Bab I
Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
Pers adalah dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers
elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya
terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita.
Media adalah media realitas dalam dirinya sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemain
dalam industri media, Mediapun memiliki fungsi ideologis, dan melakukan manuver
politik sesuai dengan fungsi ideologinya. Ini akan mencakup masalah siapa,
kepentingan apa, dan perspektif mana yang akan memperoleh akses ke media mereka.
Di luar fungsi ideologis yang dijalankan, bagaimanpun juga, media pertama-tama perlu
terlebih dahulu di lihat sebagai institusi ekonomi, dan karenanya manuver politik yang
dijalankan melalui politik pemberitaannya juga dikemas sebagai komoditi informasi yang
Hal lain yang penting diamati dalam pemberitaan pers saat ini, terutama sekali adalah
masalah sejauh mana mereka telah berfungsi menciptakan dirinya sebagai bagian dari
public sphere. Ini bisa dikaji melalui pengamatan tentang sejauh mana kemampuan
untuk memiliki media semakin terpusat di kaum-kaum itu-itu saja, sejauh apa media di
tangan mereka itu telah bersedia memberikan akses berimbang ke setiap unsur publik
terkait. Dalam proses tersebut pers menempati posisi sentral, khususnya dalam era
peradaban di mana praktis semua manusia menjadi bagian dari kesepakatan untuk
Dalam penulisan makalah ini, maka penyusun merumuskan hal-hal sebagai berikut:
b) Jenis-jenis pers?
1.3 Tujuan
e) Untuk mengetahui dan memahami tentang arti pers dalam Sistem Komunikasi
f) Untuk mengetahui dampak dari setiap sistem pers di dunia dan di indonesia
i) Untuk mengetahui Bagaimana kondisi sintem pers indonesia dalam menganalisa isi berita
j) Untuk mengetahui Bagaimana korelasi antara isi berita dengan sistem pers
BAB II
PEMBAHASAN
Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis,
kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa
latin,perssare dari kata premere, yang berarti Tekan atau Cetak, definisi terminologisnya adalah
media massa cetak atau media cetak. Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian
komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau
sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.
Dalam UU pers no 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik
Pakar komunikasi, Oemar Seno Adji membagi pengertian pers dalam arti sempit dan
luas. Dalam arti sempit, pengertian pers adalah penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan,
atau berita-berita dengan jalan kata tertulis. Sedangkan, pengertian pers dalam arti
luas adalah semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan
Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa "Pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik,
informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
Media penyiaran berita, yakni surat kabar, majalah, radio, dan televisi.
Setelah masuknya media elektronika dalam lingkup media massa, istilah pers menjadi
lebih luas. Pers dalam arti sempit terbatas pada media cetak saja, seperti koran,
majala, buletin, tabloid, brosur, pamflet, dan leaflet. Namun pers dalam arti luas
mencakup juga media elektronik, seperti radio, televisi, dan film. Pers merupakan
lembaga yang berdiri sendiri. Pers hidup di tengah-tengah masyarakat dan berada
dalam satu negara, tetapi bukan bagian dari pemerintahan negara tersebut. Pers lebih
Sebelum bubarnya Negara Uni Republik Sosialis Soviet, kita bisa dengan mudah membedakan
sistem pers dalam dua kelompok besar: Pers Barat yang menganut teori pers bebas atau liberal
dan Pers Timur yang menganut pers komunis. Pers Barat di wakili oleh Amerika dan Negara-
negara sekutunya di Eropa Barat. Karena Amerika adalah pencetus teori tanggung jawab sosial
atau dikenal pula sebagai komisi kebebasan pers (1942-1947) Sedangkan Pers Timur diwakili
menganut paham komunis itupun ikut berubah, maka dikotomi antara Pres Barat dan Pers
Sistem Pers Timur berbeda sekali dengan sistem Pers Barat bahkan sangat bertentangan.
Karena dalam sistem Pers Timur, berita tidak dipandang sebagai barang dagangan. Maksud
dari berita tidak dipandang sebagai barang dagangan disini adalah bahwa berita bukan untuk
pemuas nafsu rasa ingin tahu namun berita adalah keharusan ikut berusaha
Sedangkan Pers Barat memandang berita sebagai barang yang dapat diperjual belikan maka
Teori pertama dalam Four Theories of the Press Four (empat teori tentang pers)
yakni, authoritarian Theory (teori pers otoriter) yang diakui sebagai teori pers paling tua
bersal dari abad ke 16, ia berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan
absolute jadi pada dasarnya pendekatan dilakukan dari atas ke bawah. Yang dimaksud
dengan pendekatan dari atas kebawah adalah pendekatan yang dilakukan oleh yang
berkuasa terhadap masyarakat biasa, yang mana pada keadaan ini masyarakat biasa
tidak dapat berbuat apapun, kebebasannya dirampas dan tidak bisa mengutarakan
aspirasinya. Jadi disini dimaksudkan pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan
terhadap pers, dan pers tidak berhak dan bahkan tidak dapat untuk mengintervensi
pemerintah dikarenakan pemerintah berkuasa penuh atas pers. Yang pentng dicatat
juga prinsip authoritarian Theory (teori pers otoriter) adalah bahwa Negara memiliki
kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai kehidupan sosial.[5]Teori ini
berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman,
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa authoritarian Theory (teori pers otoriter) adalah
bahwa Negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai
kehidupan sosial. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh Negara kita sendiri
Indonesia. Pers di Indonesia pada jaman pemerintahan orde baru atau rezim Soeharto
pers disaat itu adalah pers yang otoriter, pers tidak berhak untuk mengomentari
kebijakan presiden akan tetapi pers haruslah selalu mendukung kebijakan kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam masa itu pers sangat tidak berkembang dan
informasi yang disampaikan pun tidak trasparan dan tidak dapat secara gamblang
diketahui oleh masyarakat. Apabila pers melawan maka pemerintah langsung akan
bertindak.
Itulah gambaran authoritarian Theory (teori pers otoriter), yang terdapat di Indonesia
pada masa era Soeharto didengung-dengungkan adanya pers yang bertanggung jawab
namun yang sesungguhnya dipraktekkan tetap system pers yang otoriter karena masih
adanya lembaga SIUPP (surat izin penerbitan pers) dan pembreidelan, sehinggan
nampak jelas bahwa tanggung jawab itu pada penguasa bukan kepada pablik.
Pers yang bebas dan bertangggung jawab pada rezim orde baru tidaklah sama dengan
pers yang bebas dan bertangggung jawab seperti di Amerika Serikat diawali sejak
tahun 1956.
Teori yang kedua adalah Libertarian Theory (Teori Pers Bebas). Ketika kebebasan
pencerahan maka tumbuh pula tuntutan akan perlunya kebebasan pers. Dalam
keadaaan seperti itulah lahir teori baru yaitu Libertarian Theory(Teori Pers Bebas) teori
ini mencapai puncaknya pada abad ke 19. Dalam teori ini manusia dipandang sebagai
makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. Pers
harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran dan bukan sebagai alat
Dari sini kita dapat melihat suatu perkembangan pers antara abad 16 ke 19, pada
perkembangan teori ini pers tidak lagi diintervensi oleh pihak manapun termasuk pihak
yang berkuasa atau yang disebut pemerintah. Akan tetapi pers mempunyai hak untuk
mengawasi kegiatan pemerintahan. Mau tidak mau pemerintah harus transparan dalam
Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) ini memang paling banyak memberikan landasan
kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Oleh karena itu, pers bebas juga
memberikan informasi, memberikan hiburan dan paling banyak terjual tiras. Dibalik
ketiga keuntungan itu pers bebas juga paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran
Teori yang ketiga yaitu social responsibility theory (teori pers bertanggung jawab sosial)
disiarkan kepada publik dan dalam versi apa. Teori pers bertanggung jawab sosial yang
ingin mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggung jawab
sosialnya ini di formulasikan secara jelas sekali pada tahun 1949 dalam laporan
commission on the freedom of the press yang diketahui oleh Robert Hutchins. Yang
Komisi yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Hutchins commission ini mengajukan
5 persyaratan sebagai syarat bagi pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat.
lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna. Dalam hal ini media
harus menyajikan informasi kepada masyarakat dan informasi tersebut tidak boleh
berbohong dan harus disertai dengan bukti otentik. Informasi yang disampaikan pun
harus disampaikan dengan lengkap, tidak boleh di tambah atau dikurangi (obyektif).
Informasi yang disampaikan juga harus memberikan makna dan manfaat. Media harus
akurat, harus bisa memisahkan antara fakta dan opini, harus melaporkan dengan cara
2. Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik. Disini media
harus menjadi sarana umum, lahan untuk mengutarakan gagasan dan juga tempat
untuk menyanggah atau lebih tepatnya lagi dipakai untuk sarana berdiskusi. Dalam
media gagal menyajikan suatu kelompok sosial dengan benar, maka pendapat
harus mencakup nilai nilai dan aspirasi-aspirasi kelompok, tetapi ia tidak boleh
Dalah hal ini media harus memberikan informasi tentang tujuan dan nilai nilai
masyarakat agar masyarakat bisa menyampaikan cita citanya dan nilai yang ada.
Media adalah sebagai instrument pendidikan, mereka harus memikul suatu tanggung
jawab untuk menyatakan dan menjelaskan cita-cita yang diperjuangkan oleh
masyarakat.
pada suatu saat. Berita ataupun informasi yang didapatkan oleh media harus
Teori yang keempat yaitu The Soviet Communist Theory (teori komunis), baru tumbuh 2
tahun setelah revolusi Oktober 1917 di Rusia dan berakar pada teori pers penguasa
atau teori authoritarian theory. System pers ini menopang kehidupan sistem sosialis
Soviet Rusia dan memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap segala
kegiatan sebagaimana biasanya terjadi dalam kehidupan komunis. Oleh karena itu
Negara-negara yang dibawah payung kekuasaan Uni Republik Sosialis Soviet tidak
bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk meneritkan surat kabar baru Tjahaja
(Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo
wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat
Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan
lain-lain.
September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang
terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu
adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini
disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers
republic sangat pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan
(sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang
Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di
Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang
baru, di samping surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar
kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan
yang mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan
sekitarnya (Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh
kalangan pers. Di daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah yang
pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers tetap
Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan pers paling subur, bila dibandingkan dengan
daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang lebih
banyak dan juga karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di
karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembaangunan bangsa.
hadapi masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers
tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan
Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik
bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami
pengekangan dan penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara
tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat kabat yang
tersebut. Pihak penguasa Belanda mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh
kaum separatis Pro Belanda. Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
RI pindah ke Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut pindah di bawah pimpinan
Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi cabang yang dipimpin oleh
Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa Bafagih. Ini berakibat juga
Belanda dan kaum separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan
Pada masa itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap
dan dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada yang
keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan di
stensilan.Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti;
kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari pihak
Di masa demokrasi Liberal, tiap orang yang memiiki uang atau modal boleh
menerbitkan surat kabar atau majalah. Tidak diperlukan izin atau pengesahan dari
siapapun. Melalui surat kabar dan majalah ini orang boleh menyampaikan pendapat
dan perasaannya, sehingga banyak Koran dan majalah muncul di masa ini dan mereka
saling berlomba menerbitkan surat kabar dan majalah sekalipun namyak yang tidak
bisa bertahan untuk terus terbit dengan teratur.Koran-koran bekas milik RDV (Dinas
tenaga Indonesia, Koran bekas RDV hidup jauh lebih baik daripada Koran Indonesia
yang ditangani langsung oleh orang Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan Koran
milik RDV sewaktu dialihkan sudah mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain
itu koran RDV mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV
mempunyai peralatan cetak yang jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan
Demokrasi Liberal kemungkinan besar disebabkan oleh mismanajemen atau salah urus
baik dibidang teknik redaksional, teknis peralatan, keuangan, dan bernagai urusan
perusahaan lainnya. Disamping itu munculnya koran dan majalah yang isinya
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak bersedia ikut
Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar larangan berpolitik dalam
segala bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis. Khusus mengenai pers ada
Sembilan ketentuan yang salah satunya adalah pers dan alat-akat penyiaran lainnya
haluan Negara, dan tidak bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang untuk
itu.SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada
masa Demokrasi Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960
penyiaran. Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang
mengandung janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan
mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan
mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang telah dan akan
wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati pada paham ini. PKI berusaha
menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal
SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi
SIT dan SIC.BPS singkatan dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini
dibentuk untuk menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal
adalah Sajuti Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos
(Naionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan
Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS
ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga
Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi Terpimpin itu akan sangat
membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan hanya mendapat satu
sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena itu perlu diambil alih dengan
segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti namanya Berita
dengan inti tujuan yang sama.Beberapa factor penunjang keberhasilan PKI dalam
1. Disiplin kerja.
awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar Negara
Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.
dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15
kesepakatan dalam penafsiran dari UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi,
kewajiban dan hak per situ sendiri.Dalam usaha memantapkan penafsiran serta
pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan
keamanan, politik pemerinta dan ekonomi, telah diisi dengan langkah-langkah awal
tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers nasional. Pada tahap ini
upaya yang dialkukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif antara pers,
Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat
setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan
Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat
yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila
kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya)
menentukan corak dan arah isi pers.Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah
terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda
mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia,
Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah.
Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak
lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.Sebagai contoh adanya
pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers)
sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi pers yang bebas dan
yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter
yang di kembangkan pada rezim orde baru.Tak ada demokrasi tanpa kebebasan
perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada
keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak
dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang
kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu
rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial,
budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi
merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini
dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara
penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan
ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden
terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan
yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan
munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan
segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers
Indonesia.Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari
masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan
ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab
sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga
jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini,
publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar
menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin,
hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya
yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan
sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim
Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan.
Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian
celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan
pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral.
Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah
menjadi kebablasan pers. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang
kecabulan.Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat
informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah
ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur
juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa
sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin
dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang
berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu
membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-
hari.Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri
pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi,
yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori
hak-hak alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh
pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai
kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak
alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran
Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita
membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press).
Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media
massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan,
kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia
kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan
kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya
teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus tanggap
pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat
Secara History bahwa peranan pers juga memegang peranan yang penting pada saat
kemerdekaan Indonesia hal itu di tandai dengan banyak terlibatnya tokoh-tokoh pers /
1) Wage Rudolf Supratman, Dia bekerja sebagai wartawan yang juga ikut terlibat dalam
Kongres Sumpah Pemuda II yang pada akhirnya menciptakan lagu Indonesia Raya
2) Sutomo ( Bung Tomo ), Sutomo pemuda kelahiran surabaya yang bekerja sebagai
jurnalis yang sukses ketika pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia.
Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi
1) Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia
pada masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran
berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum
kolonialis Belanda.
2) Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers
Cina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang
3) Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama
orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan
Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910
sbb :
salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari
setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam
Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai
Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of
Free Indonesia.
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal.
Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat
sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari
Par-Pol. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada
c) Tahun 1970-an
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami
depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru
tiga partai, yaitu Golkar, PDI,dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan
partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi
Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh
Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers
sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan
dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup
e) Tahun 1990-an
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya,
pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di
terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini
terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan
memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie
kemerdekaan
Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan
Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan
Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie,
Pers atau media amat dibutuhkan baik oleh pemerintah maupun rakyat dalam
untuk menjalankan program dan kebijakan negara. Sedangkan masyarakat juga ingin
mengetahui program dan kebijakan pemerintah yang telah, sedang, dan akan
dilaksanakan.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 disebutkan mengenai fungsi
pers, dalam hal ini pers nasional. Adapun fungsi pers nasional adalah sbb :
Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga negara dengan
Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau negara kepada
warga negara (dari atas ke bawah) maupun dari warga negara ke negara (dari bawah
ke atas).
Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers dapat menciptakan opini
kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers.
4. Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga
ekonomi.
UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan : Kemerdekaan pers adalah salah satu
supremasi hukum.
Hak masyarakat atau warga negara Indonesia untuk mengeluarkan pikiran secara lisan,
atau tulisan mendapat jaminan dalam UUD 1945 Pasal 28, yang berbunyi ;
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
Selain itu, kebebasan pers di Indonesia memiliki landasan hukum yang termuat didalam
ketentuan-ketentuan sbb :
1. Pasal 28 F UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi
2. Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang antara lain
3. Pasal 19 Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, Setiap orang
berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini
menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan
Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu
hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada
tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan
informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan
memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi
pemerintahan.
Pola Hubungan Pers dan Politik
Sistem pers, merupakan bagian atau subsistem dari sistem komunikasi. Sedangkan
sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari suatu sistem sosial. Oleh karena
itu untuk mengetahui sistem pers kita tidak bisa lepas dari bentuk sistem sistem sosial
dan bentuk pemerintahan pemerintahan negara yang ada, dimana sistem pers itu
berada.
Dari dimensi sejarah pertumbuhan dan perkembangan pers dunia, maka kita mengenal
empat macam teori atau konsep dasar tentang pers, yang masing-masing
mencerminkan sistem sosial dan sistem politik dimana pers itu berkembang. Fred S.
Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories of the
Press membedakan teori pers ke dalam: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers
Teori otoriter lahir pada abad kelima belas sampai keenam belas pada masa bentuk
pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut). Dalam teori ini media massa berfungsi
rakyat sebagai tujuan utama. Oleh karena itu pemerintah langsung menguasai dan
mengawasi kegiatan media massa. Akibatnya sistem media massa sepenuhnya berada
Dalam sistem ini manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia baru dapat berarti
Sistem politik Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan teori ini,
tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Dalam dua undang-undang tersebut, secara
Sistem pers liberal ini berkembang pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas
sebagai akibat timbulnya revolusi industri dan perubahan besar di dalam pemikiran-
pemikiran masyarakat di Barat pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai abad
Menurut teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-haknya secara alamiah
menyatakan pendapat. Hal ini tidak mungkin berlaku apabila terdapat kontrol dari
makhluk bebas yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan
Sistem politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 - 1959 dengan berlakunya UUDS,
pernah menerapkan teori pers liberal. Peraturan perundangan tentang pers masih
menggambarkan penerapan teori pers liberal. Pers pada masa ini cenderung tidak lagi
Dalam teori komunis ini, media massa merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian
integral dari negara. Ini berarti bahwa media massa harus tunduk pada perintah dan
kontrol dari pemerintah atau partai. Tunduknya media massa pada partai komunis
membawa arti yang lebih dalam, yaitusebagai alat dari partai komunis yang berkuasa.
Kritik diijinkan dalam media massa, tetapi kritik terhadap dasar ideologi dilarang.
Teori tanggung jawab sosial ini muncul pada permulaan abad kedua puluh sebagai
protes terhadap kebebasan yang mutlak dari Teori Libertarian yang mengakibatkan
kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers
harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini merupakan hasil pemikiran
para ahli pikir ketika itu yang merasa bahwa teori lebertarian murni dan tradisional
sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman dan kebutuhan masyarakat pada waktu
itu. Teori ini sering dianggap sebagi bentuk revisi terhadap teori-teori sebelumnya, yang
menganggap bahwa tanggung jwab pers terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini
ingin ditekankan sebagai orientasi yang utama dari pers. Penekanan tanggung jawab
keberadaan pers saat ini di pengaruhi oleh kebijakan pada zaman Soeharto,pers hanya
status quo. Karena hal itu menyebabkan jalannya pemerintahan secara bebas-
media dan konsumsi masarakat. Dan sebenarnya adanya keterbatasan dalam pers ini
diakibatkan karena pada zaman belanda yang diberikan kepada pers Batavia sangat
lebih baik. Dan ternyata setelah masa reformasi keberadaan pers mendapat titik terang
dan pencerahan terhadap pers,serta memberi ruang kosong bagi masyarakat untuk
mengenal para penguasa dan sebagai pemasok informasi secara lengkap bagi
kebebasan pers ini,para pencari berita dapat memberikan pers seobjektif mungkin demi
kepentingan masyarakat.
arah liberal pada beberapa tahun belakangan ini. Ini merupakan kebebasan pers yang
dimana media massa itu hidup. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari
organisasi dalam menentukan isi media. Hal ini berkaitan dengan pengendalian yang
dijalankan oleh pemilik media dan manajer media terhadap para produser, penyunting
Kedua jenis kebebasan tersebut, bila melihat kondisi media massa Indonesia saat ini
pada dasarnya bisa dikatakan telah diperoleh oleh media massa kita. Memang
kebebasan yang diperoleh pada kenyataannya tidak bersifat mutlak, dalam arti media
massa memiliki kebebasan positif dan kebebasan negatif yang kadarnya kadang-
kadang tinggi atau bisa dikatakan bebas yang bebas-sebebasnya tanpa kontrol
sedikitpun.
untuk dimiliki siapa saja, termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan
semata. Telah menjadi rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong
tebal untuk mendirikan dan menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media
penyajian infotaimen, sinetron dan musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media
Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya
eksekutif yang mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni
pers yang memiliki keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung
merusak masyarakat. Pers idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja
profesional dan tindakan riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain. Merusak
besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai berita dan tidak memiliki
atau bahkan mendua terhadap suatu kebijakan. Bisa saja bersikap pro atau kontra.
Media massa juga dapat menentukan diri sebagai lawan pemerintah atau bahkan
bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur yang terlibat dalam
pengelolaan media.
Ada ketakutan yang luar biasa apabila kebebasan Pers pada akhirnya menjadi celah
pada kepentingan para birokrat dan penguasa maupun pengusaha, hal ini sangat
memungkinkan terjadi untuk masa sekarang dan bahkan akan berkelanjutan untuk di
masa yang akan datang. Hal ini di tandai dengan terlibatnya beberapa pengusaha-
pengusaha besar media yang akhirnya terlibat dalam politik praktis secara langsung.
Keberadaan Media atau Pers pada akhirnya akan berpihak terhadap situasi politik
nasional yang berkaitan dengan kepentingan pribadi atau golongan tertentu dan pada
karena keterlibatan pres dapat ikut terlibat mewujudkan amanat rakyat sesuai dengan
cita-cita pembukaan UUD 1945 yaitu Mencerdaskan kehidupan Bangsa. Maka tidak
menjadi relevan apabila peran pres atau media di kendalikan oleh situasi dan dinamika
politik nasional yang jelas akan melunturkan dari cita-cita dan perjuangan strategisnya.
Sebelum kita masuk kedalam jenis sistem pers maka kita haruslah mengetahui bagaimana
falsafah pers.
Seperti juga Negara yang memiliki falsafah, pers pun memiliki falsafahnya sendiri. Falsafah
atau dalam bahasa inggris philosophy salah satu artinya adalah tata nilai atau prinsip-prinsip
teori tentang pers) yang ditulis oleh Siebert bersama Peterson dan Schramm dan diterbitkan
oleh universitas Illinois pada tahun 1956 . dari karya ini, pada tahun 1980, muncul teori baru
tentang Rivers, Schramm dan Christians dalam buku mereka berjudul Responsibiliti in Mass
Communication.
Baik Sibert dkk, maupun Rivers dkk. pada prinsipnya mewakili pandangan Barat yang pada
dasarnya mengembangkan tiga cara dalam mengaitkan pers dan masyarakat.ketiga cara
tersebut masing-masing melibatkan definisi yang berlainan tentang manusia, tentang Negara,
tentang kebenaran dan tentang perilaku moral. Hanya saja bagi Sibert dkk, ketiga cara tersebut
merupakan landasan lahirnya empat teori tentang pers atau Four Theories of the Press(empat
Four Theories of the Press (empat teori tentang pers) yang masih sangat besar pengaruhnya itu
memaparkan pandangan normative Sibert dkk. tentang bagaimana media berfungsi dalam
teori pers yang lain. Teori ini muncul pada masa akhir Renaisans. Setelah
ditemukannya mesin Cetak. Pada masa Renaisans teori ini menganggap kebenaran
bukanlah bersal dari pemikiran rakyat luas, tetapi darisekelompok kecil orang-orang
bijak yang bertugas membimbing dan mengarahkan pengikut pengikut mereka. Jadi
kebenaran tersebut sangat dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers
difungsikan dari atas kebawah. Penguasa pada masa tersebut menggunakan pers
untuk memberikan informasi kepada khalayak tentang kebijakan penguasa yang harus
Penggunaan teori ini tidak hanya terbatas pada abad XVI dan XVII saja. Teori pers
otoritarian muncul dari sebuah pemikiran kekuasaan monarki absolute dan pemerintah
yang Absolut dan pemerintahan yang absolute. Teori ini telah menjadi ajaran dasar di
sebagian besar dunia secara berabad abad. Secara kasarnya bahwa teori ini
menentukan pola komunikasi massa bagi banyak orang dibandingkan dengan teori pers
lainnya. Teori pers otoritarian dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak dari suatu
system pemerintahan.
