong dan harus disertai dengan bukti otentik. Informasi yang disampaikan pun

harus disampaikan dengan lengkap, tidak boleh di tambah atau dikurangi (obyektif).
Informasi yang disampaikan juga harus memberikan makna dan manfaat. Media harus

akurat, harus bisa memisahkan antara fakta dan opini, harus melaporkan dengan cara

yang memberikan arti secara internasional.

2. Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik. Disini media

harus menjadi sarana umum, lahan untuk mengutarakan gagasan dan juga tempat

untuk menyanggah atau lebih tepatnya lagi dipakai untuk sarana berdiskusi. Dalam

masyarakat harus diwakili; media harus mengidentifikasi sumber informasi mereka

karena hal ini perlu bagi sebuah masyarakat yang bebas.

3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-

kelompok konstituen dalam masyarakat itu. Ketika gambaran-gamabran yang disajikan

media gagal menyajikan suatu kelompok sosial dengan benar, maka pendapat

disesatkan; kebenaran tentang kelompok manapun harus benar benar mewakili; ia

harus mencakup nilai nilai dan aspirasi-aspirasi kelompok, tetapi ia tidak boleh

mengecualikan kelemahan kelemahan dan sifat-sifat buru kelompok.

4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.

Dalah hal ini media harus memberikan informasi tentang tujuan dan nilai nilai

masyarakat agar masyarakat bisa menyampaikan cita citanya dan nilai yang ada.

Media adalah sebagai instrument pendidikan, mereka harus memikul suatu tanggung
jawab untuk menyatakan dan menjelaskan cita-cita yang diperjuangkan oleh

masyarakat.

5. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang tersembunyi

pada suatu saat. Berita ataupun informasi yang didapatkan oleh media harus

disampaikan secara luas dan disampaikan dengan cepat, agar semualapisan

masyarakan dapat merasakan semua informasi. Masyarakat sangat membutuhkan

pendistribusian informasi secara luas.

Teori yang keempat yaitu The Soviet Communist Theory (teori komunis), baru tumbuh 2

tahun setelah revolusi Oktober 1917 di Rusia dan berakar pada teori pers penguasa

atau teori authoritarian theory. System pers ini menopang kehidupan sistem sosialis

Soviet Rusia dan memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap segala

kegiatan sebagaimana biasanya terjadi dalam kehidupan komunis. Oleh karena itu

Negara-negara yang dibawah payung kekuasaan Uni Republik Sosialis Soviet tidak

terdapat pers bebas , yang ada hanya pers pemerintah

2.3 PERKEMBANGAN SISTEM PERS INDONESIA

Awal Kemerdekaan (1942-1945)


Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide

bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk meneritkan surat kabar baru Tjahaja

(Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo

(melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).Dalam kegiatan penting mengenai

kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang

wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat

antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto

Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan

lain-lain.

1. Setelah Indonesia Merdeka/Orde Lama (1945-1959)

Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh

wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha

wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan

September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.RRI (Radio Republik Indonesia)

terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu

Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf

Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI

langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto,

Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.Surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta

adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini

disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers

republic sangat pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan

Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.Setelah Proklamasi

Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan

berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya dicetak,

dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja

(sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang

Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di

Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang

baru, di samping surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar

Republik, dengan nama lama atau berganti nama

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya,

kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan

yang mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan

sekitarnya (Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh

kalangan pers. Di daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah yang

pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers tetap

mempunyai semangat tinggi.Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di

Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan pers paling subur, bila dibandingkan dengan

daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang lebih

banyak dan juga karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di

Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya.Sementara


itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional,

karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembaangunan bangsa.

Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka

hadapi masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers

membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal

tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan

Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.

Setelah agresi militer

Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik

bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami

pengekangan dan penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara

tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat kabat yang

bersangkutan, sekaligus menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar

tersebut. Pihak penguasa Belanda mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh

kaum separatis Pro Belanda. Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk

melancarkan propaganda sekaligus politik adu dombanya, yang dapat menumbuhkan

kebingungan dan kepanikan di kalangan masyarakat luas.Sewaktu pusat Pemerintahan

RI pindah ke Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut pindah di bawah pimpinan

Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi cabang yang dipimpin oleh

Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa Bafagih. Ini berakibat juga

pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke Pusat Pemerintahan RI yang baru


tersebut.Keadaan Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19

Desember 1948 penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa

Belanda dan kaum separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan

melakukan penahanan terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik.

Pada masa itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap

dan dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada yang

keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan di

desa=desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan berupa

stensilan.Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti;

kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari pihak

TNI di daerah-daerah tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI sendiri

mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan usaha penerbitan pers oleh

kalangan pers (wartawan) Republik.

Masa Orde Bru (1959-1998)

Di masa demokrasi Liberal, tiap orang yang memiiki uang atau modal boleh

menerbitkan surat kabar atau majalah. Tidak diperlukan izin atau pengesahan dari

siapapun. Melalui surat kabar dan majalah ini orang boleh menyampaikan pendapat

dan perasaannya, sehingga banyak Koran dan majalah muncul di masa ini dan mereka

saling berlomba menerbitkan surat kabar dan majalah sekalipun namyak yang tidak

bisa bertahan untuk terus terbit dengan teratur.Koran-koran bekas milik RDV (Dinas

Penerangan Belanda), setelah pengakuan kedaulatan dialihkan ke tangan tenaga-

tenaga Indonesia, Koran bekas RDV hidup jauh lebih baik daripada Koran Indonesia

yang ditangani langsung oleh orang Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan Koran
milik RDV sewaktu dialihkan sudah mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain

itu koran RDV mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV

mempunyai peralatan cetak yang jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan

percetakan koran bangsa Indonesia.Matinya majalah dan koran bermutu di masa

Demokrasi Liberal kemungkinan besar disebabkan oleh mismanajemen atau salah urus

baik dibidang teknik redaksional, teknis peralatan, keuangan, dan bernagai urusan

perusahaan lainnya. Disamping itu munculnya koran dan majalah yang isinya

mengarah ke pornografi membuat keadaan semakin buruk.Di masa awal

pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak bersedia ikut

serta dalam gelombang Demokrasi Terpimpin harus menyingkir atau disingkirkan.

Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar larangan berpolitik dalam

segala bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis. Khusus mengenai pers ada

Sembilan ketentuan yang salah satunya adalah pers dan alat-akat penyiaran lainnya

dilarang melakukan penyiaran kegiatan politik yang langsung dapat mempengaruhi

haluan Negara, dan tidak bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang untuk

itu.SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada

masa Demokrasi Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960

diwajibkan mengajukan permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan

penyiaran. Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang

mengandung janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan

mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan

mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang telah dan akan

dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh


penguasa sebagai alat penekan surat kabar.PWI sebagai satu-satunya organisasi

wartawan yang diakui pemerintahdi masaDemokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-

wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati pada paham ini. PKI berusaha

menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal

SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi

SIT dan SIC.BPS singkatan dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini

dibentuk untuk menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal

adalah Sajuti Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos

(Naionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan

Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS

ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga

perang pena dan fitnah pun terjadi.Sewaktu menerbitkan Berita Yudha,

Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi Terpimpin itu akan sangat

membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan hanya mendapat satu

sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena itu perlu diambil alih dengan

segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti namanya Berita

Yudha dengan motto: Untuk Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia. Sedangkan

Jenderal A. H Nasution juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan Bersenjata

dengan inti tujuan yang sama.Beberapa factor penunjang keberhasilan PKI dalam

bidang pers dan media massa yaitu:

1. Disiplin kerja.

Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat pribadi dengan

patuh pada indtruksi atasan.


2. Jaminan Sosial.

Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya

3. Hubungan dengan fungsionaris/tokoh partai.

Hubungan ini akan mempermudah control atas tiap anggota.Sebagai langkah

awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar Negara

Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.

XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya

ketetapan MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang

dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15

Oktober 1966.Setelah DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok

Pers pada tanggal 12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai

kesepakatan dalam penafsiran dari UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi,

kewajiban dan hak per situ sendiri.Dalam usaha memantapkan penafsiran serta

pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan

Pers merupakan pendamping pemerintah untuk bersama-sama membina pertumbuhan

dan perkembangan pers nasional.Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde

Baru, meski pemerintah menghadapi berbagai masalah stabilitas dan rehabilitas i

keamanan, politik pemerinta dan ekonomi, telah diisi dengan langkah-langkah awal

peletakan kerangka dasar bagi pembangunan pers Pancasila.Tahap selanjutnya adalah

tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers nasional. Pada tahap ini

upaya yang dialkukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif antara pers,

masyarakat dan pemerintah.1.


Masa Orde Baru dan Era Reformasi

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden

Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat

setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan

Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat

status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif,

yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila

kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya)

pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk

menentukan corak dan arah isi pers.Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah

terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda

mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia,

Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah.

Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak

lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.Sebagai contoh adanya

pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers)

sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi pers yang bebas dan

bertanggung jawab, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan

pembredelan.Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994,

mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers

yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter

yang di kembangkan pada rezim orde baru.Tak ada demokrasi tanpa kebebasan

berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar


dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa

perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada

keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak

wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus

dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang

kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.Suatu pencerahan datang kepada

kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu

rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial,

budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi

merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini

dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara

penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan

memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap,

dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus

bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.Peran inilah yang selama

ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden

terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan

dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan

tersebut.Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan

yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan

munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan

segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers

Indonesia.Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari
masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan

ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab

sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga

jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini,

publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar

menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin,

hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya

mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.Sungguh ironi, dalam sistem politik

yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan

sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim

Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan.

Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian

industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan

mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar

celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan

pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral.

Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah

menjadi kebablasan pers. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang

menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung

mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar

kecabulan.Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat

informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah

hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.Sayangnya,


berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi

ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur

pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi

juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa

sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin

dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang

berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu

membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-

hari.Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri

pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi,

yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori

tanggung jawab sosial.Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki

hak-hak alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh

pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai

kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak

alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran

mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.

Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan

kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan

hanya yang disodorkan kepadanya.Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden

Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita

membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press).

Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media
massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan,

kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia

idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan

kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan

negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.Dalam kerangka kebersamaan

kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya

akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun

teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus tanggap

terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan

pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat

mengapresiasikan apa yang diinginkan.

Pers Mempunyai Peran penting dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Secara History bahwa peranan pers juga memegang peranan yang penting pada saat

kemerdekaan Indonesia hal itu di tandai dengan banyak terlibatnya tokoh-tokoh pers /

wartawan dalam ikut memerdekakan Indonesia, di antaranya :

1) Wage Rudolf Supratman, Dia bekerja sebagai wartawan yang juga ikut terlibat dalam

Kongres Sumpah Pemuda II yang pada akhirnya menciptakan lagu Indonesia Raya

yang akhirnya menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

2) Sutomo ( Bung Tomo ), Sutomo pemuda kelahiran surabaya yang bekerja sebagai

jurnalis yang sukses ketika pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu

Pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang


pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo

terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran

radionya yang penuh dengan emosi.

Perkembangan Pers di Indonesia

Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia.

Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi

3 golongan, yaitu pers Kolonial, pers Cina, dan pers Nasional.

1) Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia

pada masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran

berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum

kolonialis Belanda.

2) Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers

Cina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang

diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.

3) Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama

orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan

memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Tirtohadisorejo atau

Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910

berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers Nasional.

Adapun perkembangan pers Nasional dapat dikategorikan menjadi beberapa peiode

sbb :

a) Tahun 1945 1950-an


Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi

salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari

setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam

berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan

terutama adalah peralatan percetakan.

Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai

oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung),Berita Indonesia (Jakarta),

Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of

Free Indonesia.

b) Tahun 1950 1960-an

Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal.

Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat

sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari

Par-Pol. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada

masa itu, pers dikenal sebagaipers partisipan.

c) Tahun 1970-an

Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami

depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru

mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi

tiga partai, yaitu Golkar, PDI,dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan

partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi

mendapat dana dari partai politik.


d) Tahun 1980-an

Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri

Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh

Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers

sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan

dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup

dengan cara dicabut SIUPP-nya.

e) Tahun 1990-an

Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya,

pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di

Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis

terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan

yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.

f) Masa Reformasi (1998/1999) sekarang

Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini

terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan

terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan

dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk

memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie

proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.


Berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia

senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman.

Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-

perubahan tersebut adalah sbb :

Tahun 1900-an, pers di Indonesia berperan sebagai propagandis dan ikut

mengabarkan perkembangan informasi demi mendukung perjuangan dalam merebut

kemerdekaan

Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.

Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan

sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.

Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan

pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.

Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.

Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie,

yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati

Soekarnoputri, hingga sekarang ini masa pemerintahan presiden Susilo Bambang

Yudhoyono atau biasa di singkat dengan SBY.

Pers atau media amat dibutuhkan baik oleh pemerintah maupun rakyat dalam

kehidupan bernegara. Pemerintah mengharapkan dukungan dan ketaatan masyarakat

untuk menjalankan program dan kebijakan negara. Sedangkan masyarakat juga ingin

mengetahui program dan kebijakan pemerintah yang telah, sedang, dan akan

dilaksanakan.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 disebutkan mengenai fungsi

pers, dalam hal ini pers nasional. Adapun fungsi pers nasional adalah sbb :

1. Sebagai wahana komunikasi massa.

Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga negara dengan

pemerintah, dan antarberbagai pihak.

2. Sebagai penyebar informasi.

Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau negara kepada

warga negara (dari atas ke bawah) maupun dari warga negara ke negara (dari bawah

ke atas).

3. Sebagai pembentuk opini.

Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers dapat menciptakan opini

kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers.

4. Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga

ekonomi.

UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan : Kemerdekaan pers adalah salah satu

wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan

supremasi hukum.

Peraturan Perundang-undangan tentang Kebebasan Pers di Indonesia

Hak masyarakat atau warga negara Indonesia untuk mengeluarkan pikiran secara lisan,

atau tulisan mendapat jaminan dalam UUD 1945 Pasal 28, yang berbunyi ;
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan

tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.

Selain itu, kebebasan pers di Indonesia memiliki landasan hukum yang termuat didalam

ketentuan-ketentuan sbb :

1. Pasal 28 F UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi

dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,

serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan

menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

2. Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang antara lain

menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi.

3. Pasal 19 Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, Setiap orang

berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini

termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari,

menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan

dengan tidak memandang batas-batas wilayah.

Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu

hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada

tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan

informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan

memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi

ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya

pemerintahan.
Pola Hubungan Pers dan Politik

Sistem pers, merupakan bagian atau subsistem dari sistem komunikasi. Sedangkan

sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari suatu sistem sosial. Oleh karena

itu untuk mengetahui sistem pers kita tidak bisa lepas dari bentuk sistem sistem sosial

dan bentuk pemerintahan pemerintahan negara yang ada, dimana sistem pers itu

berada.

Dari dimensi sejarah pertumbuhan dan perkembangan pers dunia, maka kita mengenal

empat macam teori atau konsep dasar tentang pers, yang masing-masing

mencerminkan sistem sosial dan sistem politik dimana pers itu berkembang. Fred S.

Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories of the

Press membedakan teori pers ke dalam: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers

komunis, teori pers tanggungjawab sosial.

1) Teori Pers Otoriter (authorian)

Teori otoriter lahir pada abad kelima belas sampai keenam belas pada masa bentuk

pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut). Dalam teori ini media massa berfungsi

menunjang negara (kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuki memajukan

rakyat sebagai tujuan utama. Oleh karena itu pemerintah langsung menguasai dan

mengawasi kegiatan media massa. Akibatnya sistem media massa sepenuhnya berada

di bawah pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat bergantung pada

kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.

Dalam sistem ini manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia baru dapat berarti

kalau ia hidup dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya sangat terbatas.


Kelompok lebih penting dari individu. Masyarakat tercermin dalam organisasi-

organisasi, dan yang terpenting adalah negara.

Sistem politik Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan teori ini,

menerapkan pemasungan terhadap kebebasan pers dengan memberlakukan UU no 11

tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Dalam dua undang-undang tersebut, secara

tersurat, memberi kewenangan yang sangat signifikan kepada pemerintah untuk

mengatur pola-pola komunikasi sistem pers pada waktu itu.

(2) Teori Pers Liberal

Sistem pers liberal ini berkembang pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas

sebagai akibat timbulnya revolusi industri dan perubahan besar di dalam pemikiran-

pemikiran masyarakat di Barat pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai abad

aufklarung (abad pencerahan).

Menurut teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-haknya secara alamiah

untuk mengejar dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan

menyatakan pendapat. Hal ini tidak mungkin berlaku apabila terdapat kontrol dari

pemerintah. Menurut paham liberalisme, manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai

makhluk bebas yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan

kesejahteraan individu merupakan tujuan dari manusia, masyarakat, dan negara.

