Rangkuman Akuntansi-Pajak

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 46

RANGKUMAN

PENYUSUTAN GARIS LURUS


RUMUS :
Penyusutan : Harga perolehan aset tetap - nilai residu / umur ekonomis
aset tetap
ATAU DENGAN METODE %
Penyusutan : % penyusutan x harga perolehan - nilai residu / umur
ekonomis aset tetap

Contoh Penyusutan Metode Garis Lurus :

Sebuah mesin diperoleh pada tanggal 6 Juni 2014, harga perolehan mesin
tersebut sebesar Rp 13,000,000

Mesin tersebut ditaksir memiliki umur ekonomis 10 tahun, dan apabila nanti
sudah tidak digunakan lagi atau aset ditarik penggunaannya, diperkirakan
mesin tersebut masih bisa ditimbang kiloan (spesialisasi orang madura nih,
hehe becanda) besi tuanya dapat dijual seharga Rp 1.000,000.

Dalam pencatatan akuntansi aset tetap, perusahaan menggunakan METODE GARIS


LURUS

Perhitungan Penyusutan :

Beban penyusutan untuk tahun 2014, dihitungan dengan cara :

Beban Penyusutan = 7/12 x [(Rp 13,000,000 1.000,000) : 10 tahun]


= Rp 699.999 ==> kita bulatkan saja Rp 700.000

# Tunggu Darimana angka 7/12 ?


Ok, Dalam 1 tahun, terdapat 12 bulan, dan mesin tersebut mulai dioperasikan
mulai Bulan Juni

Jadi selama tahun 2014, mesin tersebut digunakan pada bulan :

Juni - Juli - Agustus - September - Oktober - November - Desember.

Jadi pada tahun 2014, Mesin tersebut digunakan selama 7 Bulan


Maka penyusutan selama 7 Bulan tersebut : 7/12
Seandainya mesin tersebut diperoleh tanggal 1 januari, maka pada tahun 2014
mesin tersebut digunakan selama 12 bulan dan dihitung dengan cara =

12/12 x [(Rp 13,000,000 1.000,000) : 10] .dan


seterusnya

Dan untuk tahun 2015, maka beban penyusutannya selama 12 bulan full jadi
menggunakan 12/12

Atas pembebanan penyusutan ini dicatat sebagai berikut :

31 Desember 2014

Debit | Depreciation Rp700.000


Accumulated
Kredit| Rp700.000
Depreciation

# Pada akhir periode, penyusutan ini juga harus dilakukan jurnal


penyesuaian

Untuk mengakui adanya beban pada mesin ini, penyesuaian atas penyusutan
mesin ini sejumlah akumulasi penyusutan selama periode berjalan.

Pencatatan dalam jurnal penyesuaian:

Accumulated
Debit | Rp700.000
Depreciation
Kredit | Depreciation Expense Rp700.000

METODE SALDO MENURUN

Rumus Depresiasi Saldo Menurun


Penyusutan = [(100% : Umur Ekonomis) x 2] x Nilai
Perolehan/Nilai Buku

Contoh kasus penyusutan metode saldo menurun:

Supaya lebih mudah, kita gunakan contoh kasus sebelumnya yang kita kerjakan
menggunakan metode garis lurus

Sebuah mesin diperoleh pada tanggal 6 Juni 2014, harga perolehan mesin
tersebut sebesar Rp 13,000,000 dan mesin tersebut ditaksir memiliki umur
ekonomis 10 tahun

Apabila nanti sudah tidak digunakan lagi atau aset ditarik penggunaannya,
diperkirakan mesin tersebut masih bisa ditimbang kiloan, besi tuanya dapat
dijual seharga Rp 1.000,000.

Dalam pencatatan akuntansi aset tetap, perusahaan menggunakan metode


penyusutan saldo menurun.

Penyusutan tahun 2014 :

[(100% : 10) x 2 ] x 7/12 x 13.000.000 = Rp 1.516.710

Notes :
Karena selama tahun 2014 aset hanya digunakan 7 bulan,
maka dikali 7/12

Penyusutan tahun 2015 :

[(100% : 10) x 2 ] x (13.000.000 - 1.516.710) = 2.296.658

Notes :
Nilai buku aset tahun 2015 dikurangi penyusutan aset tahun
sebelumnya, sebesar Rp 1.516.710
Untuk tahun tahun setelahnya, cara pengerjaanya sama, hingga
10 tahun masa pengoperasian mesin tersebut.

Lalu saat pencatatan, jurnal nya adalah sama dengan metode garis lurus,
cuma beda di angka saja

31 Desember 2014
Debit |Depreciation Rp1.516.710
Accumulated
Kredit| Rp1.516.710
Depreciation

Untuk tahun berikutnya juga sama jurnalnya

31 Desember 2015

Debit |Depreciation Rp2.296.658


Accumulated
Kredit| Rp2.296.658
Depreciation
Jurnal jurnal penyusutan tahun tahun berikutnya sama saja, jadi tidak perlu dijelaskan lagi. :)

# Pada akhir periode, penyusutan ini juga harus dilakukan jurnal penyesuaian !

Jurnal penyesuaian ini untuk mengakui adanya beban pada aset mesin ini. penyesuaian atas
penyusutan aset tetap ini sejumlah akumulasi penyusutan selama periode berjalan.

Pencatatan dalam jurnal penyesuaian:

Contoh Jurnal Penyesuaian Aset Tetap Mesin Tahun 2014

Accumulated
Debit | Rp1.516.710
Depreciation
Depreciation
Kredit| Rp1.516.710
Expense

Jurnal Penyesuaian tahun 2015

Accumulated
Debit | Rp2.296.658
Depreciation
Depreciation
Kredit| Rp2.296.695
Expense
Untuk jurnal penyesuaian tahun tahun berikutnya, cara pengerjaanya sama saja.

Notes:
Dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun ini, jumlah angka
penyusutan tiap tahun akan mengalami penurunan penyusutan tiap tahunnya.
Hal ini menunjukkan bahwa aset tetap (khususnya mesin) memberikan
kinerja, manfaat terbaiknya terhadap perusahaan berada pada saat awal awal
aset tetap tersebut digunakan, semakin lama semakin menurun kinerja aset
tetap tersebut karena keausan.

AKUNTANSI UNTUK PENERBITAN MODAL SAHAM

1. Saham dengan Nilai Pari


Ada beberapa alternatif dalam penerbitan saham dengan nilai pari antara lain yaitu :
Saham diterbitkan
sama dengan nilai
pari
Saham
diterbitkan
diatas nilai pari
Saham diterbitkan
dibawah nilai pari

Misalkan PT. JLIANI


menjual 1000 lembar
saham biasa yang
memiliki nilai pari Rp.1.000,- per lembar, dengan harga sama dengan nilai parinya.
Jurnal yang harus dibuat adalah sebagai berikut :
Kas .. Rp. 1.000.000,-
Saham Biasa Rp. 1.000.000,-

Asumsikan dalam soal diatas saham diterbitkan dengan harga Rp. 2.500,- per lembar.
Jurnal yang harus dibuat adalah :
Kas (1000 x Rp. 2.500) .. Rp. 2.500.000,-
Saham Biasa (1000 x Rp. 1.000,-) . Rp. 1.000.000,-
Tambahan Modal Disetor ...................... 1.500.000,-

Dan asumsikan dalam soal diatas saham diterbitkan dengan harga Rp. 950,- per
lembar,* maka jurnal penerbitan saham adalah sebagai berikut :
Kas (Rp. 950 x 1000) Rp. 950.000,-
Tambahan Modal Disetor (50 x 1000) 50.000,-
Saham Biasa (Rp. 1.000 x 1000) .. Rp. 1.000.000,-
Catatan : * perusahaan jarang sekali, atau tidak pernah menerbitkan saham dengan
nilai di bawah harga pari. Jika menerbitkan saham di bawah harga pari,
perusahaan mencatat disagio itu sebagai debit pada Tambahan Modal
Disetor.

2. Saham tanpa Nilai Pari


Jika saham tanpa nilai pari diterbitkan, maka berapa pun harga jualnya, jurnalnya
akan terlihat sebagai berikut :
Kas .. Rp. xxx,-
Saham Biasa Tanpa Nilai Pari Rp. xxx,-

Ada kalanya saham tanpa nilai pari memiliki nilai yang ditetapkan (stated value)
maksudnya saham tersebut tidak boleh dijual dibawah nilai yang ditetapkan. Dengan
kata lain harga jual minimum saham tersebut harus sama dengan nilai yang
ditetapkan. Untuk penerbitan saham dengan nilai yang ditetapkan ada dua alternatif
yaitu :
Jika saham dijual
dengan harga
diatas state value.
Jika saham
dijual dengan
harga sama
dengan stated value.

Misalkan 1000 lembar saham biasa dengan nilai yang ditetapkan Rp. 1.500,-
per lembar diterbitkan dengan harga Rp. 2.000,- maka jurnal penerbitannya adalah
sebagai berikut :
Kas (2000 x 1000) Rp. 2.000.000,-
Saham Biasa (1500 x 1000) ................... Rp. 1.500.000,-
Modal Disetor Melebihi Nilai Ditetapkan (500 x 1000).. 500.000,-

Asumsikan dalam soal diatas saham dengan nilai ditetapkan dijual / diterbitkan
dengan harga Rp. 1.500,- per lembar, maka jurnalnya adalah sebagai berikut :
Kas (1500 x 1000) . . Rp. 1.500.000,-
Saham Biasa (1500 x 1000) . Rp. 1.500.000,-

3. Saham yang Diterbitkan dengan Sekuritas Lainnya


(Lumpsum Sales)
Yang menjadi masalah pada Lumpsum Sales adalah dalam hal menentukan harga jual
masing-masing jenis surat berharga. Untuk itu ada dua metode yang dapat digunakan
yaitu metode proportional dan metode incremental.
Metode Proporsional. Jika nilai pasar atau dasar lainnya yang baik untuk menentukan
nilai relatif setiap kelompok sekuritas tersedia, maka nilai lump sum yang diterima
dialokasikan di antara kelompok-kelompok sekuritas atas dasar proporsional.
Sebagai contoh, asumsikan bahwa sebuah perusahaan menerbitkan 1.000 lembar
saham biasa dengan nilai ditetapkan $10 yang memiliki harga pasar $20 per saham,
dan 1.000 lembar saham preferen dengan nilai pari $10 yang memiliki harga pasar
$12 per saham diterbitkan dengan nilai lump sum sebesar $30.000.

Nilai pasar wajar saham biasa (1.000 x $20) = $20.000


Nilai pasar wajar saham preferen (1.000 x $12) = 12.000
Nilai pasar wajar agregat $ 32.000

Dialokasikan ke saham biasa : $20.000 x $30.000 = $18.750


$32.000

Dialokasikan ke saham preferen : $12.000 x $30.000 = $11.250


$32.000
Saham Biasa Saham Preferen
Nilai jual $ 18.750 $11.250
Nilai nominal $ 10.000 $10.000
Tambahan Modal Disetor $ 8.750 $ 1.250
Jurnal dari Lummp-sum Sales diatas adalah sebagai berikut :
Kas . $30.000
Saham Biasa $10.000
Agio Saham Biasa $ 8.750
Saham Preferen .. $ 10.000
Agio Saham Preferen.. $ 1.250

Metode Inkremental. Jika nilai pasar wajar semua kelompok sekuritas tidak dapat
ditentukan, maka metode incremental dapat dipergunakan. Nilai pasar sekuritas itu
digunakan sebagai dasar untuk kelompok-kelompok yang telah diketahui dan sisa dari
nilai lump sum dialokasi ke kelompok di mana nilai pasar tidak diketahui. Sebagai
contoh, jika 1.000 lembar saham biasa dengan nilai ditetapkan $10 memiliki nilai
pasar $20 dan 1.000 lembar saham preferen dengan nilai pari $10 yang tidak memiliki
nilai pasar ditetapkan dan diterbitkan dengan nilai lump sum sebesar $30.000, maka
alokasi adalah sebagai berikut :
Penerimaan lump sum $30.000
Dialokasi ke saham biasa (1.000 x $20) 20.000
Saldo yang dialokasikan ke saham preferen $10.000

Saham Biasa Saham Preferen


Nilai jual $ 20.000 $10.000
Nilai nominal $ 10.000 $10.000
Tambahan Modal Disetor $ 10.000 $ 0
Jurnal dari Lummp-sum Sales diatas adalah sebagai berikut :
Kas . $30.000
Saham Biasa $10.000
Agio Saham Biasa $10.000
Saham Preferen .. $ 10.000

Jurnal Penyesuaian

Keseimbangan neraca saldo antara sisi debit dan sisi kredit, belum menjamin bahwa kegiatan
akuntansi telah dilakukan dengan benar. Oleh karena itu, agar neraca saldo menunjukkan
keadaan yang sebenarnya, perlu diadakan penyesuaian dan perbaikan. Bagaimana cara
melakukannya? Penyesuaian dan perbaikan dilakukan melalui jurnal penyesuaian (adjusting
journal entry).

