Riba Dan Kaitannya Dengan Bunga Bank Kredit Dan Deposito

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

RIBA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN SEJARAH

A. Arti dan Dalil keharamanya


1. Pengertian Riba
Riba menurut bahasa artinya lebih atau bertambah. Menurut istilah
riba adalah “Akad ( perjanjian ) yang terjadi dalam penukaran barang-barang
tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’. Atau
terlambat menerimanya.1
2. Dalil keharaman Riba
Dalam Islam, mememungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa
riba pinjaman adalah haram.
Dalil diharamkannya riba antra lain sebagai berikut:
Artinya:

 
  
 
  
  


“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan


berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.
( Ali lmran :130 )

B. Macam-Macam Riba

1
Aibak, Kutbuddin. 2006. Kajian Fiqh Kontemporer . Surabaya: Elkaf. Hal 89

1
Riba ( nilai lebih ) yang diharakan dalam proses pinjam meminjam atau
hutang piutang tersebut, macam-macamnya sebagai berikut
1. Riba fadhl atau fudluli yaitu penukaran dua barang yang sejenis dengan tidak
sama ( fudlul =lebih ), atau dengan kta lain jual-beli yang mengandung unsur
riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda
tersebut. Contoh menjual Rp. 1.100,-dengan Rp1.100,-atau menjual 10
kilogram beras dengan I kilogram beras. Barang yang sejenis misalnya beras
dengan beras, uang dengan uang , sedangkan yang dimaksud lebih, yaitu
dalam timbangan pada barang yang ditimbang, takaran pada barang yang
ditakar, ukuran pada barang yang diukur2
2. Riba Qardh, yaitu meminjam dengan sarat keuntungan bagi yang
mempiutanggi ( qardh = pinjam ), atau menarik keuntungan dari barang yang
dipinjamkan atau dihutangkan. Misalnya seorang berutang Rp 10.000,00
dengan perjanjian akan dibayar kelak dengan Rp.11.000,00 seperti renternir
yang meminjamkan uangnya
Dengan pengembalian 30 % per bulan
Sabda Rasullah saw:
“Setiap utang-piutang yang menarik manfaat ( keutungan ) termasuk
riba. ( Riwayat Baihagi )
3. Riba yad, yaitu berpisah sebelum timbang terima orang yang membeli sesuatu
barang, sebelum ia menerima barang yang dibeli dari sipenjual, tidak boleh
menjualnya kepada Siapapun, sebab barang yang dibeli dan belum diterima
masih dalam ikatan jual beli pertama, belum menjadi milik yang sebenarnya
bagi pembeli/sipemilik.
4. Riba Nasa’ ( Nasa’ah ), yaitu penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu
dari dua barang itu, Maksudnya melakukan pembayaran barang yang
diperjual-belikan atau utangkan karena terlambatkan waktu pembayarannya.

2
Hasbi Ash Shidieqy, Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizqy
Putra. Hal 54

2
Misalnya menjual emas, jika dijual kontan harganya Rp.20.000,00 tetapi jika
dijual kredit dengan lima kali bayar ( angsuran ) harganya menjadi
Rp.30.000,003

C. Syaratnya
Syarat menjual sesuatu barang supaya tidak menjadi riba, yaitu:
1. Menjual emas, perak dengan perak, mekanan dengan makanan yang sejenis,
hanya boleh dilakukan dengan tiga syarat, yaitu:
a. Serupa.timbangan dan akalnya.
b. Tunai
c. Timbangan terima dalam akad ( ijab qabul )sebelum meninggalkan majlis
akad.
2. Menjual emas dengan perak dan makanan dengan makanan yang berlainan
jenis, misalnya beras dengan jagung,hanya dibolehkan dengan dua syarat:
a. Tunai
b. Timbangan terima dalam akad sebelum meninggalkan majelis akad4

D. Illat Riba
Illat riba menurut ulama hanafi yah dan hanabilah adalah timbangan atau
ukuran ( alkai wa alwajn ), sedangkan menurut ulama malikiyah adalah makanan
pokok dan makanan tahan lama, dan menurut ulama syafiliyah adalah makanan.
Satu ilat ribanya seperti emas dengan perak, boleh tidak sama timbangannya,
tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau berlainan jenis dan ilat barang-
barang yang lain. 5
Sabda Rasullullah saw:

