Seminar Kelompok Stemi
Seminar Kelompok Stemi
Seminar Kelompok Stemi
Disusun untun Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Asuhan Keperawatan Gawat
Darurat
DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab kematian yang utama. Banyak
pasien yang mengalami kematian akibat penyakit jantung. Penanganan yang salah dan
kurang cepat serta cermat adalah salah satu penyebab kematian. Menurut Global
Status Report on Noncommunicable Diseases data (WHO, 2014) menunjukkan
bahwa dari 56 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2012, sebanyak 38 juta
disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM) yang terdiri dari penyakit
kardiovaskular, kanker, dan penyakit pernafasan kronis. Proporsi penyebab kematian
PTM pada tahun 2012 menunjukan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab
terbesar (46.2%) diikuti kanker (21.7%), sedangkan penyakit pernafasan kronis,
penyakit pencernaan dan PTM yang lain bersama-sama menyebabkan sekitar (10.7%)
kematian, serta ( 4% ) kematian disebabkan diabetes mellitus.
Di Indonesia, berdasarkan laporan WHO pada Noncommunicable Dieseases
(NCD) Country Profiles 2014 didapatkan bahwa penyakit kardiovaskular merupakan
penyebab kematian tertinggi, yaitu sebesar 37% dari angka kematian total.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014, menyatakan prevalensi
penyakit jantung di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, penyakit jantung menjadi salah satu
penyebab utama kematian. Prevalensi secara nasional mencapai 7,2%. Kematian
akibat penyakit jantung, hipertensi dan stroke mencapai 31,9% sedangkan angka
kematian karena penyakit kardiovaskular di rumah sakit yaitu sekitar 6-12%.
Di ruang ICU RSUD Kota Salatiga selama tanggal 21 Agustus 2017 sampai 30
Agustus 2017 terdapat pasien dengan diagnose medis STEMI sebanyak 3 pasien.
Salah satunya adalah Tn. S dengan diagnose medi STEMI Anteroseptal. Oleh karena
itu, penulis ingin membahas mengenai asuhan keperawatan pada pasien STEMI.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari STEMI.
2. Untuk mengetahui etiologi dari STEMI.
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari STEMI.
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari STEMI.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada pasien STEMI.
6. Untuk mengetahui pengkajian primer pada pasien STEMI.
7. Untuk mengetahui pengkajian sekunder pada pasien STEMI.
8. Untuk mengetahui Diagnose Keperawatan yang mungkin timbul pada pasien
STEMI.
9. Untuk mengetahui Intervensi Keperawatan pada pasien STEMI.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
STEMI adalah akronim yang berarti ST segment elevation myocardial
infarction. Serangan jantung tipe ini ditentukan dari pemeriksaan rekam jantung
(elektrokardiografi atau EKG). (ISIC, 2014) STEMI merupakan klasifikasi dari
Infark Miokard Akut (IMA).
Dalam STEMI sendiri, terbagi dalam beberapa klasifikasi sesuai dengan letak
dari oklusi itu sendiri, yang berdampak pada hasil EKG (AHA, 2015), yaitu :
STEMI Septal ST elevasi V1 dan V2
STEMI Anterior ST elevasi V3 dan V4
STEMI Lateral ST elevasi V5 dan V6
STEMI Anteroseptal ST elevasi V1 V4
B. Etiologi
STEMI disebabkan oleh adanya aterosklerotik pada arteri koroner atau penyebab
lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen miokardium. Pada kondisi awal akan terjadi ischemia miokardium,
namun bila tidak dilakukan tindakan reperfusi segera maka akan menimbulkan
nekrosis miokard yang bersifat irreversible.. (Darliana, 2007)
Umumnya didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien.
Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari,
jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak
berkurang dengan pemberian nitrogliserin
Nadi biasanya cepat dan lemah
Pasien juga sering mengalami diaforesis.
Lemas pada seluruh badan
Adapun nyeri dada pada kasus ini bersifat :
Tumpul / tidak nyaman di dada seperti ditindih oleh benda berat
Terus menerus lebih dari 20 menit
Muncul saat melakukan aktivitas ringan
Tidak hilang dengan istirahat
Nyeri menjalar ke daerah bahu kiri, lengan kiri, atau dada kanan
Disertai keluarnya keringat dan rasa mual serta muntah
Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada.
Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi
serta pada pasien berusia lanjut. Gejala yang tidak khas ini terutama dialami oleh
wanita, usia tua, dan orang-orang yang sebelumnya mengidap kencing manis.
D. Patofisiologi
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium (harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi) :
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin
kinase (CKMB) dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan
secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti
peningkatan CKMB.
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai
enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis
jantung.
1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-
10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK),
Lactic dehydrogenase (LDH)
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear
yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7
hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan
di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-
10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan
untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus
diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan
infark ventrikel kanan.
Foto thorax Gagal jantung akan terlihat pada bendungan paru berupa peebaran
gerakn bparu dan hipertropi ventrikel.
Percutan Coronary Angiografi (PCA) Pemasangan kateter jantung dengan
menggunakan zat kontrak dan memonitor x-ray guna mengetahui sumbatan pada
arteri coroner.
Tes treadmill.
F. Pengkajian Primer
Airway Mengkaji jalan napas melalui Look, Listen, dan Feel.
Breathing Mengkaji pola napas melalui Look, Listen, dan Feel.
Circulation Frekuensi dan irama jantung perlu dipantau secara terus menerus.
Adanya disritmia dapat merupakan petunjuk ketidakseimbangan suplai dengan
kebutuhan oksigen jantung dan di pantau terhadap perlunya diberikan terapi
antidisritmia. Bila terjadi disritma tanpa nyeri dada, maka parameter klinis lain selain
oksigenasi yang adekuat harus di cari, seperti kadar kalium serum terakhir (Smeltzer
& Bare, 2008 dalam (Darliana, 2007)). Bunyi jantung harus diauskultasi secara
terus-menerus, karena bunyi jantung abnormal dapat timbul. Deteksi dini S3 yang
diikuti penatalaksanaan medis yang agresif dapat mencegah edema paru yang
mengancam jiwa. Adanya bunyi murmur yang sebelumnya tidak ada menunjukkan
perubahan fungsi otot miokard sedangkan friction rub menunjukkan adanya
perikarditis (Lily, 2008 dalam (Darliana, 2007)). Tekanan darah di ukur dan di
monitor untuk menentukan respon terhadap nyeri dan keberhasilan terapi khususnya
vasodilator. Denyut nadi perifer Denyut nadi perifer dievaluasi secara teratur.
Perbedaan frekuensi nadi perifer dengan frekuensi denyut jantung menegaskan adanya
disritmia seperti atrial fibrilasi. Denyut nadi perifer paling sering di evaluasi untuk
menentukan kecukupan aliran darah ke ekstremitas (Black & Hawk, 2005 dalam
(Darliana, 2007)).
Disability Tingkat kesadaran Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang
dipantau dengan ketat. Perubahan penginderaan berarti jantung tidak mampu
memompa darah yang cukup untuk oksigenasi otak. Bila pasien mendapatkan obat
yang mempengaruhi fungsi pembekuan darah, maka pengawasan terhadap adanya
tanda-tanda perdarahan otak merupakan hal penting yang harus dilakukan (Smeltzer
& Bare, 2008 dalam (Darliana, 2007)).
Exposure Lihat secara keseluruhan apakah ada luka ataupun pendaharan pada klien.
G. Pengkajian Sekunder
Gunakan pengkajian anamnesis (meliputi SAMPLE), pemeriksaan fisik (head to toe),
pengkajian kebutuhan dasar manusia (apabila memungkinkan)
H. Diagnosa Keperawatan (Herdman, 2016)
Diagnosa STEMI didasarkan pada proses khas nyeri dada, elevasi segmen ST pada
EKG ditambah dengan elevasi penanda jantung dalam serum. Diagnosa keperawatan
yang mungkin terjadi yaitu:
I. Intervensi Keperawatan
Konsep intervensi keperawatan :
Menghilangkan nyeri Menghilangkan nyeri dada merupakan prioritas utama
pada pasien dengan STEMI, dan terapi medis diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut, sehingga penatalaksanaan nyeri dada merupakan usaha kolaborasi
dokter dengan perawat.
