Kursus Rapid Typing

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

Diceritakan Kembali oleh: Samsuni

Gunung Kelud merupakan sebuah gunung api yang terletak di Kecamatan Ngancar, Kabupaten
Kediri, Jawa Timur, Indonesia. Meskipun telah puluhan kali meletus dan memakan relatif banyak
korban jiwa sejak abad ke-15 sampai abad ke-20, gunung api ini menjadi salah satu obyek wisata
menarik di daerah itu karena keindahan panorama alamnya. Gunung yang memiliki ketinggian
1.730 meter di atas permukaan laut ini semakin menarik minat para pengunjung karena setiap
tanggal 23 Suro (penanggalan Jawa) masyarakat setempat menggelar acara arung sesaji.
Pagelaran acara tersebut merupakan simbol Condro Sengkolo atau sebagai penolak bala dari
bencana akibat pengkhianatan cinta yang dilakukan oleh putri Kerajaan Majapahit terhadap
seorang pemuda bernama Lembu Sura. Bagaimana penghianatan cinta itu terjadi? Ikuti kisahnya
dalam cerita Legenda Gunung Kelud berikut ini!

***

Alkisah, di daerah Jawa Timur, ada seorang raja bernama Raja Brawijaya yang bertahta di Kerajaan
Majapahit. Ia mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Dyah Ayu Pusparani. Sang
Putri memiliki keindahan tubuh yang sangat memesona, kulitnya lembut bagai sutra, dan
wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama. Sudah banyak pengeran datang melamar,
namun Prabu Brawijaya belum menerima satu pun lamaran agar tidak terjadi kecemburuan di
antara pelamar yang lain. Di sisi lain, penguasa Majapahit itu juga tidak ingin menolak secara
langsung karena takut mereka akan menyerang kerajaannya.

Setelah berpikir keras, Prabu Brawijaya menemukan sebuah cara, yaitu ia akan mengadakan
sayembara bahwa barang siapa yang berhasil merentang busur sakti Kyai Garudayeksa dan
mengangkat gong Kyai Sekardelima maka dialah yang berhak mempersunting putrinya. Ia
memerintahkan para pengawalnya untuk menyampaikan pengumuman tersebut kepada seluruh
rakyatnya, termasuk kepada para raja dan pangeran dari kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Pada saat yang telah ditentukan, para peserta dari berbagai negeri telah berkumpul di alun-alun
(lapangan, halaman) istana Kerajaan. Prabu Brawijaya pun tampak duduk di atas singgasananya
dan didampingi oleh permaisuri dan putrinya. Setelah busur Kyai Garudyeksa dan gong Kyai
Sekadelima disiapkan, Prabu Brawijaya segera memukul gong pertanda acara dimulai. Satu
persatu peserta sayembara mengeluarkan seluruh kesaktiannya untuk merentang busur dan
mengangkat gong tersebut, namun tak seorang pun yang berhasil. Bahkan, tidak sedikit dari
mereka yang mendapat musibah. Ada yang patah tangannya karena memaksakan diri
merentang busur sakti itu, dan ada pula yang patah pinggangnya ketika mengangkat gong besar
dan berat itu.

Ketika Prabu Brawijaya akang memukul gong untuk menutup sayembara itu, tiba-tiba datanglah
seorang pemuda berkepala lembu hendak mengandu keberuntungan.

Ampun, Gusti Prabu! Apakah hamba diperkenankan mengikuti sayembara ini? pinta pemuda itu.

Hai, pemuda aneh! Siapa namamu? tanya Prabu Brawijaya.

Nama saya Lembu Sura, jawab pemuda itu.

Prabu Brawijaya beranggapan bahwa pemuda itu tidak akan mampu merentang busur sakti dan
mengangkat gong besar itu. Ia pun mengizinkannya mengikuti sayembara itu sebagai peserta
terakhir.

Baiklah! Kamu boleh mengikuti sayembara ini, ujar Prabu Brawijaya.