Sistem politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 - 1959 dengan berlakunya UUDS,

pernah menerapkan teori pers liberal. Peraturan perundangan tentang pers masih

mengacu pada KUHP warisan kolonial. Realitas kehidupan pers benar-benar

menggambarkan penerapan teori pers liberal. Pers pada masa ini cenderung tidak lagi

dipergunakan untuk perjuangan negara, namun dipergunakan sebagai terompet partai.


(3) Teori Komunis

Dalam teori komunis ini, media massa merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian

integral dari negara. Ini berarti bahwa media massa harus tunduk pada perintah dan

kontrol dari pemerintah atau partai. Tunduknya media massa pada partai komunis

membawa arti yang lebih dalam, yaitusebagai alat dari partai komunis yang berkuasa.

Kritik diijinkan dalam media massa, tetapi kritik terhadap dasar ideologi dilarang.

(4) Teori Pers Tanggungjawab Sosial

Teori tanggung jawab sosial ini muncul pada permulaan abad kedua puluh sebagai

protes terhadap kebebasan yang mutlak dari Teori Libertarian yang mengakibatkan

kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers

harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini merupakan hasil pemikiran

para ahli pikir ketika itu yang merasa bahwa teori lebertarian murni dan tradisional

sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman dan kebutuhan masyarakat pada waktu

itu. Teori ini sering dianggap sebagi bentuk revisi terhadap teori-teori sebelumnya, yang

menganggap bahwa tanggung jwab pers terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini

ingin ditekankan sebagai orientasi yang utama dari pers. Penekanan tanggung jawab

moral kepada masyarakat dengan usaha untuk menghindari kemungkinan terjadinya

keadaan yang membahayakan kesejahteraan umum.

keberadaan pers saat ini di pengaruhi oleh kebijakan pada zaman Soeharto,pers hanya

dibolehkan untuk kepentingan pemerintahan sangat dibatasi,karena menganut sistem

status quo. Karena hal itu menyebabkan jalannya pemerintahan secara bebas-

bebasan, karena kurangnya pantauan dan keterbatasannya pers dalam mengelola

media dan konsumsi masarakat. Dan sebenarnya adanya keterbatasan dalam pers ini
diakibatkan karena pada zaman belanda yang diberikan kepada pers Batavia sangat

terbatas. Namun, setelah lahirnya pasal 28, atas kebebasan

berserikat,berkumpul,berpendapat ternyata mempengaruhi keberadaan pers menjadi

lebih baik. Dan ternyata setelah masa reformasi keberadaan pers mendapat titik terang

dan pencerahan terhadap pers,serta memberi ruang kosong bagi masyarakat untuk

mengenal para penguasa dan sebagai pemasok informasi secara lengkap bagi

masyarakat,seperti hadirnya media-media cetak di Indonesia,dan diharapkan dengan

kebebasan pers ini,para pencari berita dapat memberikan pers seobjektif mungkin demi

kepentingan masyarakat.

Dengan adanya kebebasan media massa maka akhirnya mengalami pergeseran ke

arah liberal pada beberapa tahun belakangan ini. Ini merupakan kebebasan pers yang

terdiri dari dua jenis : Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif.

1) Kebebasan negatif merupakan kebebasan yang berkaitan dnegan masyarakat

dimana media massa itu hidup. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari

interfensi pihak luar organisasi media massa yang berusaha mengendalikan,

membatasi atau mengarahkan media massa tersebut.

2) Kebebasan positif merupakan kebebasan yang dimiliki media massa secara

organisasi dalam menentukan isi media. Hal ini berkaitan dengan pengendalian yang

dijalankan oleh pemilik media dan manajer media terhadap para produser, penyunting

serta kontrol yang dikenakan oleh para penyunting terhadap karyawannya.

Kedua jenis kebebasan tersebut, bila melihat kondisi media massa Indonesia saat ini

pada dasarnya bisa dikatakan telah diperoleh oleh media massa kita. Memang

kebebasan yang diperoleh pada kenyataannya tidak bersifat mutlak, dalam arti media
massa memiliki kebebasan positif dan kebebasan negatif yang kadarnya kadang-

kadang tinggi atau bisa dikatakan bebas yang bebas-sebebasnya tanpa kontrol

sedikitpun.

Bebasnya pers, cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha, penguasa dan

politikus melanggengkan kekuasaannya. Kebebasan media juga menjadi kebebasan

untuk dimiliki siapa saja, termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan

semata. Telah menjadi rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong

tebal untuk mendirikan dan menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media

kemudian membungkus berita kritik dan pengungkapan kasus-kasus kejanggalan

kejahatan birokrat, pengusaha dan politikus dengan membalikkan media dengan

penyajian infotaimen, sinetron dan musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media

yang bebas, vulgar dan cenderung tidak beretika.

Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya

perlu sebagai lembaga ke-empat penyeimbang kekuatan legislatif, yudikatif dan

eksekutif yang mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni

pers yang memiliki keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung

merusak masyarakat. Pers idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja

profesional dan tindakan riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain. Merusak

citra pers dengan menyembunyikan fakta, mengurangi informasi dan membesar-

besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai berita dan tidak memiliki

kepentingan bagi masyarakat.

Sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan pemerintah, menentang,

atau bahkan mendua terhadap suatu kebijakan. Bisa saja bersikap pro atau kontra.
Media massa juga dapat menentukan diri sebagai lawan pemerintah atau bahkan

sebagai pengawal kebijakan pemerintah. Suara (kebijakan) pemerintah bisa menjadi

bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur yang terlibat dalam

pengelolaan media.

Ada ketakutan yang luar biasa apabila kebebasan Pers pada akhirnya menjadi celah

pada kepentingan para birokrat dan penguasa maupun pengusaha, hal ini sangat

memungkinkan terjadi untuk masa sekarang dan bahkan akan berkelanjutan untuk di

masa yang akan datang. Hal ini di tandai dengan terlibatnya beberapa pengusaha-

pengusaha besar media yang akhirnya terlibat dalam politik praktis secara langsung.

Keberadaan Media atau Pers pada akhirnya akan berpihak terhadap situasi politik

nasional yang berkaitan dengan kepentingan pribadi atau golongan tertentu dan pada

akhirnya akan lebih meninggalkan fungsi dari pres itu sendiri.

Kekuatan Media sebenarnya merupakan kekuatan ke 4 Strategis Bangsa Indonesia,

karena keterlibatan pres dapat ikut terlibat mewujudkan amanat rakyat sesuai dengan

cita-cita pembukaan UUD 1945 yaitu Mencerdaskan kehidupan Bangsa. Maka tidak

menjadi relevan apabila peran pres atau media di kendalikan oleh situasi dan dinamika

politik nasional yang jelas akan melunturkan dari cita-cita dan perjuangan strategisnya.

2.4 JENIS-JENIS SISTEM PERS?

Sebelum kita masuk kedalam jenis sistem pers maka kita haruslah mengetahui bagaimana

falsafah pers.

Seperti juga Negara yang memiliki falsafah, pers pun memiliki falsafahnya sendiri. Falsafah

atau dalam bahasa inggris philosophy salah satu artinya adalah tata nilai atau prinsip-prinsip

untuk dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis. Dalam membicarakan


falsafah pers, terdapat sebuah buku klasik akan hal ini, yaitu Four Theories of the Press (empat

teori tentang pers) yang ditulis oleh Siebert bersama Peterson dan Schramm dan diterbitkan

oleh universitas Illinois pada tahun 1956 . dari karya ini, pada tahun 1980, muncul teori baru

tentang Rivers, Schramm dan Christians dalam buku mereka berjudul Responsibiliti in Mass

Communication.

Baik Sibert dkk, maupun Rivers dkk. pada prinsipnya mewakili pandangan Barat yang pada

dasarnya mengembangkan tiga cara dalam mengaitkan pers dan masyarakat.ketiga cara

tersebut masing-masing melibatkan definisi yang berlainan tentang manusia, tentang Negara,

tentang kebenaran dan tentang perilaku moral. Hanya saja bagi Sibert dkk, ketiga cara tersebut

merupakan landasan lahirnya empat teori tentang pers atau Four Theories of the Press(empat

teori tentang pers).

Four Theories of the Press (empat teori tentang pers) yang masih sangat besar pengaruhnya itu

memaparkan pandangan normative Sibert dkk. tentang bagaimana media berfungsi dalam

berbagai lapisan masyarakat

a) Sistem Pers otoritarian


b) Sistem Pers liberal
c) Sistem Pers komunis
d) Sistem Pers tanggung jawab sosial

Sistem pers otoritarian

Sejarah Pers Otoritarian


Teori pers otoritarian merupakan teori pers yang paling tua kemunculannya dengan

teori pers yang lain. Teori ini muncul pada masa akhir Renaisans. Setelah

ditemukannya mesin Cetak. Pada masa Renaisans teori ini menganggap kebenaran

bukanlah bersal dari pemikiran rakyat luas, tetapi darisekelompok kecil orang-orang

bijak yang bertugas membimbing dan mengarahkan pengikut pengikut mereka. Jadi

kebenaran tersebut sangat dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers

difungsikan dari atas kebawah. Penguasa pada masa tersebut menggunakan pers

untuk memberikan informasi kepada khalayak tentang kebijakan penguasa yang harus

didukung dan dijalankan.

Penggunaan teori ini tidak hanya terbatas pada abad XVI dan XVII saja. Teori pers

otoritarian muncul dari sebuah pemikiran kekuasaan monarki absolute dan pemerintah

yang Absolut dan pemerintahan yang absolute. Teori ini telah menjadi ajaran dasar di

sebagian besar dunia secara berabad abad. Secara kasarnya bahwa teori ini

menentukan pola komunikasi massa bagi banyak orang dibandingkan dengan teori pers

lainnya. Teori pers otoritarian dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak dari suatu

system pemerintahan.

Penguasa penguasa waktu itu menggunakan pers untuk member informasi kepada

rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin

khusus pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat

tanggung jawab mendukung kebijakan pekerjaan tidak dilaksanakan. Kegiatan

penerbitan dengan demikian merupakan semacam persetujuan antara pemegang


kekuasaan dengan penerbit, dimana pertamamemberikan sebuah hak monopoli dan

yang terakhir memberikan dukungan. Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak

untuk membuat dan merubah kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang

menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti ini menghilang fungsi pers sebagai

pengawas pelaksanaan pemerintahan.

B. Konsep Teori Pers Otoritarian

Tujuan utama dari teori ini mendkung dan memajukan kebijakan pemerintahan yang

berkuasa. Media massa pada teori atau system pers ini diawasi melalui paten dari

kerajaan atau uzun lain yang semacam itu. Dan yang berhak menggunakan media ialah

siapa saja yang memiliki izin dari kerajaan. Kritik terhadap mekanisme politik dan para

penguasa sangat dilarang. Pada system pers otoritarian media massa dianggap sebgai

alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah walaupun tidak harus dimiliki

pemerintah. Teori pers otoritarian ini membenarkan adanya sensor pendahulusan,

pembredelan, pengendalian produksi, secara langsung oleh pemerintah yang

dikukuhkan oleh perundang undangan

Teori ini membentuk dasar bagi system system pers di berbagai masyarakat modern,

bahkan dinegara yang tidak lagi menggunakannya. Teori ini terus mempengaruhi

praktek praktek sejumlah pemerintahan ang secara teoritis menyetujui prinsip

prinsip libertarian. Dalam system otoritarian, perilaku dan kinerja politik dalam bentuk

apa pun akan terawetkan karena memang tidak ada pintu politik untuk perubahan.
Berbagai perubahan hanya terjadi jika dikehendaki oleh sang penguasa otoriter dan

tentu saja bentuk bentuk perubahan itu sesuai dengan kehendak sendiri. Analisisnya

dalam teori ini pers tidak sesuai dengan konsep dasarnya yaitu sebagai media yang

menginformasikan secara fakta dan bersifat netral. Dalam teori ini media terkesan

sangat terkekang dan diatur semuanya oleh Negara dan tidak boleh ada suatu

informasi yang merugikan bagi Negara dan terkesan sangat berpihak. System pers

semacam ini tidak cocok diterapkan dinegara demokratis. Teori pers otoriter di eropa

telah berakhir dengan berakhirnya system politik otoriter yang dikalahkan oleh kaum

libertarian.

C. Teori Pers Otoritarian Pada Masa Orde Baru di Indonesia

Pemerintah melalui departemen penerangan pada masa itu mengontrol seluruh

kegiatan pers, mulai dari keharusan memiiki SIUPP bagi lembaga pers, control isi yang

amat ketat terhadap pemberitaan pers berada di tangan pemerintah. Dan kenyamanan

hidup masyarakat dan Negara. Kebebasan pers berada di tangan pemerintah. Pers

tunduk pada system pers, system pers tunduk pada system politik. Dibawah rezim orde

baru pers Indonesia berdaya, karena senantiasa dibawah bayang bayang maut

terancam pencabutan surat izin terbit.

Fenomena pers pada era orde baru, kita memandang berbagai atribut yang

menyebabkan sering terpojokn dalam posisi yang dilematis, di satu sisi tuntunan

masyarakat mengharuskan memotret realitas social sehingga pers berfungsi sabagai


alat control. Pada posisi lain, sebagai intuisi yang tidak lepas dari pemerintah,

menyebabkan pers cenderung tidak terbuka terhadap pemerintah. Ini artinya, pers mau

tidak mau harus memenuhi mekanisme yang menjadi otoritas pemerintah.

Indikasi masih adanya peringatan khusus terlihat dari bermacam macam peringatan

dari pemerintahan terhadap pers, jika dicermati berbagai peringatan pemerintah Orde

Baru tersebut justru muncul disebabkan kepedulian pers pada kepentingan masyarakat.

Ini artinya, pers yang mendapat peringatan pemerintah sama saja dia mempunyai

otonomi, sebab ia berani menentukan pilihannya untuk berpihak kepada masyarakat.

Pembatalan tiga penerbitan sekaligus pada 21 Juni 1994 (Tempo, Editor, Detik). Salah

satunya dipicu oleh semangat pers untuk melihat kewajiban menyebarkan berita

meskipun pada akhirnya terbentur oleh keperkasaan Negara. Tidak dipungkiri dominasi

pemerintah ernah sangat kuat dalam kehidupan pers pada era kekuasaan rezim Orde

Baru.

Fungsi pers sebagai jembatan penyambung antara masyarakat dan pemerintah

sungguh tidak terlihat ada masa itu. Oleh sebab itu untuk tidak menafsirkan peran pers

dalam kehidupam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta tetap menjaga

hubungan sebagai penghubung pemerintah dengan masyarakat, pers harus diberikan

ruang khusus untuk bisa menyebarkan informasi kepada masyarakat luas. Sebab ketika

pemerintah dan masyarakat terlibat saling tarik menarik kepentingan, pemerintah

dengan sifat absolute akan selalu berada diatas.


Oleh karena itu, untuk menghindari ketidakseimbangan yang terus berkepanjangan

maka konsep kebebasan pers harus diberikan dalam kadar yang lebih. Dengan

demikian kebebasan bukan merupakan kewajaran, tetapi sudah menjadi tuntunan bagi

pers. Pers Indonesia harus mampu menuntut kebebasan lebih ketika pemerintah sudah

memberikan ruang. Namun terlepas dari kebebasan apa yang akan diwujudkan. Pers

akan terpengaruh oleh sebuah system politik yang akan berkembang.

Pasca orde baru (masa reformasi), pers Indonesia seakan memperoleh kebebasan

yang selama ini tidak pernah benar benar dirasakan. Pemerintah Habibie yang pada

masa itu menggantikan Soeharto mencabut SIUPP kemudian masa pemerintahan

berikutnya dibawah pemerintahan Abdurahman Wahid (gusdur) dan Megawati

Soekarnoputri, pemerintah membubarkan departemen penerangan. Era Kebebasan

pers pun dimulai. Sistem pers Indonesia pun berubah menjadi system pers liberal. Hal

ini dapat dilihat melalui minimnya self ceenshorsip pada media, artinya media lemah

dalam melihat apakah suatu beruta layak dimunculkan dan sesuaidengan keinginan

masyarakat.

Walaupun orde baru telah berakhir dan sekarang sudah menganut system pers yang

liberal dan berdalih pada system pe tanggung jawab social, tetapi masih sedikit terlihat

teori teori pers otoriter di Indonesia. Hal itu terlihat dari tayangan media massa

televise yang menyisipkan salah satu program pemerintah. Salah satu contohnya

memuat pemasaran program pemerintah KB (Keluarga Berencana) dan penghematan

penggunaan BBM bersubsidi.


