Case Kista Bartholini
Case Kista Bartholini
Case Kista Bartholini
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. P
Umur : 34 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Indramayu
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Tanggal Kunjungan : 6 Juli 2017
Tempat : Poli Kulit RSUD Arjawinangun
II. Anamnesis
Keluhan Utama: Benjolan di kemaluan.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poli kulit dan kelamin RSUD Arjawinangun dengan keluhan
muncul benjolan di kemaluan sejak 1 tahun yang lalu. Benjolan tersebut berada di
sebelah kiri pada bibir kemaluan, berukuran sebesar biji kacang hijau. Benjolan
semakin lama semakin mengeras. Benjolan dirasakan nyeri hilang timbul terutama
setelah berhubungan seksual. Benjolan tidak disertai kemerahan dan tidak terasa sakit.
Pasien menyangkal adanya riwayat keputihan dan riwayat penyakit menular seksual
sebelumnya. Pasien mengatakan belum pernah berobat untuk mengurangi gejala yang
dialami sekarang. Pasien menyangkal adanya demam. Pasien mengatakan tidak
adanya riwayat konsumis pil KB, dan penggunaan obat kortikosteroid. Pasien tidak
merokok dan minum alkohol. Riwayat Penyakit Dahulu: Tidak pernah menderita
keluhan serupa. Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-)
Riwayat Pengobatan: Pasien mengakui belum pernah melakukan pengobatan.
Riwayat Alergi: disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada yang memiliki keluhan serupa.
1
III. Pemeriksaan Fisik
- Status Generalis
Kesadaran : compos mentis
Keadaan umum : Tidak tampak sakit
Tekanan Darah : 120/80 mmhg
Frekuensi Nadi : 78 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Suhu : 37,1
Kepala/ leher : dalam batas normal
Thoraks : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
- Status Lokalis :
Inguinal : KGB (Kelenjar Getah Bening) tidak teraba membesar, nyeri (-),
tanda radang (-).
Pubis : tidak tampak kelainan.
OUE (Orifisium Urethra Eksterna) : Eritema (-)
Liang Vagina : Eritema (+), duh tubuh (-).
Vulva : tampak massa di labia minora sinistra dengan diameter 1cm,
eritema(-), Nyeri Tekan(-)
Perineum dan Anus : tidak ada kelainan.
2
IV. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan lab.
V. Resume
Seorang wanita berusia 34 tahun, sudah menikah, beragama islam, pekerjaan
sebagai ibu rumah tangga dan pendidikan terakhir SMP datang ke Poli kulit dan
kelamin RSUD Arjawinangun pada tanggal 6 Juli 2017 dengan keluhan utama
benjolan di kemaluan yang dirasakan sejak satu tahun yang lalu.
Dari anamnesis didapatkan benjolan tersebut berada di sebelah kiri pada bibir
kemaluan, berukuran sebesar biji kacang hijau. Benjolan semakin lama semakin
mengeras. Benjolan dirasakan nyeri hilang timbul terutama setelah berhubungan
seksual. Benjolan tidak disertai kemerahan dan tidak terasa sakit. Pasien menyangkal
adanya riwayat keputihan dan riwayat penyakit menular seksual sebelumnya. Pasien
mengatakan belum pernah berobat untuk mengurangi gejala yang dialami sekarang.
Pasien menyangkal adanya demam. Pasien mengatakan tidak adanya riwayat
konsumis pil KB, dan penggunaan obat kortikosteroid. Pasien tidak merokok dan
minum alkohol. Pasein juga menyangkal adanya riwayat kencing manis dan
hipertensi.
Dari pemeriksaan fisik: Status generalis: dalam batas normal. Status lokalis:
Vulva : tampak massa di labia minora sinistra dengan diameter 1cm, eritema(-),
Nyeri Tekan(-)
VI. Diagnosis
Kista Bartolinitis
VIII. Penatalaksanaan
1. UMUM
Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya dan pengobatannya.
3
Pasien diedukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan di daerah
kewanitaannya.
2. KHUSUS
a. Ekstirpasi Kista Bartholini
b. Pengobatan Sistemik
Antibiotik : Levofloxasin 2x500 mg selama 7 hari.
Analgesik : Na Diclofenac 2x1tab selama 7 hari.