3
Hasbi Ash Shidieqy, Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizqy
Putra. Hal 54
4
Rasjid, Sulaiman. 2008. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Hal 135
5
Mas’ai, Ghufron A.. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal
21

3
Dari ubadah bin somit, Nabi saw bersabda: emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma. garam dengan garam,
hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbangan terima. Apabilah berlainan
jenisnya boleh kamu jual sekehandakmu asal tunai. 6

E. Hukum Bank dan perbandingan Antara Bunga Bank dengan Riba


a. persamaanya, bahwa keduanya sama-sama merupakan tambahan pembayaran
atas pinjaman sesuai dengan ketentuan atau kesepakatan antra pihak yang
meminjam dengan pihak memberikan pinjaman.
b. perbedannya, kegiatan yang dilakukan bank bukan hanya memberikan
pinjaman tetapi juga menerima simpanan , riba terjadi pada penambahan
pembayaran dari modal pokok dalam pinjaman sebagai syarat terjadinya
transaksi ( riba nasi’ah ) dan juga pada adanya kelebihan pada satu barang
dalam tukar menukar barang ( riba fadl ), sepeti beras dengan beras:
Riba secara jelas diharamkan oleh agama. Tetapi bagai mana halnya dengan
bunga bank? Untuk menjawab masalah ini, berikut dikemukakan beberapa
pendapat para ulama,
a. Abu Zahra, A’ia AL- Mududi, Muhammad Abdullah AL-A’rabi menyatakan
bahwa bunga bank itu termasuk riba nasi’ah, yang dilarang oleh Islam.
Karena itu, umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank, yang
memakai sistem bunga kecuali, dalam keadaan darura atau terpaksa.
b. Hasan berpendapat bahwa bunga bank seperti di negeri kita ini bukan riba
yang diharamkan, karena tidak terlipat ganda sebagaimana dinyatakan dalam
Qs Ali Imram:130 yaitu:”hai orang –orang yang beriman janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keuntungan.

6
Muhammad,Dasar-Dasar Keungan Islami, Yogyakarta : Ekonesia, 2004, hal 97

4
c. Mustafa ahmad zarga menyatakan bahwa sistem perbankan yang kita terima
ini, sebagai relitas yang tidak dapat dihindari.

F. Menjauhi Praklik Riba


Setiap printah dan larangan Allah swf pasti ada hikmah dan manfaatnya bagi
manusia, Allah tidak mungkin berbuat zalim kepada makhluknya, termasuk
diharumkanya riba praktek riba dalam bentuk apapun pasti membawakan
madharat ( kesulitan ) dan mafsadat ( kerusak ) bagi pihak-pihak yang
mempraktekannya apabila kita mengalami kesulitan untuk menjauhi riba maka
kita harus berusaha dari hal-hal yang kecil, bahkan yang kita aggap sepeleh
tentang riba, menjauhi praktek riba ini baik dengan jalan perorangan maupun
melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, ansuransi dan lain-lain7

G. Hikmah Dilarangnya Riba


1. Riba dapat mengikis sifat belas kasih dan rasa kemanusian serta dapat
menimbulkan permusuhan antra sesama manusia
2. Riba dapat memupuk sifat enak sendiri, menghilangkan diri sendiri dan
memprekaya diri tampa upaya yang wajar, relah melihat orang lain menderita
3. Riba dapat menjaukan diri dari Allah
4. Riba sebagai salah satu bentuk penyajahan manusia terhadap manusia lainya.
5. Hikmah Diharamkan Riba
a. agar manusia mengetahui jalan ( usah ) mana yang dihalalkan dan mana
yang diharamkan
b. sebagai bukti bahwa orang yang beriman dan beragwa kepada Allah akan
senan biasa meninggalkan memakan ( mempergunakan ) barang yang
riba

