Referat Asma Bronkial Bismillah (Repaired)
Referat Asma Bronkial Bismillah (Repaired)
Referat Asma Bronkial Bismillah (Repaired)
ASMA BRONKIAL
(BBLR)
Disusun Oleh :
AHMAD FARANRENGI
111 2016 2109
Pembimbing :
dr. Tanty Febriany, Sp.A
1
pernapasan. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat hampir
semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat
penyakit dari ringan sampai berat, bahkan beberapa kasus dapat menyebabkan
kematian. Asma merupakan penyakit kronis yang sering muncul pada anak-anak
dan usia muda sehingga dapat menyebabkan berkuranganya produktifitas, juga
menyebabkan gangguan aktivitas social, bahkan berpotensi mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak.1
Prevalensi asma bronkial pada anak-anak bervariasi antara 0-30%,
sedangkan pada dewasa secara umum berdasarkan beberapa survei sekitar 6%
pada beberapa negara yang berbeda. Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, asma, bronkhitis kronis dan emfisiema
merupakan penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5.6%. Pada tahun
1995, prevalensi asma bronkial diseluruh Indonesia sebesar 13 dari 1000
penderita. 2
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain
inflamasi juga disertai adanya remodelling. Di lain pihak, walaupun banyak hal
yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata hingga saat ini,
secara keseluruhan asma masih merupakan misteri. Pengetahuan tentang patologi,
patofisiologi, dan imunologi asma berkembang sangat pesat, khususnya untuk
asma pada orang dewasa dan anak besar. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme
dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui pasti. Lagipula bayi dan
balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang
tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. Akibat ketidakjelasan tadi,
definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan, sehingga untuk menyusun
diagnosis dan tata laksana yang baku juga mengalami kesulitan. Akibat berikutnya
adalah adanya under /overdiagnosis maupun under / overtreatment.3
Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma
secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma.
Tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kontrol
2
dan menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Pada awalnya
pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian
bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini upaya
pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga harus dapat mencegah
terjadinya remodelling.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 EPIDEMIOLOGI
Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi.
Berdasarkan data dari WHO dan GINA, prevalensi asma di berbagai negara
berkisar 1-18%, di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita
3
asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. 1 Pada
masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak
perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Umumnya prevalensi anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang
melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda
antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama, di Indonesia
prevalensi asma berkisar antara 5-7 %. 5
Asma bronkial merupakan penyakit yang sangat dikenal di masyarakat.
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur
pasien, status atopi, faktor keturunan. 4 5% populasi di AS ditemukan menderita
asma. Lebih dari 10 % anak anak ditemukan asma. 6 Di Indonesia prevalensi
asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia
sekolah menengah pertama. 3
Prevalensi nasional penyakit asma berdasarkan data dari Riset Kesehatan
Dasar Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 4,5% masyarakat
Indonesia menderita asma. Terdapat 18 provinsi di Indonesia yang mempunyai
prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional, 5 provinsi dengan prevalensi
tertinggi yaitu Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi
Selatan dan Kalimantan Selatan. 1
4
Gambar 1. Prevalensi Asma di Indonesia tahun 2013
Dikutip dari kepustakaan 1
Gambar 2. Prevalensi asma berdasarkan karakterisktik umur tahun 2007 dan 2013
Dikutip dari kepustakaan 1
2.3 ETIOLOGI
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi
genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma,
alergik (atopi) , hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi. 2
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas factor genetik dan faktor
lingkungan. 7
1. Faktor Genetik7
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan
dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
5
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor
risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi
saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
2. Faktor lingkungan7
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor Lain7
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta lactam lainnya,
eritrosin,tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
6
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala
asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih
sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek
berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala
serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).
7
2.3 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI ASMA
8
1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel
mast dan basofil
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks sebagai
efek mediator mediator yang dilepas sel mast/basophil
Sensitasi terhadap allergen mungkin terjadi pada usia awal. Fase sensitasi
merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang
oleh reseptor spesifik (Fc R) pada permukaan sel mast atau basophil. Antigen
presenting cell (APCs) di bronkial menangkap alergen dan mengenalkannya pada
CD4 sel T yang kemudian akan berdeferensiasi masuk ke sel T dari TH2 fenotip.