IX. Prognosis
- Quo ad vitam : Ad bonam
- Quo ad fungtionam : Ad bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
- Quo ad cosmeticum : Ad bonam
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Histologi
Kelenjar bartolini dibentuk oleh kelenjar racemose dibatasi oleh epitel kolumnair
atau kuboid. Duktus dari kelenjar bartolini merupakan epitel transsisional yang secara
embriologi merupakan daerah transisi antara traktus urinarius dengan traktus genital.(1,2)
5
C. Fisiologi
Kelenjar ini mengeluarkan lendir untuk memberikan pelumasan vagina. Kelenjar
Bartolini mengeluarkan jumlah lendir yang relatif sedikit sekitar satu atau dua tetes
cairan tepat sebelum seorang wanita orgasme. Tetesan cairan pernah dipercaya menjadi
begitu penting untuk pelumas vagina, tetapi penelitian dari Masters dan Johnson
menunjukkan bahwa pelumas vagina berasal dari bagian vagina lebih dalam. Cairan
mungkin sedikit membasahi permukaan labia vagina, sehingga kontak dengan daerah
sensitif menjadi lebih nyaman bagi wanita.(1,4)
6
2. KISTA BARTHOLINI
A. Definisi
Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk di
bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar Bartholin terjadi ketika
kelenjar ini menjadi tersumbat. Kelenjar Bartholini bisa tersumbat karena berbagai
alasan, seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar
ini mengalami infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan
menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian
terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu
abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.(2,5,6)
B. Etiologi
Infeksi kelenjar bartholini terjadi oleh infeksi gonokokus, pada bartholinitis kelenjar
ini akan membesar, merah, dam nyeri kemudian isinya akan menjadi nanah dam keluar
pada duktusnya, karena adanya cairan tersebut maka dapat terjadi sumbatan pada salah
satu duktus yang dihasilkan oleh kelenjar dan terakumulasi, menyebabkan kelenjar
membengkak dan menbentuk suatu kista.(3,5)
C. Patofisiologi
Kista Bartholin terbentuk ketika ostium dari duktus tersumbat,
sehingga menyebabkan distensi dari kelenjar dan tuba yang berisi cairan. Sumbatan ini
biasanya merupakan akibat sekunder dari peradangan nonspesifik atau trauma. Kista
bartholin dengan diameter 1-3 cms seringkali asimptomatik. Sedangkan kista yang
7
berukuran lebih besar, kadang menyebabkan nyeri dan dispareunia. Abses Bartholin
merupakan akibat dari infeksi primer dari kelenjar, atau kista yang terinfeksi.(2,3,5)
D. Gejala klinis
Kista bartholini tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang dirasakan
sebagai benda yang berat dan menimbulkan kesulitan pada waktu koitus. Bila kista
bartholini berukuran besar dapat menyebabkan rasa kurang nyaman saat berjalan atau
duduk.(5)
Tanda kista bartholini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada
salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pambengkakan pada daerah vulva disertai
kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva. Jika kista terinfeksi, gajala klinik
berupa(2,3)
Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik atau berhubungan seksual.
Umumnya tidak disertai demam kecuali jika terifeksi dengan organisme yang
ditularkan melalui hubungan seksual.
Dispareunia.
Biasanya ada secret di vagina.
Dapat terjadi ruptur spontan.
E. Diagnosis
Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik sangat mendukung suatu diagnosis.
Pada anamnesis dinyatakan tentang gejala seperti panas, gatal, Sudah berapa lama
gejala berlangsung, kapan mulai muncul, Apakah pernah berganti pasangan seks,
keluhan saat berhubungan, riwayat penyakit menulat seksual sebelumnya, riwayat
penyakit kelamin pada keluarga.(6)
Kista bartholini di diagnosis melalui pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan dengan
posisi litotomi, terdapat pembengkakan pada kista pada posisi jam 5 atau jam 7 pada
labium minus posterior. Jika kista terinfeksi, maka pemeriksaan kultur jaringan
dibutuhkan untuk mengidantifikasi jenis bakteri penyebab abses dan untuk mengetahui
ada tahu tidaknya infeksi menular.(5,6)
8
F. Pemeriksaan Penunjang
Apabila pasien dalam kondisi sehat, afebri, tes laboratorium darah tidak diperlukan
untuk mengevaluasi abses tanpa komplikasi atau kista. Kultur bakteri dapat bermanfaat
dalam menentukan kuman dan pengobatan yang tepat bagi abses Bartholini.(2,6)
G. Penatalaksanaan
1. Tindakan Operatif, beberapa prosedur yang dapat digunakan (2,3,5,6)
a. Marsupialisasi
Prosedur ini tidak boleh dilakukan ketika terdapat tanda- tanda abses akut.
