Bab I
Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1 U. Maman, Kh, et.al (editor), Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik. (Jakarta:
Rajawal Press, 2006), h. 5.
2 Lihat Fazlurrahman, Islam and Modernity: Transformation of An Intelectual Tradition
Dimensi ilmu-ilmu keislaman jika dilihat berdasarkan klasifikasi beberapa
pihak juga menunjukkan terjadinya problem serius dalam pengklasifikasiannya.
Harun Nasution misalnya, membagi ilmu-ilmu keislaman pada beberapa kelompok,
yaitu: 3
Pertama, kelompok dasar, yang terdiri dari tafsir, hadis, akidah/ilmu kalam
(teologi), filsafat Islam, tasawuf, tarekat, perbandingan agama, serta perkembangan
modern dalam ilmu-ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, dan filsafat. Kedua, kelompok
cabang, teridiri dari: ajaran yang mengatur masyarakat: ushul fikih, fikih muamalah,
fikih ibadah, peradilan dan perkembangan modern; Peradaban Islam: sejarah Islam,
sejarah pemikiran Islam, sains Islam, budaya Islam, dan studi kewilayahan Islam.
Ketiga, bahasa dan sastra Islam. Keempat, pelajaran Islam kepada anak didik,
mencakup: ilmu pendidiikan Islam, falsafah pendidikan Islam, sejarah pendidikan
Islam, lembaga pendidikan Islam, dan perkembangan modern dalam pendidikan
Islam. Kelima, penyiaran Islam, mencakup: sejarah dakwah, metode dakwah, dan
sebagainya.
Problem menarik yang dapat diamati berdasarkan klasifikasi ilmu keislaman
yang dirumuskan Harun Nasution adalah pengklasifikasian yang sedikit berbeda
dengan klasifikasi ilmu-ilmu keislaman berdasarkan Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia Tahun 1985. Sebagaimana dikutip Abuddin Nata, beberapa
bidang yang termasuk disiplin ilmu keislaman adalah: al-Qurân/Tafsir, Hadis/Ilmu
Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam (Fikih), Sejarah dan
Kebudayaan Islam, serta Pendidikan Islam.4 Merujuk peraturan ini, tampak bahwa
bidang penyiaran Islam yang mencakup sejarah dakwah, metode dakwah, dan
sebagainya, tidak termasuk ke dalam bagian dari disiplin ilmu-ilmu keislaman
sebagaimana tertuang pada peraturan dimaksud.
7 Abdullah dalam bukunya menuliskan: “Secara jujur harus diakui bahwa kajian dakwah
sebagai suatu disiplin ilmu hingga saat ini belum banyak dibicarakan, terutama menyangkut apa yang
dikaji (ontology)?, bagaimana cara memperolehnya (epistemology)? dan untuk apa ilmu itu
dipergunakan (aksiologi)?. Hal ini sungguh dapat dipahami karena latar belakang
berdirinya Fakultas Dakwah pada awalnya lebih mempertimbangkan aspek
praktisnya. Karena pada waktu itu―tahun 60-an―umat Islam sangat
membutuhkan tenaga dai yang memiliki kualifikasi akademik, agar kegiatan dakwah
Islam mampu mengantisipasi berbagai problem umat Islam di Indonesia. Kemudian baru muncul
pemikiran, ketika para sarjana dakwah mempertanyakan spesifikasi keahlian dan bidang pembangunan
yang mana harus diisi oleh sarjana dakwah. Maka timbullah rumusan atau batasan istilah tentang ilmu
dakwah”. Lihat Abdullah, Wawasan Dakwah: Kajian Epistemologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah,
(Medan: IAIN Perss, 2001), h. 16.
8 Pada dasarnya, buku yang ditulis Toha Jahja Omar ini belum secara tegas merumuskan
kriteria ilmu dakwah dengan struktur Filsafat Ilmu. Akan tetapi, ada lebih dari lima belas halaman
pada bagian buku tersebut mengulas dakwah secara ontologis, dengan pembahasan epistemologis yang
kurang mendalam. Lihat Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah. (Jakarta: Wijaya, 1967).
