Laporan Kasus - CHF
Laporan Kasus - CHF
Laporan Kasus - CHF
Oleh:
Pembimbing:
dr. Yulianto Kusnadi, SpPD, KEMD
Laporan Kasus
Judul
CONGESTIVE HEART FAILURE EC
THYROID HEART DISEASE
Oleh:
Ridha Rana Atisatya, S.Ked
Ressy Felisa Raini, S.Ked
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Junior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
dr. Mohammad Hoesin Palembang, Periode 19 Juni April 2017 28 Agustus
2017.
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat
dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul Congestive Heart Failure ec Thyroid Heart Disease. Laporan kasus ini
merupakan salah satu syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Senior
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Yulianto Kusnadi,
SpPD, KEMD selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta
kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini
dapat memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.
Penyusun
3
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................
2
KATA PENGANTAR.................................................................................................
3
DAFTAR ISI..............................................................................................................
4
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
5
BAB II LAPORAN KASUS......................................................................................
7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................
14
BAB IV ANALISIS KASUS.....................................................................................
43
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
46
4
BAB I
PENDAHULUAN
Kelenjar tiroid adalah salah satu bagian dari sistem endokrin yang
mempunyai banyak efek pada proses metabolik di semua jaringan, terutama di
jantung. Gangguan fungsi kelenjar tiroid dapat menimbulkan efek yang seringkali
menyerupai penyakit jantung primer. Penyakit jantung tiroid adalah suatu
penyakit jantung dengan berbagai manifestasi yang timbul akibat peningkatan
atau penurunan kadar hormon tiroksin bebas dalam sirkulasi darah.
Hipertiroid di Indonesia masih banyak dijumpai, karena hipertiroid dapat
disebabkan beberapa penyebab antara lain: penyakit Graves (75%), struma toksik
multinodular, adenoma toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditis pasca melahirkan,
virus, obat-obatan seperti amiodaron, hiperemis gravidarum, adenoma hipofisis,
dan lain-lain. Hipertiroid dapat terjadi di daerah endemik maupun cukup yodium,
sehingga masyarakat yang mengalami hipertiroid ini memerlukan perawatan dan
pengobatan yang baik. Hipertiroid lebih banyak pada wanita dibandingkan pria
dengan rasio 1:5, dan banyak terjadi di usia pertengahan, namun di usia anak-anak
dan remaja dapat terjadi walau insidensi dan prevalensi di Indonesia belum pasti.
Beberapa kepustakaan luar negeri menyebutkan insidensinya masa anak
diperkirakan 1/100.000 anak per tahun. Mulai 0,1/100.000 anak per tahun untuk
anak usia 0-4 tahun meningkat sampai dengan 3/100.000 anak per tahun pada usia
remaja.
5
Hipertiroid menyebabkan kelainan pada banyak organ salah satunya pada
sistem kardiovaskular. Hipertiroid dapat menyebabkan gagal jantung, atrial
fibrilasi, mitral regurgitasi, trikuspid regurgitasi. Dari penelitian yang dilakukan
oleh Nakazawa melaporkan 11.345 pasien dengan hipertiroid 288 kasus disertai
atrial fibrilasi, 6 kasus mengalami emboli sistemik, 4 diantaranya mengalami
gagal jantung, 5 orang diantaranya berusia > 50 tahun 7. Pada laporan kasus ini
akan dibahas mengenai penyakit jantung tiroid yang menyebabkan gagal jantung
kongestif.
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Ny. Sulaini binti Zul Kopli
b. Umur : 28 Tahun
c. Tanggal Lahir : 27 September 1989
d. Jenis Kelamin : Perempuan
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
g. Alamat : Dusun III Sukamanis, Muara Enim
h. No. Med Rec/ Reg : 1009575
i. Tanggal masuk RS : 10 Juni 2017
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada 21 Juni 2017, pukul 12.00 WIB.
KeluhanUtama
Sesak bertambah hebat sejak 1 minggu SMRS.
6
+ 4 tahun SMRS, pasien mengeluh benjolan di leher bagian depan semakin
membesar, seukuran telur ayam. Nyeri menelan tidak ada, rasa panas ketika
dipegang tidak ada, perubahan suara menjadi serak ada, sesak nafas ada, berdebar-
debar ada, mudah lelah ada saat aktivitas, keringat banyak ada, nyaman di tempat
dingin, mudah gugup ada, nafsu makan bertambah ada, berat badan menurun ada,
demam ada naik turun, sering gemetar ada. BAB dan BAK biasa. Pasien berobat
ke RS Pendopo, dikatakan menderita tiroid beracun lalu diberi obat PTU namun
tidak rutin diminum.
2 bulan SMRS, pasien mengeluh sesak, sesak dipengaruhi aktivitas,
dirasakan ketika berjalan 100 m, berkurang dengan istirahat, tidak dipengaruhi
emosi dan cuaca, mengi tidak ada, terbangun pada malam hari karena sesak tidak
ada, batuk ada, batuk bertambah berat saat malam hari ada, tidak berdahak.
Demam ada hilang timbul. Nyeri dada ada, jantung berdebar ada. Nyeri sendi
tidak ada. Mual tidak ada muntah tidak ada. Sembab pada kedua kaki ada. Selera
makan meningkat. Pasien juga mengeluhkan mata kuning. Pasien mengaku
pernah mencret selama 3 hari, BAK seperti teh pekat, frekuensi dan jumlah
tidak ada keluhan. Pasien telah berhenti mengkonsumsi PTU sejak 5 bulan yang
lalu (Novermber 2016). Benjolan di leher bagian depan masih ada, sedikit
mengecil, seukuran bola golf. Pasien berobat ke Puskesmas namun tidak tersedia
PTU sehingga pasien dirujuk ke RS Pendopo.
1 minggu SMRS, sesak dirasakan semakin hebat. Sesak dirasakan saat
istirahat pasien lebih nyaman dalam posisi duduk. Sesak tidak dipengaruhi emosi
dan cuaca, mengi tidak ada, terbangun di malam hari karena sesak ada, batuk ada,
batuk bertambah saat malam hari ada, tidak berdahak. Demam ada hilang timbul.
Nyeri dada ada, jantung berdebar ada. Nyeri sendi tidak ada. Mual tidak ada
muntah tidak ada. Sembab pada kedua kaki ada. Mata semakin kuning. BAB
biasa, BAK seperti teh pekat, frekuensi dan jumlah tidak ada keluhan.. Pasien
dirujuk dari RS Pendopo ke RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
7
Riwayat Pengobatan
Riwayat minum obat PTU 3x1 sejak tahun 2013 - November 2016
Riwayat minum obat Propanolol 2x1
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat diabetes melitus disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal.