Penguasa penguasa waktu itu menggunakan pers untuk member informasi kepada
rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin
khusus pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat
untuk membuat dan merubah kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang
menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti ini menghilang fungsi pers sebagai
Tujuan utama dari teori ini mendkung dan memajukan kebijakan pemerintahan yang
berkuasa. Media massa pada teori atau system pers ini diawasi melalui paten dari
kerajaan atau uzun lain yang semacam itu. Dan yang berhak menggunakan media ialah
siapa saja yang memiliki izin dari kerajaan. Kritik terhadap mekanisme politik dan para
penguasa sangat dilarang. Pada system pers otoritarian media massa dianggap sebgai
Teori ini membentuk dasar bagi system system pers di berbagai masyarakat modern,
bahkan dinegara yang tidak lagi menggunakannya. Teori ini terus mempengaruhi
prinsip libertarian. Dalam system otoritarian, perilaku dan kinerja politik dalam bentuk
apa pun akan terawetkan karena memang tidak ada pintu politik untuk perubahan.
Berbagai perubahan hanya terjadi jika dikehendaki oleh sang penguasa otoriter dan
tentu saja bentuk bentuk perubahan itu sesuai dengan kehendak sendiri. Analisisnya
dalam teori ini pers tidak sesuai dengan konsep dasarnya yaitu sebagai media yang
menginformasikan secara fakta dan bersifat netral. Dalam teori ini media terkesan
sangat terkekang dan diatur semuanya oleh Negara dan tidak boleh ada suatu
informasi yang merugikan bagi Negara dan terkesan sangat berpihak. System pers
semacam ini tidak cocok diterapkan dinegara demokratis. Teori pers otoriter di eropa
telah berakhir dengan berakhirnya system politik otoriter yang dikalahkan oleh kaum
libertarian.
kegiatan pers, mulai dari keharusan memiiki SIUPP bagi lembaga pers, control isi yang
amat ketat terhadap pemberitaan pers berada di tangan pemerintah. Dan kenyamanan
hidup masyarakat dan Negara. Kebebasan pers berada di tangan pemerintah. Pers
tunduk pada system pers, system pers tunduk pada system politik. Dibawah rezim orde
baru pers Indonesia berdaya, karena senantiasa dibawah bayang bayang maut
Fenomena pers pada era orde baru, kita memandang berbagai atribut yang
menyebabkan sering terpojokn dalam posisi yang dilematis, di satu sisi tuntunan
menyebabkan pers cenderung tidak terbuka terhadap pemerintah. Ini artinya, pers mau
Indikasi masih adanya peringatan khusus terlihat dari bermacam macam peringatan
dari pemerintahan terhadap pers, jika dicermati berbagai peringatan pemerintah Orde
Baru tersebut justru muncul disebabkan kepedulian pers pada kepentingan masyarakat.
Ini artinya, pers yang mendapat peringatan pemerintah sama saja dia mempunyai
Pembatalan tiga penerbitan sekaligus pada 21 Juni 1994 (Tempo, Editor, Detik). Salah
satunya dipicu oleh semangat pers untuk melihat kewajiban menyebarkan berita
meskipun pada akhirnya terbentur oleh keperkasaan Negara. Tidak dipungkiri dominasi
pemerintah ernah sangat kuat dalam kehidupan pers pada era kekuasaan rezim Orde
Baru.
sungguh tidak terlihat ada masa itu. Oleh sebab itu untuk tidak menafsirkan peran pers
ruang khusus untuk bisa menyebarkan informasi kepada masyarakat luas. Sebab ketika
maka konsep kebebasan pers harus diberikan dalam kadar yang lebih. Dengan
demikian kebebasan bukan merupakan kewajaran, tetapi sudah menjadi tuntunan bagi
pers. Pers Indonesia harus mampu menuntut kebebasan lebih ketika pemerintah sudah
memberikan ruang. Namun terlepas dari kebebasan apa yang akan diwujudkan. Pers
Pasca orde baru (masa reformasi), pers Indonesia seakan memperoleh kebebasan
yang selama ini tidak pernah benar benar dirasakan. Pemerintah Habibie yang pada
pers pun dimulai. Sistem pers Indonesia pun berubah menjadi system pers liberal. Hal
ini dapat dilihat melalui minimnya self ceenshorsip pada media, artinya media lemah
dalam melihat apakah suatu beruta layak dimunculkan dan sesuaidengan keinginan
masyarakat.
Walaupun orde baru telah berakhir dan sekarang sudah menganut system pers yang
liberal dan berdalih pada system pe tanggung jawab social, tetapi masih sedikit terlihat
teori teori pers otoriter di Indonesia. Hal itu terlihat dari tayangan media massa
televise yang menyisipkan salah satu program pemerintah. Salah satu contohnya
program tersebut dalam media massa. Dalam kejadian ini pemerintah mengajak
pemerintah. Dari tayangan tersebut terlihat peranan pemerintah yang cukup kuat pada
media massa untuk dapat memaksa masyarakat agar mengikuti program tersebut. Dari
sinilah sifat otoriter pemerintah sangat dominan terhadap media massa televisi saat ini.
menyeberang ke Amerika Serikat, bahkan ke seluruh dunia. Teori ini muncul setelah
adanya perubahan besar dalam pemikiran masyarakat Barat yang dikenal sebagai
otoriter karena berasal dari falsafah umum rasionalisme dan hak alam, serta karya
Ketika kebebasan politik, agama, dan ekonomi semakin tumbuh bersamaan dengan
tumbuhnya pencerahan, maka tumbuh pula tuntutan akan perlunya kebebasan pers.
Dalam saat itulah libertarian theory pun muncul. Teori pers bebas ini mencapai
puncaknya pada abad ke-19. Dalam teori ini manusi dipandang sebagai makhluk
rasional yang dapat membedakan antarayang benar dan tidak benar. Pers harus
menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran, dan bukan sebagai pemerintah. Jadi,
Sebutan terhadap pers sebagai The Fourth Estate atau Kekuasaan Keempat setelah
eksekutif, legislative, dan yudukatif pun menjadi umum diterima dalam teori pers
libertarian. Oleh karenanya, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah.
Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang
sama untuk dikembangkan sehingga yang benar dan dapt dipercaya akan bertahan,
Asumsi dasar teori libertarian adalah manusia pada hakikatnya dilahirkan sebagai
makhluk bebas yang dikendalikan oleh rasio atau akalnya. Manusia memunyai hak
Dalam hubungannya dengan kebebasa pers, teori libertarian beranggapan bahwa pers
informasi dan pikiran-pikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu apabila
Pihak yang berhak menggunakan media massa dalam teori libertarian adalah siapa pun
yang memunyai sarana ekonomi. Para pemilik medianya pada umumnya adalah
swasta.
Tujuan dan fungsi media massa menurut paham liberalisme adalah member
Media dilarang menyiarkan nama baik atau penghinaan, menampilkan pornografi, tidak
sopan, dan melawan pemerintah. Bila dilanggar, maka akan diproses melalui
pengadilan.
Pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 1945, kita menikmati masa bulan
madu. Di Jakarta dan di berbagai kota, bermunculan suratkabar baru. Pada masa ini,
pers nasional bisa disebut menunjukkan jati dirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi
mereka hanya pada bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Bagi pers
saat itu, tak ada tugas yang paling mulia kecuali mengibarkan bendera merah-putih
setinggi-tingginya.
Pada saat-saat revolusi fisik itu pers Indonesia memunyai fungsi yang khas. Hasil karya
para wartawan bukan lagi bermanfaat bagi konsumsi pembaca di daerah pedalaman,
tetapi juga berguna bagi prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang berjuang di front. Berita-
berita yang dibuat wartawan bukan saja mengobarkan semangat berjuang membela
politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet
partai-partai politik besar. Inilah yang disebut era pers partisipan. Artinya, pers dengan
sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti paratai politil yang
disukai dan didukungnya. Kebebasan pers,di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih
salah satu partai politik sebagai induk semang dan buka bebas untuk meliput dan
melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui masyaraakt luas. Dalam era ini
pers Indonesia terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi
kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat
partai.
Pada waktu itu, antara tahun 1950, yakni waktu pengakuan kedaulatan sampai 1959,
muncul doktrin Demokrasi Terpimpin yang kemudian disusul dengan ajaran Manipol
Usdek, kebebasan pers banyak digunakan untuk saling mencaci maki dan memfitnah
lawan politik dengan tujuan agar lawannya itu jatuh namanya dalam pandangan
khalayak.
Era pers partisan ternyata tidak berlangsung lama. Sejak Dekrit Presiden 1 Juli 1959,
pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan pers diwajibkan memiliki
Surat Ijin Terbit (SIT). Bahka menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat
dikatakan sebagai tanggal kematian pers Indonesia. Pada tanggal inilah, Penguasa
Darurat Perang Daerah (Paperda) Jakarta Raya, menetapkan batas akhir pendaftaran
bagi seluruh penerbitan pers untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT).
Lebih parah lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada
organisasi politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat
kabar pada waktu itu dimiliki oleh partai politik dan organisasi massa. Baru beberapa
bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir praturan baru yang mempersempit ruang
gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya
adalah pemberontakan G30S/PKI. Gerakan ini berhasil ditumpas rakyat bersama TNI
dan mahasiswa.
Pada tahun 1945 di Jakarta terbit harian Asia Raya, yang memang diterbitkan pada
zaman Jepang. Baru pada tanggal 1 Oktober 1945 terbit harian Merdeka sebagai hasil
Surabaya terbit Suara Rakyat (bekas Suata Asia), dan di Semarang Warta
Sejak tahun 1950, partai politik besar memunyai surat kabar sebagai pembawa
Indonesia. Partai Nahdatul Ulama diwakili oleh Duta Masyarakat. Dan terompet PKI
adalh Harian Rakyat. Sedangkan pembawa suara Partai Sosialis Indonesia adalah
harian Pedoman.
Peraturan Undang-Undang yang Dibuat Pada Zaman Libertarian di Indonesia
kedaulatan RI atas seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Barat. Pada tanggal 1
Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS
Sementara.
Pada tahun-tahun antara 1955-1958 dalam sejarah pers Indonesia belum terjadi
Pada waktu itu dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1954, telah dicabut presbreidel-
pasal 19 jo. 33 UUD Sementara RI. Akan tetapi dengan mempergunakan pasal-pasal
Reglemen SOB (Staat van Oorlog en Beleg) ciptaan penjajahan Belanda, penguasa
masih dapat bertindak terhadap pers. Banyak surat kabar yang dibreidel, banyak pula
Pada tanggal 1 Oktober 1958 Paperda (Penguasa Perang Daerah) mewajibkan semua
surat kabar dan majalah memiliki SIT. Sesudah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959,
penerbit pada tahun 1960 diwajibkan lagi mengajukan permohonan SIT. Pada bagian
bawah formulir perizinan SIT itu tercantum 19 pasal persyaratan yang mengandung
janji penanggung jawan surat kabar tersebut jika diberi SIT, maka ia akan mendukung
Manipol Usdek dan akan mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan akan
dikeluarkan penguasa.
Beberapa bulan kemudian, mucul peraturan baru. Pada waktu itu pihak penguasa,
atau majalah harus didukung oleh satu partai politik atau tiga organisasi massa. Dan
surat kabar daerah yang semula masih dibenarkan memakai nama berbeda, dengan
organ resmi harus berafiliasi dengan nama organnya di Jakarta. Jadi, Trompet Massa di
Medan harus berafiliasi dengan Sinar Harapan menjadi Sinar Harapan Edisi Sumatera
Tahun 1966 bagi sejarah pers Indonesia merupakan tahun penting karena pada tahun
Pokok Pers. Memang setiap dictum dari suatu undang-undang bisa saja menimbulkan
tafsiran-tafsiran yang berbeda antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, tetapi
dengan adanya undang-undang setidaknya ada suatu pegangan untuk bertindak dan
Akibat peraturan afiliasi tadi, dapa dibayangkan corak pers Indonesia saat itu. Ruang
gerak para wartawan dipersempit, keterampilan dikekang, dan daya pikir ditahan.
waktu mana wartawan-wartawan giat menjalankan apa yang mereka namakan ofensif
revolusioner di segala bidang. Hal ini mereka jalankan melalui media massa yang
hampir seluruhnya mereka kuasai. Kantor Berita Antara yang merupakan potensi yang
vital telah mereka kuasai sehingga dalam segi pemberitaan sangat menguntungkan
mereka.