Pendahuluan 5
Kedua, Moh. Ali Aziz (2004), Ilmu Dakwah, diterbitkan oleh Prenada Media Jakarta;
ketiga, Ahmad Anas (2006), Paradigma Dakwah Kontemporer: Aplikasi Teoretis
dan Praktis sebagai Solusi Problematika Kekinian, diterbitkan oleh Rizki Putera
Semarang; dan, keempat, Syamsul Munir Amin (2008), Rekonstruksi Pemikiran
Dakwah Islam, diterbitkan oleh penerbit Amzah Jakarta.
Selain buku-buku yang disebutkan sebelumnya, salah satu penelitian ilmiah
yang dilakukan oleh Hasan Sazali (2002) berjudul Epistemologi Dakwah: Analisa
Landasan Keilmuan Dakwah, sebagai tesis di Program Pascasarjana IAIN Sumatera
Utara, agaknya semakin mempertegas eksistensi dakwah sebagai sebuah disiplin ilmu
mandiri. Selain landasan keilmuan yang dikonstruknya melalui penelitian tersebut,
beberapa indikator lain yang menunjukkan bahwa dakwah telah masuk sebagai
sebuah disiplin ilmu dalam ilmu-ilmu keislaman ditandai dengan Seminar
Epistemologi pada tahun 1977, dan Konsorsium Ilmu Dakwah pada tahun 1982.9
Belum selesai ilmu dakwah diperdebatkan dalam kontelasi ilmu pengetahuan,
dalam waktu-waktu berukutnya kembali muncul disiplin baru yang disebut
“Komunikasi Islam”, yang secara khusus dikaji pada program studi Komunikasi
Islam Pascasarnaja IAIN. Dilihat dari aspek hirarkinya, program studi ini dapat
dikatakan sebagai program yang memiliki hubungan langsaung dengan Fakultas
Dakwah IAIN, setidaknya dilihat dari aspek akademis. Sungguhpun pada jenjang S.1,
Komunikasi Islam tidak dipelajari sebagai mata kuliah tersendiri pada program studi
Komunikasi Penyiaran Islam Fakutas Dakwah, namun pada jenjang Pascasarjana
program studi Komunikasi Islam, tema ini menjadi mata kuliah komponen jurusan.
Asumsi ini sekaligus menunjukkan bahwa, membincang komunikasi Islam sebagai
sebuah bangunan ilmu pengetahuan secara historis tidak dapat dilepaskan dengan
pembicaraan mengenai sistem keilmuan dakwah, sebab keduanya memiliki kaitan
yang cukup erat.
Adanya benang merah antara ilmu dakwah dan komunikasi Islam dalam
9 Lihat Hasan Sazali, “Epistemologi Dakwah: Analisa Landasan Keilmuan Dakwah”. Tesis,
tidak diterbitkan. (Medan: PPS IAIN Sumut, 2002), h. 2-3.
konteks sejarah kelahirannya belakangan memunculkan pandangan sebagian
kalangan terhadap adannya kesamaan antara ilmu dakwah dengan komunikasi Islam.
Bahkan lebih tajam dari pandangan tersebut, ilmu dakwah tidak saja memiliki
kesamaan dengan komunikasi Islam, akan tetapi komunikasi Islam merupakan ilmu
dakwah itu sendiri. Pandangan ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya karena
dalam faktanya, berbagai hasil kajian pada ruang lingkup komunikasi Islam yang ada
selama ini seringkali menunjukkan wujudnya sebagai dakwah. Akan tetapi, menurut
asumsi penulis, keduanya harus dibedakan dan memang pada kenyataannya berbeda.
Secara sederhana perbedaan tersebut dapat dilihat dari wilayah kajiannya masing-
masing, meski kerap mengerucut pada kesimpulan yang relatif sama, ilmu dakwah
dan komunikasi Islam tidak pernah dikonsepsikan sebagai kajian yang sama.
Pandangan yang penulis bangun di atas menjadi asumsi awal perlunya
dilakukan pengkajian ulang terhadap komunikasi Islam. Aspek yang cukup efektif
disoroti dalam kajian yang penulis maksudkan adalah aspek epistemologinya, karena
dengan begitu akan ditemukan kejelasan tentang cara-cara ilmiah yang dipergunakan
oleh kajian komunikasi Islam yang dapat membedakannya dengan ilmu dakwah.