Riwayat sakit hipertiroid diderita oleh kakak kandung perempuan dan sepupu
b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
alopesia tidak ada.
8
2. Mata
Edema palpebra tidak ada, konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera
ikterik (+/+), pupil bulat isokor, reflek cahaya (+/+), visus baik,
eksoftalmus (+)
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang, sekret (-), epistaksis (-)
4. Mulut
Sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah berselaput (-),
atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
nyeri tekan mastoid (-)
6. Leher
JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Pembesaran kelenjar tiroid ada
I: tampak benjolan, warna sama dengan kulit sekitar (tidak
hiperemis)
P: kelenjar gonok membesar, diffuse, batas tidak tegas, ikut bergerak
saat menelan, konsistensi lunak, tidak terfiksisr, nyeri tekan tidak
ada
A: bruit sound (+)
7. Thoraks
Inspeksi : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis, simetris kanan = kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Batas paru hepar ICS V, peranjakan 1 jari
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) di
basal paru kiri kanan, wheezing (-)
9
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II linea sternalis sinistra, batas kiri
ICS V linea midclavivula sinistra, batas kanan ICS IV linea
sternalis dekstra
Auskultasi : HR 96 x/menit, reguler, murmur (+) sistolik grade
3/6, gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-),
umbilicus tidak menonjol
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari bawah
arkus costae, tepi tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal,
lien tidak teraba, nyeri tekan suprapubik (-), ballotement (-)
Perkusi : Shifting dullness (+), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
9. Genitalia : Tidak diperiksa
10. Ekstremitas : Akral hangat (+), palmar pucat (-), edema (+),
sianosis (-), clubbing finger (-), tremor halus (+)
10
Anti HCV Negatif
TSH 0,005 Menurun
Free T4 (FT4) 7,77 Meningkat
V. Diagnosis
Indeks Wayne
TIDAK
GEJALA SKOR TANDA ADA
ADA
Sesak nafas +1 Pembesaran tiroid +3 3
Palpitasi +2 Bruit pada tiroid +2 2
Mudah lelah +2 Eksophtalmus +2
Senang hawa
5 Retraksi palpebra +2
panas
Senang hawa
+5 Palpebra terlambat +4
dingin
Keringat
+3 Hiperkinesis +2
berlebihan
Gugup +2 Telapak tangan lembab +1 2
Nafsu makan
+3 Nadi < 80x/menit 3
naik
Nafsu makan
3 Nadi > 90x/menit +3 2
turun
Berat badan
3 Fibrilasi atrial +4
naik
Berat bedan
+1 SKOR 28
turun
InterpretasiInterpretasi: Hipertiroid
Indeks Burch-Wartofsky
Disfungsi pengaturan panas Disfungsi kardiovaskuler
Suhu 37,2-37,7 5 Takikardi 99-109 5
37,8-38,2 10 110-119 10
38,3-38,8 15 120-129 15
38,9-39,4 20 130-139 20
39,5-39,9 25 >140 25
>40,0 30
Efek pada susunan saraf pusat Gagal jantung
0 0
11
Tidak ada 10 Tidak ada 5
Ringan (agitasi) 20 Ringan (edema kaki) 10
Sedang (delirium, psikosis, letargi berat) 30 Sedang (rongki basal) 15
Berat (koma, kejang) Berat (edema paru)
Disfungsi gastrointestinal-hepar Fibrilasi atrium
Tidak ada 0 Tidak ada 0
Ringan (diare, nausea/muntah/nyeri perut) 10 Ada 10
Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas) 20 Riwayat pencetus
Negatif 0
Positif 10
SKOR 25
Interpretasi: suggestive of impending storm
IX. Tatalaksana
Non Farmakologis
Istirahat
Edukasi
Diet jantung 2
12
Farmakologis
Metimazol 10 mg/12 jam PO
Propanolol 10 mg/12 jam PO
Furosemid 2x20 mg IV
X. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
13
Kelenjar tiroid terletak di leher, yaitu antara fasia koli media dan fascia
prevertebralis. Kelenjar tiroid terdiri dari 2 lobus dan dihubungkan oleh istmus
yang menutupi cincin trakea (annulus trachealis) 2 dan 3. Di dalam ruang yang
sama terdapat trakea, esofagus, pembuluh darah besar dan saraf. Kelenjar tiroid
melekat pada trakea dan fascia pretrachealis, dan melingkari trakea dua pertiga
bahkan sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya
terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi letak dan jumlah kelenjar
ini dapat bervariasi (Sjamsuhidayat, 2006).
14
Kelenjar tiroid berfungsi menghasilkan hormon tiroid yaitu triiodotironin
(T3) dan tiroksin (T4). Kelenjar tiroid ini awalnya mendapatkan sinyal dari
Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dari hipofisis, dimana hipofisis mendapatkan
sinyal dari hipotalamus melalui Thyroid Releasing Hormon (TRH).
15
membantu perkembangan sel saraf, meningkatkan metabolism dan konsumsi
oksigen (O2) jaringan kecuali otak orang dewasa, testis, limpa, uterus, kelenjar
limfe, hipofisis anterior, meningkatkan suhu tubuh, meningkatkan gerak
peristaltik usus; lambung, meningkatkan penerimaan sel terhadap hormon
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin), meningkatkan eritropoeisis serta
produksi eritropoetin, meningkatkan turn-over sehingga terjadi hiperrefleksi dan
miopati serta metabolisme hormon pada sistem neuromuskular (Makmun, 2009;
Ghanie 2009).
16
Inotropik Meningkatkan respons terhadap katekolamin
Meningkatkan proprsi alfa-miosin rantai berat
Jaringan Katabolik Merangsang lipolysis
adiposa
Otot Katabolik Meingkatkan pemecahan protein
Tulang Perkembangan Mempromosi pertumbuhan normal dan tulang
dan metabolik Mempercepat pertukaran (turnover) tulang
3.2 Jantung
Jantung (cor) merupakan organ berotot, berskeleton dan berongga dengan
berukuran sekepalan tangan yang dibungkus oleh perikardium. Jantung terdiri dari
sepasang ruang atrium (dextra et sinistr /kanan kiri) dan sepasang ruang ventrikel
(dextra et sinistra / kanan kiri) serta jantung tersusun atas 3 lapisan yaitu
epikardium, miokardium, dan endokardium, antara atrium dan ventrikel
dihubungkan oleh ostium atrioventrikular yang dilengkapi oleh katup (valvula)
yaitu valvula tricuspidalis untuk bagian dextra (kanan) dan valvula mitralis atau
valvula bicuspidalis untuk bagian sinistra (kiri) (Panggabean, 2009).