Pada kondisi seperti apakah jurnal penyesuaian diperlukan? Jurnal penyesuaian diperlukan
untuk hal-hal sebagai berikut.
Transaksi yang telah terjadi tetapi belum dicatat

a. Beban Terutang (Beban yang Masih Harus Dibayar)


Mengapa beban yang masih harus dibayar memerlukan jurnal penyesuaian?
Jika pada akhir periode, diketahui ada beban yang masih harus dibayar, transaksi tersebut
harus dicatat dalam jurnal penyesuaian. Misalnya, gaji karyawan bulan Desember 2006, baru
akan dibayarkan tanggal 3 Januari 2007, sebesar Rp3.500.000,00. Maka, jurnal penyesuaian
tanggal 31 Desember 2006 adalah sebagai berikut.

b. Pendapatan yang Masih Harus Diterima


Seperti halnya dengan beban terutang, pada akhir periode mungkin ada sejumlah pendapatan
jasa yang pembayarannya belum diterima.
Misalnya, pada akhir periode terdapat pendapatan yang masih harus diterima pembayarannya
sebesar Rp4.000.000,00. Jurnal penyesuaian tanggal 31 Desember sebagai berikut:

Perhatikan contoh lainnya! Perusahaan menerima bunga bank dua kali dalam setahun, yaitu 1
April dan 1 Oktober sebesar Rp120.000,00.
Jadi, sampai dengan 31 Des perusahaan masih harus menerima pendapatan bunga untuk 3
bulan yaitu bulan Oktober, Nopember, dan Desember, yang belum diterima, sehingga perlu
dilakukan penyesuaian sebagai berikut:
3/6 x Rp 120.000,00 = Rp 60.000,00
Jurnal penyesuaian tanggal 31 Desember sebagai berikut:
c. Penyusutan Aktiva Tetap
Apakah aktiva tetap itu? Aktiva tetap (fixed assets) adalah aktiva yang masa pemanfaatannya
lebih dari satu periode akuntansi. Penyesuaian terhadap aktiva tetap dilakukan untuk
mengetahui berapa nilai aktiva yang sudah dinikmati pada periode berjalan. Coba Anda
sebutkan, aktiva apa sajakah yang memerlukan penyesuaian pada akhir periode? Semua
aktiva tetap setiap akhir periode harus dilakukan penyesuaian kecuali tanah. Mengapa tanah
tidak perlu disesuaikan? Harga tanah dari waktu ke waktu tidak mungkin akan turun karena
kapasitas tanah tetap sedang kebutuhan meningkat. Jadi, tanah tidak memerlukan
penyesuaian.

Nilai aktiva tetap yang dimanfaatkan pada periode berjalan merupakan nilai penyusutan atau
penghapusan (depreciation) dari aktiva tetap. Nilai penyusutan aktiva tetap ditampung dalam
bentuk akun kontra (contra asset account) yang disebut akumulasi penyusutan (accumulated
depreciation). Akun tersebut termasuk dalam kelompok aktiva namun bersifat kontra atau
berlawanan. Jika demikian, apakah pengaruhnya terhadap aturan saldo normal? Aturan saldo
normal akumulasi penyusutan merupakan kebalikan dari aktiva yang bersangkutan.
Bertambahnya akun akumulasi penyusutan aktiva tetap akan dicatat pada sisi kredit.

Pada waktu penyesuaian dilakukan, jumlah nilai aktiva yang disusutkan untuk periode
berjalan akan dicatat dalam akun beban penyusutan aktiva tetap. Misalnya, dibeli kendaraan
seharga Rp100.000.000,00 yang memiliki umur ekonomis 10 tahun dan tidak ada nilai residu
pada akhir umur ekonomisnya. Nilai penyusutan per tahun untuk kendaraan tersebut dapat
dihitung sebagai berikut.

Penyusutan tahunan =
1/10 Rp 100.000.000,00 = Rp10.000.000,00
Jurnal penyesuaian tanggal 31 Desember 2006 sebagai berikut:

Jika pada akhir periode umur ekonomisnya terdapat nilai residu (nilai sisa) sebesar
Rp10.000.000,00, penyusutan tahunannya sebagai berikut:
Penyusutan tahunan =
1/10 x (Rp100.000.000,00 Rp10.000.000)
= Rp9.000.000,00
Transaksi yang sudah dicatat tetapi belum dikoreksi karena tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya

a. Beban yang Dibayarkan Di Muka


Beban dibayar di muka merupakan akun campuran, yaitu suatu akun yang di dalamnya
terdapat sebagian nilai yang harus masuk ke dalam akun riil dan sebagian lagi harus masuk ke
dalam akun nominal. Akun tersebut diperlukan dengan dua cara sebagai berikut.

1) Saat Pembayaran Dicatat sebagai Harta


Jika pada saat pembayaran dianggap sebagai harta maka akun yang digunakan untuk mencatat
transaksi tersebut ialah akun beban dibayar di muka. Walaupun ada istilah beban, akun
tersebut merupakan aktiva, yakni aktiva lancar. Pada akhir periode harus dipisahkan berapa
nilai beban periode berjalan (beban yang benar-benar terjadi) dan beban periode yang akan
datang (beban yang belum terjadi) dari akun tersebut.

Misalnya, 1 April 2006 dibayar beban asuransi untuk periode 1 tahun sebesar
Rp3.600.000,00. Pada saat terjadi transaksi dibuat jurnal sebagai berikut.

Pada akhir periode dilakukan penyesuaian dengan menghitung beban periode berjalan dan
beban periode mendatang. Hal ini dilakukan dengan menghitung jumlah bulan yang termasuk
periode berjalan dan jumlah bulan yang termasuk periode mendatang, sebagai berikut:

Dengan bantuan garis waktu tersebut, dapat dilihat bahwa dalam akun Asuransi dibayar di muka
terdapat 9 bulan yang sudah menjadi beban periode berjalan dan 3 bulan sebagai beban periode
mendatang. Beban periode berjalan harus dikeluarkan dan dipindahkan ke akun beban asuransi dan
yang menjadi beban periode mendatang tetap dalam akun Asuransi dibayar di muka.

Beban periode berjalan =


9/12 Rp3.600.000,00
= Rp2.700.000,00
Bbeban periode mendatang =
3/12 Rp3.600.000
= Rp900.000,00
Berdasarkan analisis tersebut maka dibuatlah jurnal penyesuaian tanggal 31 Desember 2006.

2) Saat Pembayaran Dicatat sebagai Beban


Jika saat pembayaran dicatat sebagai beban maka akun yang digunakan pada saat pencatatan ialah
akun beban asuransi. Berdasarkan kasus pada contoh di atas maka pada saat pembayaran dibuatlah
jurnal penyesuaian seperti berikut.

Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan garis waktu sebagai berikut:


Karena pada saat pembayaran dicatat sebagai beban maka yang dikeluarkan dari akun beban asuransi
adalah nilai yang menjadi beban periode mendatang, yaitu 3 bulan. Beban periode mendatang, yaitu:
3/12 Rp3.600.000,00 = Rp900.000,00

Maka, jurnal penyesuaian tanggal 31 Desember 2006 sebagai berikut:

b. Pemakaian Perlengkapan (Supplies)


Akun perlengkapan kantor atau perlengkapan toko termasuk ke dalam akun campuran, yaitu
sebagian masuk kelompok harta (perlengkapan) dan sebagian masuk kelompok beban (pemakaian
perlengkapan). Nilai perlengkapan pada akhir periode dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan fisik terhadap persediaan perlengkapan. Misalnya, selama periode akuntansi dilakukan
beberapa kali pembelian perlengkapan kantor sehingga dalam neraca saldo terdapat akun
perlengkapan kantor (office supplies) sebesar Rp17.000.000,00, melalui pemeriksaan fisik pada akhir
periode (31 Des 2006). Diketahui persediaan perlengkapan sebesar Rp3.200.000,00.
Berdasarkan data tersebut, besarnya nilai perlengkapan yang menjadi beban sebagai berikut:
Pemakaian = Rp17.000.000,00 Rp3.200.000,00 = Rp13.800.000,00
Jurnal penyesuaian tanggal 31 Desember 2006 sebagai berikut.

Dari data di atas dapat diketahui besarnya pemakaian perlengkapan selama satu periode akuntansi,
yaitu Rp13.800.000,00.

c. Pendapatan yang Diterima Di Muka


1) Saat Permintaan Pendapatan Dicatat sebagai Utang
Jika pada saat penerimaan pendapatan dicatat sebagai utang maka akun yang digunakan untuk
transaksi tersebut ialah akun pendapatan diterima di muka. Walaupun menggunakan istilah
pendapatan, sebenarnya sifat akun tersebut ialah utang.
Misalnya, tanggal 1 September 2006 diterima pendapatan sewa untuk 1 tahun sebesar
Rp36.000.000,00. Pada saat terjadi transaksi, jurnal yang dibuat sebagai berikut:
Pada akhir periode diperlukan jurnal penyesuaian untuk menentukan pendapatan yang sudah menjadi
hak perusahaan dan pendapatan yang belum menjadi hak perusahaan. Periode berlakunya sewa (12
bulan)

Berdasarkan garis waktu tersebut, pendapatan yang sudah menjadi hak perusahaan ialah selama 4
bulan.
Pendapatan periode ini sebesar =
4/12 Rp 36.000.000,00 = Rp12.000.000,00
Jurnal penyesuaian tanggal 31 Desember 2006 sebagai berikut

Jadi, pendapatan yang menjadi hak perusahaan adalah 4 bulan, sedangkan yang 8 bulan merupakan
pendapatan untuk tahun berikutnya.
2) Saat Penerimaan Pendapatan Dicatat sebagai Pendapatan
Jika, penerimaan pendapatan dicatat sebagai pendapatan sewa maka akun yang digunakan untuk
mencatat transaksi tersebut ialah akun pendapatan sewa. Berdasarkan contoh di atas, maka pada
saat terjadi transaksi penerimaan pendapatan dengan jurnal sebagai berikut.

Pada akhir periode diperlukan jurnal penyesuaian untuk mencatat pendapatan yang belum menjadi
hak perusahaan, yaitu 8 bulan.

Berdasarkan garis waktu tersebut, pendapatan yang belum menjadi hak perusahaan yaitu 8 bulan.
Pendapatan yang belum menjadi hak perusahaan ialah =
8/12 Rp36.000.000,00 = Rp24.000.000,00.
Jurnal penyesuaian tanggal 31 Des 2006 adalah sebagai berikut:
Jurnal penyesuaian selain berguna untuk menunjukkan data keuangan yang sebenarnya, berguna juga
untuk memperbaiki kesalahan pencatatan. Perbaikan kesalahan cukup dilakukan pada saat menjurnal
dan ditemukan sebelum posting. Jika kesalahan tersebut ditemukan setelah posting maka
perbaikannya harus dilakukan dengan cara posting ulang.

Ada dua langkah pokok untuk memperbaiki kesalahan pencatatan, yaitu sebagai berikut.
1. Mencatat kebaikan dari jurnal yang salah
2. Mencatat kembali jurnal yang benar
Kedua langkah di atas dilakukan melalui jurnal penyesuaian.

Beberapa bentuk kesalahan yang mungkin terjadi, yaitu salah akun, salah jumlah, salah letak, dan
kesalahan gabungan.
Contoh:
Pada tanggal 13 Juli 2006 dibeli secara kredit berbagai perlengkapan kantor seharga Rp3.000.000,00.
Jurnal saat terjadi transaksi adalah

Setelah akan diposting ke buku besar, diketahui jurnal tersebut salah akun. Langkah pertama
penyesuaian adalah dengan menghapus jurnal yang salah.

