SPO Perawatan Metode
SPO Perawatan Metode
SPO Perawatan Metode
1. Pengertian
Perawatan metode kanguru (Kangaroo Mother Care) atau disebut juga asuhan kontak kulit
dengan (skin to skin contact) merupakan metode khusus asuhan bagi bayi berat lahir rendah atau
bayi prematur.
Tipe ini dilakukan apabila bayi masih mendapat cairan atau obat-obatan intravena,
bantuan khusus seperti oksigen atau minum melalui oral gastric tube (OGT).
Asuhan harus dilakukan selama lebih dari 1 (satu) jam untuk memberikan hasil yang
optimal dan mengurangi stress pada bayi.
Tipe ini dilakukan pada bayi yang sudah memenuhi kriteria dan tidak memerlukan
bantuan khusus untuk bernafas.
Tipe ini dilakukan untuk meningkatkan berat badan bayi, meningkatkan kemampuan bayi
menyusu dan kemampuan ibu untuk merawat bayinya sampai kriteria pemulangan bayi
terpenuhi.
1. Tujuan
Suatu metode untuk meningkatkan berat badan bayi prematur atau berat badan lahir rendah
(BBLR)
Mempersingkat lama rawat di rumah sakit sehingga bayi cepat pulang dan tempat
tersebut dapat digunakan bagi klien lain yang memerlukan (turn over meningkat).
Pengurangan penggunaan fasilitas (listrik, inkubator, alat canggih lain) sehingga dapat
membantu efisiensi anggaran.
Dengan adanya turn over serta efisiensi anggaran diharapkan adanya kemungkinan
kenaikan penghasilan (revenue).
Efisiensi tenaga karena ibu lebih banyak merawat bayinya sendiri
Beban kerja petugas berkurang
1. Kebijakan
Komunikasi antara petugas kesehatan dengan orang tua sangat penting dalam menunjang
keberhasilan PMK.
Kelahiran prematur atau BBLR dapat menyebabkan kecemasan keluarga sehingga setia
tindakan yang akan dilakukan pada bayi harus diinformasikan dengan jelas untuk
mencegah terjadinya salah persepsi dan mengurangi kecemasan orang tua.
1. Prosedur
- nadi (120-160x/menit)
- respirasi (30-60x/menit)
- suhu (36,5-37,5 C)
a. Tahap Persiapan
Persiapan alat
Persiapan bayi
b. Tahap Implementasi
c. Tahap Evaluasi
a. Apnea : rangsang bayi dengan mengusap punggungnya agar bayi bisa bernafas kembali.
c. Sulit minum, tidak mau bangun untuk minum: bangunkan bayi saat kondisi tidur tidak
nyenyak (rapid eyes movement/REM).
Apabila pertolongan pertama tidak berhasil anjurkan ibu untuk mencari pertolongan tenaga
kesehatan.
1. Unit Terkait
1. Dokumen Terkait
1. SK Kementerian Kesehatan
2. SK Direktur RS. Hasan sadikin
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
REKOMENDASI
tentang
Tujuan : Membuat bayi baru lahir stabil dalam waktu selambat-lambatnya 1 jam sesudah lahir
1. Menjamin suhu neonatus dalam keadaan normal. Suhu normal bayi baru lahir adalah
dalam rentang 36,5-37,50C yang diukur di aksila selama 3 sampai 5 menitatau sampai
termometer berbunyi jika menggunakan termometer digital.
2. Menjaga patensiairway (jalan napas) yang baik dengan menggunakanContinuous Positive
Airway Pressure (CPAP) untuk bayi yang retraksi atau merintih sejak di kamar bersalin.
Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended oxygen) dan
mengatur konsentrasi oksigen berdasarkan panduan oksimetri dengan target saturasi
oksigen 88-92%.
3. Penilaian sirkulasi bayi baru lahir yang baik dilihat dari beberapa parameter yaitu 1)
heart rate antara 120-160 x/menit, 2) pulsasi arteri radialis kuat dan teratur, 3) akral
hangat, dan 4)capillary refill time < 3 detik.
4. Bila bayi tidak dapat minum, dapat dipasang akses melalui vena perifer atau dalam
keadaan darurat dapat menggunakan tali pusat.
5. Identifikasi bayi yang potensial mengalami hipoglikemia, sepertibayi kurang bulan (usia
gestasi <37 minggu), kecil masa kehamilan (KMK), besar masa kehamilan (BMK), bayi
dari ibu penderita diabetes melitus, bayi sakit, dan bayi dari ibu yang mengonsumsi obat-
obatan tertentu (beta-simpatomimetik, penghambat beta, klorpropamid, benzotiazid, dan
anti-depresan trisiklik) selama kehamilan. Apabila pada pemeriksaan ditemukan kadar
gula darah < 47 mg/dL dapat diberikan bolus dextrosa 10% 2 mL/kgbb atau segera diberi
minum jika tidak ada kontraindikasi pemberian minum.
6. Bayi harus dirujuk dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat dicapai dengan
menerapkan program STABLE. Program STABLE adalah panduan yang dibuat untuk
tata laksana bayi baru lahir yang sakit, mulai dari pasca-resusitasi/pra-transportasi.
Program ini berisi standar tahapan stabilisasi pasca-resusitasi untuk memerbaiki
kestabilan, keamanan, dan luaran bayi. STABLE tersebut merupakan singkatan dari S:
Sugar and safe care (kadar gula darah dan keselamatan bayi), T: Temperature (suhu), A:
Airway (jalan napas), B: Blood pressure (tekanan darah), L: Lab work (pemeriksaan
laboratorium), E: Emotional support (dukungan emosional). Program STABLE
mengupayakan kondisi bayi menjadi warm, pink, and sweet secepatnya dalam kurun
waktu 1 jam.
7. Padakondisi lingkungan (cuaca dingin, angin kencang, dataran tinggi, jarak jauh) dan
fasilitas kurang memadai, upaya mengendalikan suhu neonatus selama proses
transportasidapat dilakukan dengan perawatan metode kanguru.
Referensi :
Ketua II PP Perinasia
Proses persalinan, proses resusitasi, periode pasca resusitasi, dan periode rujukan/pemindahan
pada neonatus disebut sebagai Golden Period. Mengingat keterbatasan sumber daya manusia
dan peralatan maka proses transportasi neonatus merupakan tantangan. Tulisan ini akan
membahas secara singkat mengenai stabilisasi neonatus pasca resusitasi.
Penanganan pasca resusitasi pada neonatus yang mengalami asfiksia perinatal, sangat kompleks,
membutuhkan monitoring ketat dan tindakan antisipasi yang cepat, karena bayi berisiko
mengalami disfungsi multiorgan dan perubahan dalam kemampuan mempertahankan
homeostasis fisiologis. Prinsip umum dari penanganan pasca resusitasi neonatus diantaranya
melanjutkan dukungan kardiorespiratorik, stabilitas suhu, koreksi hipoglikemia, asidosis
metabolik, abnormalitas elektrolit, serta penanganan hipotensi. Salah satu acuan yang telah
mempunyai bukti ilmiah yang kuat dalam melaksanakan stabilisasi pasca resusitasi neonatus
dikenal sebagai S.T.A.B.L.E., yaitu tindakan stabilisasi yang terfokus pada 6 dasar penanganan
yang direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics (AAP), bertujuan untuk
meningkatkan keamanan pasien, baik dalam manajemen, mencegah kemungkinan adanya
kesalahan, serta mengurangi efek samping. Stabilisasi neonatus yang tepat terbukti menurunkan
tingkat morbiditas dan mortalitas (Veronica RM, Gallo LL.Bol Med Hosp Infant
Mex,2011;68(1):31-5; Spector JM, Villanueva HS. J Perinatol, 2009;29(7);512-6 ).