Vaskularisasi utama jantung berasal dari a.coronaria dextra dan a.coronaria
sinistra, dimana darah yang untuk mendarahi jantung berasal dari residu fase
sistolik jantung yang masuk ke dalam a.coronaria dextra et sinistra melalui sinus
valsava yang membuka saat fase diastolik jantung. Sistem konduktorium jantung
ini utamanya ada pada Nodus sinus atrial berperan sebagai pacemaker yang
menghasilkan impuls secara transport aktif dengan menggunakan ion Natrium, ion
Kalium dan ion Kalsium melalui 3 kanal yaitu kanal cepat natrium, kanal lambat
natrium-kalsium, dan kanal kalium (Panggabean, 2009).
Jantung berfungsi sebagai pompa darah untuk mengedarkan oksigen (O 2)
dan nutrisi kepada jaringan, yang dibutuhkan untuk proses metabolisme. Darah
17
diedarkan oleh jantung melalui dua sirkulasi utama, yaitu sirkulasi jantung-paru
dan sirkulasi jantung-paru-jantung-sistemik (Gambar 4 dan 5).
18
dari myosin heavy chain, sehingga T3 tidak mempengaruhi perubahan pada
myosin. Peningkatan kontraktilitas pada manusia sebagian besar merupakan
hasil dari peningkatan ekspresi retikulum sarkoplasma Ca 2+ATPase,
meskipun sebagian besar juga oleh beta isoform.
b. Hormon tiroid meningkatkan kontraktilitas otot jantung
Hormon tiroid akan menstimulasi kerja jantung dengan mempengaruhi
fungsi ventrikel, melalui peningkatan sintesis protein kontraktil jantung atau
peningkatan fingsi dari reticulum sarkoplasma Ca-ATPase sehingga pada
pasien hipertiroid akan didapati jantung yang hipertrofi.
c. Hormon tiroid menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah perifer
T3 mungkin mempengaruhi aliran natrium dan kalium pada sel otot polos
sehingga menyebabkan penurunan kontraktilitas otot polos dan tonus
pembuluh darah arteriole. Keadaan hipermetabolisme dan peningkatan
produksi panas tubuh akibat pengaruh hormon tiroid secara tidak langsung
akan mempengaruhi sistem kardiovaskuler dengan adanya suatu
kompensasi, antara lain:
d. Hormon tiroid meningkatkan aktivitas sistem simpatoadrenal
Penderita hipertiroid memiliki gejala klinik yang mirip dengan keadaan
hiperadrenergik. Pada hipertiroid terjadi peningkatan kadar atau afinitas
beta-reseptor, inotropik respon isoprotrenol dan norepinefrin. Banyak
penelitian menyimpulkan bahwa hormon tiroid berinteraksi dengan
katekolamin dimana pada pasien-pasien hipertiroid terdapat peningkatan
sensitivitas terhadap kerja katekolamin dan pada pasien yang hipotiroid
terjadi penurunan sensitivitas terhadap katekolamin. Hal ini terbukti dari
kadar katekolamin pada pasien-pasien hipertiroid justru menurun atau
normal sedangkan pada pasien hipotiroid cenderung meningkat.
Hormon tiroid dapat meningkatkan sensitivitas dan jumlah reseptor beta
adrenergik. Hormon tiroid juga meningkatkan jumlah subunit stimulasi pada
guanosin triphospate-binding protein sehingga terjadi peningkatan respon
adrenergic. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pasien hipotiroid,
reseptor beta-adrenergik berkurang jumlah dan aktifitasnya, terlihat dari
respon yang melambat dari plasma cAMP terhadap epinefrin. Respon cAMP
19
terhadap glukagon dan hormon paratiroid juga menurun, dengan demikian
tampak penurunan aktivitas adrenergic pada pasien hipotiroid. Pada rat atria
yang berasal dari hipotiroid binatang terjadi peningkatan reseptor alfa dan
penurunran reseptor beta (Kowalak, 2011; Faizi, 2006; cooper, 2007).
e. Hipertrofi otot jantung akibat kerja jantung yang meningkat.
Pada model eksperimen pada hewan-hewan dengan hipertiroid dalam satu
minggu pemberian T4 terlihat pembesaran jantung pada ukuran ventrikel kiri
lebih kurang 135% disbanding control. Hal ini mungkin karena hormon
tiroid meningkatkan protein sintesis. Untuk membuktikan hal ini, Klein
memberikan propanolol dengan T4 pada hewan percobaan, dimana
propanolol berperan mencegah peningkatan denyut jantung dan respon
hipertrofi. Dari hasil penelitian Klein dan Hong terlihat bahwa hewan
percobaan tanpa peningkatan hemodinamik, tidak didapat hipertrofi jantung.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hormon tiroid tidak secara
langsung menyebabkan penyatuan asam amino dan tidak ada efek yang dapt
diukur pada sintesis protein kontraktil otot jantung. Jadi, yang menyebabkan
hipertrofi adalah peningkatan kerja jantung itu sendiri (Kowalak, 2011).
f. Penurunan resistensi pembuluh darah perifer dan peningkatan volume darah.
Hormon tiroid menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah perifer.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa hormon tiroid meningkatkan aktivitas
metabolisme dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan rendahnya
resistensi vascular sistemik sehingga menurunkan tekanan diastolic darah
yang mengakibatkan peningkatan curah jantung (Kowalak, 2011).
3.4 Hipertiroid
3.4.1 Definisi
Hipertiroid dan tirotoksikosis sering dianggap sama, padahal definisi
hipertiroidisme berbeda dengan tirotoksikosis. Tirotoksikosis menggambarkan
kondisi dimana terdapat manifestasi klinis akibat kelebihan jumlah hormon tiroid
yang ada di sirkulasi darah. Sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang
diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif (Sudoyo et al., 2009).
20
3.4.2 Epidemiologi
Hipertiroid paling sering disebabkan oleh Graves disease,diikuti struma
nodular dan multinodular toksik, serta tiroiditis. Di seluruh dunia, prevalensi
hipertiroid pada wanita berkisar antara 0.5 hingga 2 persen, dimana wanita
memiliki kemungkinan sepuluh kali lebih besar untuk menderita hipertiroid
dibanding laki-laki (Davey, 2005; Vanderpump, 2011).
Di Indonesia, prevalensi hipertiroid belum diketahui secara pasti dan
penderita hipertiroid wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria yaitu 5
banding 1. Angka kejadian hipertiroidisme yang didapat dari beberapa praktik di
Indonesia berkisar antara 44,44%-48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit
kelenjar tiroid (Krishnan, 2014; Davey, 2005).
