Makalah Hadits

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

HADITS

Oleh :
Kelompok 2
Ruangan A

Andi Risma 01 16 008


Nalini 01 16 009
Alim Febrianto 01 16 020
Iftita Tri Bintari 01 16 087

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM


(STIH) BONE
2017/2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami penjatkan ke hadirat Allah S.W.T. atas
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul HADITS dengan sebaik-baiknya, meskipun masih jauh dari kata
kesempurnaan. Shalawat beserta salam kami curahkan kepada Rasulullah S.A.W.
Dalam menyelesaian makalah ini kami berusaha untuk melakukan yang
terbaik. Tetapi kami menyadari bahwa dalam menyelesaikan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
demi perbaikan dan penyempurnaan makalah kami yang akan datang.
Dengan terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan makalah ini yang telah
memberikan dorongan, semangat dan masukan.
Semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
masyarakat pada umumnya, serta mendapatkan ridha dari Allah S.W.T. Amin.

Watampone, 02 November 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Hadits ...................................................................... 3
B. Tujuan Hadits ....................................................................... 4
C. Cakupan Ilmu Hadits ............................................................ 5
D. Kaidah-kaidah Keshahihan Hadits .......................................... 8
E. Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam ......................... 17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 20
B. Saran ..................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada masa Rasulullah masih hidup, zaman khulafaur rasyidin dan
sebagian besar zaman Umayyah sehingga akhir abad pertama hijrah, hadits-
hadits nabi tersebar melalui mulut kemulut (lisan). Ketika itu umat Islam belum
mempunyai inisiatif untuk menghimpun hadits-hadits nabi yang bertebaran.
Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hafalan yang terkenal kuat.
Dan memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan
para tabiin benar-benar sulit tandingannya.
Hadits nabi tersebar ke berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para
sahabat dan tabiin ke seluruh penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang
jumlahnya karena meninggal dunia. Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap
hadits-hadits nabi makin bertambah banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang
zindik dan musuh-musuh Islam maupun yang datang dari orang Islam sendiri.
Yang dimaksud dengan pemalsuan hadits ialah menyandarkan sesuatu
yang bukan dari Nabi SAW kemudian dikatakan dari Nabi SAW. Berbagai
motifasi yang dilakukan mereka dalam hal ini. Ada kalanya kepentingan politik
seperti yang dilakukan sekte-sekte tertentu setelah adanya konflik fisik (fitnah)
antara pro-Ali dan pro-Muawiyyah, karena fanatisme golongan, madzhab,
ekonomi, perdagangan dan lain sebagainya pada masa berikutnya atau unsur
kejujuran dan daya ingat para perawi hadits yang berbeda. Oleh karena itu,
para ulama bangkit mengadakan riset hadits-hadits yang beredar dan
meletakkan dasar kaidah-kaidah yang ketat bagi seorang yang meriwayatkan
hadits yang nantinya ilmu itu disebut Ilmu Hadits.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam
di samping al-Quran. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau
kajian terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi
oleh siapapun yang berkepentingan terhadapnya. Berbeda dengan ayat-ayat al-
Quran yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan

1
sebagai acuan atau hujjah. Hadis ada yang dapat dipakai ada yang tidak. Di
sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik
diperlukan antara lain pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya. Atas
dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha
merumuskan kaidah dan atau metode dalam studi hadis. Buah dari pengabdian
dan kerja keras mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang
sangat bagus dalam studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang
menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang
kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Quran
merupakan sumber hukum utama atau primer dalam Islam. Akan tetapi dalam
realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Quran
membicarakanya, atau Al-Quran membicarakan secara global saja atau
bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Quran. Nah jalan keluar untuk
memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Quran tersebut, maka diperlukan
Hadits atau Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau
penjelas dari Al-Quran atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder atau
kedua setelah Al-Quran.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Hadits itu?
2. Apa sajakah Tujuan Hadits?
3. Apa cakupan dalam ilmu hadits?
4. Apa saja Kaidah-kaidah Keshahihan Hadits?
5. Bagaimana Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi hadits.
2. Memahami tujuan hadits.
3. Mengatahui cakupan ilmu hadits.
4. Mengetahui kaidah-kaidah keshahihan hadits.
5. Memahami kedudukan hadits terhadap hukum Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hadits
Kata hadits berasal dari kata hadits , jamaknya ahadits, hidtsan dan
hudtsan.Namun yang terpopuler adalah ahadits, dan lafal inilah yang sering
dipakai oleh para ulama hadits selama ini. Dari segi bahasa kata ini memiliki
banyak arti, diantaranya al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan
dari kata al-qadim (sesuatu yang lama). Bisa diartikan pula sebagai al-khabar
(berita) dan al-qarib (sesuatu yang dekat).
Ilmu hadis : ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang
dihubungkan dangan Rasulullah saw, baik mengenai perkataan beliau ucapkan,
atau perbuatan yang beliau lakukan, atau pengakuan yang beliau ikrarkan
(yakni berupa sesuatu yang dilakukan di depan nabi saw, perbuatan itu tidak
dilarang olehnya) atau sifat-sifat nabi saw, termasuk tingkah laku beliau
sebelum menjadi rasul atau sesudahnya, atau menukil/meriwayatkan apa saja
yng dihubungkan kepada sahabat atau tabiin.
Kata Hadits berasal dari bahasa Arab yakni al-hadits, jamaknya al-
haadits, al-hidsan, dan al-hudson. Dan dari segi bahasa, kata ini memiliki
banyak arti, di antaranya (1) al-jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang
lama), (2) al-khabar (kabar atau berita). (Idri, Studi Hadits, Jakarta: Kencana,
2010 ; 23)
Secara terminologis, ahli Hadits dan ahli Ushul berbeda pendapat dalam
memberikan pengertian tentang Hadits. Di kalangan ahli hadits sendiri ada
beberapa definisi yang antara satu dengan lainnya agak berbeda, diantaranya :

Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataa,
perbuatan, taqrir, maupun sifatnya. (Sohari Sahrani, Ulumul Hadits. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010;1)
Kata ilmu hadits merupakan kata serapan dari bahasa Arab, ilmu al-
hadits, yang terdiri atas dua kata, yaitu ilmu dan hadits. Jika mengacu

3
kepada pengertian hadits, berarti ilmu pengetahuan yang mengkaji atau
membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, takrir maupun lainnya, maka segala ilmu yang
membicarakan masalah hadits pada berbagai aspeknya berarti termasuk ilmu
hadits. (Sohari Sahrani, Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010;71)
Pengertian hadits menurut istilah dari 3 sudut pandang Ulama :
1. Menurut para Muhadditsun (ahli hadits)
Hadits didefinisikan sebagai segala riwayat yang berasal dari
Rasulullah baik berupa perkataan , perbuatan , ketetapan (taqrir), sifat fisik
dan tingkah laku, beliau baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti
tahannuts beliau di gua Hiro) maupun sesudahnya. Karena para
muhadditsun meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad itu adalah sebagai
uswatun hasanah , sehingga segala yang berasal dari beliau baik ada
hubungannya dengan hukum atau tidak, dikategorikan sebagai hadits.
2. Menurut para ahli ushul fiqh (ushuliyyun)
Para ushuliyyun mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Quran, berupa perkataan
perbuatan maupun ketetapan (taqrir) beliau, yang dapat dijadikan sebagai
dalil hukum syariah karena bersangkut-paut dengan hukum islam.
Ushuliyyun meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad adalah sebagai
pembuat undang-undang (selain yang sudah ada dalam Al-Quran) yang
membuat dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya
dan menjelaskan kepada umat islam tentang aturan hidup.
3. Menurut sebagian ulama (jumhur ulama)
Menurut sebagian ulama antara lain at-Thiby, sebagaimana dikutip M.
Syuhudi Ismail, mengatakan bahwa hadits adalah segala perkataan ,
perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan para tabiin.

B. Tujuan Hadits
Tujuan mempelajari ilmu hadits adalah untuk mengetahui hadits-hadits
yang shahih, yakni mengetahui keadaan dari suatu hadits, apakah hadits

4
tersebut shahih, hasan, atau bahkan dhaif (lemah, sehingga tidak dapat
digunakan sebagai pegangan).
Sedangkan secara rinci, tujuan mempelajari ilmu hadits antara lain:
1. Mengetahui istilah-istilah yang disepakati para ulama dalam menilai,
menyaring (filterisasi) dan mengklarifikasikan ke dalam beberapa macam,
baik dari segi kuantitas maupun kualitas sanad dan matan hadits yang
diterima dan mana yang bukan hadits
2. Mengetahui kaidah-kaidah yang disepakati para ulama dalam menilai,
menyaring (filterisasi) dan mengklarifikasikan ke dalam beberapa macam,
baik dari segi kuantitas maupun kualitas sanad dan matan hadits, sehingga
dapat menyimpulkan mana hadits yang diterima dan mana yang ditolak.
3. Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang ditempuh para ulama dalam
menerima dan menyampaikan periwayatan hadits, kemudian menghimpun
dan mengodifikasikannya ke dalam berbagai kitab hadits.
4. Mengenal tokoh-tokoh ilmu hadits baik riwayah ataupun dirayah yang
mempunyai peran penting dalam perkembangan pemeliharaan hadits
sebagai sumber syariah islamiyah sehingga hadits terpelihara dari
pemalsuan tangan-tangan kotor yang tidak bertanggung jawab.