Setelah langkah pertama selesai, kemudian dibuat jurnal yang benar, yaitu sebagai berikut.

Kesalahan pada contoh di atas adalah kesalahan pencatatan nama akun. Pembelian perlengkapan
harus dimasukkan pada akun perlengkapan bukan pada akun peralatan. Dalam kajian akuntansi
keduanya memiliki perbedaan. Perlengkapan merupakan aktiva lancar sedangkan peralatan
merupakan aktiva tetap.

Contoh Perhitungan Pencatatan Persediaan Dengan Metode Fifo


(Fist In First Out)
Pengertian Metode Fifo (Fist In First Out) Dalam Percatatan Perhitungan Persediaan Akhir.
Metode ini beranggapan, bahwa barang yang dibeli lebih awal, dianggap dikeluarkan lebih awal pula.
Dengan demikian, setiap terjadi suatu transaksi penjualan, maka harga pokok barang yang terjual
dinilai berdasarkan harga barang yang dibeli lebih awal.

Contoh Metode Fifo (Fist In First Out) Dalam Percatatan Perhitungan Persediaan Akhir :
1. Persediaan Awal : 100 buah @ Rp 9.000
2. Pembelian : 100 buah @ Rp12.000
3. Pembelian : 100 buah @ Rp11.250
4. Penjualan : 100 buah
5. Penjualan : 100 buah
Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan cara FIFO misalnya
sebagai berikut:

No. Didapat Dijual Persediaan Akhir


1 100 @Rp 9.000 = Rp
900.000
2 100 @Rp12.000 = 100 @Rp 9.000 = Rp
Rp1.200.000 900.000
100 @Rp12.000 =
Rp1.200.000
3 100 @Rp11.250 = 100 @Rp 9.000 = Rp
Rp1.125.000 900.000
100 @Rp12.000 =
Rp1.200.000
100 @Rp11.250 =
Rp1.125.000
4 100 @Rp 9.000 = Rp 100 @Rp12.000 =
900.000 Rp1.200.000
100 @Rp11.250 =
Rp1.125.000
5 100 @Rp12.000 = 100 @Rp11.250 =
Rp1.200.000 Rp1.125.000

Harga Pokok Penjualan Metode FIFO


Perhitungan Harga Pokok Penjualan (COGS) Metode FIFO

Setelah sebelumnya perhitungan harga pokok penjualan metode rata rata (average), kali ini kita bahas
contoh soal harga pokok penjualan metode FIFO, FIFO yang merupakan akronim dari First In First Out,
adalah barang dagang yang masuk lebih dulu, itulah yang harus dijual lebih dulu.

Contoh Soal:
Masih dengan contoh soal yang sama dengan sebelumnya, pada Harga Pokok Penjualanmetode rata
rata (average method), saya akan tulis kembali:

UD Albirin Asri yang merupakan sebuah toko yang berdagang menjual beras pada tanggal 1 April
mempunyai persediaan sejumlah 1 kwintal (100 kg) beras senilai Rp 300.000. tampak beberapa
transaksi yang terlihad pada buku catatan UD Albirin Asri seperti berikut:

Kuantita Unit
Date Transaksi Jumlah
s Price
01-AprPenjualan 40 4.500180.000
10-Aprpembelian 30 3.100 93.000
10-AprPenjualan 66 4.650302.000
20-Aprpembelian 25 3.200 80.000
30-Aprpembelian 40 3.250130.000
30-AprPenjualan 25 4.875121.875

Dan inilah rangkumannya

Rangkuman
Total Pembelian 95 303.000
Total Penjualan 130 604.000

Transaksi pada 1 April:


Karena persediaan barang pada tanggal 1 April 2015 hanya bersaldo awal 100 kg, maka 40 kg dijual
menggunakan unit cost

Saldo Awal = 300.000 : 100 = Rp 3.000


Total COGS 1 April = Rp 3.000 x 40 kg = Rp 120.000
Persediaan Akhir = Rp 300.000 - 120.000 = Rp 180.000

Transaksi 10 April:
Pembelian barang dagang 30 kg sesenilai Rp 3.100 per kg, total pembelian : Rp 93.000
Terjual barang dagang 65 kg, akan unit cost yang mana yang digunakan?

Karena pada 01 April telah terjual 40 kg, sisa barang dagang yang sebelumnya menggunakan unit price
hanya sisa 60 kg, dan tidak cukup untuk menutupi transaksi penjualan yang sebanyak 65 kg, jadi:
60 kg barang dagang menggunakan unit price Rp 3.000
5 kg barang dagang mempergunakan unit price Rp 3.100

Total COGS 10 April 2015:

60 x Rp
= Rp180.000
3.000
5 x Rp
= Rp15.000
3.100
Total Rp195.500
COGS

Apabila dibuatkan tabel, akan tampak seperti ini:

FIFO METHOD
Date/Acc 01-Apr 10-Apr 10-Apr 20-Apr 30-Apr Total
Opening Qty 100 60 30 25 50 50
Balance Rp 300.000 180.000 93.000 77.500 157.500 157.500
Qty 30 30 25 40 95
Purchase U/Prx 3.100 3.100 3.200 3.250
Rp 93.000 93.000 80.000 130.000 303.000
Qty 40 60 5 25 130
Sold (COGS) U/Prx 3.000 3.000 3.100 3.100
Rp 120.000 180.000 15.500 77.500 393.000
Closing Qty 60 30 25 50 65 65
Balance Rp 180.000 93.000 77.500 157.500 210.000 210.000

Summary :
Opening
100 300.000
Balance
Purchase 95 303.000
Sold (COGS) 130 393.000
Closing
65 210.000
Balance

Notes:
Coba perhatikan summarynya, Bila hendak diuji, silahkan pergunakan rumus COGS seperti yang telah
dilakukan pada postingan sebelumnya pada metode Average Method

Harga Pokok Penjualan Metode


LIFO dan Kajian Perpajakan
Harga Pokok Penjualan Metode LIFO
LIFO, yang berakronim Last In First Out, adalah barang yang terakhir masuk, akan dijual paling awal
(lebih dahulu). aneh? bisa dibilang iya, karena dengan metode ini akan membuat HPP akan menjadi
tidak realistis. Coba dipikirkan, biaya yang dibebankan mempergunakan cost dari pembelian yang
terakhir dan tidak memperhitungkan bahwa ada kemungkinan barang dagang yang dijual bercampur
antara persediaan barang yang menggunakan harga yang lama dengan persediaan barang baru
dengan harga yang berbeda (harga baru). di Amerika, metode LIFO ini tidak dianjurkan untuk
diimplementasikan dan dianggap sebuah praktek yang ilegal, pun bila ada yang menggunakan metode
LIFO akan diawasi dengan sangat ketat oleh pemerintah disana.

Baiklah, mari kita mencoba hitung Harga Pokok Penjualan atau HPP dengan metode LIFO ini. saya akan
tulis kembali soal yang sama seperti pada metode rata rata dan metode FIFO.
UD Albirin Asri yang merupakan sebuah toko yang berdagang menjual beras pada tanggal 1 April
mempunyai persediaan sejumlah 1 kwintal (100 kg) beras senilai Rp 300.000. tampak beberapa
transaksi yang terlihad pada buku catatan UD Albirin Asri seperti berikut:

Kuantita Unit
Date Transaksi Jumlah
s Price
01-AprPenjualan 40 4.500180.000
10-Aprpembelian 30 3.100 93.000
10-AprPenjualan 66 4.650302.000
20-Aprpembelian 25 3.200 80.000
30-Aprpembelian 40 3.250130.000
30-AprPenjualan 25 4.875121.875

dan inilah rangkumannya

Rangkuman
Total Pembelian 95 303.000
Total Penjualan 130 604.000

Transaksi pada 1 April:


Kita bisa mengetahui hasilkan akan sama dengan metode metode sebelumnya, jadi kita lewati saja

Transaksi 10 April 2015:


Opening Balance (saldo awal) 60 kg dengan unit cost Rp 3.000
Purchase (pembelian) 30 kg dengan harga Rp 3.100 per kg, jadi total pembelian sebesar Rp 93.000
yang berhasil dijual sebanyak 65 kg, unit cost mana yang digunakan?

dengan konsep LIFO, maka :

30 kg x Rp 3.100 = Rp 93.000
35 kg x Rp 3.000 = Rp 105.000
--------------- (+)
Total COGS = Rp 198.000

dan bila dibuatkan tabel, akan nampak seperti dibawah ini:

LIFO METHOD
Date/Acc 01-Apr 10-Apr 10-Apr 20-Apr 30-Apr Total
Opening Qty 100 60 60 25 50 50
Balance Rp 300.000180.000180.000 77.500155.000155.000
Qty 30 25 40 95
PurchaseU/Prx 3.100 3.200 3.250
Rp 93.000 80.000130.000303.000
Qty 40 30 35 25 130
Sold
U/Prx 3.000 3.100 3.000 3.200
(COGS)
Rp 120.000 93.000105.000 80.000398.000
Closing Qty 60 60 50 50 65 65
Balance Rp 180.000180.000155.000157.500205.000205.000

Summary :
Opening
100 300.000
Balance
Purchase 95 303.000
Sold (COGS) 130 398.000
Closing
65 205.000
Balance
Notes: Jangan Lupa perhatikan summarynya juga

Kesimpulan:

Dengan Mempergunakan tiap masing masing metode, baik metode rata rata, metode FIFO, Metode
LIFO pada postingan sebelumnya, dengan soal yang sama, hasilnya:

summary-nya saya pindahkan kesini, coba perhatikan pada summary-nya masing masing

Average
FIFO Method LIFO Method
Summary Method
Qty Value Qty Value Qty Value
Opening Balance 100 300.000 100 300.000 100 300.000
Purchase 96 303.000 96 303.000 96 303.000
Sold (COGS) 130 396.565 130 393.000 130 398.000
Closing Balance 65 206.435 65 210.000 65 205.000

Opening Balance (Saldo Awal) tetap sama:


Qty = 100 kg - Rp 300.000

Purchase (Pembelian) tetap sama:


Qty = 95 kg - Rp 303.000

Kuantitas HPP sama yakni 135 kg, tetapi value (nilainya) berbeda:
Average : 396.565
FIFO : 393.000
LIFO : 398.000

Closing Balance (Saldo Akhir) Qty sama, yakni 65 kg namun nilainya berbeda - beda:
Average : 206.435
FIFO : 210.000
LIFO : 205.000

Kajian Perpajakan
Akuntansi Perpajakan bisa memainkan HPP, Harga Pokok Penjualan (COGS) bersifat sangat vital
pengaruhnya dalam besaran perhitungan pajak. nilai besar kecilnya PPh yang akan di tanggung
nantinya sangat dipengaruhii oleh besaran HPP.

Dengan angka penjualan yang sama, makin besar harga HPP nya, maka laba yang diperoleh semakin
kecil, dan sudah barang tentu pajak yang harus ditanggung akan makin kecil juga.
Berikut beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan:
Freight, elemen pembentuk HPP, pengakuan biaya ini harus sesuai
Discount dan Retur Pembelian:
Discount atau potongan harga haruslah dihitung dengan semestinya, apabila lupa dalam menghitung
potongan harga, maka akibatnya pembebanan HPP akan jadi lebih tinggi dari yang semestinya. HPP
yang lebih tinggi akan mengakibatkan pajak yang dibayarkan tentu lebih rendah, dan apabila ditjend
pajak tidak mengetahui hal ini, ya bersukurlah, namun apabila ketahuan,makan hal ini menjadi koreksi
ketika pemeriksaan.

Metode dalam Penentuan Harga Pokok Penjualan dan


Penilaian Persediaan
Apabila diperhatikan dari kesimpulan tadi, bisa dilihat dengan jelas bahwa metode LIFO adalah
metode yang menghasilkan HPP yang paling tinggi, ini karena harga pembelian trendnya kan akan
terus meningkat. perlu diingat, dalam konsep LIFO, biaya unit yang digunakan sebagai dasar
perhitungan HPP merupakan harga pembelian yang palint terkini (most recent). kita semua juga tahu,
dinegara ini tingkat inflasi terus cenderung menigkat dari waktu ke waktu. jarang sekali ada kejadian
sebuah harga mengalami penurunan. dengan demikian, metode LIFO adalah metode yang akan
memghasilkan PPh yang paling kecil.!