3.4.3 Etiologi
Hipertiroidisme disebabkan oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor
endogen yaitu terjadi overproduksi hormon tiroid secara alami dari dalam tubuh.
Penyebab tersering hipertiroidisme karena faktor endogen adalah Graves disease,
struma nodular dan multinodular toksik serta tiroiditis. Graves disease terdapat
pada 75% kasus hipertiroid, merupakan kelainan autoimun akibat interaksi antara
antibodi terhadap reseptor TSH imunoglobulin IgG dengan reseptor TSH pada
kelenjar tiroid, yang menyebabkan stimulasi kelenjar tiroid, sekresi T4 yang
meningkat, dan pembesaran tiroid. Pembesaran tiroid inilah yang disebut struma
atau goiter. Pembesaran kelenjar tiroid yang aktif disebut hot nodule dan yang
tidak aktif disebut cold nodule (Davey, 2005; Camacho et al., 2012; Wibowo,
2006).
Faktor eksogen yang dapat menyebabkan hipertiroidisme yaitu overproduksi
hormon tiroid karena pengaruh dari luar tubuh seperti obat-obatan, contohnya
pada pasien dengan kanker tiroid yang mendapat terapi supresif. Selain penyebab
yang telah disebutkan diatas, hipertiroid juga dapat disebabkan karena struma
ovarii, konsumsi yodium berlebih pada pasien dengan hiperplasia tiroid atau
adenoma, dan mola hidatiformis, namun hal ini jarang sekali menyebabkan
hipertiroid (Davey, 2005; Camacho et al., 2012; Ferri, 2013).
Berikut mekanisme terjadinya hipertiroid berdasarkan etiologi yang paling
sering menyebabkan hipertirodisme:
a. Penyakit Graves
21
Hipertiroid akibat penyakit ini timbul sebagai manifestasi gangguan
autoimun. Dalam serum pasien ditemukan antibodi imunoglobulin (IgG) yang
berperan sebagai Thyroid Stimulating Immunoglobuline (TSI). Produksi antibodi
ini dipicu oleh infiltrasi limfosit T yang mengenali antigen di kelenjar tiroid.
Limfosit T kemudian menstimulasi limfosit B untuk menghasilkan antibodi
berupa IgG. Antibodi ini akan bereaksi dengan reseptor TSH, dimana reseptor
TSH akan mengenali TSI sebagai TSH yang berasal dari hipofisis anterior. Reaksi
dengan reseptor TSH ini menyebabkan perangsangan fungsi tiroid, dimana terjadi
peningkatan cAMP yang diikuti dengan pertumbuhan kelenjar tiroid,
pembentukan struma/goiter, dan peningkatan produksi dan sekresi hormon tiroid
(Price dan Wilson, 2006).
Graves disease berbeda dengan penyakit autoimun lainnya, hal ini ditandai
dengan adanya trias Graves yaitu hipertiroid, oftalmopati dan struma/goiter.
Hipertiroidisme terjadi karena proses autoimun yang menyebabkan produksi
hormon tiroid berlebih. Goitrogenesis pada penyakit ini disebabkan karena ikatan
TSI dengan reseptor TSH dan infiltrasi limfosit di kelenjar tiroid. Ikatan TSI
dengan reseptor TSH menstimulasi proliferasi sel kelenjar tiroid melalui
peningkatan cAMP sebagai regulator utama proliferasi sel. Infiltrasi limfosit juga
dapat menstimulasi proliferasi sel melalui pengeluaran sitokin dan growth factors.
Sedangkan oftalmopati pada Graves disease disebabkan karena adanya proses
infiltratif sehingga terdapat akumulasi limfosit T terstimulasi. Limfosit T akan
mengeluarkan sitokin seperti IL-1, IL-2, dan TNf alfa-beta yang akan
mengaktivasi fibroblas orbital sehingga kolagen dan glikosamin diproduksi
berlebihan. Akumulasi glikosamin akan menyebabkan edem jaringan sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara kapasitas orbital dengan volume jaringan
(eksoftalmus). Peradangan fibroblas karena pengeluaran sitokin juga
menyebabkan pembengkakan otot-otot orbita, protopsi bola mata, diplopia,
kemerahan, kongesti, edema konjungtiva dan periorbita (Anwar, 2005; Karasek
dan Lewinski, 2003).
b. Adenoma toksik
Merupakan adenoma berukuran kecil pada kelenjar tiroid yang secara
fungsional mensekresi hormon tiroid dan menjadi penyebab kedua tersering yang
22
mengakibatkan hipertiroidisme. Hingga saat ini penyebab adenoma toksik belum
diketahui secara pasti, namun diperkirakan hal ini disebabkan karena fungsi
autonomi kelenjar tiroid akan mengakibatkan adanya mutasi somatik dan
mengaktivasi cAMP, sehingga terjadi proliferasi sel kelenjar tiroid dan sekresi T3
dan T4 (Camacho et al., 2012; Karasek dan Lewinskie, 2003).
d. Tiroiditis
Tiroiditis disebabkan karena infeksi virus, menyebabkan kelenjar tiroid
menjadi lunak multinodular, dengan atau tanpa nyeri. Infeksi virus akan
merangsang pengeluaran sitokin dan mengaktivasi limfosit T dan menstimulasi
limfosit B untuk menghasilkan antibodi. Infeksi basil gram negatif Yersinia
enterolitica, diduga mempunyai reaksi silang dengan autoantigen kelenjar tiroid.
Antibodi terhadap Yersinia enterolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan
reseptor antibodi pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut
Graves disease. Kasus tiroiditis yang sering berhubungan dengan hipertiroidisme
memiliki onset yang singkat dan menimbulkan gejala tirotoksikosis, seperti
demam, takikardi, dispneu, konfusi, psikosis, kelelahan, dan koma (Karnath dan
Hussain, 2006; Camacho et al., 2012; Efendi, 2014; Goroll dan Mulley, 2009).
23
Peningkatan hormon tiroid juga akan menyebabkan pemakaian oksigen
seluler di hampir seluruh proses metabolik sel di dalam tubuh. Metabolisme yang
berlebih akan menghasilkan panas, dan suhu tubuh mencapai 41 o C (106.80 F).
Respon cardiac adalah dengan cara meningkatkan CO dan memompa darah lebih
banyak untuk mengirimkan oksigen secara cepat dan membawa karbondioksida.
Sehingga akan mengakibatkan takikardi dan hipertensi. Sehingga, permintaan
oksigen dalam keadaan hipermetabolik yang begitu besar mengakibatkan jantung
tidak dapat berkompensasi secara adekuat (Urden, 2010).