C. Cakupan Ilmu Hadits


1. Ilmu Hadits Riwayah
a. Pengertian
Kata riwayah, artinya periwayatan atau cerita, maka ilmu hadits
riwayah, artinya ilmu hadits berupa periwayatan. (Sohari Sahrani,
Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010;72). Banyak definisi ilmu
hadits yang dikemukakan para ulama. Dan yang paling terkenal di
antaranya adalah definisi Ibnu al-Akhfani yang mengatakan bahwa ilmu
hadits riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan
perbuatan-perbuatan Nabi SAW periwayatannya, pencatatannya, dan
penelitian lafal-lafalnya. (Nuruddin Itr, Ulumul Hadits, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012;18).

5
Definisi di atas mengacu kepada rumusan hadits secara luas,
sedangkan definisi yang mengacu kepada rumusan hadits yang terbatas
atau sempit, maka definisinya ialah ilmu yang menukilkan segala yang
disandarkan kepada Nabi SAW semata.
b. Objek dan Kegunaannya
Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah bagaimana cara
menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan atau
mentadwinkan. Dalam meriwayatkan hadits atau mentadwinkan hadits
hanya disebutkan apa adanya baik yang berkaitan dengan sanad maupun
matan. Kegunaan ilmu hadits riwayah adalah untuk menghindari adanya
penukilan hadits yang tidak berasal dari sumbernya (Nabi Muhammad
SAW).
2. Ilmu Hadits Dirayah
a. Pengertian
Ilmu hadits dirayah ialah kumpulan dari kaidah-kaidah dan
masalah-masalah yang di dalamnya dapat diketahui keadaan riwayat dan
menyalin hadits sekaligus dengan sanadnya, baik dia seorang laki-laki
ataupun perempuan dan yang diriwayatkan disandarkan kepada Nabi
SAW atau kepada selainnya baik terhadap sahabat ataupun tabiin dan
yang lain. (M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Ulumul Hadits. Yogyakarta:
Teras, 2010; 4)
Nuruddin Itr mengungkapkan bahwa definisi yang paling baik
untuk ilmu ini adalah definisi menurut Imam Izuddin bin Jama;ah
berikut:

Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat
diketahui keadaan sanad dan matan.
Adapun pengertian ilmu hadits dirayah menurut Ibnu al-Akhfani
adalah ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-
macam, dan hukum-hukumnya. Dan untuk mengetahui keadaan para
perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan

6
dan segala yang berkaitan dengannya. (Munzir Supatra, Ilmu Hadits,
Jakarta: Amzah, 2003; 26)
b. Objek dan Kegunaannya
Objek kajian ilmu hadits dirayah adalah keadaan para periwayat
atau rawi dan hadits-hadits yang mereka riwayatkan atau marwi.
Keadaan para periwayat menyangkut pribadi seperti akhlak, tabiat,
keadaan hafalannya atau menyangkut persambungan dan terputusnya
sanad. Sedangkan keadaan hadits-hadits yang diriwayatkan dari segi
kesahihan, kedhaifan, dan dari segi lain-lainya yang berkaitan dengan
keadaan matan. (Muhammad Ajjal al-Khatib, Ushul al Hadist Ulumul
Mustalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989;7).
Kegunaan mempelajari ilmu hadits dirayah cukup banyak antara
lain: (Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2010; 57)
1) Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits
dari masa ke masa sejak zaman Nabi SAW hingga sekarang. Hadits
dan ilmu hadits telah mengalami sejarah perkembangan yang cukup
signifikan sejak masa awal Islam hingga masa sekarang.
2) Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka
lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan
hadits.
3) Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama
dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4) Dapat melakukan penelitian hadits dan melakukan penilaian
terhadap kualitas hadits tertentu.
5) Dapat melakukan klarifikasi dan kritik ulang terhadap suatu hadits
yang kualitasnya masih diperselisihkan. Tidak sedikit hadits yang
dalam rentang waktu cukup lama diperselisihkan kualitasnya di
kalangan para ulama, dan memerlukan klarifikasi serta kritik ulang
sehingga diketahui status hadits yang sesungguhnya