T -- Temperature
A -- Airway
B -- Blood pressure
L -- Laboratory
E -- Emotional support
Kata STABLE tersebut dibuat agar petugas penolong bayi tidak melupakan aspek-aspek penting
dalam stabilisasi. Dalam tindakannya sendiri tidak mewajibkan harus sesuai dengan urutan kata
tersebut.
Merupakan langkah untuk menstabilkan kadar gula darah neonatus. Pada awal kehidupan,
kelangsungan pasokan nutrisi terhenti setelah pemotongan tali pusat. Bayi baru lahir memerlukan
kelangsungan nutrisi untuk mempertahankan asupan glukosa. Kecukupan glukosa diperlukan
agar metabolisme sel tertap berlangsung terutama sel otak. Ada 3 faktor risiko yang
mempengaruhi kadar gula darah:
Dengan demikian pada bayi prematur, BBLR, bayi yang ibunya menderita diabetes melitus, dan
bayi yang sakit berat memiliki risiko tinggi hipoglikemia..
Skrining hipoglikemia:
Dekstrostix
Frekuensi :
Sebelum transpor
Proses transpor
Stabilisasi bayi:
Perhatikan keamanan saat melakukan pemasangan: infus + HEPARINE, sterilitas, fiksasi, amati
kemungkinan emboli/klot
T (TEMPERATURE)
Merupakanusaha untuk mempertahankan suhu normal bayi dan mencegah hipotermia. Pada bayi
dengan hipotermi akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga mengakibatkan
ketidakcukupan sirkulasi di jaringan tubuh. Selain itu kondisi hipotermia dapat meningkatkan
metabolism dalam rangka untuk meningkatkan kalori tubuh, kondisi ini akan meningkatkan
kebutuhan tubuh terhadap oksigen. Dengan demikian suhu-gula darah-oksigen mempunyai
keterkaitan erat.
Pada hipotermia yang berat, yaitu < 320C, bayi dalam batas yang uncompensated. Pada kondisi
tersebut sel otak berisiko tinggi mengalami kematian sel dan ireversibel.
Bayi dengan kelainan (bagian mukosa terbuka: gastroschisis, spina bifida, omfalokel dll)
Mencegah hipotermia sangat penting. Lebih mudah mencegah daripada mengatasi hipotermia
dengan komplikasi.
- Bayi kecil < 35 minggu: bungkus badan dengan kantong plastik, tutup kepala
- Mengeringkan bayi
- Saat menghangatkan kembali: jangan lupa pemberian oksigen, kenaikan suhu bertahap
(amati takikardi atau hipotensi) dan monitor suhu rektal.
A (AIRWAY)
Masalah pernapasan menjadi morbiditas yang sering dialami bayi yang mendapat perawatan di
NICU. Saat resusitasi dilakukan upaya membuka alveoli paru, pasca resusitasi alveoli paru
belum sepenuhnya terbuka. Beberapa faktor predisposisi :
Prematuritas
Proses inflamasi
Deteksi dini kegawatan napas dan evaluasi terapi, termasuk menilai progresifitas gangguan
pernapasan sangat penting. Salah satu penilaian dini gangguan pernapasan yang mudah adalah
menggunakan Skor Down.
Skor Down
0 1 2
Kecepatan < 60x/menit 60- > 80x/menit
napas 80x/menit
Retraksi Tidak ada Retraksi Retraksi
retraksi ringan berat
Sianosis Tidak ada Tidak Sianosis (+)
sianosis tampak dg. O2
sianosis dg
O2
Udara (+) Udara Tidak ada
masuk masuk udara masuk
berkurang
Megap- Tidak Terdengar Terdengar
megap megap- melalui tanpa
megap stetoskop menggunakan
peralatan
- Produksi urin
- Pernapasan megap-megap
Bila memungkinkan : analisis gas darah (data penting: pCO2 dan BE)
Stabilisasi pernapasan :
Segera berikan bantuan ventilasi. Pilih bantuan ventilasi yang dapat memberikan PEEP (untuk
membuka alveoli paru). Misalnya: CPAP, high flow nasal canula
Bila ada tanda akan terjadi kegagalan pernapasan: segera intubasi dan beri napas buatan
(penggunaan sungkup laring bisa merupakan alternatif, bila tidak memungkinkan intubasi).
Pasang saturasi O2, target saturasi (post duktal; awal lahir : 90-94% , setelah usia 3 hari : 88-
90/92%)
Pada bayi dengan ventilasi mekanik adekuat, namun tidak menunjukkan perbaikan bermakna,
pertimbangkan kemungkinan :
Hernia diafragmatika
Pneumotoraks
PPHN
Anemia
B (BLOOD PRESSURE)
Syok terjadi akibat adanya gangguan perfusi dan oksigenasi organ. Ada 3 jenis syok, yaitu:
Kardiogenik
Septik
Takipnu
Kerja nafas meningkat
Takikardi
Megap-megap/apnu
Bradikardi
Nadi perifer lemah
Hipotensi
Mottle sign (perfisi perifer buruk)
Hal penting dalam menentukan bayi mulai mengalami hipotensi adalah menilai tekanan darah.
Tekanan darah normal bayi berbeda, tergantung pada usia gestasi. Penghitungan cara mudah
adalah:
Prinsip penanganan
Identifikasi syok
Beri bantuan ventilasi
Beri cairan fisiologis 10 cc/kg BB
Sambil cari penyebab
Hindari terapi Biknat secara agresif
Bila perlu berikan Dopamine 5-10 mcg/kg/menit
PESAN PENTING (5)
L (LABORATORY)
Pada bayi yang akan dirujuk, wajib dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk kemungkinan
infeksi (bila fasilitas memadai). Perlu dilakukan juga pada bayi berisiko infeksi. Faktor risiko
tersering:
Ibu sakit (infeksi) menjelang persalinan, misalnya keputihan, diare, suhu ibu > 380C,
persalinan prematur, bayi dengan riwayat gawat janin.
Kultur darah
Gula darah
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau bila dicurigai adanya infeksi, berikan antibiotika sesaat
sebelum bayi dirujuk. Menanggulangi infeksi dengan gejala yang lebih jelas atau dengan
komplikasi akan lebih sulit.
E (EMOTIONAL SUPPORT)
Kelahiran anak merupakan saat yang dinantikan dan membahagiakan. Bila kondisi tidak seperti
yang diharapkan akan mengganggu emosi. Orangtua biasanya akan memiliki perasaan bersalah,
menyangkal, marah, tidak percaya, merasa gagal, takut, saling menyalahkan, depresi. Dukungan
emosi terhadap orangtua atau keluarga bayi sangat penting.