Lembu Sura pun menyanggupi persyaratan itu. Dengan kesaktiannya, ia segera merentang busur
Kyai Garudayaksa dengan mudah. Keberhasilan Lembu Sura itu diiringi oleh tepuk tangan para
penonton yang sangat meriah. Sementara itu, Putri Dyah Ayu Pusparani terlihat cemas, karena
ia tidak ingin bersuamikan manusia berkepala lembu.

Ketika Lembu Sura menghampiri gong Sekardelima, semua yang hadir tampak tegang, terutama
sang Putri. Ia sangat berharap agar Lembu Sura gagal melewat ujian kedua itu. Tanpa diduganya,
pemuda berkepala lembu itu ternyata mampu mengangkat gong Sekardelima dengan mudah.
Tepuk tangan penonton pun kembali bergema, sedangkan Putri Dyah Ayu Purpasari hanya
terdiam. Hatinya sangat sedih dan dan kecewa.
Aku tidak mau bersuami orang yang berkepala lembu, seru sang Putri seraya berlari masuk ke
dalam istana.

Mendengar ucapan putrinya itu, Prabu Brawijaya langsung terkulai karena telah mengecewakan
putrinya. Namun sebagai seorang raja, ia harus menepati janjinya untuk menjaga martabatnya.
Dengan demikian, Putri Dyah Ayu Pusparani harus menerima Lembu Sura sebagai suaminya.

`Hadirin sekalian! Sesuai dengan janjiku, maka Lembu Sura yang telah memenangkan sayembara ini
akan kunikahkan dengan putriku! seru Prabu Brawijaya.

Seluruh pesarta sayembara pun berlomba-lomba memberikan ucapan selamat kepada Lembu Sura.
Sementara itu, di dalam istana, Putri Dyah Ayu Pusparani menangis tersedu-sedu meratapi
nasibnya. Berhari-hari ia mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak mau makan dan minum.
Melihat tuannya sedang sedih, seorang Inang pengasuh berusaha membujuk dan
menasehatinya.

Ampun, Tuan Putri! Jika Tuan Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura, sebaiknya Tuan Putri
segera mencari jalan keluar sebelum hari pernikahan itu tiba, ujar Inang pengasuh.

Mendengar nasehat itu, sang Putri langsung terperanjat dari tempat tidurnya.

Benar juga katamu, Mak Inang! Kita harus mencari akal agar pernikahanku dengan orang yang
berkepala lembu itu dibatalkan. Tapi, apa yang harus kita lakukan? Apakah Mak Inang
mempunyai usul? tanya sang Putri bingung.

Inang pengasuh hanya terdiam. Sejenak, suasana menjadi hening. Setelah berpikir keras, akhirnya
Inang pengasuh menemukan sebuah jalan keluar.

Ampun, Tuan Putri! Bagaimana kalau Tuan Putri meminta satu syarat yang lebih berat lagi kepada
Lembu Sura? usul Inang pengasuh.
Apakah syarat itu, Mak Inang? tanya sang Putri penasaran.

Mintalah kepada Lembu Sura agar Tuan Putri dibuatkan sebuah sumur di puncak Gunung Kelud
untuk tempat mandi kalian berdua setelah acara pernikahan selesai. Tapi, sumur itu harus
selesai dalam waktu semalam, usul Mak Inang.

Putri Dyah Ayu Pusparani pun menerima usulan Inang pengasuh dan segera menyampaikannya
kepada Lembu Sura. Tanpa berpikir panjang, Lembu Sura menyanggupi persyaratan itu. Pada
sore harinya, berangkatlah ia ke Gunung Kelud bersama keluarga istana, termasuk sang Putri.