Sel akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, dan IL-13 yang mencetus
pengaktifan pada sekresi immunoglobulin limfosit B. IL-13 juga akan
menginduksi aktifasi eosinophil dan basophilic granulocytes sebagaimana
pelepasan kemokin dan enzim proteolitik seperti metalloproteinase. IgE kemudian
akan bersirkulasi dan berikatan dengan reseptor spesifik afinitas tinggi (FcRI)
disel mast dan basophil dan berikatan dengan reseptor spesifik afinitas rendah
(FcRI, CD23) pada eosinophil dan makrofag. 8
Ketika terjadi reekspos, allergen dapat dengan cepat berikatan ke
permukaan sel. Histamine, protease, leukotriene, prostaglandin, platelet
activating factor (PAF) akan dilepaskan. Respon bronkokonstriktif asmatikus
terjadi dalam 2 fase. Pada fase pertama, fungsi paru dengan cepat menurun dalam
waktu 10-20 menit pertama dan secara perlahan kembali 2 jam berikutnya.
Respon awal ini melibatkan Histamin, PGD2, cysteinyl-leukotrienes (LTC4, LTD4-
,LTE4) dan PAF. Cysteinyl-leukotrienes akan menginduksi pelepasan protease :
tryptase cleaves D3a dan bradikinin dan molekul prokursor protein yang
menimbulkan kontraksi sel otot bronkial dan peningkatan permeabelitas vascular.
Chymase disisi lain akan mencetus sekresi mucus. Adanya induksi
bronkokonstriksi dengan edema mukosa dan sekresi mucus akan menimbulkan
batuk, wheezing, dan breathlessness. 8
9
Fase kedua dimulai 4-6 jam berikutnya. LTB 4 dan PAF akan menarik
eosinophil. LTB4 dan PAF dalam hal ini akan menarik major basic protein (MBP)
dan eosinophil cationic protein (ECP) yang memiliki efek toksik terhadap sel
epitel. Destruksi sel epitel terjadi pada late stage. Pada akhirnya akan
menimbulkan akumulasi mucus di lumen bronkial akibat dari peningkatan jumlah
sel goblet dan hipertropi dari kelenjar mucous submukosal.8
Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu
proses inflamasi dengan proses remodelling sel epitel yang rusak akibat proses
inflamasi. Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula
proses remodeling terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian
proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur
saluran respiratori melalui proses diferensiasi, migrasi, dan maturasi struktur sel. 8
10
interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah,
otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi : 9
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran retikular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau
merupakan akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway
remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas
jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.
Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma
terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut. 9
11
Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan
metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya. (9)
3. Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik. (9)
4. Hipersekresi mucus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab
ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan bronkodilator. (9)
2.4 GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis asma bronkial adalah sesak nafas, serangan episodik
batuk, dan mengi, disertai rasa gelisah. Pada awal serangan sering gejala tidak
jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik kadang disertai pilek atau
bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada
perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid,
putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya
hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah variant asma 3
Pada asma alergik, sering berhubungan antara pemajanan alergen dengan
gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala
terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang,
infeksi saluran pernapasan ataupun perubahan cuaca. 3
12
Pada serangan asma yang lebih berat, gejala-gejala yang timbul makin
banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi dada,
takikardi dan pernafasan cepat dangkal. 3
2.5 KLASIFIKASI
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) tahun 2015, mengklasifikasi asma
berdasarkan tingkat kekerapan asma, keadaan saat terjadi serangan asma, dan
derajat kendali asma pada anak, sebagai berikut: 10
1. Tingkat kekerapan asma
Derajat asma Kekerapan gejala asma
Intermitten Episode gejala asma <6x/ tahun atau jarak antar
6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan atau <1x/minggu