7
D. Kaidah-kaidah Keshahihan Hadits
Sebelum diuraikan unsur-unsur kaidah Kesahihan Hadis, perlu dijelaskan
arti dari kaidah itu sendiri. Secara etimologis, kata kaidah berasal dari bahasa
arab yang artinya alas bangunan, aturan atau undang-undang. Kaidah juga
diartikan sebagai norm (norma), rule (aturan), atau principle (prinsip). Lebih
tegasnya lagi bahwa pengertian Kaidah Kesahihan Hadis adalah segala syarat,
kriteria, atau unsur yang harus terpenuhi oleh suatu hadis yang berkualitas
sahih. Kaidah kesahihan hadis meliputi sanad dan matan hadis. Untuk
menjelaskan rentetan kemunculan kaidah kesahihan hadis sampai terangkum
dan menjadi sebuah teori yang disepakati ulama saat ini.
1. Kaidah Keshahihan Sanad
a. Pengertian Sanad
Sanad secara bahasa berarti al-mutamad, yaitu yang di
perpegangi (yang kuat) yang bias di jadikan pegangan. Atau dapat juga
di artikan: sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah. Sedangkan
secara terminologi, sanad berarti: sanad adalah jalannya matan yaitu
silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari
sumbernya yang pertama. Al-Tahanawi megemukakan definisi yang
hampir senada; Dan sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada
matan Hadis, yaitu nama-nama para perawi secara berurutan.
b. Kaidah Kesahihan Sanad
1) Kaidah Mayor
Pada awalnya ulama hadis sampai abad ke-3 masih belum jelas
memaparkan hadis sahih dengan defenisi, hanya Imam Al-SyafiI
yang menjelaskan bahwa hadis yang dapat di jadikan hujjah (dalil),
hadis ahad tidak akan di terima menjadi hujjah terkecuali memenuhi
dua syarat. Pertama, hadis tersebut di riwayatkan oleh orang yang
tsiqah (adil dan dhabit) kedua, rangkaian sanad-nya bersambung
dengan Nabi Muhammaad Saw, atau dapat juga tidak sampai.
Penelitian sanad yang dilakukan ulama terdahulu dengan
berbagai kaedah bertujuan untuk mengetahui kualitas suatu hadis

8
apakah hadis tersebut diterima (maqbul) atau ditolak (mardud).Hadis
yang kualitasnya tidak memenuhi syarat-syatrat tertentu, yang dalam
hal ini adalah syarat-syarat yang diterima (maqbul) nya suatu hadis,
maka hadis tersebut tidak dapat digunakan sebagai hujah.
Pemenuhan syarat itu diperlukan, karena hadis merupakan
salah satu sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak
memenuhi syarat akan mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai
dengan apa yang seharusnya. Dengan dilakukannya penelitian sanad,
maka akan dapat diketahui apa yang dinyatakan sebagai Hadis Nabi
itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan ke-sahih-annya
berasal dari beliau ataukah tidak
Adapun Indikasi Mayor atau tanda-tanda yang paling utama
bahwa sanad dari hadis tersebut di ketahui sahih atau (maqbul)
adalah sebagai berikut:
Sanad bersambung
Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dabit
Sanad hadis itu terhindar dari syuzzuz
Sanad hadis terhindar dari illat
2) Kaidah Minor
Indikasi minor adalah lawan dari indikasi mayor yang telah
pemakalah sebutkan di atas, bararti indikasi minor adalah tanda-
tanda secara garis kecil, atau bisa juga dikatakan sebagai penjelasan
indikasi minor tersebut, sehingga akan lebih jelas apa yang di
maksud dengan bersambung sanad-nya, bagaimana seharusnya sifat
atau tingkah laku rawi supaya bisa dikatagorikan rawi yang adil,
bagimana ukuran kekuatan intelelaktual pe-rawi atau ke-dhabit-
annya sehingga hadis yang diriwayatkanya biasa dikatagorikan
dengan hadis yang sahih dan bukan hadis hasan, dan bagaimana
yang di maksudkan bahwa sanad hadis tersebut terhindar dari syadz
dan illat.