Bahwa wartawan-wartawan komunis tahu benar betapa vitalnya suatu kantor berita.
Pembaharuan SIT juga berdampak buruk bagi wartawan. Sejumlah surat kabar telah
dilancarkan pada 1 Oktober 1965 dengan menyandang nama G30S/PKI. Gerakan ini
Politik berubah, pers pun berubah, dengan sendirinya jurnalistiknya berubah. Akibat
punahnya Orde Lama diganti Orde Baru, hilanhlah pula Harian Rakyat, Bintang Timur,
Warta Bhakti, dan suratkabar komunis lainnya. Muncullah Harian Kami, API, Tri Sakti,
Kembalilah pers Indonesia menghirup alam bebas, tetapi bukan bebas ukurans seperti
bebasnya pers liberal, melainkan bebas tanggung jawab pribadi, tanggung jawab sosial,
penyalahgunaan sistem pers liberal tahun 1950-an. Kasus ini bermula dari Markas
Besar Angkatan Darat yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Angkatan Darat
merasa tidak senang dengan perdebatan yang terjadi di DPRS (Dewan Perwakilan
Puncak peristiwa tersebut terjadi ketika Mosi Manai Sophiaan (PNI) diterima.
Mosi tersebut bertujuan menyelidiki keadaan dalam ABRI umumnya dan Angkatan
Darat khususnya, secara lebih seksama. Pada 17 Oktober 1952 terjadi pengobrak-
abrikan gedung DPRS, sementara itu istana dikelilingi oleh pasukan yang mengarahkan
meriam ke istana.
Oleh karena kejadian tersebut, terjadi polemik serius dan intens di kalangan pers.
Terjadi pro dan kontra terhadap peristiwa tersebut. Bahkan menurut Soebagijo I.N.
dalam buku PWI Jaya di Arena Masa, polemik yang terjadi berubah menjadi caci-maki
bersifat pribadi yang bisa dianggap ekses kebebasan pers pada saat itu.
berita berjudul Rentjana Gadji Baru untuk Pegawai Negeri. Minimum Rp 135,- dan
Maksimum Rp 2700,-. Berita tersebut berasal dari sumber yang tidak mau disebutkan
namanya. Dengan kata lain, harian Pemandangan menggunakan hak tolak dengan
Pegawai yang menyatakan bahwa berita tersebut membocorkan rahasia negara. Akan
tetapi, sesuai dengan ketentuan Kode Etik Jurnalistik PWI, Asa Bafagih tetap
18 Maret 1953
Kalimat itulah yang menjadi judul berita utama surat kabar Pemandangan Nomor 142
Tahun 20 yang terbit pada Rabu, 18 Maret 1953. Pemandangan mengatakan bahwa
berita tersebut ditulis oleh koresponden kita sendiri. Dalam berita tersebut, disebutkan
makanan-minuman kaleng-botol sampai industri farmasi serta pabrik mobil dan traktor.
Asa Bafagih pun kemudian diperiksa. Penyebab pemeriksaan Asa adalah surat dari
Perdana Menteri Wilopo yang meminta Jaksa Agung memeriksa Asa, karena berita
tersebut dianggap sebagai delik pers. Sekali lagi Asa Bafagih menggunakan hak tolak
karena sumber yang memberikan informasi yang dimaksud meminta agar identitasnya
dirahasiakan.
Tuduhan itu sangat berat, terutama karena datangnya dari Perdana Menteri sendiri,
kata Asa Bafagih seperti yang dikutip dari harian Pemandangan. Proses hukum kasus
sepanjang 1952-1953.
Pengurus Pusat PWI kemudian mengeluarkan petisi yang salah satunya berisi tuntutan
ditujukan ke Jaksa Agung, Pengurus Pusat PWI juga meminta Dewan Kehormatan PWI
Kemudian Wakil Dewan Kehormatan PWI Mr. Moh. Natsir dan Roeslan Abdulgani
sebagai anggota menyatakan supaya diadakan peninjauan kembali terhadap apa yang
Mengenai hak ingkar, walaupun pemerintah belum mengakui kode etik secara formal,
sikap Asa telah diakui oleh kode etik. Seharusnya diambil kebijaksanaan dalam perkara
ini sesuai tuntutan PWI Kring Jakarta. Selain itu, Natsir dan Roeslan memperingatkan
paham komunis pada awal abad ke20. System ini dipengaruhi oleh pemikiran karl marx
tentang perubahan sosial yang di awali oleh dialektika hegel. Pers dalam system ini
merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari Negara. pers
menjadi alat atau organ partai yang paling berkuasa sebagai alat propaganda Negara.
Filsafat yang mendasari system ini dalah absolutism, dimana Negara memegang penuh
sesuatu digunakan untuk kepentingan Negara dan hak individu tidak diakui dalam
system ini.
Tujuan utama dari system pers ini ialah memberi sumbangan bagi kesuksesan dan
media hanya diperbolehkan di akses oleh anggota-anggota partai yang loyal. Hal-hal
yang dilarang adalah kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari taktik-taktik
partai. Dalam system ini media massa ialah milik Negara dan media sangat dikontrol
Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di
(a) jika digabungkan dengan semberdaya alam dan kemudahan produksi dan
dan kontrol yang merubah sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan
yang termobilisir.
Partai mengganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi
Negara Soviet bergerak dengan program-program paksaan dan bujukan yang simultan
media.
Komunikasi massa digunakan secara instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan
instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai. Komunikasi massa hampir
Fungsi pers komunis itu sendiri adalah memberi bimbingan secara cermat kepada
masyarakat dari cita-cita partai. Antara teori totalitarian dengan teori otoritarian sama-
sama menggunakan kata kebebasan untuk masyarakat. Namun kebebasan masyarakat
kepentingan partai.
Dalam hal ini, pers Soviet harus melakukan apa yang terbaik bagi partai dan
mendukung partai sebagai sikap dan perbuatan moral yang berorientasi pada
kepentingan rakyat (manifestasi kehendak rakyat). Teori ini berpegang pada asas
kebenaran berdasarkan teori Marxis. Pers Soviet bekerja sepenuhnya sebagai alat
penguasa, yang dalam hal ini adalah partai komunis. Dimana Partai Komunis tersebut
dalam pengertian Marxis adalah rakyat. Berdasarkan pemahaman itu pers harus
POIN UTAMA : Tujuan utama dari sistem pers ini adalah memberi sumbangan bagi
keberhasilan dan kelanjutan sistem sosialis Sovyet dan terutama bagi kediktatoran
partai. Penggunaan media hanya boleh diakses oleh anggota-anggota partai yang loyal.
Teori soviet komunis hampir sama dengan teori pers otoritarian, kalau otoritarian media
massa dilarang mengkritik jalannya system pemerintahan lain halnya dengan soviet
komunis media massa dilarang mengkritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari
taktik-taktik partai partai yang ada pada system ini adalah partai komunis dan
Penggunaan media hanya boleh diakses oleh anggota-anggota partai yang loyal. Pada
sistem pers ini, media massa adalah milik negara dan media sangat dikontrol dengan
bisnis, sedangkan bagi totalitarian berarti kepentingan partai. Dalam hal ini, pers Soviet
harus melakukan apa yang terbaik bagi partai dan mendukung partai sebagai sikap dan
rakyat). Teori ini berpegang pada asas kebenaran berdasarkan teori Marxis. Pers Soviet
bekerja sepenuhnya sebagai alat penguasa, yang dalam hal ini adalah partai komunis.
Dimana Partai Komunis tersebut dalam pengertian Marxis adalah rakyat. Berdasarkan
pemahaman itu pers harus mengikuti kebenaran rakyat, yaitu partai yang substansinya
adalah pemerintah.
a) Media Massa harus melayani kepentingan dan berada dalam kontrol kelas pekerja.
c) Media harus selalu melakukan tugas fungsi positif bagi masyarakat dengan cara
bersifat anti-sosial
f) Media harus memberikan pemikiran dan pandangan yang lengkap dan objektif
tak pernah dicapai sebelurnnya selama hampir tiga abad; beberapa analis bahkan
tetapi, sejak 1990, keadaan dari media cetak memburuk disebabkan oleh tekanan
Sampai saat ini hanya beberapa penerbitan yang telah mencapai kemerdekaan
finansial dari pemerintah atau kelompok politik tertentu yang melihat mereka (dalam
tradisi lama negara itu) sebagai corong ke masyarakat dan sebagai alat untuk
mesin komunis. Orang-orang soviet mengatakan bahwa pers nya bebas untuk
menyatakan kebenaran, sedangkan pers dengan apa yang dinamakan sistem liberal
a) Dihilangkannya motif profit (yakni prinsip untuk menutup biaya) pada media.
b) Menomorduakan topikalitas.
Kasus
Tamatnya pemerintahan komunis di USSR yang diikuti dengan pecahnya Uni Soviet
telah mendatangkan kehancuran dan penyusunan kembali hampir semua elemen dasar
yang ada di negara tersebut. Sebagian dari proses itu disumbangkan oleh mass media,
yang membawa kejatuhan dari sistem pers dan penyiaran yang lama. Glasnot, yang
diarahkan untuk membuka diskusi kritis mengenai masa lalu negeri tersebut dan
belenggu sensor dan berkembang melewati semua batasan-batasan yang ada dan
bertujuan untuk menyusun kembali ekonomi dan masyarakat Soviet yang berlangsung
antara 1985 dan 1991, telah menciptakan lingkungan-lingkungan material yang baru
menciptakan fondasi untuk perkembangan pers dan penyiaran. Tahun 1992 sampai
1994 merupakan masa yang paling tak stabil bagi Rusia, yang akan membuat setiap
Sampai akhir-akhir ini, media masa Soviet tidak mempunyai dasar hukum. Aktivitas
mereka di atur oleh keputusan yang dibuat oleh badan-badan dan fungsinalis Partai
Komunis. Surat keputusan tersebut mengenalkan cara-cara sementara dan luar biasa
untuk menghentikan aliran kotoran dan fitnah dan tak pernah dicabut selama tujuh
dasa warga pemerintahan Soviet. Kebebasan penuh dalam batasan tanggung jawab di
depan pengadilan yang dijanjikan dalam teksnya, yang akan direalisir oleh
perundangan yang luas dan progresif muncul melalui Undang-undang Pers dan Media
lain di USSR (1 Agustus 1990) dan Undang-undang Federasi Rusia mengenai Media
Kebebasan informasi masa dalam hukum Rusia bersifat tak terbatas (kecuali dengan
dalam Pasal 1 Undang-undang USSR mengenai Pers dan Media Masa yang Lain
(Undang-undang Pers USSR). Untuk memonitor pelaksanaan statuta pers, diciptakan
suatu badan khusus, Inspektorat Negara untuk Melindungi Kebebasan Pers dan
Informasi Masa pada bulan September 1991 dengan mandat untuk mengusut
pemerintah, pendiri, redaksi penerbitan dan stasiun radio serta TV apabila melakukan
dan mungkin paling penting yang menjamin kebebasan pers dan kebebasan berbicara.
membuat dan menyebarkan informasi dengan cara apapun yang tidak bertentangan
Di puncaknya bertengger pers pusat: berlokasi di Moskow, koran atau majalah yang
pemerintah, dan berbagai badan pusat, baik milik negara atau milik masyarakat.
Meskipun jumlah perusahaan pers pusat ini hanya 3% dari jumlah perusahaan koran,
akan tetapi sirkulasinya sebesar 73% dati keseluruhan sirkulasi media masa di Uni
Sovyet. Meskipun tidak ada hubungan antara publikasi-publikasi lokal dengan publikasi-
publikasi pusat, akan tetapi jalur komando antara badan-badan yang mengaturnya
Koran-koran ini isinya hampir sama, seringkali pula dengan opini dan editorial yang
sama yang bukan cuma menjelaskan pandangan partai mengenai isu-isu politik tertentu
akan tetapi juga bertindak, dalam tradisi Leninis yang terbaik, sebagai kolektif
kebebasan sebagai press kelas dua, karenanya mereka dapat membuat variasi gaya
dan rasio propaganda mereka dalam bentuk cerita-cerita, hiburan. Dari tahun 1986
sampai 1988 Mikhael Gorbachev menanamkan orang-orang yang secara politis setia
kepadanya sebagai editor-editor disurat kabar besar, sehingga peran pers pusat
tanpa harus melewati hambatan oposisi. Kolom surat-surat pada redaksi mereka
menjadi jalan yang siap untuk menampung partisipasi mereka dalam perestroika.