Persisten Sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak
setiap hari
Persisten Berat Episode gejala asma terjadi setiap hari
Tabel 1. PNAA 2015. Diagnosis and Classification of Asthma in Children
2.6 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Keluhan mengi dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis
yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma
berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan,
produksi sputum. Gejala dengan karakeristik yang khas diperlukan untuk
menegakkan diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke asma adalah
gejala timbul secara episodik atau berulang. Gejala timbul bila ada faktor
pencetus misalnya iritan (asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat
nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan dan minuman dingin); allergen
14
(debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari); infeksi respiratori;
aktivitas fisik (lari, teriak, menangis, atau tertawa berlebihan). 11 Riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian
cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat
berolahraga), sering terbangun, memelihara binatang di dalam rumah, banyak
kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Seringkali ada riwayat
alergi pada pasien atau keluarganya. Untuk mengetahui adanya tungau debu
rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur
kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti
parfum, spray pembunuh serangga, apakah ada orang yang merokok di
rumah.7
Intensitas gejala dapat bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24
jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). Gejala juga
dapat membaik secara spontan dengan atau dengan pemberian obat pereda
asma. 11
2. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada penderita asma, keadaan umum penderita tampak
sesak nafas dan gelisah dimana penderita lebih nyaman dalam posisi duduk,
pernafasan cepat dengan ekspirasi memanjang sampai sianosis. 3
Pada dinding toraks akan terlihat lebih mengembang dengan diafragma
terdorong kebawah, dan pada auskultasi akan terdengar bunyi wheezing
(mengi). Penderita juga menggunakan otot-otot bantu pernafasan untuk
memaksimalkan proses ekspirasi akibat tidak terjadinya pertukaran gas secara
3,6
normal. Perlu dicari gejala lain alergi pada pasien seperti dermatitis atopik
atau rhinitis alergi seperti allergic shiners atau geographic tongue. 11
3. Pemeriksaan Penunjang
A. Spirometri
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan beta adrenergik.
Peningkatan VEP1 sebanyak 12% atau ( 200mL) menunjukkan diagnosis
15
asma bronkial. Pemeriksaan spirometri selain untuk menegakkan diagnosis,
juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.3
B. Uji provokasi bronkus
Hal ini bertujuan untuk membuktikan adanya hiperaktivitas dari bronkus,
antara lain dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani dan udara dingin.3
C. Pemeriksaan sputum dan eosinofil total.
Pemeriksaan sputum pada penderita yang dicurigai menderita asma sangat
karakteristik dengan ditemukannya banyak eosinofil.3
D. Uji kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik
dalam tubuh.3
E. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum.
Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.3
Pedoman Nasional Asma Anak 2015 membuat alur diagnosis asma pada anak
umur diatas 5 tahun dan balita (dibawah 5 tahun) sebagai berikut :
16
Gambar
2. Alur diagnosis asma pada anak diatas 5 tahun
Dikutip dari kepustakaan 11
Diagnosis asma pada balita (anak dibawah 5 tahun) memiliki 3 indikator, yaitu11
1. Pola gejala : wheezing, batuk, dyspnea, tidur terganggu
2. Faktor risiko pencetus asma berdasarkan Indeks Prediksi Asma yaitu
Memiliki salah satu faktor mayor (american pediatric)
- Orangtua dengan asma
- Diagnosis eksim (dermatitis atopik) oleh dokter
17
- Peka terhadap allergen di udara melalui tes kulit positif atau tes darah
untuk allergen seperti rumput, tunagu, debu, dll
Atau memiliki dua faktor minor
- Alergi makanan
- Eosinophil dalam darah 4%
- Mengi
3. Berespon terhadap pemberian terapi pengontrol
2.7 PENATALAKSANAAN
18
Tujuan tatalaksana asma anak secara umuM adalah untuk mencapai
kendali asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak
secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah :11
1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikitnya
mungkin terjadi, terutama yang mempenagruhi tumbuh kembang anak.