Setibanya di Gunung Kelud, Lembu Sura mulai menggali tanah dengan menggunakan sepasang
tanduknya. Dalam waktu tidak berapa lama, ia telah menggali tanah cukup dalam. Ketika malam
semakin larut, galian sumur itu semakin dalam. Lembu Sura sudah tidak tampak lagi dari bibir
sumur. Melihat hal itu, Putri Dyah Ayu Pusparani semakin panik. Ia pun mendesak ayahandanya
agar menggagalkan usaha Lembu Sura membuat sumur.

Ayah! Apa yang harus kita lakukan? Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura, keluh sang Putri
dengan bingung.

Prabu Brawijaya pun tidak ingin mengecewakan putri kesayangannya untuk yang kedua kalinya.
Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan sebuah cara untuk menghabisi nyawa Lembu
Sura.

Pengawal! Timbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan besar! seru Prabu Brawijaya.

Tak seorang pun pengawal yang berani membantah. Mereka segera melaksanakan perintah rajanya.
Lembu Sura yang berada di dalam sumur berteriak-teriak meminta tolong.

Tolooong...! Tolooong...! Jangan timbun aku dalam sumur ini! demikian teriakan Lemu Sura.

Para pengawal tidak menghiraukan teriakan Lembu Suara. Mereka terus menimbun sumur itu
dengan tanah dan bebatuan. Dalam waktu sekejap, Lembu Sura sudah terkubur di dalam sumur.
Meski demikian, suaranya masih terdengar dari dalam sumur. Lembu Sura melontarkan sumpah
kepada Prabu Brawijaya dan seluruh rakyat Kediri karena sakit hati.

Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar
dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung".

(Wahai orang-orang Kediri, suatu saat akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal
jadi sungai, Blitar akan jadi daratan, dan Tulungagung menjadi daerah perairan dalam).

Dalam sumpahnya, Lembu Sura berjanji bahwa setiap dua windu[1] sekali dia akan merusak seluruh
wilayah kerajaan Prabu Brawijaya. Mendengar ancaman itu, Prabu Brawijaya dan seluruh
rakyatnya menjadi ketakutan. Berbagai usaha pun dilakukan untuk menangkal sumpah Lembu
Sura tersebut. Ia memerintahkan para pengawalnya agar membangun sebuah tanggul
pengaman yang kokoh (kini telah berubah menjadi gunung bernama Gunung Pegat) dan
menyelenggarakan selamatan yang disebut dengan larung sesaji. Meski demikian, sumpah
Lembu Sura tetap juga terjadi. Setiap kali Gunung Kelud meletus, masyarakat setempat
menganggap hal itu merupakan amukan Lembu Sura sebagai pembalasan dendam atas tindakan
Prabu Brawijaya dan Putrinya.

***

Demikian kisah Legenda Gunung Kelud dari daerah Kediri, Jawa Timur. Hingga saat ini, masyarakat
Kediri, khususnya masyarakat Desa Sugih Waras, secara rutin (yaitu setiap tanggal 23 Syura)
menyelenggarakan acara selamatan larung sesaji di sekitar kawah Gunung Kelud. Setidaknya ada
dua pelajaran yang dapat dipetik dari carita di atas yaitu pertama bahwa hendaknya kita jangan
suka meremehkan kemampuan seseorang dengan hanya melihat bentuk fisiknya karena siapa
mengira di balik semua itu tersimpan kekuatan yang luar biasa.

Pelajaran kedua yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang suka mengingkari
janji seperti Putri Dyah Ayu Pusparani dan Prabu Brawijaya dapat mendatangkan bencana
kepada dirinya sendiri maupun orang lain. Meletusnya Gunung Kelud yang mengakibatkan
jatuhnya banyak korban jiwa merupakan akibat dari ulah Prabu Brawijaya dan putrinya yang
tidak menepati janjinya kepada Lembu Sura. Sifat suka mengingkari janji ini merupakan sifat
tidak terpuji yang harus dijauhi, karena termasuk sifat orang-orang munafik.
(Samsuni/sas/174/11-09)

Anda mungkin juga menyukai