Petugas kesehatan perlu juga mendapat dukungan emosi, perawat adalah ujung tombak dalam
perawatan bayi. Sebaiknya sebelum bayi dirujuk, bila kondisi ibu memungkinkan, beri ibu
kesempatan untuk melihat bayinya, beri dorongan ibu untuk kontak dengan bayinya. Beri
kesempatan bagi ayah untuk sesering mungkin kontak dengan bayinya, biarkan ayah mengambil
gambar atau video. Beri dorongan dan keyakinan pada ibu untuk tetap memberikan ASI kepada
bayinya, dengan melakukan pompa dan mengirim ASI ke rumah sakit dimana bayi dirujuk.
Hal lain yang perlu dipersiapkan untuk disampaikan kepada tim transpor adalah:
Informed consent
Tags:
Permalink | Comments (0) | Last updated on Kamis, 27 Februari 2014 | 14:51 WIB
Delayed cord clamping means to delay the surgical intervention of clamping the umbilical
cord at birth.
Placenta and drained cord/ fetal blood vessels after physiological third stage of labour. Image
credit: Tanya Minotti Photography
The definition of delay is subjective and can range from 30 to 45 seconds, 2 to 3 minutes,
once the cord has stopped pulsating or after the placental birth. (There is currently no
agreed clinical definition of delayed cord clamping, and wide variations exist in clinical
trials.)
And the natural process is better described as physiological cord closure, which occurs
after placental transfusion, the baby has transitioned, the umbilical blood vessels close
inside the baby, and the cord appears very thin, white and flattened (see images). This
process is most often a component of a physiological third stage.
Yet common practice is to quickly cut off this source of valuable cells at the moment of birth.
Three reasons for this are:
Carers who believe that there is little or no benefit in delayed cord clamping, despite
numerous studies and recommendations
Carers who believe that delayed cord clamping can cause complications, despite
numerous studies and recommendations
Carers being in a hurry to finish the birth despite numerous studies and
recommendations
Giving birth in the system plays a big part if the medical carer or establishment you give birth
in wants to hurry up the process and get onto the next birth.
If that doesnt derail you from delayed cord clamping already, there is now another hurdle
more recently, businesses have been set up to store this precious cord blood for you in case of
future diseases. This all sounds great in theory, but why deprive a baby of those super cells at
birth and then give them back on the very small chance that a problem will appear later in life?
Could there be a link to not having those super cells at birth and those illnesses? Storing cord
blood is not only extremely expensive, but it is also worth finding out exactly what cord blood
has been successful in helping, and how common those conditions really are.
SOP PENANGANAN HIPOGLIKEMI PADA BAYI BARU LAHIR
1. RUANG LINGKUP
Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2.6
mmol/L). Hal ini sering terjadi pada BBLR karena cadangan glukosa rendah.
2. TUJUAN
3. KEBIJAKAN
4. PETUGAS
5. PERALATAN
6. PROSEDUR
6.1.2. Berikan Glukosa 10% 2mL/kg secara IV bolus pelan dalam lima menit.
6.1.3. Jika jalur intravena tidak dapat dipasang dengan cepat, berikan larutan
Glukosa 10% melalui pipa lambung dengan dosis yang sama.
6.1.4. Berikan infus glukosa sesuai kebutuhan rumatan (4-6 mg/kg BB/ menit)
6.1.5. Bila bayi sudah dalam kondisi stabil, lakukan rujukan ke Rumah Sakit
dengan cepat aman dan benar.
6.2.1. Anjurkan ibu menyusui. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI perah
dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
6.2.2. Pantau tanda-tanda klinis bayi akan adanya kegawatan (kejang, sianosis)
7. REFERENSI
Direktorat Bina Kesehatan Keluarga. 2008. Paket Pelatihan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jakarta: Depkes RI
1. RUANG LINGKUP
Hipotermi terjadi jika suhu tubuh bayi kurang dari 36.5oC pada pengukuran suhu melalui
ketiak. Suhu tubuh rendah dapat disebabkan karena terpapar lingkungan yang dingin
atau bayi dalam keadaan basah dan tidak berpakaian.
2. TUJUAN
2.1. Menjaga suhu tubuh normal bayi (36.5oC 37.5oC)
3. INDIKASI
3.1. Dilakukan pada BBL termasuk bayi kurang bulan, BBLR dan BBLSR
3.2. Tidak untuk bayi sakit berat (sepsis, gangguan napas berat)
4. KEBIJAKAN
5. PETUGAS
6. PERALATAN
6.3. Inkubator
7. PROSEDUR
7.1.5. Baca hasil pengukuran temperature tubuh dan bila hasilnya kurang dari
35oC, gunakan cara rektal
7.2.1. Termometer dicuci dengan air dan sabun, lalu keringkan ujungnya
7.2.5. Letakkan ujung termometer di dalam anus sedalam 2 cm, tunggu selama 3
menit (jangan tinggalkan bayi dengan termometer di dalam anus)
7.2.7. Cuci kembali termometer dengan air dan sabun, keringkan, kemudian
simpan kembali di tempatnya.
7.3. Melakukan penghangatan suhu tubuh dengan cara KONTAK KULIT dengan
KULIT
7.3.1. Lekatkan kulit bayi pada kulit ibu / orang lain, diusahakan bayi dalam
keadaan telanjang menempel pada kulit ibu
7.3.3. Ukur temperature tubuh bayi 2 jam setelah kontak kulit. Bila suhu < 36.5oC,
periksa kembali bayi dan tentukan langkah selanjutnya
7.3.5. Bila ibu cemas tentang pemberian minum pada bayi kecil, motivasi ibu agar
mampu melaksanakannya
7.3.6. Bila ibu tidak dapat menyusui, berilah ASI perah dengan menggunakan
salah satu alternatif cara pemberan minum.
7.4.1. Pakaikan bayi topi, popok, kaos kaki yang bersih, kering untuk jaga
kehangatannya
7.4.2. Letakkan bayi di dada ibu dengan posisi kepala tegak langsung ke kulit ibu,
posisikan bayi dalam Frog Position yaitu fleksi pada siku dan tungkai,
kepala dan dada bayi terletak di dada ibu dengan posisi agak ekstensi
7.4.3. Tutupi bayi dengan pakaian ibu ditambah selimut yang bersih dan kering
untuk menjaga kehangatan bayi.
7.4.4. Pantau dan nilai jumlah ASI yang diberikan setiap hari. Bila ibu menyusui,
catat waktu ibu menyusui bayinya
7.4.6. Jelaskan pada ibu mengenai pola pernapasan dan warna kulit bayi normal
serta kemungkinan variasinya yang masih dianggap normal
7.4.7. Mintalah kepada ibu untuk waspada terhadap tanda yang tidak biasanya
ditemui atau tidak normal
7.4.8. Ajari ibu cara menstimulasi bayi (mengelus dada atau punggung, atau
menyentil jari kaki bayi) bila bayi tampak biru di daerah lidah, bibir atau
sekitar mulut atau napas berhenti lama.
7.4.9. Bila KMC tidak dapat dilakukan terus menerus, ukur suhu aksila setiap 6
jam
7.5.3. Letakkan bayi di dalam boks, jauhkan dari dinding yang dingin atau aliran
udara (jendela, pintu)
7.6. Melakukan penghangatan suhu tubuh dengan PEMANCAR PANAS dengan baik
7.6.1. Hangatkan ruangan (minimal 22oC) dimana alat pemancar panas diletakkan
7.6.2. Bersihkan matras dan alas, tutup alas dengan kain bersih sebelum bayi
diletakkan di bawah pemancar panas
7.6.3. Nyalakan alat dan atur suhu sesuai petujuknya (biasanya antara 36- 37oC).
Bila alat bisa disiapkan sebelum bayi datang, nyalakan alat untuk
menghangatkan linen dan matras terlebih dahulu
7.6.5. Pindahkan bayi ke ibu sesegera mungkin bila tidak ada tindakan atau
pengobatan yang diberikan.