Setelah dilakukan persiapan yang steril dan pemberian anestesi lokal, dinding
kista dijepit dengan dua hemostat kecil. Lalu dibuat insisi vertikal
pada vestibular melewati bagian tengah kista dan bagian luar dari hymenal ring.
Insisi dapat dibuat sepanjang 1.5 hingga 3 cm, bergantung pada besarnya kista.
Setelah kista diinsisi, isi rongga akan keluar. Rongga ini dapat diirigasi dengan
larutan saline, dan lokulasi dapat dirusak dengan hemostat. Dinding kista ini lalu
dieversikan dan ditempelkan pada dindung vestibular mukosa dengan jahitan
interrupted menggunakan benang absorbable 2 -0.18. Kekambuhan kista
Bartholin setelah prosedur marsupialisasi adalah sekitar 5-10 %.
b. Eksisi (Bartholinectomy)
Eksisi dari kelenjar Bartholin dapat dipertimbangkan pada pasien yang
tidak berespon terhadap drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak
ada infeksi aktif. Eksisi kista bartholin karena memiliki risiko perdarahan, maka
sebaiknya dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi umum.
Pasien ditempatkan dalam posisi dorsal lithotomy. Lalu dibuat insisi kulit
berbentuk linear yang memanjang sesuai ukuran kista pada vestibulum dekat
ujung medial labia minora dan sekitar 1 cm lateral dan parallel dari hymenal ring.
9
Hati hati saat melakukan insisi kulit agar tidak mengenai dinding kista. Struktur
vaskuler terbesar yang memberi supply pada kista terletak pada
bagian posterosuperior kista. Karena alasan ini, diseksi harus dimulai dari bagian
bawah kista dan mengarah ke superior. Bagian inferomedial kista dipisahkan
secara tumpul dan tajam dari jaringan sekitar. Alur diseksi harus dibuat dekat
dengandinding kista untuk menghindari perdarahan plexus vena dan vestibular
bulb danuntuk menghindari trauma pada rectum.
Setelah diseksi pada bagian superior selesai dilakukan, vaskulariasi utama dari
kista dicari dan diklem dengan menggunakan hemostat. Lalu dipotong dan
diligasi dengan benang chromic atau benang delayed absorbable 3-0.
2. Pengobatan Medikamentosa.
Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular seksual
biasanya digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan chlamydia. Idealnya,
antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan insisi dan drainase. Beberapa
antibiotik yang digunakan dalam pengobatan(2,3)
10
a. Ceftriaxone.
Ceftriaxone adalah sefalosporin generasi ketiga dengan efisiensi broad spectrum
terhadap bakteri gram-negatif, efficacy yang lebih rendah terhadap bakteri gram-
positif, dan efficacy yang lebih tinggi terhadap bakteri resisten. Dengan mengikat
pada satu atau lebih penicillin-binding protein, akan menghambat sintesis dari
dinding sel bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri. Dosis yang dianjurkan:
125 mg IM sebagai single dose .4,5
b. Ciprofloxacin.
Sebuah monoterapi alternatif untuk ceftriaxone. Merupakan antibiotik tipe
bakterisida yang menghambat sintesis DNA bakteri dan, oleh sebab itu akan
menghambat pertumbuhan bakteri dengan menginhibisi DNA-gyrase pada
bakteri. Dosis yang dianjurkan: 250 mg PO 1 kali sehari.
c. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara berikatan dengan
30S dan 50S subunit ribosom dari bakteri. Diindikasikan untuk Ctra chomatis.
Dosis yang dianjurkan: 100 mg PO 2 kali sehari selama 7 hari.
11
BAB 3
PEMBAHASAN
Bartolinitis merupakan masalah pada wanita usia subur, kebanyakan kasus terjadi
pada usia 20 sampai 30 tahun dengan sekitar 1 dari 50 wanita akan mengalami bartolinitis
dalam hidup mereka, sehingga hal ini merupakan masalah yang perlu untuk dicermati. (4)
Keluhan pasien pada umumnya adalah benjolan, nyeri, dan dispareunia. Penyakit ini
cukup sering rekurensi. Bartolinitis sering kali timbul pada gonorrhea, akan tetapi dapat pula
mempunyai sebab lain, misalnya streptokokus. Pada bartolinitis akut, kelenjar membesar,
merah, nyeri, dan lebih panas dari daerah sekitarnya. Isinya cepat menjadi nanah yang dapat
keluar melalui duktusnya, atau jika duktusnya tersumbat, mengumpul didalamnya dan
menjadi abses yang kadang-kadang dapat menjadi sebesar telur bebek. Jika belum menjadi
abses, keadaan bias diatasi dengan antibiotik, jika sudah bernanah harus dikeluarkan dengan
sayatan. (4)
Diagnosis bartolinitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan khusus. Pada anamnesis didapatkan keluhan benjolan di kemaluan sejak 1tahu
yang lalu, benjolan berada di sebelah kiri pada bibir kemaluan, berukuran sebesar biji kacang
hijau. Benjolan semakin lama semakin mengeras. Benjolan dirasakan nyeri hilang timbul
terutama setelah berhubungan seksual. Benjolan tidak disertai kemerahan dan tidak terasa
sakit.