HPP yang paling tinggi berikutnya ialah Metode Rata Rata (Average Method), hampir mendekati
metode LIFO, hanya saja, nilai yang diambil adalah nilai tengahnya

Metode FIFO merupakan penggunaan metode yang paling kecil HPP-nya dan juga sekaligus paling
realistis.
Metode apa yang akan anda gunakan? beralih ke metode LIFO?

Apapun metode yang digunakan, ntah itu LIFO, FIFO, Average terserah saja, sepanjang metode itu
diterapkan dengan konsisten.

Harga Pokok Penjualan Metode Rata Rata | Average Method


Penentuan Harga Pokok Penjualan Average Method
Penilaian Persediaan dan Penentuan Harga Pokok Penjualan
Seperti yang telah dijelaskan pada postingan sebelumnya, ada tiga metode yang bisa kita
gunakan dalam penentuan besaran Harga Pokok Penjualan dalam usaha dagang sekaligus nilai
persediaan pada akhir periode.

1. Metode Rata Rata (average method)


2. Metode FIFO
3. Metode LIFO
Kita langsung pada Contoh Kasus

UD Albirin Asri yang merupkan sebuah toko yang berdagang menjual beras pada tanggal 1 April
mempunyai persediaan sejumlah 1 kwintal (100 kg) beras senilai Rp 300.000. tampak beberapa
transaksi yang terlihat pada buku catatan UD Albirin Asri seperti berikut:

Kuantita Unit
Date Transaksi Jumlah
s Price
01-AprPenjualan 40 4.500180.000
10-Aprpembelian 30 3.100 93.000
10-AprPenjualan 65 4.650302.250
20-Aprpembelian 25 3.200 80.000
30-Aprpembelian 40 3.250130.000
30-AprPenjualan 25 4.875121.875
Dan apabila kita rangkum, maka akan menjadi seperti ini:

Rangkuman
Total Pembelian 95 303.000
Total Penjualan 130 604.125

Permasalahan:
Berapakah Inventory Cost UD Albirin Asri pada akhir periode bulan April ?
Berapakah Nilai Persediaan UD Albirin Asri pada akhir periode bulan April ?
Berapakah Laba Kotor UD Albirin Asri apabila tidak ada biaya overhead ?

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, persediaan tipe seperti ini bisa diukur dengan
menggunakan tiga metode.

Saya akan mencoba untuk menggunakan ketiga metode diatas. untuk kali ini saya akan
menggunakan metode rata rata (average method), untuk metode FIFO dan LIFO akan saya posting
pada postingan berikutnya.

Average Method (Metode Rata rata)


Penentuan Harga Pokok dari barang yang telah terjual per-unitnya dengan menjumlahkan saldo
awal barang dengan jumlah nilai pembelian, kemudian dibagi dengan kuantitas saldo akhir
ditambah kuantitas barang yang dibeli.

Rumusnya sebagai berikut:

HPP per Unit = [Rp Saldo awal + Rp Pembelian] : [Qty saldo awal + Qty pembelian]

Total HPP yang terjual = HPP per Unit x Qty Terjual

Saldo Akhir = Saldo Awal + Pembelian - Penjualan

Dalam contoh kasus UD Albirin Asri tadi diatas :

HPP per Unit penjualan 01-April:

HPP per Unit = (Rp 300.000 + 0) : (100 + 0)


HPP per Unit = Rp 300.000 : 100
Rp 3.000

Total Harga Pokok Penjualan terjual :

Rp 3.000 x 40 = Rp 120.000

Saldo Akhir :
Rp 300.000 + 0 - 120.000
Rp 180.000

Demikian seterusnya sampai dengan akhir periode.


Apabila diteruskan semua transaksi tersebut, maka akan didapat tabel seperti ini :

Average Method

Date/Acc 01-Apr 10-Apr 20-Apr 30-Apr Total


Opening Qty 100 60 25 50 50
Balance Rp 300.000 180.000 75.833 155.833 155.833
Qty 30 25 40 95
Pembelia U/Pr
3.100 3.200 3.250
n x
Rp 93.000 80.000 130.000 303.000
Qty 40 65 25 130
Sold U/Pr
3.000 3.033 3.175
(COGS) x
Rp 120.000 197.167 79.398 396.565
Qty 60 25 50 65 65
Closing
206.43
Balance Rp 180.000 75.833 155.833 206.435
5

Summary
Openin
100 300.000
Balance
Purchase 95 303.000
Sold (COGS) 130 396.565
Closing
65 206.435
Balance
Notes:
Coba Perhatikan rangkuman (summary)
Sold (COGS) adalah sebesar Rp 396.565
Closing Balance (persediaan akhir) adalah sebesar Rp
206.435
Bisa kita UJI menggunakan rumus :
Persediaan Akhir = Persediaan awal + Pembelian - HPP
Persediaan Akhir = Rp 300.000 + 303.000 - 396.565
Persediaan Akhir = Rp 206.435

RUMUS-RUMUS AKUNTANSI PERUSAHAAN DAGANG

HPP (Harga Pokok Penjualan)


HPP = Persediaan barang dagang awal + Pembelian bersih - Persediaan barang
dagang akhir
Rinciannya ---> persediaan barang dagang awal + pembelian + biaya angkut -
retur pembelian - persediaan barang dagang akhir - potongan pembelian

Pembelian Bersih
pembelian + biaya angkut - retur pembelian - potongan pembelian

Persediaan Barang Dagang


HPP - barang yang tersedia untuk dijual

Barang yang Tersedia Untuk Dijual


persediaan barang dagang awal + pembelian + biaya angkut - retur pembelian

Laba Kotor
penjuala bersih - HPP

Laba Bersih
laba kotor - beban beban + pendapatan bunga

Modal Akhir
modal akhir + laba - prive

Penjualan Bersih
penjualan - potongan penjualan - retur penjualan

Laba Bersih Sebelum Pajak


penjualan bersih - laba kotor

3/10 , n/30
Kode faktur diatas memiliki arti sebagai berikut :
Bila pembayaran dilakukan dalam waktu kurang dari/tepat 10 hari, maka akan
memperoleh potongan sebesar 3%. Namun, bila pembayaran dilakukan lewat dari
10 hari, maka tidak akan mendapatkan potongan. Dan, faktur berlaku selama
30 hari.

MATERI PAJAK

PERHITUNGAN PPH 21 TERBARU


Perhitungan PPh 21 terbaru selalu disesuaikan dengan tarif PTKP (Penghasilan Tidak
Kena Pajak) terakhir yang ditetapkan DJP. PTKP 2016 ( PTKP terbaru ) yang
tercantum pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:
1. Rp 54.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 4.500.000,- per bulan untuk wajib pajak
orang pribadi.
2. Rp 4.500.000,- per tahun atau setara dengan Rp 375.000,- per bulan tambahan untuk wajib
pajak yang kawin (tanpa tanggungan).
3. Rp 4.500.000,- per tahun atau setara dengan Rp 375.000,- per bulan tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau anak
angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (orang) untuk setiap keluarga.
4. Rp 54.000.000 untuk istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
5. Rp 4.500.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga
5 % untuk penerima penghasilan sampai dengan Rp 50 juta per tahun .

Tarif PTKP terbaru untuk batas penghasilan bruto PPh Pasal 21 untuk pegawai harian
atau mingguan atau pegawai tidak tetap lainnya adalah Rp 450.000,- per hari.

TARIF PPH 21
Tarif PPh 21 dijelaskan pada Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-32/PJ/2015. Tarif PPh 21 berikut ini berlaku pada Wajib Pajak
yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):
WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50 juta adalah 5%

WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50 juta - Rp 250 juta adalah 15%

WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250 juta - Rp 500 juta adalah 25%

WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500 juta adalah 30%

Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif pph 21 sebesar 20% lebih tinggi dari
mereka yang memiliki NPWP.

CONTOH CARA MENGHITUNG PPH 21


Budi sudah menikah tanpa anak, merupakan pegawai PT. Citra dimana ia memperoleh
gaji sebulan Rp 3.000.000,00. PT.Citra sendiri mengikuti program Jamsostek, premi
Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian yang dibayar pemberi kerja
dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. Selain itu, PT. Citra juga
menanggung iurang Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dai gaji sedangkan
Budi membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan.
Disamping itu PT. Citra mengikuti program pensiun untuk pegawainya dimana
pembayarannya setiap bulan sebesar Rp 100.000,00 untuk Budi ke dana pensiun, yang
pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan. Sedangkan Budi membayar iuran
pensiun sebesar Rp 50.000,00. Pada bulan Juli 2013, Budi hanya menerima
pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:

Gaji Rp 3.000.000,00

Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 15.000,00

Premi Jaminan Kematian 9.000,00

Penghasilan Bruto 3.024.000,00

Pengurangan

1. Biaya Jabatan 5%x3.024.000,00 151.200,00

1. Iuran Pensiun 50.000,00

1. Iuran Jaminan Hari Tua 60.000,00

(261.200,00)

Penghasilan neto sebulan 2.762.800,00

Penghasilan neto satu tahun 12x 33.152.600,00


2.762.800,00

PTKP:

Untuk WP sendiri 24.300.000,00


Tambahan WP kawin 2.025.000,00

(26.325.000,00)

Penghasilan Kena Pajak Setahun 6.828.600,00

Pembulatan 6.828.000,00

PPh terutang 5%x6.828.000,00 341.400,00

PPh Pasal 21 bulan Juli 341.400,00 : 12 Rp 28.452,00

Keterangan:
Biaya Jabatan merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja
sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan atau tidak.
Contoh di atas berlaku bagi pegawai yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP). Apabila pegawai yang bersangkutan belum mempunyai NPWP, maka
jumlah PPh 21 yang harus dipotong pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp
28.452,00 = Rp 34.140,00

Belajar Rekonsiliasi Pajak


PT Corner mempunyai bisnis usaha di bidang penjualan grosir dan eceran bagi
segmen konsumen bisnis maupun segmen konsumen akhir. Dari modal yang
disetor, 45% saham PT Corner dimiliki oleh publik dan diperdagangkan di
Bursa Efek Indonesia. Perusahaan melaksanakan pembukuan terkait kegiatan
akuntansinya. Data berikut diperoleh dari laporan keuangan PT Corner untuk
tahun 2012.
Akun Nominal Akuntansi
Penjualan bruto 72.850.000.000
Retur Penjualan (1.975.000.000)
Diskon Penjualan (976.500.000)
Penjualan Netto 69.898.500.000
Harga Pokok Penjualan
Inventory merchandise awal (15.932.500.000)
Pembelian inventory (57.484.500.000)
Inventory merchandise akhir 36.857.500.000
(36.559.500.000)
Laba Bruto 33.339.000.000
Biaya Marketing
Salary dan bonus pegawai tetap (1.764.000.000)
Tunjangan pajak penghasilan (92.740.000)
Sumbangan bahan pokok (sembako) (364.835.000)
Training Pegawai (1.086.320.000)
Promosi dan iklan (3.776.500.000)
Jamuan makan/ entertainment (284.250.000)
Telepon, air, dan listrik (734.250.000)
Depresiasi (50.625.000)
Biaya bahan bakar dan tol (54.320.000)
Total biaya marketing (8.207.840.000)
Biaya umum dan administrasi (G & A)
Salary dan bonus pegawai tetap (2.315.000.000)
PPh 21 ditanggung perusahaan (143.400.000)
Honorarium/komisi pegawai tidak tetap (1.386.542.000)
Baju seragam satpam gudang (84.560.000)
Telepon, air, dan listrik (1.055.600.000)
Biaya sewa kantor (1.633.500.000)
Depresiasi (1.254.000.000)
Royalti (660.000.000)
Biaya pembangunan pabrik baru (4.365.000.000)
Penghapusan piutang (4.763.480.000)
Pemeliharaan kendaraan (87.200.000)
Alat tulis kantor (164.380.000)
Biaya bahan bakar dan tol (328.600.000)
Asuransi kendaraan (364.700.000)
PBB gudang (692.300.000)
Riset (3.860.000.000)
Pendidikan pegawai (1.340.000.000)
Family gathering (154.700.000)
Total biaya umum dan administrasi (G&A) (24.652.962.000)
Laba operasional 478.198.000
Pendapatan non operasi
Dividen dari PT Arjuna 382.500.000
Dividen dari PT Sentosa 134.900.000
Sewa mesin 67.400.000
Bunga deposito (setelah pajak) 34.280.000
Dividen dari Japan Co. 276.500.000
Total pendapatan non operasi 895.580.000
Biaya non operasi
Dividen bagi PT Internal (28.700.000)
Dividen bagi PT Dewa (16.300.000)
Dividen bagi umum lainnya (60.000.000)
Bunga pinjaman (76.275.000)
Sumbangan (764.820.000)
Denda pajak (452.300.000)
Rugi selisih kurs (124.890.000)
Biaya lain - lain (742.950.000)
Total biaya non operasi (2.266.235.000)
Laba (Rugi) sebelum pajak (892.457.000)