Selain itu, antara dakwah dan komunikasi Islam sebenarnya sudah dapat dibedakan
sejak awal, ketika kedua kajian ini menggunakan terminologinya masing-masing. Jika
ilmu dakwah dan komunikasi Islam merupakan disiplin yang sama, tentu keduanya
harus konsisten untuk menggunakan istilah, apakah ilmu dakwah atau komunikasi
Islam?.
Dilihat dari aspek historis dan filosofis, komunikasi Islam sebagai sebuah
kajian baru, ditengarai muncul beberapa dekade terakhir. Alasan yang mendasari
lahirnya ilmu komunikasi Islam adalah basis falsafah, pendekatan teoretis, dan
penerapan ilmu komunikasi yang dilahirkan barat tidak sepenuhnya sesuai dengan
nilai-nilai agama dan budaya Islam.10 Mhd. Rafiq menambahkan, paradigma
komunikasi Barat lebih mengedapankan nilai-nilai pragmatis, materialistis, dan
10 Lihat Syukur Kholil, “Komunikasi dalam Perspektif Islam”, dalam Hasan Asari dan
Amroendi Drajat (ed). Antologi Kajian Islam. (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2004), h. 251.
Pendahuluan 7
11 Mohd. Rofiq. “Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam pada Era Globalisasi Informasi”,
dalam Analytica Islamica. Vol. 5, No. 2 Tahun 2003, h: 149-168.
berbeda dengan Islamisasi ilmu yang dimaksudkan oleh Naquib al Attas, yang
menganggap Islamisasi ilmu sebagai upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari
makna, ideologi, dan prinsip-prinsip sekuler untuk membentuk ilmu pengetahuan
baru sesuai dengan fitrah Islam. Sementara itu, Ismail Razi al Faruqi memaknai
Islamisasi ilmu sebagai upaya mengislamkan disiplin-disiplin ilmu hingga
menghasilkan buku pegangan di perguruan tinggi dengan menggunakan kembali
disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam, setelah dilakukan terlebih
dahulu kajian kritis terhadap kedua sistem pengetahuan tersebut (Islam dan Barat).12
Terlepas dari perbedaan para tokoh dalam memaknai Islamisasi ilmu, secara
epistemologi penulis melihat bahwa basis keilmuan komunikasi Islam masih rapuh
dan belum mampu menjadikan komunikasi Islam sebagai disiplin ilmu mandiri
terlepas dari ilmu komunikasi pada umumnya. Jika ditelaah lebih jauh, belum
ditemukannya basis epistemologi yang jelas terhadap sistematika keilmuan
komunikasi Islam salah satunya diakibatkan oleh kurangnya perhatian para akdemisi
muslim untuk mengkonstruk epistemologi kajian tersebut, dan bukan tidak mungkin
jika hal ini juga mengakibatkan sulitnya membedakan antara ilmu dakwah dengan
komunikasi Islam. Mahasiswa yang secara khusus menempuh pendidikannya pada
program studi Komunikasi Islam bahkan jarang sekali yang tergerak untuk
melakukan rekonstruksi epistemologi melalui penelitiannya guna menjadikan ilmu
komunikasi Islam dapat diterima sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri di satu sisi,
dan memberikan titik terang tentang perbedaannya dengan ilmu dakwah di sisi yang
lainnya.
Dalam tahap perkembangannya, memang ditemukan beberapa kajian tentang
ilmu komunikasi Islam, namun jika dilakukan pembacaan lebih jauh, agaknya kajian-
kajian tersebut kurang memiliki konsentrasi dalam membangun basis keilmuan
komunikasi Islam. Kajian-kajian tersebut hanya terarah pada upaya membedakan
paradigma komunikasi Islam dengan komunikasi yang dikembangkan Barat. Lihat
12 A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.
239-240.
