Makalah Tentang Riba
Makalah Tentang Riba
Makalah Tentang Riba
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Melakukan kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rezeki, dan dengan
rezeki itu dia dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang Islam, al-Quran
adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang absolut. Sunnah
Rasulullah saw berfungsi menjelaskan kandungan al-Quran.1
Islam adalah Agama yang paling diridhoi di sisi Allah SWT. Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan Allah datang untuk menyempurnakan akhlak
manusia. Dalam Islam terdapat ajaran-ajaran yang harus dipelajari dan dimengerti
oleh pemeluk agama Islam seperti, haram, halal, mubah, subhat, dan lain-
lain. Kita sebagai mahluk sosial tentu saja sering berkomunikasi dengan yang
lainnya. Dalam kehidupan makhluk sosial terdapat jual beli yang harus saling
menguntungkan antara penjual dan pembeli. Jual beli merupakan sarana tolong
menolong antar sesama manusia. Jadi, orang yang melakukan transaksi jual beli
tidak dilihat sebagai orang yang mencari keuntungan semata, akan tetapi juga
dipandang sebagai orang yang sedang membantu saudaranya. Bagi penjual, ia
sedang memenuhi kebutuhan barang yang dibutuhkan pembeli. Sedang bagi
pembeli, ia sedang memenuhi kebutuhan akan keuntungan yang sedang dicari
oleh penjual.
Dalam proses jual beli ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh
penjual dan pembeli sehingga, jika proses jual beli sudah selesai tidak ada yang
dirugikan. Bagaimana pandangan Islam dalam jual beli dan apa saja dalil-dalilnya
sehingga jual beli itu merupakan sesuatu yang halal bukan sesuatu yang haram
atau syubhat.
Riba sebagai persoalan pokok dalam makalah ini, disebutkan dalam Al-
Quran dibeberapa tempat secara berkelompok. Dari ayat-ayat tersebut para
ulama membuat rumusan riba, dan dari rumusan itu kegiatan ekonomi
1Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa Mustalahuh (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), hal. 46
1
diidentifikasi dapat dimasukkan kedalam kategori riba atau tidak. Dalam
menetapkan hukum, para ulama biasanya mengambil langkah yang dalam Ushul
Fiqh dikenal dengan talil (mencari illat). Hukum suatu peristiwa atau keadaan
itu sama dengan hukum peristiwa atau keadaan lain yang disebut oleh nash
apabila sama illat-nya.2
Kendati riba dalam Al-Quran dan hadis secara tegas dihukumi haram,
tetapi karena tidak diberikan batasan yang jelas, sementara masalah ini sangat
dekat dengan aktivitas ekonomi masyarakat sejak dulu hingga kini, hal ini
menimbulkan beragam interpretasi terhadapnya. Sejak masa awal, persoalan riba
telah dipandang sebagai salah satu permasalah agama yang paling pelik. Sampai-
sampai Umar ibn Khattab dikabarkan menyatakan : Ada tiga perkara yang sangat
aku sukai seandainya Rasulullah meninggalkan wasiat untuk kita, yakni persoalan
pewarisan kakek (datuk), kallah, dan persoalan riba, sayang Rasulullah telah
meninggal sebelum beliau menerangkannya. Oleh karena itu, tinggalkanlah rib
dan ribah (hal-hal yang meragukan).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan riba?
2. Sebutkan hadits yang berkenaan dengan riba?
3. Jelaskan hadits yang berkenaan dengan riba?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan riba
2. Untuk mengetahui dan memahami hadits yang berkenaan dengan riba
3. Untuk mengetahui dan memahami hadits yang berkenaan dengan riba
2Fathi al-Daraini, al-Fiqh al-Islm al-Muqarin maa al-Mazhib (Dimasyqa: Jamiah Dimasyqa,
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Muhammad bin Muhammad AbiSyahbah, Hull li Musykilt al-Rib, (Kairo:Maktabah
al-Sunnah,1996/1416), hlm. 40.
3
menurut persrtujuannnya. Lafazh al-bai juga dapat diartikan membeli, yang
termasuk makna kebalikan. Tapi jika diucapkan kata al-bai, maka makna yang
langsung bisa ditangkap darinya ialah orang yang mengeluarkan barang dagangan
atau penjual.
Adapun definisinya menurut syariat ialah tukar-menukar harta dengan
harta yang dimaksudkan untuk suatu kepemilikan, yang ditunjukkan dengan
perkataan dan perbuatan. Pembolehan jual-beli ditetapkan dalam empat sumber
dalil, yaitu:
1. Kitab Allah, dalam firman-Nya, Dan, Allah menghalalkan jual-beli (Al-
Baqarah: 275).
2. As-Sunnah, dalam sabda beliau, Orang yang berjual-beli menurut pilihannya
selagi belum saling berpisah. Banyak disebutkan nash Al-kitab dan As-
sunnah.
