Fix GNAPS

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 33

PENDAHULUAN

Di negara berkembang, glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus


(GNAPS) masih sering dijumpai dan merupakan penyebab lesi ginjal non
supuratif terbanyak pada anak. Sejak adanya kemajuan di bidang antibiotika dan
kesehatan masyarakat yang makin baik, angka kejadian penyakit ini menurun
drastis di Amerika Serikat. Tetapi di negara-negara berkembang, gomerulonefritis
pascastreptokok masih tetap merupakan penyakit yang banyak menyerang anak.
Untungnya penyakit ini merupakan penyakit yang self limiting pada sebagian
besar anak dengan kesembuhan yang sempuma, meskipun pada sebagian kecil
dapat mengakibatkan gagal ginjal akut. Glomerulonefritis merupakan suatu
istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang
mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu
mekanisme imunologis. Istilah akut(gomerulonefritis akut mencerminkan adanya
korelasi kliniko-patologis selain menunjukkan adanya gambaran tentang etiologi,
patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis. Glomerulonefritis akut
menunjukkan adanya kejadian pasca infeksi dengan etiologi berbagai macam
bakteri dan virus.1,3
Sampai saat ini belum diketahui faktor-faktor yang menyebabkan penyakit
ini menjadi berat, karena tidak ada perbedaan klinis dan laboratorium antara
pasien yang jatuh ke dalam gagal ginjal akut dan yang sembuh sempurna. Salah
satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak dijumpai pada anak
adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). Kuman penyebab
tersering adalah Streptokokus hemolitikus grup A yang nefritogenik.
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara epidemik
atau sporadik, dan terjadi pada semua usia, tetapi paling sering pada anak usia
sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun, sumber lain mengatakan 6-7 tahun.
Jarang menyerang anak di bawah usia 3 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
anak perempuan 2 : 1. Penelitian di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5
15 tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio : = 1, 34 : 1. Angka
kejadian GNAPS sukar ditentukan mengingat bentuk asimtomatik lebih banyak
dijumpai daripada bentuk simtomatik. Insiden tidak dapat diketahui dengan tepat,
diperkirakan jauh lebih tinggi dari data statistik yang dilaporkan oleh karena

1
banyaknya pasien yang tidak menunjukkan gejala sehingga tidak pernah
terdeteksi. Kaplan dkk. memperkirakan separuh pasien GNAPS pada suatu
epidemi tidak terdeteksi. Di negara maju, insiden GNAPS berkurang akibat
sanitasi yang lebih baik, pengobatan dini penyakit infeksi, sedangkan di negara
sedang berkembang insiden GNAPS masih banyak dijumpai. Di Indonesia,
GNAPS lebih banyak ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah. 1, 2, 3

I. DEFINISI

1. Glomerulonefritis
Glomerulomefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal
tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada
dewasa. Sebagian besar glomenulonefritis bersifat kronik dengan
penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar tampaknya bersifat
imunologis. Terminologi glomenulonefritis yang dipakai di sini adalah
untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada
glomerulus, bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain seperti misalnya
tubulus, jaringan interstitial maupun sistem vaskulatumya. Istilah
glomerulonefritis dipergunakan untuk menunjukkan karakteristik
gambaran klinis dan kelainan histopatologis yang terjadi. Kemampuan
mengidentifikasi adanya kelainan glomerulus adalah berkat berkembang
dan meluasnya penggunaan biopsi ginjal yang mampu menunjukkan
adanya kelainan dini glomerulus; serta kemajuan teknik pemeriksaan
ultrastruktur dan imunopatologi ginjal sehingga mampu mengidentifikasi
lokalisasi kelainan secara akurat.3
Glomerulonefritis, sebagaimana kelainan dan sindrom lain yang tidak
diketahui penyebabnya semula diklasifikasikan berdasarkan karakteristik
klinis dan laboratoris yang terlihat sejak awal penyakit, pejalanan
penyakit, prognosis dan respons pengobatan.3
Glomerulonefritis akut (GNA): suatu istilah yang lebih bersifat
umum dan lebih menggambarkan suatu proses histopatologi berupa
proliferasi dan inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. Dalam
kepustakaan istilah GNA dan SNA sering digunakan secara bergantian.
GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik, sedangkan SNA

2
lebih bersifat klinik. Dalam kepustakaan disebutkan bahwa selain GNAPS,
banyak penyakit yang juga memberikan gejala nefritik seperti hematuria,
edema, proteinuria sampai azotemia, sehingga digolongkan ke dalam
SNA.2

Berbagai penyakit atau keadaan yang digolongkan ke dalam SNA antara


lain :
Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
- Glomerulonefritis fokal
- Nefritis herediter (sindrom Alport)
- Nefropati IgA-IgG (Maladie de Berger)
- Benign recurrent hematuria
Glomerulonefritis progresif cepat
Penyakit penyakit sistemik
- Purpura Henoch-Schenlein (HSP)
- Lupus erythematosus sistemik (SLE)
- Endokarditis bakterial subakut (SBE). 2

2. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus


GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara
histopatologi menunjukkan proliferasi dan inflamasi glomeruli yang
didahului oleh infeksi group A -hemolytic streptococci (GABHS) dan
ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi,
oliguria yang terjadi secara akut. Sindrom nefritik akut (SNA): suatu
kumpulan gejala klinik berupa proteinuria, hematuria, azotemia, red blood
cast, oliguria dan hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara akut.1
Bila dijumpai full blown cases yaitu kasus dengan gejala nefritik yang
lengkap yaitu proteinuria, hematuria, edema, oliguria, dan hipertensi, maka
diagnosis GNAPS dapat ditegakkan, karena gejala tersebut merupakan
gejala khas (tipikal) untuk suatu GNAPS. 2