7
Muhammad,Dasar-Dasar Keungan Islami, Yogyakarta : Ekonesia, 2004, hal 99

5
c. agar manusia menjauhi barang riba, baik ia plaku secara langsung,
pemberi, penulis, saksi atau orang lain yang terlibat di dalamnya
d. agar manusia yang ekonominya lemah terhindar pemerasan dan
penindasan kaum reteni
H. Kaitan Riba Dengan Deposito dan Kredit
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan perubahan, tambahan antara yang diserahkan saat ini
dan yang diserahkan kemudian8
Dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran
bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro, dan lain-lain. Bank
sebagai kreditur yang memberikan pinjaman mensyaratkan pembayaran bunga
yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and
predetermined rate). Padahal nasabah yang mendapatkan pinjaman itu tidak
mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis
selalu ada kemungkinan rugi, impas, atau untung yang tidak dapat ditentukan dari
awal. Jadi, mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan
yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, dan hal ini diharamkan
Fenomena peminjaman yang bermuara riba pada masa Nabi dan sebelumnya
menunjukan bahwa orang miskin mengambil posisi sebagai peminjam dan orang
kaya sebagai pemberi pinjaman. Tetapi meskipun tidak banyak kasusnya, ada
juga transaksi riba dilakukan antara orang kaya, seperti yang terjadi antara
keluarga Saqif dan Mugirah. Keluarga Saqif pernah menjadi peminjam dan
pernah juga sebagai pemberi pinjaman, demikian juga keluarga al-Mugirah dan
‘Abbas bin Abd al-Mutalib di Mekah. Dari segi peranan kota Ta’if sebagai kota
dagang, kendati tidak sebesar kota Mekah, di mana keluarga Saqif adalah
pemegang kendali ekonominya. Maka dapat dimengerti mereka banyak harta

8
Karnaen Purwaatmaja,”Apakah Bunga Sama Dengan Riba ?”, Kertas Kerja Seminar Ekonomi
Islam, Jakarta: LPPBS,1997 hal 149

6
sebagai kreditor. Akan halnya ‘Abbas bin Abd. Al Muthalib, disamping dikenal
sebagai saudagar kaya di Mekah juga dikenal sebagai pemungut riba. Dengan
demikian secara khusus Nabi menegaskan bahwa mula-mula riba yang dilarang
adalah riba pamannya, yaitu Abbas.
Dewasa ini fenomena tersebut cenderung terbalik. Hutang pada umumnya
dilakukan oleh orang-orang berharta kepada bank untuk mengembangkan usaha
mereka. Sedangkan orang miskin, nyaris tidak berhubungan dengan bank karena
untuk mendapatkan kredit di bank diperlukan jaminan, sedangkan mereka tidak
memilikinya, khususnya pada masyarakat Indonesia. 9
Dalam kasus seperti ini, peminjam tidak perlu disantuni karena bukan
termasuk orang miskin. Bahkan dituntut mengembalikan hutang secepatnya dan
sebaik mungkin. Dalam sebuah riwayat disebutkan ketika Nabi hendak
mengembalikan hutangnya berupa onta. Beliau menyuruh seseorang mengambil
seekor onta yang lebih besar dari onta yang dipinjamnya dulu, seraya
berkata khairukum ahsanukum qadaan (sebaik-baik kamu adalah yang
membaikkan pembayaran hutang).
Para ulama fiqh membagi riba kepada dua macam, yaitu riba al-fadl dan riba
al –nasi’ah. Riba al fadl adalah riba yang berlakudalam jual beli yang
didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan :
“Kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjual belikan dengan
ukuran syara’”
Rumusan riba nasi’ah telah dikemukakan oleh beberapa mazhab fiqh.
Menurut mazhab Hanafi adalah “ tambahan atas benda yang dihutangkan, benda
mana berbeda jenis dan dapat ditakar dan ditimbang, atau tidak dapat ditakar atau
ditimbang, tetapi sejenis. Mazhab Syafi’i merumuskan sebagai berikut : “ Riba
adalah perjanjian hutang untuk jangka waktu tertentu dengan tambahan pada
waktu pelunasan hutang, tanpa ada imbalan.