3. Ijma orang-orang Muslim yang membolehkannya.
4. Berdasarkan qiyas, karena kebutuhan kepadanya. Seseorang tidak bisa
mendapatkan apa yang dia butuhkan, jika apa yang dia butuhkan itu ada di
tangan orang lain, kecuali dengan cara tertentu.4
Syarat Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1. Keadaan bendanya suci.
2. Bendanya dapat diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.
3. Bendanya dapat diterimakan atau diserahkan kepada pihak pembeli.
Rukun Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1. Barang yang dijual belikan.
2. Orang yang membeli dan menjual barang.
3. Ijab qobul.5
Adapun shighah untuk mengikatnya, yang benar ialah seperti yang
dikatakan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, bahwa hal itu dapat dilakukan dengan
perkataan atau perbuatan macam apa pun, yang memang dianggap manusia
4 Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah,
2002), Hal. 57
5
Imron Abu Amar, Edisi Indonesia: Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus, 1983), Hal. 229
4
sebagai jual-beli, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena Allah tidak
bermaksud menjadikan kita sebagai hamba yang melaksanakan ibadah dengan
lafazh-lafazh tertentu, tapi yang dimaksudkan adalah apa yang menunjukkan
maknanya. Lafazh apa pun yang menunjukkannya, maka tujuan sudah tercapai.
Manusia saling berbeda-beda dalam dialog dan istilah yang mereka
pergunakan, tergantung kepada perbedaan tempat dan waktu. Setiap zaman dan
tempat memiliki bahasa dan istilah-istilah tersendiri, dan yang dimaksudkan dari
hal itu adalah makna.
Manfaat yang dapat kita ambil dari bab-bab muamalah ini ialah agar kita
bisa memahami kaidah yang sangat penting, yang memberi batasan muamalah-
muamalah yang diperbolehkan, di samping kita dapat memahami batasan-batasan
muamalah yang diharamkan, yang semua bagian-bagiannya kembali
kesana. Kaidah itu ialah: Dasar hukum dalam muamalah, berbagai jenis
perniagaan dan mata pencaharian ialah halal dan diperbolehkan, tidak ada yang
mencegahnya kecuali apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Ini merupakan dasar hukum yang besar, menjadi sandaran dalam
muamalah dan tradisi. Siapa yang mengharamkan sesuatu dari hal itu, maka dia
dituntut untuk menunjukkan dalil, karena dia berseberang dengan dasar hukum ini.
Dengan begitu dapat diketahui keluwesan syariat dan keluasannya,
relevansinya untuk setiap waktu dan tempat serta segala perkembangannya, sesuai
dengan tuntutan manusia dan kemaslahatannya.
Ini merupakan kaidah di tengah-tengah, yang pijakannya adalah keadilan
dan memperhatikan kemaslahatan kedua sisi. Berdasarkan prinsip yang agung ini,
muamalah tidak dapat dikeluarkan dari mubah kepada haram kecuali jika ada
sesuatu yang memang diperingatkan, seperti karena menjurus kepada kezhaliman
terhadap salah satu pihak, seperti riba, kedustaan, penipuan, ketidaktahuan dan
pengecohan. Inilah beberapa jenis muamalah, yang jika kita perhatikan, hal itu
menjurus kepada kezhaliman terhadap salah satu pihak. Muamalah-muamalah
yang diharamkan kembali kepada batasan ini, yang tidak diharamkan melainkan
karena kerusakan dan kezhalimannya. Pembuat syariat yang Maha bijaksana lagi
5
Maha Pengasih mendatangkan segala sesuatu yang di dalamnya ada kemaslahatan
dan memperingatkan segala hal di dalamnya ada kerusakan.
Alhasil, muamalah-muamalah yang diharamkan kembali kepada beberapa
batasan, yang paling besar adalah tiga perkara berikut:
1. Riba dengan tiga macamnya, yaitu riba al-fadhl, an-nasiah dan al-qardhu.
2. Ketidaktahuan dan penipuan dengan berbagai macam ragam dan jenisnya.
3. Membohongi dan memperdayai dengan segala ragam dan jenisnya.6
Artinya: Emas hendaklah dibayar dengan emas perak dengan perak, gandum
dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash),
barangsiapa pemberi tambahan atau memiliki (penerima) tambahan
maka termasuk riba.
