Eyang Baros Ngora

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

Pecinta Sejarah Sunda

Kerajaan Jampang Manggung


Nama Kerajaan : Jampang Manggung
Tahun Berdiri : Abad 2 M
Pendiri : Aki Sugiwanca (adik Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya)
Lokasi Kerajaan : Kaki Gunung Manenggel, Cianjur
Corak Agama : Hyang/Sunda Wiwitan, Hindu
Kerajaan Jampang Manggung adalah salah satu kerajaan kuno di Nusantara yang berdiri pada
abad ke 2 M di Kaki Gunung Manenggel, Cianjur. Pendiri kerajaan Jampang Manggung adalah
Aki Sugiwanca yang tiada lain adalah adik Aki Tirem sang Aki Luhur Mulya penguasa Jawa
bagian barat pada saat itu. Salah satu peninggalan kerajaan Jampang Manggung adalah batu
Sanghyang tapak dan beberapa makam kuno yang tersebar di kaki Gunung Manenggel.

Batu Sanghyang Tapak peninggalan Kerajaan Jampang Manggung


(Foto:Hendi Jo/Historia.co.id)
Kerajaan Jampang Manggung versi Sanghyang Boros Ngora
Versi Sejarah ini berkaitan dengan Kerajaan Panjalu, Ciamis.
Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal di Tanah Jampang sebagai
Prabu Jampang Manggung, Syeikh Dalem Haji Sepuh, Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh,
dan Syeikh Aulia Mantili. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera
kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri
adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati.
Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari
Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria
Kikis, jadi Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul. Sanghyang
Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah
untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora
berangkat ke Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun
Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur
Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah
meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan
ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora
mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang. Pada hitungan windu pertama, Sanghyang
Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung
Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh
Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Razamantri, Bayabang (menemui
Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian
kembali ke Gunung Wayang.
Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur,
Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit,
Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas
di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri. Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke
Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta
jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya.
Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai
Syeikh Haji Dalem Sepuh
Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih
di Gunung Wayang. Gadis yatim ini adalah turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura
Wijaya, Mantri Agung Mareja, wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang dan
Tengah. Pada windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu Hariang Sancang Kuning dan
Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai usia lanjut, ia wafat setelah
dari Gunung Rompang serta dimakamkan di suatu tempat di tepi Sungai Cileleuy, Kp Langkob,
Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak, Sukabumi.
Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak tilas perjalanan mendiang
ayahnya ke Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan
dimakamkan di Cibungur, selatan Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah
Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal sebagai
pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk "Karaman Jawa". Sedangkan adik Sancang Kuning
yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati Singacala kemudian hijrah ke Panjalu,
setelah wafat ia dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu.(dari wikipedia.org).

SANGHYANG PRABU BOROSNGORA

Prabu Sanghyang Borosngora[sunting | sunting sumber]


Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton
baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di
dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar Agama Islam dan
Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di
Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian
prosesi acara adat Nyangku.

Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu:

1) Rahyang Kuning, dan

2) Rahyang Kancana.

Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama
kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding.

Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (Sukabumi), sedangkan petilasan
Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).

Sanghyang Borosngora dan Hyang Bunisora Suradipati[sunting | sunting sumber]


Hyang Bunisora Suradipati adalah adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang
Maharaja terkenal sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan tentara
Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi puteranya yang bernama Niskala Wastu
Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili
keponakannya itu atas tahta Kawali .
Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi
seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip dengan
Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan adanya keterkaitan antara
kedua tokoh ini, meskipun belum bisa dipastikan apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika
ternyata kedua tokoh ini adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu lembar yang
tersembunyi dari Sejarah Sunda.

Hyang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan 4 (empat)
anak (Djadja Sukardja,2007):

1). Giri Dewata (Gedeng Kasmaya) di Cirebon Girang menikahi Ratna Kirana puteri Ratu Cirebon Girang, di
lereng Gunung Ciremai.

2). Bratalegawa (Haji baharudin/Haji Purwa) menikahi puteri Gujarat.

3). Ratu Banawati.

4). Ratu Mayangsari yang diperisteri Niskala Wastu Kancana.

Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas sekarang adalah
Desa Ciomas (Panjalu Ciamis), di desa tersebut terdapat situs makam yang dikenal sebagai makam Dalem
Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi (Djadja Sukardja, 2007: 29-30).