Dengan Alasan untuk kebaikan masyarakat Indonesia, pemerintah menanamkan

program tersebut dalam media massa. Dalam kejadian ini pemerintah mengajak

masyarakat untuk berpartisipasi dalam program yang sudah di terapkan oleh

pemerintah. Dari tayangan tersebut terlihat peranan pemerintah yang cukup kuat pada

media massa untuk dapat memaksa masyarakat agar mengikuti program tersebut. Dari

sinilah sifat otoriter pemerintah sangat dominan terhadap media massa televisi saat ini.

Sistem pers libertarian

Sistem pers libertarian dipraktikkan di Inggris setelah tahun 1668, kemudian

menyeberang ke Amerika Serikat, bahkan ke seluruh dunia. Teori ini muncul setelah

adanya perubahan besar dalam pemikiran masyarakat Barat yang dikenal sebagai

masa pencerahan (enlightment). Teoeri libertarian merupakan kebalikan dari teori

otoriter karena berasal dari falsafah umum rasionalisme dan hak alam, serta karya

Milton, Lock, dan Mill.

Ketika kebebasan politik, agama, dan ekonomi semakin tumbuh bersamaan dengan

tumbuhnya pencerahan, maka tumbuh pula tuntutan akan perlunya kebebasan pers.

Dalam saat itulah libertarian theory pun muncul. Teori pers bebas ini mencapai

puncaknya pada abad ke-19. Dalam teori ini manusi dipandang sebagai makhluk

rasional yang dapat membedakan antarayang benar dan tidak benar. Pers harus
menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran, dan bukan sebagai pemerintah. Jadi,

tuntutan bahwa pers mengawasi pemerintah berkembang berdasarkan teori ini.

Sebutan terhadap pers sebagai The Fourth Estate atau Kekuasaan Keempat setelah

eksekutif, legislative, dan yudukatif pun menjadi umum diterima dalam teori pers

libertarian. Oleh karenanya, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah.

Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang

sama untuk dikembangkan sehingga yang benar dan dapt dipercaya akan bertahan,

sedang sebaliknya akan lenyap.

Asumsi dasar teori libertarian adalah manusia pada hakikatnya dilahirkan sebagai

makhluk bebas yang dikendalikan oleh rasio atau akalnya. Manusia memunyai hak

secara alamiah untuk mengejar kebenaran dan mengembangkan potensinya apabila

diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat.

Dalam hubungannya dengan kebebasa pers, teori libertarian beranggapan bahwa pers

harus memunyai kebebasam yang seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam

usahanya mencari kebenaran. Manusia memerlukan kebebasan untuk memeroleh

informasi dan pikiran-pikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu apabila

disampaikan melalui pers.

Pihak yang berhak menggunakan media massa dalam teori libertarian adalah siapa pun

yang memunyai sarana ekonomi. Para pemilik medianya pada umumnya adalah

swasta.
Tujuan dan fungsi media massa menurut paham liberalisme adalah member

penerangan, menghibur, menjual, namun yang terutama adalah menemukan kebenaran

dan mengawasi pemerintah serta untuk mengecek atau megontrol pemerintah.

Media dilarang menyiarkan nama baik atau penghinaan, menampilkan pornografi, tidak

sopan, dan melawan pemerintah. Bila dilanggar, maka akan diproses melalui

pengadilan.

Kehidupan Pers Zaman Libertarian

Di Indonesia tahun 1950-1959

Pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 1945, kita menikmati masa bulan

madu. Di Jakarta dan di berbagai kota, bermunculan suratkabar baru. Pada masa ini,

pers nasional bisa disebut menunjukkan jati dirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi

mereka hanya pada bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Bagi pers

saat itu, tak ada tugas yang paling mulia kecuali mengibarkan bendera merah-putih

setinggi-tingginya.

Pada saat-saat revolusi fisik itu pers Indonesia memunyai fungsi yang khas. Hasil karya

para wartawan bukan lagi bermanfaat bagi konsumsi pembaca di daerah pedalaman,

tetapi juga berguna bagi prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang berjuang di front. Berita-

berita yang dibuat wartawan bukan saja mengobarkan semangat berjuang membela

kebenaran, tetapi sekaligus sebagai alat pemukul terhadap hasutan-hasutan pihak

Belanda yang disiarkan melalui berbagai media massa.


Lima tahun kemudian, atau mulai 1950, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia

politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet

partai-partai politik besar. Inilah yang disebut era pers partisipan. Artinya, pers dengan

sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti paratai politil yang

disukai dan didukungnya. Kebebasan pers,di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih

salah satu partai politik sebagai induk semang dan buka bebas untuk meliput dan

melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui masyaraakt luas. Dalam era ini

pers Indonesia terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi

kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat

partai.

Pada waktu itu, antara tahun 1950, yakni waktu pengakuan kedaulatan sampai 1959,

muncul doktrin Demokrasi Terpimpin yang kemudian disusul dengan ajaran Manipol

Usdek, kebebasan pers banyak digunakan untuk saling mencaci maki dan memfitnah

lawan politik dengan tujuan agar lawannya itu jatuh namanya dalam pandangan

khalayak.

Era pers partisan ternyata tidak berlangsung lama. Sejak Dekrit Presiden 1 Juli 1959,

pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan pers diwajibkan memiliki

Surat Ijin Terbit (SIT). Bahka menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat

dikatakan sebagai tanggal kematian pers Indonesia. Pada tanggal inilah, Penguasa

Darurat Perang Daerah (Paperda) Jakarta Raya, menetapkan batas akhir pendaftaran

bagi seluruh penerbitan pers untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT).
Lebih parah lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada

organisasi politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat

kabar pada waktu itu dimiliki oleh partai politik dan organisasi massa. Baru beberapa

bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir praturan baru yang mempersempit ruang

gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya

adalah pemberontakan G30S/PKI. Gerakan ini berhasil ditumpas rakyat bersama TNI

dan mahasiswa.

Pers yang Muncul

Pada tahun 1945 di Jakarta terbit harian Asia Raya, yang memang diterbitkan pada

zaman Jepang. Baru pada tanggal 1 Oktober 1945 terbit harian Merdeka sebagai hasil

usaha kaum buruh de Unie yang berhasil menguasai percetakan.

Di kota-kota lain bermunculan koran-koran baru. Di Yogyakarta terbit Kedaulatan

Rakyat (bekas Sinar Matahari), di Bandung Soeara Merdeka (bekas Tjahaya), si

Surabaya terbit Suara Rakyat (bekas Suata Asia), dan di Semarang Warta

Indonesia(bekas Sinar Baru) pun muncul.

Sejak tahun 1950, partai politik besar memunyai surat kabar sebagai pembawa

suaranya masing-masing. Masjumi memunyai Harapan Abadi, PNI memiliki Suluh

Indonesia. Partai Nahdatul Ulama diwakili oleh Duta Masyarakat. Dan terompet PKI

adalh Harian Rakyat. Sedangkan pembawa suara Partai Sosialis Indonesia adalah

harian Pedoman.
Peraturan Undang-Undang yang Dibuat Pada Zaman Libertarian di Indonesia

Pada tanggal 30 Desember 1949 Kerajaan Belanda dengan resmi mengakui

kedaulatan RI atas seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Barat. Pada tanggal 1

Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS

dibubarkan, dan Indonesia menjadi Republik Kesatuan dengan Undang-Undang Dasar

Sementara.

Pada tahun-tahun antara 1955-1958 dalam sejarah pers Indonesia belum terjadi

pertarungan yang sedemikian hebatnya untuk mempertahankan kemerdekaan pers.

Pada waktu itu dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1954, telah dicabut presbreidel-

ordonantie 1931 atas pertimbangan bahwa ordonantie tersebut bertentangan dengan

pasal 19 jo. 33 UUD Sementara RI. Akan tetapi dengan mempergunakan pasal-pasal

Reglemen SOB (Staat van Oorlog en Beleg) ciptaan penjajahan Belanda, penguasa

masih dapat bertindak terhadap pers. Banyak surat kabar yang dibreidel, banyak pula

wartawan yang ditangkap dan ditahan.

Pada tanggal 1 Oktober 1958 Paperda (Penguasa Perang Daerah) mewajibkan semua

surat kabar dan majalah memiliki SIT. Sesudah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959,

pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan peraturan untuk mengetatkan

pengawasan terhadap pers. Persyaratan untuk mendapatkan SIT diperkeras. Semua

penerbit pada tahun 1960 diwajibkan lagi mengajukan permohonan SIT. Pada bagian

bawah formulir perizinan SIT itu tercantum 19 pasal persyaratan yang mengandung

janji penanggung jawan surat kabar tersebut jika diberi SIT, maka ia akan mendukung
Manipol Usdek dan akan mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan akan

dikeluarkan penguasa.

Beberapa bulan kemudian, mucul peraturan baru. Pada waktu itu pihak penguasa,

Departemen Penerangan megeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa surat kabar

atau majalah harus didukung oleh satu partai politik atau tiga organisasi massa. Dan

surat kabar daerah yang semula masih dibenarkan memakai nama berbeda, dengan

organ resmi harus berafiliasi dengan nama organnya di Jakarta. Jadi, Trompet Massa di

Medan harus berafiliasi dengan Sinar Harapan menjadi Sinar Harapan Edisi Sumatera

Utara dengan huruf yang sama.

Tahun 1966 bagi sejarah pers Indonesia merupakan tahun penting karena pada tahun

itulah dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pers. Memang setiap dictum dari suatu undang-undang bisa saja menimbulkan

tafsiran-tafsiran yang berbeda antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, tetapi

dengan adanya undang-undang setidaknya ada suatu pegangan untuk bertindak dan

mengambil keputusan ketimbang tidak ada undang-undang sama sekali.

Kehidupan Wartawan-Wartawan Indonesia pada Zaman Libertarian

Akibat peraturan afiliasi tadi, dapa dibayangkan corak pers Indonesia saat itu. Ruang

gerak para wartawan dipersempit, keterampilan dikekang, dan daya pikir ditahan.

Semuanya itu mneguntungkan PKI dalam usahanya mematangkan suasana pada

waktu mana wartawan-wartawan giat menjalankan apa yang mereka namakan ofensif

revolusioner di segala bidang. Hal ini mereka jalankan melalui media massa yang
hampir seluruhnya mereka kuasai. Kantor Berita Antara yang merupakan potensi yang

vital telah mereka kuasai sehingga dalam segi pemberitaan sangat menguntungkan

mereka.

Bahwa wartawan-wartawan komunis tahu benar betapa vitalnya suatu kantor berita.

Mereka dengan segala daya berusaha meniadakan Pusat Pemberitaan Angkatan

Bersenjata (PAB). Akan tetapi usaha mereka ini gagal.

Pembaharuan SIT juga berdampak buruk bagi wartawan. Sejumlah surat kabar telah

menghentikan penerbitannya, di antaranya Harian Abadi. Demikian pula dihentikan

penerbitan Harian Pedoman, Nusantara, Kengpo, Pos Indonesia, dan lain-lain.

Klimaks kegiata PKI dengan segala aparatnya berbentuk pemberontakan yang

dilancarkan pada 1 Oktober 1965 dengan menyandang nama G30S/PKI. Gerakan ini

berhasil ditumpas oleh rakyat bersama ABRI dan mahasiswa.

Politik berubah, pers pun berubah, dengan sendirinya jurnalistiknya berubah. Akibat

punahnya Orde Lama diganti Orde Baru, hilanhlah pula Harian Rakyat, Bintang Timur,

Warta Bhakti, dan suratkabar komunis lainnya. Muncullah Harian Kami, API, Tri Sakti,

dan lain-lain yang diterbitkan oleh para mahasiswa.

Kembalilah pers Indonesia menghirup alam bebas, tetapi bukan bebas ukurans seperti

bebasnya pers liberal, melainkan bebas tanggung jawab pribadi, tanggung jawab sosial,

dan tanggung jawab nasional.

Materi atau Kasus yang Menonjol Peristiwa 17 Oktober 1952


Kasus ini dianggap penting karena kasus ini merupakan kasus pertama

penyalahgunaan sistem pers liberal tahun 1950-an. Kasus ini bermula dari Markas

Besar Angkatan Darat yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Angkatan Darat

merasa tidak senang dengan perdebatan yang terjadi di DPRS (Dewan Perwakilan

Rakyat Sementara). Perdebatan tersebut mengenai masalah-masalah ketentaraan.

Puncak peristiwa tersebut terjadi ketika Mosi Manai Sophiaan (PNI) diterima.

Mosi tersebut bertujuan menyelidiki keadaan dalam ABRI umumnya dan Angkatan

Darat khususnya, secara lebih seksama. Pada 17 Oktober 1952 terjadi pengobrak-

abrikan gedung DPRS, sementara itu istana dikelilingi oleh pasukan yang mengarahkan

meriam ke istana.

Oleh karena kejadian tersebut, terjadi polemik serius dan intens di kalangan pers.

Terjadi pro dan kontra terhadap peristiwa tersebut. Bahkan menurut Soebagijo I.N.

dalam buku PWI Jaya di Arena Masa, polemik yang terjadi berubah menjadi caci-maki

bersifat pribadi yang bisa dianggap ekses kebebasan pers pada saat itu.

Peristiwa Asa Bafagi 21 Agustus 1952

Asa Bafagih yang merupakan Pemimpin Redaksi harian Pemandangan, menyebarkan

berita berjudul Rentjana Gadji Baru untuk Pegawai Negeri. Minimum Rp 135,- dan

Maksimum Rp 2700,-. Berita tersebut berasal dari sumber yang tidak mau disebutkan

namanya. Dengan kata lain, harian Pemandangan menggunakan hak tolak dengan

melindungi sumber berita yang meminta identitasnya dirahasiakan.


Pada 7 Oktober 1952, Asa Bafagih dipanggil oleh Kejaksaan Agung untuk diperiksa.

Pemeriksaan tersebut dikarenakan pengaduan Sekretaris Kementerian Urusan

Pegawai yang menyatakan bahwa berita tersebut membocorkan rahasia negara. Akan

tetapi, sesuai dengan ketentuan Kode Etik Jurnalistik PWI, Asa Bafagih tetap

melindungi sumber informasinya dengan tidak mau menyebutkan namanya.

18 Maret 1953

Pemimpin Redaksi harian Pemandangan, Asa Bafagih kembali diperiksa oleh

Kejaksaan Agung terkait pemberitaan yang kembali dianggap membocorkan rahasia

negara. Berita tersebut berjudul 21 Perusahaan Industri di mana Mengetahui Menurut

Rentjana Modal Asing Baru, Dapat Diusahakan

Kalimat itulah yang menjadi judul berita utama surat kabar Pemandangan Nomor 142

Tahun 20 yang terbit pada Rabu, 18 Maret 1953. Pemandangan mengatakan bahwa

berita tersebut ditulis oleh koresponden kita sendiri. Dalam berita tersebut, disebutkan

bahwa pemerintah Indonesia berniat membuka keran penanaman modal asing di 21

sektor industri. Harian Pemandangan, di antaranya menyebutkan, perusahaan

makanan-minuman kaleng-botol sampai industri farmasi serta pabrik mobil dan traktor.

Pemandangan menuliskan berita tersebut didapat dari kalangan yang mengetahui.

Asa Bafagih pun kemudian diperiksa. Penyebab pemeriksaan Asa adalah surat dari

Perdana Menteri Wilopo yang meminta Jaksa Agung memeriksa Asa, karena berita

tersebut dianggap sebagai delik pers. Sekali lagi Asa Bafagih menggunakan hak tolak

karena sumber yang memberikan informasi yang dimaksud meminta agar identitasnya

dirahasiakan.
Tuduhan itu sangat berat, terutama karena datangnya dari Perdana Menteri sendiri,

kata Asa Bafagih seperti yang dikutip dari harian Pemandangan. Proses hukum kasus

itu rupanya berlarut-larut. Asa Bafagih dipaksa bolak-balik ke Kejaksaan Agung

sepanjang 1952-1953.

Pengurus Pusat PWI kemudian mengeluarkan petisi yang salah satunya berisi tuntutan

agar penuntutan kasus Asa Bafagih dihentikan.Selain mengeluarkan petisi yang

ditujukan ke Jaksa Agung, Pengurus Pusat PWI juga meminta Dewan Kehormatan PWI

memberikan sikap atas kasus yang dihadapi oleh Asa Bafagih.

Dewan Kehormatan PWI menimbang peristiwa tersebut pada 8 Agustus 1953.

Kemudian Wakil Dewan Kehormatan PWI Mr. Moh. Natsir dan Roeslan Abdulgani

sebagai anggota menyatakan supaya diadakan peninjauan kembali terhadap apa yang

dimaksud pemerintah dengan rahasia negara dalam kasus ini.