3
II. EPIDEMIOLOGI

GNAPS dapat terjadi pada wabah epidemi atau dalam kelompok


kasus, dan dapat terjadi pada pasien yang terisolasi. Dalam beberapa tahun
terakhir, insiden GNAPS diseluruh dunia telah berkurang secara signifikan.
Penurunan insiden ini mungkin karena akses yang lebih mudah dan
pertolongan medis lebih cepat pada infeksi streptokokus. Penelitian dari
beberapa negara menunjukkan bahwa GNAPS merupakan penyakit yang
langka. Di negara-negara industri, GNAPS merupakan penyakit pada pasien
lanjut usia dan cenderung muncul bersama keganasan, alkolisme, atau
diabetes.4

Walaupun demikian, GNAPS tetap merupakan masalah kesehatan di


Negara berkembang. Glomerulonefritis endokapiler, pasca infeksi
streptokokus, merupakan jenis glomerulonefritis terbanyak pada anak di
Negara berkembang. Carapetis et al. menemukan bahwa di Negara
berkembang terdapat 9.3 kasus per 100,000 orang. Insiden GNAPS
dievaluasi menggunakan laporan dari gangguan ginjal akut akibat
glomerulonefritis. GNAPS tanpa komplikasi 100 hingga 300 kali lebih
banyak dibanding GNAPS yang mengancam jiwa. Insidensi pertahun dari
GNAPS di Negara berkembang sekitar 9,5 hingga 28,5 kasus per 100.000
penduduk.4

4
III. HISTOPATOLOGI

Gambar 1. Diagram sebuah glomerulus dan potongan dinding kapiler glomerulus

Gambar 2. Penampang sebuah glomerulus normal pada pemeriksaan dengan


mikroskop cahaya

1. Mikroskop cahaya

Glomerulus yang normal merupakan suatu jaringan vasa kapiler


yang terletak di antara arteriol aferen dan arteriol eferen. Kapiler
tersebut melekat mengelilingi suatu jaringan penyangga yang disebut
mesangium, yaitu jaringan ekstraselular yang terdiri dari matriks

5
mesangial dan sel mesangial. Bila sediaan jaringan ginjal yang
berukuran 4 sampai 8 mikro diperiksa dengan mikroskop cahaya, akan
tampak dengan jelas adanya lumen kapiler, matriks dan sel mesangial.
Kompleks glomerulus ini dibentuk oleh empat jenis sel yang terdiri dari
sel mesangial, sel endotel, sel epitel viseral dan sel epitel parietal. 3

2. Mikroskop imunofluoresensi

Dengan teknik imunofluoresensi dapat ditunjukkan adanya


antibodi dan atau komplemen pada glomerulus yang inflamasi.
Gambaran ini membuktikan adanya media imun yang berperan dalam
penyakit glomerulus. Gambaran imunofluoresensi linear di sepanjang
dinding kapiler glomerulus menunjukkan bahwa reaktan imun tersebut
(IgG, komplemen, dlsb) terikat pada struktur endogen antigen
glomerulus. 3

Gambar 3. Penampang dinding kapiler glomerulus pada pemeriksaan dengan


mikroskop elektron

3. Mikroskop electron

Apabila sebuah kapiler glomerulus dilihat dengan mikroskop


elektron, tampak adanya 3 lapisan. Lapisan paling dalam berhadapan

6
dengan lumen kapier gomerulus, terdiri dari sel endotel berfenestra.
Lapisan tengah adalah membran basal, dan lapisan luar yang
berhadapan dengan ruang Bowman ialah sel epitel kapsula Bowman
viseral, dengan tonjolan sitoplasma interdigitata (tonjolan kaki, foot
processes). Membran basal glomerulus terdiri atas 3 lapisan yaitu
lamina rara interna (di sebelah dalam), lamina densa (di tengah) dan
lamina rara eksterna (di sebelah luar).

4. Histopatologi
Patologi Glomerulonefritis akut pascastreptokok adalah suatu
glomerulonefritis proliferatif. Pada pemeriksaan mikroskop cahaya
dapat terlihat perubahan patologis yang bervariasi sesuai dengan tingkat
keparahan penyakit. Pada kasus ringan terutama pada pasien dengan
penyakit subklinis, kelainan adalah minimal, biasanya terdiri dari
proliferasi ringan sampai sedang sel mesangial dan matriks. Pada kasus
berat terjadi proliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel yang
difus dan disertai infiltrasi sel polimorfonuklear dan monosit, serta
pembuntuan lumen kapiler.
Pada pemeriksaan mikroskop elektron terlihat deposit padat
elektron dalam mesangium yang besar dan jelas yang dikenal dengan
istilah humps, yang terletak pada daerah subepitelial yang khas. Pada
pemeriksaan mikroskop imunofluoresen terlihat endapan IgG granular
iregular dan C3 mulai dari yang halus sampai kasar yang tipikal di
dalam mesangium dan di sepanjang dinding kapiler. Endapan
imunoglobulin dalam kapiler didominasi oleh IgG, dan sebagian kecil
lgM atau IgA.
Hanya sedikit Streptococcus hemolyticus grup A strain
nefritogenik yang mampu mengakibatkan timbulnya glomenulonefritis
pascastreptokokus. Beberapa tipe yang sering menyerang saluran napas
adalah dari tipe M 1, 2, 4, 12, 18, 25 dan yang menyerang kulit adalah
tipe M 49, 55, 57, 60 Daerah infeksi biasanya saluran napas atas,
termasuk telinga tengah.