Sanghyang Borosngora dan Baginda Ali RA[sunting | sunting sumber]


Legenda pertemuan antara Sanghyang Borosngora dengan Baginda Ali R.A. ini sampai sekarang masih
kontroversial mengingat keduanya hidup di zaman yang berbeda. Sayidina Ali hidup pada abad ke-7 M (tahun
600-an) sedangkan pada periode masa itu di tatar Sunda tengah berdiri Kerajaan Tarumanagara dan nama
Panjalu belum disebut-sebut dalam sejarah. Nama Panjalu (Kabuyutan Sawal) mulai disebut-sebut ketika
Sanjaya (723-732) hendak merebut Galuh dari tangan Purbasora, ketika itu Sanjaya mendapat bantuan
pasukan khusus dari Rabuyut Sawal (Panjalu) yang merupakan sahabat ayahnya, Sena (709-716).

Sementara itu jika dirunut melalui catatan silsilah Panjalu sampai keturunannya sekarang, maka Sanghyang
Borosngora diperkirakan hidup pada tahun 1400-an atau paling tidak sezaman dengan Sunan Gunung Jati
Cirebon (1448-1568). Namun, bukti-bukti cinderamata dari Sayidina Ali R.A. yang berupa pedang, tongkat dan
pakaian kebesaran masih dapat dilihat dan tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Kabarnya pedang pemberian
Baginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam dan besi yang
membentuk pedang itu bukan berasal dari jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para Empu dan
Pandai Besi di Nusantara.

Sanghyang Borosngora, Walangsungsang dan Kian Santang[sunting | sunting sumber]


Kisah masuk Islamnya Sanghyang Borosngora yang diislamkan oleh Sayidina Ali R.A. ini mirip dengan kisah
Kian Santang. Kian Santang adalah putera Prabu Siliwangi dari isteri keduanya yang bernama Nyai Subang
Larang binti Ki Gedeng Tapa yang beragama Islam. Dari isteri keduanya ini Prabu Siliwangi mempunyai tiga
orang putera-puteri yaitu Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Rara Santang, dan Kian Santang
(Raja Sangara). Walangsungsang dan Rara Santang menuntut ilmu agama Islam mulai dari Pasai, Makkah,
sampai ke Mesir; bahkan Rara Santang kemudian dinikahi oleh penguasa Mesir Syarif Abdullah atau Sultan
Maulana Mahmud dan berputera Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Setelah naik haji Pangeran
Cakrabuana berganti nama menjadi Syeikh Abdullah Iman, sedangkan Rara Santang setelah menikah
berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.

Sementara itu, berbeda dengan kedua kakaknya; Kian Santang dikisahkan memeluk Islam setelah bertemu
dengan Baginda Ali lalu kembali ke tanah air untuk menyampaikan syiar Islam kepada sang ayah: Prabu
Siliwangi. Prabu Siliwangi yang tidak bersedia memeluk Islam lalu menghilang beserta seluruh pengikutnya
di Leuweung Sancang (hutan Sancang di daerah Garut sekarang). Kian Santang yang juga berganti nama
menjadi Syeikh Mansyur, melanjutkan syiar Islamnya dan kemudian dikenal sebagai Sunan Rahmat Suci atau
Sunan Godog yang petilasannya terdapat di Garut.

Sanghyang Borosngora versi Sejarah Cianjur[sunting | sunting sumber]


Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama
aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama
Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera
Ratu Prapa Selawati.

Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari
Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi
Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul.

Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah
untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke
Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun.

Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa
Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia.
Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran
Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang.

Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya
di Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung
Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Razamantri, Bayabang (menemui
Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke
Gunung Wayang.
Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang,
Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung
Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri.

Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai
Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan
Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai Syeikh
Haji Dalem Sepuh.

Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung
Wayang. Gadis yatim ini adalah turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya, Mantri Agung Mareja,
wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang dan Tengah.

Padaa windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu Hariang Sancang Kuning dan Pangeran Hariang
Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta
dimakamkan di suatu tempat di tepi sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak,
Sukabumi.

Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak tilas perjalanan mendiang ayahnya ke
Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di Cibungur,
selatan Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang
gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk "Karaman
Jawa". Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati Singacala
kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat ia dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu.