Berikut merupakan keterangan yang menjelaskan perincian berbagai elemen yang terdapat di laporan
keuangan PT Corner.
1. Perusahaan mencatat penjualan berdasar prinsip akrual. Atas jumlah tercantum, terdapat nilai
pendapatan sebesar Rp650.000.000,00 atas penjualan merchandise Olimpiade 2012 yang diharapkan
hanya akan terjadi di tahun penyelenggaraan event olahraga tersebut.
2. Retur dan diskon penjualan dicatat ketika serah terima barang telah dilakukan.
3. Inventory merchandise dicatat menggunakan metode FIFO.
4. Salary dan bonus pegawai tetap bidang martketing, sebesar Rp1.250.000.000,00 diberikan dalam
bentuk salary bulanan dan sisanya dalam bentuk bonus tahunan.
5. Atas tunjangan pajak penghasilan, Rp34.500.000,00 diberikan bagi pegawai dengan level supervisor,
sedangkan sisanya diberikan bagi pegawai dengan level manajer dan direktur.
6. Atas biaya pendidikan pegawai bidang marketing, Rp175.000.000,00 diberikan sebagai tunjangan cuti
pengganti salary bulanan.
7. Atas biaya promosi dan iklan, 25% di antaranya diwujudkan melalui sampling produk secara cuma
cuma kepada konsumen akhir.
8. Atas biaya jamuan makan/entertainment, Rp180.000.000 telah dilengkapi daftar nominatif penerima
secara lengkap.
9. Atas biaya telepon, air, dan listrik bidang martketing, meliputi Rp334.250.000,00 untuk biaya air dan
listrik. Seperempat dari biaya telepon dianggarkan dalam bentuk penyediaan pulsa bagi Direktur
martketing, seperempat lain dianggarkan atas pembelian perangkat PDA baru bagi salesperson.
10. Atas biaya depresiasi bidang martketing, meliputi Depresiasi dengan metode garis lurus atas:
a. Handphone direktur, dibeli tahun 2011 dengan nilai tercatat Rp25.000.000, disusutkan selama 5
tahun. Sesuai peraturan pajak termasuk aset kelompok 1.
b. Smartphone bagi salesperson yang berdinas di luar lapangan, dibeli tahun 2009 dan disusutkan
selama 4 tahun dan sesuai peraturan pajak termasuk aset kelompok 1.
c. PDA baru bagi salesperson yang dibeli di akhir Juni tahun 2012, disusutkan dengan masa manfaat 2
tahun, dan sesuai peraturan pajak termasuk aset kelompok 1.
11. Atas biaya bahan bakar dan tol bidang martketing, separuh di antaranya dialokasikan bagi Direktur
martketing.
12. Atas honorarium dan komisi pegawai tidak tetap, termasuk pembayaran senilai Rp786.542.000,00
kepada mantan pegawai yang masih dimanfaatkan jasanya secara lepas.
13. Atas biaya sewa kantor, meliputi pembayaran bagi kurun 30 bulan dan dibayarkan di bulan Januari
2012.
14. Biaya Depresiasi bidang G&A meliputi Depresiasi dengan metode garis lurus atas:
a. Gedung pabrik lama dengan nilai kapitalisasi awal Rp13.850.000.000,00 yang diperoleh tahun 1990
dan disusutkan dengan masa manfaat 25 tahun.
b. Kendaraan niaga bagi keperluan distribusi dengan nilai kapitalisasi awal Rp6.000.000.000,00 yang
diperoleh tahun 2008 dan disusutkan dengan masa manfaat 10 tahun. Peraturan perpajakan
menggolongkan aset ke dalam kelompok 2.
c. Kendaraan dinas bagi Direktur Utama dengan nilai kapitalisasi awal Rp2.400.000.000,00 yang
diperoleh akhir September 2012 dan disusutkan dengan masa manfaat 6 tahun. Peraturan
perpajakan menggolongkan aset ke dalam kelompok 2.
15. Atas royalti, merupakan pembayaran bagi suatu perusahaan di luar negeri. Di dalamnya termasuk
beban PPh 26 yang ditanggung PT Corner.
16. Atas biaya penghapusan piutang, senilai Rp3.763.480.000,00 telah diberitahukan kepada Ditjen
Pajak, namun Rp500.000.000,00 di antara jumlah terlapor tersebut belum didaftarkan ke BUPLN.
17. Atas biaya pemeliharaan kendaraan, Rp10.000.000,00 merupakan biaya pemasangan sistem
keamanan di kendaraan Direktur Utama.
18. Atas biaya bahan bakar dan tol bidang G&A, 15% di antaranya dialokasikan bagi Direktur Utama.
19. Atas biaya riset, 50% di antaranya ditenderkan dan dilaksanakan di luar Indonesia.
20. Atas dividen PT Arjuna, separuhnya berasal dari laba ditahan. PT Corner memiliki proporsi
kepemilikan 35%.
21. Atas dividen PT Sentosa, seluruhnya diberikan dalam bentuk instrumen investasi. PT Corner memiliki
proporsi kepemilikan 15%.
22. Atas dividen dari Japan Co., PT Corner telah mencatatnya secara netto terhadap pajak di luar negeri
dengan tarif 30%.
23. Bunga sebesar 8% p.a. atas deposito PT Corner dibayarkan di akhir tahun. Pokok deposito bernilai
tetap sepanjang tahun.
24. Bunga pinjaman sebesar 12% p.a. dibayarkan di akhir tahun, dengan nilai pokok pinjaman bernilai
tetap sepanjang tahun.
25. Sumbangan diberikan untuk pembangunan panti asuhan rubuh di sekitar perusahaan dan
pengadaan sarana bermain di dalamnya.
26. Biaya lain lain tidak memenuhi ketentuan perpajakan sebagai deductible expense.
27. Kredit pajak yang telah dipotong pihak lain meliputi:
a. PPh 22 dikenakan atas impor senilai DPP PPN Rp19.250.000.000,00. PT Corner memiliki API.
b. PPh 23 telah dipotong pihak lain, senilai Rp481.250.000,00.
c. Angsuran PPh 25 telah dibayar, senilai Rp710.750.000,00.
d. STP PPh 25 senilai Rp401.500.000,00 termasuk denda Rp55.500.000,00.
Pertanyaan:
a. Bagaimanakah rekonsiliasi fiskal ditetapkan atas PT Corner?
b. Berapakah besar PPh terutang dan kredit pajak di periode berjalan?
c. Berapakah pajak kurang (lebih) bayar di periode berjalan?
d. Berapakah angsuran PPh 25 per bulan yang seharusnya dibayarkan di periode mendatang?

Analisis Kasus:

1. Perusahaan mencatat penjualan berdasar prinsip akrual. Atas jumlah tercantum, terdapat
nilai pendapatan sebesar Rp650.000.000,00 atas penjualan merchandise Olimpiade 2012
yang diharapkan hanya akan terjadi di tahun penyelenggaraan event olahraga tersebut.
Analisis:
Pendapatan sebesar Rp650.000.000,00 atas penjualan merchandise Olimpiade 2012 =
taxable income dan pendapatan tidak berkesinambungan, dan akan dikeluarkan dalam
perhitungan angsuran PPh 25 periode mendatang (Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-
537/PJ/2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Dalam Tahun Pajak Berjalan
dalam Hal-Hal Tertentu). Tidak ada koreksi.
2. Retur dan diskon penjualan dicatat ketika serah terima barang telah dilakukan.
Analisis:
Retur dan diskon penjualan diakui ketika terjadi realisasi serah terima barang, Tidak ada
koreksi.
3. Inventory merchandise dicatat dengan metode FIFO.
Analisis:
Sesuai UU Pajak Penghasilan Pasal 10 (6), metode perhitungan persediaan dan HPP
menggunakan metode rata-rata atau FIFO. Tidak ada koreksi.
4. Atas salary dan bonus pegawai tetap bidang martketing, Rp1.300.000.000,00 diberikan dalam
bentuk salary bulanan dan sisanya dalam bentuk bonus tahunan.
Analisis:
Deductible expense. Tidak ada koreksi.
5. Atas tunjangan pajak penghasilan, Rp32.500.000,00 diberikan bagi pegawai dengan level
supervisor, sedangkan sisanya diberikan bagi pegawai dengan level manajer dan direktur.
Analisis:
Tunjangan pajak penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai, merupakan deductible
expense. Tidak ada koreksi.

>>> informasi lainnya dari laporan keuangan:


A. Koreksi positif biaya sumbangan bukan untuk bencana atau penelitian:
Sumbangan bahan pokok (sembako), non deductible expense.
= Rp364.835.000.
6. Atas biaya pendidikan pegawai bidang martketing, Rp175.000.000,00 diberikan sebagai
tunjangan cuti pengganti salary bulanan.
Analisis:
Deductible expense. Tidak ada koreksi.
7. Atas biaya promosi dan iklan, 25% di antaranya diwujudkan melalui sampling produk secara
cuma cuma kepada konsumen akhir. Analisis:
Berdasarkan PMK No. 02/PMK.03/2010 tentang Biaya Promosi yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto, pasal 4, biaya promosi dan iklan, dengan daftar nominatif, serta sampling
produk merupakan deductible expense. Tidak ada koreksi.
8. Atas biaya jamuan makan, Rp180.000.000 telah dilengkapi daftar nominatif penerima secara
lengkap.
Analisis:
SE-27/PJ.22/1986 tentang Biaya "entertainment" dan sejenisnya (Seri PPh Umum 18), angka
1: Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh.
B. Koreksi positif = jamuan makan tidak didukung dengan daftar nominatif
=Rp284.250.000 - Rp180.000.000 = Rp104.250.000.
9. Atas biaya telepon, air, dan listrik bidang martketing, meliputi Rp334.250.000,00 untuk biaya
air dan listrik. Seperempat dari biaya telepon dianggarkan dalam bentuk penyediaan pulsa
bagi Direktur marketing, seperempat lain dianggarkan atas pembelian perangkat PDA baru
bagi salesperson. Analisis:
Keputusan Dirjen Pajak KEP-220/PJ/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya
Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan, pasal 1: atas biaya perolehan telepon
seluler, pulsa dan kendaraan yang digunakan manajemen dapat dibebankan 50% sebagai
deductible expense.
C. Koreksi positif atas biaya telepon, air, dan listrik bidang marketing:
Biaya telepon = Rp334.250.000,00 - Rp334.250.000,00 = Rp400.000.000,00
Perhitungan koreksi:
= 50% Biaya pulsa direktur + Pembelian PDA yang seharusnya dikapitalisasi
= 50% * * 400.000.000 + * 400.000.000
= 50.000.000 + 100.000.000
= 150.000.000
10. Atas biaya Depresiasi bidang martketing, meliputi Depresiasi dengan metode garis lurus atas:
a. Handphone direktur, dibeli tahun 2011 dengan nilai tercatat Rp25.000.000, disusutkan
selama 5 tahun (20%). Sesuai peraturan pajak termasuk aset kelompok 1 (4 tahun, 25%).
b. Smartphone bagi salesperson yang berdinas di luar lapangan, dibeli tahun 2009 dan
disusutkan selama 4 tahun dan sesuai peraturan pajak termasuk aset kelompok 1 (4 tahun,
25%).
c. PDA baru bagi salesperson yang dibeli di akhir Juni tahun 2012, disusutkan dengan masa
manfaat 2 tahun (50%), dan sesuai peraturan pajak termasuk aset kelompok 1 (4 tahun,
25%).
Analisis:
Keputusan Dirjen Pajak KEP-220/PJ/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya
Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan, pasal 1: atas biaya perolehan telepon
seluler, pulsa dan kendaraan yang digunakan manajemen dapat dibebankan 50% sebagai
deductible expense.
D. Koreksi positif Depresiasi bidang martketing.
Depresiasi bidang martketing menurut akuntansi
= 20% * 25.000.000 + Depresiasi smartphone + 6/12 * 50% * 100.000.000
= 5.000.000 + Depresiasi smartphone + 25.000.000
= 30.000.000 + Depresiasi smartphone

Depresiasi bidang martketing menurut fiskal


= 50% * 25% * 25.000.000 + Depresiasi smartphone + 6/12 * 25% * 100.000.000
= 3.125.000 + Depresiasi smartphone + 12.500.000
= 15.625.000 + Depresiasi smartphone
Koreksi positif atas Depresiasi bidang martketing
= Depresiasi menurut akuntansi - Depresiasi menurut fiskal
= (30.000.000 + depresiasi smartphone) - (15.625.000 + depresiasi smartphone)
= Rp14.375.000.
11. Atas biaya bahan bakar dan tol bidang martketing, separuh di antaranya dialokasikan bagi
Direktur marketing. Analisis:
E. Koreksi positif biaya bahan bakar buat Direktur marketing
= 50% x x 54.320.000 = Rp13.580.000.