7
Glomenulonefritis pascastreptokok dapat terjadi setelah radang
tenggorok yang dilaporkan bersamaan dengan demam reumatik akut.
Berdasarkan hubungannya dengan infeksi streptokokus. Meskipun
secara umum patogenesis glomerulonefritis telah dimengerti, namun
mekanisme yang jelas bagaimana terjadinya lesi glomerulus, teriadinya
proteinuria dan hematuria pada glomerulonefritis pascastreptokokus
belumlah jelas benar. Pembentukan kompleks imun bersirkulasi dan
pembentukan kompleks imun in situ telah ditetapkan sebagai
mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokok. Hipotesis
lain yang sering disebut-sebut adalah adanya neuraminidase yang
dihasilkan oleh Bakteri Streptokokus B hemolitikus grup A. 3

IV. PATOFISIOLOGI

Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti. Faktor genetik diduga


berperan dalam terjadinya penyakit dengan ditemukannya HLA-D dan
HLADR. 1

Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit


kompleks imun.
Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS termasuk penyakit
imunologik adalah:
- Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik .
- Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah.
- Kadar komplemen C3 menurun dalam darah.
- Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus.
- Titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah. 2
Pada pemeriksaan hapusan tenggorok (throat swab) atau kulit (skin
swab) tidak selalu ditemukan GABHS. Hal ini mungkin karena penderita
telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit. Juga lamanya periode
laten menyebabkan sukarnya ditemukan kuman streptokokus.2
Seperti telah disebutkan sebelumnya, maka organisme tersering yang
berhubungan dengan GNAPS ialah Group A -hemolytic streptococci .

8
Penyebaran penyakit ini dapat melalui infeksi saluran napas atas
(tonsillitis/faringitis) atau kulit (piodermi), baik secara sporadik atau
epidemiologik. Meskipun demikian tidak semua GABHS menyebabkan
penyakit ini, hanya 15% mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut karena hanya
serotipe tertentu dari GABHS yang bersifat nefritogenik, yaitu yang
dindingnya mengandung protein M atau T (terbanyak protein tipe M). 2
Penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan 2 bentuk antigen yang
berperan pada GNAPS yaitu :
1. Nephritis associated plasmin receptor (NAPr)
NAPr dapat diisolasi dari streptokokus grup A yang terikat dengan
plasmin. Antigen nefritogenik ini dapat ditemukan pada jaringan hasil
biopsi ginjal pada fase dini penderita GNAPS. Ikatan dengan plasmin ini
dapat meningkatkan proses inflamasi yang pada gilirannya dapat merusak
membran basalis glomerulus. 2
2. Streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB).
SPEB merupakan antigen nefritogenik yang dijumpai bersama sama
dengan IgG komplemen (C3) sebagai electron dense deposit subepithelial
yang dikenal sebagai HUMPS. 2

Proses Imunologik yang terjadi dapat melalui :


1. Soluble Antigen-Antibody Complex
Kompleks imun terjadi dalam sirkulasi NAPr sebagai antigen dan
antibodi anti NAPr larut dalam darah dan mengendap pada glomerulus. 2
2. Insitu Formation :
Kompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation), karena antigen
nefritogenik tersebut bersifat sebagai planted antigen. Teori insitu
formation lebih berarti secara klinik oleh karena makin banyak HUMPS
yang terjadi makin lebih sering terjadi proteinuria masif dengan prognosis
buruk.2
Imunitas Selular
Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena dijumpainya
infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal.

9
Infiltrasi sel-sel imunokompeten difasilitasi oleh sel-sel molekul adhesi
ICAMI dan LFAI, yang pada gilirannya mengeluarkan sitotoksin dan
akhirnya dapat merusak membran basalis glomerulus. 2

Gambaran Histologis
Periode laten antara infeksi streptokokus dengan kelainan glomerulus
menunjukkan proses imunologis memegang peran penting dalam mekanisme
penyakit. Diduga respon yang berlebihan dari sistim imun pejamu pada
stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan
terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal
glomerulus. Disini terjadi aktivasi sistem komplemen yang melepas substansi
yang akan menarik neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas netrofil merupakan
faktor responsif untuk merusak glomerulus. 1
Hipotesis lain adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus
akan mengubah IgG endogen menjadi autoantigen. Terbentuknya
autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut, mengakibatkan
pembentukan komplek imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam
ginjal. Pada kasus ringan, pemeriksaan dengan mikroskop cahaya
menunjukkan kelainan minimal. Biasanya terjadi proliferasi ringan sampai
sedang dari sel mesangial dan matriks. Pada kasus berat terjadi proliferasi sel
mesangial, matriks dan sel endotel yang difus disertai infiltrasi sel
polimorfonuklear dan monosit, serta penyumbatan lumen kapiler. 1
Istilah glomerulonefritis proliferatif eksudatif endokapiler difus
digunakan untuk menggambarkan kelainan morfologi penyakit ini. Bentuk
bulan sabit dan inflamasi interstisial dapat dijumpai mulai dari yang halus
sampai kasar yang tipikal di dalam mesangium dan di sepanjang dinding
kapiler. Endapan immunoglobulin dalam kapiler glomerulus didominasi oleh
Ig G dan sebagian kecil Ig M atau Ig A yang dapat dilihat dengan mikroskop
imunofluoresen. Mikroskop elektron menunjukkan deposit padat elektron atau
humps terletak di daerah subepitelial yang khas dan akan beragregasi menjadi
Ag-Ab kompleks.1

10
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan
filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya
normal. Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di
bawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis
berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses
reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air. 2
Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan
air didukung oleh keadaan berikut ini:
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses
radang di glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensi
intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na
dan air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. 2
Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan
edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan
ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon
(ADH) tidak meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila
ketiga hormon tersebut meningkat. 2