Mengenai hak ingkar, walaupun pemerintah belum mengakui kode etik secara formal,

sikap Asa telah diakui oleh kode etik. Seharusnya diambil kebijaksanaan dalam perkara

ini sesuai tuntutan PWI Kring Jakarta. Selain itu, Natsir dan Roeslan memperingatkan

pemerintah bahwa tuntutan tersebut dapat meregangkan hubungan pemerintah dengan

pers. Dewan Kehormatan PWI dalam simpulannya mengingatkan bahwa wartawan

dalam menjalankan profesinya, sepenuhnya berpedoman kepada ketentuan kode etik.

Sistem pers komunis


System pers komunis berkembang karena munculnya Negara unisoviet yang menganut

paham komunis pada awal abad ke20. System ini dipengaruhi oleh pemikiran karl marx

tentang perubahan sosial yang di awali oleh dialektika hegel. Pers dalam system ini

merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari Negara. pers

menjadi alat atau organ partai yang paling berkuasa sebagai alat propaganda Negara.

Filsafat yang mendasari system ini dalah absolutism, dimana Negara memegang penuh

kendali terhadap masyarakat. Masyarakat tidak akan mempunyai kebebasan. Segala

sesuatu digunakan untuk kepentingan Negara dan hak individu tidak diakui dalam

system ini.

Tujuan utama dari system pers ini ialah memberi sumbangan bagi kesuksesan dan

kelanjutan system sosialis sovyet terutama bagi kediktaktoran partai. Penggunaan

media hanya diperbolehkan di akses oleh anggota-anggota partai yang loyal. Hal-hal

yang dilarang adalah kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari taktik-taktik

partai. Dalam system ini media massa ialah milik Negara dan media sangat dikontrol

dengan ketat semata-mata di anggap sebagai tangan-tangan Negara.

Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di

lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan

masyarakat.Kekuasaan itu mencapai puncaknya

(a) jika digabungkan dengan semberdaya alam dan kemudahan produksi dan

distribusi ,Dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan.


Partai Komunis memiliki kekuatan organisasi ini. partai tidak hanya menylipkan dirinya

sendiri ke posisi pemimpin massa; dalam pengertian yang sesungguhnya, Partai

menciptakan massa dengan mengorganisirnya dengan membentuk organ-organ akses

dan kontrol yang merubah sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan

yang termobilisir.

Partai mengganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi

doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa.

Negara Soviet bergerak dengan program-program paksaan dan bujukan yang simultan

dan terkoordinir. Pembujukan adalah tanggungjawabnya para agitator, propagandis dan

media.

Komunikasi massa digunakan secara instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan

partai.Komunikasi massa secara erat terintegrasi dengan instrumen-instrumen lainnya

dari kekuasaan negara dan pengaruh partai.Komunikasi massa digunakan untuk

instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai. Komunikasi massa hampir

secara ekslusif digunakan sebagai instrumen propaganda dan agitasi.Komunikasi

massa ini punya ciri adanya tanggungjawab yang dipaksakan

Fungsi pers komunis itu sendiri adalah memberi bimbingan secara cermat kepada

masyarakat agar terbebas dari pengaruh-pengaruh luar yang dapat menjauhkan

masyarakat dari cita-cita partai. Antara teori totalitarian dengan teori otoritarian sama-
sama menggunakan kata kebebasan untuk masyarakat. Namun kebebasan masyarakat

bagi otoritarian adalah kepentingan bisnis, sedangkan bagi totalitarian berarti

kepentingan partai.

Dalam hal ini, pers Soviet harus melakukan apa yang terbaik bagi partai dan

mendukung partai sebagai sikap dan perbuatan moral yang berorientasi pada

kepentingan rakyat (manifestasi kehendak rakyat). Teori ini berpegang pada asas

kebenaran berdasarkan teori Marxis. Pers Soviet bekerja sepenuhnya sebagai alat

penguasa, yang dalam hal ini adalah partai komunis. Dimana Partai Komunis tersebut

dalam pengertian Marxis adalah rakyat. Berdasarkan pemahaman itu pers harus

mengikuti kebenaran rakyat, yaitu partai yang substansinya adalah pemerintah.

POIN UTAMA : Tujuan utama dari sistem pers ini adalah memberi sumbangan bagi

keberhasilan dan kelanjutan sistem sosialis Sovyet dan terutama bagi kediktatoran

partai. Penggunaan media hanya boleh diakses oleh anggota-anggota partai yang loyal.

Teori soviet komunis hampir sama dengan teori pers otoritarian, kalau otoritarian media

massa dilarang mengkritik jalannya system pemerintahan lain halnya dengan soviet

komunis media massa dilarang mengkritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari

taktik-taktik partai partai yang ada pada system ini adalah partai komunis dan

Penggunaan media hanya boleh diakses oleh anggota-anggota partai yang loyal. Pada

sistem pers ini, media massa adalah milik negara dan media sangat dikontrol dengan

ketat semata-mata dianggap sebagai tangan-tangan negara. Dalam teori Soviet,

kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga

sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat. Antara teori totalitarian


(soviet komunis) dengan teori otoritarian sama-sama menggunakan kata kebebasan

untuk masyarakat. Namun kebebasan masyarakat bagi otoritarian adalah kepentingan

bisnis, sedangkan bagi totalitarian berarti kepentingan partai. Dalam hal ini, pers Soviet

harus melakukan apa yang terbaik bagi partai dan mendukung partai sebagai sikap dan

perbuatan moral yang berorientasi pada kepentingan rakyat (manifestasi kehendak

rakyat). Teori ini berpegang pada asas kebenaran berdasarkan teori Marxis. Pers Soviet

bekerja sepenuhnya sebagai alat penguasa, yang dalam hal ini adalah partai komunis.

Dimana Partai Komunis tersebut dalam pengertian Marxis adalah rakyat. Berdasarkan

pemahaman itu pers harus mengikuti kebenaran rakyat, yaitu partai yang substansinya

adalah pemerintah.

Sistem pers soviet menganut beberapa prinsip sebagai berikut:

a) Media Massa harus melayani kepentingan dan berada dalam kontrol kelas pekerja.

b) Kalangan swasta tidak dibenarkan memiliki media.

c) Media harus selalu melakukan tugas fungsi positif bagi masyarakat dengan cara

melakukan upaya sosialisasi norma-norma yang diinginkan, pendidikan, penerangan,

motivasi dan mobilisasi.

d) Dalam menjalankan seluruh tugasnya kepada masyarakat, media harus tanggap

terhadap kebutuhan dan keinginan khalayaknya.


e) Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya dalam upaya

mencegah atau memberikan hukuman setelah terjadinya peristiwa publikasi yang

bersifat anti-sosial

f) Media harus memberikan pemikiran dan pandangan yang lengkap dan objektif

mengenai masyarakat dan norma yang sesuai dengan ajaran Marxisme-Leninisme.

g) Wartawan adalah kalangan profesional yang bertanggung jawab yang memiliki

tujuan dan cita-cita yang selaras dengan kepentingan utama masyarakat.

h) Media harus mendukung gerakan-gerakan progresif di dalam dan di luar negeri

Di tahun-tahun akhir 1980 an pers Rusia memperoleh tingkat kebebasan yang

tak pernah dicapai sebelurnnya selama hampir tiga abad; beberapa analis bahkan

menyebut tahun-tahun perestroika sebagai zaman keemasan (Tolz, 1992). Akan

tetapi, sejak 1990, keadaan dari media cetak memburuk disebabkan oleh tekanan

ekonomi dan ketergantungannya yang bertambah parah kepada subsidi pemerintah.

Sampai saat ini hanya beberapa penerbitan yang telah mencapai kemerdekaan

finansial dari pemerintah atau kelompok politik tertentu yang melihat mereka (dalam

tradisi lama negara itu) sebagai corong ke masyarakat dan sebagai alat untuk

penguasaan politik. Tugas untuk menyusun dan memperkuat masyarakat

demokratis,merupakan persyaratan bagi kebebasan mereka yang sebenarnya dan

abadimemerlukan tanggung jawab dan mempunyai efek dibandingkan penggulingan

mesin komunis. Orang-orang soviet mengatakan bahwa pers nya bebas untuk

menyatakan kebenaran, sedangkan pers dengan apa yang dinamakan sistem liberal

dikontrol oleh kepentingan bisnis.


Perbedaannya dengan teori-teori pers lainnya adalah:

a) Dihilangkannya motif profit (yakni prinsip untuk menutup biaya) pada media.

b) Menomorduakan topikalitas.

c) Jika dalam teori pers penguasa orientasinya semata-mata pada upaya

mempertahankan status-quo, dalam teori pers komunis Soviet orientasinya adalah

perkembangan dan perubahan masyarakat (untuk mencapai terhadap kehidupan

Kasus

Tamatnya pemerintahan komunis di USSR yang diikuti dengan pecahnya Uni Soviet

telah mendatangkan kehancuran dan penyusunan kembali hampir semua elemen dasar

yang ada di negara tersebut. Sebagian dari proses itu disumbangkan oleh mass media,

yang membawa kejatuhan dari sistem pers dan penyiaran yang lama. Glasnot, yang

aslinya merupakan kebijakan resmi Partai Komunis, menurut konsepnya, seharusnya

diarahkan untuk membuka diskusi kritis mengenai masa lalu negeri tersebut dan

mengenai cara-cara untuk memperbaiki sosialisme di USSR, telah mematahkan

belenggu sensor dan berkembang melewati semua batasan-batasan yang ada dan

mengarah kepada kemerdekaan berbicara dan kemerdekaan pers. Prestroika,

bertujuan untuk menyusun kembali ekonomi dan masyarakat Soviet yang berlangsung
antara 1985 dan 1991, telah menciptakan lingkungan-lingkungan material yang baru

menciptakan fondasi untuk perkembangan pers dan penyiaran. Tahun 1992 sampai

1994 merupakan masa yang paling tak stabil bagi Rusia, yang akan membuat setiap

penelitian terancam menjadi basi saat dipublikasikan.

Sampai akhir-akhir ini, media masa Soviet tidak mempunyai dasar hukum. Aktivitas

mereka di atur oleh keputusan yang dibuat oleh badan-badan dan fungsinalis Partai

Komunis. Surat keputusan tersebut mengenalkan cara-cara sementara dan luar biasa

untuk menghentikan aliran kotoran dan fitnah dan tak pernah dicabut selama tujuh

dasa warga pemerintahan Soviet. Kebebasan penuh dalam batasan tanggung jawab di

depan pengadilan yang dijanjikan dalam teksnya, yang akan direalisir oleh

perundangan yang luas dan progresif muncul melalui Undang-undang Pers dan Media

lain di USSR (1 Agustus 1990) dan Undang-undang Federasi Rusia mengenai Media

Masa (8 Februari, 1992).

Kebebasan informasi masa dalam hukum Rusia bersifat tak terbatas (kecuali dengan

legilasi) untuk mencari, mendapatkan dan membuat serta menyebarkan informasi;

kebebasan untuk mendirikan outlet media masa dan memilikinya, menggunakannya

serta mengaturnya; dan kebebasan untuk mempersiapkan, memperoleh dan

mengoperasikan peralatan dan perlengkapan teknis, bahan-bahan mentah serta materi

yang diperuntukkan bagi produksi dan distribusi produk-produk media masa.

Hukum Rusia menekankan ketidak layakan penyensoran, yang aslinya dikemukakan

dalam Pasal 1 Undang-undang USSR mengenai Pers dan Media Masa yang Lain
(Undang-undang Pers USSR). Untuk memonitor pelaksanaan statuta pers, diciptakan

suatu badan khusus, Inspektorat Negara untuk Melindungi Kebebasan Pers dan

Informasi Masa pada bulan September 1991 dengan mandat untuk mengusut

pemerintah, pendiri, redaksi penerbitan dan stasiun radio serta TV apabila melakukan

pelanggaran hukum. Badan ini dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk

menutup organisasi media. Undang-undang Dasar Rusia yang dipakai dalam

referendum nasional tanggal 12 Desember 1993 merupakan hukum paling mutakhir

dan mungkin paling penting yang menjamin kebebasan pers dan kebebasan berbicara.

Pelarangan penyensoran disebutkan dalam undang-undang tersebut (Pasal 29) bahwa

setiap orang berhak untuk dengan bebas mencari, mendapatkan, memancarkan,

membuat dan menyebarkan informasi dengan cara apapun yang tidak bertentangan

dengan hukum.Runtuhnya Pers Pusat Sampai sekitar 1990, koran-koran di USSR

mempunyai struktur piramida yang stabil.

Di puncaknya bertengger pers pusat: berlokasi di Moskow, koran atau majalah yang

mempunyai distribusi nasional yang menampilkan kebijakan resmi Partai Komunis,

pemerintah, dan berbagai badan pusat, baik milik negara atau milik masyarakat.

Meskipun jumlah perusahaan pers pusat ini hanya 3% dari jumlah perusahaan koran,

akan tetapi sirkulasinya sebesar 73% dati keseluruhan sirkulasi media masa di Uni

Sovyet. Meskipun tidak ada hubungan antara publikasi-publikasi lokal dengan publikasi-

publikasi pusat, akan tetapi jalur komando antara badan-badan yang mengaturnya

seakan-akan menggambarkan hubungan seperti antara tuan dan budaknya. Meskipun


puncak piramida mempunyai jumlah koran dan majalah yang sedikit, penerbitan

nasional ini merupakan penerbitan yang paling populer di pedalaman.

Koran-koran ini isinya hampir sama, seringkali pula dengan opini dan editorial yang

sama yang bukan cuma menjelaskan pandangan partai mengenai isu-isu politik tertentu

akan tetapi juga bertindak, dalam tradisi Leninis yang terbaik, sebagai kolektif

propagandis, kolektif agitator dan kolektif organisatoris. Majalah mempunyai

kebebasan sebagai press kelas dua, karenanya mereka dapat membuat variasi gaya

dan rasio propaganda mereka dalam bentuk cerita-cerita, hiburan. Dari tahun 1986

sampai 1988 Mikhael Gorbachev menanamkan orang-orang yang secara politis setia

kepadanya sebagai editor-editor disurat kabar besar, sehingga peran pers pusat

menjadi penting untuk meningkatkan reformasinya. Sebagaimana yang bisa dibaca di

mana-mana penerbitan nasional dapat dipakai untuk berhubungan dengan masyarakat

tanpa harus melewati hambatan oposisi. Kolom surat-surat pada redaksi mereka

menjadi jalan yang siap untuk menampung partisipasi mereka dalam perestroika.

Prestise dan kebebasan yang diberikan oleh Kremlin pada para jurnalis membuat

mereka ini menjadi sekutu alami. Tiba-tiba datang kejadian yang tidak diharapkan oleh

para birokrat. Undang-undang mengenai Pers dan Media Masa lain dari USSR

mengharuskan semua penerbitan di daftarkan secara resmi dengan badan-badan

negara.

Pada dasarnya, prosedur ini memberi kesempatan bagi star redaksi untuk mencari dan

mendaftarkan pendiri yang mungkin berbeda dari majikan lama mereka, atau bahkan

mungkin mendaftarkan koran-koran itu atas nama mereka sendiri. Tindakan ini
menciptakan ancaman nyata pertama kali atas piramida tersebut dengan cara

memisahkan outlet- outlet yang baru bebas dari garis komando yang lama. Pada saat

yang bersamaan,para redaktur yang berani dan orang-orang kaya baru mulai mengisi

kekosongan kekosongan ini. Letupan kedua terjadi pada tahun 1991 dengan adanya

larangan terhadap Partai Komunis dan nasionalisasi yang dilakukan terhadap hak milik

mereka.

Hal ini melahirkan pendaftaran kembali ribuan penerbitan. Beberapadiantaranya milik

partai komunis terutama tingkat propinsi didatarkan dengan nama berbeda (kata-kata

seperti kommunist , pravda dan sovetsky sudah menjadi usang); disamping itu

beberapa yang lainnya memakai susunan redaksi yang berbeda, dan yang pasti

mereka semua membebaskan diri dari penguasa mereka karena partai yang

menguasainya tidak lagi berkuasa. Dengan di cabutnya tonggak pemersatu ini,

keseluruhan sistem pers pusat lokal menjadi ambruk karena mekanisme partai yang

mendukungnya lenyap. Dalam beberapa hal negara mencoba untuk meniru sistem

lama dengan menciptakan struktur yang serupa dengan struktur pemerintah dan pers di

Moskow dan di republik-republik tetapi dengan atmosfir otonomi yang lebih besar dari

pemerintahan lokal dan pengurangan jepitan politik (dan, sampai batas tertentu,

keinginan politis) untuk menjalankan tekanan tersebut tetapi hal itu tidak membawa

hasil. Tahun 1989 dan 1990 merupakan puncak popularitas bagi media masa pada

tahun-tahun setelah Perestroika dimulai. Saat itu merupakan saat masyarakat

mempunyai harapan-harapan politik tertinggi: saat Kongres Pembantu-pembantu

Rakyat diamati langsung di televisi dan didengarkan di radio dengan perhatian yang
begitu tinggi sehingga penurunan tajam angka-angka produksi industri dicatat selama

hari-hari tersebut. Dapat dikatakan itulah masa keracunan dengan Glasnost. Tiga

tahun berikutnya terlihat pertumbuhan ketidak percayaan media terhadap kemunduran

apatisme politik umum dan krisis ekonomi yang serius.