7.7.2. Suhu inkubator yang direkomendasikan menurut berat dan umur bayi
Berat bayi Suhu inkubator (oC) menurut umur
7.7.3. Bila jenis inkubatornya berdinding tunggal, naikkan suhu inkubator 1oC
setiap perbedaan suhu 7oC antara suhu ruang dan inkubator
7.7.4. Bila diperlukan melakukan pengamatan seluruh tubuh bayi atau terapi sinar,
lepas semua pakaian bayi dan segera diberi pakaian kembali setelah
selesai
7.7.5. Tutup inkubator secepat mungkin, jaga lubang selalu tertutup agar inkubator
tetap hangat
7.7.7. Periksa suhu inkubator dengan menggunakan termometer ruang dan ukur
suhu aksila bayi tiap jam dalam 8 jam pertama, kemudian setiap 3 jam
7.7.8. Bila suhu aksila < 36.5oC atau > 37.5oC, atur suhu inkubator secepatnya
7.7.9. Bila suhu inkubator tidak sesuai dengan suhu yang sudah diatur, maka
inkubator tidak berfungsi dengan baik. Atur suhu inkubator sampai
tercapai suhu yang kita kehendaki atau gunakan cara lain untuk
menghangatkan bayi
7.7.10. Bila bayi tetap dingin walaupun suhu inkubator telah diatur, lakukan
manajemen suhu tubuh abnormal
7.7.11. Pindahkan bayi ke ibu secepat mungkin bila bayi sudah tidak menunjukkan
tanda-tanda sakit.
8. REFERENSI
Direktorat Bina Kesehatan Keluarga. 2008. Paket Pelatihan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jakarta: Depkes RI
PENATALAKSANAAN HIPERBILIRUBINEMIA DENGAN FOTOTERAPI
Januari 13, 2012
METABOLISME BILIRUBIN
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam
lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.
Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta
jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta
cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang
memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis
KONSEP DASAR
Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki
karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):
1.Timbul pada hari kedua-ketiga
2.Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup
bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
3. Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
4.Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
5.Ikterus hilang pada 10 hari pertama
6.Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu
Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak
terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus,
Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
CARA KERJA
1. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air
untuk dieksresikan melalui empedu atau urin.
2. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi.
3. Terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan
cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu.
4. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia.
5. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang
diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan
secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu
6. Dari empedu kemudian diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa
proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984).
7. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.
8. Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak
dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
KRITERIA ALAT
1. Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.
2. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm.
3. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.
4. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12),
cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes .
I. PENDAHULUAN
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus
akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian
ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta
dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik
yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap
bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam
pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. Proses
hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk
lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus
patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar
akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.
II. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai
dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi
menjadi kernicterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
B. Metabolisme Bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu
diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada neonatus.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian
besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem
bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses
oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami
reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut
dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui
membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian
bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan,
sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera
setelah ada dalam sel hati, terjadi persnyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan
glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses
konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan
bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat
diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui
duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar
dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan
terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama
kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses
tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih
pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi
pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali
pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan
dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih
dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik.
Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati
menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat
menimbulkan kerusakan sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala
sisa dihari kemudian.
C. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang
meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-
PADA, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan
albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
D. Patofisiologi
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada
streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya
bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan
ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain,
misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan
konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi,
misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas
ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek
patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang
terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin
melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi
tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar
darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia,
hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
F. Penatalaksanaan
Tujuan utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang
dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus.
Konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau agar. Pemberian
substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi
sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi hikan, merupakan
tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar, antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan
kutu), gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadang-
kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.
G. Prognosis
Hiperbilirubin baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak,
penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris, gejala ensefalopati pada
neonatus mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, letargi dan
hipotonia, selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan opistotonis. Pada stadium
mungkin didapatkan adanya atitosis didan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin
didapatkan adanya atitosis ditai gangguan pendengaran atau retardasi mental di hari kemudian.
a. Riwayat penyakit
Kekacauan/ gangguan hemolitik (Rh atau ABO incompabilitas), policitemia, infeksi, hematom,
memar, liver atau gangguan metabolik, obstruksi menetap, ibu dengan diabetes.
b. Pemeriksaan fisik
Kuning
Pucat
Urine pekat
Letargi
Penurunan kekuatan otot (hipotonia)
Penurunan refleks menghisap
Gatal
Tremor
Convulsio (kejang perut)
Menangis dengan nada tinggi
c. Pemeriksaan psikologis
Efek dari sakit bayi; gelisah, tidak kooperatif/ sulit kooperatif, merasa asing.
d. Pengkajian pengetahuan keluarga dan pasien
Penyebab dan perawatan, tindak lanjut pengobatan, membina kekeluargaan dengan bayi yang
lain yang menderita ikterus, tingkat pendidikan, kurang membaca dan kurangnya kemauan untuk
belajar.
B. Diagnosa keperawatan
Tujuan/Kriteria
Tidak ada peningkatan hiperbilirubinemia
Rencana Tindakan
a.Monitor tanda-tanda vital
b.Monitor bilirubin serum
c.Monitor bila ada muntah, kaku otot atau tremor
d.Kolaborasi terapi dengan tim medis
e.Berikan minum ekstra
f.Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian fototerapi
Tujuan/Kriteria
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Rencana Tindakan
a.Berikan minum melalui sonde(ASI yang diperah atau PASI)
b.Lakukan oral hygiene dan olesi mulut dengan kapas basah
c.Monitor intake dan output
d.Monitor berat badan tiap hari
e.Observasi turgor dan membran mukosa
Tujuan/Kriteria:
Suhu tubuh tetap normal
Rencana Tindakan:
a.Monitor tanda-tanda vital tiap 4jam
b.Perhatikan suhu lingkungan dan gunakan isolasi
c.Berikan minum tambahan
4. Resiko terjadi trauma persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan efek samping
fototerapi
Tujuan/Kriteria:
Tidak terjadi gangguan pada retina pada masa perkembangan
Rencana Tindakan:
1.Kaji efek samping fototerapi
2.Letakkan bayi 45 cm dari sumber cahaya/lampu
3.Selama dilakukan fototerapi tutup mata dan genital dengan bahan yang tidak tembus cahaya
4.Monitor reflek mata dengan senter pada saat bayi diistirahatkan dan kontrol keadaan mata
setiap 8 jam
5.Buka tutup mata bila diberi minum atau saat tidak dibawah sinar
6.Observasi dan catat penggunaan lampu
Tujuan/Kriteria:
Selama dalam perawatan kulit bayi tidak mengalami gangguan integritas kulit
Rencana Tindakan:
a.Observasi keadaan keutuhan kulit dan warnanya
b.Bersihkan segera bila bayi buang air besar atau buang air kecil
c.Gunakan lotion pada daerah bokong
d.Jaga alat tenun dalam keadaan bersih dan kering
e.Lakukan alih baring dan pemijatan
6. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang tujuan, prosedur
pemasangan dan efek samping fototerapi
Tujuan/Kriteria:
Orang tua mengerti tujuan tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi
Rencana Tindakan:
1.Beri penyuluhan pada orang tua tentang tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi
2.Berikan support mental
3.Libatkan orang tua dalam prosedur fototerapi
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000
kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010, maka salah satu tolok
ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun
2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas
pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus).
Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain
memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral
palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan
rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi
karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi
<37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang
ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara
klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar
bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki
penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama
kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis,
septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).
A. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya
deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan
tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke
jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit
bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik.
Bentuk kronik
: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati
gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus.
Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru
lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah
studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto
Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar
58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL
pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan
sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13
mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap
hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan.
Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada
95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509
neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada
tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya
ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga
data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan
13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara
pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar
bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada
hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih
pendek.
Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T
dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan
konjugasi.
Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di usus
dan belum ada nutrien.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh
faktor/keadaan:
Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis
herediter dan pengaruh obat.
Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
Polisitemia.
Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
Ibu diabetes.
Asidosis.
Hipoksia/asfiksia.
Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
2. Faktor Risiko
a. Faktor Maternal
b. Faktor Perinatal
c. Faktor Neonatus
Prematuritas
Faktor genetik
Polisitemia
Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
Rendahnya asupan ASI
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
D. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai
meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-
lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
1. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun
kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola
ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya
mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun
kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin
sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai
contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-
6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina
cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir.
Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi
peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80
hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur
dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang
berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga
meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak
perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.
Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada
peningkatan kadar bilirubin.
E. Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila
tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya
bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun
apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan
skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari)
karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak
terlihat pada pencahayaan yang kurang.
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan
subkutan.
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.
(tabel 1)
2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum
serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan
tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang
diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium
foil)
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL
atau usia bayi > 2 minggu.
3. Bilirubinometer Transkutan
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi
pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang
tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining,
bukan untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi
pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum
(metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir
dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi
bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan
TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76,
p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk
mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk
menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis
biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum
ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif
dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa
ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya
dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi
peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan
bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam
jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan
melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan,
tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan
memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin
serum untuk memulai terapi sinar.
F. Tata laksana
1. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum
kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil.
Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.
Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar
Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada
riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.
Hemolitik
Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara
bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku
untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya.
Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi
sinar.
Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL
(hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.
Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs,
segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit <
40%).
Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
o Persiapkan transfer.
o Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar.
o Kirim contoh darah ibu dan bayi.
o Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan
terapi apa yang akan diterima bayi.
Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan informasi yang
cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan berikutnya.
Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu
untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan
golongan sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).
Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu lebih
lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi
sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).
Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu. Bila
hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.
Nasihati ibu:
Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan, dan
3 minggu pada neonatus kurang bulan.
Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.
Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan rujuk
ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.
Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan transfusi tukar selengkapnya dimuat
terpisah.
G. Efek Hiperbilirubinemia
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-
sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat
menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat
menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius)
sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin
serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan
lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Ensefalopati bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan
komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan
lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan
kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada
sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk
ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum
dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai
spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik
yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang
disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan
belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan
albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi
efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa
ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya
diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.
Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak
permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau
hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.
H. Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO
sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan
hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1. Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan
yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya
8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan
dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan
kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif
bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada
neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus
neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
2. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi
ikterus neonatorum.
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta
menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan
darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah
dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan
pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi
terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus.
Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-
tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga memperlihatkan
warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang,
paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku
pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di
bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.
Referensi:
1. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of Health
Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia.
2. Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia.
3. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J Med
2001;344:581-90.
4. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and breast-
feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75.
5. Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
6. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang.
7. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of
Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003.
8. Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need for
blood tests in jaundiced full term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 2002;86:F190-2.
9. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent
kernicterus in newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24.
10. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala
Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6.
11. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC,
Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams and
Wilkins;2004,185-222.
12. Masukan Dr. Ali Usman, Sp
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam
tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam
Ikterus neonatorum
I. Definisi
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam
tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan
terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi. Ikterus dapat
terjadi baik karena peningkatan bilirubin indirek ( unconjugated ) dan direk ( conjugated ) .
II. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang tersering
ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompabilitas golongan darah ABO atau
defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini juga dapat timbul akibat perdarahan tertutup (hematom
cefal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompabilitas darah Rh, infeksi juga memegang peranan
penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis
dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain adalah hipoksia/anoksia, dehidrasi dan asidosis,
hipoglikemia, dan polisitemia.
III. Epidemiologi
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi
kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi
patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.
IV. Patolofisiologi
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh oleh tubuh.
Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi berasal
dari hem bebas atau dari proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi
dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin
inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit
larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi
dan mudah melalui membrane biologic seperti placenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas
tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi
mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat dengan oleh reseptor membran sel hati dan masuk
ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (
protein-Y), protein-Z, dan glutation hati lain yang membawanya ke reticulum endoplasma hati,
tempat terjadinya proses konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase
yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini larut dalam air dan pada
kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini
diekskesi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dari tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diarbsorbsi kembali
oleh mukosa usus dan terbentuklah proses arbsorpsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama
kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses
tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebuh
pendek (80 90 hri ), dan belum matangnya fungsi hepar.
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian tersering
adalah apabila terdapat pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini
dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya
umur eritrosit bayi/janin, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan
sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh.
Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan protein-Y dan protein-
Z terikat oleh anion lain, misalkan pada bayi dengan asidosis atau keadaan anoksia/hipoksia.
Keadaan lain yang dapat memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
konjugasi hepar ( defisiensi enzim glukoronil transferase ) atau bayi menderita gangguan eksresi,
misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu ekstra/intrahepatik.
V. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat onstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakan
diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas
darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko
kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada
bayi. Faktor risiko itu antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada
ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi
intrauterine, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari
kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang
sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit
tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi
sendiri.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang
cukup berarti memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi
bilirubn langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan
darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan
sediaan apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat
hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis hepatitis, fibrosis kistis dan sepsis. Jika hitung
retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia
indirek fisiologis atau patologis.
Ikterus fisiologis. Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah 1
3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24 jam; dengan demikian
ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai puncak antara hari ke 2 4, dengan
kadar 5 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadar 5 6 mg/dl untuk selanjutnya
menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 7 kehidupan.
Hiperbilirubin patologis. Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang tinggi
, berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 20 mg/dl pada bayi aterm. Pada
bayi dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan kernikterus pada kadar yang lebih
rendah ( 10 15 mg/dl)
VI. Diagnosis banding
Ikterus yang timbul 24 jam pertatama kehidupan mungkin akibat eritroblstosis foetalis, sepsis,
rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3 dan dalam minggu
pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia sebagai penyebabnya. Ikterus yang
permulaannya timbul setelah minggu pertama kehidupan memberi petunjuk adanya septicemia,
atresia kongental saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubella, hepatitis herpetika, anemia
hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan dan sebagainya.
Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya apa yang
dinamakan inspissated bile syndrome. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi parenteral
total. Kadang bilirubin fisiologis dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu
seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pylorus.