Istirahat fisik Bedrest dengan posisi semifowler atau menggunakan cardiac
dapat mengurangi nyeri dada dan dispnea. Posisi kepala yang lebih tinggi sangat
bermanfaat bagi pasien karena: (1) Volume tidal dapat diperbaiki karena
tekanan isi abdomen terhadap diafragma berkurang sehinngga pertukaran gas
dapat lebih baik, (2) Drainase lobus atas paru lebih baik serta (3) Aliran balik
vena ke jantung (preload) berkurang sehingga mengurangi kerja jantung
(Smeltzer & Bare, 2008; Underhill, 2005 dalam (Darliana, 2007)).
Memperbaiki fungsi respirasi Pengkajian fungsi pernafasan yang teratur dan
teliti dapat membantu perawat mendeteksi tanda-tanda awal komplikasi yang
berhubungan dengan paru. Perhatian yang mendalam mengenai status volume
cairan dapat mencegah overload jantung dan paru.
Mengurangi kecemasan Membina hubungan saling percaya dalam perawatan
pasien sangat penting. untuk mengurangi kecemasan. Rasa diterima dan
diperhatikan akan membantu pasien mengetahui bahwa perasaan seperti itu
masuk akal dan normal, sehingga diharapkan dapat mengurangi kecemasannya.
Coronary precaution Coronary precaution pada pasien STEMI yaitu
menghindari valsava maneuver. Valsava maneuver dapat menyebabkan udara
terperangkap dalam paru akibat penutupan glotis dan meningkatnya tekanan
darah sistolik dan frekuensi jantung. Meningkatnya tekanan intrathorak akan
menyebabkan penurunan venous return, penurunan preload, penurunan stroke
volume, penurunan cardiac output sehingga menyebabkan peningkatan heart
rate dan vasokontriksi perifer. Ketika tekanan intrathorak menurun, preload
meningkat sehingga akan mengakibatkan peningkatan beban kerja jantung
(Underhill, 2005; Black & Hawk, 2005 (Darliana, 2007))
Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan di rumah Discharge
planning diberikan segera setelah pasien di rawat di rumah sakit dan sebelum
pulang pasien seharusnya sudah menerima instruksi secara detail follow up
kesehatannya antara lain latihan fisik, diet, obat-obatan, modifikasi faktor risiko
dan kapan harus mencari pertolongan medis.
Rehabilitasi jantung Rehabilitasi bertujuan untuk mengembangkan dan
memperbaiki kualitas hidup pasien, sedangkan tujuan jangka pendek adalah
mengembalikan sesegera mungkin ke gaya hidup normal atau mendekati
normal.
Pemantauan dan penatalaksanaan komplikasi potensial Komplikasi yang
dapat terjadi antara lain disritmia, shock kardiogenik, gagal jantung dan lain lain
yang dapat menimbulkan kematian, oleh karena itu identifikasi dini tanda dan
gejala yang dapat mencetuskan awitan tersebut. Pasien dipantau dengan ketat
terhadap perubahan frekuensi, irama, bunyi jantung, tekanan darah, nyeri dada,
status pernafasan, haluaran urine, suhu, warna kulit, perubahan penginderaan
dan perubahan nilai laboratorium (Smeltzer & Bare, 2008 dalam (Darliana,
2007)).
Intervensi Keperawatan menurut NIC (Bulechek, dkk., 2013)
1. Pola pernafasan tidak efektif, intervensi :
Mandiri :
Pantau TTV
Observasi pola napas
Berikan posisi semi fowler
Kolaborasi :
Kolab pemberian O2
Kolab pemberian obat
2. Nyeri akut, intervensi :
Mandiri :
Pantau TTV
Pantau Nyeri
Anjurkan Teknik Distraksi Relaksasi
Kolab Pemberian Obat Analgenik
Kolaborasi :
Kolab Pemberian Obat Analgenik
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
Tanggal Masuk : Rabu, 23 Agustus 2017
Tanggal Pengkajian : Rabu, 23 Agustus 2017
Ruang : ICU
Diagnosa Medis : Stemi Anteroseptal
1. Identitas Klien
a. Nama : Tn. S
b. Tanggal Lahir /Usia : 62 Tahun
c. Jenis Kelamin : Laki Laki
d. Alamat : Beran Lemah Ireng RT2 RW5 Boyolali
e. Diagnosa Medis : ST-EMI Anteroseptal
f. No. RM : 371****
Identitas Penanggung Jawab
a. Nama : Tn. K
b. Umur : 38 Tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Hubungan : Anak dari pasien
2. Pengkajian Primer
Tidak terdapat sumbatan jalan nafas pada pasien, klien
mampu bernafas spontan. Tidak terdapat suara nafas
Airway
tambahan pada pasien, tidak terdapat bunyi gugling, bunyi
snoring pada pasien. Terasa hembusan nafas pada pasien
Tidak terdapat luka maupun jejas pada dada klien, terpasang
nasal kanul 3liter/hari, menggunakan otot bantu untuk
Breathing pernafasan. Tidak terdapat suara nafas tambahan pada
pasien, tidak terdapat bunyi gugling, tak ada bunyi snoring
pada pasien, suara nafas vesikuler
Circulation capilary refill kurang dari 2 detik, tidak ada perdarahan
yang tampak, tidak ada sianosis, akral pada ekstremitas
atas dan bawah hangat, terdapat nyeri dada dan nyeri ulu
pada klien.
