Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
1. Pengantar
Hukum hadir dan dibuat sebagai salah satu jalan yang diharapkan dapat memberi penyelesaian
yang tepat dan seadil-adilnya dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif dari
segala bentuk tindak pidana yang dirasa merugikan, melanggar, dan merampas hak asasi manusia
yang lain. Hukum adalah suatu tatanan norma yang mengatur pergaulan manusia dalam
bermasyarakat. Perkembangan hukum tidaklah terlepas dari perkembangan pola pikir manusia
yang menciptakan hukum tersebut untuk mengatur dirinya sendiri. Hukum ada pada setiap
masyarakat di manapun di muka bumi.
Kejahatan merupakan perbuatan yang dinilai oleh masyarakat dan undang-undang melanggar
norma-norma dan nilai-nilai yang hidup serta dianggap melampaui batasan mengenai hal-hal
yang tidak sewajarnya dilakukan oleh anggota masyarakat. Secara teknis yuridis, istilah
kejahatan hanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang
dinyatakan sebagai tindak pidana[1], serta kejahatan bisa dikatakan sebagai suatu pemberian
cap[2] yang dilakukan baik oleh masyarakat, maupun melalui undang-undang, yakni suatu
perbuatan diberi pengertian sebagai jahat, maka pada dasarnya kejahatan bukanlah kualitas
dari perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannnya peraturan
dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar.[3]
Pembaharuan hukum pidana sendiri menurut Prof. Muladi memiliki beberapa alasan-alasan,
yakni alasan politik, sosiologis dan praktis. Alasan politik dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu
negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional demi kebanggaan
nasional. Alasan sosiologis menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai-nilai
kebudayaan dari suatu bangsa, sedang alasan praktis, antara lain bersumber pada kenyataan
bahwa biasanya bekas-bekas negara jajahan mewarisi hukum yang menjajahnya dengan bahasa
aslinya, yang kemudian banyak tidak dipahami oleh generasi muda dari negara yang baru
merdeka tersebut. Hal ini disebabkan biasanya negara yang baru merdeka tersebut ingin
menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa kesatuan sehingga bahasa dari negara penjajahnya
hanya dimiliki oleh generasi yang mengalami penjajahan.[4]
1. Kebijakan Hukum Pidana
Pengertian kebijakan secara umum dalam ranah pemerintahan atau kebijakan publik menurut
Chandler dan Plano menyatakan:[5]
Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya sumber daya yang
ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan
suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan
kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut
berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian kebijakan publik menurut Chandler
dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini
pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan
publik.
Kebijakan publik menempatkan dirinya sebagai bantuan terhadap kepentingan kelompok yang
kurang beruntung. Pembangunan dan perkembangan hukum di Indonesia (dalam hal ini
perundang-undangan) ditempuh melalui suatu program yakni Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) yang dilakukan melalui lembaga DPR, dengan menggunakan landasan kebijakan
publik. Kebijakan publik ini lah yang akan membawa kita dalam perkembanagn dan
pembaharuan hukum pidana. Menurut Prof. Barda pengertian daripada kebijakan hukum
pidana dapat pula dikatakan sebagai politik hukum pidana.[6]
Hukum pidana atau yang sering disebut pula dengan Penal Policy dapat dilihat dari segi politik
hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto Politik Hukum adalah:[7]
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat.
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang
dicita-citakan.
Maka dengan pengertian yang telah dijelaskan oleh Prof. Sudarto diatas, kita dapat mengambil
kesimpulan, yakni kebijakan hukum pidana dapat kita artikan sebagai usaha-usaha untuk
membentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan kondisi masyarakat, yang tujuan
utamanya ialah untuk mencapai cita-cita Indonesia, yaitu tidak hanya mengatur warga
masyarakatnya melalui undang-undang, namun juga menciptakan kedamaian dan kesejahteraan,
yang dilakukan (pembaharuannya) melalui lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk
membuat peraturan terkait.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak
dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum
pidana juga bagian dari politik kriminal[8]. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut pandang
politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.[9]
Dewasa ini, kondisi dan keadaan hukum di Indonesia harus berhadapan dengan masalah-masalah
yang rumit, seperti penyusunan, kebangkitan kembali, pembangunan, kelahiran, dan bentuk
potensial hukum dari tertib hukum. Kondisi hukum yang sudah tidak stabil lagi dikarenakan
aparat penegak hukum yang korup dan tak mempunyai nilai-nilai philosophia,, yang justru
melakukan tindakan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Upaya dalam memperbaiki hal-
hal ini pun telah dan sedang dilakukan, yakni;[10]
Pembaharuan secara etimologis berarti suatu hal yang lama dan sedang dalam prosesnya untuk
diperbaharui. Telah dijelaskan di awal bahwa kebijakan hukum pidana ialah suatu usaha untuk
membuat peraturan (pidana) menuju yang lebih baik, tidak hanya melakukan pengaturan tingkah
laku masyarakat, namun juga menciptakan masyarakat yang sejahtera. Hal ini berarti
pembaharuan hukum pidana merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan hukum
pidana.
Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945, melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945) tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan nasional yang
ingin dicapai seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD NRI 1945, khususnya alinea ke empat.
Dari perumusan tujuan nasional yang tertuang dalam alinea ke empat UUD NRI 1945 tersebut,
dapat diketahui dua tujuan nasional yang utama yaitu: (1) untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia, dan (2) untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila. Hal itu berarti
ada dua tujuan nasional, yaitu perlindungan masyarakat (social defence) dan kesejahteraan
masyarakat (social welfare) yang menunjukkan adanya asas keseimbangan dalam tujuan
pembangunan nasional.[11]
Pembaharuan hukum pidana menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah sentral
yang sangat fundamental dan sangat strategis. Termasuk dalam masalah kebijakan dalam
menetapkan sanksi pidana, kebijakan menetapkan pidana dalam perundang-undangan. Kebijakan
legislatif merupakan tahap yang paling strategis dilihat dari keseluruhan proses kebijakan, untuk
mengoperasionalkan hukum pidana. Pada tahap inilah dirumuskan garis-garis kebijakan sistem
pidana dan pemidanaan, yang sekaligus merupakan landasan legalitas bagi tahap-tahap
berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana oleh badan pengadilan dan tahap pelaksanaan pidana
oleh aparat pelaksana pidana.[12]
Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek
sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya
kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Dengan demikian,
pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik,
sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.[13] Singkatnya pembaharuan
hukum pidana setidaknya harus menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kebijakan
(policy-oriented approach) dan pendekatan nilai (value-oriented approach).[14]
Perkembangan dari pendekatan yang berorientasi terhadap kebijakan ialah lamban datangnya,
hal ini dikarenakan bila kita kembali ke awal pembahasan, kebijakan ini dilakukan oleh DPR
yang pada dasarnya harus melewati proses legislasi, dan proses legislatif belum siap untuk
pendekatan yang demikian. Serta masalah yang lain ialah proses kriminalisasi ini yang
berlangsung terus menerus tanpa diadakannya suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap
keseluruhan sistem. Hal ini mengakibatkan timbulnya: a. krisis kelebihan kriminalsiasi; dan b.
krisis kelampuan batas dari hukum pidana.[15]
Kebijakan yang ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembaruan hukum pidana,
melalui dua jalur, yaitu:
Masalah utama dalam kebijakan kriminal ialah kriminalisasi, yakni proses diikatnya suatu
perbuatan yang sebelumnya tidak diancam dengan sanksi pidana, menjadi perbuatan yang
diancam dengan sanksi pidana. Kriminalisasi ini diakhiri dengan diundangkannya suatu
perbuatan tersebut.
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana) ialah masalah penentuan:[16]
Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral
antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan sosial. Dalam
menentukan kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi hendaknya memperhatikan hal
berikut:[17]
1. Tujuan hukum pidana: seperti cabang hukum yang lainnya yaitu menciptakan ketertiban
dalam masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.
2. Penentuan perbuatan yang tidak dikehendaki, artinya perbuatan yang diusahakan untuk
dicegah atau ditanggulangi merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki.
3. Penentuan biaya dan hasil, artinya penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan
prinsip biaya dan hasil, yakni biaya dalam hal dari pembuatan peraturan tersebut hingga
pelaksanaan penegakan hukumnya.
4. Kemampuan aparat hukum: penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari aparat penegak hukum, serta jangan sampai ada
kelampauan beban tugas.
Usaha-usaha penanggulangan kejahatan telah banyak dilakukan dengan berbagai cara, namun
hasilnya masih belum memuaskan. Salah satu penanggulangan kejahatan ialah menggunakan
hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun usaha ini masih sering
dipersoalkan, penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana untuk mengatasi masalah
sosial, bukan hanya merupakan problem sosial tetapi merupakan masalah kebijakan.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua,
setua peradaban manusia. Sehingga ada suatu pandangan bahwa pelaku kejahatan tidak perlu
dikenakan pidana, karena pidana merupakan peninggalan kebiadaban masa lalu yang seharusnya
dihindari. Pandangan ini didasarkan pada pidana adalah tindakan perlakuan yang kejam dan
menderitakan. Hal ini dikemukakan oleh suatu gerakan pambaharuan hukum pidana di eropa
kontinental dan Inggris terutama reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana. Atas dasar
pandangan itulah, kiranya terdapat pendapat bahwa teori retributive atau teori pembalasan dalam
hal pemidanaan merupakan a relic of barbarism.[18]
Kenyataan bahwa di beberapa negara menunjukkan bahwa pidana penjara memiliki sisi negatif
dijelaskan pula dalam Kongres PBB ke-7 mengenai The Prevention of Crime and the Treatment
of Offender dinyatakan bahwa pertambahan jumlah dan lamanya pidana penjara ternyata tidak
memiliki dampak yang signifikan terhadap penurunan jumlah kejahatan. Pertambahan populasi
penjara dan penuhnya lembaga penjara menyebabkan kesulitan untuk mengembangkan aturan
standar minimum bagi perlakukan terhadap pelaku tindak pidana. Untuk itu pencarian alternatif
pidana penjara telah menjadi masalah yang bersifat universal.