Faktor terakhir ini menyebabkan keluarga tradisional untuk mengurangi langganan

penerbitan mereka dari lima atau enam menjadi hanya satu penerbitan saja. Media

tidak lagi dipandang oleh masyarakat sebagai sumber bantuan dan harapan atau

sarana untuk mengutarakan pendapat mereka. Pada tahun 1988 mulai ada

kecenderungan untuk lebih menyukai pers lokal dibandingkan dengan pers pusat.

Pertama kali, hal itu terlihat jelas di republik-republik Persatuan yang pemikiran

rakyatnya di dominasi oleh faham nasionalisme. Dengan bertambahnya kebebasan

yang diperoleh dari Moskow, maka terciptalah kebutuhan untuk kisah-kisah

nasionalisme yang memberikan jalan bagi ketertarikan pada berita-berita lokal. Riset

menyatakan bahwa perhatian terhadap masalah-masalah dunia atau politik nasional

telah menurun dengan tajam pada dua tahun terakhir ini. Kebanyakan orang Rusia

pertama dan terutama ingin membaca hal-hal yang berkenaan dengan biaya hidup dan

kriminalitas dengan kata lain, persis dengan apa yang disajikan oleh pers lokal. Salah

satu dari topik-topik yang kurang populer adalah masalah-masalah kesukuan,

kehidupan di republik-republik lain bekas USSR dan politik luar negeri yang

kesemuanya sangat menonjol di penerbitan nasional.

Siapa Yang Memiliki Pers? Sebagaimana yang diutarakan di atas, pers di USSR dimiliki
oleh Soviets, aparat negara, dan organisasi umum (semuanya dikendalikan oleh Partai

Komunis), atau langsung oleh partai, atau oleh kombinasi dari ketiganya. Dengan

tumbangnya penguasa komunis, Soviet dan lembaga-lembaga negara menjadi pemilik

utama, terutama pada tingkatan lokal. Pada tahun 1993 ada sebanyak 200 koran

partai,12 diantaranya diterbitkan di Moskow dan 18 di St. Petersburg. Kebanyakan

partai-partai tersebut berhasil. menerbitkan hanya beberapa edisi dari koran atau

buletin mereka sebelum kemudian rontok.Evaluasi kasar dari struktur kepernilikan pers

Rusia menunjukkan bahwa 29% koran nasional dimiliki pemerintah federal, 30%

menjadi milik organisasi publik danpartai, dan 41 % milik swasta; 21 % koran regional

yang dimiliki pemerintah federal sementara 22% dimiliki swasta; sedangkan pers tingkat

kota, 85% dimiliki oleh pemerintah kota sedang sisanya dimiliki oleh swasta atau umum.

Dari semua koran yang tercatat di Rusia pada tahun 1993, 57,1% merupakan milik

pribadi, 23,1% milik negara (5.8% milik pemerintah kota), dan 19,8% milik organisasi

umum dan partai politik (Bekker & Gurevich, 1993). Masalah subsidi menampilkan

aspek yang paling pelik dan rawan dalam hubungan antara negara dan media masa di

Rusia. Di satu sisi, ketergantungan finansial dari pers terhadap negara memberikan

dasar yang penting untuk mempertanyakan independensi media, obyektifitas dan

keseimbangan pelaporan. Disisi lain, beberapa pihak mengatakan bahwa pers dan

penyiaran, apabila diperhatikan, bukan hanya berupa alat politis atau usaha komersial

saja akan tetapi juga merupakan lembaga yang memberikan keuntungan kultural dan

pendidikan bagi masyarakat yang harus menikmati perlindungan dari negara. Idealnya

prioritas bantuan diberikan pada surat kabar-surat kabar yang ditujukan untuk anak-

anak dan pemuda, orang cacat, kelompok minoritas dan majalah-majalah sastra dan
kebudayaan. Bersamaan dengan itu, berdasarkan keputusan-keputusan terpisah dari

pemerintah, donasi yang besar diberikan kepada koran-koran dengan sirkulasi besar

yang bekerja untuk apa yang dinamakan ruang informasi bersama di bekas Uni

Sovyet, seperti Trud dan Komsomolskaya pravda. Angka yang pasti dari subsidi

tersebut tidaklah tetap. Salah satu alasannya adalah bahwa anggaran tersebut terus

menerus direvisi dengan mempertimbangkan inflasi saat itu yang mencapai hampir 1 %

setiap hari. Lebih-Iebih lagi, pejabat pemerintah memberikan angka yang berbeda-beda

satu sama lain. Disamping itu, penerbit-penerbit penerima subsidi lebih suka untuk

menekan angka-angka atau mengatakan bahwa mereka tidak dapat memperoleh

jumlah yang dialokasikan sementara itu pesaing-pesaing mereka cenderung untuk

menggelembungkannya. Secara hypotetis dapat dikemukakan bahwa ketergantungan

media pada subsidi dapat berbalik akibatnya pada pemerintah sendiri apabila

kebutuhan pers terhadap injeksi anggaran tidak dapat dipenuhi. Kemudian kekuatan

keempat ini akan mendukung kekuatan oposisi dan berusaha untuk menegakkan

pemerintahan yang lebih memperhatikan kebutuhan mereka. Distribusi nasional pers di

Rusia adalah monopoli. Distribusi dikuasai oleh Rospechat (Pers-Rusia), badan semi

independen di bawah Kementerian Komunikasi. Argumentasi yang pantas di sini

menunjukkan bahwa Rospechat, dilihat oleh badan-badan negara sebagai badan usaha

kebanyakan, yang membayar semua pelayanannya dengan tarif yang sama, misalnya,

dengan restoran atau hotel untuk turis asing. Pengiriman sebuah koran, yang dibayar

oleh seorang pelanggan, jarang sekali dapat di cover oleh badan tersebut. Kerugian

seperti ini biasanya ditutup oleh keuntungan dari pelayanan telekomunikasi, tetapi saat

itu ditutup dengan surat keputusan presiden, sejak 1993 pelayanan-pelayanan ini
dibebaskan dari kantor Pos. Sampai awal 1990 an sistem kantor berita di USSR terdiri

atas TASS (Telegraph Agency of the Soviet Union) dengan 14 anak perusahaannya di

republik Persatuan dan Novusti Press Agency. Saat ini, Rusia saja mempunyai 400

kantor berita.

Dengan runtuhnya USSR, TASS berubah menjadi the Information Telegraph Agency of

Russia, IT AR- TASS, memakai singkatan TASS sebagai trademark yang sudah dikenal

saja. Selama berpuluh tahun setelah pendiriannya di tahun 1925. TASS berada

dibawah pengawasan Dewan Menteri USSR, kemudian dibawah Presiden USSR, pada

tahun 1991 menunjuk bekas Sekretaris Persnya Vitaly Ignatenko sebagai Direktur

Jendralnya. Pada saat keemasannya di pertengahan 1980 an, TASS mempunyai biro-

biro dan koresponden di 110 negara aging (saat ini hanya tinggal 75 negara), menjadi

sumber informasi utama bagi rakyat Sovyet tentang kehidupan di luar negeri dan

peristiwa-peristiwa di dalam negeri; saat itu merupakan salah satu kantor berita lima

besar dunia.Kantor berita ini masih merupakan badan setengah resmi yang dipakai oleh

pemerintah Rusia untuk membuat pandangan-pandangannya diketahui secara luas

oleh publik dunia, disamping untuk mengedarkan dokumen-dokumen resmi. Yang akan

kita saksikan dimasa yang akan datang adalah kelahiran dan penguatan dari kantor-

kantor berita tingkat lokal, yang dilihat oleh parlemen dan pemerintah bekas republik-

republik otonomi sebagai bagian yang paling penting dari kedaulatan mereka yang

sedang tumbuh.

Di tahun-tahun akhir 1980 an pers Rusia memperoleh tingkat kebebasan yang tak

pernah dicapai sebelurnnya selama hampir tiga abad; beberapa analis bahkan
menyebut tahun-tahun perestroika sebagai zaman keemasan (Tolz, 1992). Akan

tetapi, sejak 1990, keadaan dari media cetak memburuk disebabkan oleh tekanan

ekonomi dan ketergantungannya yang bertambah parah kepada subsidi pemerintah.

Sampai saat ini hanya beberapa penerbitan yang telah mencapai kemerdekaan

finansial dari pemerintah atau kelompok politik tertentu yang melihat mereka (dalam

tradisi lama negara itu) sebagai corong ke masyarakat dan sebagai alat untuk

penguasaan politik. Tugas untuk menyusun dan memperkuat masyarakat demokratis,

merupakan persyaratan bagi kebebasan mereka yang sebenarnya dan abadi,

memerlukan tanggung jawab dan mempunyai efek dibandingkan penggulingan mesin

komunis. Penutup Kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan di atas, sistem pers

soviet menganut beberapa prinsip sebagai berikut:

a) Media Massa harus melayani kepentingan dan, dan berada dalam kontrol kelas

pekerja.

b) Kalangan swasta tidak dibenarkan memiliki media.

c) Media harus selalu melakukan tugas fungsi positif bagi masyarakat dengan cara

melakukan upaya sosialisasi norma-norma yang diinginkan, pendidikan, penerangan,

motivasi dan mobilisasi.

d) Dalam menjalankan seluruh tugasnya kepada masyarakat, media harus tanggap

terhadap kebutuhan dan keinginan khalayaknya.


e) Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya dalam upaya

mencegah atau memberikan hukuman setelah terjadinya peristiwa publikasi yang

bersifat anti-sosial.

f) Media harus memberikan pemikiran dan pandangan yang lengkap dan objektif

mengenai masyarakat dan norma yang sesuai dengan ajaran Marxisme-Leninisme.

g) Wartawan adalah kalangan profesional yang bertanggung jawab yang memiliki tujuan

dan cita-cita yang selaras dengan kepentingan utama masyarakat.

h) Media harus mendukung gerakan-gerakan progresif di dalam dan di luar negeri

Sistem pers tanggung jawab sosial

Sistem komunikasi yang berdasar tanggung jawab sosial (social responsibility system)

muncul pada abad ke-20 sebagai modifikasi terhadap sistem libertarian. Teori ini

diperkenalkan oleh Theodore Peterson dalam buku Four Theory of The Press. Menurut

Peterson, kebebasan dan kewajiban bertanggung selalu berdampingan. Pers bebas

dalam negara penganut demokrasi memiliki kewajiban dan tanggung jawab kepada

masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

Pada dasarnya fungsi pers di bawah teori tanggung jawab sosial sama dengan fungsi

pers dalam teori libertarian, yaitu:

a) Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan tentang

masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.


b) Memberi penerangan kepada masyarakat sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat

mengatur dirinya sendiri.

c) Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga (watch

dog) yang mengawasi pemerintah.

d) Melayani sistem ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau

jasa melalui medium periklanan.

e) Menyediakan hiburan

f) Mengusahakan sendiri biaya finansial sedemikian rupa sehingga bebas dari tekanan-

tekanan orang yang mempunyai kepentingan.

Teori tanggung jawab sosial berpegang pada pengetahuan manusia. Dengan rasionya,

manusia dapat membedakan mana hal-hal yang bermanfaat, yang baik dan mana yang

tidak baik dan tidak bermanfaat dan tidak baik. Jika manusia tersebut bekerja dalam

wilayah pers maka ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik,

sehingga semua pesan-pesan komunikasi dan informasi yang dikeluarkan oleh pers

dapat dipertanggungjawabkan dengan sepenuhnya.

Teori tanggung jawab sosial berasal dari inisiatif orang Amerika Komisi Kebebasan

Pers atau the Commission of Freedom of the Press. Pendorong utamanya adalah

tumbuhnya kesadaran bahwa dalam hal-hal tertentu yang penting, pasar bebas telah

gagal untuk memenuhi janji akan kebebasan pers dan untuk menyampaikan maslahat

yang diharapkan bagi masyarakat.Teori tanggung jawab sosial mempunyai inti

pemikiran: siapa yang menikmati kebebasan juga memiliki tanggung jawab tertentu
kepada masyarakat. Teori ini muncul karena teori libertarian dinilai terlalu

mementingkan kebebasan.

Lalu, apakah teori ini dapat diterapkan di sebuah negara? Menurut Denis McQuail

dalam bukunya Mass Communication Theory, teori tanggung jawab sosial dapat

diterapkan secara luas, karena ia meliputi beberapa jenis media cetak privat dan

lembaga siaran publik, yang dapat dipertanggungjawabkan melalui berbagai bentuk

prosedur demokratis pada masyarakat. Landasan utamanya adalah: asumsi bahwa

media melakukan fungsi yang esensial dalam masyarakat, khususnya dalam hubungan

dengan plitik demokrasi, pandangan bahwa media seyogyanya menerima kewajiban

untuk melakukan fungsi itu terutama dalam lingkup informasi, dan peneyediaan ruang

bagi bagi berbagai pandangan yang berbeda, penekanan pada kemandirian media

secara maksimum, konsisten dengan kewajibannya kepada masyarakat, penerimaan

pandangan bahwa ada standar prestasi tertentu dalam karya media yang dapat

dinyatakan dan seyogyanya dipedomani.

Prinsip utama teori tanggungjawab sosial sekarang dapat disajikan sebagai berikut:

I. Media seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu pada

masyarakat.

II. Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar

yang tinggi atau profesionalitas tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan,

objektifitas dan keseimbangan.


III. Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media

seyogyanya dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang

ada.

IV. Media seyogyanya menghindari segala sesuatu yang mungkin

menimbulkan kejahatan, kerusakan, atau ketidak tertiban umum atau penghinaan

terhadap minoritas etnik atau agama.

V. Media secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan

mencerminkan kebhinekaan masyarakatnya, dengan memberikan kesempatan yang

sama untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.

VI. Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama,

memilikihak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat

dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.

VII. Wartawan dan media profesional seyogyanya bertanggungjwab

terhadap masyarakat dan juga kepada pemilik modal serta pasar.

Berbeda pendapat dengan McQuail yang berpendapat bahwa teori tanggung jawab

sosial dapat diaplikasikan secara luas, Soemarno dalam modul Perbandingan Sistem

Komunikasi menyatakan, dalam kenyataannya sistem tanggung jawab sosial tidak

dapat dipraktekkan dan hanya menjadi teori semata dengan alasan sebagai berikut:
Dua teori lainnya,social responsibility theory (teori pers bertanggungjawab social) dan Soviet

communist theory (teori pers komunis Soviet) dipandang sebagai modifikasi yang diturunkan

dari kedua teori sebelumnya.Teori pers bertanggungjawab social dijabarkan berdasarkan

asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan.

Dalam pers bebas,para pemilik dan para operator pers yang terutama menentukan fakta-fakta

apa saja yang boleh disiarkan kepada publik (fungsi gatekeeper) dan dalam versi apa (fungsi

framing berita).Teori pers libertarian tidak berhasil memahami masalah-masalah proses

kebebasan internal dan proses konsentrasi pers.Teori pers bertanggungjawab social yang ingin

mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggungjawab social

. Rumusan ini dimuat dalam laporan Commission on the Freedom ,1949,dengan ketua Robert

Hutchins.

Ada 5 syarat bagi pers yang bertanggungjawab kepada masyarakat,yaitu:

1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya,lengkap dan

cerdas dalam konteks yang memberikannya makna.

2. Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik.

3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok

konstituen dalam masyarakat.

4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.


5. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi informasi yang tersembunyi pada

suatu saat.

Pengaruh laporan komisi tersebut sedikit banyak memberi warna terutama seputar tuntutan

masyarakat Amerika agar pers untuk lebih memperhatikan kepentinganmasyarakatnya.

Baru tahun 1956,pers Amerika mulai meninggalkan prinsip-prinsip teori pers libertarian dan

bergeser ke pers yang bertanggungjawab social.Inilah bentuk kebebasan pers yang

dikehendaki masyarakat Amerika yaitu kebebasan yang selalu dengan syarat terhadap

kewajiban-kewajiban pers kepada masyarakat.Fungsi mendidik media massa perlu diberi ruang

dan bobot yang lebih.Jangan hanya mencari keuntungan saja,tetapi juga menterjemahkan

dengan tepat dari idealismenya (Sinansari Ecip,2000:77).

Siebert dkk dalam bukunya Empat Teori Pers menetapkan 6 fungsi pers dalam system pers

yang bertanggungjawab social,yaitu:

1. Melayani system politik yang memungkinkan informasi,diskusi dan konsiderasi tentang masalah

masalah publik dapat diakses oleh masyarakat.

