LP Askep CF Humerus
LP Askep CF Humerus
LP Askep CF Humerus
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
a. Fraktur
a. Struktur Tulang
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast.
Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang
baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan
osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel
tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-
elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh
benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar
(gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan
sampah metabolisme antara tulang dengan pembuluh darah. Selain itu,
didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang
menyebabkan tulang keras. Sedangkan aliran darah dalam tulang antara
200 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black, J. M, et
al, 1993 dan Ignatavicius, Donna. D, 1995).
b. Tulang Panjang
1) Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang
membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapula dan merupakan
bagian dari bangun sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang
lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas
dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas
Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu
Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus
intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah
tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
2) Korpus
3) Ujung Bawah
a. Kekerasan langsung
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpenito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya (Black, J. M, et al, 1993)
5. Manifestasi klinis
a. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti rotasi
pemendekan tulang dan penekanan tulang.
b. Bengkak (edema) muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
e. Tenderness/ keempukan.
g. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf atau
perdarahan).
h. Pergerakan abnormal.
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae
yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi,
dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan
akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya. (Black, J. M, et
al, 1993 dan Apley, A. Graham, 1993)
7. Komplikasi fraktur
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
2) Kompartemen Syndrom
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopeadic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
6) Shock
8. Klasifikasi Fraktur
1) Fraktur Komunitif adalah fraktur dimana garis patah lebih dari satu
dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental adalah fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple adalah fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
9. Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang mungkin
timbul merupakan respon klien terhadap penyakitnya. Akibat fraktur terutama
pada fraktur humerus akan menimbulkan dampak baik terhadap klien maupun
keluarganya.
a. Terhadap Klien
2) Psiko yaitu klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa
nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam
keluarga maupun masyarakat, dampak dari rawat inap dan harus
beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta takut terjadi kecacatan.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian primer, meliputi Airway dengan menilai adanya obstruksi jalan
napas akibat penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk. Breathing,
menilai Kelemahan menelan, batuk, melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi,
aspirasi. Circulation, dengan menilai TD dapat normal atau meningkat ,
hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap
dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap
lanjut. Pengkajian sekunder meliputi:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
b. Keluhan Utama
Keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri bisa akut atau
kronik. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri
klien digunakan metode PQRST, yaitu:
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh
rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
f. Riwayat Psikososial
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi
Anna, 1991)
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
(Doengoes. Marilynn E, 1999).
5) Pola Aktivitas
Daya raba berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Timbul rasa nyeri akibat fraktur.
h. Pemeriksaan Fisik
6) Telinga, tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
8) Mulut dan Faring, tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
11) Jantung
12) Abdomen
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
c. Keadaan Lokal
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
b. Analisa Data
3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/ immobilisasi, stress,
ansietas.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/ keletihan,
ketidakadekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh
terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit
buruk, terdapat jaringan nekrotik.
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/ tahanan.
e. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit,
insisi pembedahan.
f. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang
terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
4. Intervensi dan Implementasi
a. Diagnosa Keperawatan 1.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
Nyeri berkurang atau hilang.
Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi:
1) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R: hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif.
2) Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R : tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri.
3) Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri.
R: memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang
nyeri.
4) Observasi tanda-tanda vital.
R: untuk mengetahui perkembangan klien.
5) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik.
R: merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik
berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
b. Diagnosa Keperawatan 2
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas
tanpa dibantu.
Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
f. Diagnosa Keperawatan 6
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi,
efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil :
melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari
suatu tindakan.
memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam
regimen perawatan.
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika,
Jakarta, 1995.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI,
Jakarta, 2000.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.