V. GEJALA KLINIK

GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan
jarang pada usia di bawah 2 tahun. Kasus klasik atau tipikal GNAPS
didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului timbulnya
sembab atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu
pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma. Hematuria dapat timbul berupa
gross hematuria maupun mikroskopik. 1,2
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik
sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada

11
bentuk simtomatik. Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik.
Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin
terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan
penderita GNAPS simtomatik. 1,2
GNAPS simtomatik
1. Periode laten :
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode
antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini
berkisar 1-3 minggu; periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada
GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu
didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di
bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1
minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti
eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schenlein atau Benign recurrent haematuria.2
2. Edema :
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali
timbul, dan menghilang pada akhir minggu pertama. Edema bisa
berupa wajah sembab, edem pretibial atau berupa gambaran sindrom
nefrotik.Asites dijumpai pada sekitar 35% pasien dengan edem.
Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra),
disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema
timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema
skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik. 1,2
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi
dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra
sangat menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar
pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan
sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena
gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang
tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan
penurunan berat badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan

12
jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial yang dalam
waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.2
3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,
sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus.
Suatu penelitian di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik
berkisar 46-100%, sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-
100%.2
Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat,
air cucian daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik
biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa
hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu.
Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya
menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai
hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik
GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap
lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang.
Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi
ginjal, mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.2
4. Hipertensi :
Pada pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi pada hampir semua
pasien GNAPS, biasanya ringan atau sedang. Hipertensi merupakan
gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Umumnya terjadi
dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus
dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg).
Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang
cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali..
Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari.
Setelah itu tekanan darah menurun perlahan-lahan dalam waktu 1-2
minggu. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan ensefalopati
hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit

13
kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang- kejang.
Penelitian di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi berkisar 4-
50%.1,2
5. Oliguria
Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan takipne dan
dispne. Gejala gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria
karena penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Keadaan ini jarang
dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin
kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal
menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala
sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan
menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu
pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya
kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek. 1,2
6. Gejala Kardiovaskular :
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan
sirkulasi yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan
sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau miokarditis,
tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi walaupun tidak
ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan
terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat
retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia. 1
a. Edema paru
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi
akibat bendungan sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat
asimtomatik, artinya hanya terlihat secara radiologik. Gejala-
gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada
pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus.
Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang umumnya
terjadi dalam minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal.
Gambaran klinik ini menyerupai bronkopnemonia.2

14
Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-
85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul
dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik
toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura.
Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan
radiologik dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan
Lateral Dekubitus. Kanan (LDK). Kardiomegali disertai dengan
efusi pleura sering disebut nephritic lung. Kelainan ini bisa
berdiri sendiri atau bersama-sama. Kelainan radiologik paru yang
ditemukan pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari
bronkopnemonia, pnemonia, atau peradangan pleura. Perbaikan
radiologik paru pada GNAPS biasanya lebih cepat terjadi, yaitu
dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia atau
pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu. Atas
dasar inilah kelainan radiologik paru dapat membantu
menegakkan diagnosis GNAPS walaupun tidak patognomonik.
Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti paru yang
disebabkan oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air.2
7. Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise,
letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan
jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopik
yang berlangsung lama. 2

VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


1. Urin :
Pemeriksaan urin sangat penting untuk menegakkan diagnosis
nefritis akut. Volume urin sering berkurang dengan warna gelap atau
kecoklatan seperti air cucian daging. Hematuria makroskopis maupun
mikroskopis dijumpai pada hampir semua pasien. Eritrosit khas terdapat
pada 60-85% kasus, menunjukkan adanya perdarahan glomerulus. 1

15
2. Proteinuria :
Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan
++, jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus
dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria
makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2
gram/m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2
gram/m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan
dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya proteinuria
bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah gejala
klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih
terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang menunjukkan
kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang memerlukan biopsi
ginjal untuk membuktikannya.2
Proteinuria biasanya sebanding dengan derajat hematuria dan
ekskresi protein umumnya tidak melebihi 2gr/m2 luas permukaan tubuh
perhari. Sekitar 2-5% anak disertai proteinuria masif seperti gambaran
nefrotik. Umumnya LFG berkurang, disertai penurunan kapasitas ekskresi
air dan garam, menyebabkan ekspansi volume cairan ekstraselular.
Menurunnya LFG akibat tertutupnya permukaan glomerulus dengan
deposit kompleks imun.2,5 Sebagian besar anak yang dirawat dengan
GNA menunjukkan peningkatan urea nitrogen darah dan konsentrasi
serum kreatinin. 1
3. Hematuria mikroskopik :
Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu
ada, karena itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang
paling penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu
glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan
pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus GNAPS. Torak ini
menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus (glomerulitis).
Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula dijumpai pada
penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut. 2
4. Darah

16
a. Anemia
Anemia sebanding dengan derajat ekspansi volume cairan
esktraselular dan membaik bila edem menghilang. Beberapa peneliti
melaporkan adanya pemendekan masa hidup eritrosit.Kadar albumin
dan protein serum sedikit menurun karena proses dilusi dan
berbanding terbalik dengan jumlah deposit imun kompleks pada
mesangial glomerulus. 1