Prestise dan kebebasan yang diberikan oleh Kremlin pada para jurnalis membuat
mereka ini menjadi sekutu alami. Tiba-tiba datang kejadian yang tidak diharapkan oleh
para birokrat. Undang-undang mengenai Pers dan Media Masa lain dari USSR
negara.
Pada dasarnya, prosedur ini memberi kesempatan bagi star redaksi untuk mencari dan
mendaftarkan pendiri yang mungkin berbeda dari majikan lama mereka, atau bahkan
mungkin mendaftarkan koran-koran itu atas nama mereka sendiri. Tindakan ini
menciptakan ancaman nyata pertama kali atas piramida tersebut dengan cara
memisahkan outlet- outlet yang baru bebas dari garis komando yang lama. Pada saat
yang bersamaan,para redaktur yang berani dan orang-orang kaya baru mulai mengisi
kekosongan kekosongan ini. Letupan kedua terjadi pada tahun 1991 dengan adanya
larangan terhadap Partai Komunis dan nasionalisasi yang dilakukan terhadap hak milik
mereka.
partai komunis terutama tingkat propinsi didatarkan dengan nama berbeda (kata-kata
seperti kommunist , pravda dan sovetsky sudah menjadi usang); disamping itu
beberapa yang lainnya memakai susunan redaksi yang berbeda, dan yang pasti
mereka semua membebaskan diri dari penguasa mereka karena partai yang
keseluruhan sistem pers pusat lokal menjadi ambruk karena mekanisme partai yang
mendukungnya lenyap. Dalam beberapa hal negara mencoba untuk meniru sistem
lama dengan menciptakan struktur yang serupa dengan struktur pemerintah dan pers di
Moskow dan di republik-republik tetapi dengan atmosfir otonomi yang lebih besar dari
pemerintahan lokal dan pengurangan jepitan politik (dan, sampai batas tertentu,
keinginan politis) untuk menjalankan tekanan tersebut tetapi hal itu tidak membawa
hasil. Tahun 1989 dan 1990 merupakan puncak popularitas bagi media masa pada
Rakyat diamati langsung di televisi dan didengarkan di radio dengan perhatian yang
begitu tinggi sehingga penurunan tajam angka-angka produksi industri dicatat selama
hari-hari tersebut. Dapat dikatakan itulah masa keracunan dengan Glasnost. Tiga
penerbitan mereka dari lima atau enam menjadi hanya satu penerbitan saja. Media
tidak lagi dipandang oleh masyarakat sebagai sumber bantuan dan harapan atau
sarana untuk mengutarakan pendapat mereka. Pada tahun 1988 mulai ada
kecenderungan untuk lebih menyukai pers lokal dibandingkan dengan pers pusat.
Pertama kali, hal itu terlihat jelas di republik-republik Persatuan yang pemikiran
nasionalisme yang memberikan jalan bagi ketertarikan pada berita-berita lokal. Riset
telah menurun dengan tajam pada dua tahun terakhir ini. Kebanyakan orang Rusia
pertama dan terutama ingin membaca hal-hal yang berkenaan dengan biaya hidup dan
kriminalitas dengan kata lain, persis dengan apa yang disajikan oleh pers lokal. Salah
kehidupan di republik-republik lain bekas USSR dan politik luar negeri yang
Siapa Yang Memiliki Pers? Sebagaimana yang diutarakan di atas, pers di USSR dimiliki
oleh Soviets, aparat negara, dan organisasi umum (semuanya dikendalikan oleh Partai
Komunis), atau langsung oleh partai, atau oleh kombinasi dari ketiganya. Dengan
utama, terutama pada tingkatan lokal. Pada tahun 1993 ada sebanyak 200 koran
partai-partai tersebut berhasil. menerbitkan hanya beberapa edisi dari koran atau
buletin mereka sebelum kemudian rontok.Evaluasi kasar dari struktur kepernilikan pers
Rusia menunjukkan bahwa 29% koran nasional dimiliki pemerintah federal, 30%
menjadi milik organisasi publik danpartai, dan 41 % milik swasta; 21 % koran regional
yang dimiliki pemerintah federal sementara 22% dimiliki swasta; sedangkan pers tingkat
kota, 85% dimiliki oleh pemerintah kota sedang sisanya dimiliki oleh swasta atau umum.
Dari semua koran yang tercatat di Rusia pada tahun 1993, 57,1% merupakan milik
pribadi, 23,1% milik negara (5.8% milik pemerintah kota), dan 19,8% milik organisasi
umum dan partai politik (Bekker & Gurevich, 1993). Masalah subsidi menampilkan
aspek yang paling pelik dan rawan dalam hubungan antara negara dan media masa di
Rusia. Di satu sisi, ketergantungan finansial dari pers terhadap negara memberikan
keseimbangan pelaporan. Disisi lain, beberapa pihak mengatakan bahwa pers dan
penyiaran, apabila diperhatikan, bukan hanya berupa alat politis atau usaha komersial
saja akan tetapi juga merupakan lembaga yang memberikan keuntungan kultural dan
pendidikan bagi masyarakat yang harus menikmati perlindungan dari negara. Idealnya
prioritas bantuan diberikan pada surat kabar-surat kabar yang ditujukan untuk anak-
anak dan pemuda, orang cacat, kelompok minoritas dan majalah-majalah sastra dan
kebudayaan. Bersamaan dengan itu, berdasarkan keputusan-keputusan terpisah dari
pemerintah, donasi yang besar diberikan kepada koran-koran dengan sirkulasi besar
yang bekerja untuk apa yang dinamakan ruang informasi bersama di bekas Uni
Sovyet, seperti Trud dan Komsomolskaya pravda. Angka yang pasti dari subsidi
tersebut tidaklah tetap. Salah satu alasannya adalah bahwa anggaran tersebut terus
menerus direvisi dengan mempertimbangkan inflasi saat itu yang mencapai hampir 1 %
setiap hari. Lebih-Iebih lagi, pejabat pemerintah memberikan angka yang berbeda-beda
satu sama lain. Disamping itu, penerbit-penerbit penerima subsidi lebih suka untuk
media pada subsidi dapat berbalik akibatnya pada pemerintah sendiri apabila
kebutuhan pers terhadap injeksi anggaran tidak dapat dipenuhi. Kemudian kekuatan
keempat ini akan mendukung kekuatan oposisi dan berusaha untuk menegakkan
Rusia adalah monopoli. Distribusi dikuasai oleh Rospechat (Pers-Rusia), badan semi
menunjukkan bahwa Rospechat, dilihat oleh badan-badan negara sebagai badan usaha
kebanyakan, yang membayar semua pelayanannya dengan tarif yang sama, misalnya,
dengan restoran atau hotel untuk turis asing. Pengiriman sebuah koran, yang dibayar
oleh seorang pelanggan, jarang sekali dapat di cover oleh badan tersebut. Kerugian
seperti ini biasanya ditutup oleh keuntungan dari pelayanan telekomunikasi, tetapi saat
itu ditutup dengan surat keputusan presiden, sejak 1993 pelayanan-pelayanan ini
dibebaskan dari kantor Pos. Sampai awal 1990 an sistem kantor berita di USSR terdiri
atas TASS (Telegraph Agency of the Soviet Union) dengan 14 anak perusahaannya di
republik Persatuan dan Novusti Press Agency. Saat ini, Rusia saja mempunyai 400
kantor berita.
Dengan runtuhnya USSR, TASS berubah menjadi the Information Telegraph Agency of
Russia, IT AR- TASS, memakai singkatan TASS sebagai trademark yang sudah dikenal
saja. Selama berpuluh tahun setelah pendiriannya di tahun 1925. TASS berada
dibawah pengawasan Dewan Menteri USSR, kemudian dibawah Presiden USSR, pada
tahun 1991 menunjuk bekas Sekretaris Persnya Vitaly Ignatenko sebagai Direktur
Jendralnya. Pada saat keemasannya di pertengahan 1980 an, TASS mempunyai biro-
biro dan koresponden di 110 negara aging (saat ini hanya tinggal 75 negara), menjadi
sumber informasi utama bagi rakyat Sovyet tentang kehidupan di luar negeri dan
peristiwa-peristiwa di dalam negeri; saat itu merupakan salah satu kantor berita lima
besar dunia.Kantor berita ini masih merupakan badan setengah resmi yang dipakai oleh
oleh publik dunia, disamping untuk mengedarkan dokumen-dokumen resmi. Yang akan
kita saksikan dimasa yang akan datang adalah kelahiran dan penguatan dari kantor-
kantor berita tingkat lokal, yang dilihat oleh parlemen dan pemerintah bekas republik-
republik otonomi sebagai bagian yang paling penting dari kedaulatan mereka yang
sedang tumbuh.
Di tahun-tahun akhir 1980 an pers Rusia memperoleh tingkat kebebasan yang tak
pernah dicapai sebelurnnya selama hampir tiga abad; beberapa analis bahkan
menyebut tahun-tahun perestroika sebagai zaman keemasan (Tolz, 1992). Akan
tetapi, sejak 1990, keadaan dari media cetak memburuk disebabkan oleh tekanan
Sampai saat ini hanya beberapa penerbitan yang telah mencapai kemerdekaan
finansial dari pemerintah atau kelompok politik tertentu yang melihat mereka (dalam
tradisi lama negara itu) sebagai corong ke masyarakat dan sebagai alat untuk
komunis. Penutup Kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan di atas, sistem pers
a) Media Massa harus melayani kepentingan dan, dan berada dalam kontrol kelas
pekerja.
c) Media harus selalu melakukan tugas fungsi positif bagi masyarakat dengan cara
bersifat anti-sosial.
f) Media harus memberikan pemikiran dan pandangan yang lengkap dan objektif
g) Wartawan adalah kalangan profesional yang bertanggung jawab yang memiliki tujuan
Sistem komunikasi yang berdasar tanggung jawab sosial (social responsibility system)
muncul pada abad ke-20 sebagai modifikasi terhadap sistem libertarian. Teori ini
diperkenalkan oleh Theodore Peterson dalam buku Four Theory of The Press. Menurut
dalam negara penganut demokrasi memiliki kewajiban dan tanggung jawab kepada
Pada dasarnya fungsi pers di bawah teori tanggung jawab sosial sama dengan fungsi
a) Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan tentang
c) Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga (watch
d) Melayani sistem ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau
e) Menyediakan hiburan
f) Mengusahakan sendiri biaya finansial sedemikian rupa sehingga bebas dari tekanan-
Teori tanggung jawab sosial berpegang pada pengetahuan manusia. Dengan rasionya,
manusia dapat membedakan mana hal-hal yang bermanfaat, yang baik dan mana yang
tidak baik dan tidak bermanfaat dan tidak baik. Jika manusia tersebut bekerja dalam
wilayah pers maka ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik,
sehingga semua pesan-pesan komunikasi dan informasi yang dikeluarkan oleh pers
Teori tanggung jawab sosial berasal dari inisiatif orang Amerika Komisi Kebebasan
Pers atau the Commission of Freedom of the Press. Pendorong utamanya adalah
tumbuhnya kesadaran bahwa dalam hal-hal tertentu yang penting, pasar bebas telah
gagal untuk memenuhi janji akan kebebasan pers dan untuk menyampaikan maslahat
pemikiran: siapa yang menikmati kebebasan juga memiliki tanggung jawab tertentu
kepada masyarakat. Teori ini muncul karena teori libertarian dinilai terlalu
mementingkan kebebasan.
