Definisi Audience

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Definisi Audience

Asal historis audience telah memainkan peran yang besar dalam pembentukan berbagai
penerapan konsep audience. Semula audience adalah kumpulan penonton drama, permainan
dan tontonan, yaitu penonton pertunjukan hal yang telah mengambil berbagai bentuk yang
tidak serupa dalam peradaban dan tahapan sejarah yang berbeda. Terdapat dari
keanekaragaman itu, beberapa ciri penting dari audience peran media telah ada sejak dan
masih membentuk pemahaman kita.

Konsep Alternatif tentang audience menurut Dennis McQuail (1987)


1. Audience sebagai massa
Audience sebagai massa bahwa pandangan tentang audience ini menekankan ukurannya yang
besar heterogenitas, penyebaran dan anonimitasnya serta lemahnya organisasi sosial dan
komposisinya yang berubah dengan cepat dan tidak konsisten. Massa tidak memiliki
keberadaan (eksistensi) yang berlanjut kecuali dalam pikiran mereka yang ingin memperoleh
perhatian dari dan memanipulasi orang-orang sebanyak mungkin. Hal itu mengakibatkan
standar untuk memutuskan audience semakin mendekati pengertian massa.

2. Audience sebagai publik atau kelompok sosial


Unsur penting dalam versi audience sebagai publik atau kelompok sosial adalah pra
eksistensi dari kelompok sosial yang aktif, interaktif dan sebagian besar otonom yang
dilayani media tertentu tetapi keberadaannya tidak bergantung pada media. Gagasan tentang
publik setelah dibahas melalui sosisologi dan teori demokrasi liberal.

3. Audience sebagai kumpulan penonton, pembaca, pendengar, dan pemirsa


Kumpulan inilah yang disebut sebgai audience dalam bentuknya yang paling dikenali dan
versi yang diterapkan dalam hampir seluruh penelitian media itu sendiri. Fokusnya pada
jumlah-jumlah total orang yang dapat dijangkau oleh satuan isi media tertentu dan jumlah
orang dalam karakteristik demografi tertentu yang penting bagi pengirim.

2
4. Audience sebagai pasar
Audiensi sebagai pasar adalah perkembangan ekonomi pada abad terakhir yang
perkembangnnya diikuti oleh perkembangan kebudayaan dan perkembangan politik sesuai
konsep tentang publik. Produk media merupakan komoditi atau jasa yang ditawarkan untuk
dijual kepada konsumen tertentu yang potensial, yang bersaing dengan produk media lainnya.

Teori Audience

Media dan audience ada dua versi pengertian audience. Banyak ahli menganggapnya sama
pengertiannya dengan massa secara beranekaragam dalam jumlah besar. Ada juga yang
melihat sebagai kelompok-kelompok kecil atau komunitas kecil. Pengertian yang pertama
(keanekaragam kelompok massa) melihat audience sebagai populasi yang besar jumlahnya
dan bisa dibentuk oleh media. Sedangkan yang terakhir (komunitas kecil kelompok),
audience dipandang sebagai anggota dalam kelompok-kelompok kecil yang berbeda-beda,
yang sebagian besar bisa dipengaruhi oleh kelompoknya. Dunia perpustakaan menganggap
audience sebagai pengguna informasi dan sumber-sumber informasi. Pengguna di sini masih
dibedakan antara pengguna aktual dan pengguna potensial. Yang pertama adalah mereka
yang sudah memanfaatkan jasa layanan perpustakaan apapun bentuk layanannya, sedangkan
yang kedua adalah mereka yang belum sempat datang atau memanfaatkan jasa layanan
perpustakaan dengan berbagai alasan. Kelompok pengguna potensial ini juga disebut sebagai
masyarakat luas, atau anggota masyarakat luas. Audience pasif dan audience aktif.

Audience pasif
Dalam teori peluru (Bullet Theory) atau Model Jarum Hipodermis, audience dianggap pasif
maksudnya adalah pengertian yang menganggap bahwa masyarakat lebih banyak dipengaruhi
oleh media. Mereka secara pasif menerima apa yang disampaikan media. Mereka menerima
secara langsung apa-apa yang disampaikan oleh media atau dengan kata lain, Media of
Power Full.