19
2.7.2 Serangan Asma Ringan
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik
(complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi
selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien
dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Inhalasi
bronkodilator diberikan dalam bentuk MDI dengan spacer atau nebulisasi, hasil
yang sama efektifnya. Pemberian MDI dengan spacer dapat diberikan dengan
dosis 2 4 puff, bila belum ada perbaikan bisa diulang lagi 2 4 puff dengan
selang 30 menit dalam waktu 1 jam. Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke
Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya.
Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat
tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah
observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan
sedang. 11
2.7.3 Serangan Asma Sedang
Pada serangan sedang pemberian bronkodilator adalah 2 agonis dengan
penambahan antikolinergik. Jika setelah dua kali pemberian nebulisasi pasien
hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response) kemungkinan derajat
serangannya adalah sedang. Oleh karena itu, perlu dinilai ulang derajatnya sesuai
dengan pedoman klasifikasi. Jika serangannya memang termasuk serangan
sedang, pasien perlu diobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari (RRS). Pada
serangan asma sedang diberikan steroid sistemik oral methylprednisolon dengan
dosis 0,5 1 mg/kgBB/hari selama 3 5 hari. Steroid lain yang dapat diberikan
selain metilprednisolon adalah prednison. Ada yang berpendapat bahwa steroid
nebulisasi dengan dosis yang sangat tinggi (1600-2400g budesonide) dapat
digunakan untuk serangan asma, tetapi belum banyak kepustakaan yang
mendukung. Steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk serangan
asma. 11
Walaupun mungkin tidak diperlukan, tetapi untuk persiapan keadaan
darurat, sejak di UGD pasien akan diobservasi di RRS sebaiknya langsung
dipasangkan jalur parenteral. 11
2.7.4 Serangan Asma Berat
20
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan
respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian
ulang sesuai pedoman), maka pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Oksigen
2-4 L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral
dan lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan
berat, nebulisasi cukup diberikan sekali langsung dengan beta-agonis dan
antikolinergik. Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman
henti napas, pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien
dengan serangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto rontgen
toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau
pneumomediastinum.11
2.7.5 Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari (RRS)
Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap diberikan.
Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan respon parsial di
UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi 2 agonis + antikolinergik setiap 2
jam. Kemudian berikan steroid sistemik oral berupa metiprednisolon atau
prednison. Pemberian steroid ini dilanjutkan selama 3 5 hari. Jika dalam 12 jam
klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien
serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/ UGD. Bila dalam 12 jam
responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan
tatalaksana serangan asma berat. 11
2.7.6 Tatalaksana di Ruang Rawat Inap
Pemberian oksigen diteruskan Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi
dengan pemberian cairan intravena dan dikoreksi asidosisnya. Steroid intravena
diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Nebulisasi beta-agonis + antikolinergik
dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai
terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis: 11
Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6 - 8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose
atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 30 menit,
dengan infussion pump atau mikroburet
21
Bila respon belum optimal dilanjutkan pemberian dengan pemberian
aminofilin dosis rumatan sebesar 0,5 1 mg/kgBB/jam
Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis
diberikan 1/2nya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan
(0,25 0,5 mg/kg/jam)
Bila memungkinkan kadar sebaiknya kadar aminofilin diukur dan
dipertahankan 10-20 mcg/ml.
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga
24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral. Jika dalam 24 jam pasien
tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat beta-agonis (hirupan
atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral
dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk
reevaluasi tatalaksana. 11
22
B. Penilaian resiko perjalanan asma (risiko eksaserbasi,
ketidakstabilan, penurunan fungsi paru, efek samping)
Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma,
FEV1 yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis
tinggi
Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan
berperan penting dan tatalaksana asma jangka panjang. Kortikosteroid inhalasi
merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian kortikosteroid
inhalasi setara dosis budesonid 100 200 ug per hari dapat menurunkan angka
kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. 12 Beberapa
pasien asma memerlukan dosis kortikosteroid inhalasi 400 ug per hari untuk
mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga.
Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan
asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi resiko masuk rumah sakit,
memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka
23
kekambuhan akibat berolahraga. Pemakaian kortikosteroid inhalasi atau sistemik
pada asma episodik jarang dan wheezing akibat infeksi virus masih controversial.
Kortikosteroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak mempengaruhi tinggi
badan dan densitas tulang. Steroid inhalasi dapat mempengaruhi kecepatan
pertumbuhan, tetapi tidak mempengaruhi tinggi badan secara keseluruhan.
Kandidiasis oral, suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara
berkumur setiap selesai pemberian kortyikosteroid inhalasi. Pada anak asma yang
mendapatkan kortikosteroid inhalasi harus dipantau pertumbuhan (persentil tinggi
badan dan berat badan) setiap tahun. Kortikosteroid inhalasi umumnya diberikan
dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang diberikan sekali sehari.
Ciclesonide merupakan preparat kortikosteroid inhalasi yang baru, efek samping
minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat
kortikosteroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya dibanding preparat
yang lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut. 11
Antileukotrien
24
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1)
seperti montelukast, prantlukast dan zafirlukast dan inhibitor 5-lipoxygenase
seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek
bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk,
memperbaiki fungsi paru dan mengurangi inflamasi jalan nafas dan eksaserbasi.
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak
lebih unggul dibandingkan kortikosteroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat
pengendali tunggal efeknya lebih rendah dibandingkan dengan kortikosteroid
inhalasi. Kombinasi kortikosteroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan
angka kekambuhan asma dan menurunkan kebutuhan dosis kortikosteroid
inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat
berolahraga. Antileukotrien juga dapat mencegah kekambuhan asma akibat infeksi
virus pada anak usia dibawah 5 tahun. Pemberian kombinasi kortikosteroid
inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten episodik sering dan asma persisten
kurang efektif dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi dosis sedang. 11
Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari
pemberian steroid inhalasi.
25
terbukti disebabkan karena alergi. Omalizumab diberikan sebahai injeksi subkutan
setiap dua samapi empat minggu. 11
26
Gambar 4. Algoritma Penanganan SeranganAsma pada Anak diatas 5 tahun
PNAA 2015. Diagnosis and Classification of Asthma in Children
27
Gambar 5. Algoritma Penanganan Asma pada Anak dibawah 5 tahun
PNAA 2015. Diagnosis and Classification of Asthma in Children
2.8 Prognosis
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.13,14
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis
baik ditemukan pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan
dan timbul pada masa kanak-kanak.13,14
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. You Can Control Your Asthma. Info Datin Pusat
Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2016; hal.1-3
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. 2003; hal 1-15
3. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK
Pulmonologi 2004.
4. UKK Pulmonologi PP IDAI. Konsensus Nasional Asma Anak. Sari
Pediatri.Vol.2:1.2000
5. Sundaru Heru, Sukamto. Asma Bronkial. Dalam: Sudoyo, Ayu W, dkk, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan
Depertemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. h404-414.
6. McFadden E. Rjr. Asthma. In: Kasper Dennis L, Fauci Athony S, Longo Dan
L, Braunwald Eugene, Hauser Stephen L, Jameson J Larry, editors. Harrisons
Principles of Internal Medicine. 16thed. New York United States of America:
McGraw Hill Companies Medical Publishing Division; 2005. p. 1508
1516.
7. Rengganis Iris. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Majalah
Kedokteran Indonesia. Volume 58 No. 11. Jakarta: 2008; hal. 446-447.
8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi
Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.
9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104
10. Indawati W. Diagnosis and Classification of Asthma in Children. UKK
Respirologi IDAI- PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015
29
11. Kartasasmita C,. B. Diagnosis dan Tatalaksana Terkini Asma pada Anak.
Bogor Pediatric Update 2015. IDAI Cabang Jawa Barat. 2015
12. Global strategy for asthma management and prevention. National Institutes of
Health, 2015.
13. Buku pedoman pengendalian penyakit asma [online]. 13 Maret 2017 [cited
200]; Avaible from: URL: http://www.depkes.go.id
14. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia [online]. 13 Maret
2017 2015 [cited 2003]; Avaible from: URL: http://www.klikpdpi.com
30