Rangkuman Pajak
Rangkuman Pajak
Rangkuman Pajak
Peningkatan Utang PPh inilah yang diakui sebagai Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Tax
Liability) di tahun 2012. Bagaimana caranya JAK menjurnal pengakuan kewajiban pajak tangguhan?
Mungkin anda sudah tahu bahwa pengakuan jurnal pengakuan Biaya dan Utang PPh biasanya, sbb:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000
[Kredit]. Utang PPh Badan = Rp 15,000,000
Tetapi karena laporan fiskal mengakui utang PPh nihildan sebagai gantinya PT. JAK mengakui
adanya kewajiban pajak tangguhan, maka jurnalnya menjadi sbb:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000
[Kredit]. Utang PPh Badan = 0
[Kredit]. Kewajiban Pajak Tangguhan = Rp 15,000,000
(Catatan: Untuk mengakui kewajiban pajak tangguhan)
Dengan dimasukannya jurnal ini, maka di Laporan Laba-Rugi komersial PT JAK akan menunjukan
biaya PPh sebesar Rp 15,000,000 di satu sisinya, dan di Neraca akan menunjukan Utang PPh = 0 dan
Kewajiban Pajak Tangguhan sebesar Rp 15,000,000, di sisi lainnya.
Saat proyek rampung di tahun 2013 nanti, jurnal yang dimasukan oleh PT. JAK di penutupan buku
adalah sebagai berikut:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000 (pengkuan biaya untuk 2013 saja)
[Debit]. Kewajiban Pajak Tangguhan = Rp 15,000,000
[Kredit]. Utang PPh Badan = Rp 30,000,000
(Catatan: Untuk mengakui Utang PPh Badan sebesar 15,000,000 untuk 2013 saja, sekaligus
memulihkan Utang PPh yang ditangguhkan di 2012 sebesar Rp 15,000,000, sehingga total utang PPh
menjadi Rp 30,000,000).
Penyebab-2. Karena adanya pengakuan laba fiskal yang UNTUK SEMENTARA lebih besar
dibandingkan laba komersial di masa kiniyang nantinya bisa menjadi faktor pengurang Utang
PPh di masa depan. Selisih inilah yang diakui sebagai Aset Pajak Tangguhan (Deferred Tax Asset
biasa disingkat dengan DTA)
Contoh Kasus Pengakuan Aset Pajak Tangguhan:
Melanjutkan contoh kasus kedua yang sebelumnya. Perbedaan saat pengakuan utang point belanja
yang belum dibayar dalam neraca fiskal dan neraca komersial PT. JAK mengakibatkan perbedaan
pengakuan harga pokok penjualan (HPP) handuk (sebagai penukar point) dalam laporan laba-ruginya.
Perbedaan saat pengakuan HPP ini menyebabkan laba pajak yang LEBIH BESAR Rp 25,000,000 jika
dibandingkan dengan laporan komersial di 2012. Selisih Rp 25,000,000 ini akan bisa dipulihkan di
2013saat
pelanggan mengklaim point belanja. Jika tarif efektif PPh di 2013 nanti 30%, maka PT. JAK dapat
mengakui adanya Aset Pajak Tangguhan (deferred tax asset) sebesar:
Tarif efektif PPh x Selisih Laba Kena Pajak = 30% x 25,000,000 = 7,500,000
Pengakuan aset pajak tangguhan dijurnal dengan cara sbb:
[Debit]. Aset Pajak Tangguhan = 7,500,000
[Kredit]. Utang Pajak Penghasilan = 7,500,000
Setelah jurnal ini dimasukan, maka Utang PPh PT JAK di 2012 akan bertambah sebesar Rp 7,500,000
sehingga utang yang diakui di laporan komersial menjadi sama dengan laporan fiskal, dan sebagai
pengimbang disajikan Aset Pajak Tangguhan sebesar Rp 7,500,000 yang nantinya akan dijadikan
faktor pengurang Utang PPh di tahun 2013.