Audience aktif
Uses and Gratification Theory, beranggapan bahwa audience dianggap sebagai audience yang
aktif dan diarahkan oleh tujuan. Audience sangat bertanggung jawab dalam memilih media
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam pandangan ini, media dianggap sebagai
satu-satunya faktor yang mendukung bagaimana kebutuhan terpenuhi, dan audience dianggap
sebagai perantara yang besar. Mereka tahu kebutuhan mereka dan bagaimana memenuhi
kebutuhan tersebut atau dengan kata lain, mereka lebih selektif dalam menerima pesan-pesan
media. Mereka juga selektif dalam memilih dan menggunakan media.
Ciri-ciri audiens aktif bisa dilihat sifat-sifatnya seperti berikut:
1. Selektifitas. Audience lebih selektif dalam memilih dan menggunakan media. Mereka tidak
asal melihat, mendengar, atau membaca media yang disajikan di depannya. Mereka memilih
satu atau beberapa media yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhannya. Contohnya,
anggota kelompok masyarakat yang berpendidikan relatif tinggi, umumnya hanya membaca
bahan bacaan atau media tertentu saja yang ada kaitannya dengan pekerjaannya saja, dan
jarang sekali membaca media yang tidak relevan.
2. Utilitarianisme. Audience aktif lebih banyak memilih media yang dianggapnya bermanfaat
bagi dirinya karena sesuai dengan tujuan menggunakannya.
3. Intensionalitas. Audience aktif lebih suka menggunakan media karena isinya, bukan
pertimbangan aspek luarnya.
4. Keterlibatan atau usaha. Audience secara aktif mengikuti dan memikirkan penggunaan
media.
5. Tidak mudah terpengaruh (impervious to influence). Audience tidak gampang dipengaruhi
oleh media yang digunakannya.

Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch (Baran dan Davis, 2000)
Uses and gratification theory meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang
menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa
pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan
menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Untuk memahami teori uses and
gratification, menguraikan lima elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Teori Uses and
Gratification sebagai berikut :
1) Audience adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan,
2) Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik
terletak di tangan audiens,
3) Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audience,
4) Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan penggunaan media,
kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan
penggunaan itu,
5) Nilai pertimbangan seputar keperluan audience tentang media spesifik atau isi harus
dibentuk.
Teori Audience Melvin De Fleur dan Sandra Ball-Rokeach (1988)
Ada beberapa teori massa audience dalam melihat efek media massa ada dua catatan penting
yang bisa dijadikan dasar, yakni interaksi audience dan bagaimana tindakan terhadap isi
media. Ada tiga teori yang menjelaskan antara lain :
1. Individual Differences Perspective.
Perspektif perbedaan individual memandang bahwa sikap dan organisasi personal-psikologis
individu akan menentukan bagaimana individu memilih memilih stimuli dari lingkungan, dan
bagaimana ia memberi makna pada stimuli tersebut. Berdasarkan ide dasar dari stimulus-
response, perspektif ini beranggapan bahwa tidak ada audience yang relatif sama, makanya
pengaruh media massa pada masing-masing individu berbeda dan tergantung pada kondisi
psikologi individu itu yang berasal dari pengalaman masa lalunya.
Dengan kata lain, masing-masing individu anggota audience bertindak menanggapi pesan
yang disiarkan media secara berbeda, hal ini menyebabkan mereka juga menggunakan atau
merespon pesan secara berbeda pula.
Dalam diri individu audience terdapat apa yang disebut konsep diri, konsep diri
mempengaruhi perilaku komunikasi kepada pesan apa yang bersedia membuka diri,
bagaimana kita mempersepsi pesan itu, dan apa yang kita ingat. Dengan kata lain, konsep diri
mempengaruhi terpaan selektif, persepsi selektif, ingatan selektif.

2. Social Categories Perspective.


Perspektif ini melihat di dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang
didasarkan pada karakteristik umum seperti jenis kelamin, umur, pendidikan, pendapatan,
keyakinan beragama, tempat tinggal, dan sebagainya. Masing-masing kelompok sosial itu
memberi kecenderungan anggota-anggotanya mempunyai kesamaan norma sosial, nilai, dan
sikap. Dari kesamaan itu mereka akan mereaksi secara sama pada pesan khusus yang
diterimanya. Berdasarkan perspektif ini, pemilihan dan penafsiran isi oleh audience
dipengaruhi oleh pendapat dan kepentingan yang ada dan oleh norma-norma kelompok
sosial. Dalam konsep audience sebagai pasar dan sebagai pembaca, perspektif ini melahirkan
segmentasi. Contoh: Anak-anak membaca Bobo, Yunior, Ananda. Ibu-ibu membaca Kartini,
Sarinah, Femina. Kaum Islam membaca Sabili, Hidayah.