VII. Komplikasi
Kernikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan tak
terkonjugasi dalam sel-sel otak
VIII. Terapi
Tujuan utama penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin
serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/encefalopati biliaris, serta
mengobati penyebab langsung ikterus tersebut. Pengendalian bilirubin juga dapat dilakukan
dengan mengusahakan agar kunjugasi bilirubin dapat dilakukan dengan megusahakan
mempercepat proses konjugasi. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya
glukoronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau fenobarbital.
Pemberian substrat yang dapat menghambat matabolisme bilirubin ( plasma atau albumin ),
mengurangi sirkulasi enterohepatik ( pemberian kolesteramin ), terapi sinar atau transfusi tukar,
merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Fototerapi. Ikterus klinis dan hiperbilirubin indirek akan berkurang kalau bayi dipaparkn pada
sinar dalam spectrum cahaya yang mempunyai intensitas tinggi. Bilirubin akan menyerap cahaya
secara maksimal dalam batas wilayah warna biru ( mulai dari 420 470 nm ). Bilirubin
dalam kulit akan menyerap energi cahaya, yang melalui fotoisomerasi mengubah bilirubin tak
terkonjugasi yang bersifat toksik menjadi isomer-isomer terkonjugasi yang dikeluarkan ke
empedu dan melalui otosensitisasi yang melibatkan oksigen dan mengakibatkan reaksi oksidasi
yang menghasilkan produk-produk pemecahan yang akan diekskresikan oleh hati dan ginjal
tanpa memerlukan konjugat. Indikasi fototerapi hanya setelah dipastikan adanya hiperbilirubin
patologik. Komplikasi fototerapi meliputi tinja yang cair, ruam kulit, bayi mendapat panas yang
berlebihan dan dehidrasi akibat cahaya, menggigil karena pemaparan pada bayi, dan sindrom
bayi perunggu, yaitu warna kulit menjadi gelap, cokelat dan keabuan.
Fenobarbital. Meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberian obat ini akan
mengurangi timbulnya ikterus fisiologik pada bayi neonatus, kalau diberikan pada ibu dengan
dosis 90 mg/24 jam beberap hari sebelum kelahiran atau bayi pada saat lahir dengan dosis 5
mg/kgBb/24 jam. Pada suatu penelitian menunjukan pemberian fenobarbital pada ibu untuk
beberapa hari sebelum kelahiran baik pada kehamilan cukup bulan atau kurang bulan dapat
mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia. Namun karena efeknya pada metabolisme bilirubin
biasanya belum terwujud sampai beberapa hari setelah pemberian obat dan oleh karena
keefektifannya lebih kecil dibandingkan fototerapi, dan mempunyai efek sedatif yang tidak
diinginkan dan tidak menambah respon terhadap fototerapi, maka fenobarbital tidak dianjurkan
untuk pengobatan ikterus pada bayi neonatus.
Transfusi tukar. Dilakukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum bayi
aterem kurang dari 20 mg/dl atau 15 mg/dl pada bayi kurang bulan . Dapat diulangi sebanyak
yang diperlukan, atau keadaan bayi yang dipandang kritis dapat menjadi petunjuk melakukan
transfusi tukar selama hari pertama atau kedua kehidupan, kalau peningkatan yang lebih diduga
akan terjadi, tetapi tidak dilakukan pada hari ke empat pada bayi aterm atau hari ke tujuh pada
bayi premature, kalau diharapkan akan segera terjadi penurunan kadar bilirubin serum atau
akibat mekanisme konjugasi yang bekerja lebih efektif. Transfusi tukar mungkin merupakan
metode yang paling efektif untuk mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia.
IX. Prognosis
Hiperbilirubemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar
otak.
1.Dianjurkan SUAMI atau keluarga MENDAMPINGI ibu dikamar bersalin.( ABM protocol#5 2003, UNICEF
dan WHO: BFHI Revised, 2006)
2.Dalam menolong ibu melahirkan disarankan untuk mengurangi / tidak menggunakan obat kimiawi
3.Bayi lahir, segera dikeringkan secepatnya terutama kepala, kecuali tangannya; tanpa menghilangkan
vernix Mulut dan hidung bayi dibersihkan, talipusat diikat
4.Bila bayi tidak memerlukan resusitasi, Bayi di TENGKURAPKAN di dada-perut ibu dengan KULIT bayi
MELEKAT pada KULIT ibu dan mata bayi setinggi puting susu. Keduanya diselimuti. Bayi dapat diberi topi
5.Anjurkan ibu menyentuh bayi untuk merangsang bayi. Biarkan bayi mencari puting sendiri.
6. Ibu didukung dan dibantu mengenali perilaku bayi sebelum menyusu
7. Biarkan KULIT kedua bayi bersentuhan dengan KULIT ibu selama PALING TIDAK SATU JAM; bila
menyusu awal terjadi sebelum 1 jam, tetap biarkan kulit ibu bayi bersentuhan sampai setidaknya 1
jam (UNICEF dan WHO: BFHI Revised, 2006 and UNICEF India : 2007, ( Klausand Kennel 2001; American
College of OBGYN 2007 and ABM protocol #5 2003)
8. Bila dlm 1 jam menyusu awal belum terjadi, bantu ibu dengan MENDEKATKAN BAYI KE PUTING tapi
jangan memasukkan puting ke mulut bayi. BERI WAKTU kulit melekat pada kulit 30 MENIT atau 1 JAM
lagi
9. Setelah setidaknya melekat kulit ibu dan kulit bayi setidaknya 1 jam atau selesai menyusu awal, bayi
baru dipisahkan untuk ditimbang, diukur, dicap, diberi vit K
10. RAWAT GABUNG BAYI:
Ibu bayi dirawat dalam satu kamar, dalam jangkauan ibu
selama 24 jam. (American College of OBGYN 2007 and ABM protocol #5 2003)
Berikan ASI saja tanpa minuman atau makanan lain kecuali
atas indikasi medis. Tidak diberi dot atau empeng
Teknik Menyusui Yang Benar adalah cara memberikan ASI kepada bayi dengan perlekatan dan posisi
ibu dan bayi dengan benar (Perinasia, 1994). Ada beberapa persiapan yang dapat bunda lakukan untuk
memperlancar ASI yaitu sebagai berikut:
1.Membersihkan puting susu dengan air atau minyak, sehingga epitel yang lepas tidak menumpuk.
2.Puting susu ditarik-tarik setiap mandi, sehingga menonjol untuk memudahkan isapan bayi.
3.Bila puting susu belum menonjol dapat memakai pompa susu atau dengan jalan operasi.
Sebelum menyusui, cucilah tangan yang bersih dengan sabun, perah sedikit ASI dan oleskan disekitar
puting, duduk atau berbaringlah dengan santai.
Berikut ini adalah cara yang benar dalam teknik merangsang mulut bayi dan menyusui ASI:
1. Bayi diletakkan menghadap ke ibu dengan posisi menyanggah seluruh tubuh bayi; bukan hanya leher
dan bahunya saja. Kepala dan tubuh bayi lurus, hadapkan bayi ke dada ibu, sehingga hidung
bayi berhadapan dengan puting susu lalu dekatkan badan bayi ke badan ibu, sentuhkan bibir bayi ke
puting susu ibu dan menunggu sampai mulut bayi terbuka lebar.
2. Segera dekatkan bayi ke payudara sedemikian rupa sehingga bibir bawah bayi terletak di bawah
puting susu.