2. Memberikan informasi kepada publik untuk memungkinkan publik bertindak bagi kepentingannya

sendiri.

3. Melindungi hak hak individu dengan bertindak sebagai watcdog erhadappemerintah.


4. Melayani system ekonomi dengan adanya iklan dalam media,mempertemukan pembeli dan

penjual.

5. Memberikan hiburan yang baik,apapun hiburan itu dalam media.

6. Memelihara otonomi dibidang finansial agar tidak terjadi ketergantungan kepada kepentingan-

kepentingan dan pengaruh-pengaruh tertentu.

Teori pers bertanggungjawab social ini merupakan teori baru dan memberikan banyak informasi

dan menghimpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkatan kecerdasan.Teori ini tidak

disukai oleh pers bebas atau libertarian,yakni menjalankan etika pers dan menjamin suara

minoritas atau oposisi dalampemberitaannya.Teori bertanggungjawab social banyak dianut

negara berkembang dengan tingkat pendidikan masyarakat yang relatif maju

a. Dua Ambang Kecenderungan

Sistem tanggung jawab sosial berada diantara dua sistem komunikasi lainnya, yaitu

autoritarian dan libertarian. Manusia menginginkan kebebasan tanpa adanya kekangan

dan tekanan dari penguasa karena hal tersebut adalah hambatan untuk

mengembangkan cita-cita, ide atau kehendak, sehingga fungsi primer dari suatu sistem

tidak mungkin tercapai. Demikian pula dengan pers dan media massa yang tidak

menginginkan campur tangan pemerintah yang terlalu jauh.


Pers dan pemerintah berada dalam dua posisi yang berbeda karena keduanya memiliki

kepentingan yang berbeda. Dalam sistem tanggung jawab sosial, kecenderungan ke

arah autoritarian mungkin akan terjadi bila bila penguasa terlalu ketat mengendalikan

pers dalam bentuk peraturan dan perundangan dengan sanksi-sanksi hukumnya.

Dalam hal ini maka pers menjadi alat penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.

Sebaliknya, bila penguasa memberikan kebebasan kepada pers, maka sistem social

responsibility hampir menjadi seperti sistem libertarian.

Sistem tanggung jawab sosial terlalu menyerahkan tanggung jawab kepada individu

dan lembaga pengelola media massa tanpa memperhatikan nilai-nilai psikologis yang

ada pada diri manusia yang tidak lepas dari sifat subyektifnya, yang pada gilirannya

sifat ini akan mengait pada lembaga, organisasi tempat individu tersebut berkiprah.

b. Tidak Ada Pola tertentu

Sistem tanggung jawab sosial bersifat universal. Menurut William L.Rivers dalam

buku Responsibility in Mass Communication, perbedaan antara sistem tanggung jawab

sosial yang dipakai di negara penganut komunis dengan negara penganut paham

demokrasi yaitu terletak pada masyarakat dan sistem kepartaian yang dianutnya. Pada

negara komunis, tanggung jawab sosial dikondisikan dan dibatasi, sedangkan pada

negara demokrasi tanggung jawab sosial diserahkan kepada masyarakat dan tidak

pernah rapi.

Menurut Rivers, pemerintah tidak perlu ikut campur terlalu jauh dalam mengendalikan

kehidupan pers karena akan mengubah sistem menjadi lebih cenderung ke arah

autoritarian. Ungkapan ini menunjukkan bahwa tidak ada suatu negara yang
menerapkan sistem social responsibility secara utuh, sehingga tidak ada pola yang bisa

dijadikan ukuran perbandingan antara sistem ini dengan sistem lainnya.

c. Ajang Rebutan Para penyandang Modal

Penerapan sistem social responsibility memberikan dampak negatif terhadap proses

berlangsungnya transaksi-transaksi komuniaksi, terutama dalam hal pengelolaan media

massa, khususnya pers. Pers akan menjadi ajang rebutan para penyandang modal

karena pers merupakan bisnis yang sangat menguntungkan. Dalam kondisi tersebut,

pers tidak bisa melaksanakan fungsinya secara sehat dengan alasan sebagai berikut:

1) Pers akan menjadi alat bagi suatu kelompok yang mempunyai interest tertentu,

2) Para pemilik perusahaan lebih berorientasi kepada keuntungan bisnis atau komersial

ketimbang pada mutu mutu muatannya,

3) Media massa, khususnya pers sering memberikan perhatian terhadap hal-hal yang

tampak dari luar terlihat sensasional, sehingga sering gagal dalam menyajikan hal-hal

atau peristiwa-peristiwa kemanusiaan.

4) Media massa, khususnya persndikendalikan oleh salah satu kelas ekonomi, kelas-kelas

bisnis dan musuh.

5) Pemerintah bisa saja menggunakan lembaga atau organisasi yang mengontrol sistem

penyiaran sebagai kedok untuk mencapai kepentingannya.

6) Ekspresi yang ingin dituangkan oleh masyarakat masih dibatasi oleh peraturan yang

ada sehingga tidak semua bentuk ekspresi dapat dipublikasikan melalui media.

Contohnya saja gambar yang berbau porno, menurut seniman itu seni tetapi bagi orang
lain itu pornografi yang tidak patut dipublikasikan sehingga media tidak boleh

menyiarkannya.

d. Menimbulkan Disintegrasi

Orientasi para pemilik atau penguasa media massa terhadap bisnis atau komersial

memberi dampak tajam terhadap hal-hal sebagai berikut:

1) Media massa dapat menganggu kemerdekaan pribadi individu-individu warga

negara,

2) Media massa dapat membahayakan moral bangsa atau moral publik,

3) Munculnya berbagai opini yang dibentuk oleh media massa karena ragam

pemiliknya.

Kondisi semacam ini dapat menimbulkan disintegrasi keyakinan terhadap kehidupan

berbangsa dan bernegara, sehingga tujuan sistem (negara) tidak mungkin tercapai.

Kelebihan sistem pers tanggungjawab sosial :

1) Masyarakat bebas mengeluarkan pendapat atau mencari kebenaran yang

bertanggungjawab sehingga tidak ada pihak yang dirugikan baik pemerintah maupun

masyarakat itu sendiri.


2) Antara hak masyarakat dan pemerintah bisa seimbang.

2.5 BAGAIMANA ARTI SISTEM PERS DALAM KOMUNIKASI?


Arti Penting Pers dalam Sistem Komunikasi

Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Ia mempunyai karakteristik tersendiri

dibanding dengan sistem lain, misalnya sistem informasi manajeman, sistem dalam komunikasi

organisasi lain-lain. Unsur yang paling penting dalam sistem pers adalah media massa (cetak

dan elektronik). Media massa mempunyai fungsi untuk mempengaruhi sikap dan prilaku

masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau menolak kebijakan pemerintah.

Melalui media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa dilaksanakan oleh masyarakat.

Marshall Mc Luhan menyebutnya sebagai the extension of man (media adalah eksistensi

manusia). Dengan kata lain media adalah perpanjangan dan perluasan dari jasmani dan rohani

manusia. F.rachmadi (1990) berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap perasaan manusia

bisa disebarluaskan melalui pers. Wilbur Schramm (1973) pers dianggap sebagai pengamat,

forum dan guru. Artinya setiap hari pers memberikan laporan, ulasan mengenai kejadian,

menyediakan tempat (forum) bagi masyarakat untuk mengeluarkan pendapat secara tertulis

dan turut mewariskan nilai-nilai kemasyarakat dari generasi ke genarasi.

Pers memiliki dua sisi kedudukan. Pertama, sebagai medium komunikasi yang tertua dibanding

medium yang lain. Kedua, pers sebagai lembaga kemasyarakatan atau istitusi sosial

merupakan bagian integral dari masyarakat dan merupakan unsur asing atau terpisah

(Rachmadi, 1990).

Sebagai media yang merupakan unsur dalam sistem komunikasi, pers di indonesia memiliki arti

penting, yakni

1. Menjadi salah satu unsur sistem komunikasi. Tidak bekerjanya unsur yang satu ini akan

mempengaruhi kinerja sistem komunikasi, karena berbagai informasi yang terjadi tidak bisa

disebarkan secara cepat dan luas.


2. Tujuan pers juga menjadi tujuan sistem komunikasi itu sendiri. Jika sistem komunikasi

mempunyai tujuan mengurangi ketidakpekaan dalam pembuatan keputusan, maka melalui pers

semua itu bisa diatasi.

3. Pers adalah unsur pengolah data, peristiwa, ide atau gabungan ketiganya menjadi sebuah

aluran atau output ke dalam sistem komunikasi. Artinya, berbagai informasi yang diolah lewat

media menjadi hasil yang berguna bagi proses keluaran atau output sistem komunikasi.

2.6 DAMPAK NEGATIF DAN POSITIF DARI SISTEM PERS

KEBEBASAN PERS DAN DAMPAKNYA

A. Dampaknya dari penyalagunaan kebebasan Pers/Media Massa

Pers yang bebas tidak berlangsung jawab, sering menimbulkan dampak yang tidak baik

bagi masyarakat. Dewasa ini penggunaan pers atau media massa sebagai sarana

komunikasi sangatlah menguntungkan, karena kita bisa mendapatkan berita yang

hangat dengan cepat tanpa mengeluarkan uang yang banyak. Penggunaan teknologi

komunikasi modern yang bebas dan mudah didapat, harus didasari rasa tanggung

jawab yang tinggi. Hal itu diharapkan agar tidak terjadi dampak negatif yang merugikan.

Usaha pemerintah dalam membatasi kebebasan pers.


Berikut ini disebutkan faktor-faktor penyebab penyalahgunaan kebebasan berpendapat

dan berbicara.

1. Lebih mengutamakan keuntungan ekonomis ( bisnis oriented ).

2. Campur tangan pihak ketiga

3. Keberpihakan

4. Kepribadian

5. Tidak mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat.

1. Dampak bagi individu

a) Dampak positif bagi individu yaitu apabila suatu pemberitaan dapat meningkatkan nilai

positif pribadinya, sehingga akan mendorong masyarakat untuk berpendapat bahwa

dirinya adalah pribadi yang jujur dan benar.

b) Dampak negatif bagi individu yaitu bahwa apabila pemberitaan itu menghancurkan nilai

positif pribadinya di masyarakat , sehingga mengakibatkan opini masyarakat yang tidak

baik terhadapnya. Hal itu akan berdampak negatif pula pada aspek bisnis.
2. Dampak bagi masyarakat

a) Dampak positif bagi masyarakat yaitu apabila dapat menumbuhkan kesetiakawanan

sosial dan mewujudakan perwujudan persatuan dan kesatuan serta keamanan,

ketentraman, dan ketertiban.

b) Dampak negatif bagi masyarakat yaitu apabila menyebabkan hilangnya rasa

kesetiakawanan sosial, dan pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa serta timbulnya

gangguan terhadap keamanan, ketentraman, dan ketertiban.

3. Dampak bagi negara

a) Dampak positif bagi negara yaitu apabila dapat meningkatkan partisipasi, dukungan

dan keberpihakan rakyat kpada pemerintah, membantu pelaksanaan pembangunan

nasional agar berjalan lancar, dan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

b) Dampak negatif bagi negara yaitu apabila menyebabkan rakyat tidak percaya dan tidak

memberikan dukungan lagi terhadap pemerintah, kurang lancarnya pembangunan

nasional, dan memburuknya kondisi keamanan negara serta menurunnya tingkat

kepatuhan masyarakat tehadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.


B. Manfaat Media Massa dalam Kehidupan Sehari-hari

Media Massa sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.

Pengertian Komunikasi

Istilah komunikasi dalam bahasa inggris di sebut dengan communication, yaitu berasal

dari kata communication atau communis yang berarti sama atau sama dengan

pengertian bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunikasi berarti

pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga

pesan yang di maksud dapat dipahami. Menurut James A.F.Stoner komunikasi adalah

proses dimana sesorang berusaha memberikan pengertian dengan cara pemindahan

pesa. Selanjutnya William F.Glueck menjelaskan bahwa komunikasi dapat dibagi

menjadi dua bentuk, yaitu sebagai brikut.

1. Interpersonal Communications (komunikasi antarpribadi), yaitu proses pertukaran

informasi serta pemindahan pengertian antara dua orang atau lebih di dalam suatu

kelompok kecil manusia.

2. Organization Communications , yaitu proses dimana pembicara secara sistematis

memberikan informasi dan memindahkan pengertian kepada orang banyak di dalam


organisasi dan kepada pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga di luar yang ada

hubungan.

Tujuan Komunikasi

Tujuan komunikasi secara umun adalah sebagai berikut :

a) Supaya yang disampaikan komunikator dapat dimengerti oleh komunikan.

b) Agar manusia dapat memahami orang lain

c) Supaya gagasan kita dapat diterima orang lain.

d) Menggerakan orang lain untuk melakukan sesuatu.

Syarat-Syarat Terjadinya Komunikasi

a) Source (sumber), yaitu dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan, yang

digunakan dalam rangka memperkuat pesan itu sendiri.

b) Komunikator, yaitu yang menyampaikan pesan.


c) Pesan, yaitu keseluruhan yang disampaikan oleh komunikator.

d) Saluran (channel), yaitu saluran yang digunakan komunikator dalam menyampaikan

pesan.

e) Komunikan, yaitu penerima pesan dalam komunikasi dapat berupa individu, kelompok,

dan massa.

f) Effect (hasil), yaitu ha

g) sil akhir dari suatu komunikasi dalam bentuk terjadinya perubahan sikap dan perilaku

komunikan.

Manfaat Media Massa

a) Media audio, yaitu media komunikasi yang dapat didengar atau di tangkap oleh indra

telinga.

b) Media visual, yaitu media komunikasi yang dapat dibaca atau ditangkap oleh indra

mata.

c) Media audio visual, yaitu mendia komunikasi yang dapat dibaca dan didengar.
Untuk mendorong pertumbuhan media massa, maka isi pemberitaan dari siaran pers

dan media massa, sebaiknya adalah sebagai berikut:

a) Mengandung informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat bagi pembentukan

intelektualitas, watak, moral bangsa dan mengamalkana nilai-nilai agama dan budaya

indonesia.

b) Bersifat netral dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

c) Tidak bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan atau bohong.

d) Tidak menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika

e) Tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan anatr golongan.

f) Tidak memperolokan, merendahkan, melecehkan, dan mengabaikan nilai-nilai agama,

martabat, manusia Indonesia dan merusak hubungan internasional

Sudah dipahami makna dan gambaran bagaimana sistem pers otoritarian dan libertarian itu di

tulisan sebelumnya. dan perlu dipahami pula keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan.

berikut setidaknya menggambarkan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sistem pers

di atas
Sebelumnya saya sudah membahas apa itu otoritarian dan libertarian serta bagaimana kedua

teori itu berkembang dan implikasinya terhadap suatu Negara. Tentunya dari kedua system

tersebut memiliki sisi negative dan positif nya, dan itu semua akan saya bahas disini.

Teori Pers Otoritarian

Tujuan dari pers otoritarian adalah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang

berkuasa dan dimana media pada system ini selalu diawasi dan tidak boleh melakukan kritik

pada pemerintahan, maka pasti akan timbul banyak sisi Negatif dan teori ini :

Karena media yang seharusnya menjadi penghubung antara masyarakat dan pemeritah untuk

menyampaikan aspirasi tidak diperbolehkan untuk mengkritik dan mengetahui apa yang terjadi

di pemerintahan, itu membuktikan tidak adanya transparansi di pemerintahan yang tentunya

memberikan keleluasaan pada para penguasa untuk melakukan tidakan yang tidak baik seperti

korupsi, kolusi dan nepotisme yang pernah terjadi pada massa orde baru. Itu sangat mudah

dilakukan karena media dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah dan

tidak boleh ikut campur dalam pemerintahan bahkan untuk mengkritik sekalipun.

Sisi positif dari teori pers otoritarian, karena adanya pemusatan kekuasaan yang berada di

tangan pemerintah membuat pemerintah bebas melakukan apa saja. Pemerintah akan lebiah

mudah mengontrol konflik-konflik dalam masyarakat cenderung berkurang karena adanya

pengawasan hal-hal yang dianggap dapat menggoncangkan masyarakat, selain itu

mempermudah membentuk penyeragaman/integritas dan konsensus yang diharapkan

khususnya secara umum pada negara sedang membangun yang memerlukan kestabilan.

Teori pers Libertarian


Pada system pers libertarian lebiah menekankan pada individu dimana masyarakat dibebaskan

untuk berekspresi, berpendapat dan bahkan untuk mengkritik pemerintahan. Namun dari

system ini ada sisi negatifnya diantaranya Negara akan susah dikendalikan karena akan

banyak dari masyarakat yang melakukan kritik terhadap pemerintah bahkan akan sering terjadi

konflik antar masyarakat akibat terjadinya salah persepsi dan akan sulit dikontrol oleh

pemerintah.