3. Social Relation Perspective.


Didasarkan pada penelitian Paul lazarfeld, Bernard Berelson, dan Elihi Kartz menyatakan
bahwa hubungan secara informal mempengaruhi audience dalam merespon pesan media
massa. Dampak komunikasi massa yang diberikan diubah secara signifikan oleh individu-
individu yang mempunyai kekuatan hubungan sosial dengan anggota audience. Tentunya
perspektif ini eksis pada proses komunikasi massa dua tahap, dan atau multi tahap.

Herta Herzog, Paul Lazarsfeld dan Frank Stanton (Barran & Davis, 2003)
Sejarah penelitian/pembahasan mengenai audience telah dimulai seiring dengan penelitian
tentang efek komunikasi massa. Pada awalnya, audience dianggap pasif (dalam teori peluru
(Bullet Theory) atau Model Jarum Hipodermis). Namun pembahasan audience secara intensif
yang dimulai tahun 1940, memelopori mempelajari aktifitas audience (yang kemudian
melahirkan konsep audience aktif) dan kepuasan audience
Misal, pada tahun 1942 Lazarfeld dan Stanton memproduksi buku seri dengan perhatian pada
bagaimana audience menggunakan media untuk mengorganisir pengalaman dan kehidupan
sehari-hari. Tahun 1944 Herzog menulis artikel Motivation and Gratifications of Daily Serial
Listener, yang merupakan publikasi awal tentang penelitian kepuasan audience terhadap
media.
Aktifitas audience merujuk pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Sejauh mana selektivitas audience terhadap pesan-pesan komunikasi,
b. Kadar dan jenis motivasi audience yang menimbulkan penggunaan media,
c. Penolakan terhadap pengaruh yang tidak diinginkan,
d. Jenis & jumlah tanggapan(response) yang diajukan audience media (McQuail, 1987).
Pada waktu itu, aktivitas audience merupakan fokus kajian uses and gratifications. Secara
umum, pandangan para peneliti dalam tradisi uses and gratifications media menganggap
bahwa audience aktif dalam hal kesukarelaan dan orientasi selektif dalam proses komunikasi
massa.

Teori jarum Hipodermik

Lasswell dan Lazarsfeld memusatkan penelitian pada dampak media massa terhadap
pembentukan ruang bagi informasi publik dan perubahan sikap audience. Bukti-bukti
penelitian mereka dapat dilacak pada perpustakaan Universitas Yale. (Hovland, 1949). Riset
lazarfed akhirnya melahirkan teori yang paling banyak dikenal yakni hypodermic needle
theory atau yang disebut teori peluru.
Teori hypodermic menjelaskan tentang kekuatan efek media massa terhadap perubahan sikap
dan perilaku audiens.
Pada tahun 1948, Lazarsfeld dkk. Memperbaharui perspektif teori peluru dan mengubah
pandangan mereka dan mengatakan bahwa pengaruh media masssa ternyata tidak berdampak
langsung terrhadap audiens namun terlebih dahulu mempengaruhi para pemuka pendapat,
setelah itu para pemuka pendapat mempengaruhi perubahan sikap dan perilaku audiens lewat
interaksi tatap muka.

Dalam paradigma atau perspektif mekanistis yang telah dijelaskan dimuka, komunikasi
politik itu berlangsung dalam sebuah proses seperti ban berjalan secara mekanis, dengan
unsur-unsur yang jelas, yaitu sumber (komunikator), pesan (komunikan), saluran (media),
penerima (khalayak), dan umpan balik (efek). Artinya sumber mengirim pesan kepada
penerima menerima saluran tertentu dan menimbulkan akibat atau efek. Berdasarkan hukum
peliput dapat dibuat prediksi yang bersyarat, yaitu jika (ada pesan tertentu), maka akan ada
efek tertentu (pada penerima). Itulah sebabnya dalam model mekanistis, studi komunikasi
politik di fokuskan pada efek.