Kesadaran composmentis dengan GCS: (E4, M6, V5),
ukuran pupil 2/2 mm (isokor), terdapat reaksi cahaya pada
Disability pupil (kanan-kiri), kekuatan otot ekstremitas atas
kanan/kiri: 5/5, kekuatan otot ekstremitas bawah
kanan/kiri: 5/5.
Tidak ada luka maupun jejas pada seluruh tubuh. Suhu:
Exposure 36,8C. Klien terbaring dengan posisi semifowler, akral
pada ekstremitas atas dan bawah hangat.
3. Pengkajian Sekunder
a. Symptoms
Klien merasakan nyeri pada uluhati mulai dari 3 hari yang lalu, nyeri dada seperti
tertimba benda barat sampai kebelakang punggung.
b. Allergies
Klien tidak memiliki alergi.
c. Medication
CPG, ISDN, Aspilets, Omeprazole, Moprhin
d. Past Illnes
Klien memiliki riwayat penyakit jantng
e. Last Meal
Klien mampu makan nasi dan lauk pauk seperti biasa
f. Event
Klien mampu menceritakan kejadian yang berkaita dengan sakit yang dialami oleh
klien
g. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran : Composmentis
2) TTV : 119/83 mmhg
3) BB dan TB : 80 kg dan 165 cm
Bagian Keterangan
Hidung Tidak ada lesi, tidak ada discharge, tidak ada deviasi septum,
terpasang oksigen nasal kanul 4 liter/menit
Mulut dan Gigi Mukosa bibir dan mulut tampak kering, bersih,tidak terdapat
kandidiasis/stomatitis, gigi lengkap, tidak ada gigi palsu, karies
gigi
Jantung Inspeksi : Ictus Cordis tampak, tidak ada lesi pada daerah dada.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, tidak ada gallop, tidak ada
murmur.
Dada dan Paru Inspeksi : Pergerakan dada simetris, tidak ada jejas
Palpasi : Tidak ada massa, taktil fremitus sama kanan dan kiri,
tidak ada deformitas. Klien merasakan nyeri di dada kiri
Abdomen Inspeksi : Bentuk cembung, tidak ada lesi, tidak ada discharge
pada umbilikal.
Ekstremitas Atas:
Bawah:
Integument Penyebaran warna kulit merata, kulit teraba elastis, tidak terlihat
adanya ruam atau luka
h. Kebutuhan Dasar Manusia
Oksigenasi a. Sebelum sakit :
Klien mengatakan klien tidak ada gangguan pernapasan.
Klien bernapas normal.
b. Saat sakit :
Klien bernapas tanpa menggunakan alat bantu pernapasan.
b. Saat sakit :
Klien makan 3x sehari dengan pagi, siang, malam dengan
waktu sesuai program rumah sakit. Selama sakit klien hanya
minum air putih kira-kira 2 gelas setiap hari ditambah teh
manis setiap pagi. Klien terpasang infuse RL 20 tpm 500 cc.
Eliminasi a. BAB
Sebelum sakit :
Klien mengatakan klien BAB 2 kali sehari dengan warna
coklat dan tekstur lembek..
Saat sakit :
Klien mengatakan klien belum pernah BAB selama di rumah
sakit.
b. BAK
Sebelum sakit :
Klien mengatakan klien BAK 4 kali sehari, selama BAK
klien tidak mengalami gangguan dan lancar dengan warna
urin putih kekuningan.