Koreksi
Akun Nominal Akuntansi Ref Koreksi Positif Nominal Fiskal
Negatif
Penjualan bruto 72.850.000.000 0 0 72.850.000.000
Retur penjualan (1.975.000.000) 0 0 (1.975.000.000)
Diskon penjualan (976.500.000) 0 0 (976.500.000)
Penjualan netto 69.898.500.000 0 0 69.898.500.000
Harga Pokok
Penjualan
Inventory
merchandise (15.932.500.000) 0 0 (15.932.500.000)
awal
Pembelian
(57.484.500.000) 0 0 (57.484.500.000)
Inventory
Inventory
merchandise 36.857.500.000 0 0 36.857.500.000
akhir
(36.559.500.000) 0 0 (36.559.500.000)
Laba bruto 33.339.000.000 0 0 33.339.000.000
Biaya Marketing
Salary dan bonus
(1.764.000.000) 0 0 (1.764.000.000)
pegawai tetap
Tunjangan pajak
(92.740.000) 0 0 (92.740.000)
penghasilan
Pembagian
(364.835.000) A 364.835.000 0 0
sembako
Pendidikan
(1.086.320.000) 0 0 (1.086.320.000)
pegawai
Promosi dan
(3.776.500.000) 0 0 (3.776.500.000)
iklan
Jamuan makan (284.250.000) B 104.250.000 0 (180.000.000)
Telepon, air, dan
(734.250.000) C 150.000.000 0 (584.250.000)
listrik
Depresiasi (50.625.000) D 14.375.000 0 (36.250.000)
Biaya bahan
(54.320.000) E 13.580.000 0 (40.740.000)
bakar dan tol
Jumlah Biaya
(8.207.840.000) 647.040.000 0 (7.560.800.000)
Marketing
1.
Penjelasan:
2. Atas honorarium dan komisi pegawai tidak tetap, termasuk pembayaran senilai
Rp786.542.000,00 kepada mantan pegawai yang masih dimanfaatkan jasanya secara lepas.
Analisis:
Deductible expense. Tidak ada koreksi.
>>> informasi lainnya dari laporan keuangan:
F. Koreksi Positif PPh 21 Ditanggung Perusahaan.
PPh 21 ditanggung perusahaan, bukan tunjangan PPh 21, merupakan non deductible
expense, sehingga koreksi positif Rp143.400.000.
3. Atas biaya sewa kantor, meliputi pembayaran bagi kurun 30 bulan dan dibayarkan di bulan
Januari 2012. (sudah terealisasi 12 bulan)
Analisis:
G. Koreksi positif atas biaya sewa kantor
= Proporsi Biaya sewa dibayar di muka
= (30 bulan - 12 bulan) / 30 * 1.633.500.000 = Rp980.100.000
4. Biaya Depresiasi bidang G&A meliputi Depresiasi dengan metode garis lurus atas: a. Gedung
pabrik lama dengan nilai kapitalisasi awal Rp13.850.000.000,00 yang diperoleh tahun 1990
dan disusutkan dengan masa manfaat 25 tahun. (Kelompok Bangunan Permanen, 20 tahun,
1990 + 20 = 2010, sudah habis disusutkan di fiskal.)
b. Kendaraan niaga bagi keperluan distribusi dengan nilai kapitalisasi awal
Rp6.000.000.000,00 yang diperoleh tahun 2008 dan disusutkan dengan masa manfaat 10
tahun. Peraturan perpajakan menggolongkan aset ke dalam kelompok 2 (8 tahun, 12,5%).
c. Kendaraan dinas bagi Direktur Utama dengan nilai kapitalisasi awal Rp2.400.000.000,00
yang diperoleh akhir September 2012 dan disusutkan dengan masa manfaat 6 tahun.
Peraturan perpajakan menggolongkan aset ke dalam kelompok 2 (8 tahun, 12,5%).
Analisis:
Gedung pabrik lama tidak disusutkan menurut fiskal, sebab telah melewati batas masa
manfaat fiskal selama 20 tahun.
H. Koreksi positif atas Depresiasi bidang G&A
Depresiasi bidang G&A menurut fiskal
= Depresiasi kendaraan niaga + Depresiasi kendaraan direktur
= 12,5% *6.000.000.000 + 50% * 3/12 * 12,5% * 2.400.000.000
= 750.000.000 + 37.500.000 = 787.500.000

Perhitungan Koreksi:
= Depresiasi menurut akuntansi - Depresiasi menurut fiskal
= 1.254.000.000 - 787.500.000 = Rp466.500.000.
5. Atas royalti, merupakan pembayaran bagi suatu perusahaan di luar negeri. Di dalamnya
termasuk beban PPh 26 yang ditanggung PT Corner. Analisis:
UU PPh Pasal 6 ayat 1 (a), deductible expense: pajak kecuali pajak penghasilan.
I. Koreksi positif atas biaya royalti
Beban PPh 26 yang tidak boleh dibebankan. Nilah PPh 26 yang ditanggung oleh PT Corner:
= 20% / 120% * 660.000.000 = Rp110.000.000

>>> informasi lainnya dari laporan keuangan:


J. Koreksi positif biaya pembangunan gedung baru.
Analisis:
Biaya pembangunan gedung baru seharusnya tidak dibiayakan namun, dikapitalisasi dan
disusutkan.
= Rp4.365.000.000.
6. Atas biaya penghapusan piutang, senilai Rp3.763.480.000,00 telah diberitahukan kepada
Ditjen Pajak, namun Rp500.000.000,00 di antara jumlah terlapor tersebut belum didaftarkan
ke BUPLN. Analisis:
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak; dan
3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari
debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

K. Koreksi positif atas piutang.


Penghapusan piutang belum diberitahukan ke Ditjen Pajak = 1.000.000.000
Penghapusan piutang belum didaftarkan ke BUPLN = 500.000.000
Jumlah koreksi = Rp1.500.000.000.
7. Atas biaya pemeliharaan kendaraan, Rp10.000.000,00 merupakan biaya pemasangan sistem
keamanan di kendaraan Direktur Utama. Analisis:
Keputusan Dirjen Pajak KEP-220/PJ/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya
Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan.
L. Koreksi positif atas biaya sistem keamanan kendaraan Direktur Utama.
Deductible expense 50% dari biaya fasilitas manajemen.
= 50% x 10.000.000 = Rp5.000.000.
8. Atas biaya bahan bakar dan tol bidang G&A, 15% di antaranya dialokasikan bagi Direktur
Utama. Analisis:
Keputusan Dirjen Pajak KEP-220/PJ/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya
Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan.
M. Koreksi Positif biaya bahan bakar dan tol Direktur Utama.
Deductible expense 50% dari biaya fasilitas manajemen.
= 50% x 15% x Rp328.600.000 = Rp24.645.000.
9. Atas biaya riset, 50% di antaranya ditenderkan dan dilaksanakan di luar Indonesia.
Analisis:
UU PPh Pasal 6 ayat 1 (f), deductible expense: biaya penelitian dan pengembangan
perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
N. Koreksi Positif biaya riset.
Biaya riset yang ditenderkan dan dilaksanakan diluar Indonesia, merupakan
nondeductible expense.
= 50% x Rp3.860.000.000 = Rp1.930.000.000,00
Koreksi
Akun Nominal Akuntansi Ref Koreksi Positif Nilai Fiskal
Negatif
Biaya umum
dan administrasi
(G&A)
Salary dan
bonus pegawai (2.315.000.000) Ref 0 0 (2.315.000.000)
tetap
PPh 21
ditanggung (143.400.000) F 143.400.000 0 0
perusahaan
Honorarium dan
komisi pegawai (1.386.542.000) 0 0 (1.386.542.000)
tidak tetap
Seragam satpam
(84.560.000) 0 0 (84.560.000)
gudang
Telepon, air, dan
(1.055.600.000) 0 0 (1.055.600.000)
listrik
Biaya sewa
(1.633.500.000) G 980.100.000 0 (653.400.000)
kantor
Depresiasi (1.254.000.000) H 466.500.000 0 (787.500.000)
Royalti (660.000.000) I 110.000.000 0 (550.000.000)
Biaya
pembangunan (4.365.000.000) J 4.365.000.000 0 0
pabrik baru
Penghapusan
(4.763.480.000) K 1.500.000.000 0 (3.263.480.000)
piutang
Pemeliharaan
(87.200.000) L 5.000.000 0 (82.200.000)
kendaraan
Alat tulis kantor (164.380.000) 0 0 (164.380.000)
Biaya bahan
(328.600.000) M 24.645.000 0 (303.955.000)
bakar dan tol
Asuransi
(364.700.000) 0 0 (364.700.000)
kendaraan
PBB gudang (692.300.000) 0 0 (692.300.000)
Riset (3.860.000.000) N 1.930.000.000 0 (1.930.000.000)
Pendidikan
(1.340.000.000) 0 0 (1.340.000.000)
pegawai
Family gathering (154.700.000) 0 0 (154.700.000)
Total biaya
umum dan
(24.652.962.000) 9.524.645.000 0 (15.128.317.000)
administrasi
(G&A)
10.
Penjelasan:
11. Atas dividen PT Arjuna, separuhnya berasal dari laba ditahan. PT Corner memiliki proporsi
kepemilikan 35%. Analisis:
UU PPh Pasal 4 ayat 3 (f), dikecualikan dari objek pajak, dividen diperoleh PT sebagai WPDN
dari PT yang berkedudukan di Indonesia, dengan syarat: berasal dari laba ditahan dan
kepemilikan > 25% dari modal disetor.
O. Koreksi negatif atas dividen bukan objek pajak
50% dividen yang dibayar berasal dari laba ditahan dan porsi kepemilikan 35%, dikecualikan
dari objek pajak.
Koreksi negatif = 50% x 382.500.000 = Rp191.250.000.
12. Atas dividen PT Sentosa, seluruhnya diberikan dalam bentuk instrumen investasi. PT Corner
memiliki proporsi kepemilikan 15%.
Analisis:
UU PPh Pasal 4 ayat 1 (g), termasuk objek pajak dividen, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk dividen dalam bentuk instrumen investasi. Tidak ada koreksi.
13. Atas dividen dari Japan Co., PT Corner telah mencatatnya secara netto terhadap pajak di luar
negeri dengan tarif 30%.
Analisis:
Penghasilan dari luar negeri tidak boleh di nettokan, karena pajak yang dipungut di luar
negeri dapat dikreditkan (PPh Pasal 24)
P. Koreksi positif atas dividen dari Japan Co.
= Beban pajak luar negeri yang seharusnya tidak di-netto-kan
= 30% / 70% * 276.500.000 = Rp118.500.000.
14. Bunga sebesar 8% p.a. atas deposito PT Corner dibayarkan di akhir tahun. Pokok deposito
bernilai tetap sepanjang tahun. Analisis:
Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga
Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia, Pasal 1 ayat (1): Atas
penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Q. Koreksi negatif bunga deposito
Bunga deposito dikenakan PPh Final, dan oleh karena itu, tidak dimasukan dalam perhitungan
pajak penghasilan.
Koreksi Negatif = (Rp34.280.000)

>>> informasi lainnya dari laporan keuangan:


R. Koreksi positif beban dividen
Analisis:
UU PPh Pasal 9 ayat 1 (a): pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti
dividen, merupakan non deductible expense.
Koreksi Positif =
Dividen bagi PT Internal 28.700.000
Dividen bagi PT Dewa 16.300.000
Dividen bagi umum lainnya 60.000.000.
15. Bunga pinjaman sebesar 12% p.a. dibayarkan di akhir tahun, dengan nilai pokok pinjaman
bernilai tetap sepanjang tahun. Analisis:
Surat edaran SE-46/PJ.4/1995 tentang Perlakuan Biaya Bunga yang Dibayar atau Terutang
dalam Hal Wajib Pajak Menerima atau Memperoleh Penghasilan Berupa Bunga Deposito atau
Tabungan Lainnya, angka 4 (b).
S. Koreksi positif biaya bunga yang dapat dibebankan
Perhitungan Pokok deposito:
= 100% / 80% * 34.280.000 / 8% = 535.625.000
Perhitungan Pokok pinjaman
= 100% / 12% * 76.275.000 = 635.625.000
Bunga pinjaman yang boleh dibebankan
= Selisih pokok pinjaman dan pokok deposito * Tingkat bunga pinjaman
= (635.625.000 - 535.625.000) * 12% = 12.000.000
Koreksi positif atas bunga pinjaman
= Bunga pinjaman menurut akuntansi - Bunga pinjaman menurut fiskal
= 76.275.000 12.000.000 = 64.275.000
16. Sumbangan diberikan untuk pembangunan panti asuhan rubuh di sekitar perusahaan dan
pengadaan sarana bermain di dalamnya.
Analisis:
UU PPh Pasal 9 Ayat 1 (g): sumbangan, kecuali yang ditetapkan pemerintah,
merupaka nondeductible expense.
T. Koreksi positif biaya sumbangan bukan untuk bencana atau penelitian:
Sumbangan diberikan untuk pembangunan panti asuhan, non deductible = Rp764.820.000

>>> informasi lainnya dari laporan keuangan:


Denda Pajak
Analisis:
UU PPh Pasal 9 Ayat 1 (k): sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang
perpajakan.
U. Koreksi positif denda pajak
Denda pajak merupakan non deductible expense, jadi koreksi positif = Rp452.300.000.
17. Biaya lain lain tidak memenuhi ketentuan perpajakan sebagai deductible expense.

Analisis:
V. Koreksi positif biaya lain-lain, non deductible expense:
Biaya lain-lain, non deductible = Rp742.950.000
Akun Nominal Akuntansi Ref Koreksi Positif Koreksi Negatif Nilai Fiskal
Pendapatan
non operasi
Dividen dari
382.500.000 O 0 (191.250.000) 191.250.000
PT Arjuna
Dividen dari
134.900.000 0 0 134.900.000
PT Sentosa
Sewa mesin 67.400.000 0 0 67.400.000
Bunga
deposito
34.280.000 Q 0 (34.280.000) 0
(setelah
pajak)
Dividen dari 276.500.000 P 118.500.000 0 395.000.000
Japan Co.
Total
pendapatan 895.580.000 118.500.000 (225.530.000) 788.550.000
non operasi
Biaya non
operasi
Dividen bagi
(28.700.000) R 28.700.000 0 0
PT Internal
Dividen bagi
(16.300.000) R 16.300.000 0 0
PT Dewa
Dividen bagi
umum (60.000.000) R 60.000.000 0 0
lainnya
Bunga
(76.275.000) S 64.275.000 0 12.000.000
pinjaman
Sumbangan (764.820.000) T 764.820.000 0 0
Denda pajak (452.300.000) U 452.300.000 0 0
Rugi selisih
(124.890.000) 0 0 (124.890.000)
kurs
Biaya lain -
(742.950.000) V 742.950.000 0 0
lain
Total biaya
(2.266.235.000) 2.129.345.000 0 (136.890.000)
non operasi
Laba
sebelum (892.457.000) 12.419.530.000 (225.530.000) 11.301.543.000
pajak
Perhitungan Pajak LN (PPh 24) Maksimal yang Dapat Dikreditkan:
UU PPh Pasal 24, pasal 2: Besarnya kredit pajak Luar Negeri adalah sebesar pajak penghasilan
yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak
yang terutang berdasarkan UU PPh.
Pajak yang dibayar di luar negeri (dividen dari Japan Co.) 118.500.000
: 0.3/ 0.7 * 276.500.000
Penghasilan Luar Negeri = 276.500.000/ 0.7 395.000.000
Laba Sebelum Pajak 11.301.543.000
= (892.457.000) + 12.419.530.000 + (225.530.000)
Pajak Penghasilan terutang (20%) 2.260.308.600
Tarif 20% berlaku bagi perusahaan yang minimal 40% sahamnya dikuasai
publik dan diperdagangkan di bursa efek, sesuai ketentuan Pasal 17 Ayat 0
(2b).
Batas maksimum Kredit PPh 24 79.000.000
= (395.000.000/ 11.301.543.000) x 2.260.308.600
Kredit PPh 24 79.000.000

Perhitungan PPh Terutang dan PPh Kurang Bayar:


Laba sebelum pajak 11.301.543.000
PPh terutang (20%) 2.260.308.600
Kredit pajak
Kredit PPh 22 (481.250.000)
= 2,5% * 19.250.000.000
Kredit PPh 23 (481.250.000)
Kredit PPh 24 (79.000.000)
Kredit PPh 25 (710.750.000)
STP PPh 25 (346.000.000) (2.098.250.000)
= 401.500.000 55.500.000 =
Rp346.000.000
Pajak kurang (lebih) bayar 162.058.600

Perhitungan Angsuran PPh 25 per bulan periode 2013:


Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran
Pajak Dalam Tahun Pajak Berjalan Dalam Hal-Hal Tertentu.
Pasal 3, Perhitungan PPh Pasal 25:
Estimasi Penghasilan = Penghasilan Neto Penghasilan Tidak Teratur
Estimasi PPh Kurang Bayar = 20% x Estimasi Penghasilan Kredit Pajak (21, 22, 23, dan 24
atau LN)
Estimasi PPh 25 per bulan = Estmasi PPh Kurang Bayar / 12

Laba sebelum pajak 11.301.543.000


Pendapatan tidak berkesinambungan (650.000.000)
Estimasi pendapatan tahun mendatang 10.651.543.000
PPh terutang (20%) 2.130.308.600
Kredit pajak
Kredit PPh 22 (sudah punya API; 2,5%) (481.250.000)
= 2,5% * 19.250.000.000
Kredit PPh 23 (481.250.000)
Kredit PPh 24 (79.000.000) (1.041.500.000)
Total PPh 25 1.088.808.600
Angsuran PPh 25 per bulan 90.734.050

Rekonsiliasi Fiskal
Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), Wajib Pajak Orang
Pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas dan semua Wajib Pajak Badan wajib
menyelenggarakan pembukuan, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang diperbolehkan menghitung
penghasilan neto menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Berdasarkan Pasal 14
ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), Wajib Pajak Orang Pribadi yang boleh
menggunakan NPPN adalah yang omzetnya tidak melebihi Rp4,8 Miliar dalam setahun. Jadi
Rekonsiliasi Fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan. Wajib pajak yang
menyelenggarakan pembukuan pada akhir tahun akan menyusun laporan keuangan. Rekonsiliasi fiskal
dilakukan berdasarkan dari laporan laba rugi komersial yang disusun oleh Wajib Pajak. Laba (rugi)
komersial tersebut dilakukan koreksi fiskal sehingga menghasilkan laba (rugi) fiskal atau sering disebut
penghasilan neto fiskal. Hal-hal yang menyebabkan perbedaan besarnya laba (rugi) komersial dan laba
(rugi) fiskal, antara lain:
- Penghasilan yang bukan objek pajak
- Penghasilan yang sudah dikenakan pajak bersifat final
- Biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan untuk tujuan perpajakan
Sedangkan Koreksi Fiskal dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Koreksi Fiskal Positif, yaitu koreksi fiskal yang menambah besarnya penghasilan neto fiskal.
Misalnya, perusahaan memberikan imbalan kepada karyawan dalam bentuk uang dan beras. Dalam
laporan laba rugi, kedua jenis imbalan tersebut boleh dibebankan. Tetapi, untuk tujuan Pajak
Penghasilan, imbalan dalam bentuk beras tidak boleh dibebankan, sehingga jumlah beban tersebut
dikoreksi menjadi lebih kecil dan akibatnya penghasilan neto fiskal menjadi lebih besar.
- Koreksi Fiskal Negatif, yaitu koreksi fiskal yang mengurangi besarnya penghasilan neto fiskal.
Misalnya, dalam laporan laba rugi Wajib Pajak terdapat penghasilan berupa sewa bangunan. Karena
sudah dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final, penghasilan sewa tersebut tidak perlu dimasukkan
dalam menghitung penghasilan neto fiskal yang dikenakan pajak dengan tarif umum. Akibatnya,
penghasilan neto fiskal menjadi lebih kecil.
Inti Koreksi Fiskal adalah sebagai berikut:
Pengertian Koreksi fiskal adalah :

Koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajak sebelum menghitung Pajak
Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi (yang menggunakan
pembukuan dalam menghitung penghasilan kena pajak).
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan maupun biaya
antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.

Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :


a. Beda tetap.
Yaitu penghasilan dan biaya yang diakui dalam penghitungan laba neto untuk akuntansi
komersial tetapi tidak diakui dalam penghitungan akuntansi pajak.
Contoh penghasilan : sumbangan, Penghasilan bunga deposito.
Contoh biaya : biaya sumbangan, biaya sanksi perpajakan.

b. Beda waktu
Yaitu penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat ini oleh akuntansi komersial atau sebaliknya,
tetapi tidak dapat diakui sekaligus oleh akuntansi pajak, biasanya karena perbedaan metode
pengakuan.
Contoh penghasilan : pendapatan laba selisih kurs
Contoh biaya : biaya penyusutan, biaya sewa

Jenis koreksi fiskal adalah sebagai berikut :


a. Koreksi fiskal positif
Yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.
Contoh : Biaya PPh
Selengkapnya lihat Jenis koreksi fiskal positif.
b. Koreksi fiskal Negatif
Yaitu koreksi yang menyebabkan pengurangan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.
Contoh : Penghasilan bunga deposito.
Jenis Koreksi Fiskal Negatif
Pengertian Koreksi Fiskal Negatif Yaitu :
koreksi yang menyebabkan pengurangan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.

Jenis Koreksi Fiskal Negatif antara lain :

Penghasilan yang telah dikenakan PPh Final antara lain :


1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,
bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
2. Penghasilan berupa hadiah undian.
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal
ventura.
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan
persewaan tanah dan/atau bangunan.
5. Penghasilan dari Wajib Pajak Tertentu yang termasuk dalam
kriteria PP Nomor 46 Tahun 2013.
Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak antara lain :
1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat
yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang
berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-
pihak yang bersangkutan.
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
3. Warisan.
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan
sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan
pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit).
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar
oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf h, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-
saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
10. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
11. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan
dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan
kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
13. Persediaan yang jumlahnya kurang dari jumlah
berdasarkan metode penghitungan yang sudah ditetapkan dalam
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan (PPh).
14. Penyusutan yang jumlahnya kurang jumlah berdasarkan
metode penghitungan yang sudah ditetapkan dalam Pasal 10 UU
No.36 Tahun 2008 tentang PPh.
15. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan
modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha
yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : Merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
16. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh
perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi,
badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara
dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah modal yang disetor.
Koreksi Fiskal Positif
Koreksi Fiskal Positif adalah koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan meningkatnya laba
kena pajak yang pada akhirnya akan membuat PPh Badan Terhutangnya juga akan meningkat.
Koreksi fiskal positif diantaranya:
a. Biaya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara pendapatan
b. Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang PKP
c. Biaya yang diakui lebih kecil, seperti penyusutan, amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan
menurut WP lebih tinggi
d. Biaya yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
e. Biaya yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final
Koreksi Fiskal Negatif
adalah koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan menurunnya laba kena pajak yang
membuat PPh badan terhutangnya juga akan menurrun.
Koreksi fiskal negatif diantaranya :
a. Biaya yang diakui lebih besar, seperti penyusutan menurut WP lebih rendah, selisih
amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan pengakuannya
b. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
c. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final

PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
Penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen,
kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri adalah
merupakan objek PPh yang bersifat final. Tarif PPh atas penghasilan ini adalah 10% dari jumlah bruto
nilai persewaan, baik yang menyewakan Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan.