Berdasarkan paradigma mekanistis dan unsur-unsur terkandung dalam proses komunikasi


tersebut, secara sederhana lasswell merumuskan dalam sebuah formula, Siapa berkata apa,
melalui saluran apa, kepada siapa, dan bagaimana efeknya ?
(who says what, in whic chanel, whom with what efek ? ). Kemudian formula lasswell
tersebut oleh nimmo (1999) dijadikan sebagai dasar menganalisis komunikasi politik.
Selanjutnya, nimmo (1999) menjelaskan bahwa proses komunikasi itu secara mekanistis
adalah komunikator politik (politisi aktifis atau profesional) menyampaikan pesan politik
kepada khlayak politik, melalui media politik. Dengan demikian akan timbul umpan balik
(feed back) atau efek politik misalnya pendapat umum, berupa dukungan atau penolakan
atau ragu-ragu. Paradigma atau model mekanistis tersebut menghasilkan dua asumsi dasar.
1. Penerima (komunikan) atau khalayak pasif atau tidak berdaya ketika menerima pesan dari
komunikator. Artinya, komunikator dengan mudah mempengaruhi komunikan (penerima),
atau khalayak.
2. Media massa sangat perkasa dan bahkan kekuatannya mendekati gaib. Artinya, semua pesan
yang disalurkan oleh media massa dengan muadah mempengaruhi khalayak. Bahkan, oleh
McLuhan(1994) menyebut bahwa media itu sendiri adalah pesan (the medium is the
message). Khalayak yang tak berdaya itu, sering juga disebut khalayak pasif.
Konsep khalayak tak berdaya atau khalayak pasif dan asumsi media perkasa dari paradigma
mekanistis itu, dengan mudah dikenal melalui berbagai literatur yang memuat teori dasar
dengan nama yang berbeda seperti Hypodermic Needle theory (teori jarum hipodermik), dan
the bullet theory of communication (teori peluru). Banyak pakar yang mengembangkan teori
itu selama massa awal ilmu komunikasi, yang paling terkenal dan produktif adalah Wilbur
Schramm. Dalam bingkai teori dasar tersebut, Schramm juga memprekenalkan konsep teori
pembangunan (Communication of development), dan Everett M. Rogers dan Shoemaker
mengembangkan konsep komunikasi pembaharuan (communication and inovation).
Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik (politisi, profesional dan aktifis) selalu
memandang bahwa pesan politik apapun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi kalau
melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang positif berupa cara yang baik,
penerimaan atau dukungan. Itulah sebabnya kegiatan komunikasi politik banyak dilakukan
melalui pidato pada rapat umum atau melalui media massa.

Ternyata asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena efek sangat tergantung pada situasi
dan kondisi khalayak, disamping daya tarik isi, dan kreadibilitas komunikator. Bahkan,
berbagai hasil penelitian, membuktikan bahwa media massa memliki pengaruh lebih dominan
dalam tingkat kognitif (pengetahuan) saja, tetapi kurang mampu menembus pengaruh pada
sikap dan perilaku. Wilbur schrmm sendiri setelah 25 tahun mencetuskan teorinya diatas,
akhirnya menyanggah sendiri karena berdasar penelitian para pakar psikolog dan sosisologi
menemukan bahwa sesungguhnya khalayak itu tidak pasif dalam menerima pesan. Tiap-tiap
individu ternyata sangat aktif dalam menyaring dan menyeleksi dan bahkan memiliki daya
tangkal atau daya serap terhadap semua pengaruh yang berasal dari luar dirinya. Tiap-tiap
individu tidak mengalami pengaruh secara pasif, melainkan secara aktif. Jiwa individu sendiri
memiliki potensi dinamis dalam mewujudkan sikap atau kelakuannya.
Lyzen (1967) menyatakan bahwa manusia mempunyai watak dan sifat tertentu yang menjadi
senjata baginya terhadap pengaruh pengaruh sosial dari luar. Hampir tidak ada seorang pun
yang mau menjadi bola permainan orang lain belaka. Oleh karena itu, tiap-tiap individu juga
sadar akan dirinya sendiri, dan dari kesadaran itu ia hidup dan mengumpulkan kekuatan
rohani untuk bertindak sendiri.