3. Cara melekatkan mulut bayi dengan benar yaitu dagu menempel pada payudara ibu, mulut bayi
terbuka lebar dan bibir bawah bayi membuka lebar.
Beberapa tanda bahwa teknik menyusui telah benar adalah; bayi tampak tenang, badan bayi menempel
pada perut ibu, mulut bayi terbuka lebar, dagu bayi menempel pada payudara ibu, sebagian aerola
masuk ke dalam mulut bayi (terutama aerola bagian bawah), putting susu tidak terasa nyeri, telinga dan
lengan bayi terletak pada satu garis lurus, kepala bayi agak menengadah.
Menyusui dengan teknik yang benar akan menghasilkan ASI yang keluar optimal sehingga bayi anda
tidak enggan untuk menyusu di waktu selanjutnya.
(tee)
INISIASI MENYUSUI DINI (IMD) INISIASI Menyusu Dini adalah proses bayi menyusu
segera setelah dilahirkan, di mana bayi dibiarkan mencari puting susu ibunya sendiri (tidak
disodorkan ke puting susu). Inisiasi Menyusu Dini akan sangat membantu dalam
keberlangsungan pemberian ASI eksklusif (ASI saja) dan lama menyusui. Dengan demikian,
bayi akan terpenuhi kebutuhannya hingga usia 2 tahun, dan mencegah anak kurang gizi.
Pemerintah Indonesia mendukung kebijakan WHO dan Unicef yang merekomendasikan inisiasi
menyusu dini sebagai tindakan penyelamatan kehidupan, karena inisiasi menyusu dini dapat
menyelamatkan 22 persen dari bayi yang meninggal sebelum usia satu bulan. Menyusui satu
jam pertama kehidupan yang diawali dengan kontak kulit antara ibu dan bayi dinyatakan sebagai
indikator global. Ini merupakan hal baru bagi Indonesia, dan merupakan program pemerintah,
sehingga diharapkan semua tenaga kesehatan di semua tingkatan pelayanan kesehatan baik
swasta, maupun masyarakat dapat mensosialisasikan dan melaksanakan mendukung suksesnya
program tersebut, sehingga diharapkan akan tercapai sumber daya Indonesia yang berkualitas,
ujar Ibu Negara pada suatu kesempatan. Tahap-tahap dalam Inisiasi Menyusu Dini Dalam proses
melahirkan, ibu disarankan untuk mengurangi/tidak menggunakan obat kimiawi. Jika ibu
menggunakan obat kimiawi terlalu banyak, dikhawatirkan akan terbawa ASI ke bayi yang
nantinya akan menyusu dalam proses inisiasi menyusu dini. Para petugas kesehatan yang
membantu Ibu menjalani proses melahirkan, akan melakukan kegiatan penanganan kelahiran
seperti biasanya. Begitu pula jika ibu harus menjalani operasi caesar. Setelah lahir, bayi
secepatnya dikeringkan seperlunya tanpa menghilangkan vernix (kulit putih). Vernix (kulit
putih) menyamankan kulit bayi. Bayi kemudian ditengkurapkan di dada atau perut ibu, dengan
kulit bayi melekat pada kulit ibu. Untuk mencegah bayi kedinginan, kepala bayi dapat
dipakaikan topi. Kemudian, jika perlu, bayi dan ibu diselimuti. Bayi yang ditengkurapkan di
dada atau perut ibu, dibiarkan untuk mencari sendiri puting susu ibunya (bayi tidak dipaksakan
ke puting susu). Pada dasarnya, bayi memiliki naluri yang kuat untuk mencari puting susu
ibunya. Saat bayi dibiarkan untuk mencari puting susu ibunya, Ibu perlu didukung dan dibantu
untuk mengenali perilaku bayi sebelum menyusu. Posisi ibu yang berbaring mungkin tidak dapat
mengamati dengan jelas apa yang dilakukan oleh bayi. Bayi dibiarkan tetap dalam posisi
kulitnya bersentuhan dengan kulit ibu sampai proses menyusu pertama selesai. Setelah selesai
menyusu awal, bayi baru dipisahkan untuk ditimbang, diukur, dicap, diberi vitamin K dan tetes
mata. Ibu dan bayi tetap bersama dan dirawat-gabung. Rawat-gabung memungkinkan ibu
menyusui bayinya kapan saja si bayi menginginkannya, karena kegiatan menyusu tidak boleh
dijadwal. Rawat-gabung juga akan meningkatkan ikatan batin antara ibu dengan bayinya, bayi
jadi jarang menangis karena selalu merasa dekat dengan ibu, dan selain itu dapat memudahkan
ibu untuk beristirahat dan menyusui. Manfaat Kontak Kulit Bayi ke Kulit Ibu Dada ibu
menghangatkan bayi dengan tepat. Kulit ibu akan menyesuaikan suhunya dengan kebutuhan
bayi. Kehangatan saat menyusu menurunkan risiko kematian karena hypothermia (kedinginan).
Ibu dan bayi merasa lebih tenang, sehingga membantu pernafasan dan detak jantung bayi lebih
stabil. Dengan demikian, bayi akan lebih jarang rewel sehingga mengurangi pemakaian energi.
Bayi memperoleh bakteri tak berbahaya (bakteri baik) yang ada antinya di ASI ibu. Bakteri baik
ini akan membuat koloni di usus dan kulit bayi untuk menyaingi bakteri yang lebih ganas dari
lingkungan. Bayi mendapatkan kolostrum (ASI pertama), cairan berharga yang kaya akan
antibodi (zat kekebalan tubuh) dan zat penting lainnya yang penting untuk pertumbuhan usus.
Usus bayi ketika dilahirkan masih sangat muda, tidak siap untuk mengolah asupan makanan.