9
Maka untuk menjelaskan itu kita tidak terlepas dari standar ke-
sahih-an sanad yang telah di tetapkan di atas walaupun hanya secara
garis besar, syarat-syarat di atas telah disepakati para ulama hadis
walaupun redaksi berbeda, adapun indikasi minornya sebagai
berikut:
Aspek kebersambungan sanad
Tidak selalu terdapat keseragaman pendapat mengenai konsep
kebersambungan sanad ini. Untuk menunjuk polemik tersebut,
misalnya dapat di majukan dengan konsep yang di gulirkan oleh
al-Bukhori. Ia berpendapat bahwa sanad di anggap bersambung
apabila memenuhi kriteria berikut:
Al-liqa
Yakni adanya interaksi atau pertemuan langsung antara satu
perawi dengan perawi berikutnya, dengan adanya suatu interaksi
langsung antara murid dengan gurunya, artinya mendengaratau
menyimak langsung suatu hadis dari gurunya
Al-muasharah
Yakni bahwa sanad di anggap bersambung apabila
kehidupan guru dan muridnya terjadi dalam waktu atau kurun
yang sama. Muslim juga berpendapat dengan hal yang demikian,
hanya saja perbedaan antara al-Bukhori dengan Muslim hanya
pada titik pertemuan langsung antara guru dengan muridnya, al-
Bukhori menetapkan harus adanya pertemuan antara guru dengan
murid walaupun hanya sekali saja. Sedangkan Bagi muslim
sebuah sanad di katakan telah bersambung apabila antara satu
dengan perawi berikutnya memungkinankan mereka bertemu
karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama sementara
letak giografis mereka tinggal memungkinkan mereka bertemu
jika di bandingkan kondisi saat itu. Dengan demikian, berarti
Muslim hanya menekankan kebersambungan sanad itu pada
aspek al-muasharah semata.

10
Jika dilihat perbedaan yang dipatok oleh Bukhari dan
Muslim sebagai mana di atas, dapat di katakan bahwa kriteria al-
Bukhari yang layak menduduki peringkat pertama. Dengan
mengacu kepada kebersambungan sanad yang demikian inilah
posisi al-Bukhori menduduki peringkat pertama di bandingkan
dengan kitab hadist karya Muslim maupun kitab-kitab hadist
lainnya, bahkan jumhur ulama juga sepakat menjadikan sahih al-
Bukhari sebagai hadis kitab pertama.
Dalam periwayatan hadis terdapat dua kegiatan yakni
kegiatan menerima hadis dan kegiatan menyampaikan hadis,
dalam kegiatan menerima hadis menurut al-Qadhi `Iyadh dan Ibn
al-Shalah keduanya berpendapat bahwa seseorang dapat
dipandang layak menerima hadis setelah umurnya mencapai lima
tahun
Akan tetapi Umi Sumbulah lebih memperluas bahwa
seorang yang dapat menerima hadis tidak hanya mengacu kepada
batas bawah umurnya, namun juga mengacu keakuratan kesetiaan
hafalannya, artinya walaupun seseorang itu sudah memenuhi
kriteria umur yakni umur lima tahun belum sepenuhnya dapat
diterima tanpa memperhatikan keakuratan dan kesetiaan
hafalannya. Disamping menyangkut aspek biologis (umur)
ternyata para ulama juga tidak mensyaratkan bahwa seseorang
layak menerima hadis harus beragama Islam, akan tatapi ketika
mentransformasikan hadis tersebut atau muaddi dia harus
berstatus sebagai muslim.
Argumentasi yang di formulasikan para ulama di atas
terkesan mempermudah periwayatan hadis akan tetepi semua
yang mereka lakukan dengan penuh pertimbangan antara lain:
Para ulama mempertimbangkan adanya kekhawatiran akan
hilang dan tidak terkumpulkan sejumlah hadis Rasulullah, karena

11
hadis itu tidak semua di dengar oleh sahabat yang memeluk
agama islam atau mereka yang telah mencapai usia baligh.
Meskipun transformasi hadis tidak mensyaratkan harus
baligh dan muslim, akan tetapi ketika proses al-ada kedua syarat
tersebut harus terpenuhi sehingga kekhawatiran manipulasi dan
kesalahan periwayatan akan di tepis dengan persyaratan baligh
dan muslim.
Periwayat bersifat adil
Istilah `adalah (adil) secara etiomologi adalah pertengahan,
lurus, condong kepada kebenaran. Dan adapun secara terminologi
ulama hadis mempunyai rumusan yang berbeda-beda di antaranya
adalah rumusan al-Hakim dan al-Naisaburi bahwa perawi yang
adil itu adalah perawi yang tidak berbuat bidah dan maksiyat
yang menghancurkan moralitasnya. Berbeda dengan Ibn Shalah
yang menambahkan pendapat di atas, yakni muslim, baligh,
berakal, dan tidak berbuat fasiq. M. Syakir menambahkan satu
unsur lagi yaitu dapat dipercaya.
2. Kaidah Kesahihan Matan
a. Pengertian Matan
Matan dalam bahasa arab berarti punggung jalan atau bagian
tanah yang keras dan menonjol ke atas. Secara terminoligi berarti:
Sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) Sanad, yaitu berupa
perkataan. Atau dapat di artikan sebagai: Yaitu lafadz Hadis yang
memuat berbagai pengertian. Dalam hal ini, kaidah kesahihan matan
hadis dipahami sebagai aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang telah
dirumuskan oleh para ulama hadis untuk meneliti tingkat kesahihan
matan hadis.
Matan hadis bermuatan konsep ajaran Islam mengambil beragam
bentuk, antara lain:
1) Sabda penuturan Nabi (hadist qouly) termasuk kejadian yang
mengulas kejadian atau peristiwa sebelum nubuwwah,