Pertemuan para raja di Gunung Rompang

Pada suatu masa beberapa orang raja dan adipati dari bekas kawasan Pajajaran tengah dan Pajajaran girang
yang mencakup wilayah Cianjur, Sukabumi dan sekitarnya berkumpul di puncak gunung yang biasa dipakai
sebagai lokasi musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu di Gunung Rompang (dalam bhs. Sunda
istilah rompang menunjukan keadaan senjata pedang, golok atau pisau yang sudah retak bergerigi karena
terlalu sering dipakai). Dinamai Gunung Rompang karena pada masa akhir berdirinya kerajaan Sunda
Pajajaran setelah melewati perang selama 50 tahun, senjata para prajurit Pajajaran telah
menjadi rompang karena dipakai bertempur terus-menerus.

Lokasi ini dikenal juga sebagai "Karamat Pasamoan", adapun tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan itu
adalah :

1. Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Panjalu)
bawahan Galuh, di tanah Pajampangan ia dikenal dengan berbagai julukan yaitu sebagai Syeikh Haji Mulya,
Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.
2. Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul atau Pangeran Jaya Lalana, bergelar Raden Ngabehi Jaya Sasana,
Pangeran Panji Nata Kusumah.

3. Raden Sanghyang Panaitan atau Raden Widaya bergelar Pangerang Rangga Sinom di Sedang, Kanjeng
Adipati Sukawayana.

4. Raden Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara di Cimapag.

5. Kanjeng Kyai Aria Wangsa Merta dari Tarekolot, Cikartanagara.

6. Kanjeng Dalem Nala Merta dari Cipamingkis.

7. Pangeran Hyang Jaya Loka dari Cidamar.

8. Pangeran Hyang Jatuna dari Kadipaten Kandang Wesi.

9. Pangeran Hyang Krutu Wana dari Parakan Tiga.

10. Pangeran Hyang Manda Agung dari Sancang.

Tujuan pertemuan para raja ini adalah untuk membahas keinginan para raja dan adipati untuk menjalin
kerjasama yang lebih erat terutama dalam usaha menangkal serangan musuh dari luar. Untuk itu dibutuhkan
adanya seorang pemimpin yang tangguh, pemimpin yang memegang tangkai, yang disebut sebagai Raja
Gagang (Raja pemegang tangkai). Prabu Jampang Manggung mengusulkan agar Aria Wira Tanu Dalem
Cikundul yang ditunjuk sebagai Raja Gagang, dan usul ini diterima oleh semua tokoh yang hadir.

Akhirnya, setelah menjalankan Salat Jum'ah yang bertepatan dengan bulan purnama Rabiul Awal 1076 H atau
2 September 1655 berdiri negeri Cianjur yang merupakan negeri merdeka dan berdaulat, tidak tunduk kepada
Kompeni, Mataram maupun Banten, hanya tunduk kepada Allah SWT. Negeri ini dipimpin oleh Aria Wira Tanu,
Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang.

Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari

Tujuan VOC tidak lain adalah untuk menghancurkan semangat dan kekuatan pengikut RH Alit Prawatasari.
Penduduk Jampang yang berbaris sepanjang jalan itu sebagian besar tewas diperjalanan, yang tersisa
hanyalah 582 orang dengan kondisi yang menyedihkan, mereka kemudian digiring terus menuju ke
Bayabang.Raden Haji Alit Prawatasari adalah seorang ulama dari Jampang yang juga merupakan keturunan
Sancang Kuning dari Singacala (Panjalu). Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari dimulai pada bulan
Maret 1703 dan terjadi sangat dahsyat. Haji Prawatasari sanggup memobilisasi rakyat menjadi pasukannya
sebanyak 3000 orang sehingga membuat VOC kalang kabut. Pada suatu ketika tersebar berita bahwa RH Alit
Prawatasari telah tewas. Pieter Scorpoi komandan pasukan VOC segera saja menawan dan menggiring
seluruh warga Jampang yang mencapai 1354 orang untuk menjalani hukuman di Batavia melewati Cianjur.
Pada waktu itu sesungguhnya RH Alit Prawatasari tidak tewas melainkan sedang mengumpulkan wadya
balad (pengikut) yang sangat besar, ia kemudian memimpin penyerbuan ke kabupaten priangan wetan (timur).
Pada tahun 1705 RH Alit Prawatasari muncul lagi di Jampang dan kemudian mengepung sekeliling Batavia,
pada sekitar Januari di dekat Bogor.

