Laporan Pemetaan

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peranan ilmu geologi dalam masyarakat mengenai informasi yang

berkaitan dengan kondisi geologi yang berkembang dan bekerja di suatu daerah

untuk kehidupan masyarakat merupakan hal yang penting. Kondisi geologi ini

dapat dikaji dan dipelajari salah satunya dengan melakukan Pemetaan Geologi.

Kegiatan pengkajian dan pembelajaran tersebut didasarkan oleh aspek-aspek

geologi yang terdapat pada daerah tersebut. Aspek-aspek geologi tersebut

meliputi aspek stratigrafi, struktur geologi, geomorfologi, dan evaluasi geologi

pada daerah yang akan dipetakan.

Desa Sirkandi dan sekitarnya, Kecamatan Purworejo Klampok ,

Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Daerah ini memiliki kondisi

geologi yang menarik untuk dipelajari, sehingga diharapkan dapat dipahami

oleh penulis dari data-data dan informasi geologi secara jelas dan lengkap,

serta didukung oleh teori-teori geologi yang selama ini diperoleh sehingga

diharapkan dapat menjelaskan kondisi geologi daerah tersebut yang dituangkan

dalam bentuk laporan pemetaan geologi.

1
1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dilaksanakannya pemetaan geologi ini adalah agar penulis

dapat memahami ilmu geologi yang mencakup aspek-aspek stratigrafi,

geomorfologi, dan geologi struktur pada daerah tersebut yang nantinya dapat

dijadikan hipotesis dalam penentuan serta analisis suatu daerah yang dipetakan

dimana nantinya dapat digunakan untuk membuat perencanaan survey geologi

dan menghasilkan peta geologi yang dapat dipertanggung jawabkan secara

akademik dan melakukan penelitian lebih lanjut guna mempelajari proses

geologi yang terjadi serta hasil dari proses tersebut.

Tujuan dari dilaksanakannya pemetaan geologi ini adalah agar penulis

dapat mendapatkan hasil pemahaman dari kondisi lapangan yang mencakup :

Jenis Litologi, Stratigrafi, Struktur Geologi, Geomorfologi, Sejarah Geologi

dan Evaluasi Geologi, yang menjelaskan tentang potensi geologi, baik yang

berkaitan dengan sumber daya alam maupun bencana alam di daerah tersebut

yang pada hasil akhirnya dapat disajikan dalam laporan pemetaan geologi.

1.3 Daerah Pemetaan

Daerah pemetaan penulis terletak di Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten

Banjarnegara, Kecamatan Purworejo Klampok yang meliputi desa Sirkandi dan

sekitarnya. Secara geografis daerah pemetaan kavling penulis terletak pada

10927'08.1"- 10930'54.3" BT dan 729'25.1" - 732'09.3" LS. Luas daerah

pemetaan adalah 30 km2, dengan ukuran5 km x 6 km dengan arah memanjang

barat timur.

2
Tabel 1.1 Koordinat Kavling 13 Blok 2

Nama No. Lap Kavling Koordinat


Adisti 10927'08.1" 10930'54.5" BT
072.14.138 13 729'25.1" 732'09.3" LS
Kusumadiningrat

Tabel 1.2 Lokasi Daerah Pengamatan Kavling 13 Blok 2

Lokasi Kavling
Kavling
Kabupaten Kecamatan Desa / Kelurahan

1. Mandiraja Keba Glempang,


2. Purwokerto Salamertanaran
13 Banjarnegara Klampok
3. Sempor Sirkandi
Banyumas
Donorojo,Sampang,
Kedungwringin

Gambar 1.1 Daerah Pemetaan (Berdasarkan Google Earth)

1.4 Studi Pustaka

3
Kondisi geologi daerah penelitian ini telah dipelajari oleh para

peneliti terutama dalam aspek tatanan stratigrafi dan tektoniknya, antara

lain:
Van Bemmelan (1949) dalam The Geology of Indonesia yang

membahas kondisi geologi secara umum, dan membagi zona

fisiografi Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi,

antara lain Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur, Zona Solo,

Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran

Aluvial Jawa Utara, Gunung Api Kuarter


Asikin, S., dkk. (1992) membuat Peta Geologi Lembar

Kebumen dengan skala 1:1.000.000 yang memperlihatkan

kondisi struktur dan stratigrafi yang kompleks.

Djuri, M, dkk. (1996) membuat Peta Geologi Regional Lembar


Purwokerto Tegal skala 1:1.000.000 yang memperlihatkan
struktur dan statigrafi yang kompleks.

Condon, W, H, dkk. (1996) membuat Peta Geologi Regional


Lembar Banjarnegara dan Pekalongan skala 1:1.000.000 yang
memperlihatkan struktur dan statigrafi yang kompleks.

Asikin, S, dkk. (1992) Peta Geologi Lembar Kebumen, Jawa


skala 1:1.000.000 yang memperlihatkan struktur dan statigrafi
yang kompleks.

BAB II

GEOMORFOLOGI REGIONAL

4
2.1. Fisiografi Jawa Tengah
Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949)

dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi

Kuarter, Antiklinorium Bogor Serayu Utara Kendeng, Deperesi Jawa

Tengah, Pegunungan Serayu Selatan, dan Pegunungan Selatan Jawa (Gambar

2.1).
Dataran Aluvial Jawa Utara, mempunyai lebar maksimum 40

km kea rah selatan. Semakin ke arah timur, lebarnya

menyempit hingga 20 km.


Gunungapi Kuarter di Jawa Tengah antara lain G. Slamet, G.

Dieng, G. Sundoro, G. Sumbing, G. Ungaran, G. Merapi, G.

Merbabu, dan G. Muria.


Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan tegal,

zona ini tertutupi oleh produk gunungapi kwarter dari G.

Slamet. Di bagian tengah ditutupi oleh produk volkanik

kwarter G. Rogojembangan, G.Ungaran, dan G.Dieng. Zona

ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan batas

antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga

Ajibarang, persis di sebelah barat G. Slamet, sedangkan ke

arah timur membentuk Zona Kendeng. Zona Antiklinorium

Bogor terletak di selatan- Dataran Aluvial Jakarta berupa

Antiklinorium dari lapisan Neogen yang terlipat kuat dan

terintrusi. Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas antara

Gunung Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan

5
singkapan batuan tertua berumur Oligosen-Miosen Bawah

yang diwakili oleh Formasi Pelang.


Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga

selatan. Sebagian merupakan dataran pantai dengan lebar 10-

25 km. Morfologi pantai ini cukup kontras dengan pantai

selatan Jawa Barat dan Jawa Timur yang relatif lebih terjal.
Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai

selatan Jawa membentuk morfologi pantai yang terjal.

Namun di Jawa Tengah, zona ini terputus oleh Depresi Jawa

Tengah.
Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi

Jawa Tengah yang membentuk kubah dan punggungan. Di

bagian barat dari Pegunungan Serayu Selatan yang berarah

barat-timur dicirikan oleh bentuk antiklonorium yang

berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua terbesar

di Pulau Jawa, yaitu daerah Luk Ulo, Kebumen.


Berdasarkan pembagian zona ini, daerah penelitian termasuk

Zona Serayu Selatan. Ke arah utara, daerah ini berbatasan dengan-

Serayu Selatan. Di bagian selatan dibatasi oleh depresi Jawa Tengah.

Di bagian barat dan timur dibatasi oleh Zona Gunungapi Kwarter.

6
Gambar 2.1 Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura (modifikasi dari
van Bemmelen, 1949).

1.1.1 Fisiografi Daerah Penelitian

Berdasarkan fisiografi regional Pulau Jawa (Van Bemmelen,

1949), daerah pemetaan termasuk dalam Zona Pegunungan Serayu

Selatan. Zona ini mencakup bagian tengah Pulau Jawa, membentang

barat-timur Jawa Tengah dari Purwokerto s.d. Purworejo. Daerah ini

memiliki morfologi pegunungan lipatan dengan litologi melange pada

kompleks Luk Ulo, Karangsambung, Kebumen. (Van Bemmelen,

1949).

2.2. Geomorfologi Daerah Pemetaan


Pengelompokkan bentang alam di daerah pemetaan dilakukan secara

sistematis berdasarkan kenampakan bentuk bentuk relief di lapangan,

kemiringan lereng, serta struktur geologi yang mengontrolnya. Pembahasan

7
konsep dasar geomorfologi bentuk bentang alam suatu daerah merupakan

pencerminan dari proses endogen dan eksogen yang mempengaruhinya dimana

setiap proses menghasilkan suatu bentuk bentang alam yang khas.


Pegunungan Serayu Selatan, merupakan rangkaian pegunungan yang

termasuk bagian dari Cekungan Jawa Tengah Selatan yang terletak di bagian

selatan provinsi Jawa Tengah. Pegunungan ini merupakan geoantiklin yang

membentang dari barat ke timur sepanjang 100 kilometer dan terbagi menjadi

dua bagian yang dipisahkan oleh Lembah Jatilawang yaitu bagian barat dan

timur. Pegunungan Serayu Selatan merupakan kulminasi dari geoantiklin di

Jawa. Pegunungan Serayu Selatan mempunyai sumbu mengarah Barat-Timur.

(Van Bemmelen, 1949). Pegunungan ini mencangkup Kabupaten Cilacap

Utara, Kabupaten Banyumas Selatan, Kabupaten Banjarnegara Selatan,

Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo Selatan, dan Kabupaten

Purworejo.
Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa

Tengah yang membentuk kubah dan punggungan. Di bagian barat dari

Pegunungan Serayu Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk

antiklonorium yang berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua

terbesar di Pulau Jawa, yaitu daerah Luk Ulo, Kebumen.


Pengklasifikasian bentang alam ini, dilakukan dengan mengacu pada

parameter parameter relief yang disusun oleh Van Zuidam (1983) (Tabel 2.1)

serta Hidartan dan Handaya (1994). Sedangkan untuk menentukan suatu stadia

daerah (Tabel 2.2) atau stadia sungai (Tabel 2.3) digunakan parameter

parameter yang disusun oleh Nugroho (2001).

Tabel 2.1. Klasifikasi Van Zuidam (1983)

8
Satuan Relief Kelerengan Beda Tinggi (m)

(%)

Datar/Hampir Datar 02 <5


Bergelombang/Miring Landai 37 5 50
Bergelombang/Miring 8 13 25 75
Berbukit Bergelombang 14 20 50 200
Berbukit Tersayat Tajam/Terjal 21 55 200 500
Pegunungan Tersayat
56 140 500 1000
Tajam/Sangat Terjal
Pegunungan Sangat Curam > 140 > 1000

Analisa geomorfologi secara genetik dapat menggunakan klasifikasi

Verstappen (1983): 1. Bentuk lahan asal struktural, 2. Bentuk lahan asal

vulkanik, 3. Bentuk lahan asal denudasional, 3. Bentuk lahan asal fluvial, 5.

Bentuk lahan asal marine, 6. Bentuk lahan asal glasial, 7. Bentuk lahan asal

Aeolian, 8. Bentuk lahan asal solusional/pelarutan (karst), 9. Bentuk lahan asal

organik, 10. Bentuk lahan asal antropenik.

Bentang alam akibat proses endogen meliputi:

Bentuk lahan asal struktural


Terbentuk karena proses tektonik yang berupa pengangkatan,

perlipatan dan patahan.


Bentuk lahan asal volkanik
Terjadi karena pengaruh aktifitas volkanik berupa kepundan,

kerucut semburan, medan lava, medan lahar dan sebagainya yang

umumnya berada pada wilayah gunung api.

Sedangkan bentang alam akibat proses eksogen meliputi:

9
Bentuk lahan asal fluvial
Bentuk lahan yang berkaitan dengan aktifitas sungai dan air

permukaan yang berupa pengikisan pengangkutan, dan penimbunan

pada daerah rendah seperti lembah, ledok, dan daratan alluvial.


Bentuk lahan asal marine
Akibat kegiatan marine yaitu abrasi, sedimentasi, pasang surut dan

pertemuan terumbu karang.


Bentuk lahan asal pelarutan (karst)
Dihasilkan oleh proses solution/pelarutan pada batuan yang mudah

larut. Mempunyai karakteristik relief dan drainase yang khas, yang

disebabkan oleh tingkat pelarutan batuan yang tinggi.


Bentuk lahan asal aeolian (angin)
Dipengaruhi oleh udara dan angin yang dapat membentuk medan

yang khas dan berbeda bentuknya dari daerah lain.


Bentuk asal glasial
Adalah bentuk lahan yang berkaitan dengan aktifitas dihasilkan oleh

aktivitas gletser.
Bentuk asal denudasional
Merupakan proses denudasional (penelanjangan), yaitu kesatuan

dari proses pelapukan, pegerakan tanah, erosi dan kemudian

diakhiri dengan proses pengendapan.


Tabel 2.2. Klasifikasi Stadia Daerah (Nugroho, 2001)

Stadia Daerah
Parameter
Muda Dewasa Tua
Stadia Sungai Muda Muda Dewasa Tua
Sedikit
Relief Maksimum Hampir Datar
Bergelombang
Bentuk
Penampang UV V U Datar
Lembah
Kenampakan Bentang alam Bentang alam Bentang
Lain umumnya datar bergelombang alamnya datar.
sampai sampai Hasil proses

10
maksimum.
bergelombang.
Mulai ada pengendapan.
Tidak ada
gawir. Tidak ada
Gawir.
Relief sedang relief.
Relief kecil.
maksimum. U - Datar
V
VU

Tabel 2.3. Klasifikasi Stadia Sungai (Nugroho, 2001)

Stadia Sungai
Parameter
Muda Dewasa Tua
Slope Gradient Besar Relatif Kecil Tidak Ada
Kecepatan Aliran Tinggi Sedang Rendah
Turbulent
Jenis Aliran Air Turbulent Laminer
Laminar
Vertikal
Jenis Erosi Vertikal Horizontal
Horizontal
Proses yang Erosi dan
Erosi Deposisi
Bekerja Deposisi
Bentuk/Pola Lurus Bermeander
Lurus
Sungai Bermeander Komplek
Bentuk
V VU U Datar
Penampang
Kerapatan/Anak Sedang/Mulai
Kecil/Jarang Besar/Banyak
Sungai Banyak

Berdasarkan klasifikasi Howard (1967), pola aliran sungai terbagi

menjadi: a) dendritic, b) parallel c) trellis, d) rectangular, e) radial, f)

annular, g) multibasinal, dan h) contorted.

11
Gambar 2.2 Klasifikasi Pola Aliran Sungai Berdasarkan Howard
(1967)

Berdasarkan Lobeck (1939), genetik sungai dapat dibagi menjadi 3

jenis, yaitu:

a. Subsekuen, sungai yang mengalir mengikuti arah jurus lapisan

batuan.

b. Konsekuen, merupakan sungai yang mengalir mengikuti

kemiringan lapisan batuan yang dilaluinya.

c. Obsekuen, merupakan sungai yang mengalir berlawanan

kemiringan lapisan yang dilalui.

12
Pada dasarnya, stadia daerah berkaitan dengan ciri-ciri geomorfologi

suatu daerah dan ciri-ciri dari sungai yang ada pada daerah pemetaan. Stadia

daerah ini dapat menentukan sejauh mana tingkat erosi atau proses

denudasi/penelanjangan yang sedang terjadi pada daerah pemetaan. Lobeck

(1939) membagi stadia daerah menjadi tiga, yaitu:

Stadia muda mempunyai ciri-ciri dataran yang masih tinggi dengan

lembah sungai yang relatif curam dengan genetik sungai dominan

konsekuen. Kondisi geologi masih pada tahap awal atau origin.

Gambar 2.3 Stadia Daerah Muda (Lobeck, 1939)

Stadia dewasa dicirikan dengan relief terbesar atau maksimum dan

genetik sungai sudah mulai berubah menjadi subsekuen. Topografi

dari bentang alam stadia ini dipengaruhi oleh variasi dari batuan,

sehingga akan terbentuk jurang apabila sungai mengalir di batuan

yang resisten dan sebaliknya akan terbentuk lembah sungai

berbentuk U atau open valleys pada batuan yang lemah.

13
Gambar 2.4 Stadia Daerah Dewasa (Lobeck, 1939)

Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, terbentuk monadnock

dan peneplan

Gambar 2.5 Stadia Daerah Tua (Lobeck, 1939)

14
BAB III

STRATIGRAFI REGIONAL

Secara regional di Jawa Tengah dapat dikenali adanya 2 zona

pegunungan, yaitu zona Pegunungan Serayu Selatan terletak di bagian selatan

dan zona Pegunungan Serayu Utara di bagian Utara (Van Bemmelen, 1949).

Perbedaan yang nyata antara kedua zona tersebut terletak pada stratigrafi,

lingkungan pengendapan, genesa, dan tektoniknya. Menurut Asikin (1981),

Formasi yang ada di Jawa Tengah dibagi atas tiga rangkaian stratigrafi, yaitu

rangkaian stratigrafi formasi-formasi sebelum Tersier, selama Tersier dan

Kwarter. Terdiri atas Formasi Karangsambung, Formasi Totogan, Formasi

Waturanda, Formasi Penosogan, Formasi Halang, Anggota Breksi Formasi

Halang dan Formasi Peniron.


Berdasarkan letak geografis daerah penelitian, secara regional menurut

Van Bemmelen (1949), daerah penelitian terletak pada bentang fisiografis

Pegunungan Serayu Selatan dan termasuk ke dalam cekungan Jawa Tengah

yang memanjang dari barat ke timur, dan dibatasi oleh paparan sunda di utara

dan rangkaian gunung api kuarter di selatan (Van Bemmelem, 1949).


Penelitian mengenai stratigrafi jalur Pegunungan Serayu Selatan telah

banyak dilakukan, dan telah banyak mengalami penyempurnaan. Selain

peneliti terdahulu, telah banyak pula lembaga-lembaga pendidikan pemerintah

dan swasta yang melakukan penelitian geologi detail di daerah jalur

Pegunungan Serayu Selatan, mempelajari tatanan tektonik yang kompleks di

daerah ini.

15
Secara singkat, berikut diuraikan urut-urutan pengendapan sedimen

yang berumur tertua sampai termuda yang menempati zona Pegunungan

Serayu Selatan menurut Van Bemmelen (1949)

Gambar 3.1 Kolom Stratigrafi Regional menurut Van Bemmelen (1949)

3.1 Tatanan stratigrafi untuk lembar Purwokerto dan Tegal yang

diurutkan dari muda ke tua adalah sebagai berikut:

16
3.1.1 Formasi Kumbang (Tmpk)

Breksi, lava andesit dan tufa. Dibeberapa tempat breksi

batuapung dan tufa pasiran. Tersingkap baik di gunung Kumbang

sekitar 3 km sebelah barat peta dengan tebal 2000 meter.

3.1.2 Formasi Halang (Tmph)

Batupasir andesit, konglomerat tufaan dan napal yang bersisipan

batupasir. Di atas bidang perlapisan batupasir terdapat bekas-bekas

cacing. Foraminifera kecil menunjukkan umur Miosen Akhir dengan

tebal sekitar 800 meter.

3.1.3 Batuan Terobosan Tersier

Terdiri atas porfiri mikrodiorit (m) dan 17iorite (d) berbutir

sedang hingga kasar. Porfiri mikrodiorit berwarna coklat berbintik

coklat tua dan hitam, pejal, lapuk. Bertekstur holokristalin subdiabas

porfiri dengan fenokris feldspar dan mineral-mineral femic. Sebagian

mineral femik lapuk sehingga terbentuk rongga-rongga.

3.2 Tatanan stratigrafi regional lembar Banyumas yang diurutkan

dari muda ke tua sebagai berikut:

17
3.2.1 Formasi Halang (Tmph)

Batupasir tufaan, konglomerat, napal dan batulempung.

Bagian bawah berupa breksi andesit. Lapisan bagian atas

mengandung fosil Globigerina dan foraminifera kecil lainnya.

Umur Miosen Tengah - Pliosen Awal dengan tebal maksimal 700

meter dan menipis ke arah timur. Breksi andesit ketebalannya

bervariasi dari 200 meter di selatan sampai 500 meter di sebelah

utara. Bagian atas lapisan tak mengandung rombakan berbutir

kasar. Diendapkan sebagai sedimen turbidit pada zona batial atas.

3.2.2 Formasi Waturanda (Tmw)

Batupasir, breksi, konglomerat, lahar dan sisipan

batulempung. Batupasir greywacke dengan komponen bersusunan

andesit dan basal, dominan piroksin, kasar - kerikilan, sortasi

buruk, subrounded, porositas sedang, pejal - berlapis, tebal lapisan

2 - 100 cm. Ke bagian lebih atas lapisan breksi gunungapi

bersisipan batupasir greywacke, tufa gampingan, batulempung,

konglomerat dan lahar. Breksi polimik berkomponen andesit dan

basal, ukuran fragmen sekitar 30 cm, matriks batupasir dan tufa,

mengkasar ke atas. Sisipan batupasir greywacke, tebal 50 - 200 cm,

sedang - sangat kasar, komposisi mineral plagioklas, piroksin, gelas

dan mineral bijih. Batulempung mengandung foraminifera kecil-

berumur Miosen Awal - Tengah. Struktur sedimen berupa gradded

bedding, paralel laminasi dan convolute. Lingkungan pengendapan

18
laut dalam dengan sebagian batuan terendapkan oleh arus turbidit.

Satuan batuan ini ditindih selaras oleh formasi Penosogan dan

menindih selaras atau sebagian menjemari dengan formasi Totogan.

3.2.3 Anggota Tufa Formasi Waturanda (Tmwt)

Perselingan tufa kaca, tufa hablur, batupasir gampingan

dan napal tufaan. Padat, berlapis baik dengan tebal perlapisan 2 - 80

cm, rekahan terisi kalsit. Tufa tersusun atas feldspar, kaca, kuarsa

dan mineral bijih. Batupasir gampingan tebal sekitar 4 - 15 meter.

Mengandung foraminifera plankton yang menunjukkan umur

Miosen Awal. Lingkungan pengendapan pada daerah batial atas

dengan tebal satuan beberapa meter hingga 200 meter. Satuan ini

menindih selaras formasi Totogan dan merupakan bagian bawah

formasi Waturanda.

3.4.1 Tatanan stratigrafi untuk lembar Banjarnegara dan

Pekalongan yang diurutkan dari muda ke tua adalah sebagai

berikut:

3.3.1 Formasi Waturanda

Batupasir, breksi, konglomerat, lahar dan sisipan

batulempung. Batupasir greywacke dengan komponen bersusunan

andesit dan basal, dominan piroksin, kasar - kerikilan, sortasi buruk,

subrounded, porositas sedang, pejal - berlapis, tebal lapisan 2 - 100

cm. Ke bagian lebih atas lapisan breksi gunungapi bersisipan batupasir

greywacke, tufa gampingan, batulempung, konglomerat dan lahar.

19
Breksi polimik berkomponen andesit dan basal, ukuran fragmen

sekitar 30 cm, matriks batupasir dan tufa, mengkasar ke atas. Sisipan

batupasir greywacke, tebal 50 - 200 cm, sedang - sangat kasar,

komposisi mineral plagioklas, piroksin, gelas dan mineral bijih.

Batulempung mengandung foraminifera kecil berumur Miosen Awal -

Tengah. Struktur sedimen berupa gradded bedding, paralel laminasi

dan convolute. Lingkungan pengendapan laut dalam dengan sebagian

batuan terendapkan oleh arus turbidit. Satuan batuan ini ditindih

selaras oleh formasi Penosogan dan menindih selaras atau sebagian

menjemari dengan formasi Totogan.


3.4 Tatanan stratigrafi untuk lembar Kebumen yang diurutkan

dari muda ke tua adalah sebagai berikut :

3.4.1 Formasi Waturanda

Berupa breksi gunung api dan batupasir wake dengan

sisipan batulempung di bagian atas. Struktursedimen dalam satuan

ini antara lain perlapisan bersusun, perairan sejajar dan konvolut.

Di beberapa tempat, pada alas suatu daur dapat diamati adanya

permukaan erosi yang jelas. Lapisan bersusun pada breksi

umumnyaFormasi Waturanda Litologi berupa batupasir vulkanik

dan breksi vulkanik yang berumur Miocene awal-Miocene tengah,

selaras diatas Fm. Totogan. Formasi ini mempunyai anggota Tuff,

dimana Harloff (1933) menyebutnya sebagai Eerste Merger Tuff

Horizon. memperlihatkan perubahan ukuran butiran/komponen-

20
bertambah kasar ke atas. Pelapisan sejajar terdapat di bagian atas

lapisan breksi.

Formasi Waturanda diduga berumur Meosin awal dengan

lingkungan pengendapan laut dalam, karena Formasi Penosogan

yang menindihnya berumur Meosin tengah. Dari struktur

sedimennya dapat disimpulkan bahwa paling tidak sebagian

formasi ini diendapkan oleh arus turbidit dan merupakan endapan

turbidit proksimal. Satuan ini tersebar di bagian utara lembar dan

selalu membentuk morfologi tinggi, dengan puncaknya G. Tugel,

G. Watutumpang, G. Paras, G. Prahu, dan G. Kutapekalongan.

Nama formasi ini pertama kali diajukan oleh Matasak dalam Asikin

(1992) dengan lokasi tipe di Bukit Waturanda (lebih kurang 11 Km

di utara Kebumen). Nama sebelumnya ialah Eerste Breccie

Horizont (Horloff dalam Asikin 1992).

BAB IV

STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL

21
4.1. Struktur Geologi Pulau Jawa
Proses tektonik yang terjadi di sebagian besar Pulau Jawa dipengaruhi

oleh pergerakan Lempeng Indo Australia yang menujam ke bawah Lempeng

Mikro Sunda. Berdasarkan penelitian lapangan, foto udara dan citra satelit,

Pulau Jawa memiliki tiga arah kelurusan struktur yang utama. Tiga arah

kelurusan itu adalah Pola Meratus, Pola Sunda dan PolaJawa.

Gambar 4.1 Pola Struktur Pulau Jawa yang terdiri dari Pola Meratus,
Pola Sunda dan Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjodjo, 1994).

Pola dengan arah timur laut barat daya disebut sebagai Pola Meratus.

Pola Meratus merupakan pola struktur yang dominan di Pulau Jawa

(Pulunggono dan Martodjodjo, 1994). Pola ini diperkirakan terbentuk sekitar

53 80 juta tahun yang lalu. Pola Meratus ini berumur Kapur Akhir sampai

Eosen Awal.

22
Pola struktur dengan arah utara selatan disebut sebagai Pola Sunda.

Pola ini diwakili oleh sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda

dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda terbentuk sekitar 32 53 juta tahun yang

lalu. Pola Sunda ini berumur Eosen Awal Oligosen Awal.

Pola struktur dengan arah barat timur disebut sebagai Pola Jawa. Pola

Jawa ini diwakili oleh sesar baribis dan sesar sesar dalam Zona Bogor yang

berupa sesar naik (van Bemmelen, 1949).

4.2. Struktur Geologi Jawa Tengah


Struktur geologi Jawa Tengah mengacu kepada Asikin (1974). Seperti

umumnya perkembangan tektonik di Jawa, evolusi tektonik di Jawa Tengah

juga dapat dibagi tiga, yaitu Tektonik Akhir Paleogen, Tektonik intra Neogen

dan Tektonik akhir Neogen. Tektonik akhir Paleogen seperti di tempat tempat

lain hampir di seluruh Daratan Sunda (Lempeng Mikro Sunda), dicirikan oleh

pembentukan sesar sesar regangan yang menghasilkan tinggian dan deperesi.

Berdasarkan data seismik dimana dapat diamati dengan jelas adanya gejala

gejala ketidakselarasan, maka diyakini bahwa pada akhir Paleogen hampir

sebagian besar daerah mengalami pengangkatan dan muncul dip ermukaan

dan mengalami pengikisan yang kuat.


Pada Eosen Akhir, pusat kegiatan magma berada di Pegunungan Serayu

Selatan hingga ke Bayat dan Parangtritis di selatan. Kegiatan magma Eosen ini

ditandai dengan dijumpainya singkapan singkapan batuan beku dan vulkanik

berupa aliran lava, jenjang, sumbat vulkanik dan sejumlah korok yang

memotong batuan Pra Tersier dan Eosen. Di Bayat dan Parangtritis,

terdapat sejunlah singkapan korok dan intrusi yang sebagian besar bersusunan

23
basaltis yang memotong batuan Pra Tersier dan batugamping Eosen.

Penentuan umur secara radiometri memberikan angka yang berkisar antara

33,1 24,3 Ma. Susunan kimiawinya menunjukkan asosiasi batuan kalk

alkalin andesit basaltis.


Pusat kegiatan magma Eosen Akhir-Miosen Awal ini sekaligus

merupakan pusat tinggian di Jawa Selatan (Busur magmatis). Kegiatan magma

yang lebih muda lagi (Miosen Akhir-Pliosen) nampaknya agak bergeser

keutara dengan dijumpainya singkapan batuan volkanik di daerah Karangkobar

(sebelah Utara Luh-Ulo, daerah Banjarnegara). Dijumpai dalam bentuk

korok-korok, jenjang dan sumbat vulkanik, aliran lava serta intrusi-

intrusi dangkal. Umurnya secara radiometrik berkisar antara 11.16 Ma, 8.9 Ma

dan 3 Ma. Batuan vulkanik Tersier muda juga didapatkan di daerah Cilacap

berupa korok dan sill yang memotong Fm.Halang yang berumur N16-N18.

Secara petrografis memperlihatkan kesamaan dengan batuan andesit dan basalt

di daerah Karangkobar. Penentuan umur memberikan angka 8.7 dan 5.1 Ma.

Pada Tersier Awal, pusat pengendapan terjadi di utara (Depresi

Bobotsari) sebagai cekungan belakang busur dan di selatan (Depresi Kebumen)

sebagai cekungan depan busur dengan diisi oleh endapan gravitasi (turbidit)

yang sebagian besar terdiri dari bahan klastika gunung api. Kegiatan

vulkanisme Tersier tersebut berlangsung hingga Pliosen dengan pergeseran

lebih ke utara.
Dari data gaya berat, pola struktur Jawa Tengah memperlihatkan

adanya 3 (tiga) arah utama, yaitu : baratlaut tenggara di dekat perbatasan

24
dengan Jawa Barat, timurlaut baratdaya di selatan sekitar G. Muria, dan

barat timur yang umumnya berupa perlipatan.

BAB V
METODE PENELITIAN

5.1. Tahap Persiapan dan Perencanaan


Metode yang akan digunakan dalam Tahap Persiapan dan Perencanaan,

meliputi; Studi literatur mengenai daerah pemetaan dari peneliti peneliti

terdahulu, Perencanaan lintasan lokasi pengamatan yang sesuai dengan

efisiensi dan efektifitas seorang geologi di lapangan, Analisa peta topografi dan

Persiapan perlengkapan dan pemilihan basecamp.

25
5.2. Tahap Penelitian Lapangan
Metode yang akan digunakan dalam Tahap Penelitian Lapangan,

meliputi; Menentukan lokasi pengamatan dan plotting pada peta topografi,

Pengamatan dan pengukuran singkapan batuan serta pengambilan contoh

batuan untuk analisa laboratorium, Pengukuran data struktur geologi,

Pencatatan data observasi pada buku lapangan, Pengambilan foto geomorfologi

dan singkapan batuan, dan Pembuatan penampang tektonik.

5.3. Tahap Penelitian Laboratorium


Metode yang akan digunakan dalam Tahap Penelitian Laboratorium,

meliputi; Analisa mikropaleontologi dan stratigrafi, Analisa petrografi, dan

Analisa data struktur

5.4. Tahap Penyusunan Laporan Geologi


Penyusunan laporan di dasarkan dari data lapangan dan data analisis

laboratorium yang dikorelasikan dengan data peneliti terdahulu. Perbandingan

persamaan dan ketidaksamaan dari perolehan data lapangan serta referensi data

peneliti terdahulu, dapat memberikan hasil yang lebih lengkap.

5.5. Diagram Alir Pemetann

26
Tahap Persiapan dan Perencanaan

Peta Pola Aliran Peta Topografi Peta Studi Peta


Sungai Geologi Pustaka Lintasan

Analisa

Peta Interpretasi Peta Peta Satuan Litologi


Geomorfologi Interpretasi
Struktur

Tahap Pemetaan Lapangan

Pengamatan Lapangan dan Pencarian dan Pengambilan Data


Proses Geomorfologi Litologi dan Struktur Geologi

Tahap Analisa dan Penelitian Laboratorium

Analisa Analisa Analisa


Petrografi Paleontologi Kalsimetri

Peta Geologi

Tahap Penyusunan Laporan

27
Apri Mei Juni Juli Agustus September Oktober November
Tahapan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Tahapan I
Pembuatan
proposal dan
studi pustaka
Tahapan II
Kegiatan
lapangan
Tahapan III
Laboratorium:
1. Sayatan
2. Fosil
3. Analisis
Tahapan IV
Penyusunan
laporan
Kolokium
Tabel 5.6 Waktu dan Rencana Kegiatan Pemetaan

28
BAB VI

ANALISA PENDAHULUAN DAERAH PEMETAAN

6.1. Daerah Pemetaan


Lokasi daerah pemetaan secara administratif terletak di Provinsi Jawa

Tengah, Kabupaten Banjarnegara dan Banyumas, Kecamatan Mandiraja,

Purworejo Klampok, Sempor, yang meliputi desa KebaGlempang,

Salamertanaran, Sirkandi, Donorejo, Sampang, dan Kedungwringin. Secara

geografis daerah pemetaan terletak pada 109 27' 08.1" BT - 109 30' 54.3" BT

dan 7 29' 25.1" LS - 7 32' 09.3" LS dengan luas 30 km2.

Gambar 6.1. Daerah Pemetaan (Berdasarkan Google Earth)

6.2. Stratigrafi Daerah Pemetaan

29
Statigrafi daerah pemetaan dapat dilihat secara regional melalui Peta

Geologi Regional Lembar Banyumas (Asikin, S. Dkk, 1992). Penggunaan Peta

Geologi sebelum melakukan pemetaan berguna untuk membantu penulis dalam

mengetahui Formasi yang berada dalam daerah pemetaan.

Gambar 6.2 Peta Geologi Regional Lembar Kebumen (Asikin, S. Dkk,

1992).

30
Gambar 6.3 Peta Geologi Regional Lembar Purwokerto Tegal (M. Djuri. Dkk,
1996).

31
Gambar 6.4 Peta Geologi Regional Lembar Banjarnegara dan Pekalongan
(W.H. Condon. Dkk, 1996)

32
Gambar 6.5 Peta Geologi Regional Lembar Kebumen (S. Asikin. Dkk,
1996).

33
Gambar 6.6 Sebaran Anggota yang merupakan bagian dalam Formasi
Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Banyumas, Banjarnegara,
Purwokerto, dan Kebumen.

6.2.1 Formasi Waturanda : Perselingan tuf gelas, tuf kristal, batupasir

gampingan dan napal tufaan, Bagian bawah batupasir kasar, makin

keatas berubah menjadi breksi dengan komponen andesit-basal; maka

dasar batupasir dan tuf.


6.2.2 Formasi Karang Sambung : Batu lempung berstruktur sisik

dengan fragmen batugamping, konglomerat, batupasir, batulempung,

dan basal.
6.2.3 Formasi Penosogan : Perselingan batupasir gampingan,

batulempung, tuf, napal dan kalkarenit, dipengaruhi oleh arus turbidit.


6.2.4 Formasi Halang : Perselingan batupasir, batulempung, napal dan

tuf dengan sisipan breksi; dipengaruh oleh arus turbidit dan pelengseran

bawah air laut..

34
6.2.5 Formasi Ligung : Breksi gunung api (aglomerat), bersusunan

andesit, lava andesit horenblenda, dan tuf, merupakan bagian atas

Formasi Ligung.

6.3. Geomorfologi Daerah Pemetaan

Gambar 6.4 Peta Geomorfologi Daerah Penelitian berdasarkan Van


Zuidam (1983)

Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983), secara deskriptif,

geomorfologi daerah pemetaan terbagi atas tiga satuan geomorfologi, yaitu satuan

geomorfologi perbukitan terjal, satuan geomorfologi perberbukitan bergelombang

dan satuan geomorfologi bergelombang

6.4. Peta Pola Aliran Daerah Pemetaan

35
Gambar 6.5 Peta Pola Aliran Sungai Daerah Pemetaan

Sungai pada daerah penelitian ini sendiri terdiri atas sungai yang

mempunyai pola dendritik.

6.5. Struktur Geologi Daerah Pemetaan

36
Gambar 6.6 Peta Kelurusan Kontur Daerah Pemetaan yang menunjukkan
indikasi adanya struktur geologi

6.6. Peta Rencana Lintasan

Gambar 6.7 Peta Rencana Lintasan Daerah Pemetaan

Pada saat penelitian di lapangan pembuatan lintasan pengamatan

singkapan di dasarkan pada kondisi daerah regional, kondisi batuan

regional, kondisi topografi, kondisi sungai, dan jalan, agar dapat

37
memberikan informasi yang akurat.Peta lintasan tersebut di buat pada saat

sebelum ke lapangan.
Peta rencana lintasan dibuat dengan arah Utara-Selatan. Terdapat 3

rencana lintasan utama yang berwarna orange. Dari pengerjaan lintasan, 1

lintasan dikerjakan selama 3 hari.

BAB VII
PENUTUP

Demikian proposal ini disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan

Penelitian Pemetaan Geologi pada Daerah Sirkandi dan Sekitarnya, Kecamatan

Purworejo Klampok, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Proposal

ini diajukan sebagai bahan pertimbangan dan semoga mendapat perhatian dan

dukungan dari berbagai pihak.

38
Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi

Kecamatan Purworejo Klampok dan desa desa setempat, serta secara khusus

memberikan pandangan bagi pengembangan sumber daya manusia dan ilmu

pengetahuan di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Asikin, S, dkk. 1992. Peta Geologi Lembar Banyumas, Jawa. Bandung:Pusat


Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Djuri, M, dkk. 1996. Peta Geologi Regional Lembar Purwokerto Tegal:Pusat


Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Condon, W, H, dkk. 1996. Peta Geologi Regional Lembar Banjarnegara dan


Pekalongan: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

39
Asikin, S, dkk. 1992. Peta Geologi Lembar Kebumen, Jawa. Bandung:Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Bemmelen, R.W Van. 1949. The Geology of Indonesia Vol. I A General Geology :
The Hague, Batavia.
Budiyani, Sri., at al., 2003, The Collision of The East Java Microplate and Its
Implication for Hydrocarbon occurrences in the East Java Basin,
Indonesian Petroleum Association, Proceeding Ann.Conv.29th.
Modul Pemetaan Geologi., Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi
Kebumian dan Energi Universitas Trisakti., Jakarta.

40

Anda mungkin juga menyukai