Menurut Guyton, peningkatan aktivitas metabolik berhubungan dengan
meningkatnya transport aktif ion-ion melalui mebran sel. Salah satu enzim yang
meningkat sebagai respon hormon tiroid adalah Na, K-ATPase. Na, K-ATPase
meningkatkan kecepatan transport baik natrium maupun kalium melalui
membran-membran sel dari berbagai jaringan. Proses ini menggunakan energi dan
meningkatkan jumlah panas yang dibentuk dalam tubuh. Pada akhirnya proses ini
diduga sebagai salah satu mekanisme peningkatan kecepatan metabolik dalam
tubuh (Urden, 2010).
Peningkatan aktivitas metabolik yang terjadi menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen dan sumber energi. Peningkatan peristaltik usus akan
menyebabkan terjadinya hiperdefekasi. Gejala ini akan menyebabkan terjadinya
dehidrasi dan malnutrisi serta kehilangan BB pada pasien. Kontraksi dan relaksasi
otot dapat meningkat secara cepat. Keadaan ini disebut juga dengan hiperrefleksia
hipertiroidisme. Kelemahan otot terjadi disebabkan oleh katabolisme protein yang
berlebihan (Urder, 2010; Guyton, 2007).
Hiperaktivitas adrenergic akan menyebabkan respon kardiovaskuler dan
respon sistem syaraf terhadap kondisi hipermetabolik. Selain itu, peningkatan -
adrenegic juga akan menyebabkan keadaan labilitas emosional, tremor, agitasi,
bahkan delirium (Frost, 2004; Urden, 2010).
24
gastrointestinal serta otot dan lemak, sistem hematopoetik (Clemmons, 2004;
Cooper, 2007; Guyton, 2007; Kowalak, 2011;Ureden, 2010):
a. Jantung dan vaskular
Manifestasi klinis yang terjadi akibat penyakit hipertiroid ini lebih banyak
mempengaruhi fungsi kerja jantung, dimana jantung dipacu untuk bekerja lebih
cepat sehingga mengakibatkan otot jantung berkontraksi lebih cepat karena efek
ionotropik yang langsung dari hormon tiroid yang keluar secara berlebihan,
sehingga meningkatkan rasio ekspesi rantai panjang : . Otot jantung akan
berkontraksi lebih cepat, mengakibatkan cardiac output yang dihasilkan menurun
dan meningkatkan tekanan darah, iktus kordis terlihat jelas, kardiomegali, bising
sitolik serta denyut nadi. Pada hipertiroid dapat mennyebabkan kelainan jantung
seperti prolaps katup mitral yang sering terjadi pada penyakit Graves atau
Hashimoto. Aritmia jantung hampir tanpa terkecuali supraventricular, khusunya
pada penderita muda. Antara 2 % dan 20% penderita dengan hipertiroid dengan
atrial fibrilasi, dan 15 % penderita dengan atrial fibrilasi tidak terjelaskan. Atrial
fibrilasi menurunkan effisiensi respon jantung untuk meningkatkan kebutuhan
sirkulasi dan dapat menyebabkan gagal jantung.
b. Ginjal
Hipertiroid tidak menimbulkan gejala yang dapat dijadikan acuan terhadap
traktus urinaria kecuali poliuria. Meskipun aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus,
dan reabsorbsi tubulus serta sekretori meningkat. Total pertukaran potassium
menurun karena penurunan massa tubuh.
c. Metabolisme tubuh
Peningkatan hormon tiroid menyebabkan pemakaian oksigen seluler di
hampir seluruh proses metabolik sel di dalam tubuh dan metabolisme yang
berlebih. Respon cardiac adalah dengan cara meningkatkan CO dan memompa
darah lebih banyak untuk mengirimkan oksigen secara cepat dan membawa
karbondioksida. Sehingga akan mengakibatkan takikardi dan hipertensi.
Permintaan oksigen dalam keadaan hipermetabolik yang begitu besar
mengakibatkan jantung tidak dapat berkompensasi secara adekuat.
25
Menurut Guyton, peningkatan aktivitas metabolik berhubungan dengan
meningkatnya transport aktif ion-ion melalui mebran sel. Salah satu enzim yang
meningkat sebagai respon hormon tiroid adalah Na, K-ATPase. Na, K-ATPase
meningkatkan kecepatan transport baik natrium maupun kalium melalui
membran-membran sel dari berbagai jaringan. Proses ini menggunakan energi dan
meningkatkan jumlah panas yang dibentuk dalam tubuh. Pada akhirnya proses ini
diduga sebagai salah satu mekanisme peningkatan kecepatan metabolik dalam
tubuh.
d. Sistem gastrointestinal
Hipertiroid juga meningkatkan absorbsi karbohidrat tetapi hal ini tidak
sebanding dengan penyimpanan karbohidrat karena metabolisme pada hipertiroid
meningkat sehingga simpanan karbohidrat berkurang dan lebih banyak dipakai
dan juga meningkatkan motilitas usus, yang kemudian mengakibatkan pasien
hipertiroid mengalami hiperfagi dan hiperdefekasi.
f. Sistem Respirasi
26
Dyspnea biasanya terjadi pada hipertiroid berat dan faktor pemberat juga
ikut dalam kondisi ini. Gejala respiratori pada pasien hipertiroid meliputi palpitasi
dan sesak saat beraktivitas. Sesak nafas dapat disebabkan multifaktorial
dikarenakan penurunan komplians paru dan gagal jantung kiri. Selian itu, nyeri
dapat ditemukan pada pasien dengan hipertiroid seperti halnya nyeri pada angina
pectoris. Nyeri ini dapat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan penggunaan
oksigen dan spasme arteri koroner.
g. Hemapoetik
Hipertiroid menyebabkan peningkatan eritropoiesis dan eritropoietin, karena
kebutuhan akan oksigen meningkat. Disebabkan peningkatan metabolisme tubuh
yang meningkat pada hipertiroid.
27
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
Nadi teratur - -3
< 80x per menit - -
10
80 90x per menit +3 -
> 90x per menit
Interpretasi: Toxic (hyperthyroid) 20; equivocal (meragukan): 11 19;
euthyroid: <11
Untuk fungsi tiroid diperiksa kadar hormon T3, T4, dan TSH, ekskresi
yodium urin, kadar tiroglobulin, antibodi tiroid (ATPO-Ab, Atg-Ab), TSI, USG,
skintografi, dan kadang dibutuhkan pula FNAB (fine needle aspiration biopsy).