12
penghikayatan tokoh Rasul / Nabi maupun Syariat yang
diberlakukan (Syaru man qoblana)
2) Surat-surat yang dibuat atas printah Nabi dan selanjutnya dikirim ke
petugas di daerah atau kepada pihak-pihak di luar islam, termasuk
juga fakta perjanjian yang melibatkan nabi.
3) Firman Allah SWT selain Al quran yang disampaikan kepada umat
dengan bahasa tutur nabi (hadist Qudsi).
4) Pemberitaan yang berkait erat dengan al Quran, seperti interpretasi
Nabi atas ayat-ayat tertentu, (tafsir nabawy) dan asbab nuzul.
5) Perbuatan atau tindakan yang dilakukan Nabi dan diriwayatkan oleh
sahabat (hadist fily/ amaly)
6) Sifat dan Hal ihwal pribadi nabi (Hadist Khalqy)
7) Perilaku dan kebiasaan Nabi dalam tata kehidupan sehari-hari (hadis
khuluqiy) serta pengalaman dalam dinamika perjalanan
kepemimpinan atau kemanusiaan Nabi (Sirah Nabawiyah)
8) Sesuatu yang direncanakan dan ancaman yang ditujukan kepada
orang lain atau kelompok sekalipuntidak terlaksanakan (hadist
hammy).
9) Perbuatan atau sikap terbuka sahabat dimana Nabi mengetahuinya
dan Nabi bersikap membiarkan tanpa menegur dan melarangnya
(hadist taqriry)
10) Riwayat Hidup Sahabat karena ada data hubungan khusus dengan
Nabi (Hadist manaqiby)
11) Prediksi keadaan yang kelak terjadi, seperti hadist tentang prediksi
fitnah dan gejala datangnya hari kiamat
12) Kejadian dan kebijakan sahabat sepeninggal Nabi yang berpotensi
sebagai penjabaran ajaran Islam dan pelestarian sunnah
nabawiyyah..misalnya suksesi kepemimpinan khulafaur rasyidin,
proses pembukuan mushaf Al quran dan proses kodifikasi hadis.
b. Kaidah Kesahihan Matan
1) Kaidah Mayor

13
Untuk mengetahui Kaidah mayor dan Kaidah minor ke-sahih-
an matan hadis, para ulama telah melakukan penelitian dan kritik
secara seksama terhadap matan-matan hadis. Sehingga dengan
penelitian tersebut dapat menjadi tolak ukur bagi sebuah matan
hadis. Namun kriteria ke-sahih-an matan hadis berbeda dalam
kalangan muhadditsin, akan tetapi perbedaan itu muncul dengan
berbagai alasan dan pertimbangan masing-masing muhadditsin.
Perbedaan itu muncul di sebabkan oleh perbedaan latar belakang,
keahlian alat bantu, dan persoalan, serta perbedaan masyarakat yang
di hadapinya.
Walaupun para ulama tidak mengungkapkan secara eksplisit
bagaimana sebenarnya penerapan secara praktis kritik matan, namun
mereka memiliki beberapa garis batas yang diperpegangi sebagai
tolak ukur dan standarisasi. Adapun Kaidah mayor ke-sahih-an
matan hadis sebagai mana yang telah di rumuskan oleh ulama hadis
adalah sebagai berikut:
Terhindar dari Syadz
Terhindar dari Illat.
Syadz yang ada pada sanad berbeda dengan syadz yang ada pada
matan. Allabi menyatakan bahwa sebuah matan hadis di katakan
sahih antara lain:
(1) Tidak bertentangan dengan Al-Quran Karim yang telah
muhkam.
(2) Tidak bertentangan dengan hadis Rasulullah yang memeiliki
bobot akurasi yang tinggi.
(3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.
(4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati
ulama masa lalu.
(5) Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
(6) Tidak bertentangan dengan akal sehat.