Anemia sering dijumpai pada gagal ginjal akut atau gagal ginjal
kronik. Hematokrit harus diukur pada semua anak. Sebanyak 90%
anak dengan glomerulonefritis akut menunjukkan peningkatan
streptozim dan penurunan komplemen C3. Kadar C3 biasanya normal
kembali dalam waktu 4-8 minggu dan streptozim dalam waktu 4-6
bulan. Komplemen serum juga menurun pada lupus eritematosus
sistemik, glomerulonefritis membranoproliferatif, nefiitis pirau, dan
glomerulonefritis karena endokarditis bakterial. C3 dapat dijadikan
petunjuk keberhasilan pengobatan pada nefitis lupus. Kadar antibodi
antinuklear meningkat pada semua pasien glomerulonefritis lupus
yang membaik dengan pengobatan yang efektif. Kadar albumin
serum harus diikuti pada anak dengan proteinuria.3

b. Biakan Darah

Bukti yang mendahului adanya infeksi streptokokus pada anak


dengan GNA harus diperhatikan termasuk riwayatnya. Pemeriksaan
bakteriologis apus tenggorok atau kulit penting untuk isolasi dan
identifikasi streptokokus. Bila biakan tidak mendukung, dilakukan uji
serologi respon imun terhadap antigen streptokokus. 1

5. Reaksi serologis
Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis
terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul

17
antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASO),
antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B). 2
a. Kenaikan Titer Antibodi
Titer ASTO merupakan reaksi serologis yang paling sering
diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ASTO jelas meningkat pada
GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan oleh streptokokus. Titer ini
meningkat 70-80% pada GNAPS. Peningkatan titer antibodi terhadap
streptolisin-O (ASTO) terjadi 10- 14 hari setelah infeksi streptokokus
dan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 hingga 5 dan mulai
menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASTO bisa normal atau tidak
meningkat akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau
pemeriksaan dini titer ASO. Kenaikan titer ASTO terdapat pada 75-
80% pasien yang tidak mendapat antibiotik. Titer ASTO pasca infeksi
streptokokus pada kulit (piodermi) jarang meningkat dan hanya terjadi
pada 50% kasus. Hal ini diduga karena adanya jaringan lemak
subkutan yang menghalangi pembentukan antibodi terhadap
streptokokus sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar
50% kasus menyebabkan titer ASTO meningkat. Di pihak lain, titer
AD Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui kulit. Titer antibodi
lain seperti antihialuronidase (Ahase) dan anti deoksiribonuklease B
(DNase B) umumnya meningkat. Pengukuran titer antibodi yang
terbaik pada keadaan ini adalah terhadap antigen DNase B yang
meningkat pada 90-95% kasus. 1,2
b. Aktivitas komplemen :
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena
turut serta berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi
infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem komplemen
dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1C globulin) yang paling sering
diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Penurunan
komplemen C3 dijumpai pada 80-90% kasus dalam 2 minggu pertama,
sedang kadar properdin menurun pada 50% kasus. 1,2

18
Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau
dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal
sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8
minggu kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini
menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada
glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus.2
Penurunan C3 sangat nyata, dengan kadar sekitar 20-40 mg/dl
(normal 80-170 mg/dl). Kadar IgG sering meningkat lebih dari 1600
mg/100 ml pada hampir 93% pasien. Pada awal penyakit kebanyakan
pasien mempunyai krioglobulin dalam sirkulasi yang mengandung IgG
atau IgG bersama-sama IgM atau C3. Hampir sepertiga pasien
menunjukkan pembendungan paru. Gambaran tersebut lebih sering
terjadi pada pasien dengan manifestasi klinis disertai edem yang berat.
Foto abdomen menunjukkan kekaburan yang diduga sebagai asites. 1
.
c. Laju endap darah :
LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah
gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat
digunakan sebagai parameter kesembuhan GNAPS, karena terdapat
kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi walaupun gejala klinik sudah
menghilang. 2
6. Biopsi ginjal
Pada GNAPS biopsi ginjal tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan
bila;
a. Gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas
(berkembang menjadi gagal ginjal atau sindrom nefrotik).
b. Tidak ada bukti infeksi streptokokus
c. Tidak terdapat penurunan kadar komplemen
d. Perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross
hematuria setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu,
proteinuria yang menetap setelah 6 bulan dan hematuria yang menetap
setelah 12 bulan. 1

19
Biopsi ginjal diperlukan untuk menegakkan diagnosis penyakit
glomerulus. Sebelum biopsi dilakukan harus dilakukan pengukuran besar
ginjal dan strukturnya untuk memastikan adanya dua buah ginjal dan
menyingkirkan kemungkinan tumor dan kelainan lain yang merupakan
indikasi kontra biopsi ginjal.3

VII. DIAGNOSIS

Kecurigaan akan adanya GNAPS dicurigai bila dijumpai gejala


klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal
ginjal akut setelah infeksi streptokokus.Tanda glomerulonefritis yang khas
pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratoris dan
rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan
diagnosis. Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis
GNAPS, tetapi pada umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai
berikut1,2
1. Gejala-gejala klinik :
a. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full
blown case dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema,
oliguria yang merupakan gejala-gejala khas GNAPS.
b. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan
laboratorium berupa ASTO (meningkat) dan C3 (menurun) dan
pemeriksaan lain berupa adanya torak eritrosit, hematuria dan
proteinuria.
c. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus
hemolitikus grup A.
Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan
sedimen urin (hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya
epidemi/kontak dengan penderita GNAPS. 2

2. Riwayat penyakit

Sebagian besar anak dengan kelainan glomerulus menunjukkan


proteinuria atau hematuria yang ditemukan pada saat pemeriksaan

20
urin, atau hipertensi yang ditemukan saat pemeriksaan fisik. Sebagian
kecil pasien menunjukkan tanda sembab sebagai gejala awal. Perlu
diperhatikan riwayat penyakit pasien dan keluarganya. Pemeriksaan
pada pasien dengan hematuria harus dilengkapi dengan pemeriksaan
untuk mencari adanya ketulian, trauma, disuria dan tanda kelainan
kemih lainnya; riwayat hematuria dalam keluarga, gangguan fungsi
ginjal, tuli tipe sensorineural (nefritis herediter); riwayat hematuria
dalam keluarga yang tanpa komplikasi (hematuria familial) dan lain
sebagainya. 3