(Matan lain: Ahmad 13744)
Terjemahan Hadits
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa apabila tukar menukar emas
atau perak maka harus sama ukuran dan timbangannya, jika tidak sama maka
termasuk riba. Dari situ dapat dipahami bahwa riba adalah ziyadah atau tambahan
atau al-nama (tumbuh). Dalam istilah linguistik riba berarti tumbuh dan
membesar7. Akan tetapi tidak semua tambahan adalah riba. Dalam istilah fiqih
riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok secara bathil 8 baik dalam
6 Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah,
6
9
transaksi jual beli maupun pinjam meminjam. Pertambahan di sini bisa
disebabkan oleh faktor intern atau ekstern.10 Syabirin Harahap menyatakan bahwa
riba adalah kelebihan dari jumlah uang yang dipinjamkan.11 Shaleh Ibnu Fauzan
berpendapat bahwa riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual
beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
muamalah dalam Islam.12 Ibnu Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam al-Quran
menyebutkan bahwa yang dimaksud riba yaitu setiap tambahan yang diambil
tanpa adanya transakasi atau penyeimbang yang dibenarkan syariat. Sementara
Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari
menyatakan bahwa riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya
transaksi bisnis riil.13
Berikut ialah hadis yang menerangkan tentang barang-barang yang apabila
ketika ditransaksikan tidak memenuhi kriteria secara kualitas dan kuantitas maka
termasuk riba.
Artinya: Rasulullah bersabda: Emas dengan emas adalah riba kecuali sama,
gandum putih dengan gandum putih adalah riba kecuali sama, kurma
dengan kurma riba kecuali sama, gandum merah dengan gandum
merah riba kecuali sama.
(Matan lain: Muslim 2968, Turmudzi 1164, Nasai 4482, Abu Daud
2906, Ibnu Majah 2244 dan 2250, Ahmad 157, 231, 297, Malik 1152,
Darimi 2465.)
Terjemahan Hadits
7
Dari jenis yang disebutkan oleh hadis muncul pertanyaan, apakah hanya
komoditas itu yang diharamkan? Dua di antaranya yaitu emas dan perak mewakili
komoditas uang, sedangkan yang lainnya mewakili kelompok bahan
makanan.menurut Hanafi dan Hanbali, barang yang berpotensi terkena riba adalah
semua barang yang dapat dijual, sedangkan menurut Imam Syafii adalah barang
yang dapat dimakan. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa barang yang rentan
atau berpotensi terkena riba adalah barang yang dapat dimakan dan tahan lama,
sedangkan adz-Dzahiri membatasi hanya pada barang yang disebut dalam hadis.14
Dalam konteks kekinian, nampaknya orang akan cenderung kepada
pendapat Hanafi dan Hanbali yakni semua barang yang dapat dijual rentan atau
berpotensi terkena riba. Adapun madzhab adz-Dzahiri merupakan madzhab
dengan pemikiran yang tekstual, madzhab ini memang tidak menerima tafsir al-
Quran maupun Syarah Hadis. Apa yang tertera dalam al-Quran dan Hadis
dianggap sudah cukup dan tidak harus ditafsirkan atau diberi syarahan lagi.
C. Penjelasan Hadits
1. Penjelasan Hadits
Apapun jenis barangnya, Islam menghendaki semua barang yang dapat
dijual itu mesti terhindar dari riba. Semua bentuk transaksi harus bersifat jujur dan
adil. Sehingga tidak ada pihak yang terdzalimi dan merasa tertekan dan
memberatkan. Jadi, riba fadhl (khususnya) tidak hanya berlaku bagi barang-
barang yang disebutkan dalam hadis-hadis di atas namun untuk semua barang
yang memiliki kriteria yang sama dengan barang yang dicontohkan dalam hadis.
Riba yang terdapat dalam berbagai transaksi perniagaan ketentuan
larangannya dapat dilakukan melalui metode qiyas dengan memfokuskan pada
persamaan illah.15
Secara garis besar pandangan hukum riba ada dua kelompok:
14
Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, alih bahasa Ikhwan Abidin Basri
(Jakarta: Gema Insani Pers, Tazkia Institute, 2000). Hlm. 24
15
Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest of the Prohibition of Riba and Its
Contemporary Interpretation, hlm. 35
8
a. Kelompok pertama: mengharamkan riba yang berlipat ganda/adafan mudafa,
karena yang diharamkan al-Quran adalah riba yang berlipat ganda saja, 16
yakni riba nasiah, kemudian terbukti pula dengan hadis bahwa tidak ada riba
kecuali nasiah. Karenanya, selain dari riba nasiah maka diperbolehkan.
Dalam bahasa Inggris riba yang berlipat ganda (adafan mudaafa) disebut
dengan usury, sedangkan riba yang tidak berlipat ganda disebut dengan
interest. Contoh dari negara yang menganut pandangan ini ialah Malaysia.
Oleh karenanya, pemungutan bunga di bank islam Malaysia diperbolehkan.
b. Kelompok kedua: mengharamkan riba, baik yang besar (usury) maupun kecil
(interest). Pandangan ini berpendapat bahwa riba yang kecil atau yang besar
itu sama saja, keduanya diharamkan. Riba yang besar atau berlipat ganda
(adafan mudafa) diharamkan karena dzatnya atau karena riba ini memang
diharamkan. Sedangkan riba yang kecil diharamkan bukan karena riba ini
memang sudah diharamkan melainkan karena sebab untuk menghindari riba
yang lebih besar (haramun lilisyadzu dzariah).