Pada fase awal penentuan diagnosis diperlukan kadar T3, T4, dan TSH, namun
pada pemantauan cukup diperiksa T4 saja, sebab seringkali TSH tetap tersupresi
walaupun keadaan telah membaik. Umumnya ada dua immunoassays yang
digunakan untuk mengukur TSH (dan T4 dan T3) dalam sampel serum yaitu
Immnunometric assays (IMA) dan Radioimmnuno assays (RIA). TSH RIA dinilai
kurang sensitif dan kurang banyak digunakan daripada IMA (Cooper et al., 2007;
Sudoyo et al., 2009).
Pengukuran serum T4 dan T3 baik total dan bebas (free) T4 dan T3 diukur
dengan bermacam teknik pengujian otomatis. Serum total konsentrasi hormon
tiroid banyak tersedia dan akurat untuk menduga pasien dengan disfungsi tiroid
yang jelas. Konsentrasi T4 bebas sendiri digunakan untuk diagnosa disfungsi
tiroid, dimana angka keadaan dari hipertiroid sejati/primer atau hipotiroid harus
dibedakan. Dalam suatu keadaan, hipertiroidisme sejati/primer tidak termasuk
dalam kadar serum TSH normal. Dan sebaliknya, ada juga kemungkinan keadaan
dalam serum tiroksin bebas yang dapat menjadi subnormal pada eutiroid
individual 4. Dan nilai rujukan untuk uji indeks T4 bebas (FT4I) yaitu eutiroid =
3,7- 6,5 ; hipertiroid = 7,8-20,2 ; hipotiroid = 0,1-2,6 (Adimas, 2012).
Untuk memeriksa mata disamping klinis digunakan alat eksoftalmometer
Herthl. Karena hormon tiroid berpengaruh terhadap semua sel atau organ maka
tanda kliniknya ditemukan pada semua organ kita (Sudoyo et al., 2009).
28
Gambar 6. Tes Laboratorium Untuk Diagnosis Differensial Hipertiroidisme
29
mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin.
Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi
T4 menjadi T3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar
kemampuan menghambat konversi T4 ke T3 ini, PTU lebih dipilih dalam
pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di
perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis
hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosisi
tunggal.
Terdapat beragam pandangan ahli mengenai dosis obat tirostatika, salah
satunya menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan
klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3 x 100-200 mg/hari dan
metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6
minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai
respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat
diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol 5-10 mg/hari
yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T4 bebas
dalam batas normal.
30
Asam Iopanoat ekstratiroidal penggunaan rutin.
b. Pembedahan
Pembedahan dapat menjadi salah satu pilihan terapi hipertiroid pada pasien
dengan struma nodular dan multinodular toksik, pasien yang kontraindikasi atau
menolok terapi yodium radioaktif, wanita hamil yang gejala hipertiroidnya tidak
dapat dikendalikan, dan pasien yang alergi terhadap obat anti tiroid. Teknik
pembedahan tiroidektomi tergolong aman dan efektif dengan tingkat kesuksesan
sebesar 92%. Komplikasi yang mungkin timbul dari tindakan ini adalah
hipoparatiroidisme, paralisis pita suara, dan hipotiroidisme.
c. Terapi iodium radioaktif
Terapi iodium radioaktif dapat menjadi pilihan bagi pasien dengan struma
nodular dan multinodular toksik, pasien berusia lanjut dengan Graves disease,
dan pasien dengan Graves disease yang tidak dapat dikendalikan dengan obat
anti tiroid. Konsumsi betablocker selama dua hingga tiga bulan setelah terapi
berguna untuk membantu yodium radioaktif memaksimalkan efek kerjanya pada
kelenjar tiroid. Bulan ketiga hingga keenam evaluasi kadar TSH secara berkala
untuk mencegah timbulnya hipotiroidisme.
31
Terapi iodium radioaktif Relatif cepat Masih ada morbiditas
40% hipotiroid dalam 10
tahun
Relatif jarang residif Daya kerja obat lambat
Sederhana 50% hipotiroid pasca
radiasi
3.4.8 Komplikasi
Komplikasi hipertiroidisme yang dapat terjadi adalah tirotoksikosis, krisis
tiroid, penyakit jantung tiroid, Graves oftalmopati, dan osteoporosis sekunder.
Krisis tiroid merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat mengancam
nyawa, dan berasal sebagai hasil manifestasi dari tirotoksikosis. Tingkat
mortalitasnya tergolong tinggi antara 10-20% dimana insidensi krisis tiroid terjadi
10 kali lebih sering pada wanita dibandingkan dengan pria. Penyebab paling
sering dari krisis tiroid ialah Graves disease. Gejala krisis tiroid terutama adala
hiperpireksia (38-41oC) diikuti dengan produksi keringat yang berlebihan. Gejala
lainnya antara lain konfusi, agitasi, psikosis, takikardia, aritmia, peningkatan
tekanan darah sistolik dan penurunan tekanan darah diastolik, kelemahan otot,
tremor, diare, nyeri abdominal, dan iktrerik akibat disfungsi hepar (Sayin et al.,
2014).
3.5.2 Etiologi
Penyebab penyakit jantung hipertiroid yang paling sering adalah penyakit
Grave, struma multinoduler, struma nodosa soliter, dan metastase karsinoma tiroid
folikular. Secara garis besar etiologi hipertiroid dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu (Ingbar, 2012) :
a. TSH normal atau rendah
32
Kadar TSH yang normal atau rendah terdapat pada penyakit Grave, nodul
toksik (single atau multiple), tiroiditis subakut, penyakit Hashimoto, silent
thyroiditis, excess thyroid hormone ingestion.
b. TSH meningkat
Kadar TSH yang meningkat dapat dijumpai pada koriokarsinoma, tumor
pituitari yang memproduksi TSH
33
Gambar 7. Hipertiroid dan Hipotiroid pada sistem kardiovaskular
(Klein & Danzi, 2007)
3.5.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertiroidisme dengan komplikasi kardiovaskular
memerlukan pendekatan yang berbeda, yaitu dengan mempertimbangkan faktor
kardiovaskular tersebut. Tujuan pengobatan ialah secepatnya menurunkan
keadaan hipermetabolik dan kadar hormon tiroid yang berada dalam sirkulasi.