9
Karnaen Purwaatmaja,”Apakah Bunga Sama Dengan Riba ?”, Kertas Kerja Seminar Ekonomi
Islam, Jakarta: LPPBS,1997 hal 150

7
Dari rumusan-rumusan tersebut disimpulkan bahwa riba an- nasi’ah adalah
kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berhutang kepada pemilik
modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila pada waktunya sudah
jatuh tempo, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar utang dan
kelebihannya, maka waktunya boleh diperpanjang dan jumlah utang
bertambah pula. Dalam jual beli barter, baik sejenis maupun tidak sejenis, riba
an-nasi’ah pun bisa terjadi, yaitu dengan cara jual beli barang sejenis dengan
kelebihan salah satunya, yang pembayarannya ditunda. Misal dalam barter barang
sejenis, membeli satu kilogram beras dengan dua kilogram beras yang akan
dibayarkan satu bulan yang akan datang. Kelebihan salah satu barang, sejenis atau
tidak, yang dibarengi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu,
termasuk riba an-nasi’ah. 10
Dari rumusan itu dapat diketahui bahwa riba nasi’ah mempunyai unsur
sebagai berikut :
1. Terjadi karena hutang-piutang dalam jangka waktu tertentu
2. Pihak yang berhutang (debitor ) berkewajiban memberi tambahan kepada
pihak yang berpiutang (kreditor) ketika mengangsur atau pelunasan, sesuai
dengan perjanjian
3. objek peminjaman berupa benda ribawi
Dalam al-Qur’an terdapat 7 ayat yang berbicara mengenai masalah larangan
riba. Tiga ayat yang turun dalam periode makkah, yaitu surat ar-Rum ayat 39.
Dalam ayat ini belum terlihat adanya keharaman melakukan riba, namun sekedar
menggambarkan bahwa riba yang dalam sangkaan orang menghasilkan
penambahan harta dalam pandangan Allah tidak benar. Akan tetapi zakatlah yang
mendatangkan pahala yang berlipat ganda. Terhadap riba yang dibicarakan dalam
surat ar-Rum ini, sebagian mufassir ada yang berpendapat bahwa riba yang

10
Karnaen Purwaatmaja,”Apakah Bunga Sama Dengan Riba ?”, Kertas Kerja Seminar Ekonomi
Islam, Jakarta: LPPBS,1997 hal 154

8
dimasud adalah berupa pemberian sesuatu kepada orang lain yang tidak
didasarkan pada keikhlasan tetapi berharap imbalan yang lebih besar.
Ayat selanjutnya yang membahas tentang masalah riba adalah surat an-Nisa ayat
160-161. Pembicaraan tentang riba dalam surat ini masih bersifat informasi
bahwa diantara kezaliman orang Yahudi dulu adalah melakukan riba, padahal
mereka sudah dilarang untuk itu.
Pelarangan riba yang secara eksplisit dinyatakan oleh al-qur’an tercantum dalam
surat ali ‘Imran:130:
 
  
 
  
  

“Hai Orang yang beriman, jangan memakan riba dengan berlipat ganda,
bertaqwalah kepada Allah agar kamu memperoleh keberuntungan.”
Ketegasan larangan riba Nampak jelas dalam surah Ali-Imran 130 tersebut.
Tampaknya pelarangan riba dalam al-Qur’an dating secara bertahap seperti
bertahapnya larangan minum khamr. 11
Menurut Ath-Thabari, ungkapan “janganlah memakan riba” ditunjukan
setelah kebolehan mengkonsumsinya sebelum Islam. Pada masa ini bangsa Arab
mengkonsumsi riba yang berlaku di kalangan mereka terhadap pihak yang
berhutang (debitur) yang tidak mampu mengembalikan hutangnya pada waktu
jatuh tempo. Setelah melewati jatuh tempo, pihak piutang (kreditur) akan
meminta pembayaran kembali dari debitur dengan tambahan dari hutangnya. Hal
ini merupakan bentuk riba yang berlipat ganda.

11
Karnaen Purwaatmaja,”Apakah Bunga Sama Dengan Riba ?”, Kertas Kerja Seminar Ekonomi
Islam, Jakarta: LPPBS,1997 hal 156

9
Wahyu terakhir yang membicarakan tentang riba adalah surat al-Baqarah; 275-
280. Diantara ayat-ayat yang berbicara tentang riba pada surat al-Baqarah
terutama ayat 278 adalah yang paling lengkap sebab turunnya. Dalam kelompok
ayat ini al-Qur,an berbicara tentang riba dengan tahapan sebagai berikut :
1. Ia memulai pembicaraan dengan melukiskan pemakan riba sebagai orang
kesetanan yang tidak dapat membedakan antara yang baik dan buruk,
sehingga ia menyamakan jual beli dengan riba.Al-Qur’an menegaskan bahwa
jual beli itu halal dan riba itu haram. Karena itu diingatkan bahwa orang yang
menerima nasehat al-Qur’an akan beruntung dan orang yang ingkar diancam
neraka.
2. Al-Qur’an menegaskan bahwa riba itu melumpuhkan sendi-sendi ekonomi,
sedangkan shadaqah menyuburkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu
riba dimusnahkan sedangkan shadaqah dikembangkan
3. Al-Qur’an memuji orang yang beriman , beramal shaleh, menegakkan shalat
dan membayar zakat
4. Penegasan ulang larangan riba karena pelarangan riba pernah dinyatakan
dalam surah Ali Imran : 130 dan sekaligus mengancam pemakan riba. Serta
memuji kreditor yang suka memaafkan debitor karena peminjam mengalami
kesulitan ekonomi.
Ayat yang menggambarkan criteria riba terdapat pada surah al-Baqarah ayat
;279;