Dalam QS. Al-Baqarah 2: 275, riba sudah diharamkan secara umum baik
yang besar maupun yang kecil. Dari asbabun nuzulnya diketahui bahwa ketika
turun ayat tersebut telah terjadi praktik riba tidak saja yang besar tetapi juga yang
kecil. Dan dalam hal ini berlaku kaidah al-Ibrah biumumi al-lafdzi la bi khusushi
sabab. Riba yang berlipat ganda merupakan keterangan riba yang memberatkan
yang terjadi pada masa jahiliah.17 Demikian pula dalam hadis-hadis Nabi SAW,
tidak ada keterangan atau penjelasan bahwa hanya riba yang jumlahnya besar saja
yang diharamkan. Hadis yang menyatakan bahwa tidak ada riba selain riba
nasiah menunjukan bahwa riba nasiah ialah riba yang paling besar jumlahnya
(adafan mudaafa), hadis tersebut bukan berarti menyatakan bahwa hanya riba
nasiah yang adafan mudaafa yang diharamkan. Lagipula, dalam hadis Nabi
yang menceritakan tentang Bilal dengan kurmanya, Nabi mengharamkan riba
16
QS. Ali-Imran, 3:130 (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan). Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasiah. Menurut
sebagian bahwa riba nasiah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda).
17
Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 143
9
meskipun hanya satu sha kurma. Begitupun dengan hadis-hadis lain yang
menyatakan bahwa perbedaan kuantitas dan kualitas barang yang ditukar
meskipun sedikit juga termasuk kedalam praktik riba yang diharamkan oleh Nabi
SAW.
Penyebab terlarangnya suatu transaksi itu disebabkan oleh beberapa faktor,
di antaranya:18
a. Haramnya zatnya (haram lidzatihi)
b. Haram selain dzatnya (haram lighairihi)
c. Tidak sah (lengkap) akadnya.
Riba termasuk transaksi yang diharamkan sebab bukan karena dzatnya
(haram lighairihi). Haram selain zatnya ini menjadi haram karena melanggar
prinsip an Taradin Minkum yang berarti saling meridhai satu sama lain. Riba
menjadi haram karena perbuatan ketidak adilan (zalim) atau diam menerima
ketidak adilan, karena pengambilan harta secara bathil akan menimbulkan
kezaliman antar pelaku ekonomi.
18 Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta: Rajawali Press, 2004),
hlm. 30
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Illam al-Muwaqiin, jus II, (Beirut: Daar al-Fikr, 1989
19
10
Nabi SAW bersabda: Tidak riba kecuali nasiah
(Matan lain: Bukhari 2033, 2990-2993, Ibnu Majah 2248, Ahmad 20748, 20762,
20767, 20779, 20796, 20814, 20816)
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Riba adalah pengambilan tambahan (ziyadah) dari harta pokok secara
bathil baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam. Riba merupakan
perbuatan yang amat dikecam dalam al-Quran maupun hadis. Larangan terhadap
riba sangatlah jelas, tegas, dan laknat terhadap para pelaku riba.
Riba menjadi sangat dilarang sebab jika riba dibiarkan menjamur di
masyarakat, maka riba akan menyebabkan depresiasi ekonomi. Riba
menyebabkan insflasi yang tidak terkendali (inflatoar). Bukan hanya di bidang
ekonomi saja, namun riba juga berpengaruh pada tatanan sosial kemsyarakatan.
Masyarakat akan terpecah belah menjadi masyarakat kaya raya namun tidak
produktif dan masyarakat miskin yang tereksploitasi.
B. Saran
Demikianlah makalah singkat ini semoga bermanfaat. Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran atas makalah ini, dikarenakan masih terdapat
kekurangan. Atas kritik dan sarannya kami ucapkan terimakasih.
12
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Fadhl al-Misri, Lisan al-Arab, Juz XIV, (Beirut: Daar al-Shadr, t.th.)
Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest of the Prohibition of Riba and Its
Contemporary Interpretation
Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta: Rajawali
Press, 2004)
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001 M.)
Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, (Malang: UIN Malang Press, 2008)
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Illam al-Muwaqiin, jus II, (Beirut: Daar al-Fikr,
1989 M.)
Imron Abu Amar, Edisi Indonesia: Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus, 1983)
Syekh Shalih Ibnu Fauzan al-Fauzan, Perbedaan Jual Beli dan Riba,
Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, alih bahasa Ikhwan Abidin Basri
(Jakarta: Gema Insani Pers, Tazkia Institute, 2000)
13