Riwayat yang spesifik pada anak dengan proteinuria, misalnya


sembab periorbital, pratibial, skrotum atau anasarka pada sindrom
nefrotik, yang pada awalnya berupa sembab muka pada waktu bangun
tidur dan menghilang pada siang hari tetapi kemudian sembab akan
menetap bila bertambah hebat atau menjadi anasarka. Sering dikira
sebagai reaksi alergi, bertambahnya berat badan dengan cepat akibat
ekspansi cairan ekstraselular (dengan keluhan pakaian menjadi sempit
atau perut buncit) jumlah urin berkurang, anoreksia dan mudah lelah.
Jarang dikeluhkan gejala hipertensi ringan. Pada kasus yang lebih
berat terdapat anoreksia, sakit kepala, muntah, dan bahkan kejang
kadang disertai tanda penurunan fungsi ginjal seperti anoreksia, apatis,
mudah lelah, lambat tumbuh, dan anemia. 3

3. Pemeriksaan fisis

Sangat dianjurkan untuk melakukan pengukuran berat dan tinggi


badan, tekanan darah, adanya sembab atau asites. Jangan lupa
melakukan pemeriksaan kemungkinan adanya penyakit sistemik yang
berhubungan dengan kelainan ginjal, seperti artritis, ruam kulit,
gangguan kardiovaskular, paru dan sistem saraf pusat. Pemeriksaan
laboratorium Bila ditemukan proteinuria tersendiri(isolated
proteinuria), hematuria mikroskopik atau hipertensi ringan pada anak
yang tampak sehat, haruslah dilakukan evaluasi lebih lanjut. Hematuria
mikroskopik dan hipertensi ringan biasanya hanya bersifat sementara.

21
Hematuria nyata memerlukan tindak lanjut. Hematuria nyata tanpa
gejala lain biasanya berasal dari glomerulus. Bila telah diketahui
adanya kelainan yang bermakna, harus segera dilakukan pemeriksaan
selanjutnya. Urinalisis lengkap untuk mengukur proteinuria secara
kualitatif, mencari adanya torak eritrosit dan memprakirakan derajat
hematuria dan leukosituria, menentukan morfologi eritrosit; (eumorfik
yang menandakan nonglomenular origin, atau dismorfik yang
menandakan glomenular origin dengan memakai mikroskop fase
kontras). Tidak dianjurkan untuk melakukan kateterisasi guna
mengukur jumlah proteinuria pada bayi. Tampung urin 12-24 jam
untuk menghitung kadar protein dan ukuran klirens kreatinin atau
dengan memakai rumus sebagai berikut: 3

LFG = k tinggi badan (cm)____


Kreatinin serum (mg/dl)

Harga k pada : BBLR < 1 tahun = 0,33

Aterm < 1 tahun = 0,45

1 12 tahun = 0,55

Perempuan 13-21 tahun = 0,57

Laki-laki 13-21 tahun = 0,70

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala


seperti GNAPS.
1. Penyakit ginjal :
a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut

22
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena
prognosisnya sangat berbeda. Perlu dipikirkan adanya penyakit
ini bila pada anamnesis terdapat penyakit ginjal sebelumnya
dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-3 hari.
Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum
yang jelas meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis
dapat membantu diagnosis. 2
b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal,
nefritis herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati
(Maladie de Berger) dan benign recurrent haematuria.
Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi.
Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan
timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas tanpa periode
laten ataupun kalau ada berlangsung sangat singkat. 2
c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)
RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa
dibandingkan pada anak. Kelainan ini sering sulit dibedakan
dengan GNAPS terutama pada fase akut dengan adanya
oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B meninggi
pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal.
Komplemen C3 yang menurun pada GNAPS, jarang terjadi
pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya baik, sedangkan
prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya meninggal
karena gagal ginjal. 2
2. Penyakit-penyakit sistemik.
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah
purpura Henoch-Schenlein, eritematosus dan endokarditis
bakterial subakut. Ketiga penyakit ini dapat menunjukkan gejala-
gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria, proteinuria dan
kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok negatif
dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri

23
abdomen dan artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala
demikian. Pada SLE terdapat kelainan kulit dan sel LE positif
pada pemeriksaan darah, yang tidak ada pada GNAPS, sedangkan
pada SBE tidak terdapat edema, hipertensi atau oliguria. Biopsi
ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang
kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit
tersebut umumnya bersifat fokal. 2
3. Penyakit-penyakit infeksi :
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus
tertentu selain oleh Group A -hemolytic streptococci. Beberapa
kepustakaan melaporkan gejala GNA yang timbul sesudah infeksi
virus morbili, parotitis, varicella, dan virus ECHO. Diagnosis
banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit
dasarnya. 2

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering dijumpai adalah :


1. Ensefalopati hipertensi (EH).
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak
> 6 tahun dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat
diatasi dengan memberikan nifedipin (0,25 0,5 mg/kgbb/dosis)
secara oral atau sublingual pada anak dengan kesadaran menurun. Bila
tekanan darah belum turun dapat diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali.
Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila
tekanan darah telah turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan
kaptopril (0,3 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal. 2
Pengobatan konservatif :
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan
memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari
b. Mengatur elektrolit :
- Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
- Bila terjadi hipokalemia diberikan :

24
Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari
Insulin 0,1 unit/kg dan 0,5 1 g glukosa 0,5 g/kgbb. 2

2. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring,
sehingga sering disangka sebagai bronkopneumoni. 2
3. Posterior leukoencephalopathy syndrome
Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan
ensefalopati hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama
seperti sakit kepala, kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah
masih normal. 2