Saat sakit :
Klien mengatakan klien BAK 5 kali sehari dengan volume
yang lebih banyak, selama BAK klien tidak mengalami
gangguan dan lancar dengan warna urin kuning.
Keamanan dan Klien mengatakan nyeri pada dada dan ulu hati
Kenyamanan P: klien mengatakan nyeri dada dan ulu hati ketika kelelahan saat
sedang beraktivitas
Q: nyeri seperti ditindih barang berat
R: nyeri yang dirasakan menyebar sampai ke punggung belakang
S: skala nyeri 5
T: nyeri muncul terus-terusan
5. Terapi Medis
Aspilets II tab
B. ANALISA DATA DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
Data Objektif:
- Klien tampak meringis kesakitan
- Klien selalu fokus terhadap diri
sendiri akibat menahan nyeri
- Raut muka menyeringai
02 Rabu, 23 Data Subjektif: Ketidakefektifan pola Adanya infark miokard
Agustus 2017 nafas
- Klien mengeluh sesak bila bernafas
- Klien mengeluh nyeri pada dada
Data Obyektif:
Terapi Oksigen
02 Rabu, 23 Agustus Nyeri akut b.d agens Setelah dilakukan tindakan Pain management
2017 cedera fisik (adanya keperawatan selama 24 jam
- Melakukan pengkajian nyeri
infark miokard) diharapkan nyeri berkurang
secara komprehensif
dengan kriteria hasil :
termasuk lokasi ,
- Mampu mengontrol karakteristik, durasi
nyeri (tahu penyebab frekuensi, kualitas dan faktor
nyeri, mampu predisposisi
menggunakan teknik - Observasi reaksi nonverbal
nonfarmakologi) dari ketidaknyamanan
- Melaporkan bahwa - Menggunakan teknik
nyeri berkurang dengan terapeutik untuk mengetahui
menggunakan teknik pengalaman nyeri
menejemen nyeri - Kontrol lingkungan yang
- Mampu mengenali dapat mempengaruhi nyeri
nyeri (skala, intensitas, seperti suhu ruangan,
frekuensi dan tanda kebisingan, pencahayaan.
nyeri) - Ajarkan teknik non
- Menyatakan rasa farmakologi (mis nafas
nyaman setelah nyeri dalam, perilaku distraksi,
berkurang visualisasi, atau bimbingan
imajinasi)
- Berikan analgetik untuk
menguarangi nyeri.
- Evaluasi penerimaan pasien
tentang menejemen nyeri
D. IMPLEMENTASI
HR : 62
Suhu : 36,2 0C
Sp02 : 99%
O:
S: skala nyeri 8
01 Ketidakefektifan pola nafas b.d adanya infark S : Klien mengatakan masih sesak napas
miokard
O : Klien terpasang nasal kanul 4 liter/menit
02 Nyeri akut b.d agens cedera biologis (adanya S: Klien menyatakan nyeri di ulu hati
infark miokard)
O:
S: skala nyeri 7
P : Lanjutkan intervensi
PEMBAHASAN
Diagnose keperawatan yang muncul adalah ketidakefektifan pola nafas b.d adanya
infark miokard. Klien mendapatkan intervensi posisi tidur semi fowler, dan menggunakan
terapi oksigen. Posisi semi fowler dilakukan untuk menurunkan RR klien yang tinggi, 28 x
per menit dan SpO2 98%. Metode yang paling sederhana dan efektif untuk mengurangi
resiko penurunan pengembangan dinding dada yaitu dengan pengaturan posisi saat istirahat.
Posisi yang paling efektif bagi Klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah diberikannya
posisi semi fowler dengan derajat kemiringan 30-45 (Yulia, 2008 dalam (Majampoh et al.,
2013). Posisi semi fowler pada klien STEMI telah dilakukan sebagai salah satu cara untuk
membantu mengurangi sesak napas (Bare, 2010). Tujuan dari tindakan ini adalah untuk
menurunkan konsumsi O2 dan menormalkan ekspansi paru yang maksimal, serta
mempertahankan kenyamanan (Azis & Musrifatul, 2012).