ُ ‫س ْو ِل ِه َوا ِْن ت ُ ْبت ُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُء ْو‬


‫س‬ ‫إن لَ ْم ت َ ْف َعلُوا فَأْذَنُ ْوا ِب َح ْرب ِمنَ ه‬
ُ ‫ّللا َو َر‬ ْ ُ ‫ا َ ْم َوا ِل ُك ْم الَت َْظ ِل ُم ْونَ َوالَ ت‬
ْ َ‫ظلَ ُم ْونَ ف‬

“Dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba, maka bagimu pokok
hartamu ( falakum ruusu amwalikum);kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya ( la tazlimuna wala tuzlamun)

10
Terdapat dua pernyataan penting sebagai akhir dari pembicaraan tentang riba
dalam sorotan al-qur’an yang tersebut dalam al-Baqarah: 279 yang jelas
menunjukan pelarangannya. Yaitu :
1. Statemen “‫س‬ ُ ‫( ”ا َ ْم َوا ِل ُك ْم فَلَ ُك ْم ُر ُء ْو‬bagimu pokok hartamu), yang kemudian
disusul dengan statemen kedua, “ َ‫ظ َل ُم ْون‬ ْ ُ ‫َظ ِل ُم ْونَ َوالَ ت‬
ْ ‫ ( ”الَت‬kamu tidak melakukan
penganiayaan dan tidak pula dianiaya).[24] Statemen pertama menunjukan
tentang penarikan pokok harta yang dipinjamkan oleh kreditur (pihak piutang)
kepada debitur ( pihak yang berhutang), pada sisi lain dijelaskan bahwa apa
yang telah dilakukan oleh kreditur yang hanya meminta nilai pokok harta
yang dipinjamkan kepada debitur tersebut tidak merupakan perbuatan aniaya,
ْ ُ ‫َظ ِل ُم ْونَ َوالَ ت‬
baik terhadap diri sendiri maupun terhadap debitur (‫ظلَ ُم ْون‬ ْ ‫) الَت‬
2. Masing-masing statemen di atas menunjukan indikasi saling berkaitan, satu
sama lain tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan yang lainnya. Jika kedua
statemen tersebut dipisah dengan cara mengabaikan salah satu darinya, maka
akan terjadi pengkaburan makna dari maksud pesan al-Qur’an. Atas dasar itu,
maka dalam penafsiran untuk menjelaskan makna riba harus memberi
penekanan yang sama terhadap kedua statemen tersebut. Lebih parah lagi
apabila dalam menafsirkannya hanya memperhatikan statemen “falakum
ruusu amwalikum” dan mengabaikan statemen “la tazlimuna wala
tuzlamun”. Karena statemen yang kedua pada dasarnya mencerminkan
sebagai kerangka metodologi yang hampir diikuti oleh seluruh madzhab
hukum Islam, sekaligus sebagai unsur pokok untuk mengetahui setiap
perintah dan larangan dalam al-qur’an yang dihasilkan melalui interpretasi
yang mendalam terhadap makna yang relevan dari sebuah teks, juga dapat
memberi perhatian terhadap penyebab-penyebab utama dari munculnya
larangan dan perintah tersebut.
Dari hasil penelusuran diketahui bahwa setiap kali al-Qur’an berbicara tentang
riba, istilah zakat atau padanannya selalu diiringi antitesannya. Ini memberikan
kesan umum bahwa yang dilarang mempraktekkan riba adalah orang berharta.