Lalu, apakah teori ini dapat diterapkan di sebuah negara? Menurut Denis McQuail
dalam bukunya Mass Communication Theory, teori tanggung jawab sosial dapat
diterapkan secara luas, karena ia meliputi beberapa jenis media cetak privat dan
media melakukan fungsi yang esensial dalam masyarakat, khususnya dalam hubungan
untuk melakukan fungsi itu terutama dalam lingkup informasi, dan peneyediaan ruang
bagi bagi berbagai pandangan yang berbeda, penekanan pada kemandirian media
pandangan bahwa ada standar prestasi tertentu dalam karya media yang dapat
Prinsip utama teori tanggungjawab sosial sekarang dapat disajikan sebagai berikut:
masyarakat.
seyogyanya dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang
ada.
sama untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
memilikihak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat
Berbeda pendapat dengan McQuail yang berpendapat bahwa teori tanggung jawab
sosial dapat diaplikasikan secara luas, Soemarno dalam modul Perbandingan Sistem
dapat dipraktekkan dan hanya menjadi teori semata dengan alasan sebagai berikut:
Dua teori lainnya,social responsibility theory (teori pers bertanggungjawab social) dan Soviet
communist theory (teori pers komunis Soviet) dipandang sebagai modifikasi yang diturunkan
Dalam pers bebas,para pemilik dan para operator pers yang terutama menentukan fakta-fakta
apa saja yang boleh disiarkan kepada publik (fungsi gatekeeper) dan dalam versi apa (fungsi
kebebasan internal dan proses konsentrasi pers.Teori pers bertanggungjawab social yang ingin
. Rumusan ini dimuat dalam laporan Commission on the Freedom ,1949,dengan ketua Robert
Hutchins.
1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya,lengkap dan
2. Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik.
suatu saat.
Pengaruh laporan komisi tersebut sedikit banyak memberi warna terutama seputar tuntutan
Baru tahun 1956,pers Amerika mulai meninggalkan prinsip-prinsip teori pers libertarian dan
dikehendaki masyarakat Amerika yaitu kebebasan yang selalu dengan syarat terhadap
kewajiban-kewajiban pers kepada masyarakat.Fungsi mendidik media massa perlu diberi ruang
dan bobot yang lebih.Jangan hanya mencari keuntungan saja,tetapi juga menterjemahkan
Siebert dkk dalam bukunya Empat Teori Pers menetapkan 6 fungsi pers dalam system pers
1. Melayani system politik yang memungkinkan informasi,diskusi dan konsiderasi tentang masalah
2. Memberikan informasi kepada publik untuk memungkinkan publik bertindak bagi kepentingannya
sendiri.
penjual.
6. Memelihara otonomi dibidang finansial agar tidak terjadi ketergantungan kepada kepentingan-
Teori pers bertanggungjawab social ini merupakan teori baru dan memberikan banyak informasi
dan menghimpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkatan kecerdasan.Teori ini tidak
disukai oleh pers bebas atau libertarian,yakni menjalankan etika pers dan menjamin suara
Sistem tanggung jawab sosial berada diantara dua sistem komunikasi lainnya, yaitu
dan tekanan dari penguasa karena hal tersebut adalah hambatan untuk
mengembangkan cita-cita, ide atau kehendak, sehingga fungsi primer dari suatu sistem
tidak mungkin tercapai. Demikian pula dengan pers dan media massa yang tidak
arah autoritarian mungkin akan terjadi bila bila penguasa terlalu ketat mengendalikan
Dalam hal ini maka pers menjadi alat penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Sebaliknya, bila penguasa memberikan kebebasan kepada pers, maka sistem social
Sistem tanggung jawab sosial terlalu menyerahkan tanggung jawab kepada individu
dan lembaga pengelola media massa tanpa memperhatikan nilai-nilai psikologis yang
ada pada diri manusia yang tidak lepas dari sifat subyektifnya, yang pada gilirannya
sifat ini akan mengait pada lembaga, organisasi tempat individu tersebut berkiprah.
Sistem tanggung jawab sosial bersifat universal. Menurut William L.Rivers dalam
sosial yang dipakai di negara penganut komunis dengan negara penganut paham
demokrasi yaitu terletak pada masyarakat dan sistem kepartaian yang dianutnya. Pada
negara komunis, tanggung jawab sosial dikondisikan dan dibatasi, sedangkan pada
negara demokrasi tanggung jawab sosial diserahkan kepada masyarakat dan tidak
pernah rapi.
Menurut Rivers, pemerintah tidak perlu ikut campur terlalu jauh dalam mengendalikan
kehidupan pers karena akan mengubah sistem menjadi lebih cenderung ke arah
autoritarian. Ungkapan ini menunjukkan bahwa tidak ada suatu negara yang
menerapkan sistem social responsibility secara utuh, sehingga tidak ada pola yang bisa
massa, khususnya pers. Pers akan menjadi ajang rebutan para penyandang modal
karena pers merupakan bisnis yang sangat menguntungkan. Dalam kondisi tersebut,
pers tidak bisa melaksanakan fungsinya secara sehat dengan alasan sebagai berikut:
1) Pers akan menjadi alat bagi suatu kelompok yang mempunyai interest tertentu,
2) Para pemilik perusahaan lebih berorientasi kepada keuntungan bisnis atau komersial
3) Media massa, khususnya pers sering memberikan perhatian terhadap hal-hal yang
tampak dari luar terlihat sensasional, sehingga sering gagal dalam menyajikan hal-hal
4) Media massa, khususnya persndikendalikan oleh salah satu kelas ekonomi, kelas-kelas
5) Pemerintah bisa saja menggunakan lembaga atau organisasi yang mengontrol sistem
6) Ekspresi yang ingin dituangkan oleh masyarakat masih dibatasi oleh peraturan yang
ada sehingga tidak semua bentuk ekspresi dapat dipublikasikan melalui media.
Contohnya saja gambar yang berbau porno, menurut seniman itu seni tetapi bagi orang
lain itu pornografi yang tidak patut dipublikasikan sehingga media tidak boleh
menyiarkannya.
d. Menimbulkan Disintegrasi
Orientasi para pemilik atau penguasa media massa terhadap bisnis atau komersial
negara,
3) Munculnya berbagai opini yang dibentuk oleh media massa karena ragam
pemiliknya.
berbangsa dan bernegara, sehingga tujuan sistem (negara) tidak mungkin tercapai.
bertanggungjawab sehingga tidak ada pihak yang dirugikan baik pemerintah maupun
Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Ia mempunyai karakteristik tersendiri
dibanding dengan sistem lain, misalnya sistem informasi manajeman, sistem dalam komunikasi
organisasi lain-lain. Unsur yang paling penting dalam sistem pers adalah media massa (cetak
dan elektronik). Media massa mempunyai fungsi untuk mempengaruhi sikap dan prilaku
masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau menolak kebijakan pemerintah.
Melalui media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa dilaksanakan oleh masyarakat.
Marshall Mc Luhan menyebutnya sebagai the extension of man (media adalah eksistensi
manusia). Dengan kata lain media adalah perpanjangan dan perluasan dari jasmani dan rohani
manusia. F.rachmadi (1990) berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap perasaan manusia
bisa disebarluaskan melalui pers. Wilbur Schramm (1973) pers dianggap sebagai pengamat,
forum dan guru. Artinya setiap hari pers memberikan laporan, ulasan mengenai kejadian,
menyediakan tempat (forum) bagi masyarakat untuk mengeluarkan pendapat secara tertulis
Pers memiliki dua sisi kedudukan. Pertama, sebagai medium komunikasi yang tertua dibanding
medium yang lain. Kedua, pers sebagai lembaga kemasyarakatan atau istitusi sosial
merupakan bagian integral dari masyarakat dan merupakan unsur asing atau terpisah
(Rachmadi, 1990).
Sebagai media yang merupakan unsur dalam sistem komunikasi, pers di indonesia memiliki arti
penting, yakni
1. Menjadi salah satu unsur sistem komunikasi. Tidak bekerjanya unsur yang satu ini akan
mempengaruhi kinerja sistem komunikasi, karena berbagai informasi yang terjadi tidak bisa
mempunyai tujuan mengurangi ketidakpekaan dalam pembuatan keputusan, maka melalui pers
3. Pers adalah unsur pengolah data, peristiwa, ide atau gabungan ketiganya menjadi sebuah
aluran atau output ke dalam sistem komunikasi. Artinya, berbagai informasi yang diolah lewat
media menjadi hasil yang berguna bagi proses keluaran atau output sistem komunikasi.
Pers yang bebas tidak berlangsung jawab, sering menimbulkan dampak yang tidak baik
bagi masyarakat. Dewasa ini penggunaan pers atau media massa sebagai sarana
hangat dengan cepat tanpa mengeluarkan uang yang banyak. Penggunaan teknologi
komunikasi modern yang bebas dan mudah didapat, harus didasari rasa tanggung
jawab yang tinggi. Hal itu diharapkan agar tidak terjadi dampak negatif yang merugikan.
dan berbicara.
3. Keberpihakan
4. Kepribadian
a) Dampak positif bagi individu yaitu apabila suatu pemberitaan dapat meningkatkan nilai
b) Dampak negatif bagi individu yaitu bahwa apabila pemberitaan itu menghancurkan nilai
baik terhadapnya. Hal itu akan berdampak negatif pula pada aspek bisnis.
2. Dampak bagi masyarakat
kesetiakawanan sosial, dan pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa serta timbulnya
a) Dampak positif bagi negara yaitu apabila dapat meningkatkan partisipasi, dukungan
nasional agar berjalan lancar, dan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan
b) Dampak negatif bagi negara yaitu apabila menyebabkan rakyat tidak percaya dan tidak
Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi dalam bahasa inggris di sebut dengan communication, yaitu berasal
dari kata communication atau communis yang berarti sama atau sama dengan
pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga
pesan yang di maksud dapat dipahami. Menurut James A.F.Stoner komunikasi adalah
informasi serta pemindahan pengertian antara dua orang atau lebih di dalam suatu
hubungan.
Tujuan Komunikasi
a) Source (sumber), yaitu dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan, yang
pesan.
e) Komunikan, yaitu penerima pesan dalam komunikasi dapat berupa individu, kelompok,
dan massa.
g) sil akhir dari suatu komunikasi dalam bentuk terjadinya perubahan sikap dan perilaku
komunikan.
a) Media audio, yaitu media komunikasi yang dapat didengar atau di tangkap oleh indra
telinga.
b) Media visual, yaitu media komunikasi yang dapat dibaca atau ditangkap oleh indra
mata.
c) Media audio visual, yaitu mendia komunikasi yang dapat dibaca dan didengar.
Untuk mendorong pertumbuhan media massa, maka isi pemberitaan dari siaran pers
intelektualitas, watak, moral bangsa dan mengamalkana nilai-nilai agama dan budaya
indonesia.
Sudah dipahami makna dan gambaran bagaimana sistem pers otoritarian dan libertarian itu di
tulisan sebelumnya. dan perlu dipahami pula keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan.
berikut setidaknya menggambarkan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sistem pers
di atas
Sebelumnya saya sudah membahas apa itu otoritarian dan libertarian serta bagaimana kedua
teori itu berkembang dan implikasinya terhadap suatu Negara. Tentunya dari kedua system
tersebut memiliki sisi negative dan positif nya, dan itu semua akan saya bahas disini.
Tujuan dari pers otoritarian adalah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang
berkuasa dan dimana media pada system ini selalu diawasi dan tidak boleh melakukan kritik
pada pemerintahan, maka pasti akan timbul banyak sisi Negatif dan teori ini :
Karena media yang seharusnya menjadi penghubung antara masyarakat dan pemeritah untuk
menyampaikan aspirasi tidak diperbolehkan untuk mengkritik dan mengetahui apa yang terjadi
memberikan keleluasaan pada para penguasa untuk melakukan tidakan yang tidak baik seperti
korupsi, kolusi dan nepotisme yang pernah terjadi pada massa orde baru. Itu sangat mudah
dilakukan karena media dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah dan
tidak boleh ikut campur dalam pemerintahan bahkan untuk mengkritik sekalipun.
Sisi positif dari teori pers otoritarian, karena adanya pemusatan kekuasaan yang berada di
tangan pemerintah membuat pemerintah bebas melakukan apa saja. Pemerintah akan lebiah
khususnya secara umum pada negara sedang membangun yang memerlukan kestabilan.
untuk berekspresi, berpendapat dan bahkan untuk mengkritik pemerintahan. Namun dari
system ini ada sisi negatifnya diantaranya Negara akan susah dikendalikan karena akan
banyak dari masyarakat yang melakukan kritik terhadap pemerintah bahkan akan sering terjadi
konflik antar masyarakat akibat terjadinya salah persepsi dan akan sulit dikontrol oleh
pemerintah.
