Makalah Fraktur Dentoalveolar

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

ILMU BEDAH MULUT


FRAKTUR DENTOALVEOLAR

THREICY ANNISA A.S


MEDISA TIANDORA
EFRIWANTI
RAHMI HAYATI
MENTARI MISTIKA
SISCA YUDISTIRA
YUNITA PRATIWI
HARRI MAHA PUTRA
NYAK AGAM AL AMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2015/2016
BAB I

PENDAHULUAN

FRAKTUR DENTOALVEOLAR

Definisi Fraktur Dentoalveolar

Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian
terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain menyebutkan bahwa
fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh trauma(Mansjoer, 2000).
Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya
kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.
BAB II
PEMBAHASAN

Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar


Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa
kejadian. Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan yang tepat untuk
setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan prognosis yang baik selama perawatan.
Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan informasi yang komprehensif dan
universal untuk mengkomunikasikan mengenai tujuan perawatan tersebut. Terdapat banyak
klasifikasi yang mendeskripsikan mengenai fraktur dentoalveolar. Klasifikasi yang banyak
dijadikan pedoman dalam penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi menurut World
Health Organization (WHO).
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO) diterapkan pada gigi
sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan
lunak rongga mulut.
Pada pembahasan ini klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang mengakibatkan
fraktur dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal, dan
tulang pendukung (Welbury, 2005) :
1. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa (gambar 2.1)
1) Enamel infraction : jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan
tanpa hilangnya substansi gigi.
2) Fraktur email : hilangnya substansi gigi berupa email saja.
3) Fraktur email-dentin : hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan
dentin tanpa melibatkan pulpa gigi.
4) Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email
dan dentin dengan pulpa yang terpapar.
5) Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture): fraktur email,
dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa.
6) Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur email, dentin,
dan sementum dengan pulpa yang terpapar.
7) Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat
disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga
koronal (gingiva).
Gambar 2.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca, 2005)

2. Cedera pada jaringan periodontal (gambar 2.2)

1) Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi.
2) Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.
3) Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket.
4) Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar.
5) Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket alveolar.
6) Avulsi: gigi lepas dari soketnya.
Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).

3. Cedera pada tulang pendukung (gambar 2.3)

1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya soket
alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi.
2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas pada fasial
atau lingual/palatal dinding soket.
3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar yang dapat
melibatkan soket gigi.
4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.
Gambar 2.3 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005).

Etiologi dan Epidemiologi


Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma
langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio anterior. Trauma tidak
langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke rahang atas, gigi patah pada bagian
mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar dan molar, dan juga pada kondilus dan simfisis
rahang. Faktor yang memengaruhi hasil trauma adalah kombinasi dari energi impaksi, resiliensi
objek yang terkena impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan sudut arah gaya impaksi.
(Welburry, 2005).
Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan perbandingan antara 26% dan
82% dari semua kasus cedera, tergantung pada subpopulasi yang diteliti. Olahraga
merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan cedera (Berman, et al., 2007).

Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas,
serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi yang terkena trauma
biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan dan olahraga. (Cameron and Widmer, 2008).
Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma dentoalveolar.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma adalah protrusi gigi
anterior pada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi 1. Insidensi pada anak dengan kondisi
tersebut dua kali dibandingkan anak dengan kondisi oklusi normal.

Penatalaksanaan
Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, karena penundaan
perawatan akan mempengaruhi prognosis gigi geligi. Bila fraktur dentoalveolar merupakan bagian
dari fraktur wajah yang lebih serius, perawatan dapat dilakukan secara efektif untuk menstabilkan
keadaan umum pasien terlebih dahulu.
Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk dan fungsi organ
pengunyahan senormal mungkin. Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh keadaan
umum dan usia pasien serta kompleksitas fraktur.
-Trauma pada Gigi Sulung
Perawatan gigi sulung yang mengalami trauma pada umumnya tidak berbeda dengan perawatan
gigi tetap. Gigi sulung yang intrusi biasanya akan erupsi secara spontan. Gigi yang tidak terlalu
bergeser dan tidak menyebabkan gangguan oklusi dapat diobservasi saja. Fraktur dentoalveolar
yang kompleks pada gigi sulung jarang terjadi karena elastisitas tulang alveolar.1,3,5