PPN
Mengimpor barang elektronik dari amerika seharga US$ 100.000; Asuransi US$
1.000; ongkos angkut ke Makassar US$ 2.000. bea masuk sebesar 10% dari CIF
dan bea masuk tambahan sebesar 4% dari CIF (belum memiliki API dan barang
elektronik tersebut termasuk barang mewah dengan tarif 30%; diasumsikan
kurs pajak terhadap US$ adalah Rp. 7.200.

Cost = US$ 100.000 x Rp. 7.200 = Rp. 720.000.000


Insurance = US$ 1.000 x Rp. 7.200 = Rp. 7. 200.000
Freight = US$ 2.000 x Rp. 7.200 = Rp 14.400.000

TOTAL CIF (cost + insurance + freight) = Rp. 741.600.000


Bea masuk (10% dari CIF) = Rp. 74.160.000
Bea masuk tambahan (4% dari CIF) = Rp. 29.664.000

Nilai Impor (CIF+bea masuk+bea tambahan) = Rp. 845.424.000

PPN = 10% x Nilai impor


= 10% x 845.424.000
= Rp. 84. 542 400 (PPN masukan)

PPnBM = 30% x Nilai impor


= 30% x 845.424.000
= Rp. 253.627.200

Pencatatan Transaksi-Transaksi Yang Berhubungan Dengan Pajak (PPh


Pasal 21)
Pada dasarnya transaksi pajak tersebut melibatkan 2 pihak, yaitu pihak yang dipotong / dipungut dan
pihak yang memotong / memungut. penjelasannya sebagai berikut:

a. Bagi yang dipotong / dipungut (yang membayar pajak)

Pencatatan transaksi pajak bagi yang dipotong / dipungut pajaknya akan ditentukan oleh sifat dari
pajak yang dipotong tersebut, sebagai berikut:

Pertama, pajak yang dipotong bersifat Final, maka pajak yang dipotong / dibayar tersebut
merupakan pelunasan pajak dan dicatat sebagai beban dalam periode berjalan.
Kedua, pajak yang dipotong bersifat Tidak Final / Dapat Dikreditkan, maka pajak yang dipotong /
dibayar tersebut merupakan uang muka PPh dan dicatat sebagai aset (aset lancar).

b. Bagi yang memotong / memungut


Bagi pemotong, apapun sifat pajaknya, pajak yang dipotong / dipungut tersebut wajib disetorkan ke
kas negara paling lambat pada saat jatuh temponya, sehingga selama pajak tersebut belum
disetorkan, maka diakui sebagai hutang (kewajiban lancar).

Berikut beberapa contoh pencatatan transaksi yang berhubungan dengan pajak, saya kelompokkan
berdasarkan jenis pajaknya, sebagai berikut:

1. PPh Pasal 21
Sesuai dengan UU PPh Pasal 21 dan aturan penjelasannya baik dalam PMK maupun PER DJP,
penghasilan yang diterima oleh WP OP sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan wajib
dipotong PPh oleh pemberi penghasilan.
Berikut beberapa contoh pencatatan jurnal transaksi yang berhubungan dengan PPh Pasal 21, sebagai
berikut:
Contoh 1 : Umum
PT. Maju Makmur Mandiri melakukan pembayaran gaji pegawai tetap bulan September 2015 pada
tanggal 25 sebesar Rp. 650 juta. Dari Jumlah tersebut perusahaan memotong PPh Pasal 21 sebesar Rp.
45 juta. PT. Maju Makmur Mandiri kemudian melakukan setoran PPh Pasal 21 Masa September 2015
pada tanggal 10 Oktober 2015.
Jurnalnya:

25 - 09 - 15 Beban Gaji Rp. 650.000.000,-


Utang PPh Pasal 21 Rp. 45.000.000,-
Kas Rp. 605.000.000,-
(Jurnal pembayaran gaji dan pemotongan PPh pasal 21 September 2015)

10 - 10 - 15 Utang PPh Pasal 21 Rp. 45.000.000,-


Kas Rp. 45.000.000,-
(Jurnal Setoran PPh Pasal 21 Masa September 2015)

Contoh 2 : PPh Pasal 21 Masa Desember


Pada bulan Desember 2015 PT. Maju Makmur Mandiri membayarkan gaji pegawai tetapnya sebesar
Rp. 675 juta, selain itu sesuai ketentuan, PT. Maju Makmur Mandiri melakukan penghitungan ulang
PPh terutang pegawai tetapnya untuk tahun 2015 ini. Dari hasil penghitungan ulang diketahui PPh
terutang seluruh pegawai tetapnya untuk tahun 2015 ini sebesar Rp. 380 juta.
Sedangkan PPh Pasal 21 yang telah dipotong sejak masa Januari s/d November 2015 adalah adalah
sebesar Rp. 355 juta, sehingga kekurangannya dipotongkan dari gaji Desember 2015.
Jurnalnya:
25 - 12 - 15 Beban Gaji Rp. 675.000.000,-
Utang PPh Pasal 21 Rp. 25.000.000,-
Kas Rp. 650.000.000,-
(Jurnal pembayaran gaji dan pemotongan PPh pasal 21 Desember 2015)

10 - 01 - 16 Utang PPh Pasal 21 Rp. 45.000.000,-


Kas Rp. 45.000.000,-
(Jurnal Setoran PPh Pasal 21 Masa Desember 2015)
Contoh 3 : PPh Pasal 21 Ditanggung Pemberi Kerja
Misal pada contoh 1 di atas, PT. Maju Makmur Mandiri menanggung seluruh pajak pegawai tetapnya,
sehingga jurnal yang dicatat oleh PT. Maju Makmur Mandiri sebagai berikut:

Jurnalnya:

25 - 09 - 15 Beban Gaji Rp. 650.000.000,-


Beban PPh Pasasl 21 Rp. 45.000.000,-
Utang PPh Pasal 21 Rp. 45.000.000,-
Kas Rp. 650.000.000,-
(Jurnal pembayaran gaji dan pemotongan PPh pasal 21 September 2015)

10 - 10 - 15 Utang PPh Pasal 21 Rp. 45.000.000,-


Kas Rp. 45.000.000,-
(Jurnal Setoran PPh Pasal 21 Masa September 2015)

Ket:
1. Coba perhatikan jurnal pembayaran gaji dan pemotongan PPh pasal 21 yang ini dengan contoh
pertama di atas, analisa perbedaannya.
2. Beban PPh pasal 21 yang ditanggung oleh perusahaan ini, sesuai dengan ketentuan perpajakan
pada akhir periode oleh perusahaan (PT. Maju Makmur Mandiri) harus dikoreksi fiskal / tidak bisa
dibebankan sebagai biaya perusahaan (Non Deductable Expense), karena PPh pasal 21 karyawan
yang ditanggung perusahaan dianggap sebagai pemberian dalam bentuk kenikmatan (benefit in
kind) atau natura.

Contoh 4 : Penerima Penghasilan Menyelenggarakan Pembukuan


Tn. Bagas Farel adalah WP OP yang berprofesi sebagai akuntan publik dan menyelenggarakan
pembukuan dalam operasional usahanya. pada 20 Maret 2015 menerima pembayaran dari PT. Maju
Makmur Mandiri atas jasa audit yang telah dilakukannya sebesar Rp. 75 juta. PT. Maju Makmur
Mandiri telah memotong PPh pasal 21 atas penghasilan Tn. Bagas Farel tersebut. Bagaimana jurnal
yang dibuat oleh PT. Maju Makmur Mandiri dan Tn. Bagas Farel??
Jurnalnya:

PT. Maju Makmur Mandiri

20 - 03 - 15 Beban Jasa Tenaga Ahli Rp. 75.000.000,-


Utang PPh Pasal 21 Rp. 1.875.000,- (75 juta x 50% x 5%)
Kas Rp. 73.125.000,-

Tn. Bagas Farel


20 - 03 - 15 Kas Rp. 73.125.000,-
UM PPh Pasal 21 Rp. 1.875.000,-
Pendapatan Jasa Rp. 75.000.000,-

Contoh 5 : Penerima Penghasilan Menggunakan Norma


Misal pada contoh 4 di atas, Tn. Bagas Farel tidak menggunakan pembukuan dalam menghitung
penghasilan neto nya melainkan menggunakan norma. Bagaimana jurnal yang harus di buat oleh Tn.
Bagas Farel??
Jurnalnya:
Bila Tn. Bagas Farel menggunakan Norma dalam menghitung Penghasilan Neto nya maka Tn.
Bagastidak perlu membuat jurnal atas setiap transaksi-transaksi usahanya, baik itu pendapatan
maupun pengeluaran. Hal ini sesuai dengan UU PPh Pasal 14 ayat 2 dan ayat 3.
Contoh 6 : Penghasilan dari Pekerjaan
Misal kita pakai contoh 4 di atas, selain berprofesi sebagai Akuntan Publik, Tn. Bagas Farel juga tercatat
sebagai Direktur Keuangan di PT. Sawah Besar Mandiri, pada tanggal 25 bulan September 2015
menerima gaji sebesar Rp. 15 juta dan dipotong PPh pasal 21 sebesar Rp. 650 ribu. Bagaimana jurnal
yang dicatat oleh Tn. Bagas Farel??
Jurnalnya:
Menjadi kewajiban WP untuk melaporkan seluruh penghasilan dan menghitung PPh terutang atas
penghasilan tersebut dalam SPT Tahunannya. Begitupula dengan Tn. Bagas Farel wajib
menggabungkan penghasilan yang diterima sebagai Direktur Keuangan (penghasilan dari gaji) dan
penghasilan yang diterima sebagai Akuntan Publik (penghasilan dari jasa).
Karena Tn. Bagas Farel memakai pembukuan dalam menghitung penghasilan neto nya, maka ketika Tn.
Bagas Farel menerima gaji dari perusahaannya, harus mencatat penerimaan gaji tersebut sebagai
berikut:
25 - 09 - 15 Kas Rp. 14.350.000,-
UM PPh Pasal 21 Rp. 650.000,-
Penghasilan dr Pekerjaan Rp. 15.000.000,-
(Jurnal Penerimaan Gaji dari PT. Sawah Besar Mandiri)
#Ilustrasi
Jika harga sewa kendaraan 1 hari adalah 2.200.000 sudah termasuk PPN, yang di kenakan PPh pasal 23
atas harga yang mana, setelah PPN atau sebelum PPN?

#Cara Menghitung
Langkah pertama tentukan dulu DPP PPN dan PPh psl 23.
DPPnya kebetulan sama, jadi, sekali tepuk dapat 2.

2.200.000 = H + PPN
2.200.000 = H + 10% H
2.200.000 = 110% H
H = 2.200.000/110%
H = 2.000.000

PPN = 10% x 2.000.000


PPN = 200.000

PPh 23 = 2% x 2.000.000
PPh 23 = 40.000

Perhitungan jumlah yang dibayar oleh pengguna :


Harga (Nilai ) Sewa = 2.000.000
PPN = 200.000 +
Total Nilai Kontrak = 2.200.000
PPh 23 = 40.000 -
Dibayarkan ke pemilik Kendaraan = 2.160.000
Jika suatu instansi menyewa mobil sebesar 600rb apa kena PPN atau PPh?
Catatan : Pemilik mobil tersebut tidak punya NPWP, berapa jadi pajaknya?
Soal dikenakan PPN, harus pastikan dulu apakah si pemberi sewa sudah PKP atau belum? Kalau sudah
PKP maka si pemberi sewa wajib memungut PPN tapi kalau belum PKP tidak boleh memungut PPN.
PKP itu Pengusaha Kena Pajak, jadi apabila wajib pajak (WP) telah dikukuhkan sebagai PKP maka si WP
tsb wajib memungut PPN atas penyerahan BKP/JKP.
Kalau soal pemotongan PPh itu adalah dilakukan oleh si penerima sewa, dan harus dipotong PPh 23 :
600.000 x 4% (Karena tidak ada NPWP, Jika ada 2%)
Tidak melihat Orang Pribadi ataupun Badan, selama penghasilannya dari sewa (selain tanah /
bangunan) maka dikenakan PPh 23.

Anda mungkin juga menyukai