Diagnose keperawatan yang ditemukan adalah nyeri akut b.d agens cedera biologis
(adanya infark miokard). Klien mengatakan nyeri yang dialami berasal dari dada dan ulu hati
ketika kelelahan saat sedang beraktivitas, nyeri seperti ditindih barang berat, nyeri yang
dirasakan menyebar sampai ke punggung belakang, skala nyeri 5 dari 1-10 dan nyeri muncul
terus-terusan. Klien mendapatkan manajemen nyeri farmakologi dan non farmakologi. Terapi
farmakologi yang didapatkan klien adalah pemberian Injeksi Morphin 2,5 mg. Klien
diajarkan terapi relaksasi nafas dalam dan kompres hangat untuk menurunkan tingkat nyeri
dan mengajarkan teknik tersebut sehingga tidak tergantung pada pengobatan. Penanganan
nyeri dengan teknik non farmakologi merupakan modal utama menuju kenyamanan (Catur,
2005). Dipandang dari segi biaya dan manfaat, penggunaan manajemen non farmakologi
lebih ekonomis dan tidak ada efek sampingnya jika dibandingkan dengan penggunaan
manajemen farmakologi. Selain juga mengurangi ketergantungan Klien terhadap obat-obatan
(Burroughs, 2001 dalam Yusrizal, Zamzahar, & Anas, 2012).
Manajemen nyeri dengan tindakan relaksasi mencakup relaksasi otot, nafas dalam,
masase, meditasi dan perilaku serta distraksi. Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu
bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien
bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal)
dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas
nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan
oksigenisasi darah (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Yusrizal et al., 2012).
Petrofsky et al. (2009) dalam (Sanusi, 2015) membuktikan bahwa kompres hangat
pada suhu 31-41C dapat meningkatkan viabilitas nitric okside sehingga meningkatkan
kemampuan dinding pembuluh darah melakukan vasodilatasi dan relaksasi untuk
meningkatkan kelembaban jaringan kulit sekitar sehingga mengurangi kekakuan pada lapisan
dermis dan epidermis . Dengan demikian, proses insersi jarum dapat lebih mudah dan
mengurangi tekanan pada reseptor nyeri sehingga mampu mengurangi intensitas nyeri
Evaluasi dari tindakan yang dilakukan menurut jurnal yakni pemberian posisi semi
fowler pada klien dengan ketidakefektifan pola nafas dapat efektif mengurangi sesak nafas
(Refi Safitri, 2011). Teridentifikasi frekuensi pernapasan sebelum diberikan posisi semi
fowler sebagian besar termasuk frekuensi sesak napas sedang sampai berat.
Evaluasi dari tindakan yang dilakukan menurut jurnal yakni pemberian manajemen nyeri
non farmakologi Penanganan nyeri dengan teknik non farmakologi merupakan modal utama
menuju kenyamanan (Catur, 2005). Dipandang dari segi biaya dan manfaat, penggunaan
manajemen non farmakologi lebih ekonomis dan tidak ada efek sampingnya jika
dibandingkan dengan penggunaan manajemen farmakologi. Selain juga mengurangi
ketergantungan Klien terhadap obat-obatan (Burroughs, 2001 dalam Yusrizal, Zamzahar, &
Anas, 2012)
BAB V
KESIMPULAN
Setelah diberikan intervensi klien masih merasakan sesak nafas dan memakai nasal
kanul 4 lpm juga skala nyeri klien turun satu skala dari 5 menjadi 4 dari rentang nyeri 1-10.
Perlu adanya tindak lanjut terkait intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Refi Safitri, A. A. (2011). Keefektifan Pemberian Posisi Semi Fowler terhadap Penurunan
Sesak Nafas pada Klien Asma di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Gaster, 8(2), 783792.
Sanusi, S. (2015). Perbandingan Efek Kompres Hangat dengan Kompres Dingin Terhadap
Intensitas Nyeri Saat Insersi Jarum Pada Klien Gagal Ginjal Yang Menjalani
Hemodialisis Rutin Di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung. Jurnal Keperawatan
Aisyiyah, 2(1), 6979.
World Health Organization. Global status report on noncommunicable diseases 2014.
Geneva: World Health Organization; 2014
Yusrizal, Zamzahar, Z., & Anas, E. (2012). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan
Masase Terhadap Penurunan Skala Nyeri Klien Pasca Apendiktomi di Ruang Bedah
RSUD Dr. M. Zein Painan. NERS JURNAL KEPERAWATAN, 8(2), 138146.