Pendahuluan 9
misalnya beberapa kajian tentang komunikasi Islam, seperti: tulisan Mohd Rafiq yang
dipublikasikan pada Jurnal Analytica Islamica,13; maupun kajian yang dituangkan
dalam tulisan Muhammad Husni Ritonga, tentang eksistensi Ilmu Komunikasi
Islam.14 Prof.Dr. Syukur Kholil, MA juga telah menerbitkan buku dengan judul
Komunikasi Islami, akan tetapi jika ditelaah secara mendalam, kajian pada buku
tersebut belum terfokus pada pembangunan epistemologi ilmu komunikasi Islam.15
Selain itu, Hasnun Jauhari, pernah melakukan kajian tentang landasan keilmuan
komunikasi Islam melalui tesis yang ditulisnya, dan kajian tersebut juga belum
menunjukkan adanya perkembangan yang berarti dalam upaya membangun basis
epistemologi komunikasi Islam, bahkan dari aspek teori dan metodologinya masih
ditemukan banyak kesamaan dengan tesis Epistemologi Dakwah yang ditulis Hasan
Sadzali.
Ilmu pengetahuan (science) sendiri dapat dipahami sebagai pengetahuan yang
bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu yang diperoleh
melalui pendekatan, metode dan sistem tertentu.16 Pengetahuan secara umum
merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia. C. A. Van Peursen memberikan
pengertian pengetahuan secara sederhana dengan menyebutkan pengetahuan sebagai
kesadaran manusia akan barang-barang di sekitarnya.17 Jika proses “sadar” manusia
dianggap sebagai pengetahuan umum/biasa (common sense) yang tidak
mempersoalkan seluk beluk pengetahuan tersebut, ilmu melalui metodologi tertentu
mencoba untuk menguji pengetahuan manusia secara lebih luas dan mendalam.
Karenanya, ilmu akan berbicara pada tiga hal, yaitu: hakikat objek keilmuan
(ontologi); bagaimana pengetahuan diproses menjadi ilmu (epistemologi); dan, nilai
komunikasi Islam sebagai komuniksi yang berdasarkan kepada Al Qur’ân dan Hadis
yang menjunjung tinggi kebenaran.19 Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami
aspek yang membedakan antara komunikasi Islam dengan komunikasi umum yang
cenderung menekankan keuntungan politik dan material. Jika kerangka pikir ini
digunakan untuk melihat eksistensi komunikasi Islam sebagai disiplin keilmuan,
maka harus diakui bahwa komunikasi Islam hanya memberikan kontribusi pada ilmu
komunikasi umum pada aspek aksiologinya saja, namun belum terlihat adanya
kontribusi pada basis epistemologi berupa metodologi untuk membangun ilmu
komunikasi Islam itu sendiri.
Berangkat dari kerangka pikir di atas, maka sangat wajar jika kemudian
Syukur Kholil menyebutkan bahwa komunikasi Islam merupakan cabang dari ilmu-
ilmu sosial,20 bukan cabang dari ilmu-ilmu keislaman. Terlepas dari tepat atau
tidaknya menempatkan komunikasi Islam sebagai bagian dari ilmu sosial, ilmu
komunikasi dalam ranah kajiannya sendiri masih menyisakan sejumlah problem
keilmuan yang belum terjawab. Ilmu komunikasi misalnya, merupakan bagian dari
ilmu-ilmu sosial, sementara pada saat yang sama ilmu-ilmu eksakta yang lebih
cenderung memiliki hubungan dengan natural science, menjadikan komunikasi
sebagai salah satu aspek penting yang dikajinya. Beberapa contoh yang dapat
disebutkan, antara lain: kajian tentang teknologi komunikasi dan informasi,
komunikasi pertanian, dan atau, komunikasi kedokteran.