Dengan demikan, asumsi bahwa khalayak pasif dan media perkasa, tidak terbukti secara
empirik. Meskipun demikian, Teori Jarum Hipodermik atau Teori Peluru, tidak Runtuh
sama sekali karena tetap dapat di aplikasikan atau digunakan untuk menciptakan efektivitas
dalam komuniukasi politik. Hal itu tergantung kepada sistem politik, sistem organisasi dan
situasi, terutama yang dapat diterapkan dalam sistem politik yang otoriter, dengan bentuk
kegiatan seperti : Indokrinasi, perintah, intruksi, penugasan, dan pengarahan. Itulah sebabnya
dalam organisasi militer dan birokrasi, penerapan teori itu tetap relevan dan mampu
menciptakan komunikasi yang efektif.

Di negara-negara demokrasi. Teori jarum hipodermik atau teori peluru dibangkitkan


kembali dengan berkembangnya dengan agenda seting. Model ini dimulai dengan asumsi,
bahwa media massa menyaring berita, artikel dan tulisan, yang disiarkan dan memusatkan
perhatian kepada efek kognitif khalayak. Sedangkan Teori jarum hipodermik atau Teori
peluru memusatkan perhatian kepada efek afektif dan behavioral. Teori atau (model agenda
setting) di perkenalkan oleh Maxwell E. Mc. Comb dan Donald L.Shaw (1972), dalam usaha
mengembangkan fungsi jaga gerbang (gattekepers) dari media massa.

Pada dasarnya agenda setting disusun berdasarkan agenda khalayak, yang didapat
berdasarkan pengamatan maupun penelitian terhadap khalayak. Justru itu, agenda media dan
agenda khalayak harus berkaitan. Dalam hal itu terlihat bahwa justru acara-acara media
(agenda media) ditentukan oleh agenda khalayak. Jadi agenda setting sesungguhnya
dikembangkan sebagai upaya memahami kehadiran teori khalayak kepala batu yang akan di
uraikan kemudian.

Teori hipodermik atau teori peluru dan teori sabuk transmisi selanjutnya oleh para pakar
digambarkan juga dalam bentuk model. Itulah sebabnya teori-teori tersebut dilukiskan
sebagai model linier dalam komunikasi politik yang berkembang dalam masyarakat, terutama
yang menganut sistem politik otoritareian. Model linear hanya berlangsung satu arah yaitu
dari sumber (komunikator) kepada penerima (khalayak). Hal itu ditemukan dalam paradigma
atau perspektif mekanistis.

Teori New Media

Media Konvensional dan Media Baru (Straubhaar, 2002).


Sejak lama kita sudah mengenal media massa seperti televisi, radio, surat kabar, film,
majalah yang saat ini dikatakan sebagai media konvensional. Penggunaan istilah media
konvensional ini sebagai bentuk pembedaan dari media baru yang merupakan konvergensi
media konvensional, komputer dan telekomunikasi. Media baru tersebut adalah internet.
Mengacu pada Straubhaar (2002) media konvensional dan media baru mempunyai perbedaan
karakteristik.

Karakteristik dari media konvensional secara umum, bahwa proses komunikasi


(konvensional) selalu berawal dari sumber (source)-yang mengirimkan pesan (message)
melalui media (channel) kepada penerima (receiver), atau SMCR model, dan komunikasi
dengan menggunakan media massa diartikan sebagai komunikasi dari satu sumber ke
komunikan banyak jumlahnya, namun feedback-nya masih bersifat tertunda, menurunnya
jumlah sumber dalam media massa, tidak berkuasa dan kemampuannya sebagai gattekeepers
maupun pembentuk opini publik jauh berkurang.

Informasi, Teknologi Informasi dan Organisasi Media (Harrington (1993)


Dalam pandangan Harrington (1993), informasi dapat dimaknai dalam dua paradigma yang
dapat mempengaruhi sebuah organisasi. Pertama, dalam paradigma berdasar sumber
(resource-driven), pemahaman terhadap informasi lebih fokus pada kontinyuitas dan
konsistensi dari informasi itu sendiri. Kedua, dalam paradigma berdasar persepsi (perception-
driven), informasi dilihat sebagai sebuah konsep yang abstrak, sebagai produk dari persepsi
individual.