Dari pemeriksaan fisik: Status generalis: dalam batas normal. Status lokalis: Vulva :
tampak massa di labia minora sinistra dengan diameter 1cm, eritema(-), Nyeri Tekan(-).
Berdasarkan dari pemeriksaan fisik tersebut sesuai dengan teori tentang bartolinitis.
Dalam menegakkan diagnosis bartholinitis, perlu juga dilakukan pemeriksaan kultur
untuk mengidentifikasi jenis bakteri penyebab infeksi dan untuk mengetahui ada tidaknya
kaitan dengan penyakit menular seksual seperti Gonore. Dari pemeriksaan ini juga dapat
diketahui antibiotik yang tepat untuk diberikan terhadap pasien. Selain itu, perlu juga
dipikirkan apabila terjadi pembengkakan pada kelenjar bartolini kemungkinan lain adalah
kista bartolini dan abses bartolini.
Kista bartolini tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang dirasakan
sebagai benda yang berat dan menimbulkan kesulitan pada waktu koitus. Jika kista bartolini
masih kecil dan tidak terinfeksi, umumnya asimptomatik. Tetapi bila berukuran besar dapat
menyebabkan rasa kurang nyaman saat berjalan atau duduk. Gejala yang paling umum seperti
nyeri, dispareunia, rasa tidak nyaman saat duduk atau berjalan. Tanda kista bartolini yang
12
tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada salah satu sisi vulva disertai
kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva.(5,6)
Ada kalanya bartolinitis menjadi abses karena duktus kelenjar tertutup dan terjadi
proses pernanahan didalam kelenjar tersebut. Gambaran klinis pada abses bartolini yaitu akut,
pembengkakan labia unilateral disertai nyeri. Abses bartolini biasanya berkembang selama
dua sampai empat hari dan dapat menjadi lebih besar dari 8 cm. Cenderung pecah dan
mengering empat sampai lima hari, dispareunia, kesulitan dalam berjalan atau duduk.
Ditemukan adanya vaginal discharge terutama jika infeksi disebabkan oleh organisme
menular seksual, dan dapat disertai demam. (6)
Penatalaksanaan pada kasus ini yaitu secara umum dan khusus. Penatalaksanaa umum
pada pasien ini yaitu dengan menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya dan
pengobatannya. Serta edukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan di daerah
kewanitaannya.
Penatalaksanaan khusus untuk pasien ini yaitu berupa tindakan ekstirpasi kista
bartholin dan pemberian terapi sistemik antibiotik spektrum luas. Diberikan Levofloxacin
500mg 2x sehari untuk mencegah infeksi sekunder paska tindakan. Selain itu juga diberikan
Na diklofenac 2x sehari untuk mengurangi nyeri paska tindakan.
Prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan pengobatan secara teratur.
Tidak menyebabkan kematian, tetapi bersifat rekurensi.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Sastrawinata RS. Infeksi Alat Kandungan. Dalam: Ginekologi Ed. 2nd. Bagian
Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD, Bandung: 2010. 81-114
2. Jonathan S. Marsupialization of Bartholin Gland Cyst. In : Rock JA, Jones
HW,eds. Telindes Atlas of Gynecology Surgery. Philadelphia, PA : Lippincott
Williams dan Wilkins; 2014: 73-77.
3. Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Ed. IV. PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta : 2014.
4. Anwar M, Baziad A, Prabowo RP. Tumor Jinak Vulva, Kista Bartolini. Dalam:
Ilmu Kandungan. Edisi 3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono. 2011.p. 252-3.
5. Stenchever MA, Droegemuller W, Herbst AL, Mishell DR. Infection of the lower
genital tract : vulva, vagina, cervix, toxic shock syndro,e, HIV infection in
Comprehensive Gynecology 4th ed. USA: 2007.
6. Quinn A. Bartholin Gland Diseases. Emedicine Medscape. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/777112-overview#showall.
14