Komunikasi Islam sebagai paradigma baru yang lahir beberapa dekade
terakhir, meskipun secara akademis pengkajiannya baru ditemukan pada perguruan
tinggi Islam, boleh jadi merupakan aspek lain yang lahir akibat kelonggaran ilmu
komunikasi itu sendiri. Namun demikian, meskipun kajian komunikasi Islam secara
akademis masih dikaji di perguruan tinggi Islam, seluruh hasil pengkajian yang
dilakukan tersebut menunjukkan disiplin ini belum mampu melepaskan diri dari
sumber awalnya, ilmu komunikasi sebagai cabang ilmu sosial. Pertanyaan yang
pengamatan penulis, kajian komunikasi Islam yang ada selama ini belum berbeda
sama sekali dengan apa yang dikaji pada ranah keilmuan dakwah. Untuk
mendapatkan kejelasan perbedaan antara ilmu dakwah dengan ilmu komunikasi Islam
tersebut, salah satu objek kajian yang belum tersentuh adalah bangunan epistemologi
pada aspek metodologi yang lebih spesifik. Oleh karenanya cukup absah dilakukan
sebuah kajian mendalam tentang basis epistemologi guna menemukan metode
pengembangan Ilmu komunikasi Islam dengan menyandarkannya pada kajian-kajian
terdahulu. Pandangan ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa beberapa kajian
tentang komunikasi Islam yang telah dilakukan sebelumnya, setidaknya telah memuat
beberapa aspek yang dapat dikonstruk sebagai basis epistemologi untuk
mengembangkan Ilmu komunikasi Islam, kajian-kajian tersebut dapat dijadikan
sebagai kerangka acuan untuk melihat metodologi dan struktur ilmu komunikasi
Islam dalam peta pengetahuan ilmiah.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka
permasalahan pokok yang kemudian akan dikaji pada penelitian ini secara umum
dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan: “bagaimana bangunan metodologi
pengembangan Ilmu Komunikasi Islam?. Rumusan masalah ini mencakup beberapa
aspek yang dapat diperinci dengan pertanyaan:
1) Apa hakikat ilmu komunikasi Islam?
2) Bagaimana eksistensi ilmu komunikasi Islam dalam
peta keilmuan?
3) Bagaimana merekonstruksi metodologi untuk
pengembangan ilmu komunikasi Islam?
C. Batasan Istilah
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan hakikat dan
ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasar, serta
pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.24
Epistemologi karenanya dapat dikatakan sebagai filsafat pengetahuan yang berbicara
tentang landasan keilmuan. Landasan keilmuan sendiri merupakan disiplin ilmu dari
aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara etimologis, epistemologi
didefenisikan sebagai theory of knowledge.25. Dengan demikian, epistemologi
merupakan pembahasan mengenai apa yang dapat diketahui yang terkait dengan teori
dan substansi keilmuan.
Sementara itu, komunikasi Islam merupakan rangkaian dari dua kata,
komunikasi dan Islam. Karenanya, komunikasi Islam dapat dimaknai sebagai proses
komunikasi yang dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok orang yang syarat
dengan nilai-nilai keislaman. Islam sendiri lebih tepat disebut sebagai etika
kemanusiaan dan ilmu sosial sebagaimana ditegaskan Hasan Hanafi.26
Sedangkan metode keilmuan, dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang
menghasilkan pengetahuan yang bersifat logis dan teruji dengan jembatan berupa
pengajuan hipotesis disebut juga sebagai metode logico-hipotetico-verifikatif, yang
menuntun cara berpikir untuk mendapatkan hasil pengetahuan ilmiah.27 Metode
ilmiah ini dicerminkan melalui penelitian ilmiah yang merupakan gabungan dari cara
berpikir rasional dan empiris. Kerangka berpikir ilmiah yang bertolak pada logico-
hipotetico-verifikatif, dijelaskan Jujun pada bukunya Filsafat Ilmu, Sebuah
Pengantar Populer, sebagai berikut:28
Pertama, perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek
empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait
di dalamnya.
E. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat berguna bagi kalangan
akademis yang berkonsentrasi pada program studi komunikasi Islam, khususnya
dalam rangka membangun basis epistemologi guna mengembangkan studi tentang
komunikasi Islam. Selain itu, secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan acuan bagi peneliti dan praktisi komunikasi Islam, baik dalam kajian
akademis maupun penerapannya di tengah masyarakat luas.