Anggap total klaim point belanja yang ditukarkan oleh pelanggan, di 2013, memang mencapai Rp
25,000,000 seperti yang di perkirakan, dan ada laba fiskal sebesar Rp 20,000,000 di periode 2013,
maka aset pajak tangguhan yang diakui di 2012 dihapuskan (istilahnya dipulihkan) dengan
mengkreditkannya (melawankannya) dengan Utang PPh 2013. Jurnalnya adalah sbb:
Ada beberapa catatan penting yang ingin saya sampaikan, antara lain:
[-]. Kasus yang sering saya temui adalah adanya pajak tangguhan (baik berupa aset maupun
kewajiban) yang menumpuk. Itu artinya keputusan untuk menagguhkan, kemungkinan besar diambil
dengan pertimbangan dan alasan yang tidak cukup kuat, sehingga pajak tangguhannya tidak pernah
mengalami pemulihan. Ada 2 kemungkinan penyebab:
Pengakuan kewajiban pajak tangguhan telah dilakukan, akan tetapi temporary difference yang
dijadikan dasar pertimbangan ternyata tidak memiliki potensi pemulihan yang cukupalias tidak
pernah bisa menghapusdimasa depannya.
Pengakuan aset pajak tangguhan telah dilakukan, akan tetapi temporary difference yang dijadikan
dasar pertimbangan ternyata tidak boleh dikurangkan (tidak setujui oleh otoritas pajak) sehingga, tidak
pernah bisa dikreditkan.
Agar ini tidak terjadi, pajak tangguhan sebaiknya hanya diakui jika potensi pemulihan hampir bisa
dipastikan (most probably) akan terjadi di masa depan. Jika tidak terlalu yakin sebaiknya jangan
mengakui pajak tangguhan.
[-]. Aset pajak tangguhan tidak selalu berasal dari temporary differencedimana laba fiskal lebih
besar dibandingkan dengan laba komersial. Sesuai dengan PSAK 46, asset pajak tangguhan juga bisa
terjadi akibat adanya:
Akumulasi rugi pajak belum dikompensasi, yang biasa disebut dengan istilah Loss Carry Forward
(LCF); dan Akumulasi kredit pajak belum dimanfaatkan (jika peraturan perpajakan mengizinkan.)
Demikian halnya dengan kewajiban pajak tangguhan, juga tidak selalu berasal dari temporary
differenecedimana laba fiskal lebih kecil dibandingkan laba komersial. Masih ada beberapa
kemungkinan penyebab selain temporary difference. Lagipula, pada prakteknya ragam penyebab
temporary difference juga sangat banyakyang tentunya perlu penghitungan dan pernjurnalan yang
berbeda.
Mulai 1 Januari 2014, pengusaha dengan penjualan (omzet) tak lebih dari Rp 4,8 Milyar setahun tidak
wajib berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP). Artinya, dikecualikan dari kewajiban memungut,
menyetor, dan melaporkan PPN terutang. Hal itu dinyatakan dalam Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 yang diterbitkan baru-baru ini. Peraturan yang ditetapkan per
tanggal 20 Desember 2013 ini, akan mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2014, jelas Kepala Seksi
Hubungan Eksternal DJP Chandra Budi, dalam siaran persnya. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 3A
Undang-Undang PPN, pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa
Kena Pajak (JKP), wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan wajib memungut,
menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang, KECUALI pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. PMK No 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil
Pajak Pertambahan Nilai menyebutkan, yang dikecualikan dari kewajiban memungut-menyetor-
melaporkan PPN terutang adalah pengusaha dengan omzet per tahun tak lebih dari Rp 600 juta. Pada
tanggal 20 Desember 2013 lalu, PMK No 68/PMK.03/2010 resmi dicabut dan digantikan oleh PMK
Nomor 197/PMK.03/2013.
Jika ditilik, angka 4.8 Milyar ini rasanya tidak asing lagi. Dan benar saja, PMK yang menaikkan
batasan omzet PKP ini ternyata memang terkait dengan PP 46/2013 (PPh Final tarif 1%) yang telah
berjalan sejak Juli 2013 lalu. Dalam siaran persnya, Chandra Budi mengakui bahwa tujuan
diterbitkannya PMK ini tak lain dan tak bukan untuk mendorong wajib pajak dengan omzet tidak
melebihi Rp 4,8 miliar setahun lebih banyak berpatisipasi menggunakan skema Pajak Penghasilan
(PPh) Final.
Sebagaimana dimuat di berbagai media, PP nomor 46/2013 ini menuai protes dari para pengusaha
kecil. Esensi dari Peraturan Pemerintah ini mewajibkan pengusaha kecil dengan omzet tak lebih dari
4.8 Milyar setahun untuk membayar PPh final sebesar 1% dari omzet bruto. Dengan kata lain, mereka
dikenakan PPh 1% dari total penjualan terlepas apakah untung atau rugi. Hal itu dinilai memberatkan.
