Asma Anak 3
Asma Anak 3
Asma Anak 3
Makalah ini kami ajukan untuk memenuhi syarat dalam mata kuliah biologi pemberian obat
secara parenteral.
Dosen Pengampu : Pak Tatang Kusuma, M.Kep
Disusun oleh :
1. Anandita Eka Nugraha (E2214401010)
2. Neng Amalia Lestiawati (E2214401036)
3. Nisa Muharani (E2214401022)
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul asma pada anak ini tepat
pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Pak Tatang, M.Kep pada mata kuliah Biologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang pemberian obatsecara parenteral bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma pada anak mempunyai berbagai aspek khusus yang umumnya berkaitan dengan
proses tumbuh dan kembang seorang anak, baik pada masa bayi, balita, maupun anak besar.
Peran atopi pada asma anak sangat besar dan merupakan faktor terpenting yang harus
dipertimbangkan dengan baik untuk diagnosis dan upaya penatalaksanaan. Mekanisme
sensitisasi terhadap alergen serta perkembangan perjalanan alamiah penyakit alergi dapat
memberi peluang untuk mengubah dan mencegah terjadinya asma melalui kontrol lingkungan
dan pengobatan pada seorang anak. Pendidikan pada pasien dan keluarga merupakan unsur
penting penatalaksanaan asma pada anak yang bertujuan untuk meminimalkan morbiditas
fisis dan psikis serta mencegah disabilitas. Upaya pengobatan asma anak tidak dapat
dipisahkan dari pemberian kortikosteroid yang merupakan anti-inflamasi terpilih untuk
semua jenis dan tingkatan asma. Pemberian kortikosteroid topikal melalui inhalasi
memberikan hasil sangat baik untuk mengontrol asma tanpa pengaruh buruk, walaupun pada
anak kecil tidak begitu mudah untuk dilakukan sehingga masih memerlukan alat bantu
inhalasi. Asma merupakan penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap merupakan
masalah bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan peneliti asma. Mengacu pada data
epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini di- perkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari
seluruh populasi asma. Selain karena jumlahnya yang banyak, pasien asma anak dapat terdiri
dari bayi , anak, dan remaja, serta mempunyai permasalahan masing-masing dengan
implikasi khusus pada penatalaksanaannya. Pengetahuan dasar tentang masalah sensitisasi
alergi dan inflamasi khususnya, telah banyak mengubah sikap kita terhadap pengobatan asma
anak, terutama tentang peran anti-inflamasi sebagai salah satu dasar pengo- batan asma anak.
Oleh karena itu pengertian yang lebih baik tentang peran faktor genetik, sensitisasi dini oleh
alergen dan polutan, infeksi virus, serta masalah lingkungan sosioekonomi dan psikologi
anak dengan asma diharapkan dapat membawa perbaikan dalam penatalaksanaan asma. Pada
tingkat sel tampak bahwa setelah terjadi pajanan alergen serta rangsang infeksi maka sel
mast, limfosit, dan makrofag akan melepas faktor kemotaktik yang menimbulkan migrasi
eosinofil dan sel radang lain. Pada tingkat molekul terjadi pelepasan berbagai mediator serta
ekspresi serangkaian reseptor permukaan oleh sel yang saling bekerjasama tersebut yang
akan membentuk jalinan reaksi inflamasi. Pada orkestrasi proses inflamasi ini sangat besar
pengaruh sel Th2 sebagai regulator penghasil sitokin yang dapat memacu pertumbuhan dan
maturasi sel inflamasi alergi. Pada tingkat jaringan akan tampak kerusakan epitel serta
sebukan sel inflamasi sampai submukosa bronkus, dan mungkin terjadi rekonstruksi mukosa
oleh jaringan ikat serta hipertrofi otot polos. Masalah penting pada morbiditas asma adalah
kemampuan untuk menegakkan diagnosis, dan seperti telah kita ketahui bahwa diagnosis
asma pada anak tidak selalu mudah untuk ditegakkan. Beberapa kriteria diagnosis untuk itu
selalu mempunyai berbagai kelemahan, tetapi umumnya disepakati bahwa hiper reaktivitas
bronkus tetap merupakan bukti objektif yang perlu untuk diagnosis asma, termasuk untuk
asma pada anak. Gejala klinis utama asma anak pada umumnya adalah mengi berulang dan
sesak napas, tetapi pada anak tidak jarang batuk kronik dapat merupakan satu- satunya gejala
klinis yang ditemukan. Biasanya batuk kronik itu berhubungan dengan infeksi saluran napas
atas. Selain itu harus dipikirkan pula kemungkinan asma pada anak bila terdapat penurunan
toleransi terhadap aktivitas fisik atau gejala batuk malam hari.