Ini merupakan fenomena yang temporer dan hanya dimiliki oleh penerima informasi.
Paradigma yang digunakan oleh sebuah organisasi dalam memaknai informasi akan
berpengaruh terhadap desain dari organisasi mereka. Jika informasi dipahami sebagai sebuah
sumber daya (resource) daripada sebagai hasil dari sebuah sistem, biasanya akan ada kontrol
yang lebih tersentral, karena asumsinya informasi merupakan bagian dari kekayaan
organisasi (corporate property).

Dalam kerangka paradigma ini, pandangan terhadap informasi diwarnai oleh penggunaannya
sebagai sumber. Seperti sumber daya lainnya, informasi dapat disediakan pada waktu
kapanpun dengan kepastian penerimaan sebuah nilai perkiraan darinya. Informasi dikaitkan
sebagai sesuatu yang tidak berubah, karenanya dapat dengan mudah diakomodasi ke dalam
prosedur formal dari sebuah organisasi.
Teori Ekonomi Politik Media (McQuail, 1991)
Dalam melakukan kajian terhadap media massa sebagai industri, kita dapat melakukan kajian
berdasarkan teori ekonomi politik media. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Garnham, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga
berkaitan erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat yang
diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar
berbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pesan, dan juga ditentukan
oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan.

Pandangan Media terhadap Audiensi (Burns)


Meskipun dalam pemikiran sederhana dan kenyataan publik memang merupakan klien dan
sumber pengaruh paling penting dalam lingkungan setiap organisasi media, namun
kebanyakan penelitian cenderung menunjukan bahwa banyak komunikator massa tidak
menganggap publik terlalu penting walaupun pihak manajemen selalu mengikuti eratnya
angka penjualan dan tingkat penilaian publik. Para pelaksana media cenderung menunjukkan
austim yang tinggi (keasyikan menilai diri sendiri), yang sejalan dengan sikap para
profesional lainnya dimana status mereka sangat tergantung pada pengetahuan mereka yang
lebih baik dari pengetahuan para kliennya tentang yang paling baik bagi diri mereka. Burns
memperluas perbandingan ini dengan pekerja di bidang pelayanan yang biasanya memiliki
sikap memaksa, menyembunyikan, menentang dan sikap bermusuhan yang menyakitkan
hati.
Altheide (1974) memberi komentar bahwa upaya stasiun televisi untuk menjangkau khalayak
luas yang ditelitinya ternyata mengakibatkan timbulnya pandangan sinis tentang publik yang
bodoh, tidak mampu, dan tidak berharga. Elliot (1972) dan schlesinger (1978) menemukan
keadaan yang sama pada televisi inggris.

Penggunaan Media Baru


Perlu kita sadari bahwa tekhnologi media massa tampaknya mengundang hadirnya ancaman
tertentu, sebagaimana yang di kemukakan oleh para kritikus sosial. Apa yang telah berubah
atau sedang mengalami perubahan tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan
kemungkinan terciptanya komunikasi yang lebih luas. Media baru (telematik), yang telah
disinggung sebelumnya memiliki beberapa kekhususan yang diperkirakan oleh sebagian
orang akan menimbulkan perubahan hebat dalam dunia media elektronik, sebagaimana
hebatnya perubahan yang pernah terjadi dengan ditemukannya percetakan. Kekhususan
tersebur meliputi:
Banyaknya penawaran informasi dan budaya yang tersedia dengan harga murah.
Lebih banyak pilihan nyata.
Kontrol terhadap penerima/pemakai lebih sempurna
Desentralisasi
Kegiatan timbal balik (interaktifitas), bukannya komunikasi satu arah.
Media baru tampaknya menawarkan kemungkinan terjadinya pergeseran keseimbangan
kekuasaan dari pengirim ke penerima, sehingga para pemakai dan pemilih dapat memperoleh
beraneka ragam pilihan isi, tanpa harus tergantung pada sistem mediasi dan pengendalian
komunikasi massa.