Tapi sisi positif nya pada system liberal, media massa pers bukan alat pemerintah lagi

melainkan sebagai alat untuk menyajikan fakta, alasan, dan pendapat rakyat untuk mengawasi

pemerintah yaitu bisa sebagai melayani kebutuhan pendidikan politik masyarakat, Memberi

penerangan kepada masyarakat, Memberi hiburan kepada masyarakat, Melindungi hak warga

masyarakat

Pers Komunis

Dengan minimnya kebebasan pers di negara komunis seperti Soviet ada beberapa

dampak positif dan negatif yang ditimbulkan. Dampak negatif sistem pers komunis ini

adalah hanya menguntungkan kaum sosialis karena hanya memburu keberhasilan bagi

kediktatoran partai. Dan tidak semuanya berhak dapat menggunakan media dari sistem

ini karena hanya anggota-anggota partai yang loyal saja yang berhak.

Sedangkan kelebihan sistem pers komunis adalah media bebas melaksanakan tugas-

tugas sebagai instrument Negara da partai, bukan sebagai pihak-pihak yang bersaing

mendapatkan simpati public. Sistem ini menetapkan fungsi komunikasi massa secara

positif dengan mengatur rakyat agar mendukung pemimpin dan program-programnya.

Sistem ini dibangun atau diciptakan sebagai bagian dari perubahan dan untuk
membantu mencapai perubahan. Dan untuk membangun statusquo Soviet, tetapi selalu

dalam konteks perubahan dan perkembangan. Serta merupakan sistem pers terencana

yang bercampur kedalam partai dengan dibantu oleh organisasi-organisai dibawahnya

Pers tanggung jawab sosial

Dengan adanya kebebasan media massa maka akhirnya mengalami pergeseran ke

arah liberal pada beberapa tahun belakangan ini. Ini merupakan kebebasan pers yang

terdiri dari dua jenis : Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif.

1) Kebebasan negatif merupakan kebebasan yang berkaitan dnegan masyarakat

dimana media massa itu hidup. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari

interfensi pihak luar organisasi media massa yang berusaha mengendalikan,

membatasi atau mengarahkan media massa tersebut.

2) Kebebasan positif merupakan kebebasan yang dimiliki media massa secara

organisasi dalam menentukan isi media. Hal ini berkaitan dengan pengendalian yang

dijalankan oleh pemilik media dan manajer media terhadap para produser, penyunting

serta kontrol yang dikenakan oleh para penyunting terhadap karyawannya.

Kedua jenis kebebasan tersebut, bila melihat kondisi media massa Indonesia saat ini

pada dasarnya bisa dikatakan telah diperoleh oleh media massa kita. Memang

kebebasan yang diperoleh pada kenyataannya tidak bersifat mutlak, dalam arti media

massa memiliki kebebasan positif dan kebebasan negatif yang kadarnya kadang-

kadang tinggi atau bisa dikatakan bebas yang bebas-sebebasnya tanpa kontrol

sedikitpun.
Bebasnya pers, cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha, penguasa dan

politikus melanggengkan kekuasaannya. Kebebasan media juga menjadi kebebasan

untuk dimiliki siapa saja, termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan

semata. Telah menjadi rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong

tebal untuk mendirikan dan menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media

kemudian membungkus berita kritik dan pengungkapan kasus-kasus kejanggalan

kejahatan birokrat, pengusaha dan politikus dengan membalikkan media dengan

penyajian infotaimen, sinetron dan musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media

yang bebas, vulgar dan cenderung tidak beretika.

Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya

perlu sebagai lembaga ke-empat penyeimbang kekuatan legislatif, yudikatif dan

eksekutif yang mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni

pers yang memiliki keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung

merusak masyarakat. Pers idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja

profesional dan tindakan riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain. Merusak

citra pers dengan menyembunyikan fakta, mengurangi informasi dan membesar-

besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai berita dan tidak memiliki

kepentingan bagi masyarakat.

Sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan pemerintah, menentang,

atau bahkan mendua terhadap suatu kebijakan. Bisa saja bersikap pro atau kontra.

Media massa juga dapat menentukan diri sebagai lawan pemerintah atau bahkan

sebagai pengawal kebijakan pemerintah. Suara (kebijakan) pemerintah bisa menjadi


bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur yang terlibat dalam

pengelolaan media.

Ada ketakutan yang luar biasa apabila kebebasan Pers pada akhirnya menjadi celah

pada kepentingan para birokrat dan penguasa maupun pengusaha, hal ini sangat

memungkinkan terjadi untuk masa sekarang dan bahkan akan berkelanjutan untuk di

masa yang akan datang. Hal ini di tandai dengan terlibatnya beberapa pengusaha-

pengusaha besar media yang akhirnya terlibat dalam politik praktis secara langsung.

Keberadaan Media atau Pers pada akhirnya akan berpihak terhadap situasi politik

nasional yang berkaitan dengan kepentingan pribadi atau golongan tertentu dan pada

akhirnya akan lebih meninggalkan fungsi dari pres itu sendiri.

Kekuatan Media sebenarnya merupakan kekuatan ke 4 Strategis Bangsa Indonesia,

karena keterlibatan pres dapat ikut terlibat mewujudkan amanat rakyat sesuai dengan

cita-cita pembukaan UUD 1945 yaitu Mencerdaskan kehidupan Bangsa. Maka tidak

menjadi relevan apabila peran pres atau media di kendalikan oleh situasi dan dinamika

politik nasional yang jelas akan melunturkan dari cita-cita dan perjuangan strategisnya.

2.7 HAKIKAT PERS UMUMNYA DAN PERS INDONESIA

Hakikat Pers Umumnya Dan Pers Di Indonesia

Sejarah intelektual menyepakati suatu pendapat yang dimaksudkan dengan pers menurut Mott

(1969) adalah: variasi media yang dikelompokan atas lima:

(1) newspaper (surat kabar);

(2) general magazine and review (majalah umum dan laporan);


(3) class, trade, and proffesionals journals (jurnal untuk satu kelompok masyarakat tertentu,

profesi tertentu, kepentingan perdagangan;

(4) news magazine digest (majalah berita, dan majalah telaahan);

(5) radio dan televisi.Dari kelima pengelompokan itu penulis menganalisis pers dalam artian

pers cetak untuk umum (surat kabar dan majalah).

Secara teoritik peranan pers pada umumnya menggambarkan fungsi utama dari

publisistik sebagaimana diungkapkan Susanto (1977) yaitu:

(1) memberikan penerangan (informasi);

(2) mendidik;

(3) menghibur;

(4) mempengaruhi.

Begitu luas jangkauan peranan pers di tengah-tengah masyarakat serta pemerintah maka

menurut Fischer (1968) bahwa pers dapat menciptakan pengaruh timbal balik antara pers,

masyarakat, pemerintah. Maka pers sebagai media komunikasi massa memiliki aspek lain yaitu

ubiquitous (serba hadir) dan serba makna.

Mengapa ada sifat pers seperti itu? Arifin (1986) mengemukakan bahwa sifat serba hadir berarti

peranan pers itu ada dimana saja, kapan saja, pada suasana dan konteks apapun; sedangkan

sifat serba makna berarti komunikasi secara operasional dapat berarti jamak (terlihat dalam

pengkajian definisinya antara lain dapat berarti, proses, peristiwa, ilmu, kiat, dipahami,

hubungan/saling berhubungan, saling pengertian, dan pesan).

Justru itulah maka mempelajari pers dari segi sejarah intelektual sama dengan mempelajari

perkembangan kesadaran masyarakat. Karena pers dapat merupakan cermin yang

memantulkan lukisan masyarakat dengan segala dinamikanya, bahkan dapat menghidangkan

filsafat yang memberi landasan paradigma tentang apa yang sedang terjadi. Akibatnya kita tidak

perlu merasa heran bahwa warna isi pers itu bervariasi tentang semua bidang kehidupan

manusia. Sampai disini benarlah ungkapan Mc.Luhan bahwa, media massa umumnya
bertindak sebagai the extension of man(pernyataan keberadaan manusia) dalam wujud

pembawaan kodratnya misalnya dalam hasrat menyatakan diri, berdialog, menyerap apa yang

dilihat dan didiengarnya dan bersatu, bergaul dengan lingkungan dan dengan proses itu pers

menyatakan dan mengembangkan perikehidupan bermasyarakat. Kalau ini dikehendaki maka

tanpa jaminan kebebasan dan keleluasaan dalam memilih, mencari, mengumpulkan, mengolah,

dan menyebarluaskan informasi yang diperolehnya dari penguasa/pemerintah maka pers sulit

bertanggung jawab karena pers sendiri tidak bebas bertindak.

Dalam merealisasikan kebebasan itu tentu ditempuh berbagai cara yang sesuai dengan

konstitusi dan sistem hukum nasional, disinilah fungsi regulasi dan pemerintah dimunculkan.

Menurut Bridge (1983) bahwa, satu hal yang pasti, komunikasi menjadi demikian pentingnya di

negara yang sistem medianya juga dimiliki oleh swasta, sehingga negara membuat pengaturan

yang mengikat. Dan kalau terjadi kontrol pemerintah maka apa yang harus dipertahankan pers?

Maka Rauel Barlow seraya mengutip pendapat Alexander Hamilton dalam Mott (1969) bahwa,

kebebasan pers itu sebenarnya terdiri dari pernyataan pikiran-pikiranku dalam

menyebarluaskan kebenaran, dari dorongan yang murni demi kepentingan keadilan yang dicita-

citakan, walaupun harus mencela pemerintah maupun pribadi para pemimpinnya sekalipun.

Sehingga sikap pers harus melawan dengan mempertahankan keberadaannya secara esensial.

Permasalah pers pada umumnya sebagaimana dilukiskan di atas terjadi pula di Indonesia,

hanya tentunya dipengaruhi kuat oleh warna ideologi negaranya Pancasila.

Dalam UU Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982, pers diartikan sebagai suatu lembaga

kemasyarakatan yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu. Yang menarik adalah perubahan

beberapa terminologi. Misalnya perkataan revolusi (sebelum dalam UU Nomor 11 Tahun 1966)

diganti dengan perjuangan nasional. Pancasila, pembangunan. Dua kata terakhir ini dalam tiga
dekade terakhir menyebarluas sebagai konsep kunci, bukan saja oleh pers tetapi dalam

kehidupan masyarakat. Dan semua kekuatan masyarakat (termasuk pers) diarahkan untuk

senantiasa mengamankannya, ini membuktikan bahwa ikatan keberadaan pers sangat kuat

ditentukan oleh mati hidupnya suatu ideologi maupun pengalaman ideologi (pembangunan

sebagai pengamalan ideologi).

Demikian pula, misalnya pers Pancasila sebagai suatu paradigma, pers Indonesia merupakan

kelanjutan perubahan dan perkembangan gagasan intelektual masa lalu yang masih relevan

untuk terus dikaji secara intelektual. Itulah sebabnya maka pertanyaan mengenai apa,

mengapa, bagaimana seharusnya pers Pancasila jaul lebih penting secara akademik yang

merangsang kita untuk mencari rumusan yang pas.

2.8 PENGARUH SISTEM IDEOLOGI TERHADAP SISTEM PERS

Mott (1969) membagi sistem pers (dalam hubungannya dengan pemerintah) atas dua

macam. Pertama, kelompok yang mempunyai kemungkinan mengkritik dan mencela

pemerintah (pers bebas)

(1) pers semi bebas;

(2) pers sistem komunis Soviyet;

(3) dan sistem fasis (contohnya dibawah Hitler dan Mussolini).

Kedua, terdiri dari tipe pers yang berpegang teguh pada prinsipnya (fungsinya) dengan

tekanan pada opini, dan pers yang menekankan pada informasi dari berita/news. Kemudian

yang bertipe fungsi opini adalah yang tertua karena dimanfaatkan secara sepihak oleh

pemerintah, dan tipe yang menekankan pada news banyak dianut di negara kapitalis/liberal.

Kedua kelompok ini menurut (Wright, 1986); (Effendy, 1986); dan (Wilson, 1989), secara tepat

membagi dalam empat kategori, yaitu


(1) pers bersistem komunis Soviyet;

(2) liberal;

(3) otoriter; (

4) tanggung jawab sosial.

Isi ringkasan keempat sistem pers itu adalah sebagai berikut:

1. Sistem otoriter mengajarkan bahwa baik media pemerintah maupun swasta tergantung pada

pemerintah. Pengekangan dilakukan melalui berbagai metode, misalnya prosedur-prosedur izin,

sensor yang keras;

2. Sistem liberal, mengajarkan bahwa kebebasan media tanpa batas kontrol dari pemerintah;

3. Teori komunis Soviyet, mengajarkan peranan pers (radio, televisi, dan film) harus

memperoleh mandat penuh dari partai komunis/pemerintah karena fasilitas itu harus digunakan

untuk propaganda partai tentang manfestonya;

4. Teori tanggung jawab sosial, mengajarkan tanggung jawab moral dan sosial orang ataupun

lembaga-lembaga yang menjalankan media massa. Diantara tanggung jawab ini termasuk

kewajiban memberikan informasi dan diskusi terhadap publik tentang masalah-masalah sosial

yang penting dan menghindari aktivitas-aktivitas yang merugikan masyarakat.

Bagaimana sistem pers di Indonesia? Ini lah pertanyaan mendasar dari kajian ini. Kaitan pers

Indonesia dengan sejarah sosial politik yang membentuknya sangatlah erat.

Arifin (1988) berpendapat bahwa: pers Indonesia/pers nasional yang sekaligus

membedakannya dengan pers Cina maupun pers Belanda, yaitu adanya konsep perjuangan

dan kerakyatan. Karakteristik pers perjuangan nampak pada orientasinya pada nasionalisme,

kemerdekaan dan kerakyatan, tidak komersial. Dengan kata lain, pers lebih mengutamakan

aspek politik dan ideologis daripada aspek bisnisnya. Dan ini dibuktikan dengan definisi

keberadaannya dalam UU Pokok Pers seperti yang diuraikan diatas.


Di sisi lainkonsep rakyat/kerakyatan yang mendominasi alam pikiran tokoh-tokoh pers dan

pimpinan nasional terlihat dengan jelas antara lain pada nama motto dari surat kabar, misalnya

nama Pikiran Rakyat, Pedoman Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Duta Masyarakat, Panji

Masyarakat. Pergeseran-pergeseran kata-kata kunci dalam UU tersebut sebenarnya

merupakan obyek kajian intelektual sendiri yang menarik untuk dikaji.

Lalu bagaimana posisi pers Indonesia sekarang ini? Apakah tetap mewakili aspirasi rakyat dan

terus menerus mengkritik pemerintah secara berlebihan ataupun tetap hanya menjadi

perpanjangan tangan pemerintah?

Kleden (1989) mengungkap bahwa setelah fase perjuangan selesai pers Indonesia memasuki

era pers pembangunan. Pers pembangunan (untuk menerangkan pendapat Oetama)

mempunyai tiga yugas utama, yaitu memberikan informasi tentang pembangunan, melakukan

interpretasi terhadap informasi yang diberikan, dan selanjutnya mendukung informasi dan

interpretasi itu dengan tulisan yang bersifat promosi supaya informasi tersebut diterima dan

dijalankan secara operasional.

Dalam hal ini, maka pers pembangunan memperlihatkan beberapa perubahan yang menarik.

Pertama, dibandingkan dengan pers perjuangan yang lebih memusatkan perhatian pada

masalah sosial politik, maka pers pembangunan memperluas perhatiannya juga ke bidang

sosial ekonomi. Kedua, jika pers perjuangan sangat menekankan segi kontrol, maka pers

pembangunan memberi perhatian besar kepada segi promosi dan persuasi. Ketiga, Jika dalam

perannya yang konvensional pers mempertahankan suatu jarak dengan pihak eksekutif agar

dapat mengawasinya, maka dalam pers pembangunan hubungan pers dengan eksekutif

tampaknya lebih dekat karena sama-sama berkepentingan terhadap gagasan pembangunan

dan pelaksanaannnya. Dalam kasus Indonesia muncul kemudian gagasan bahwa pers tidak

lagi cukup hanya berperan sebagai kritikus pemerintah, tetapi juga harus menjadi mitra

pemerintah.
Kleden (1989) juga melanjutkan bahwa, pada titik inilah terlihat bahwa pers Indonesia mencoba

menempuh suatu via media (jalan tengah) antara pers yang liberal dengan pers yang hidup di

negara-negara totaliter. Jika di negara-negara liberal pers menjadi watch-dog terhadap

pemerintah, dan jika di negara-negara totaliter pers menjadi perpanjangan tangan pemerintah,

maka pers Indonesia berusaha untuk menjadi mata pemerintah dengan tetap mempertahankan

fungsi kontrol sosialnya.