Apakah Perubahan Batas Omzet PKP Ini Meringankan Pengusaha Kecil?
Menurut saya, samasekali TIDAK berpengaruh terhadap UKM yang beromzet di bawah Rp 600 Juta
setahun, karena selama ini toh mereka memang tidak wajib PKP. Terlepas apakah keberatan atau tidak,
tetap saja mereka dikenakan PPh 1% baik dalam kondisi untung atau rugi. Namun, lumayan
membantu pengusaha kecil beromzet antara Rp 600 juta 4.8 Milyar setahun, karena selama ini
mereka diwajibkan PKP. Dengan dinaikkannya batasan PKP menjadi 4.8 Miliar, berarti mereka tak
perlu lagi direpotkan oleh kewajiban melaksanakan pemungutan dan pelaporan PPN.
Bagaimana jika perusahaan saya beromzet tak lebih dari 4.8 miliar setahun tapi terlanjur sudah
berstatus PKP?
Omzet Tak Lebih Dari 4.8 Milyar Tapi Terlanjur Berstatus PKP
Saya yakin banyak Wajib Pajak dengan omzet tak lebih dari 4.8 Milyar setahun tapi terlanjur berstatus
PKP. Jika mau, bisa mengajukan pencabutan status PKP, sehingga terbebas dari kewajiban
melaksanakan PPN. Dalam PMK 197/2013 ini, kententuan pasal 7 PMK 68/2010 telah diubah
menjadi sbb:
Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan brutonya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah), Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan
pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apakah perlu mohon pencabutan status PKP?
Menurut saya, sebaiknya jangan buru-buru. Sama seperti batasan pada PPh Final 1%, saya pribadi
menangkap sinyal batasan Rp 4.8 Miliar ini bukan sesuatu yang bisa WP nilai sendiri, melainkan
masih perlu diverifikasi oleh fiscus (kantor pajak), cepat atau lambat. Hal ini jelas tersirat dalam Pasal
5 PMK 68/2010 (sebagaimana telah diubah menjadi PMK 197/2013) yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Apabila diperoleh data dan/ atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak
secara jabatan dapat mengukuhkan pengusaha tersebut sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak
untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya
melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Sekalilagi, hati-hati. Jangan sampai jadi blunder. Dengan mengajukan pencabutan status PKP, bisa jadi
akan membuat seorang WP masuk radar pemeriksaan.
Lalu, apa yang perlu dilakukan?
Pertimbangkan untung-ruginya. Selama di lapangan, saya menemukan masing-masing WP
menghadapi kondisi yang berbeda-beda. Untuk memutuskan apakah perlu mengajukan pencabutan
status PKP atau tidak, bisa mempertimbangkan 2 faktor di bawah ini:
Pengaruh PPN terhadap Daya Saing Produk/Jasa
Kalkulasi, apakah faktor PPN selama ini berpengaruh terhadap harga jual produk/jasa yang dijual
thus berpengaruh terhadap daya saing? Jika iya berarti pencabutan status PKP akan menguntungkan.
Penjualan yang lebih banyak ekspor misalnya, harga jualnya tak dipengaruhi oleh PPN (tarif PPN
untuk ekspor 0%), sehingga tak perlu mengajukan pencabutan status PKP. Sebagai pembanding, Mas
Wongso (adminnya JAK), PPN tak berpengaruh banyak ke harga jual consumer goods yang dijual di
pada mini-marketnya, sehingga dia memutuskan untuk tetap berstatus PKP meskipun omzetnya tak
lebih dari 4.8 milyar setahun. Menurut saya, itu pilihan yang cerdas.
Tersedia/Tidaknya Tenaga Perpajakan
Jika selama ini urusan perpajakan ditangani sendiri sementara tak punya banyak waktu, kewajiban
memungut-menyetor-melaporkan PPN mungkin sangat merepotkan, sehingga pencabutan status PKP
akan lumayan membantu. Jika tidak, maka tak perlu dilakukan.
Setelah mempertimbangkan faktor-faktor di atas, jika masih merasa perlu mengajukan pencabutan
status PKP, WP sebaiknya berkonsultasi dengan Account Representative (AR) di KPP terlebih dahulu.
Minta pendapat, masukan dan petunjuk yang diperlukan. Sebagai persiapan, mungkin bisa mengunduh
PMK 197/2013 ini di website resminya DJP, print out dan bawa saat menemui AR, siapa tahu dia
belum mengetahui keberadaan PMK ini.