Segmentasi Audiensi
Segmentasai audiensi (audience segmentation) adalah Sarana lain untuk mengaplikasikan
kelompok pada komunikasi massa. Teknik ini aslinya dikembangkan oleh pemasang iklan,
yang menyebutnya sebagai segmentasi pasar (market segmentation). Dengan melakukan
segmentasi pasar atau membaginya menjadi kelompok-kelompok pemasang iklan dapat
merencanakan strategi komunkasi yang berbeda-beda untuk masing-masing kelompok.
Kelompok-kelompok yang ditargetkan oleh pemasang iklan sering kali adalah kelompok-
kelompok yang di identifikasi dengan gaya hidup. Keputusan penentuan acara telivisi juga
sering dipengaruhi oleh gagasan segmentasi audiensi. Apabila acara elevise tidak menarik
audiensi yang menyaksikan dengan demografi yang tepat, ini biasanya berarti audiensi
dengan pendapatan dan keinginan untuk membeli produk sponsor acara program tersebut
tidak mungkin bertahan.

Public Relation (Vogel, 1994)


Segmentasi audiensi juga telah menjadi teknik yang berguna dalam humas (public relations)
meliputi penggunaan riset survei untuk mengidentifikasi beberapa komponen audiensi yang
berbeda.
1. Lawan aktif yang menganggap topik itu penting namun tidak setuju dengan pesan anda.
2. Pendukung aktif yang setuju dengan anda.
3. Lawan yang tidak terpengaruh yang mempunyai sedikit minat dengan topik dan tidak setuju
dengan pendapat anda.
4. Pendukung yang tidak terpengaruh yang mempunyai cukup minat untuk membeli pesan
anda.
5. Mereka yang berpotensi untuk berubah yang mempunyai minat tinggi terhadap topik namun
tidak mempunyai pendapat yang amntap tentang topik itu.
6. Tidak terlibat yang tidak mempunyai pendapat yang mantap dan sedikit minat.
Vogel menunjukan bahwa hanya ada dua kelompok, pendukung aktif dan mereka yang
berpotensi untuk merubah merupakan calon yang bagus untuk pesan-pesan anda. Hendaknya
digunakan strategi komunikasi yang berbeda untuk dua target audience tersebut. Pendukung
aktif perlu menerima pesan penguatan sehingga dukungan mereka tidak goyah, merteka yang
berpotensi untuk berubah perlu menerima pesan-pesan persuasif yang di desain dengan hati-
hati dan mereka perlu menerima pesan-pesan itu lebih sering dari pada pendukung aktif.
Vogel juga menganjurkan agar kita menghadapi pendukung aktif dengan sound bites yang
cepat, penuh semangat dan pendek dengan harapan bahwa mereka akan meneruskannya ke
mereka yang berpotensi untuk berubah. Teknik ini akan menjadi sengaja untuk
memanfaatkan arus komunikasi dua langkah. Analisis semacam ini dapat membantu klien
hubungan masyarakat untuk mengkonsentrasikan upaya-upaya mereka dimana pesan-pesan
mereka kemungkinan dampak terbesar.

Social Marketing (Frankenberge dan sukhdial, 1994)


Segmentasi audiensi juga telah menjadi teknik yang penting dalam pemasaran sosial (social
marketing), yakni penggunaannya teknik-teknik komunikasi untuk membantu
menyelesaikan dengan baik tujuan-tujuan sosial. Misalnya, segmentasi audiensi telah di
rekomendasikan sebagai teknik untuk mengahadapi masalah pencegahan AIDS pada remaja.
Remaja pada umunya beresiko terkena HIV, namun sub kelompok minoritas miskin, rasial,
dan etnis mempunyai resiko yang lebih besar.
Para peneliti menganjurkan agar kita mengarahkan pesan-pesan spesifik yang tepat untuk
kelompok itu. Misalnya, apabila sebuah kelompok mempunyai persepsi kekebalan, pesan-
pesan hendaknya memberikan informasi tentang kasus-kasus AIDS remaja. Media hendaknya
juga dipilih yang paling tepat untuk masing-masing kelompok.
Misalnya, jika remaja amerika keturunan afrika menerima sebagian besar informasi mereka
dari radio, maka pesan-pesan disebarkan melalui radio input. Sedangkan dari kelompok ini
juga mempunyai resiko yang jauh lebih besar untuk terkena AIDS dibandiungklan dengan
yang lainnya dan barangklali hendaknya menjadi obyek yang menerima kampanye yang
lebih intensif.

Anda mungkin juga menyukai