Oleh karenanya, kita harus melakukan eksperimen yang terus menerus terhadap suatu sistem

pers Indonesia yang ideal yakni sistem pers Pancasila yang paling tidak memiliki ciri khas

tersendiri dan bukan gabungan elaktik antara unsur-unsur yang baik dari dua sistem yang telah

disebutkan itu. Ini juga berarti bahwa pers Pancasila selain merupakan sebuah eksperimen

ideologis (yaitu bagaimana menerjemahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan pers),

sebetulnya sekaligus eksperimen sosial-budaya (yaitu bagaimana menerapkan asas-asas pers

umpamanya ke dalam sistem sosial dan sistem budaya masyarakat Indonesia).

Apabila ciri ini dipahami dan terus menerus dikaji maka terbinalah hubungan pers dengan

pemerintah, pers dengan rakyat dalam mempertahankan tatanan ideologi Pancasila. Benarlah

menurut Oetama (1989) bahwa hubungan pers dengan pemerintah dalam sistem demokrasi

Indonesia dewasa ini buknlah tunduk, tidak juga bermusuhan, tetapi sering disebut

partnership, interaksi postif dan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Menado

diusulkan untuk diubah menjadi interaksi konstruktif.

2.9 KONDISI SISTEM PERS DI INDONESIA DAN CARA ANALISI BERITA

Pendapat yang mengemukakan bahwa sistem media di satu negara, mencerminkan sistem

pemerintahan yang dianut negara yang bersangkutan terbukti berlaku pula di Indonesia.
Sistem pemerintah yang mengalami beberapa kali perobahan, amat berpengaruh terhadap

kebebasan pers di Indonesia.

Kebebasan pers di Indonesia terlihat lebih mengemuka pada saat pemerintahan sedsang

mengalami krisis, dimana kontrol pemerintah sangat sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Hal

ini terlihat pada era Revolusi Fisik, era kabinet parlementer yang mengalami enam kali

pergantian kabinet, dan awal pemerintahan rezim Orde Baru saat terjadi kekacauan dan

perpecahan dalam tubuh pemerintah. Pada era-era krisis pemerintahan ini pers Indonesia

cenderung menganut paham Libertarian.

Pada saat sistem pemerintahan dalam keadaan mapan, penguasa akan mereduksi bahkan

menghilangkan kebebasan pers secara struktural. Pembatasan kebebasan pers dilakukan

penguasa melalui berbagai cara, termasuk dengan berbagai peraturan perundangan. Hal ini

terjadi pada era Demokrasi Terpimpin oleh rezim Orde Lama dan 20 tahun menjelang reformasi

oleh rezim Orde Baru. Pada kedua era ini, pers Indonesia terkungkung dalam

pahamAuthoritarian

Kebebasan pers yang terjadi pada era reformasi adalah kebebasan struktural seiring dengan

perobahan sistem pemerintahan. Perobahan sistem pemerintahan itu, sedikit banyaknya

dipengaruhi oleh arus globalisasi, sehingga pers Indonesia pada era ini cenderung menganut

pahamLibertarian.

Freedom House yang melakukan rating penilaian terhadap kebebasan pers global, sampai saat

ini masih menempatkan kebebasan pers indonesia pada posisi Partly Free. Hal ini ditunjukkan

dengan ranking Political Rights, Civil Liberties yang mempengaruhi kebebasan pers di

Indonesia.

Dewan Pers menetapkan, Indonesia memiliki system pers pancasila sebagai system pers

idealis dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984.
Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya

berdasarkan pada nilan-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Pers Pembanguna adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945

dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,

termasuk pembangunan pers itu sendiri.

Hakikat Pers Pancasila adalah Pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab

dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyaluran

aspirasi rakyat dan kontrol sosial konstruktif. Melalui hakikat dan funsi pers pancasila

mengembangkan suasana sain percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan

bertanggung jawab.

Mengacu buku Sistem Pers Indonesia disebutkan, akar dari sistem kebebasan pers Indonesia

adalah landasan idiil, ialah Pancasila, dengan landasan konstitusional, UUD 1945.

Kemudian disebutkan, pers adalah salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan.

Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi pembangunan. Kepentingan

pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Inilah yang disebut

"pers pembangunan," model yang juga banyak diterapkan di negara sedang berkembang

lainnya.

Implikasi pers pembangunan adalah: Karena pembangunan dianggap merupakan program

regim Orde Baru, maka pers harus mendukung pemerintah Orde Baru. Pers sangat tidak

diharapkan memuat pemberitaan yang isinya bisa ditafsirkan tidak sejalan atau bertentangan

dengan posisi pemerintah. Sedangkan dalam prakteknya yang berhak menafsirkan bahwa isi

pemberitaan pers itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan pembangunan adalah

pemerintah.

a) Beberapa karakteristik pers pancasila, di antaranya;

b) Setiap berita yang disiarkan selalu memupuk rasa Ketuhanan YME dan tidak pernah atheis.
c) Menghormati nilai-nilai kemanusiaan & HAM dan tidak memberikan peluang kepada

perbudakan, penindasan dan sadisme.

d) Selalu membina persatuan bangsa, tidak pernah memecah belah hingga menghilangkan

stabilitas nasional dan menghindari SARA.

e) Selalu menghormati pendapat dan jalan pikiran orang lain dalam musyawarah dan kemufakatan

sebagai penghormatan terhadap hak rakyat.

Membela dan memperjuangkan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat, hingga merata ke

seluruh WNI.

ANALISIS ISI BERITA

Sekilas, pemberitaan mengenai KOMPLEKS OLAHRAGA DADAHA SEPULUH TAHUN TAK

DIURUS ini menunjukkan kelalaian pihak pemerintahandalam hal ini Pemkab dan pemkot

Tasikmalaya.

Dapat dilihat dari seluruh alenia dalam pemberitaan ini menyudutkan sebelah pihak. Meskipun

demikian, berita ini masih dapat dikatakan berita yang berimbang karena tetap diimbuhkannya

klarifikasi atau pembelaan dari pihak pemerintahan. Meskipun pembelaan ini menyebabkan

semakin tersudutnya pihak pemerintahan karena menunjukkan ke-egoisan kedua belah pihak

yaitu antara Pemkot dan Pemkab.

Dari alenia 1-3, menunjukkan kerusakan kompleks olah raga dadaha. Alenia ke-4

berisi Setelah Tasikmalaya dibagi menjadi dua pemerintahan, Pemkot dan Pemkab tahun 2001

lalu, stadion ini tak lagi ada yang mengurus karena tak jelas milik siapa. Hal ini tentu

menunjukkan ketidakberesan system pemerintahan.

Alenia ke-5 berisi kutipan komentar seseorang, yaitu Evi Hilman sebagai pemerhati

pemerintahan Seperti itulah kondisi yang menimpa Dadaha saat ini. Di satu sisi, Pemkot

maupun Pemkab berupaya keras agar aset-aset termasuk Dadaha menjadi milik mereka, tapi di

sisi lain mereka enggan melakukan pemeliharaan apalagi perbaikan,. Jelas di sini komentar

tersebut terang-terangan menunjukkan perebutan asset antara Pemkot dan Pemkab.


Alenia 5-6 berisi pembelaan atau klarifikasi terhadap kasus tersebut dari pihak Pemerintahan.

Namun, dikatakan Kepala Bagian Aset Pemkot Tasikmalaya, Hanafi, Persoalan asset tersebut

tengah diselesaikan Kemendagri dan Pemprov Jabar. Hal ini menunjukkan persoalan tersebut

belum terselesaikan samapai saat ini setelah sepuluh tahun tanpa penyelesaian.

Dikatakan juga Sesuai dengan yang kami fahami dalam pertemuan sebelumnya, asset yang

ada di Pemkot akan diserahkan ke Pemkot. Sementara Pemkab akan mendapat konvensasi,

itu artinya Pemkab tidak menyerahkan Kompleks Olah Raga Dadaha tanpa adanya konvensasi.

Mungkin yang terjadi saat ini Pemkot belum juga memberikan konvensasi.

Diperjelas Bupati Tasikmalaya, Uu Ruzhanul Ulum. Pihaknya bersedia menyerahkan asset

yang saat ini masih dikuasai Pemkab, dengan syarat Pemkab mendapat dana konvensasi yang

adil. Tidak ada masalah selama ada konvensasi yang memadai, ujarnya. Itu artinya, Pemkab

ingin menukar asetnya dengan sejumlah dana konvensasi dari Pemkot. Dan akan

mempertahankan Kompleks Olah Raga Dadaha sebagai asetnya sebelum Pemkot

menyerahkan dana konvensasi.

Terbengkalainya kompleks olah raga Dadaha sebenarnya tidak perlu terjadi, jika pihak Pemkot

dan Pemkab Tasikmalaya lebih mengedepankan kepentingan rakyat ketimbang sikap egoistis

masing-masing. Pernyataan dari pihak redaksi Tribun juga sangat menyudutkan pemerintahan

dengan terang-terangan pernyataan Sikap Egoistis masing-masing (Pemkot dan Pemkab)

Alenia 7-12 juga terus menyudutkan pihak pemerintahan dengan kutipan-kutipan komentar

yang menjelekkan citra pemerintahan.

2.10 ANALISIS KORELASI ISI BERITA DAN SISTEM PERS INDONESIA

1. Pers Autoritarian
Dalam pemberitaan ini, teori pers otoritarian tidak banyak berperan. Meskipun berita ini ada

kaitannya dengan pemerintahan, yaitu Pemerintahan Kota dan Pemerintahan Kabupaten

Tasikmalaya. Dalam pemberitaan ini, dapat disimpulkan bahwa masyarakat menuntut

pemeliharaan dan perbaikan kompleks olah raga Dadaha yang berada di Tasikmalaya.

Ternyata dalam kenyataannya Pemkab dan Pemkot tidak melakukan pergerakan karena

memperebutkan asset dalam bentuk kompleks olah raga Dadaha. Pemkot dapat mengelola

Dadaha sebagai asset Pemkot jika Pemkab menyerahkan wewenangnya kepada pemkot. Pihak

pemkab bersedia menyerahkan asset yang saat ini masih dikuasai pemkab dengan syarat

Pemkot menyerahkan sejumlah dana konvensasi yang adil kepada Pemkab.

Dari pemberitaan ini, dapat terlihat jelas sisi egois kedua belah pihak yaitu pemkot dan

Pemkab. Pihak Tribun Jabar sebagai media pers juga terang terangan menyatakan sikap

egoistis Pemkab dan Pemkot. Tentu hal ini tidak mendukung citra yang baik untuk Pemkot dan

Pemkab. Artinya, sangat bertolak belakang dengan prinsip pers authoritarian.

Dalam pemberitaan ini posisi pemerintahan tidak berada pada posisi teratas yang

menggambarkan pengontrolan pemerintah terhadap pers sesuai karakteristik pers authoritarian.

Sehingga dapat disimpulkan, dalam pemberitaan Tribun Jabar, Rubrik Tribun On Focus, Edisi

Jumat 4 November 2011 ini, menunjukkan di Indonesia tidak ada indikasi pemakaian system

pers authoritarian.

2. Pers Libertarian

Meskipun berita Tribun Jabar ini tidak menunjukkan penerapan teori pers otoritarian, namun

bukan berarti juga Indonesia menerapkan teori libertarian. Memang pada pemberitaan ini tidak

menunjukkan tunduknya pers terhadap pemerintah dan Tribun Jabar sebagai media pers

berperan sebagai four estate. Seperti dikatakan teori libertarian, tetapi beberapa

kriteria/karakteristik teori libertarian ini tidak diterapkan di Indonesia.


Diantara karakteristik yang tidak diterapkan di Indonesia adalah tindakan penerbitan dan

pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap orang atau kelompok tanpa memerlukan izin

atau lisensi. Sedangkan di Indonesia masih ada perlunya izin seperti SIUPP.

Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik seyogyanya tidak dapat dipidana,

bahkan setelah terjadinya peristiwa itu. Sedangkan di Indonesia hal tersebut dapat dipidanakan.

3. Soviet Communist Press (Pers Komunis Soviet)

Pemberitaan ini tidak menunjukkan penerapan teori pers authoritarian dan libertarian, namun

bukan juga menerapkan teori pers komunis soviet. Karena pada teori ini media massa

diposisikan sebagai alat partai dan merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari

Negara. Media massa harus tunduk dan dikontrol oleh partai. Media tidak diposisikan sebagai

control partai (Negara) tetapi merupaka senjata Negara. Sedangkan dalam pemberitaan Tribun

Jabar ini, sama sekali tidak ada kaitannya dengan partai.

4. Social Responsibility

Melalui pemberitaan ini saja, memang tidak dapat mengeneralisasikan seluruh pemberitaan

memiliki konsep yang sama dan menetapkan sebuah teori tertentu sebagai system yang

dipakai.

Namun, Tribun Jabar sebagai media pers dalam pemberitaan ini menunjukkan keperdulian

terhadap fasilitas umum berupa kompleks olag raga Dadaha di Tasikmalaya yang dipakai

masyarakat, baik dalam lingkup masyarakat masyarakat kota maupun desa. Dan hampir

memenuhi seluruh karakteristik media dengan teori system pers social responsibility.

Beberapa karakteristik tersebut diantaranya Tribun Jabar memberitakan peristiwa-peristiwa

sehari-hari dengan benar, lengkap dan berpekerti dalam konteks yang mengandung makna.

Memberikan pelayanan sebagai forum untuk saling tukar komentar dan kritik (dalam hal ini

kritikan terhadap pemerintah).

Kutipan komentar-komentar juga menunjukkan proyeksi gambaran yang mewakili semua

lapisan masyarakat, yaitu menuntut perbaikan fasilitas. Bertanggung jawab atas penyajian
disertai penjelasan mengenai tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Penjelasan tujuan dapat

difahami ketika membaca berita.

5. Pers Pancasila

Beberapa pendapat mengatakan system pers Pancasila merupakan sistem abu-abu yang

berada di tengah-tengah antara otoritarian dan liberal, dan serupa dengan sistem pers

tanggung jawab sosial, hanya saja menggunakan ideologi bangsa, yaitu pancasila.

Pemberitaan oleh Tribun Jabar ini juga memenuhi karakteristik penerapan system pers

pancasila, diantaranya, menghormati nilai-nilai kemanusiaan & HAM dan tidak memberikan

peluang kepada perbudakan, penindasan dan sadisme. Pemberitaan ini juga tidak apatis, tidak

memecah belah, juga tidak menghilangkan stabilitas nasional dan menghindari SARA.

Membela dan memperjuangkan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat, hingga merata ke

seluruh WNI. Pembelaan pers di sini terealisasi melalui pembelaan masyarakat terhadap

tuntutan fasilitas umum.

BAB lll

PENUTUP
3.1KESIMPULAN
Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Media massa mempunyai fungsi untuk

mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau

menolak kebijakan pemerintah. Melalui media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa

dilaksanakan oleh masyarakat.

Sistem pers mempunyai empat kelompok besar teori (sistem) pers, yakni sistem pers otoriter,

sistem pers liberal, sistem pers komunis, dan sistem pers tanggung jawab sosial.

Jika diamati, indonesia termasuk dalam sitem pers tanggung jawab sosial. Tidak hanya dilihat

dari kebebasan yang bertanggungjawab namun pada berbagai aktualisasi pers pada akhirnya

harus disesuaikan dengan etika dan moralitas masyarakat. Adapun tanggungjawab itu adalah

suatu dasar ideologi yang diyakini yakni pancasila yang dijadikan sebagai acuan prilaku pers.

Dengan kata lain, media lemah dalam mempertimbangkan apakah pemberitaan itu layak

dimunculkan sesuai dengan keinginan masyarakat tau tidak. Ini diakibatkan orientasi pasar

media begitu dominan dan mengalahkan sisi idealnya. Kenyataan tersebut bisa dimengerti

mengingat pers ibarat kuda lepas dari kandangnya sangat liar.

Kenyataan ini menjadikan pers sulit menentukan pilihan antara kewajiban moral terhadap

masyarakat dan keharusanj untuk mematuhi peratutan pemerintah sebagai konsekuensi logis.

Jalan alternatif bisa dilakukan harmonisasi hubungan pers dengan pemerintah dan masyarakat.

3.2 KRITIK DAN SARAN

Kita tak perlu menghakimi, pers harus bersikap begini atau begitu. Sebab hal demikian tak

ubahnya dengan mendikte pers yang etlah kehilangan jati dirinya. Bagaimanapun pers masih

punya jati diri, salah satunya kemampuan untuk bertahan di tengah derasnya iklim demokrasi

dan himpitan struktur yang harus ditaati.


Dalam posisi yang sulit begini, pers masih bisa bernafaspun masih lumayan. Ini menunjukan

betapa sulit kedudukan pers kita selama ini, meskipun biusa dibilang punya jati diri rendah

(relatif) sekalipun.

Anda mungkin juga menyukai