Keadaan sirkulasi hiperdinamik dan aritma atrial akan memberikan respon baik
dengan pemberian obat penyekat beta. Dalam hal ini, propanolol merupakan obat
pilihan karena bekerja cepat dan mempunyai keampuhan yang sangat besar dalam
menurunkan frekuensi denyut jantung. Selain itu, penghambat beta dapat
menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. Pada pasien dengan gagal jantung
berat, peng-gunaan obat penyekat beta harus dengan sangat hati-hati karena dapat
memperburuk fungsi miokard, meskipun beberapa penulis mendapat hasil baik
pada pengobatan pasien gagal jantung akibat tirotoksikosis. Bahaya lain dari obat
penyekat beta ialah dapat menimbulkan spasme bronkial, terutama pada pasien
dengan asma bronkial. Dosis yang diberikan berkisar antara 40-0 mg per hari
dibagi 3-4 kali pemberian (Wantania, 2014).
34
Obat antitiroid yang banyak digunakan ialah PTU dan imidazol (metimazol,
tiamazol, dan karbimazol). Kedua obat ini termasuk dalam golongan tionamid
yang kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid, tetapi tidak memengaruhi
sekresi hormon tiroid yang sudah terbentuk. Propiltiourasil mempunyai
keunggulan mencegah konversi T4 menjadi T3 di perifer. Dosis awal PTU yang
digunakan ialah 300-600 mg/hari dengan dosis mak-simal 1200-2000 mg/hari
atau metimazol 30-60 mg sehari. Perbaikan gejala hiper-tiroidisme biasanya
terjadi dalam 3 minggu dan eutiroidisme dapat tercapai dalam 6-8 minggu. Pada
pasien dengan hipertiroidisme dan AF, terapi awal harus difokuskan pada kontrol
irama jantung dengan menggunakan penyekat beta (propanolol, atenolol,
bisoprolol), tetapi konversi ke irama sinus sering terjadi secara spontan bersamaan
dengan pengobatan hipertiroidisme. Pemberian penyekat beta pada kasus
hipertiroidisme terkait dengan gagal jantung, harus diberikan sedini mungkin.
Golongan obat penyekat beta dapat mengontrol takikardia, palpitasi, tremor,
kecemasan, dan mengurangi aliran darah ke kelenjar tiroid. Tujuan terapi dengan
penyekat beta ialah menurunkan denyut jantung ke tingkat mendekati normal dan
kemudian meningkatkan perbaikan komponen disfungsi ventrikel kiri (LV).
Penggunaan bisoprolol memiliki efek menguntungkan pada kasus gagal jantung
dengan AF karena berhubungan dengan remodeling dari ventrikel kiri dan
terdapat peningkatan signifikan left ventricle ejection fraction (LVEF).
Jika AF berlanjut, pertimbangan harus diberikan untuk antikoagulasi,
terutama pada pasien yang berisiko tinggi terhadap emboli. Terapi antikoagulan
dengan durasi AF yang pendek (kurang dari 3 bulan) dan tanpa kelainan jantung
oleh karena konversi ke irama sinus akan terjadi setelah diterapi dengan obat
35
antikoagulan. Jika AF belum teratasi, perlu dilakukan kardioversi setelah
36
Pada pasien hipertiroidisme dengan gagal jantung, terapi diuretik digunakan
untuk mengatasi kelebihan cairan, tetapi pengobatan awal harus mencakup
pemberian penyekat beta. Terapi rutin untuk gagal jantung, termasuk inhibitor
ACE, harus digunakan pada pasien yang sudah dideteksi adanya disfungsi LV atau
pada pasien gagal jantung yang tidak membaik ketika detak jantung menjadi
normal.
Terapi tambahan yang dapat diberikan untuk memperbaiki metabolisme
miosit jantung ialah penggunaan Koenzim-10 dan Trimetazidin. Koenzim Q-10
(CoQ10) merupakan suatu nutrien yang berperan vital dalam bioenergetik otot
jantung yaitu sebagai kofaktor produksi adenosin trifosfat (ATP) mitokondrial.
Efek bioenergetik CoQ10 ini sangat penting dalam aplikasi klinik, terutama
hubungannya dengan sel-sel yang mempunyai kebutuhan metabolik sangat tinggi
seperti miosit jantung. Nutrien ini merupakan antioksidan poten yang memiliki
implikasi penting dalam fungsi jantung terutama pada kondisi cedera iskemia
reperfusi pada miokard. Koenzim Q10 dapat memengaruhi perjalanan penyakit
kardiovaskular dengan mempertahankan fungsi optimal dari miosit dan
mitokondria. Trimetazidin telah diketahui sejak lama efektif pada penatalaksanaan
angina melalui efek peng-hambatan rantai panjang 3-ketoasil ko-enzim A tiolase
mitokondria yang meng-hambat metabolisme asam lemak sehingga dapat
mengubah metabolisme energi. Keadaan ini akan menstimulasi penggunaan
glukosa dan akan memroduksi ATP dengan konsumsi oksigen yang lebih rendah.
Untuk penanganan hipertiroidismenya, pada awal pengobatan, pasien
dikontrol setelah 4-6 minggu. Setelah tercapai eutiroidisme, pemantauan
dilakukan setiap 3-6 bulan sekali terhadap gejala dan tanda klinis, serta
laboratorium (FT4 dan TSHs). Dosis obat antitiroid dikurangi dan dipertahankan
dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroidisme selama 12-24 bulan.
Pengobatan kemudian dihenti-kan dan dinilai apakah telah terjadi remisi, yaitu
bila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan
eutiroidisme, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroidisme atau terjadi relaps.
37
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan
struktural dan fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisian
ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal
jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan pembatasan toleransi aktivitas
dan retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema perifer. Gejala ini
mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung. Berdasarkan studi
Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan apabila diperoleh :
paling sedikit 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor.
38
Pemeriksaan Penunjang CHF
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan.
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan
gula darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah
untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH)
atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya
menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV.
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung
dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang- kadang
efusi pleura. begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat
mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.
4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi,
dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah
echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian
semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan
menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan
dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi
atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada
pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna
untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-
D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan
pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor
pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi
jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan
volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF
(stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah
diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan.
Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF
39
memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai
contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah
ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan
pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan
jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung
baik akut maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki
prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi
serta beratnya kondisi.
Non farmakologi :
a. Anjuran Umum
- Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan
- Aktivasi sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa.
Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.
- Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
- Vaksinasi terhadap infeksi influenza dan pneumokokus bila mampu.
- Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan
hormone dosis rendah masih dapat dianjurkan.
b. Tindakan Umum
- Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g
pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5
liter pada gagal jantung ringan).
- Hentikan rokok
- Hentikan alcohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.
- Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau
sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut
jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
- Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
c. Farmakologi
- Diuretik : kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling
sedikit diuretic regular dosis rendah dengan tujuan untuk mencapai tekanan
vena jugularis normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan
loop diuretic atau tiazid. Bila respom tidak cukup baik, dosis dapat dinaikan,
berikan diuretic intravena atau kombinasi loop diuretic dengan tiazid. Diuretic
40
hemat kalium, spironolakton dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas
fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
- Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan
pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian
dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis
yang efektif.