- Trauma pada Gigi Tetap


A. Trauma yang mengenai jaringan keras gigi
1. Fraktur mahkota
Fraktur email hanya memerlukan penghalusan bagian yang tajam, atau penambalan
dengan komposit. Fraktur dentin sebaiknya ditambal sesegera mungkin, khususnya pada pasien
muda karena penetrasi bakteri melalui tubulus dentin cepat terjadi. Penambalan dengan semen
kalsium hidroksida dan restorasi komposit sudah cukup ideal. Bila patahan gigi cukup besar,
fragmen mahkota dapat disemen kembali menggunakan resin komposit. Fraktur pulpa dapat
dirawat dengan pulp capping, pulpotomi, atau ekstirpasi pulpa.
2. Fraktur akar
Fraktur mahkota yang oblik dapat meluas ke subgingiva (fraktur mahkota-akar). Bila garis
fraktur tidak terlalu jauh ke apikal dan pulpa tidak terbuka, cukup ditambal dengan restorasi
komposit. Bila fraktur meluas sampai jauh ke apikal, atau bila gigi terbelah secara vertikal,
umumnya ekstraksi harus dilakukan.1
Fraktur akar horizontal prognosisnya tergantung pada garis fraktur. Bila garis fraktur terletak di
dekat gingiva, fragmen mahkota dapat diekstraksi dan dilakukan perawatan endodontik serta
pembuatan mahkota pasak. Bila garis fraktur terletak jauh ke apikal, gigi sebaiknya diekstraksi
B. Trauma yang mengenai jaringan periodontal
1. Malposisi
Gigi yang luksasi, ekstrusi dan intrusi direposisi dan di-splint untuk imobilisasi gigi
selama 7-21 hari. Setelah periode imobilisasi selesai vitalitas gigi tersebut harus diperiksa.
2. Avulsi
Gigi yang avulsi dapat direplantasi dengan memperhatikan sejumlah faktor, yaitu tahap
perkembangan akar, lamanya keberadaan gigi di luar soket, lamanya penyimpanan dan media
yang digunakan. Idealnya replantasi dilakukan sesegera mungkin. Sebaiknya dipastikan bahwa sel
ligamen periodontal tidak mengering, yakni tidak lebih dari 30 menit. Kemudian dilakukan
imobilisasi dengan pemasangan splint.

C. Trauma yang mengenai tulang alveolar


Perawatan fraktur tulang alveolar biasanya hanya memerlukan anastesi lokal, dan paling
baik dilakukan segera setelah trauma. Reduksi tertutup fraktur alveolar tertutup biasanya
dilakukan dengan manipulasi jari yang diikuti dengan splinting. Imobilisasi tersebut harus
menyertakan beberapa gigi yang sehat. Fiksasi intermaksilar kadang-kadang diperlukan bila
fragmen fraktur sangat besar, atau bila prosedur splinting tidak menghasilkan imobilisasi yang
adekuat, dengan memperhatikan oklusi yang benar. Reduksi terbuka jarang dilakukan untuk
fraktur alveolar, kecuali bila merupakan bagian dari perawatan fraktur rahang.
Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan komunikasi oro antral, harus dilakukan penutupan segera
dengan flap bukal. Pasien diberi obat tetes hidung ephedrine 0,5 persen untuk membantu drainase
antral, dan antibiotik untuk mencegah timbulnya fistula oro-antral.

D. Trauma yang mengenai jaringan lunak mulut


Fraktur dentoalveolar hampir selalu disertai vulnus. Prinsip perawatannya terdiri atas
pembersihan, pembuangan jaringan nekrotik (debridement), penghentian perdarahan dan
penjahitan. Pada bagian dalam laserasi degloving sering ditemukan debris atau kotoran tanah,
sehingga debridement perlu diikuti dengan irigasi yang cermat. Fraktur dentoalveolar sering
mengakibatkan luka terbuka, sehingga perlu diberikan antibiotik profilaksis dan obat kumur
antiseptik.
BAB III
Kesimpulan

Fraktur dentoalveolar dapat berdiri sendiri atau terjadi bersamaan dengan fraktur pada
wajah dan bagian tubuh lainnya. Perawatan komprehensif dilakukan setelah perbaikan
keadaan umum pasien tercapai, bersama dengan disiplin ilmu yang terkait. Diagnosis fraktur
dentoalveolar ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik ekstra oral dan intra oral,
serta pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan fraktur dentoalveolar pada gigi sulung tidak
berbeda jauh dengan gigi tetap. Setiap struktur yang terlibat sebaiknya diperiksa dengan
seksama. Vitalitas, warna dan kegoyangan gigi harus dimonitor untuk mengetahui perlu
tidaknya perawatan lebih lanjut.
Daftar Pustaka

Banks P, Brown A. Fractures of the facial skeleton. Wright; 2001.p.40-2,72-9


Killey HC. Fractures of the middle third of the facial skeleton, 3rd ed. Bristol: John Wright &
Sons Ltd, 1977
Tiwana P.Dentoalveolar trauma. Diunduh dari
http://www.cmf.hyperguides.com/tutorials/dento_trauma Maret 2008
Mendes F. A prospective study of dentoalveolar trauma at the Hospital das Clinicas, Sao
Paulo University Medical School. Diunduh dari http://www.scielo.br/cgi-bin/fbpe/fb-text
Maret 2008
Ellis E. Soft tissue and dentoalveolar injuries. Dalam: Peterson LJ, Ellis E, Hupp J, Tucker
M. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th eds. St.Lauis. Mosby Inc. 2003.
Radford G. Treatment of injured tissues (dentoalveolar). Diunduh dari
http://www.almedadental.com/onlineforums/consent.htm Maret 2008
Pedersen G. Oral surgery. Philadelphia; W.B. Saunders Company, 1988.p.234-8
Kruger G. Textbook of oral surgery. 4th eds. St.Lauis. The C.V. Mosby Company, 1974.

Anda mungkin juga menyukai