Antibodi dalam ASI penting demi ketahanan terhadap infeksi, sehingga menjamin kelangsungan
hidup sang bayi. Bayi memperoleh ASI (makanan awal) yang tidak mengganggu pertumbuhan,
fungsi usus, dan alergi. Makanan lain selain ASI mengandung protein yang bukan protein
manusia (misalnya susu hewan), yang tidak dapat dicerna dengan baik oleh usus bayi. Bayi yang
diberikan mulai menyusu dini akan lebih berhasil menyusu ASI eksklusif dan mempertahankan
menyusu setelah 6 bulan. Sentuhan, kuluman/emutan, dan jilatan bayi pada puting ibu akan
merangsang keluarnyaoksitosin yang penting karena: Menyebabkan rahim berkontraksi
membantu mengeluarkan plasenta dan mengurangi perdarahan ibu. Merangsang hormon lain
yang membuat ibu menjadi tenang, rileks, dan mencintai bayi, lebih kuat menahan sakit/nyeri
(karena hormon meningkatkan ambang nyeri), dan timbul rasa sukacita/bahagia. Merangsang
pengaliran ASI dari payudara, sehingga ASI matang (yang berwarna putih) dapat lebih cepat
keluar. ....dimana ada usaha, tercapailah citanya..... SOP Inisiasi Menyusu Dini Pada Partus
Spontan Dianjurkan SUAMI atau keluarga MENDAMPINGI ibu dikamar bersalin.(ABM
protocol#5 2003, UNICEF dan WHO: BFHI Revised, 2006). Dalam menolong ibu melahirkan
disarankan untuk mengurangi / tidak menggunakan obat kimiawi Bayi lahir, segera dikeringkan
secepatnya terutama kepala, kecuali tangannya; tanpa menghilangkan vernix Mulut dan hidung
bayi dibersihkan, talipusat diikat. Bila bayi tidak memerlukan resusitasi, Bayi di
TENGKURAPKAN di dada-perut ibu dengan KULIT bayi MELEKAT pada KULIT ibu dan
mata bayi setinggi puting susu. Keduanya diselimuti. Bayi dapat diberi topi. Anjurkan ibu
menyentuh bayi untuk merangsang bayi. Biarkan bayi mencari puting sendiri. Ibu didukung dan
dibantu mengenali perilaku bayi sebelum menyusu. Biarkan KULIT kedua bayi bersentuhan
dengan KULIT ibu selama PALING TIDAK SATU JAM; bila menyusu awal terjadi sebelum 1
jam, tetap biarkan kulit ibu bayi bersentuhan sampai setidaknya 1 jam (UNICEF dan WHO:
BFHI Revised, 2006 and UNICEF India : 2007, ( Kausand Kennel 2001; American College of
OBGYN 2007 and ABM protocol #5 2003). Bila dlm 1 jam menyusu awal belum terjadi, bantu
ibu dengan MENDEKATKAN BAYI KE PUTING tapi jangan memasukkan puting ke mulut
bayi. BERI WAKTU kulit melekat pada kulit 30 MENIT atau 1 JAM lagi. Setelah setidaknya
melekat kulit ibu dan kulit bayi setidaknya 1 jam atau selesai menyusu awal, bayi baru
dipisahkan untuk ditimbang, diukur, dicap, diberi vit K. RAWAT GABUNG BAYI: Ibu bayi
dirawat dalam satu kamar, dalam jangkauan ibu selama 24 jam. (American College of OBGYN
2007 and ABM protocol #5 2003). Berikan ASI saja tanpa minuman atau makanan lain kecuali
atas indikasi medis. Tidak diberi dot atau empeng. SOP Inisiasi Menyusu Dini Pada Operasi
Caesar Dianjurkan SUAMI atau keluarga MENDAMPINGI ibu dikamar operasi atau dikamar
pemulihan.( ABM protocol#5 2003, UNICEF dan WHO: BFHI Revised, 2006). Begitu lahir
diletakkan di meja resusitasi untuk DINILAI, dikeringkan secepatnya terutama kepala tanpa
menghilangkan vernix ; kecuali tangannya. Dibersihkan mulut dan hidung bayi, talipusat diikat.
Kalau bayi tak perlu diresusitasi; bayi dibedong, dibawa ke ibu. Diperlihatkan kelaminnya pada
ibu kemudian mencium ibu. Tengkurapkan bayi didada ibu dengan kulit bayi melekat pada kulit
ibu. Kaki bayi agak sedikit serong/melintang menghindari sayatan operasi. Bayi dan ibu
diselimuti. Bayi diberi topi. Anjurkan ibu menyentuh bayi untuk merangsang bayi mendekati
puting. Biarkan bayi mencari puting sendiri. Biarkan KULIT Bayi bersentuhan dengan kulit ibu
PALING TIDAK selama SATU JAM, bila menyusu awal selesai sebelum 1 jam; tetap kontak
kulit ibu-bayi selama setidaknya 1 jam (UNICEF dan WHO: BFHI Revised, 2006 and UNICEF
India : 2007, Klaus and Kennel 2001; American College of OBGYN 2007 and ABM protocol #5
2003). Bila bayi menunjukan kesiapan untuk minum, bantu ibu dg MENDEKATKAN BAYI KE
PUTING tapi tidak memasukkan puting ke mulut bayi. Bila dalam 1 jam belum bisa menemukan
puting ibu, beri tambahan WAKTU melekat padadada ibu, 30 menit atau 1 jam lagi. Bila operasi
telah selesai, ibu dapat dibersihkan dengan bayi tetap melekat didadanya dan dipeluk erat oleh
ibu.Kemudian ibu dipindahkan dari meja operasi ke ruang pulih (RR) dengan bayi tetap
didadanya. Bila ayah tidak dapat menyertai ibu di kamar operasi, diusulkan untuk mendampingi
ibu dan mendoakan anaknya saat di kamar pulih. RAWAT GABUNG: Ibu bayi dirawat dalam
satu kamar, bayi dalam jangkauan ibu selama 24 jam. (American College of OBGYN 2007 and
ABM protocol #5 2003).Berikan ASI saja tanpa minuman atau makanan lain kecuali atas
indikasi medis. Tidak diberi dot atau empeng. SOP Inisiasi Menyusu Dini Pada Gemelli
Dianjurkan SUAMI atau keluarga MENDAMPINGI ibu dikamar bersalin.( ABM protocol#5
2003, UNICEF dan WHO: BFHI Revised, 2006). Bayi pertama lahir, segera dikeringkan
secepatnya terutama kepala, kecuali tangannya; tanpa menghilangkan vernix . Mulut dan hidung
bayi dibersihkan, talipusat diikat. Bila bayi tidak memerlukan resusitasi, Bayi di
TENGKURAPKAN di dada-perut ibu dengan KULIT bayi MELEKAT pada KULIT ibu dan
mata bayi setinggi puting susu. Keduanya diselimuti. Bayi dapat diberi topi. Anjurkan ibu
menyentuh bayi untuk merangsang bayi. Biarkan bayi mencari puting sendiri. Bila ibu merasa
akan melahirkan bayi kedua, berikan bayi pertama pada ayah. Ayah memeluk bayi dengan kulit
bayi melekat pada kulit ayah seperti pada perawatan metoda kanguru. Keduanya ditutupi baju
ayah. Bayi kedua lahir, segera dikeringkan secepatnya terutama kepala, kecuali tangannya; tanpa
menghilangkan vernix . Mulut dan hidung bayi dibersihkan, talipusat diikat. Bila bayi kedua
tidak memerlukan resusitasi, bayi kedua DITENGKURAPKAN di dada-perut ibu dengan
KULIT bayi MELEKAT pada KULIT ibu. Letakkan kembali bayi pertama didada ibu
berdampingan dengan saudaranya, Ibu dan kedua bayinya diselimuti. Bayi bayi dapat diberi
topi. Biarkan KULIT kedua bayi bersentuhan dengan KULIT ibu selama PALING TIDAK
SATU JAM; bila menyusu awal terjadi sebelum 1 jam, tetap biarkan kulit ibu bayi bersentuhan
sampai setidaknya 1 jam (UNICEF dan WHO: BFHI Revised, 2006 and UNICEF India : 2007, (
Klausand Kennel 2001; American College of OBGYN 2007 and ABM protocol #5 2003). Bila
dlm 1 jam menyusu awal belum terjadi, bantu ibu dengan MENDEKATKAN BAYI KE
PUTING tapi jangan memasukkan puting ke mulut bayi. BERI WAKTU 30 MENIT atau 1 JAM
lagi kulit melekat pada kulit RAWAT GABUNG BAYI :Ibu bayi dirawat dalam satu kamar,
dalam jangkauan ibu selama 24 jam. (American College of OBGYN 2007 and ABM protocol #5
2003).Berikan ASI saja tanpa minuman atau makanan lain kecuali atas indikasi medis. Tidak
diberi dot atau empeng. Sumber: www.dinkes.kulonprogokb.go.id Copy and WIN :
http://bit.ly/copy_win