B. Rumusan Masalah
a. apa itu asma pada anak?
b. Bagaimana pencegahan asma pada anak?
c. Bagaimana karakteristik Asma pada anak?
C. Tujuan Masalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk
mengetahui :
a. Untuk memahami pengertian asma pada anak
b. Untuk mengetahui risiko terjadinya asma pada anak
c. Untuk memahami bagaimana karakteristik asma pada anak
D. Manfaat Pembuatan makalah
Dalam pembuatan makalah ini di harapkan pembaca dapat menambah
pengetahuan tentang penyakit asma pada anak
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asma pada Anak
A. Pengertian Asma
Asma adalah salah satu masalah paru-paru yang membuat pengidapnya kesulitan
bernapas akibat peradangan dan penyempitan pada saluran pernapasan. Tak hanya kesulitan
bernapas, asma juga menyebabkan gejala lain seperti mengi, batuk-batuk, dan nyeri dada.
Saluran pernapasan pada pengidap asma lebih sensitif dibandingkan dengan orang lain tanpa
asma. Ketika paru-paru teriritasi akibat zat pemicu (asap rokok, debu, bulu binatang, dll.),
maka otot-otot saluran pernapasan pada pengidapnya menjadi kaku dan menyempit. Berbagai
penelitian asma pada anak memperlihatkan adanya suatu pola hubungan antara proses
sensitisasi alergi dengan perkembangan dan perjalanan penyakit alergi yang dikenal sebagai
allergic march (perjalanan alamiah penyakit alergi). Secara klinis allergic march terlihat
berawal sebagai alergi saluran cerna (diare alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi
alergi kulit (dermatitis atopi) dan kemudian alergi saluran napas (asma bronkial, rinitis
alergi).
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa kelompok anak dengan gejala mengi pada usia
kurang dari 3 tahun, yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai predisposisi ibu asma,
dermatitis atopi, rinitis alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibandingkan dengan kelompok
anak dengan mengi yang tidak menetap. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa anak
mengi yang akan berkembang menjadi asma terbukti mempunyai kemampuan untuk
membentuk respons lgE serta respons eosinofil pada uji provokasi berbagai stimuli. Proses
sensitisasi diperkirakan telah terjadi sejak awal masa kehidupan, secara bertahap mulai dari
rangsang alergen makanan dan infeksi virus, sampai kemudian rangsang aeroalergen. Proses
tersebut akan mempengaruhi modul respons imun yang akan lebih cenderung ke arah
aktivitas Th 2. Kecenderungan aktivitas Th2 akan menurunkan produkIL-2danIFN-
γolehTh2.Terbuktibahwaanak dengan respons IFN-γ rendah pada masa awal kehidupannya
akan lebih tersensitisasi oleh aeroalergen dan menderita asma pada usia 6 tahun dibandingkan
dengan anak dengan respon IFN-γ normal. mengi pada bayi sebagian besar manifestasi akan
muncul sebelum usia 6 tahun dan kebanyakan gejala awal sudah ditemukan pada masa bayi,
berupa mengi berulang atau tanpa batuk yang berhubungan dengan infeksi virus. Hubungan
antara mengi semasa bayi dengan kejadian asma pada masa kehidupan selanjutnya telah
banyak dibahas, para peneliti umumnya melaporkan bahwa hanya sebagian kecil saja (3-
10%) dari kelompok bayi mengi yang berhubungan dengan infeksi virus tersebut akan
memperlihatkan progresivitas klinis menjadi asma bronkial. Infeksi virus semasa bayi yang
menimbulkan bronkiolitis dengan gejala mengi terutama disebabkan oleh virus sinsitial
respiratori (RSV), virus parainfluenza, dan adenovirus. Kecenderungan bayi mengi untuk
menjadi asma sangat ditentukan oleh faktor genetik atopi. Sebagian besar bayi tersebut jelas
mempunyai riwayat keluarga atopi serta menunjukkan positivitas lgE anti-RSV serum,
dibandingkan dengan bayi mengi yang tidak menjadi asma.
KemampuanbayiuntukmembentuklgEantiRSV ini diyakini sebagai status sensitisasi terhadap
alergen secara umum. Jadi bayi mengi dengan ibu atopi yang mengandung lgE anti-RSV
tersebut sudah dalam keadaan tersensitisasi, dan hal ini merupakan faktor risiko terjadinya
asma. Sejalan dengan hal itu maka banyak peneliti telah melaporkan positivitas lgE spesifik
terhadap berbagai alergen (susu, kacang, makanan laut, debu rumah, serbuk sari bunga) pada
bayi merupakan faktor risiko dan prediktor untuk terjadinya asma.