F. Kajian Terdahulu
Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, khususnya pada berbagai
perpusatakaan di Kota Medan, pembahasan tentang komunikasi Islam masih belum
mampu melahirkan basis epistemologi yang jelas sebagai landasan keilmuan
komunikasi Islam. Meski demikian, pembahasan tentang komunikasi Islam dari
berbagai dimensi kajian cukup banyak dibicarakan. Di antara kajian-kajian yang
dapat disebutkan, adalah:
1) Islam, Komunikasi dan Teknologi Maklumat, yang ditulis Zulkipli
Ghani, telah diterbitkan di Selangor oleh Utusan Publications &
Distributors SDN BHD pada tahun 2001. Secara umum, buku ini
membahas dasar-dasr komunikasi Islam; pemahaman terhadap
komunikasi Islam, teori dan model komunikasi Islam, serta etika
komunikasi Islam.
2) Komunikasi Islam, yang ditulis A. Mu’is. Diterbitkan Remadja
Rosdakarya Bandung pada tahun 2001. Buku ini
antara lain membahas tentang paradigma
komunikasi Islam berdasarkan al-Qurān.
Pendahuluan 17
G. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dikelompokkan ke dalam jenis penelitian literatur/studi
kepustakaan (Library Research), karena objek yang dipilih adalah hasil kajian tertulis
yang dilakukan beberapa peneliti terdahulu tentang komunikasi Islam, baik ditinjau
dari aspek landasan keilmuan maupun aspek praktis terhadap penerapannya di
lapangan. Titik tekan yang ingin dilakukan adalah melihat sejauh mana basis
epistemologi terbangun pada kajian-kajian tersebut, untuk selanjutnya melakukan
analisa terhadap metodologi pengembangannya. Kajian-kajian yang dipilih bersifat
terbuka dan dapat berkembang pada waktu penelitian, mengingat penelitian ini
mengambil paradigma kualitatif, di mana data dapat berkembang ketika penelitian
dilakukan. Akan tetapi, secara umum kajian-kajian yang telah dipilih untuk dianalisis,
adalah:
1) Tesis berjudul: Analisa Landasan Keilmuan Komunikasi Islam,
yang ditulis Hasnun Jauhari Ritonga pada tahun 2008;
2) Buku berjudul: Komunikasi Islami, yang ditulis Syukur Kholil
pada Tahun 2009;
3) Kajian berjudul: Komunikasi dalam Perspektif Islam, yang ditulis
Syukur Kholil pada tahun 2008;
4) Tulisan berjudul: Eksistensi Ilmu Komunikasi Islam: Suatu
Tinjauan Filsafat Ilmu, yang ditulis Muhammad Husni Ritonga
pada tahun 2008;
5) Tulisan berjudul: Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam pada
Era Globalisasi Informasi, yang ditulis Mohd. Rofiq pada tahun
2003.
Sumber data pada penelitian ini dibagi ke dalam dua sumber, primer dan
skunder. Sumber data primer seluruhnya diperoleh dari berbagai kajian yang dipilih
dalam penelitian ini, sedangkan sumber data skunder merupakan data pendukung
yang diperoleh dari berbagai lieteratur-literatur yang terkait dengan masalah
penelitian.
Sebagai penelitian literatur, hal pertama yang akan dilakukan untuk
menganalisis data adalah menentukan kajian-kajian terpilih, selain kajian-kajian yang
telah disebutkan sebelumnya, kajian-kajian berhubungan lainnya yang berkembang
dalam penelitian juga tidak luput dari proses analisis yang akan dilakukan. Pemilihan
literatur ini disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Sesudah menentukan judul
literatur penelitian, maka langkah berikutnya adalah: inventarisasi literatur; deskripsi
literatur; kritik teks; dan analisis isi.
Syukur Kholil mengutip beberapa ahli, menyimpulkan pengertian analisis isi
dengan beberapa pemahaman: pertama; bersifat sistematis sesuai dengan prosedur
yang benar; kedua, bersifat objektif dengan perolehan hasil yang sama jika diuji oleh
penelitian lain dengan menggunakan kategori yang sama; ketiga, bersifat kuantitatif
namun tidak menutup kemungkinan dikaji dengan menggunakan cara yang lain.29
Sementara itu, Jalaluddin Rakhmat menyebutkan analisis isi sebagai prosedur yang
digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi yang disampaikan
dalam bentuk lambang. Penelitian ini umumnya dilalui dengan beberapa tahap, yaitu:
merumuskan masalah; merumuskan hipotesis; memilih sampel; pembuatan alat ukur;
pengumpulan data; dan analisis data.30