Kongres PBB ke-7 ini kemudian merekomendasikan setiap negara untuk menggunakan sanksi
pidana sanksi pidana yang berupa tindakan-tindakan non-custodial untuk perkara pidana yang
dianggap tidak terlalu serius atau membahayakan dan merekomendasikan pula agar setiap negara
mempertimbangkan pidana penjara hanya sebagai sanksi yang terakhir (ultimum remedium).
Perkembangan dan pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam hal kebijakan hukum pidana
menuntun diterapkannya sanksi pidana yang lebih efektif menanggulangi kejahatan. Pidana kerja
sosial adalah suatu hal yang cukup menarik, karena ini merupakan jenis pidana yang baru apabila
nantinya diterapkan pada KUHP Indonesia. Pidana kerja sosial merupakan salah satu jenis
pidana pokok yang diatur pada Pasal 65 dan Pasal 86 RUU KUHP tahun 2012. Pada penjelasan
kedua pasal tersebut dijelaskan bahwa munculnya jenis pidana kerja sosial adalah sebagai
alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek dan denda yang dijatuhkan hakim
kepada terdakwa dan perampasan kemerdekaan jangka pendek dalam hal ini adalah pidana
penjara dan kurungan.
Sedangkan, pidana kerja sosial atau dalam istilah asing sering disebut sebagai community service
orders (CSO) adalah bentuk pidana dimana pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan
melakukan kerja sosial yang ditentukan.[19] Sehingga pidana kerja sosial ini adalah pidana
alternatif dari perampasan kemerdekaan jangka pendek yang dilakukan dengan berdasarkan
hitungan jam tertentu dan dilakukan tanpa bayaran.
Pidana kerja sosial memang baru sebatas rencana dan belum sah ditetapkan sebagai salah satu
sanksi pidana di Indonesia, dasar hukumnya pun hanya diatur pada RUU KUHP Tahun 2012.
Pidana kerja sosial penting dijadikan salah satu jenis sanksi pidana di Indonesia dengan beberapa
alasan yakni lebih bisa memperbaiki terpidana, lebih berguna bagi terpidana dan masyarakat
serta lebih memperhatikan hak asasi manusia (penjelasan RUU KUHP 2012).
Berkaitan dengan pembahasan pidana kerja sosial, pidana perampasan kemerdekaan menjadi
penting untuk dikemukakan, oleh karena justru kecenderungan internasional yang terjadi adalah
bahwa pidana kerja sosial merupakan alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahawa semakin besar peluang diterapkannya pidana sosial.
Paling tidak digunakan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, pidana kerja
sosial mempunyai peluang untuk diterapkan.
Fakta dilapangan menyebutkan bahwa pidana perampasan kemerdakaan merupakan jenis pidana
yang paling banyak dijatuhkan oleh hakim, dengan demikian, maka pidana kerja sosial secara
umum mempunyai peluang yang sangat besar dalam diterapkan sebagai alternatif pidana di masa
mendatang.
Sudah saatnya memang untuk Indonesia melakukan yang namanya pembaharuan hukum pidana,
selain alasan-alasan yang telah dikemukakan di muka, terdapat juga alasan pembaharuan hukum
pidana untuk dilakukannya upaya nonpenal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dan
pembaharuan hukum pidana secara progresif.
Upaya non-penal sebenarnya lebih bersifat ke upaya pencegahan untuk terjadinya kejahatan,
maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan.[21]
Bergerak kearah pembaharuan hukum pidana secara progresif, kita harus meninggalkan ranah
pragmatis dan kuantitatif. Upaya-upaya non-penal yang telah sedikit dijelaskan diatas
sebenarnya merupakan langkah-langkah progresif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum,
karena dengan melakukan tindakan atau upaya pencegahan, hal itu termasuk dalam bidang
pemikiran yang progresif.