Dikarenakan VOC tak mampu menangkap RH Alit Prawatasari, tiga orang tokoh masyarakat yang ditangkap di
Kampung Baru, Bogor dieksekusi mati oleh VOC. Pada bulan Maret RH Alit Prawatasari membuat kekacauan
di Sumedang utara, kemudian pada Agustus 1705 RH Alit Prawatasari berhasil mengalahkan pasukan
Belanda yang mencoba mengejar dan menangkapnya melalui tiga kali pertempuran.

Akibat kegagalan-kegalannya menangkap RH Alit Prawatasari, maka VOC menjatuhkan hukuman berat
kepada siapa saja yang disangka membantu RH Alit Prawatasari, namun jumlah pengikutnya bukan berkurang
malah semakin bertambah banyak karena rakyat bersimpati kepada perjuangannya.

Pihak Belanda lalu mengeluarkan ultimatum dan tenggat waktu selama enam bulan kepada para bupati di
Tatar Sunda agar menangkap RH Alit Prawatasari. Pada tahun 1706 RH Alit Prawatasari meninggalkan Tatar
Sunda menuju ke Jawa Tengah. RH Alit Prawatasari akhirnya tertangkap di Kartasura setelah ditipu oleh
Belanda pada tangal 12 Juli 1707.

Makam pahlawan yang terlupakan ini terletak di Dayeuh Luhur, Cilacap. Penduduk setempat menyebutnya
sebagai makam turunan Panjalu, makamnya ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh penduduk sekitar
dan peziarah dari Ciamis.

Wangsit Sanghyang Borosngora - Syeh Panjalu

Gunung teu beunang dilebur [Gunung tidak boleh digunduli]

Lebak teu beunang diruksak [Lereng tidak boleh dirusak

Larangan teu beunang dirempak [Larangan tidak boleh dilanggar]

Buyut teu beunang dirobah [Aturan tidak boleh dirubah]

Layar teu beunang dipotong [ Layar tidak boleh dipotong]

Pondok teu beunang disambung [Pendek tidak boleh disambung]

Nyaur kudu diukur [Bertutur (kata) harus diukur]

Nyablama kudu diungang [Berkata harus yang benar]

Ulah ngomong saget-get [Jangan berbicara seenaknya]

Ulah lemk sadak-dak [Jangan berucap semaunya]


Ulah maling papayungan [Jangan mencuri perlindungan]

Ulah zinah papacangan [Jangan berzinah ketika berpacaran]

Kudu ngadk sasekna nilas saplasna [Harus memotong sewajarnya menepas sebaik-baiknya]

Mipit kudu amit ngala kudu menta [Memetik harus pamit menuai harus minta (dulu) ]

Ngeduk cikur kudu mihatur [Mengambil kencur harus dengan tutur (kata dulu)]

Ngagedak kudu bewara [Memotong harus dengan pernyataan]

Nu lain kudu dilainkeun [Yang lain harus dilainkan]

Nu ulah kudu diulahkaeun [Yang tak boleh harus dilarang]

Nu enya kudu dienyakeun [Yang benar harus dibenarkan ]

Ulah cueut kanu beureum [Tidak boleh tertarik kepada yang merah]

Ulah pontng kanu konng [Tidak boleh tertarik kepada yang kuning]

Karana lamun dirempak [Karena kalau dilanggar]

Matak burung jadi ratu [Akan busuk menjadi ratu]

Matak dan jadi mnak [Akan dan (gila) menjadi pejabat]

Matak pupul pangaweruh [Akan habis pengetahuan]

Matak hambar komara [Akan jatuh wibawa]

Matak teu mahi juritna [Akan kalah dalam pertempuran ]

Matak teu jaya perangna [Tidak akan jaya dalam peperangan]

Matak sangar ka nagara. [Akan (membawa) apes negara.]

Syeh Borosngora, Panjalu

Penerjemah: Ki Obor-Jagasatru 6
Saadat Padjadjaran
Ashadu sahadat islam,
Sarsilah gusti panutan,
Panut pangkon pangandika,
Kanjeng gusti rosul,
Anembah guru,
Anembah ratu,
Anembah telekon agama islam,
Syeh haji kuncung putih,
Kian santang kan lumejang,
Kudrat yaa insun qursy Allah,

Susuci
Sri suci tunggal sabangsa,
Banyu suci tungggal sabangsa,
Geni suci tunggal sabangsa,
Braja suci tunggal sabangsa,
Suka suci mulya badan sampurna,
Sampurna kersaning allah ta'ala,
Lailahaillallah Muhammadarrasulullah.

Anda mungkin juga menyukai