Analisis Kasus Pembalakan Hutan Liar Dan Implementasi Hukum Kehutanan
Analisis Kasus Pembalakan Hutan Liar Dan Implementasi Hukum Kehutanan
Analisis Kasus Pembalakan Hutan Liar Dan Implementasi Hukum Kehutanan
Tugas Ini Dibuat Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Lingkungan
PENDAHULUAN
1
Salim H.S. (I), Hukum Pertambangan Indonesia, RajaGrafindo Persaja, Jakarta, 2005,
hlm. 1
penadah hutan, dan (2) penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan
oleh pihak pihak yang mempunyai izin namun dalam melakukan kegiatan
usahanya itu cenderung merusak hutan seperti melakukan penebangan di
luar konsesinya (over cuting), melanggar persyaratan sebagaimana yang
ditetapkan dalam konsensinya, kolusi dengan penjabat atau aparat,
pemalsuan dokumen dan manipulasi kebijakan.2
B.RUMUSAN MASALAH
2
sukardi, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua),
(Yogyakarta : Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2005), halaman 81
BAB II
PEMBAHASAN
3
www.Tempo.com,dikutip pada 22 Mei 2017 Pukul 13.10 WIB
Ketentuan pada Pasal 50 menyatakan bahwa, Setiap orang dilarang
merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (ayat (1)) dan Setiap
orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (ayat
(2)).
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (1) menyatakan bahwa,
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Penjelasan Pasal 50 ayat (1) yang di maksud dengan orang adalah
subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.
Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar pagar batas kawasan hutan,
ilaran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan
hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan, dan alat angkut.
Sedangkan penjelasan pada Pasal 50 ayat (2) yang di maksud dengan
kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik atau hayatinya yang
menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai
dengan fungsinya.
Ketentuan pada Pasal 50 ayat (3) huruf c menyatakan bahwa, Setiap
orang di larang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan
radius atau jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sunga
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah
dari tepi pantai.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,.
(lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (1), (2) dan ayat (3)) tersebut jika
dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya sesuai dengan ancaman pidana
masing masing di tambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan
(Pasal 78 ayat(4)). Yang dimaksud dengan badan hukum atau badan usaha
dalam pasal tersebut antara lain Perseroan Terbatas (PT), perseroan
komanditer (commanditer vennotschaap - CV), firma, koperasi, dan
sejenisnya (penjelasan Pasal 78 ayat (14)).
Ketentuan pada Pasal 50 ayat (3) huruf e menyatakan bahwa, Setiap
orang di larang untuk menebang pohon atau memanen atau memungut hasil
hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang.
Ketentuan pada Pasal 50 ayat (3) huruf f ymenyatakan bahwa,
menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (5) menyatakan bahwa,
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf e, yang di maksud dengan penjabat
yang berwenang adalah penjabat pusat dan daerah yang diberi wewenang
oleh undang undang untuk memberi izin, sedangkan penjelasan pada Pasal
50 ayat (3) huruf f, cukup jelas. Pelanggaran pada ketentuan Pasal 50 ayat
(3) huruf e dan f, di ancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,. (lima miliar rupiah)
(Pasal 78 ayat (4)).
Pada ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h menyatakan bahwa,
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi
bersama - sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (7) menyatakan bahwa,
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah).
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h yang dimaksud dengan dilengkapi
bersama sama adalah bahwa setiap pengangkutan, penguasaan, atau
pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan
dilengkapi surat surat yang sah sebagai bukti. Apabila ada perbedaan
antara isi keterangan dokumen sahnya hasil hutan tersebut dengan keadaan
isi keterangan dokumen sahnya hasil hutan tersebut dengan keadaan fisik
baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut
dinyatakan tidak mempunyai surat surat sah sebagai bukti.4
Selain UU NO.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terdapat pengaturan
lain yang lebuh spessifik mengenai pengaturan perusakan hutan yaitu UU
NO.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Peberantasan Perusakan
Hutan.Lebih spesifik lagi dicantumkan dalam Instruksi Presiden RI NO.4
Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di
Kawasan Hutan dan Peredaranya Di Seluruh Wilayah RI.
4
sukardi, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua),
(Yogyakarta : Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2005)
kepentinganan nasional. Untuk itu hutan harus dikelola secara
berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarkat. Tindak pidana illegal
logging di Indonesia sudah mengakibatkan kerugian trilyunan rupiah,
kerusakan hutan, bencanalingkungan dan ekologi.
Bencana ini tidak hanya mengacam Indonesia, tetapi juga dunia
internasional, sebab hutan kita merupakan paru-paru dunia. Jika hutan
hancur maka akan mempercepat bencana pemanasan global sebagai akibat
dari pencairan es di kutub utara. Karenanyapemberantasan tindak pidana
ilegal logging harus menyangkup semua aspek. Dalam aspek hukum pidana
yang perludilakukan adalah memperbaiki kelemahan-kelemahan dan
kendala dalam pelaksanannya dan menjadi faktor yang penting dalam
penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan illegal logging. Kelemahan-
kelemahan itu ada beberapa faktor. Pertama, obyek penegakan hukum masih
sulit ditembus oleh aturan hukum.