Gerakan hukum progresif memang lahir sebagai akibat dari kekecewaan kepada penegak hukum
yang kerap berperspektif postitivis. Para penganut paham postitivisme kerap berdalih bahwa
paham civil law yang dianut Indonesia mengharuskan hakim sebagai corong undang-undang
(la bouche de la loi). Hukum Progresif bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum
dalam masyarakat berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas
penegakan hukum dalam setting Indonesia pada akhir abad ke-20.[23]
Dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, kajian secara progresif sekiranya harus
dilakukan, kajian yang terlepas dari atribut-atribut yang melekat, yang mengutamakan
penjatuhan sanksi pidana, terutama pidana yang merampas kemerdekaan seseorang sebagai
ultimum remidium, yang mengutamakan pula manusia itu diatas hukum, dan bukan sebaliknya.
Hukum hanya sebagai sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia. Hukum
tidak lagi dipandang sebagai dokumen yang absolut dan ada secara otonom. Hukum progresif
yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya kreativitas. Kreativitas dalam
konteks penegakan hukum selain dimaksudkan untuk mengatasi ketertinggalan hukum,
ketimpangan hukum, juga dimaksudkan untuk membuat terobosan-terobosan hukum bila perlu
melakukan rule breaking. Terobosan-terobosan ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan
kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yaitu hukum yang membuat bahagia.[24]
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru). Kencana. Jakarta
Bakhri, Syaiful. 2013. Hukum Pidana, Perkembangan dan Pertumbuhannya. Total Media.
Yogyakarta.
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. Teori dan Konsep Kebijakan Publik dalam Kebijakan Publik
yang Membumi, konsep, strategi dan kasus. Lukman Offset dan YPAPI. Yogyakarta.
[1] Menurut I.S. Susanto, disamping kejahatan itu sendiri, hukum tidak lain merupakan salah
satu norma di antara sistem norma yang lain, yang mengatur tingkah laku manusia atau dalam
bahasa psikoanalisa hanya sebagai suatu tabu di antara tabu-tabu yang lain, yaitu norma agama,
kebiasaan dan moral. Lihat, I.S Susanto, Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011)
Hlm. 28.
[4] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 1. Mengenai alasan-
alasan pembaharuan Hukum Pidana ini juga disinggung dalam Naskah Akademik RUU
KUHP.
[5] Hessel Nogi S. Tangkilisan, Teori dan Konsep Kebijakan Publik dalam Kebijakan
Publik
yang Membumi, konsep, strategi dan kasus, (Yogyakarta : Lukman Offset dan YPAPI, 2003),
hlm. 1.
[6] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 26.
[7] Lihat Sudarto, sebagaimana dikutip dalam Barda Nawawi Arief, Ibid.
[8] Yang dimaksud dengan Politik Kriminal yaitu: a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas
dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b.
Dalam arti luas, ialah keseluruham fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya
cara kerja dari pengadilan dan polisi; c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorge
Jepsen) ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan
resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Lihat Sudarto
sebagaimana dikutip dalam Barda Nawawi Arief, op. cit. Hlm. 1.
[10] Lihat Lili Rasyidi, sebagaimana dikutip dalam Syaiful Bakhri. Hukum Pidana,
Perkembangan dan Pertumbuhannya, (Yogyakarta: Total Media, 2013). Hlm. 191.
[11] Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2009). Hlm. 43.
[14] Pendekatan yang dilakukan terhadap pembaharuan hukum pidana ini dilakukan
berdasarkan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana. Singkatnya pendekatan kebijakan
terdiri dari; a. Kebijakan sosial yang bertujuan sebagai penyelesaian masalah-masalah sosial, dan
dalam rangka mensejahterakan masyarakat; b. Kebijakan kriminal yang berarti melakukan
perlindangan masyarakat (social defence) (khususnya sebagai upaya penanggulangan kejahatan);
c. Kebijakan penegakan hukum dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum. Serta dalam
hal pendekatan nilai pada dasarnya merupakan pembaharuan hukum pidana terhadap muatan
normatif dan substansif. Lihat Barda Nawawi Arief, Ibid. Hlm. 29-30.
[15] Lihat M. Cherif Bassiouni sebagaimana dikutip dalam Barda Nawawi Arief, Ibid. Hlm. 33-
34.
[17] Lihat Sudarto sebagaimana dikutip dalam Barda Nawawi Arief, Ibid. Hlm. 31.
[18] Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2009).
Hlm. 87
[19] Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Djambatan:
Jakarta, 2001), Hlm. 16.
[20] Lihat G. Peter Hoefnagels sebagaimana dikutip dalam Barda Nawawi Arief, Ibid. Hlm.
45.
[23] Lihat Satijpto Rahardjo, sebagaimana dikutip dalam Suteki, Masa Depan Hukum Progresif,
(Yogyakarta: Thafa Media, 2015). Hlm. 45.