X. TATALAKSANA

Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik.Perawatan


dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai berat
( klirens kreatinin < 60 ml/1 menit/1,73 m2), BUN > 50 mg, anak dengan
tanda dan gejala uremia, muntah, letargi, hipertensi ensefalopati, anuria
atau oliguria menetap. 1

1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang
biasanya timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS.
Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi
tidak diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan
tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan prolonged bed
rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria
mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan
sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi. Bila

25
masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan
pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. 2
2. Diet
Pembatasan bahan makanan tergantung beratnya edem, gagal
ginjal, dan hipertensi. Bila edema berat, diberikan makanan tanpa
garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi
sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu
sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Protein tidak perlu dibatasi bila kadar urea
N kurang dari 75 mg/dL atau 100 mg/dL. Bila terjadi azotemia asupan
protein dibatasi 0,5 g/kgBB/hari.Asupan cairan harus diperhitungkan
dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah
cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan
cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/hari) +
jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10
ml/kgbb/hari). 1,2
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih
sering dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila
biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus,
sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan
negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif
dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk
rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu).
Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi
kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10
hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi
eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari. Pemakaian antibiotik tidak
mempengaruhi perjalanan penyakit. Namun, pasien dengan biakan
positif harus diberikan antibiotik untuk eradikasi organisme dan
mencegah penyebaran ke individu lain. Diberikan antimikroba berupa
injeksi benzathine penisilin 50.000 U/kg BB IM atau eritromisin oral 40
mg/kgBB/hari selama 10 hari bila pasien alergi penisilin. 1,2

26
4. Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah
pembatasan cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai dengan
keluaran. Bila terjadi edema berat atau tanda-tanda edema paru akut,
harus diberi diuretik, misalnya furosemid. Bila tidak berhasil, maka
dilakukan dialisis peritoneal. Pada edem berat dan bendungan
sirkulasi dapat diberikan NaCl 300 mg/hari sedangkan bila edem
minimal dan hipertensi ringan diberikan 1-2 g/m2/ hari. 1,2
b. Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada
hipertensi ringan (tekanan darah sistolik 130 mmHg dan diastolik 90
mmHg) umumnya diobservasi tanpa diberi terapi. Dengan istirahat
cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa kembali
normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang (tekanan
darah sistolik > 140 150 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) atau
berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2
mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-
obat tersebut diatas, pada keadaan asupan oral. Cukup baik dapat juga
diberi nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari
yang dapat diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. 1,2
Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral
(ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb)
yang dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/kgbb/hari
secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat digabung dengan
furosemid (1 3 mg/kgbb). Dapat juga diberikan hidralazin 0,15-0,30
mg/kbBB intravena, dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpin 0,03-
0,10 mg/kgBB (1 3 mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 1-8
m/kgBB/menit. 1,2
Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120
mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat bersama
furosemid 2 mg/kgBB iv. Plihan lain, klonidin drip 0,002

27
mg/kgBB/kali, diulang setiap 4-6 jam atau diberi nifedipin sublingual
0,25-0,5 mg/kgBb dan dapat diulang setiap 6 jam bila diperlukan.
Dalam prakteknya lebih baik merawat inap pasien hipertensi 1-2 hari
daripada memberi anti hipertensi yang lama. 1
Retensi cairan ditangani dengan pembatasan cairan dan
natrium. Asupan cairan sebanding dengan invensible water loss (400-
500 ml/m2 luas permukaan tubuh/hari ) ditambah setengah atau
kurang dari urin yang keluar. Bila berat badan tidak berkurang diberi
diuretik seperti furosemid 2mg/ kgBB, 1-2 kali/hari. 1
c. Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan,
pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi
asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat
hiperkalemia diberi Ca glukonas atau Kayexalate untuk mengikat
kalium. Bila disertai oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi.
Anuria dan oliguria yang menetap, terjadi pada 5-10 % anak.
Penanganannya sama dengan GGA dengan berbagai penyebab dan
jarang menimbulkan kematian. 1,2

XI. PEMANTAUAN

Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase


akut yang berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua
gejala-gejala seperti edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai
menghilang, sebaliknya gejala-gejala laboratorium menghilang dalam
waktu 1-12 bulan. Kadar C3 yang menurun (hipokomplemenemia)
menjadi normal kembali sesudah 2 bulan. Proteinuria dan hematuria dapat
menetap selama 6 bulan1 tahun. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan
biopsi ginjal untuk melacak adanya proses penyakit ginjal kronik.
Proteinuria dapat menetap hingga 6 bulan, sedangkan hematuria
mikroskopik dapat menetap hingga 1 tahun. 2
Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau
proteinuria yang berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah

28
dipulangkan dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat hematuria mikroskopik dan
atau proteinuria, pengamatan diteruskan hingga 1 tahun atau sampai
kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satu
atau kedua kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsy. 2

Rujukan Kepada Konsultan Ginjal Anak


Meskipun GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting
disease, masih terdapat kasus-kasus yang perjalanan penyakitnya tidak
khas sebagai GNAPS, sehingga memerlukan rujukan kepada Konsultan
Ginjal Anak untuk tindakan khusus (antara lain biopsi ginjal).
Indikasi rujukan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Gejala-gejala tidak khas untuk GNAPS :
- Periode laten pendek
- Adanya penyakit ginjal dalam keluarga
- Pernah mendapat penyakit ginjal sebelumnya
- Usia di bawah 2 tahun atau di atas 12 tahun
2. Adanya kelainan-kelainan laboratorik yang tidak khas untuk GNAPS :
- Hematuria makroskopik > 3 bulan
- Hematuria mikroskopik > 12 bulan
- Proteinuria > 6 bulan
- Kadar komplemen C3 tetap rendah > 3 bulan
- Laju Filtrasi Glomerulus < 50% menetap > 4 bulan
- Kadar komplemen C4 rendah, ANCA (+), ANA (+), anti ds DNA
(+) atau anti GBM (+).2

