Pergeseran Tradisi Mitoni
Pergeseran Tradisi Mitoni
Pergeseran Tradisi Mitoni
1, Februari 2017
Muhamad Mustaqim
STAIN KUDUS
[email protected]
Abstract
This study aimed to assess the existing tradition in the hamlet mitoni
Kedungbanteng, Karanganyar, Demak. The patterned anthropological
study, a method of participatory observation, in which researchers
directly involved in the ritual selametan mitoni. The results showed
that some rituals are performed already shifting, both of meaning and
ritual quality. Quantitatively, there are some supplies (uba rampe),
which began to disappear. In addition, many women (young people) who
do not really understand the meaning of the symbols and rituals and
supplies used.
Keywords: Mitoni Tradition, Ritual, Religious Values.
Abstrak
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji tradisi mitoni yang ada di
dukuh Kedungbanteng, Kecamatan Karanganyar, Demak. Penelitian
119
Muhamad Mustaqim
A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk budaya. Ia ada dan mengada
bersama dengan ruang dan waktu yang mengitarinya. Jika budaya
dimaknai sebagai produk rasa, cipta dan karsa manusia, maka
selama manusia masih hidup ia akan senantiasa berbudaya.
Sejarah perkembangan manusia, selalu diwarnai dengan produk
kebudayaan yang dihasilkannya. Karena manusia terpisah ruang
dan waktu, maka produk budaya antara komunitas masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lain itu berbeda.
Ketika antara komunitas masyarakat yang satu dengan
yang lain saling bersinggungan, maka akan terjadi pencampuran
budaya. Secara netral, pencampuran budaya ini disebut dengan
akulturasi. Akulturasi merupakan pengambilan atau penerimaan
satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan
dua atau beberapa unsur kebudayaan yang saling berhubungan
atau saling bertemu.
Dalam pengertian yang lebih rinci, akulturasi merupakan
proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu
kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri. Akulturasi juga bisa dipahami sebagai
proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan satu
kebudayaan dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing,
sehingga dapat diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri
tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan asli.1
Dalam masyarakat Jawa, persinggungan antara agama
pendatang dan tradisi pribumi mengalami akulturasi yang
cukup banyak jumlahnya. Sebagain masyarakat bahkan masih
menggunakan akulturasi budaya ini dalam kehidupannya.
Meskipun telah terjadi budaya baru sebagai interaksi dengan
perkembangan waktu yang melingkupinya. Banyak tradisi jawa
yang merupakan akulturasi budaya antara agama Islam dan
agama pribumi, baik Hindu-Budha maupun agama-kepercayaan
asli masyarakat.
Perlu dipahami, bahwa sebelum agama Hindu masuk ke
tanah Jawa, penduduk lokal sudah menganut kepercayaan yaitu
agama Kejawen. Kepercayaan ini dipengaruhi oleh kekuatan
alam, benda-benda yang dianggap magis, roh leluhur, mahluk
halus pengganggu (lelembut) dan mahluk halus yang mempunyai
kedudukan tertinggi yaitu danyang. Selain itu juga banyak ritual-
ritual sakral yang dilakukan sebagai persembahan sekaligus
meminta perlindungan agar dijauhkan dari mara bahaya dan
bencana. Dengan adanya kepercayaan yang terus berlangsung
maka terbentuklah suatu kebudayaan serta mendorong munculnya
hukum adat.2
Salah satu hasil akulturasi budaya ini yang masih sering kita
jumpai di masyarakat adalah tradisi selametan. Selametan saat ini
tampak jelas ada percampuran antara tradisi Islam dengan tradisi
agama sebelumnya, katakanlah Hindu. Beberapa istilah dalam
selametan ini, misalnya peringatan kematian, mulai dari telung dina
(tiga hari kematian), mitung dina (tuhuh hari kematian) matang puluh,
1
Abdurrahmat Fathoni, Antropologi sosial budaya suatu pengantar (J -
karta: Rineka Cipta), 2006, hlm. 30.
2
Suwardi Endaswara, Buku Pinter Budaya Jawa Mutiara Adiluhung Orang
Jawa (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2005), hlm,84.
3
Umi Machmudah, Budaya Mitoni (Analisis Nilai- Nilai Islam Dalam
Membangun Semangat Ekonomi), El-HARAKAH, v. 18, no. 2 (22 Desember
2016), hlm. 18598, doi:10.18860/el.v18i2.3682.
4
Eko Setiawan, Nilai Religius Tradisi Mitoni Dalam Perspektif Budaya
Bangsa Secara Islami, Al-Adalah 18, no. 1 (23 Maret 2016), http://ejournal.iain-
jember.ac.id/index.php/aladalah/article/view/276.
B. Pembahasan
simbolik, yaitu Sang Hyang Wisnu dan Dewi Sri atau Arjuna
dan Sumbadra. Artinya, anak yang akan dilahirkan kelak
diharapkan memiliki paras yang tampan atau cantik, setampan
Arjuna bila bayi terlahir laki laki, dan secantik Subadra jika ia
berjenis perempuan.
2. Filosofi Tradisi Mitoni
7
Kangjeng Pangeran Harya Tjakraningrat, Kitab primbon betaljemur ada -
makna / Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat, Serie Adamakna (Yogyakarta: Soe-
modidjojo Mahadewa, 1994), hlm. 38.
8
Mohammad Anshori dan Muhamad Mustaqim, PERAN JAMIYYAH
IJTIMAIYYAH DALAM PEMBENTUKAN TRADISI, Jurnal Penelitian 8, no.
1 (2014), hlm 179200.
9
Nanik Herawati, Mutiara Adat Jawa (Klaten: Intan Parawira, 2010),
hlm. 43.
C. Simpulan
Dari membandingkan antara konsep ideal tradisi mitoni
yang diperoleh dari literatur, buku dan teori, maka kita bisa
mengambil pemahaman bahwa ada pergeseran makna dalam
ritual mitoni, khususnya di Dukuh Kedungbanteng. Pertama,
beberapa ritual yang dilakukan di dukuh Kedungbanteng ini sudah
mengalami pergeseran, baik dari makna maupun kualitas ritual.
Misalnya tradisi siraman tidak lagi serumit dengan mendatangkan
tujuh pihak yang berbeda, namun cukup dilakukan oleh satu
orang saja.
Daftar Pustaka