11
Sebab mereka yang diperintah mengeluarkan zakat dan semisalnya. Kedua jenis
transaksi ini baik zakat maupun riba, dilakukan oleh dua pihak. Pihak penerima
zakat dan pembayar riba adalah orang miskin, sedangkan pembayar zakat dan
penerima riba adalah orang kaya. Dengan demikian, riba adalah dalam konteks
transaksi antara orang kaya dengan orang miskin. Orang yang seharusnya
mengeluarkan zakat sebagai santunan kepada orang miskin, justru sebaliknya,
menindas dan memeras orang miskin dengan cara riba.
Meskipun kesan tersebut begitu kuat, tetapi perlu diingat bahwa dalam
kenyataan, praktek riba juga dilakukan antar orang kaya sebagaimana terlihat
dalam kasus riba antara keluarga Saqif di Ta’if dan keluarga Mugirah di Makkah
sebagaimana yang dikemukakan dimuka.
Dengan praktek riba maka fungsi sosial harta kekayaan menjadi tidak ada,
sehingga kesenjangan antara kaya dengan miskin menonjol. Berbeda dengan riba,
dalam zakat dan sadaqah, fungsi social harta diperankan sehingga hubungan
antara orang kaya dan miskin terjalin dengan baik. Praktek riba dengan formula
“penambahan atas jumlah pinjaman” yang pada umumnya pemberi pinjaman
diperankan orang kaya dan penerimanya orang miskin, telah mendatangka
kesengsaraan ( zulm ). Zulm yang dulu terjadi menggambarkan sulitnya orang
miskin mengangsur pelunasan hutang berikut bunganya. Tampaknya kezaliman
yang menimpa orang miskin selaku peminjam menjadi keprihatinan penting bagi
al-Qur’an. Sekiranya “penambahan” itu tidak mendatangkan kesengsaraan ( zulm
) tentu al-Qur’an tidak membicarakannya. Dengan demikian, secara esensial, riba
tidak terlepas dari zulm ini.
Dalam rangka kemanusiaan dan menjauhi zulm, kreditor tidak dibenarkan
memungut “tambahan” dari debitor. Sedapat mungkin kreditor menolongnya,
memberi tenggang waktu kepada debitor yang menghadapi kesulitan itu. Lebih
utama jika kemudian kreditor mau memaafkan, menyedekahkan seluruhnya atau
sebagian harta yang seharusnya dikembalikan oleh debitor. Sebaliknya jika
peminjam adalah orang kaya/mampu , ia dituntut untuk segera mengembalikan

12
pinjamannya agar dana itu dapat segera dipergunakan pemiliknya . Sebab tidak
dapat diketahui pasti kalau sebenarnya pemilik hendak menggunakan dana yang
sedang dipinjamnya tersebut. Rasulullah mencela orang yang mengulur-ulur
pembayaran hutang tanpa sebab padahal sebenarnya ia mampu, yaitu : “
Mengulur waktu pembayaran hutang oleh orang kaya adalah sebuah kezaliman”.
Apabila peminjaman dilakukan antar orang kaya, maka gambaran sulitnya
pengembalian hutang seperti yang dialami orang miskin dan timbulnya zulm tidak
kelihatan, kendati pada kasus tertentu kemungkinan itu ada. Jadi dalam kasus
yang tergambar dalam konteks ayat-ayat riba adalah betapa sulitnya debitor
mengembalikan pinjaman, maka dalam kasus yang pertama adalah bagaimana
teknis pembagian keuntungan hasil “memutar” dana pinjaman.
Saat ini peminjaman dalam jumlah besar dilakukan pengusaha mapan melalui jasa
bank, dalam rangka meningkatkan kekuatan bisnisnya. Untuk kasus seperti ini
tidak ada petunjuk dari nash agar menyantuni pihak debitor. Namun demikian
tidak berarti bahwa orang kaya boleh diperas. 12

12
Aibak, Kutbuddin. 2006. Kajian Fiqh Kontemporer . Surabaya: Elkaf. Hal 90

13
DAFTAR PUSTAKA

Aibak, Kutbuddin. 2006. Kajian Fiqh Kontemporer . Surabaya: Elkaf.

Hasbi Ash Shidieqy, Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka
Rizqy Putra.

Rasjid, Sulaiman. 2008. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Mas’ai, Ghufron A.. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Muhammad,Dasar-Dasar Keungan Islami, Yogyakarta : Ekonesia, 2004
Karnaen Purwaatmaja,”Apakah Bunga Sama Dengan Riba ?”, Kertas Kerja Seminar
Ekonomi Islam, Jakarta: LPPBS,1997

ii14

Anda mungkin juga menyukai