Tapi sisi positif nya pada system liberal, media massa pers bukan alat pemerintah lagi
melainkan sebagai alat untuk menyajikan fakta, alasan, dan pendapat rakyat untuk mengawasi
pemerintah yaitu bisa sebagai melayani kebutuhan pendidikan politik masyarakat, Memberi
penerangan kepada masyarakat, Memberi hiburan kepada masyarakat, Melindungi hak warga
masyarakat
Pers Komunis
Dengan minimnya kebebasan pers di negara komunis seperti Soviet ada beberapa
dampak positif dan negatif yang ditimbulkan. Dampak negatif sistem pers komunis ini
adalah hanya menguntungkan kaum sosialis karena hanya memburu keberhasilan bagi
kediktatoran partai. Dan tidak semuanya berhak dapat menggunakan media dari sistem
ini karena hanya anggota-anggota partai yang loyal saja yang berhak.
Sedangkan kelebihan sistem pers komunis adalah media bebas melaksanakan tugas-
tugas sebagai instrument Negara da partai, bukan sebagai pihak-pihak yang bersaing
mendapatkan simpati public. Sistem ini menetapkan fungsi komunikasi massa secara
Sistem ini dibangun atau diciptakan sebagai bagian dari perubahan dan untuk
membantu mencapai perubahan. Dan untuk membangun statusquo Soviet, tetapi selalu
dalam konteks perubahan dan perkembangan. Serta merupakan sistem pers terencana
arah liberal pada beberapa tahun belakangan ini. Ini merupakan kebebasan pers yang
dimana media massa itu hidup. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari
organisasi dalam menentukan isi media. Hal ini berkaitan dengan pengendalian yang
dijalankan oleh pemilik media dan manajer media terhadap para produser, penyunting
Kedua jenis kebebasan tersebut, bila melihat kondisi media massa Indonesia saat ini
pada dasarnya bisa dikatakan telah diperoleh oleh media massa kita. Memang
kebebasan yang diperoleh pada kenyataannya tidak bersifat mutlak, dalam arti media
massa memiliki kebebasan positif dan kebebasan negatif yang kadarnya kadang-
kadang tinggi atau bisa dikatakan bebas yang bebas-sebebasnya tanpa kontrol
sedikitpun.
Bebasnya pers, cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha, penguasa dan
untuk dimiliki siapa saja, termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan
semata. Telah menjadi rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong
tebal untuk mendirikan dan menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media
penyajian infotaimen, sinetron dan musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media
Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya
eksekutif yang mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni
pers yang memiliki keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung
merusak masyarakat. Pers idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja
profesional dan tindakan riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain. Merusak
besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai berita dan tidak memiliki
atau bahkan mendua terhadap suatu kebijakan. Bisa saja bersikap pro atau kontra.
Media massa juga dapat menentukan diri sebagai lawan pemerintah atau bahkan
pengelolaan media.
Ada ketakutan yang luar biasa apabila kebebasan Pers pada akhirnya menjadi celah
pada kepentingan para birokrat dan penguasa maupun pengusaha, hal ini sangat
memungkinkan terjadi untuk masa sekarang dan bahkan akan berkelanjutan untuk di
masa yang akan datang. Hal ini di tandai dengan terlibatnya beberapa pengusaha-
pengusaha besar media yang akhirnya terlibat dalam politik praktis secara langsung.
Keberadaan Media atau Pers pada akhirnya akan berpihak terhadap situasi politik
nasional yang berkaitan dengan kepentingan pribadi atau golongan tertentu dan pada
karena keterlibatan pres dapat ikut terlibat mewujudkan amanat rakyat sesuai dengan
cita-cita pembukaan UUD 1945 yaitu Mencerdaskan kehidupan Bangsa. Maka tidak
menjadi relevan apabila peran pres atau media di kendalikan oleh situasi dan dinamika
politik nasional yang jelas akan melunturkan dari cita-cita dan perjuangan strategisnya.
Sejarah intelektual menyepakati suatu pendapat yang dimaksudkan dengan pers menurut Mott
(5) radio dan televisi.Dari kelima pengelompokan itu penulis menganalisis pers dalam artian
Secara teoritik peranan pers pada umumnya menggambarkan fungsi utama dari
(2) mendidik;
(3) menghibur;
(4) mempengaruhi.
Begitu luas jangkauan peranan pers di tengah-tengah masyarakat serta pemerintah maka
menurut Fischer (1968) bahwa pers dapat menciptakan pengaruh timbal balik antara pers,
masyarakat, pemerintah. Maka pers sebagai media komunikasi massa memiliki aspek lain yaitu
Mengapa ada sifat pers seperti itu? Arifin (1986) mengemukakan bahwa sifat serba hadir berarti
peranan pers itu ada dimana saja, kapan saja, pada suasana dan konteks apapun; sedangkan
sifat serba makna berarti komunikasi secara operasional dapat berarti jamak (terlihat dalam
pengkajian definisinya antara lain dapat berarti, proses, peristiwa, ilmu, kiat, dipahami,
Justru itulah maka mempelajari pers dari segi sejarah intelektual sama dengan mempelajari
filsafat yang memberi landasan paradigma tentang apa yang sedang terjadi. Akibatnya kita tidak
perlu merasa heran bahwa warna isi pers itu bervariasi tentang semua bidang kehidupan
manusia. Sampai disini benarlah ungkapan Mc.Luhan bahwa, media massa umumnya
bertindak sebagai the extension of man(pernyataan keberadaan manusia) dalam wujud
pembawaan kodratnya misalnya dalam hasrat menyatakan diri, berdialog, menyerap apa yang
dilihat dan didiengarnya dan bersatu, bergaul dengan lingkungan dan dengan proses itu pers
tanpa jaminan kebebasan dan keleluasaan dalam memilih, mencari, mengumpulkan, mengolah,
dan menyebarluaskan informasi yang diperolehnya dari penguasa/pemerintah maka pers sulit
Dalam merealisasikan kebebasan itu tentu ditempuh berbagai cara yang sesuai dengan
konstitusi dan sistem hukum nasional, disinilah fungsi regulasi dan pemerintah dimunculkan.
Menurut Bridge (1983) bahwa, satu hal yang pasti, komunikasi menjadi demikian pentingnya di
negara yang sistem medianya juga dimiliki oleh swasta, sehingga negara membuat pengaturan
yang mengikat. Dan kalau terjadi kontrol pemerintah maka apa yang harus dipertahankan pers?
Maka Rauel Barlow seraya mengutip pendapat Alexander Hamilton dalam Mott (1969) bahwa,
menyebarluaskan kebenaran, dari dorongan yang murni demi kepentingan keadilan yang dicita-
citakan, walaupun harus mencela pemerintah maupun pribadi para pemimpinnya sekalipun.
Sehingga sikap pers harus melawan dengan mempertahankan keberadaannya secara esensial.
Permasalah pers pada umumnya sebagaimana dilukiskan di atas terjadi pula di Indonesia,
Dalam UU Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982, pers diartikan sebagai suatu lembaga
beberapa terminologi. Misalnya perkataan revolusi (sebelum dalam UU Nomor 11 Tahun 1966)
diganti dengan perjuangan nasional. Pancasila, pembangunan. Dua kata terakhir ini dalam tiga
dekade terakhir menyebarluas sebagai konsep kunci, bukan saja oleh pers tetapi dalam
kehidupan masyarakat. Dan semua kekuatan masyarakat (termasuk pers) diarahkan untuk
senantiasa mengamankannya, ini membuktikan bahwa ikatan keberadaan pers sangat kuat
ditentukan oleh mati hidupnya suatu ideologi maupun pengalaman ideologi (pembangunan
Demikian pula, misalnya pers Pancasila sebagai suatu paradigma, pers Indonesia merupakan
kelanjutan perubahan dan perkembangan gagasan intelektual masa lalu yang masih relevan
untuk terus dikaji secara intelektual. Itulah sebabnya maka pertanyaan mengenai apa,
mengapa, bagaimana seharusnya pers Pancasila jaul lebih penting secara akademik yang
Mott (1969) membagi sistem pers (dalam hubungannya dengan pemerintah) atas dua
Kedua, terdiri dari tipe pers yang berpegang teguh pada prinsipnya (fungsinya) dengan
tekanan pada opini, dan pers yang menekankan pada informasi dari berita/news. Kemudian
yang bertipe fungsi opini adalah yang tertua karena dimanfaatkan secara sepihak oleh
pemerintah, dan tipe yang menekankan pada news banyak dianut di negara kapitalis/liberal.
Kedua kelompok ini menurut (Wright, 1986); (Effendy, 1986); dan (Wilson, 1989), secara tepat
(2) liberal;
(3) otoriter; (
1. Sistem otoriter mengajarkan bahwa baik media pemerintah maupun swasta tergantung pada
2. Sistem liberal, mengajarkan bahwa kebebasan media tanpa batas kontrol dari pemerintah;
3. Teori komunis Soviyet, mengajarkan peranan pers (radio, televisi, dan film) harus
memperoleh mandat penuh dari partai komunis/pemerintah karena fasilitas itu harus digunakan
4. Teori tanggung jawab sosial, mengajarkan tanggung jawab moral dan sosial orang ataupun
lembaga-lembaga yang menjalankan media massa. Diantara tanggung jawab ini termasuk
kewajiban memberikan informasi dan diskusi terhadap publik tentang masalah-masalah sosial
Bagaimana sistem pers di Indonesia? Ini lah pertanyaan mendasar dari kajian ini. Kaitan pers
membedakannya dengan pers Cina maupun pers Belanda, yaitu adanya konsep perjuangan
dan kerakyatan. Karakteristik pers perjuangan nampak pada orientasinya pada nasionalisme,
kemerdekaan dan kerakyatan, tidak komersial. Dengan kata lain, pers lebih mengutamakan
aspek politik dan ideologis daripada aspek bisnisnya. Dan ini dibuktikan dengan definisi
pimpinan nasional terlihat dengan jelas antara lain pada nama motto dari surat kabar, misalnya
nama Pikiran Rakyat, Pedoman Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Duta Masyarakat, Panji
Lalu bagaimana posisi pers Indonesia sekarang ini? Apakah tetap mewakili aspirasi rakyat dan
terus menerus mengkritik pemerintah secara berlebihan ataupun tetap hanya menjadi
Kleden (1989) mengungkap bahwa setelah fase perjuangan selesai pers Indonesia memasuki
mempunyai tiga yugas utama, yaitu memberikan informasi tentang pembangunan, melakukan
interpretasi terhadap informasi yang diberikan, dan selanjutnya mendukung informasi dan
interpretasi itu dengan tulisan yang bersifat promosi supaya informasi tersebut diterima dan
Dalam hal ini, maka pers pembangunan memperlihatkan beberapa perubahan yang menarik.
Pertama, dibandingkan dengan pers perjuangan yang lebih memusatkan perhatian pada
masalah sosial politik, maka pers pembangunan memperluas perhatiannya juga ke bidang
sosial ekonomi. Kedua, jika pers perjuangan sangat menekankan segi kontrol, maka pers
pembangunan memberi perhatian besar kepada segi promosi dan persuasi. Ketiga, Jika dalam
perannya yang konvensional pers mempertahankan suatu jarak dengan pihak eksekutif agar
dapat mengawasinya, maka dalam pers pembangunan hubungan pers dengan eksekutif
dan pelaksanaannnya. Dalam kasus Indonesia muncul kemudian gagasan bahwa pers tidak
lagi cukup hanya berperan sebagai kritikus pemerintah, tetapi juga harus menjadi mitra
pemerintah.
Kleden (1989) juga melanjutkan bahwa, pada titik inilah terlihat bahwa pers Indonesia mencoba
menempuh suatu via media (jalan tengah) antara pers yang liberal dengan pers yang hidup di
pemerintah, dan jika di negara-negara totaliter pers menjadi perpanjangan tangan pemerintah,
maka pers Indonesia berusaha untuk menjadi mata pemerintah dengan tetap mempertahankan
Oleh karenanya, kita harus melakukan eksperimen yang terus menerus terhadap suatu sistem
pers Indonesia yang ideal yakni sistem pers Pancasila yang paling tidak memiliki ciri khas
tersendiri dan bukan gabungan elaktik antara unsur-unsur yang baik dari dua sistem yang telah
disebutkan itu. Ini juga berarti bahwa pers Pancasila selain merupakan sebuah eksperimen
Apabila ciri ini dipahami dan terus menerus dikaji maka terbinalah hubungan pers dengan
pemerintah, pers dengan rakyat dalam mempertahankan tatanan ideologi Pancasila. Benarlah
menurut Oetama (1989) bahwa hubungan pers dengan pemerintah dalam sistem demokrasi
Indonesia dewasa ini buknlah tunduk, tidak juga bermusuhan, tetapi sering disebut
partnership, interaksi postif dan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Menado
Pendapat yang mengemukakan bahwa sistem media di satu negara, mencerminkan sistem
pemerintahan yang dianut negara yang bersangkutan terbukti berlaku pula di Indonesia.