- Penyekat beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai
dengan dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol
ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil.
Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat beta yang digunakan
carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan
penghambat ACE dan diuretic.
- Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi
penggunaan penghambat ACE.
- Kombinasi hidralazin dengan ISDN memberi hasil yang baik pada pasien yang
intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan.
- Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi
sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan
bersama-sama diuretic, penghambat ACE, penyekat beta.
- Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli
serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang
buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan
riwayat emboli, thrombosis dan transient ischemis attack, thrombus
intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
- Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau
aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindarkan
kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama
amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan
untuk md]q]]]encegah kematian mendadak.
- Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk
mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.
41
BAB IV
ANALISIS KASUS
Ny. Sulaini binti Zul Kopli, perempuan usia 28 tahun, datang dengan
keluhan sesak bertambah hebat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak
dirasakan saat istirahat, pasien lebih nyaman dalam posisi duduk. Sesak tidak
dipengaruhi emosi dan cuaca, mengi tidak ada, terbangun di malam hari karena
sesak ada, batuk ada, batuk bertambah saat malam hari ada, tidak berdahak.
Demam ada hilang timbul. Nyeri dada ada, jantung berdebar ada. Nyeri sendi
tidak ada. Mual tidak ada muntah tidak ada. Sembab pada kedua kaki ada. Pasien
mengeluh mata kuning. BAB biasa, BAK seperti teh pekat, frekuensi dan jumlah
tidak ada keluhan. Pasien dirujuk dari RS Pendopo ke RSMH Palembang. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan JVP (5+2) cmH2O, ronkhi basah halus (+) di basal
paru kiri kanan, hepar teraba 2 jari bawah arkus costae, tepi tumpul, permukaan
rata, konsistensi kenyal, shifting dullness (+), edema (+).
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan mengarah pada
penyakit jantung. Hal ini dibuktikan dari keluhan-keluhan yang disampaikan
pasien, sudah memenuhi kriteria Framingham. Kriteria Framingham menyatakan
bahwa gagal jantung kongestif terjadi jika memenuhi 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor ditambah dengan 2 kriteria minor. Pasien ini memenuhi 2 kriteria
mayor dan 4 kriteria minor sehingga pasien ini dinyatakan menderita gagal
jantung kongestif.
42
Paroxysmal nocturnal dyspnea or Bilateral ankle edema
orthopnea Pleural effusion
Neck vein distension Night cough
Crackles/rales (>10 cm from the base of Dyspnea on exertion
the lung) Hepatomegaly
Acute pulmonary edema Tachycardia >120 bpm
S3 gallop Weight loss >4.5 kg caused by heart
Weight loss >4.5 kg in response to CHF failure where other factors other than
treatment treatment of CHF could have
Central venous pressure >16 cmH2O contributed to the weight loss
Selain itu, dari anamnesis juga didapatkan pasien mengeluh adanya
benjolan di leher bagian depan sejak + 6 tahun yang SMRS. Nyeri menelan
tidak ada, rasa panas ketika dipegang tidak ada, perubahan suara menjadi
serak ada, sesak nafas ada, berdebar-debar ada, mudah lelah ada saat
aktivitas, keringat banyak ada, nyaman di tempat dingin, mudah gugup ada,
nafsu makan bertambah ada, berat badan menurun ada, demam ada naik
turun, sering gemetar ada. BAB dan BAK biasa. Pasien berobat ke RS
Pendopo, dikatakan menderita tiroid beracun lalu diberi obat PTU namun
tidak rutin diminum. Pada pemeriksaan fisik didapatkan eksoftalmus (+),
sklera ikterik (+/+), pembesaran kelenjar tiroid, diffuse, batas tidak tegas, ikut
bergerak saat menelan, konsistensi lunak, tidak terfiksir, bruit sound (+), HR
96 x/menit dan nadi 88x/menit (pulsus deficit), murmur (+) sistolik grade 3/6,
serta tremor halus pada tangan. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
bahwa pasien memiliki nilai fT4 = 7,77 (meningkat) dan TSH = 0,005
(menurun). Hal ini mengarah pada keadaan hipertiroid. Jika dimasukkan
dalamindekswaynedidapatkanskor28 dimanajikadiinterpretasikan,skor
tersebutsudahtermasukhipertiroid.
43
TIDAK
GEJALA SKOR TANDA ADA
ADA
Sesak nafas +1 Pembesaran tiroid +3 3
Palpitasi +2 Bruit pada tiroid +2 2
Mudah lelah +2 Eksophtalmus +2
Senang hawa panas 5 Retraksi palpebra +2
Senang hawa dingin +5 Palpebra terlambat +4
44
Propanolol merupakan obat pilihan karena bekerja cepat dan mempunyai
keampuhan yang sangat besar dalam menurunkan frekuensi denyut jantung.
Golongan obat penyekat beta dapat mengontrol takikardia, palpitasi, tremor,
kecemasan, dan mengurangi aliran darah ke kelenjar tiroid. Tujuan terapi dengan
penyekat beta ialah menurunkan denyut jantung ke tingkat mendekati normal dan
kemudian meningkatkan perbaikan komponen disfungsi ventrikel kiri (LV). Selain
itu, penghambat beta dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer.
Obat antitiroid yang banyak digunakan ialah PTU dan imidazol
(metimazol, tiamazol, dan karbimazol). Kedua obat ini termasuk dalam golongan
tionamid yang kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid. Propiltiourasil
mempunyai keunggulan mencegah konversi T4 menjadi T3 di perifer. Furosemid
diberikan dengan tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan
menghilangkan edema.
DAFTAR PUSTAKA
Cooper DS, Greenspan FS, Ladenson PW. 2007. The Thyroid Gland. Dalam :
Gardner DG, Shoback D, editor. Greenspans Basic & Clinical
Endocrinology. Edisi 8. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc.
Guyton A, J., Hall J, E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Klein I, Danzi S. Thyroid disease and the heart. Circulation. 2007;1 :1725-35
Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. 2011. Profesional Guide of Pathophysiology.
Dalam : Hartono A, editor. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
45
Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. 2011. Profesional Guide of Pathophysiology.
Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
Makmun LH. 2009. Ekokardiografi Trans Esofageal (ETE). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Panggabean MM. 2009. Gagal Jantung Dalam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Price, Sylvia A dan Lorraine M.Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC.
Urden, et al. 2010. Critcal Care: Diagnosis and Management. Canada : Mosby
46