XII. PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS

Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila
tidak ada komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting
disease. Walaupun sangat jarang, GNAPS dapat kambuh kembali. Pada
umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang

29
berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala
laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu
1-12 bulan. Setelah itu anak akan merasa lebih baik, diuresis lancar, edem
dan hipertensi hilang, LFG kembali normal. 1,2
Penyakit ini dapat sembuh sendiri, jarang berkembang menjadi kronik
Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada
orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara
klinik maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-
kira 15-30% kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada anak 5-
10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis
GNAPS baik, kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat
gangguan ginjal akut (Acute kidney injury), edema paru akut atau
ensefalopati hipertensi. Pasien sebaiknya kontrol tiap 4-6 minggu dalam 6
bulan pertama setelah awitan nefritis. Pengukuran tekanan darah,
pemeriksaan eritrosit dan protein urin selama 1 tahun lebih bermanfaat
untuk menilai perbaikan. 1,2
Kadar C3 akan kembali normal pada 95% pasien setelah 8-12
minggu, edem membaik dalam 5-10 hari, tekanan darah kembali normal
setelah 2-3 minggu, walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu. Gross
hematuria biasanya menghilang dalam 1-3 minggu, hematuria
mikroskopik menghilang setelah 6 bulan, namun dapat bertahan sampai 1
tahun. Proteinuria menghilang 2-3 bulan pertama atau setelah 6 bulan. 1
Ketidaknormalan meliputi hematuria atau proteinuria mikroskopik
sendiri-sendiri atau bersama-sama. Dari spesimen biopsi ginjal tidak
satupun yang menunjukkan karakteristik glomerulonefritis kronik. Hanya
sedikit urin dan tekanan darah yang abnormal berhubungan dengan
kronisitas GNAPS.Kemungkinan nefritis kronik harus dipertimbangkan
bila dijumpai hematuria bersama-sama proteinuria yang bertahan setelah
12 bulan. 1
Prognosis
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis
GNAPS antara lain umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur

30
streptokukus tertentu, pola serangan sporadik atau epidemik, tingkat
penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis glomerulus. Anak kecil
mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar atau
orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi
nekrotik glomerulus. 1
Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal
menunjukkan prognosis yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal
berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10 %; sekitar
0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif
dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal.
Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %. Melihat GNAPS
masih sering dijumpai pada anak, maka penyakit ini harus dicegah karena
berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa
perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, mengontrol dan
mengobati infeksi kulit. Pencegahan GNAPS berkontribusi menurunkan
insiden penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian hari. 1

XIII. PENCEGAHAN

Cara utama untuk mencegah GNAPS yaitu dengan mencegah


infeksi streptokokus grup A baik dari infeksi tenggorokan, scarlet fever
maupun impetigo. Setelah terinfeksi streptokokus grup A, bukan berarti
penderita telah kebal terhadap infeksi itu, selain itu, untuk saat ini belum
ada vaksin yang dapat mencegah infeksi streptokokus grup A. Hal yang
dapat dilakukan untuk mencegah penularan antara lain; 5

1. Menjaga kebersihan
a. Mencuci tangan setelah batuk atau bersin dan saat akan
menyiapkan makanan.
b. Menerapkan etika batuk atau bersin yang benar.
c. Mencuci tangan dengan sabun paling tidak 20 detik, atau
menggunakan bahan dasar alkohol.
d. Mencuci peralatan makan yang telah dipakai oleh penderita.

31
2. Antibiotik

Penderita yang terinfeksi dengan streptococcus grup A biasanya tidak


menularkan lagi apabila telah diberi antibiotik dalam 24 jam atau lebih.
Sebaiknya, penderita tidak melakukan kontak dengan orang lain
setidaknya dalam 24 jam setelah pemberian antibiotik. 5

XIV. KESIMPULAN
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus ditandai oleh
adanya kelainan klinis akibat proliferasi dan inflamasi glomerulus yang
berhubungan dengan infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A tipe
nefritogenik. Adanya periode laten antara infeksi dan kelainan-kelainan
glomerulus menunjukkan proses imunologis memegang peran penting
dalam mekanisme terjadinya penyakit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisis, bakteriologis, serologis,
imunologis, dan histopatologis. Pengobatan hanya bersifat suportif dan
simtomatik. Prognosis umumnya baik, dapat sembuh sempurna pada lebih
dari 90% kasus. Observasi jangka panjang diperlukan untuk membuktikan
kemungkinan penyakit menjadi kronik.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbanbatu, SM. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak.


Sari Pediatri. 2003. Vol. 5, No. 2, September 2003
2. Rauf S, Albar H, Aras, J. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2012.
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Balai
Penerbit FKUI Jakarta. 2002.
4. Rodriguez-Iturbe B, Haas M. Post-Streptococcal Glomerulonephritis. 2016
Feb 10. In: Ferretti JJ, Stevens DL, Fischetti VA, editors. Streptococcus
pyogenes : Basic Biology to Clinical Manifestations. Oklahoma City
(OK): University of Oklahoma Health Sciences Center; 2016.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Post-streptococcal
Glomerulonephritis.https://www.cdc.gov/groupastrep/diseases-
public/post-streptococcal.html. Diakses 29 Maret 2017.
6. Ponticelli, Claudio. Glassock, R J, Treatment of Primary
Glomerulonephritis. 2nd Edition. Oxford University Press Inc New York.
2009.

33

Anda mungkin juga menyukai