Sistem pemerintah yang mengalami beberapa kali perobahan, amat berpengaruh terhadap
Kebebasan pers di Indonesia terlihat lebih mengemuka pada saat pemerintahan sedsang
mengalami krisis, dimana kontrol pemerintah sangat sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Hal
ini terlihat pada era Revolusi Fisik, era kabinet parlementer yang mengalami enam kali
pergantian kabinet, dan awal pemerintahan rezim Orde Baru saat terjadi kekacauan dan
perpecahan dalam tubuh pemerintah. Pada era-era krisis pemerintahan ini pers Indonesia
Pada saat sistem pemerintahan dalam keadaan mapan, penguasa akan mereduksi bahkan
penguasa melalui berbagai cara, termasuk dengan berbagai peraturan perundangan. Hal ini
terjadi pada era Demokrasi Terpimpin oleh rezim Orde Lama dan 20 tahun menjelang reformasi
oleh rezim Orde Baru. Pada kedua era ini, pers Indonesia terkungkung dalam
pahamAuthoritarian
Kebebasan pers yang terjadi pada era reformasi adalah kebebasan struktural seiring dengan
dipengaruhi oleh arus globalisasi, sehingga pers Indonesia pada era ini cenderung menganut
pahamLibertarian.
Freedom House yang melakukan rating penilaian terhadap kebebasan pers global, sampai saat
ini masih menempatkan kebebasan pers indonesia pada posisi Partly Free. Hal ini ditunjukkan
dengan ranking Political Rights, Civil Liberties yang mempengaruhi kebebasan pers di
Indonesia.
Dewan Pers menetapkan, Indonesia memiliki system pers pancasila sebagai system pers
idealis dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984.
Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya
Pers Pembanguna adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945
Hakikat Pers Pancasila adalah Pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab
dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyaluran
aspirasi rakyat dan kontrol sosial konstruktif. Melalui hakikat dan funsi pers pancasila
mengembangkan suasana sain percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan
bertanggung jawab.
Mengacu buku Sistem Pers Indonesia disebutkan, akar dari sistem kebebasan pers Indonesia
adalah landasan idiil, ialah Pancasila, dengan landasan konstitusional, UUD 1945.
Kemudian disebutkan, pers adalah salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan.
Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi pembangunan. Kepentingan
pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Inilah yang disebut
"pers pembangunan," model yang juga banyak diterapkan di negara sedang berkembang
lainnya.
regim Orde Baru, maka pers harus mendukung pemerintah Orde Baru. Pers sangat tidak
diharapkan memuat pemberitaan yang isinya bisa ditafsirkan tidak sejalan atau bertentangan
dengan posisi pemerintah. Sedangkan dalam prakteknya yang berhak menafsirkan bahwa isi
pemberitaan pers itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan pembangunan adalah
pemerintah.
b) Setiap berita yang disiarkan selalu memupuk rasa Ketuhanan YME dan tidak pernah atheis.
c) Menghormati nilai-nilai kemanusiaan & HAM dan tidak memberikan peluang kepada
d) Selalu membina persatuan bangsa, tidak pernah memecah belah hingga menghilangkan
e) Selalu menghormati pendapat dan jalan pikiran orang lain dalam musyawarah dan kemufakatan
seluruh WNI.
DIURUS ini menunjukkan kelalaian pihak pemerintahandalam hal ini Pemkab dan pemkot
Tasikmalaya.
Dapat dilihat dari seluruh alenia dalam pemberitaan ini menyudutkan sebelah pihak. Meskipun
demikian, berita ini masih dapat dikatakan berita yang berimbang karena tetap diimbuhkannya
klarifikasi atau pembelaan dari pihak pemerintahan. Meskipun pembelaan ini menyebabkan
semakin tersudutnya pihak pemerintahan karena menunjukkan ke-egoisan kedua belah pihak
Dari alenia 1-3, menunjukkan kerusakan kompleks olah raga dadaha. Alenia ke-4
berisi Setelah Tasikmalaya dibagi menjadi dua pemerintahan, Pemkot dan Pemkab tahun 2001
lalu, stadion ini tak lagi ada yang mengurus karena tak jelas milik siapa. Hal ini tentu
Alenia ke-5 berisi kutipan komentar seseorang, yaitu Evi Hilman sebagai pemerhati
pemerintahan Seperti itulah kondisi yang menimpa Dadaha saat ini. Di satu sisi, Pemkot
maupun Pemkab berupaya keras agar aset-aset termasuk Dadaha menjadi milik mereka, tapi di
sisi lain mereka enggan melakukan pemeliharaan apalagi perbaikan,. Jelas di sini komentar
Namun, dikatakan Kepala Bagian Aset Pemkot Tasikmalaya, Hanafi, Persoalan asset tersebut
tengah diselesaikan Kemendagri dan Pemprov Jabar. Hal ini menunjukkan persoalan tersebut
belum terselesaikan samapai saat ini setelah sepuluh tahun tanpa penyelesaian.
Dikatakan juga Sesuai dengan yang kami fahami dalam pertemuan sebelumnya, asset yang
ada di Pemkot akan diserahkan ke Pemkot. Sementara Pemkab akan mendapat konvensasi,
itu artinya Pemkab tidak menyerahkan Kompleks Olah Raga Dadaha tanpa adanya konvensasi.
Mungkin yang terjadi saat ini Pemkot belum juga memberikan konvensasi.
yang saat ini masih dikuasai Pemkab, dengan syarat Pemkab mendapat dana konvensasi yang
adil. Tidak ada masalah selama ada konvensasi yang memadai, ujarnya. Itu artinya, Pemkab
ingin menukar asetnya dengan sejumlah dana konvensasi dari Pemkot. Dan akan
Terbengkalainya kompleks olah raga Dadaha sebenarnya tidak perlu terjadi, jika pihak Pemkot
dan Pemkab Tasikmalaya lebih mengedepankan kepentingan rakyat ketimbang sikap egoistis
masing-masing. Pernyataan dari pihak redaksi Tribun juga sangat menyudutkan pemerintahan
Alenia 7-12 juga terus menyudutkan pihak pemerintahan dengan kutipan-kutipan komentar
1. Pers Autoritarian
Dalam pemberitaan ini, teori pers otoritarian tidak banyak berperan. Meskipun berita ini ada
pemeliharaan dan perbaikan kompleks olah raga Dadaha yang berada di Tasikmalaya.
Ternyata dalam kenyataannya Pemkab dan Pemkot tidak melakukan pergerakan karena
memperebutkan asset dalam bentuk kompleks olah raga Dadaha. Pemkot dapat mengelola
Dadaha sebagai asset Pemkot jika Pemkab menyerahkan wewenangnya kepada pemkot. Pihak
pemkab bersedia menyerahkan asset yang saat ini masih dikuasai pemkab dengan syarat
Dari pemberitaan ini, dapat terlihat jelas sisi egois kedua belah pihak yaitu pemkot dan
Pemkab. Pihak Tribun Jabar sebagai media pers juga terang terangan menyatakan sikap
egoistis Pemkab dan Pemkot. Tentu hal ini tidak mendukung citra yang baik untuk Pemkot dan
Dalam pemberitaan ini posisi pemerintahan tidak berada pada posisi teratas yang
Sehingga dapat disimpulkan, dalam pemberitaan Tribun Jabar, Rubrik Tribun On Focus, Edisi
Jumat 4 November 2011 ini, menunjukkan di Indonesia tidak ada indikasi pemakaian system
pers authoritarian.
2. Pers Libertarian
Meskipun berita Tribun Jabar ini tidak menunjukkan penerapan teori pers otoritarian, namun
bukan berarti juga Indonesia menerapkan teori libertarian. Memang pada pemberitaan ini tidak
menunjukkan tunduknya pers terhadap pemerintah dan Tribun Jabar sebagai media pers
berperan sebagai four estate. Seperti dikatakan teori libertarian, tetapi beberapa
pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap orang atau kelompok tanpa memerlukan izin
atau lisensi. Sedangkan di Indonesia masih ada perlunya izin seperti SIUPP.
Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik seyogyanya tidak dapat dipidana,
bahkan setelah terjadinya peristiwa itu. Sedangkan di Indonesia hal tersebut dapat dipidanakan.
Pemberitaan ini tidak menunjukkan penerapan teori pers authoritarian dan libertarian, namun
bukan juga menerapkan teori pers komunis soviet. Karena pada teori ini media massa
diposisikan sebagai alat partai dan merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari
Negara. Media massa harus tunduk dan dikontrol oleh partai. Media tidak diposisikan sebagai
control partai (Negara) tetapi merupaka senjata Negara. Sedangkan dalam pemberitaan Tribun
4. Social Responsibility
Melalui pemberitaan ini saja, memang tidak dapat mengeneralisasikan seluruh pemberitaan
memiliki konsep yang sama dan menetapkan sebuah teori tertentu sebagai system yang
dipakai.
Namun, Tribun Jabar sebagai media pers dalam pemberitaan ini menunjukkan keperdulian
terhadap fasilitas umum berupa kompleks olag raga Dadaha di Tasikmalaya yang dipakai
masyarakat, baik dalam lingkup masyarakat masyarakat kota maupun desa. Dan hampir
memenuhi seluruh karakteristik media dengan teori system pers social responsibility.
sehari-hari dengan benar, lengkap dan berpekerti dalam konteks yang mengandung makna.
Memberikan pelayanan sebagai forum untuk saling tukar komentar dan kritik (dalam hal ini
lapisan masyarakat, yaitu menuntut perbaikan fasilitas. Bertanggung jawab atas penyajian
disertai penjelasan mengenai tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Penjelasan tujuan dapat
5. Pers Pancasila
Beberapa pendapat mengatakan system pers Pancasila merupakan sistem abu-abu yang
berada di tengah-tengah antara otoritarian dan liberal, dan serupa dengan sistem pers
tanggung jawab sosial, hanya saja menggunakan ideologi bangsa, yaitu pancasila.
Pemberitaan oleh Tribun Jabar ini juga memenuhi karakteristik penerapan system pers
pancasila, diantaranya, menghormati nilai-nilai kemanusiaan & HAM dan tidak memberikan
peluang kepada perbudakan, penindasan dan sadisme. Pemberitaan ini juga tidak apatis, tidak
memecah belah, juga tidak menghilangkan stabilitas nasional dan menghindari SARA.
seluruh WNI. Pembelaan pers di sini terealisasi melalui pembelaan masyarakat terhadap
BAB lll
PENUTUP
3.1KESIMPULAN
Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Media massa mempunyai fungsi untuk
mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau
menolak kebijakan pemerintah. Melalui media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa
Sistem pers mempunyai empat kelompok besar teori (sistem) pers, yakni sistem pers otoriter,
sistem pers liberal, sistem pers komunis, dan sistem pers tanggung jawab sosial.
Jika diamati, indonesia termasuk dalam sitem pers tanggung jawab sosial. Tidak hanya dilihat
dari kebebasan yang bertanggungjawab namun pada berbagai aktualisasi pers pada akhirnya
harus disesuaikan dengan etika dan moralitas masyarakat. Adapun tanggungjawab itu adalah
suatu dasar ideologi yang diyakini yakni pancasila yang dijadikan sebagai acuan prilaku pers.
Dengan kata lain, media lemah dalam mempertimbangkan apakah pemberitaan itu layak
dimunculkan sesuai dengan keinginan masyarakat tau tidak. Ini diakibatkan orientasi pasar
media begitu dominan dan mengalahkan sisi idealnya. Kenyataan tersebut bisa dimengerti
Kenyataan ini menjadikan pers sulit menentukan pilihan antara kewajiban moral terhadap
masyarakat dan keharusanj untuk mematuhi peratutan pemerintah sebagai konsekuensi logis.
Jalan alternatif bisa dilakukan harmonisasi hubungan pers dengan pemerintah dan masyarakat.
Kita tak perlu menghakimi, pers harus bersikap begini atau begitu. Sebab hal demikian tak
ubahnya dengan mendikte pers yang etlah kehilangan jati dirinya. Bagaimanapun pers masih
punya jati diri, salah satunya kemampuan untuk bertahan di tengah derasnya iklim demokrasi
betapa sulit kedudukan pers kita selama ini, meskipun biusa dibilang punya jati diri rendah
(relatif) sekalipun.