Obyek yang dimaksud adalah apabila pelaku yang terlibat kejahatan
illegal logging yakni pelaku intelektual, terutama cokong kayu, oknum
pejabat, aparathukum, pegawai negeri tidak diatur secara khusus dalam UU
Nomor 41 Tahun 1999 joUU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang. Kedua, subyek atau pelaku
tindak pidana illegal logging. Yakni subyek atau pelaku yang diatur dalam
ketentuan pidana kehutanan hanya efektif diterapkan kepada pelaku yang
secara langsung melakukan illegal logging atau pengusaha yangmelakukan
traksasi kayu secara ilegal. Hal ini hanya dapat menyerat pelaku semisal:
penebang kayu, sopir truck, aknum petugas kehutanan, pegawai rendahan
pada level birokrasi, aknum aparat. Ketiga, proses penyitaan dalam hal ini
berupa barang bukti kayu. Konsep penanganannya meliputi prosedur,
metode, keahlian dalampengukuran dan waktunya cukup lama. Sementara
itu UU Kehutanan tidak mengatur mekanisme penyitaan barang bukti kayu
secara khusus. Kempat, kendala pembuktian. Proses pembuktian terhadap
tindak pidana illegal logging masih mengacu pada UU Nomor 8 Tahun
1981.
Dalam konteks ini merupakan tindak pidana biasa, sehingga sulit
untuk menjerat pelakuyang berada dibelakang kasus tersebut. Hal ini bisa
terjadi karena fungsi sanksi pidana dalam kepidanaan hukum lingkungan
termasuk kehutanan telah berubah dari ultimum remedium menjadi
instrumen penegakan hukum yang bersifat premum remedium (Rangkuti,
2000 : 323-324). Kelima, ruang lingkup tindak pidana yang masih sempit.
UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak meliputi
tindak pidana korporasi, tindak pidana penyertaan dan tindak pidana
pembiaran (omission) (ICEL, 12-5-2004b : 4). UU tersebut tidak mengatur
tindak pidana penebangan di luar wilayah konsensi (over cutting) atau yang
melanggar Rencana Kerja Tahunan (RKT). Ketujuh, sanksi pidana pasal 78
UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 1 Tahun 2004 yang memiliki
sanksi pidana denda yang paling berat dibandingkan dengan ketentuan
pidana lain, ternyata tidak memberi efek jera kepada pelaku illegal logging.
Hal ini karena UU Kehutanan yang lebih ditekankan pada sanksi
administrasi dan perdata, setelah itu baru sanksi pidana diterapkan.
Kedelapan, lemahnya koordinasi antar penegak hokum. Sistem penegakan
hukum tidak terstruktur dalamsuatu sistem yang terkoordinasi serta tanpa
otoritas merupakan kendala dalam penanggulangan ilegal logging. Kondisi
itu tetap berlanjut meski sekarang sudah dikeluarkan Intruksi Presiden
Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal di
Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh Indonesia. Kesembilan,
berkaitan dengan ganti kerugian ekologi terhadap lingkungan. Tindak
pidana illegal logging adalah tindak pidana yang mempunyai dampak atas
kerugian ekologi (lingkungan), sehingga perlu rumusan pasal tentang
perhitungan kerugian secara ekologis. Ternyata hal ini tidak diatur dalam
UU Kehutanan (ICEL 12-5-2004 : 6).
Sisi kelemahan UU Nomor 41 Tahun 1999 joUU Nomor 19 Tahun
2004 dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana illegal logging antara
lain: Bahwa illegal logging adalah satu kejahatan pidana khusus (pidsus).
Maka sudah sepantasnya proses penanganan dan pemeriksaan dilakukan
dengan perlakuan khusus. Langkah yang terbaru seharusnya merujuk pada
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petujuk
Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan. Sebelum ini telah dilakukan
pihak kejaksaan dengan adanya Surat Edaran (SE) Jaksa Agung RINomor
SE-0023.A.104/1995 tanggal 28 April 1995 dan Surat Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Nomor B-08/E/EJP/05/2001 yang pada pokoknya
mendukung upaya pemberantasan illegal logging karena termasuk perkara
penting.
Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh
Indonesia. Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu. Pengembangan kapasitas aparat penegak hukum dalam
hal ini PPNS, kepolisian, kebijaksanaan dan kehakiman. Salah satunya
adalah meningkatkan dan mengembangkan pelatihan yang selama ini telah
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Kementerian Lingkungan Hidup di
bidang Penegak Hukum Lingkungan. dengan menguji alumni pelatihan
tersebut dalam memeriksa, menangani dan memutuskankasus-kasus
lingkungan hidup khususnya illegal logging.5
5
http://www.kompasiana.com/kotijah/kelemahan-uu-kehutanan_54fec9f4a33311624450f8c1
Dikutip Pada Senin,22 Mei 2017 Pukul 12,08 WIB
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ketentuan pidana yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya
dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya
perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara
lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap
setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar
dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan
(penjelasan umum paragraph ke 18 UU No. 41 / 1999)
Sisi kelemahan UU Nomor 41 Tahun 1999 joUU Nomor 19 Tahun
2004 dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana illegal logging antara
lain: Bahwa illegal logging adalah satu kejahatan pidana khusus (pidsus).
Maka sudah sepantasnya proses penanganan dan pemeriksaan dilakukan
dengan perlakuan khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Lain: