Laporan Lapangan Schlumberger

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Seiring berkembangnya zaman, perkembangan teknologi berbanding lurus.
Salah satu contoh dari berkembangnya teknologi adalah penemuan salah satu
metode geofisika, metode geomagetik, dalam pecarian mineral yang diprakasai
oleh Von Wrede pada tahun 1843. Metode ini terlahir dengan menggunakan
konsep dasar vairasi medan magnet yang berada di bumi. Setelah itu, mulai
bermunculan metode-metode geofisika dengan parameter fisika yang beragam.
Salah satu metode dalam geofisika adalah metode geolistrik. Metode ini
menggunakan parameter fisika berupa nilai resistivitas yang berarti besaran untuk
menggambarkan hambatan dalam suatu material tanpa melihat faktor geometri
dan nilai potensial listrik yang berada pada suatu batuan. Besaran-besaran tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti porositas, permeabititas, kandungan
mineral, dan perubahan suhu benda. Aplikasi dari metode ini antara lain untuk
eksplorasi air tanah, geothermal system, pencarian arkeologi, dan eksplorasi
mineral.
Sama seperti metode-metode geofisika lainnya, metode geolistrik terdiri dari
metode yang bersifat aktif dan pasif. Metode aktif merupakan metode yang
menggunakan sumber gangguan yang sengaja ditimbulkan. Metode yang
termasuk metode aktif adalah IP (Induction Polarization) dan resistivitas. Metode
pasif adalah metode yang menggunaka gangguan yang ditimbulkan oleh alam.
Contoh metode pasif adalah SP (Self Potential). Selain sifat dari metode, metode
geolistrik juga dapat dibagi berdasarkan konfigurasi atau susunan elektroda, yaitu
konfigurasi Schlumberger, Wenner, Wenner-Schlumberger, Dipole-Dipole, Pole-
Dipole, Pole-Pole, dan Mise Ala Mase.
Salah satu konfigurasi di dalam geolistrik adalah metode Schlumberger.
Konfigurasi ini bersifat aktif karena harus menginjeksi arus ke titik pengukuran.
Keuntungan menggunakan konfigurasi Schlumberger adalah dapat mengetahui
sifat nonhomogenitas lapisan batuan pada permukaan. Biasanya metode ini
dipakai untuk eksplorasi air tanah dalam mencari akuifer.

1
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari pengenalan lapangan konfigurasi Schlumberger adalah untuk
mengetahui cara akuisisi lapangan dan pengolahan dengan memakai konfigurasi
tersebut. selai itu, maksud dari pengenalan lapangan konfigurasi Schlumberger
adalah untuk memahami dan dapat menggunaka software pendukung dalam
pengolahan data konfigurasi Schlumberger.
Tujuan dari pengenalan lapangan konfigurasi Schlumberger adalah untuk
mendapatkan data dari setiap titik pengukuran yang telah ditentukan. Kemudian,
tujuan lainnya untuk menghaasilkan curve maching dari setiap titik pengukuran
dan selanjutnya akan dijadikan profil kedalaman yang memperlihatkan jenis
batuan yang berada di bawah titik pengukuran serta korelasi profil kedalaman dari
titik pengukuran yang berbeda.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geologi Regional


DIY terletak di bagian tengah-selatan pulau jawa, secara geografis terletak
pada 703’-8012’ Lintang Selatan dan 110000’-110050’ Bujur Timur.

A. Fisiografi
Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi
kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan
dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan
(Bemmelen, 1949) (lihat Gambar 2.1). Zona Solo merupakan bagian dari Zona
Depresi Tengah (Central Depression Zone) Pulau Jawa.
Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo.
Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264
m. Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di
Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo
bagian timur.

Gambar 2.1. Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura (modifikasi dari
van Bemmelen, 1949).

Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di


sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,

3
Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara
Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak,
sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung.
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga sub-zona, yaitu Sub-
zona Baturagung, Sub-zona Wonosari dan Sub-zona Gunung Sewu
(Harsolumekso dkk., 1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Sub-zona
Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang dari barat
(tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ±
828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m).

B. Stratigrafi
Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan Selatan telah banyak
dikemukakan oleh beberapa peneliti yang membedakan stratigrafi wilayah bagian
barat (Parangtritis – Wonosari) dan wilayah bagian timur (Wonosari – Pacitan).
Urutan stratigrafi Pegunungan Selatan bagian barat telah diteliti antara lain oleh
Bothe (1929), van Bemmelen (1949), Sumarso dan Ismoyowati (1975), Sartono
(1964), Nahrowi, dkk (1978) dan Suyoto (1992) serta Wartono dan Surono
dengan perubahan (1994).

Gambar 2.2. Tatanan Stratigrafi Pegunungan Selatan

Secara stratigrafi, urutan satuan batuan dari tua ke muda menurut


penamaan litostratifrafi menurut Wartono dan Surono dengan perubahan (1994)
adalah :
4
1. Formasi Wungkal-Gamping
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping,
keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah
Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri dari perselingan antara
batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas, satuan
batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Jadi umur Formasi
Wungkal-Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir
(Sumarso dan Ismoyowati, 1975).
2. Formasi Kebo-Butak
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang
terletak di lereng dan kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun
formasi ini di bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau,
batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Lingkungan pengendapannya
adalah laut terbuka yang dipengaruhi oleh arus turbid. Ketebalan dari
formasi ini lebih dari 650 meter.
3. Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten.
Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi
batuapung dan serpih serta terdapat andesit basal sebagai aliran lava
bantal. Penyebaran lateral Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat
Pegunungan Selatan. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih dari 460
meter.
Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak,
namun secara setempat tidak selaras (van Bemmelen, 1949). Formasi ini
menjemari dengan Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu, namun
tertindih secara tidak selaras oleh Formasi Oyo (Surono, dkk., 1992).
4. Formasi Nglanggran
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah
selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi,
aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit serta
kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 – 50 cm. Di
bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi, ditemukan
batugamping terumbu yang membentuk lensa atau berupa kepingan.

5
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di
sebelah barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan
formasi ini di dekat Nglipar sekitar 530 meter. Formasi ini menjemari
dengan Formasi Semilir dan Formasi Sambipitu dan secara tidak selaras
ditindih oleh Formasi Oyo dan Formasi Wonosari. Sementara itu, dengan
ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka lingkungan
pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut.
5. Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu. Secara lateral,
penyebaran formasi ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di
kaki selatan Subzona Baturagung, namun menyempit dan kemudian
menghilang di sebelah timur. Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai
230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir
kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang
berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung. Kandungan
fosil bentoniknya menunjukkan adanya percampuran antara endapan
lingkungan laut dangkal dan laut dalam. Dengan hanya tersusun oleh
batupasir tuf serta meningkatnya kandungan karbonat di dalam Formasi
Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari kegiatan
gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto dan Hartono,
2001).
6. Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya
pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas
secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan
batulempung karbonatan. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter dan
kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi Semilir,
Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu serta menjemari dengan
Formasi Oyo. Lingkungan pengendapannya pada laut dangkal (zona
neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi.

6
7. Formasi Wonosari
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan
Formasi Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena
di lapangan keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi
Wonosari-Punung. Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800 meter.
Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah menjemari dengan Formasi
Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi
ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis
dan batugamping terumbu. Lingkungan pengendapannya adalah laut
dangkal (zona neritik) yang mendangkal ke arah selatan (Surono dkk,
1992).
8. Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek. Batuan
penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini
lebih kurang 200 meter. Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan
kemiringan kurang dari 10o dan kaya akan fosil foraminifera kecil.
Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik).
9. Endapan Permukaan
Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang
lebih tua yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari
bahan lepas sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal. Surono
dkk. (1992) membagi endapan ini menjadi Formasi Baturetno (Qb),
Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa).

C. Endapan Tersier
Di daerah Pegunungan Selatan bagian Timur, endapan yang paling muda
adalah endapan terarosa dan endapan sungai yang secara tidak selaras menutupi
seri endapan Tersier

7
Gambar 2.3. Stratigrafi Jalur Pegunungan Selatan menurut beberapa peneliti
(Samodro, 1990)

D. Tektonik
Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan bagian barat berupa
perlapisan homoklin, sesar, kekar dan lipatan. Pada Formasi Semilir di sebelah
barat, antara Prambanan-Patuk, perlapisan batuan secara umum miring ke arah
baratdaya. Sementara itu, di sebelah timur, pada tanjakan Sambeng dan Dusun
Jentir, perlapisan batuan miring ke arah timur. Perbedaan jurus dan kemiringan
batuan ini mungkin disebabkan oleh sesar blok (anthithetic fault blocks;
Bemmelen, 1949) atau sebab lain, misalnya pengkubahan (updoming) yang
berpusat di Perbukitan Jiwo atau merupakan kemiringan asli (original dip) dari
bentang alam kerucut gunungapi dan lingkungan sedimentasi Zaman Tersier
(Bronto dan Hartono, 2001).
Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola anthithetic fault
blocks (van Bemmelen,1949). Sesar utama berarah baratlaut-tenggara dan
setempat berarah timurlaut-baratdaya. Di kaki selatan dan kaki timur Pegunungan
Baturagung dijumpai sesar geser mengkiri.

8
Gambar 2.4. Geologi Regional Daerah Yogyakarta

2.2. Geologi Lokal


Secara geografis wilayah Kabupaten Sleman terbentang mulai 107°15’03”
sampai dengan 100°29’30” Bujur Timur dan 7°34’51” sampai dengan
7°47’03” Lintang Selatan. Di sebelah utara, wilayah Kabupaten Sleman
berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa
Tengah, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa
Tengah, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Propinsi
Daerah IstimewaYogyakarta dan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah,dan
di sebelah selatan berbatasan dengan Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan
Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Daerah Kabupaten Sleman merupakan daerah dataran, perbukitan dan kaki
gunung api. Daerah dataran dengan kemiringan lereng < 5%, terletak pada
ketinggian < 5,00 m di atas permukaan laut, dibentuk oleh endapan alluvial dan
satuan batuan gunung api Merapi (Qvm) yang berupa lempung, lanau dan pasir.
Daerah perbukitan membentuk deretan perbukitan memanjang dari barat ke timur
dengan kemiringan lereng agak terjal hingga terjal (15 - >50%), terletak pada
ketinggian 200 - 400 m di atas permukaan laut, dibentuk oleh satuan batuan dari
Formasi Sentolo (Tmps), Formasi Nanggulan (Teon), Formasi Wonosari (Tmw),
Formasi Oyo (Tmo), Formasi Sambipitu (Tms), Formasi Nglanggran (Tmn), dan
9
Formasi Semilir (Tmse). Daerah kaki gunung api dengan kemiringan lereng 15 -
30%, terletak pada ketinggian 500 - 1000 m dpl dan dibentuk oleh endapan
volkanik gunung Merapi (Qvm).
Sungai - sungai yang mengalir umumnya bersifat permanen (mengalir
sepanjang tahun), antara lain S. Opak, S. Oyo, S. Bedog, S. Dengkeng, S.
Gondang bersama-sama anak sungainya membentuk pola aliran subdendritik -
trellis dan subparalel. Air tanah di daerah penyelidikan berupa air permukaan dan
air tanah bebas. Air permukaan berupa air sungai dan air genangan (air rawa),
sedang air tanah bebas merupakan air yang tersimpan dalam suatu lapisan
pembawa air tanpa lapisan kedap air di bagian atasnya.
Secara fisiografis daerah telitian (sungai tambakbayan, babarsari) terletak
pada jajaran gunungapi kuarter pada depresi Jawa Tengah, tepatnya berada pada
kaki gunung Merapi bagian selatan. Kemiringan lereng daerah telitian umumnya
berkisar antara 0° – 4° (0 – 7%) dan beberapa tempat di sekitar sungai
menunjukkan kemiringan yang berbeda, yaitu 0° – 45° (5 – 70%). Pada tempat-
tempat tertentu di tepi sungai, kemiringan lerengnya adalah 60° – 80°, dan di
tempat ini ditemui gejala longsoran. Litologi sekitar Sungai Tambakbayan,
Babarsari dapat dibedakan dalam 2 golongan, yaitu batuan dasar dan tanah.
Batuan dasar mempunyai kedudukan horizontal, terdiri dari pasir yang di
beberapa tempat dijumpai mengandung fragmen-fragmen yang mengandung
sedikit fragmen batuan beku dan batuapung berukuran butir (2 – 4mm), kerakal (4
– 64mm) dan bongkah (>256mm) setempat-setempat dijumpai endapan
konglomerat berbentuk lensa dengan ukuran fragmen berkisar antara butiran-
kerakal. Seluruh material yang ada belum mengalami litifikasi, sehingga masih
bersifat material lepas. Komposisi batuan pada Sungai Tambakbayan, Babarsari
ini merupakan andesitik yang berasal dari endapan vulkanik Gunung Merapi. Dari
adanya struktur laminasi sejajar, laminasi bersusun, lensa-lensa konglomerat dan
pemilahan butir yang sedang, tidak dijumpai fosil laut, sehingga dapat
disimpulkan adalah florofulkanik dengan sistem arus fraksi. Selain itu, dijumpai
pada endapan alluvial, yaitu endapan sungai dan endapan limpah banjir pada
sungai Renduwen dan Tambakbayan dan sungai Maguwo. Tanah di sungai
Tambakbayan, Babarsari ini berdasarkan cara terjadinya ada 2 cara, yaitu tanah
residu dengan kemiringan 0 – 5%, dan tanah tertransportasikan akibat air

10
permukaan, banjir, dan longsor yang menempati tempat-tempat di sekitar sungai
dengan relief yang bervariasi (bergelombang, dataran banjir, sekitar lereng terjal).
Tanah ini disebut juga tanah alluvium.

11
BAB III
DASAR TEORI

3.1. Geolistrik
Geolistrik adalah metode geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik
dalam bumi dan bagaimana mendeteksinya dipermukaan bumi. Dalam hal ini
meliputi pengukuran potensial, arus, dan medan elektromagnetik yang terjadi,
baik secara almiah maupun akibat injeksi arus kedalam bumi. Oleh karena itu
metode geolistrik mempunyai banyak macam, termasuk didalamnya potensial diri,
arus telluric, magnetoteluric, elektromagnetik, induksi polarisasi, dan resistivity
(tahanan jenis). Oleh karena itu metode geolistrik sendiri secara garis besar dibagi
menjadi dua macam, yaitu :
1. Geolistrik yang bersifat pasif
Geolistrik dimana energi yang dibutuhkan telah ada terlebih
dahulu sehingga tidak diperlukan adanya injeksi/pemasukan arus terlebih
dahulu. Geolistrik macam ini disebut Self Potensial (SP).Pengukuran SP
dilakukan pada lintasan tertentu dengan tujuan untuk mengukur beda
potensial antara dua titik yang berbeda sebagai V1 dan V2. cara
pengukurannya dengan menggunakan dua buah porouspot dimana
tahanannya selalu diusahakan sekecil mungkin. Kesalahan dalam
pengukuran SP biasanya terjadi karena adanya aliran fluida dibawah
permukaan yang mengakibatkan lompatan-lompatan tiba-tiba terhadap
terhadap nilai beda potensial. Oleh karena itu metode ini sangat baik
untuk eksplorasi geothermal.
2. Geolistrik yang bersifat aktif
Geolistrik dimana energi yang dibutuhkan ada karena
penginjeksian arus ke dalam bumi terlebih dahulu. Geolistrik macam ini
ada dua metode, yaitu metode Resistivitas (resistivity) dan Polarisasi
Terimbas (Induce Polarization).Yang akan dibahas lebih lanjut adalah
geolistrik yang bersifat aktif. Metode yang diuraikan ini dikenal dengan
nama Geolistrik tahanan jenis atau disebut dengan metode Resistivitas
(resistivity).

12
Tiap-tiap media mempunyai sifat yang berbeda terhadap aliran listrik yang
melaluinya, hal ini tergantung pada tahanan jenisnya. Pada metode ini, arus listrik
diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua buah elektrode arus dan beda potensial
yang terjadi diukur melalui dua buah elektrode potensial. Dari hasil pengukuran
arus dan beda potensial untuk setiap jarak elektrode berbeda kemudian dapat
diturunkan variasi harga hambatan jenis masing-masing lapisan bawah permukaan
bumi, dibawah titik ukur (sounding point).
Metode ini lebih efektif bila dipakai untuk eksplorasi yang sifatnya relatif
dangkal. Metode ini jarang memberikan informasi lapisan kedalaman yang lebih
dari 1000 atau 1500 feet. Oleh karena itu metode ini jarang digunakan untuk
eksplorasi hidrokarbon, tetapi lebih banyak digunakan untuk bidang engineering
Geology seperti penentuan kedalaman batuan dasar, pencarian reservoar air,
eksplorasi geothermal, dan juga untuk geofisika lingkungan.Jadi metode
resistivitas ini mempelajari tentang perbedaan resistivitas batuan dengan cara
menentukan perubahan resistivitas terhadap kedalaman. Setiap medium pada
dasarnya memiliki sifat kelistrikan yang dipengaruhi oleh batuan penyusun/
komposisi mineral, homogenitas batuan, kandungan mineral, kandungan air,
permeabilitas, tekstur, suhu, dan umur geologi. Beberapa sifat kelistrikan ini
adalah potensial listrik dan resistivitas listrik.Geolistrik resistivitas memanfaatkan
sifat konduktivitas batuan untuk mendeteksi keadaan bawah permukaan. Sifat dari
resistivitas batuan itu sendiri ada 3 macam, yaitu :
1. Medium konduktif
Medium yang mudah menghantarkan arus listrik. Besar resistivitasnya
adalah
10-8 ohm m sampai dengan 1 ohm m.
2. Medium semikonduktif
Medium yang cukup mudah untuk menghantarkan arus listrik. Besar
resistivitasnya adalah 1 ohm m sampai dengan 107 ohm m.
3. Medium resesif
Medium yang sukar untuk menghantarkan arus listrik. Besar
resistivitasnya
adalah lebih besar 107 ohm m.

13
Dalam batuan, atom-atom terikat secara kovalen, sehingga batuan
mempunyai sifat menghantar arus listrik. Aliran arus listrik didalam
batuan/mineral dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1. Konduksi secara elektronik
Terjadi jika batuan/mineral mempunyai banyak elektron bebas
sehingga arus listrik dapat mengalir karena adanya elektron bebas.
2. Konduksi elektrolitik
Terjadi jika batuan/mineral bersifat porous/pori-pori tersebut
terisi oleh cairan-cairan elektrolit dimana arus listrik dibawa oleh ion-
ion elektrolit secara perlahan-lahan.
3. Konduksi dielektrik
Terjadi jika batuan/mineral bersifat dielektrik terhadap aliran
arus listrik, yaitu terjadi polarisasi saat bahan-bahan dialiri arus listrik.
Batuan yang mempunyai resistivitas (tahanan jenis) tinggi maka
konduktivitasnya (kemampuan mengahantarkan arus listrik) akan semakin kecil,
demikian pula sebaliknya bila batuan dengan resistivitas rendah maka
konduktivitasnya akan semakain besar.Sifat kelistrikan batuan itu sendiri
digolongkan menjadi 3, yaitu :
1. Resisitivitas
Batuan dianggap sebagai medium listrik yang mempunyai tahanan listrik.
Suatu arus listrik berjalan pada suatu medium/batuan akan menimbulakn
densitas arus dan intensitas arus.
2. Aktivitas elektro kimia
Aktivitas elektro kimia batuan tergantung dari komposisi mineralnya
serta konsentrasi dan komposisi elektrolit yang terlarut dalam air tanah
(ground water) yang kontak dengan batuan tersebut.
3. Konstanta dielektrik
Konstanta dielektrik pada batuan biasanya berhubungan dengan
permeabilitas dalam material/batuan yang bersifat magnetik.
Kita juga dapat melihat bahwa sifat kelistrikan batuan dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain adalah :
1. Kandungan mineral logam
2. Kandungan mineral non logam

14
3. Kandungan elektrolit padat
4. Kandungan air garam
5. Perbedaan tekstur batuan
6. Perbedaan porositas batuan
7. Perbedaan permeabilitas batuan
8. Perbedaan temperatur
Keuntungan dari metode resistivity (tahanan jenis) ini adalah :
1. Dapat membedakan macam-macam batuan tanpa melakukan pengeboran.
2. Biayanya relatif murah.
3. Pemakaiannya mudah.

3.2. Metode Resisitivity


Metode resistivitas merupakan salah satu metode geofisika yang
mempelajari sifatresistivitas dari lapisan batuan di dalam bumi. Prinsip metode
resistivitas adalah dengan mengalirkan arus listrik ke dalam bumi melalui kontak
dua elektroda arus, kemudiandiukur distribusi potensial yang dihasilkan.
Resistivitas batuan bawah permukaan dapat dihitung dengan mengetahui besar
arus yang dipancarkan melalui elektroda tersebut dan besar potensial yang
dihasilkan. Untuk mengetahui struktur bawah permukaan yang lebih dalam, maka
jarak masing-masing elektroda arus dan elektroda potensial ditambah
secara b e r t a h a p . Semakin besar spasi/jarak elektroda arus maka efek
penembusan arus ke bawah makin dalam, sehingga batuan yang lebih dalam akan
dapat diketahui sifat-sifat fisisnya. Pengukuran resistivitas batuan dipengaruhi
oleh beberapa faktor sepertihomogenitas batuan, kandungan air, porositas,
permeabilitas, dan kandungan mineral. Hasil-hasil pengukuran yang sudah diolah
kemudian dikorelasikan dengan pengetahuan geologi sehingga akan
memberikan informasi mengenai keadaan geologi bawah permukaan
secara logis pada daerah penelitian. Secara matematis harga tahanan suatu
medium dapat dirumuskan: Diasumsikan medium homogen, resistivitas :

V
  k.
I (3.1)

15
Keterangan :
 = resistivitas
k = faktor geometri
v = beda potensial
I= kuat arus
Karena dalam medan homogen, maka resistivitas semu adalah
resistivitas yang sebenarnya dan tidak tergantung spasi elektrodanya. Diasumsikan
medium tidak homogen, Resistivitas :
V
  k.
I (3.2)
Disini resistivitas yang terukur (apparent resistivity) bukan resistivitas
sebenarnya dan tergantung dari spasi elektrodanya. Karena tidak homogen maka
kenyataan di lapangan bahwa bumi berlapis-lapis, lapisan batuan dan masing-
masing perlapisan mempunyai harga resistivitas tertentu. Keadaan bumi yang
berlapis-lapis dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3.1 Ilustrasi keadaan bumi yang berlapis-lapis

Tiap-tiap medium (lapisan batuan) mempunyai sifat kelistrikan berbeda-


beda, tergantung dari delapan faktor yang telah dijelaskan sebelumnya.

3.3. Konfigurasi Schlumberger


Pada konfigurasi Schlumberger, elektrode arus dan elektrode potensial
diletakkan seperti pada gambar:

16
Gambar 3.2 Susunan elektroda konfigurasi Schlumberger

Dalam hal ini, elektrode arus dan elektrode potensial mempunyai jarak
yang berbedayaitu antar elektroda arus adalah maksimal lima kali jarak antar
elektrode potensial. Perlu diingat bahwa keempat elektrode dengan titik datum
harus membentuk satu garis.Pada resistivitas mapping, jarak spasi elektrode tidak
berubah-ubah untuk setiap titik datum yang diamati (besarnya a tetap), sedang
pada resistivitas sounding, jarak spasi elektrode diperbesar secara bertahap, mulai
dari harga a kecil sampai harga a besar, untuk satu titik sounding. Batas
pembesaran spasi elektrode ini tergantung pada kemampuan alat yang dipakai.
Makin sensitif dan makin besar arus yang dihasilkan alat maka makin leluasa
dalam memperbesar jarak spasi elektroda tersebut, sehingga makin dalam lapisan
yang terdeteksi atau teramati. Dari gambar, dapat diperoleh besarnya Faktor
geometri untuk konfigurasi Schlumberger adalah

k = ᴫ AB2-MN2
4 MN (3.3)
Sehingga pada konfigurasi Schlumberger berlaku hubungan:

ρ=k.R
ρ = ᴫ AB2-MN2 (3.4)
.
∆V/I
4 MN

17
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Gambar 4.1. Lokasi penelitian

Penelitian dengan menggunakan metode geolistrik konfigurasi


Schlumberger dilaksanakan di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta, tepatnya lapangan softball. Akuisisi alat di lapangan ditemani dengan
cuaca yang cukup cerah. Peneitian dilaksanakan pada tanggal 10 hingga 11
September 2016 pada pukul 06.00 sampai dengan 18.00 WIB setiap harinya.

18
4.2. Peralatan dan Perlengkapan

Gambar 4.2. Peralata dan perlengkapan akuisisi data metode geolistrik

Gambar 4.2. memperlihatkan peralatan dan perlengkapan yang digunakan


pada saat akuisisi data metode geolistrik konfigurasi Schlumberger. Alat dan
perlengkapan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
1. Meteran
Meteran digunakan sebagai alat ukur panjang lintasan di setiap titik
pengukuran. Selain itu, meteran digunakan untuk menandai
perpindahan elektroda C dan P pada saat akuisisi.
2. Naniura NDS 22S
Naniura NDS 22S digunakan untuk mengukur nilai kekuatan arus (I)
dan beda potensial (V) yang diinjeksikan dari sumber ke dalam titik
pengukuran.
3. Accumulator
Accumuluator digunakan sebagai sumber tenaga injeksi arus listrik ke
titik pengukuran.
4. Palu

19
Palu digunakan sebagai alat bantu untuk menancapkan elektroda pada
saat akuisisi lapangan.
5. Kabel
Kabel berfungsi sebagai perantara dari alat Naniura NDS 22S ke
elektroda dengan panjang kabel yang dapat disesuaikan dengan
kebutuhan di lapangan.
6. Penjepit
Penjepit digunakan sebagai penghubung alat dengan accumulator, alat
ke elektroda, dan alat ke kabel elektroda.
7. Elektroda
Elektroda digunakan sebagai medium injeksi arus dari alat ke dalam
titik pengukuran yang telah ditentukan.
8. Tabulasi Data
Tabulasi data bergua untuk menulis nilai V dan I yang telah didapatkan
pada saat akuisisi data.
9. GPS
GPS digunakan untuk mengeplotkan letak setiap titik pengukuran di
daerah penelitian. Letak titik tersebut berdasarkan nilai koordinat
setiap titik pengukuran dan ketinggian yang dihitung dari permukaan
laut. GPS juga berfungsi sebagai tracking. Tracking di sini adalah
untuk mengetahui jalan menuju titik pengukuran yang akan diukur.
10. Kompas
Kompas berfungsi untuk mengetahui arah mata angin dan membantu
dalam mencari jalan pada saat mencari letak titik-titik pengukuran di
daerah penelitian.

20
4.3. Diagram Alir Pengambilan Data

Gambar 4.3. Diagram alir pengambilan data

21
Gambar 4.3. mengilustrasikan bagaimana cara akuisisi data dari
pembuatan desain survei hingga perhitungan nilai resistivitas. Untuk lebih
jelasnya, langkah-langkah yang berada dalam diagram alir akan diterangkan di
bawah ini:
 Sebelum melakukan akuisisi data menggunakan metode geolistrik
kofigurasi Schlumberger, pelajari terlebih dahulu studi geologi
lokal dan regional daerah pengukuran setempat. Maksud dari hal
tersebut adalah untuk menentukan target penelitian, banyaknya titik
pengukuran, dan mempermudah dalam hal interpretasi data yang
telah didapatkan di lapangan.
 Buatlah desain survei untuk menentukan lokasi titik pengukuran
dan panjang lintasan dalam akuisisi metode geolistrik.
 Siapkan alat yang diperlukan untuk akuisisi metode geolistrik
konfigurasi Schlumberger seperti palu, Naniura NDS 22S,
elektroda, accumulator, penjepit, dan kabel.
 Bentang meteran di titik pengukuran dengan panjang meteran
sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan.
 Pasang kabel penghubung dari alat ke kabel penyambung elektroda
dan pasang penjepit dari alat ke accumulator. Untuk pemasangan
penjepit ke accumulator diutamakan pasang terlebih dahulu kutub
negatif dan kemudian ke kutub positif.
 Tancapkan semua elektroda sesuai dengan konfigurasi yang
digunakan.
 Lihat display analog arus. Jika jarum menunjukkan kurang dari
setengah, ulangi perangkaian elektroda dengan cara memindahkan
elektroda di tempat lain, memberi CuSO4 pada tanah, atau
menancapkan elektroda lebih dalam.
 Kemudian hidupkan alat dengan cara tekan tombol on/off.
 Lalu, hilangkan nilai self potential dengan cara mengnolkan nilai
beda potensial (V) dengan cara memutar knop COARSE untuk
pemutar kasar dan knop FINE untuk pemutar halus.
 Selanjutnya, atur arus yang akan diinjeksikan ke titik pengukuran
dengan memutar knop CURRENT.
22
 Tekan tombol START untuk memulai pengukuran. Tunggu hingga
nilai beda potensial (V) stabil. Ketika nilai beda potensial (V) telah
stabil, tekan tombol HOLD tanpa melepas tombol START dan tulis
nilai beda potensial (V) dan kuat arus (I) pada tabulasi data.
 Hitung nilai resistivitas (ρ) dengan menggunakan persamaan
𝑉
𝜌= 𝑘 (4.1)
𝐼

 Matikan alat dan ukur untuk jarak elektroda selanjutnya dengan


cara yang sama pada pengukuran pertama.
 Rapikan alat sesuai dengan SOP yang berlaku.

23
4.4. Diagram Alir Pengolahan Data

Gambar 4.4. Diagram Alir Pengolahan Data

24
Gambar 4.4. merupakan diagram alir dari pengolahan data dengan
menggunakan konfigurasi Schlumberger. Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah
akan dibahas secara rinci di bawah ini:
 Persiapan. Sebelum memulai pengolahan, siapkan peralatan seperti laptop,
software corelDRAW, IPI2win, dan Microsoft Excel. Selain itu, siapkan
data sintetik untuk diolah. Data sintetik berupa nilai V dan I.
 Masukan data sintetik ke dalam software Microsoft Excel. Kemudian
hitung nilai R, faktor geometri (K), dan ρ.
 Buka software IPI2win. Klik File  New VES point. Setelah itu muncul
kotak dialog.
 Pilih metode Schlumberger dan klik icon ”V,I”.
 Input data AB/2, MN, V, dan I.
 Muncul titik-titik yang merupakan variasi nilai data yang didapatkan.
Kemudian, lakukan picking data dengan cara hapus data yang mempunyai
nilai yang sangat jauh dari nilai data yang lain.
 Lalu, klik save TXT. Beri nama file tersebut. Setelah itu, klik OK dan beri
nama file lagi.
 Kemudian, muncul model 1D. ada tiga garis pada model tersebut, yaitu
warna merah, hitam, dan biru. Garis warna hitam merupakan garis
penghubung nilai dari resistivitas yang didapatkan pada saat pengukuran.
Garis warna merah adalah garis yang harus disesuaikan dengan garis
warna hitam. Garis warna biru merupakan garis yang akan dibentuk
sebagai model lapisan dari data.
 Sesuaikan garis berwarna merah dengan garis berwara hitam dengan cara
mengatur sedemikian rupa garis berwarna biru dengan cara klik kanan
split untuk membuat lapisan baru dan klik kanan join untuk
menggabungan dua lapisan yang telah dibuat sebelumnya.
 Lalu, lihat tabel yang berada pada sebe;ah kanan model. Pada kolom d di
lapisan terakhir ganti angka tersebut dengan nilai estimasi kedalaman.
Cara mengetahui nilai estimasi kedalaman adalah panjang lintasan dibagi
dengan 5. Setelah itu, buatlah profil bawah permukaan dengan
menggunakan software corelDRAW. Gunakan tabel nilai resistivitas untuk
memudahkan dalam interpretasi bawah permukaan.
25
 Buatlah pembahasan mengenai langkah-langkah yang telah dikerjakan dan
hasil dari pengolahan data. Pembahasan berupa pembahasan secara
kuantitatif dan kualitatif
 Kemudian, buat suatu kesimpulan dari hasil interpretasi yang telah dibuat.

26
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kurva Matching software IPI2win

Gambar 5.1. Kurva maching software IPI2win titik 10

Gambar 5.2. Tabel nilai resistivitas, kedalaman, dan ketebalan kurva matching
titik 10

27
Gambar 5.1. merupakan kurva matching dari model satu dimensi yang
dibuat menggunakan software IPI2win. Terlihat ada beberapa kurva yang terlihat
pada Gambar 5.1. Kurva berwarna merah adalah kurva yang harus disesuaikan
dengan kurva berwarna hitam. Kurva berwarna hitam merupakan kurva
penghubung variasi nilai resistivitas yang didapatkan. Kurva berwarna biru
merupakan kurva model satu dimensi. Model ini akan menjadi dasar dari
pembuatan profil bawah permukaan.
Untuk menentukan lapisan pada kurva matching, ada beberapa referensi
untuk mempermudah pekerjaan tersebut. Salah satu referensi adalah berupa kurva
bantu. Kurva bantu merupakan tipe-tipe kurva dasar sebagai penggolongan
pembuatan lapisan pada software IPI2win. Kurva bantu digolongkan berdasarkan
perbedaan trend pada kurva. Ada beberapa tipe kurva bantu (Gambar 5.3.), yaitu
kurva tipe H, tipe A, tipe K, dan tipe Q.

Gambar 5.3. Kurva bantu pada software IPI2win

Perbedaan pada tipe kurva akan berpengaruh terhadap penentuan lapisan.


Tipe H adalah tipe yang mempunyai nilai ρ yang tinggi pada awal dan akhir kurva
dan nilai ρ yang rendah di tengah kurva. Tipe A mempunyai nilai ρ yang
meningkat dari awal sampai akhir kurva. Tipe K merupakan kebalikan dari tipe H,
yaitu mempunyai nilai ρ rendah pada awal dan akhir kurva dan nilai ρ tinggi pada
tengah kurva. Tipe Q adalah tipe kebalikan dari tipe A. pada tipe Q, nilai ρ akan
cenderung turun.

28
Untuk kasus kurva pada titik pengukuran 10, tipe yang digunakan adalah
tipe K karea nilai ρ pada awal dan akhir kurva lebih rendah daripada nilai di
tengah kurva. Kurva tersebut bersifat satu dimensi karena hanya mempunyai nilai
kedalam saja.
Kurva maching titik pengukuran ke 10 dibuat menjadi lima lapisan dengan
nilai resistivitas, kedalaman, dan ketebalan yang berbeda (Gambar 5.2.). Nilai ρ
cukup beragam. Pada lapisan pertama, nilai ρ sebesar 248 Ωm dengan ketebalan
lapisan 1,54 m. Lapisan kedua mempunyai nilai ρ sebesar 802 Ωm yang
mempunyai ketebalan sebesar 1,23 m dan berada hingga kedalaman 2,76 m.
Lapisan ketiga mempunyai nilai ρ sebesar 1800 Ωm yang mempunyai ketebalan
sebesar 2,79 m dan berada hingga kedalaman 5,56 m. Lapisan keempat
mempunyai nilai ρ sebesar 504 Ωm yang mempunyai ketebalan sebesar 5,75 m
dan berada hingga kedalaman 11,3 m. lapisan kelima mempunyai nilai ρ sebesar
35,3 Ωm.
Estimasi kedalaman pada titik pengukuran 10 adalah sebesar 24 m. Nilai ini
diperoleh dari besarnya panjang lintasan dibagi 5 yang merupakan rumus dari
penentuan estimasi kedalaman pada konfigurasi Schlumberger. Nilai error yang
diperoleh dari pembuatan kurva matching adalah sebesar 53,4%.

29
5.2. Profil Kedalaman Kelompok 10

Gambar 5.4. Profil kedalaman kelompok 10

30
Gambar 5.4. merupakan profil kedalaman dari titik pengukuran 10.
Profil ini memperlihatkan jenis batuan dan/atau endapan yang berada di bawah
titik pegukuran. Skala yang dipakai pada profil kedalaman di titik pengukuran 10
adalah 1: 100. Estimasi kedalaman profil kedalaman adalah sebesar 24 m yang
1
didapat dari 5 panjang lintasan.

Untuk mempermudah interpretasi jenis batuan dan soil dari hasil


pengolahan data metode geolistrik konfigurasi Schlumberger, tabel resisitivitas
batuan dapat digunakan sebagai referensi. Menurut klasifikasi Telford (1990)
batuan dan mineral dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu konduktor baik,
intermediet, dan buruk dengan rentan nilai sebagai berikut:
a. Mineral dengan nilai resistivitas antara 10-8 sampai dengan 1 Ωm.
b. Mineral dan batuan dengan nilai resistivitas antara 1 sampai dengan 107
Ωm.
c. Mineral dan batun dengan nilai resistivitas lebih dari 107 Ωm.
Penentuan jenis batuan pada kali ini menggunakan tabel resistivitas dari Looke M.
H. (2000) (Gambar 5.5.).

Gambar 5.5. Tabel nilai resistivitas batuan versi Looke M. H. (2000)

Dalam profil tersebut, ada lima lapisan dengan jenis batuan yang
berbeda. Perbedaan jenis batuan dijelaskan oleh warna. Warna merah muda
melambangkan jenis endapan aluvial. Warna hijau menyimbolkan jenis batuan

31
berupa batulempung. Warna kuning menlambangkan jenis batuan berupa
batupasir.
Lapisan paling atas diinterpretasikan sebagai endapan aluvial yang
disimbolkan dengan warna merah muda. Resistivitas aluvial sebesar 248 Ωm
dengan ketebalan sebesar 1,54 m. Diperkirakan endapan ini berasal dari material
gunung api Merapi. Lapisan pertama diinterpretasikan sebagai aluvial karena
berpatokan posisi geografi Indonesia yang berada pada iklim tropis lembab. Iklim
ini membuat banyaknya pelapukan kimia yang terjadi pada batuan yang membuat
terbentuknya soil dan menutup batuan dasar (bedrock) yang tersingkap di
bawahnya.
Lapisan berikutnya adalah diprediksi berjenis batulempung yang
disimbolkan dengan warna hijau. Nilai resistivitas batulempung ini sebesar 802
Ωm dengan ketebalan sebesar 1,23 m. Lapisan ini diperkirakan berada pada
kedalaman 1,54 m sampai dengan 2,76 m. Sama seperti aluvial, batulempung ini
kemungkinan berasal dari material gunung api Merapi berupa material sebesar
lempung dan terjadi pembatuan. Lapisan ini dianggap sebagai batulempung
karena porositas dan permeabilitas batuannya. Batulempung adalah batuan yang
mempunyai nilai porositas yang kecil karena butiran penyusun dari batulempung
berukuran cukup kecil yang membuat kecilnya pori yang terbentuk dalam
batulempung. Semakin kecil pori, atenuasi suatu arus akan semakin kecil karena
arus akan lebih mudah mengalir pada batuan yang tidak mempunyai pori.
Lapisan selanjutnya diinterpretasikan sebagai batupasir yang disimbolkan
dengan warna kuning. Nilai resistivitas batulempung ini sebesar 1800 Ωm dengan
ketebalan sebesar 2,79 m. Lapisan ini diperkirakan berada pada kedalaman 2,76 m
sampai dengan 5,56 m. lapisan ini dianggap sebagai batupasir karena nilai
resistivitas pada lapisan ini cukup tinggi dibandingan dengan nilai resistivitas
batuan yang lain. Nilai resistivitas yang tinggi diakibatkan karena sifat batupasir
yang poros. Batupasir lebih poros daripada batulempung karena material
penyusun batupasir lebih besar dibandingkan dengan material penyusun
batulempung. material-material ini akan membuat adanya ruang kosong yang
tidak terisi oleh material lain. Akibatnya, arus akan teratenuasi dan membuat nilai
resistivitasnya besar.

32
Lapisan berikutnya diinterpretasikan sebagai batulempung yang
disimbolkan dengan warna hijau. Nilai resistivitas batulempung ini sebesar 504
Ωm dengan ketebalan sebesar 5,75 m. Lapisan ini diperkirakan berada pada
kedalaman 5,56 m sampai dengan 11,3 m. Nilai resistivitas batulempung ini
hampir sama seperti nilai resistivitas batulempung sebelumnya.
Di bawah batulempung ada lapisan lagi berupa batupasir dengan nilai
resistivitas yang berbeda, yaitu sebesar 35,3 Ωm. Ada perbedaan nilai resistivitas
yang cukup jauh jika dibandingkan dengan nilai resistivitas batupasir yang cukup
tinggi pada lapisan atas. Nilai resistivitas batupasir yang rendah diakibatka adanya
fluida berupa air yang terkandung dalam pori-pori batupasir. Sebenarnya, tekstur
kedua pasir ini sama, hanya berbeda adanya material yang terkandung dalam pori-
pori. Adanya air dalam pori-pori batupasir membuat nilai tahanan jenis berkurang.

33
5.3. Korelasi Profil Kedalaman Lintasan

Gambar 5.6. Korelasi profil kedalaman lintasan

34
Gambar 5.6. merupakan gambar dari korelasi profil kedalaman lintasan.
Sesuai dengan desain survei, ada empat titik di lapangan softball, kampus I UPN
“Veteran” Yogyakarta, yaitu titik 9, 10, 11, dan 12. Keempat titik tersebut
dikorelasikan apakan ada kemenerusan lapisan yang sejenis atau tidak terhadap
lapisan yang dideteksi di titik lain. Sama seperti profil kedalaman, ada tiga jenis
batuan, yaitu aluvial, batulempung, dan batupasir yang disimbolkan oleh warna
merah muda, hijau, dan kuning. Skala yang dipakai adalah 1: 200.
Di titik 9, paling atas berada aluvial dengan besar resistivitas 468 Ωm
dengan ketebalan 1,76 m. Lalu, di bawahnya ada batupasir dengan nilai
resistivitas sebesar 1593 Ωm dengan ketebalan 5,7 m. Lalu ada batulempung
dengan nilai resistivitas yang berbeda. Besar nilai resistivitas batulempung sebesar
440 Ωm dan 143 Ωm dengan ketebalan masing-masing seesar 1,73 m dan 4,24 m.
selanjutnya ada lapisan batupasir dengan nilai resistivitas sebesar 52,9 Ωm.
Hampir sama sepeti titik 9, pada titik 11 paling atas berada endapan aluvial
dengan besar resisitivitas 1778 Ωm dengan ketebalan 2,73 m. Di bawahnya ada
batulempung dengan resistivitas yang berbeda. Nilai resistivitas masing-masing
adalah sebesar 907 Ωm dan 216 Ωm dengan ketebalan masing-masing 6,56 m dan
3,8 m. Kemudian, di bawah batulempung ada batupasir yang mempunyai nilai
resistivitas yang berbeda pula. Nilai resistivitas masing-masing adalah sebesar
66,9 Ωm dan 37,5 Ωm dengan ketebalan 5,58 m.
Di titik 12, paling atas berupa endapan aluvial dengan nilai resistivitas
sebesar 685 Ωm dengan ketebalan sebesar 1,25 m. Selanjutnya di bawah lapisan
endapan aluvial ada batupasir dengan nilai resistivitas sebesar 2697 Ωm dengan
ketebalan 1,11 m. Lalu, diprediksi adanya batulempung dengan besar resistivitas
765 Ωm dengan ketebalan sebesar 7,21 m. Sama seperti titik 11, titik 12 terdapat
dua lapisan batupasir yang mempunyai nilai resistivitas yang berbeda, yaitu besar
resistivitas masing-masing adalah 157 Ωm dan 77,3 Ωm dengan tebal sebesar 8,31
m.
Dilihat dari kemenerusannya, endapan aluvial terlihat menerus dari titik 9
sampai dengan titik 12. Perbedaan hanya berada pada tebal dan kedalaman
endapan tersebut. Pada titik 9 dan 10 terdapat kemenerusan batupasir. Pada titik
10, 11, dan 12 ada kemenerusan batulempung. kemenerusan ini ditarik karena
nilai dari batulempung di titik 10, 11, dan 12 memiliki nilai resistivitas yang

35
hampir sama. Di titik 12 ada lapisan barupasir yang tidak menerus ke titik 11.
Kemudian, ada kemenerusan batulempung di titik 9, 10, dan 11. Alasan mengapa
tidak diteruskan ke titik 12 karena batulempung yang berada pada titik 9, 10, dan
11 mempunyai nilai resistivitas yang berbeda dengan titik 12. Kemungkinan, nilai
porositas batulempung di kemenerusan tadi lebih tinggi dibandingan dengan
kemenerusan batulempung di atasnya. Paling bawah ditemukan kemenerusan
batupasir. Di setiap titik ada batupasir yang mempunyai nilai yang hampir mirip
dengan range dari 35,3 Ωm sampai dengan 157 Ωm. Kemungkinan batupasir ini
berisi air karena nilai resistivitas batuan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan
batupasir di atasnya.

36
BAB VI
PENUTUP

6.1. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dalam akuisis, pengolahan,
pemodelan dan pembuatan profil bawah permukaan di lapangan softball, kampus I
UPN “Veteran” Yogyakarta adalah:
 Tipe kurva bantu titik 10 adalah jenis kurva bantu tipe K.
 Ada lima lapisan pada titik 10, yaitu endapan aluvial dengan besar
ρ=248 Ωm dengan ketebalan lapisan 1,54 m. Lapisan batulempung
nilai ρ sebesar 802 Ωm yang mempunyai ketebalan sebesar 1,23.
Lapisan batulempung mempunyai nilai ρ sebesar 1800 Ωm yang
mempunyai ketebalan sebesar 2,79 m. Lapisan batupasir
mempunyai nilai ρ sebesar 504 Ωm yang mempunyai ketebalan
sebesar 5,75 m. Lapisan batupasir mempunyai nilai ρ sebesar 35,3
Ωm.
 Perbedaan nilai pada batupasir yang berada di bagian atas dan
bagian bawah terjadi karena adanya perbedaan nilai porositas.
Porositas batupasir di bagian dekat permukaan tinggi tanpa adanya
air yang terkandung di dalamnya. Sedangkan porositas batupasir di
bawahnya mempunyai nilai porositas yang tingg, tetapi di dalam
pori-pori batupasir diperkirakan adanya air yang membuat nilai
resistivitasnya kecil.
 Kemenerusan lapisan batuan ada pada lapisan pertama, yaitu
endapan aluvial yang berasal dari material gunung api Merapi.
Selain itu, batupasir yang mengandung air juga menerus dari titik
pengukuran 9 sampai ke titik pengukuran 12.
6.2. Saran
Penguasaan terhadap software IPI2win diperlukan untuk memudahkan
menjalankan software dan memudahkan dalam membuat model satu dimensi.
Pemahaman mengenai geologi lokal dan regional pengambilan data juga
dibutuhkan untuk mempermudah dalam interpretasi bawah permukaan
mengenai jenis dan proses pembentukannya.
37
38

Anda mungkin juga menyukai