14
2) Kaidah Minor
Dari beberapa indikasi mayor yang telah di sebutkan diatas,
masih dapat di interpretasikan maupun penjelasan secara spesifik
atau yang disebut dengan indikasi minor adalah:
a) Terhindar dari syadz
Syadz di samping terdapat pada sanad juga terdapat pada
matan, adapun kerancuan dan syadz pada matan adalah adanya
pertentangan dan ketidaksejalanan riwayat seorang perawi yang
menyendiri dengan perawi yang lebih kuat hafalannya dan
ingatannya. Adapun pertentangannya adalah dalam menukil
matan hadis, sehingga terjadi penambahan, pengurangan,
perubahan tempat (maqlub) dan bentuk dan kelemahan dan cacat
lainnya.
Berikut ini penjelasan tentang kerancuan dan syadz dalam
matan dan di sertai dengan hadis sebagai contoh:
(1) Sisipan teks hadis (al-idraj fi al-matn)
Al-idraj fi al-matn (mudraj matn) adalah perkataan sebagian
perawi dari kalangan atau masa sahabat atau penerus
sesudahnya, yang mana qaul atau ucapan tersebut kemudian
bersambung dengan matan hadis yang asli. Dimana ucapan
atau qaul itu bisa bersambung di awal, ditengah dan di akhir.
(2) Pembalikan teks hadis (al-qalb fi al-matn)
Maqlub (fi al-matn) adalah terjadinya pembalikan teks
sebuah hadis, hadis ini dapat di fahami secara definitif
sebagai hadis yang perawinya menggantikan suatu bagian
darinya dengan orang lain, dalam sebuah matan hadis secara
sengaja maupun terlupa.
(3) Memiliki kualitas sama dan tidak bisa di unggulkan salah
satunya (idhtirab fi al-matn)
Mudhtarib hadis adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang
perawi atau lebih dengan beberapa teks yang sama

15
kualitasnya, sehingga di antaranya tidak dapat di unggulkan
dan di kompromikan, walaupun hali ini jarang terjadi pada
matan dan sering terjadi pada sanad,
(4) Kesalahan ejaan (al-tashhif wa al-tahrif fi al-matn)
Adapun yang dimaksu dengan tashhif adalah kesalahan yang
terletak pada syakal atau baris. Sedangkan yang dimaksud
dengan tahrif adalah kesalahan yang terletak pada huruf.
Walaupun keduanya tidak terdapat perbedaan yang
mencolok.
b) Terhindar dari Illat
Illat sama halnya dengan syadz artinya keduanya terjadi
pada sanad dan juga pada matan. Adapun yang di maksud illat
yang terjadi pada matan adalah adanya sesuatu yang tersembunyi
yang terdapat pada matan yang secara lahir tampak berkualitas
sahih, yang tersembunyi di sini adalah kalimat yang merupakan
teks hadis lain pada hadis tertentu, yang mana kalimat atau
redaksi tersebut bukanlah teks yang di ucapkan oleh rasulullah,
dan matan hadis tersebut sering menyalahi dari hadis-hadis yang
lebih kuat bobot akurasinya.
Untuk mengungkap dan mengetahui illat pada matan ada
beberapa kriteria dan beberapa cara yang telah di formulasikan
oleh al-Salafi yang di kutip umi sumbulah antara lain:
(1) Mengumpulakan hadis yang semakna dan mengkomparasi-
kan sanad dan matannya sehingga diketahui illat yang
terdapat didalamnya. Dan sejalan dengan pendapat Abdullah
ibn al-Mubarak ia berpendapat jika engkau berkehendak
untuk mengetahui kesahihan hadis yang ada padamu, maka
perbandingkan dengan yang lain.
(2) Jika seorang perawi bertentangan dengan riwayatnya dengan
seorang perawi yang lebih thqah darinya, maka riwayat
perawi tersebut di nilai malul, artinya, matan hadis tersebut

16
tidak sahih dan terkena illat.
(3) Jika hadis yang diriwayatkan seorang perawi bertentangan
dengan hadis yang terdapat dalam tulisannya (kitabnya), atau
bahkan hadis yang di riwayatkannya itu terynyata tidak
terdapat dalam kitabnya, maka dengan pertentangan tersebut
yang menjadikan matan hadis menjadi malul dan tidak sahih
lagi
(4) Melalui penyeleksian seorang syaikh bahwa ia tidak pernah
menerima hadis yang telah diriwayatkannya itu, artinya hadis
yang diriwayatkannya itu sebenarnya tidak sampai kepadanya
(5) Seorang perawi tidak mendengar hadis langsung dari gurunya
(6) Hadis yang telah umum dikenal oleh sekelompok orang
(kaum), namun kemudian dating seorang perawi yang
hadisnya menyalahi hadis yang telah mareka kenal itu, maka
hadis yang mereka kemukakan itu di anggap memiliki cacat
(7) Adanya keraguan bahwa tema inti hadis tersebut berasal dari
Rasulullah

E. Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam


Banyak ayat Al-Quran dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa
hadis itu merupakan sumber hukum islam selain al-quran yang wajib diikuti,
baik dalam perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan
paparan tantang kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam dengan melihat
beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
1. Dalil Al-Quran
Artinya: Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang
beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini[254], sehingga Dia
menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah
sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib,
akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-
rasul-Nya[255]. karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya;

17
dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar.
(Qs. Ali Imran:179)
Dalam ayat lain Allah SWT, juga berfirman:
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-
Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya. (Qs. AnNisa:136)
Dalam Qs. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang
mukmin dengan orang-orang yang munafik, dan akan memperbaiki keadaan
orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah
orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sedang pada Qs. An-Nisa, Allah menyeru kaum muslimin agar mereka
tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya, Al-Quran, dan kitab yang
diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam
orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.
2. Dalil Al-Hadis
Dalam salah satu pesan Rasulullah saw, berkenaan dengan keharusan
menjadikan hadis sebagai pedoman utamanya. Beliau bersabda:
) (
Artinya : Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian
tidak akan akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yang
berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik)
Dalam hadis lain Rasul bersabda:
( ... ...
)
Artinya: Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan
sunnah Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang
teguhlah kamu sekalian dengannya.

18
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh
kepada hadis atau menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup
adalah wajib, sebagaimana berpegang teguh pada Al-Quran.
3. Kesepakatan Ulama (Ijma)
Umat islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar
hukum beramal; karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Kesepakatan
umat muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala
ketentuan yang terkandung di dalam hadis ternyata sejak Rasulullah masih
hidup. Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan
hadis sebagai sumber hukum islam, sebagai berikut:
a. Ketika Abu Bakar di baiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, Saya
tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan
oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan
perintahnya.
b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, Saya tahu bahwa
engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah
menciummu, saya tidak akan menciummu.
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang
diperintahkan, dilakukan, dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya,
dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.
4. Sesuai Dengan Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh
umat islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya
sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT., baik isi maupun
formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham
dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad
semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu dan
juga tidak dibimbing oleh ilham. Sudah selayaknya segala peraturan dan
perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas
bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber
hukum dan pedoman hidup. (Qardhawi, Yusuf. 1993;17-21)

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hadits adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-quran, namun
untuk menjadikannya sebagai sumber, atau dasar pengamalan, perlu di
klarifikasi terlebih dahulu mana hadis yang bisa kita amalkan dan mana
yang tidak bisa kita jadikan sebagai hujjah.
2. Tujuan mempelajari ilmu hadits adalah untuk mengetahui hadits-hadits yang
shahih, yakni mengetahui keadaan dari suatu hadits, apakah hadits tersebut
shahih, hasan, atau bahkan dhaif (lemah, sehingga tidak dapat digunakan
sebagai pegangan).
3. Adapun ruang lingkup pembahasan ilmu hadits pada garis besarnya meliputi
ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah. Ilmu hadits riwayah adalah
ilmu yang menukilkan segala yang disandarkan kepada Nabi SAW semata.
Sedangkan ilmu hadits dirayah adalah keadaan para periwayat (rawi) dan
hadits-hadits yang mereka riwayatkan.
4. Hadits yang dapat kita perpegangi, yang menjadi dasar pengamalan, atau
sumber dan hujjah yang memang di terima adalah hadis sahih. Mengukur
kesahihan hadis hanya terletek pada dua aspek yang pertama, aspek sanad
dan yang kedua aspek matan. Kaidah Kesahihan Sanad terbagi atas Kaidah
Mayor dan Kaidah Minor, begitupula dengan Kaidah Kesahihan Matan
yang juga terdiri atas Mayor dan Minor.

B. Saran
Makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari
dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.

20
DAFTAR PUSTAKA

Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana

Itr, Nuruddin. 2012. Ulumul Hadits. Bandung: PT Remaja Rosdakrya

Qardhawi, Yusuf. 1993. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Karisma:


Bandung

Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia

Smeer, Zeid B.,2008, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis,


Malang:UIN- Malang Press

Supatra, Munzir. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: Amzah

Suryadilaga, M. Alfatih. 2010. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras

Umi Sumbulah. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis.Malang: UIN Press

21

Anda mungkin juga menyukai