!!!tesis Persepsi Siswa SMP Tentang PHBS Dalam Sekolah PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 174

UNIVERSITAS INDONESIA

PERSEPSI SISWA SMP DALAM PENERAPAN


PHBS TATANAN SEKOLAH DI KELURAHAN TUGU DAN
PASIR GUNUNG SELATAN KOTA DEPOK

TESIS

NI LUH PUTU EVA YANTI


1006748740

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
DEPOK
JULI, 2012

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


UNIVERSITAS INDONESIA

PERSEPSI SISWA SMP DALAM PENERAPAN


PHBS TATANAN SEKOLAH DI KELURAHAN TUGU DAN
PASIR GUNUNG SELATAN KOTA DEPOK

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Keperawatan

NI LUH PUTU EVA YANTI


1006748740

Pembimbing I : Dra. Junaiti Sahar, SKp., M.App.Sc.,Ph.D

Pembimbing II : Ns.Henny Permatasari, SKp., M.Kep.,Sp.Kom

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
PEMINATAN KEPERAWATAN KOMUNITAS
DEPOK
JULI, 2012

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Persepsi Siswa SMP
dalam Penerapan PHBS Tatanan Sekolah di Kelurahan Tugu dan Pasir Gunung
Selatan Kota Depok”. Penulisan tesis ini untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Magister Keperawatan pada Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya
menyampaikan terima kasih kepada kedua pembimbing:
1. Dra. Junaiti Sahar, SKp., M.App.Sc., Ph.D sebagai pembimbing I dan Wakil
Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
2. Ns. Henny Permatasari, SKp., M.Kep.,Sp.Kom sebagai Pembimbing II
Keduanya telah mencurahkan waktu dalam memberikan perhatian, ide,
bimbingan, dan motivasi selama penyusunan tesis ini. Bimbingan beliau berdua
membuat saya dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak tesis ini dapat terselesaikan.
Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Dewi Irawaty, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
2. Astuti Yuni Nursasi, MN sebagai Ketua Program Magister Ilmu Keperawatan
dan Spesialis Keperawatan FIK UI
3. Sigit Mulyono, MN sebagai penguji seminar proposal, ujian hasil dan sidang
tesis yang telah banyak memberikan saran dan arahan demi kesempurnaan
tesis saya
4. Wiwin Wiarsih, MN sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan
motivasi kepada peneliti selama menjadi mahasiswa di Program Magister Ilmu
Keperawatan FIK UI
5. Orang tua tercinta yang selalu mendukung, memberi semangat dan
mendoakan agar proses penyusunan tesis ini berjalan lancar
6. Dinas Kesehatan Kota Depok Subdin Promosi Kesehatan

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


7. Kepala sekolah, guru, dan siswa di MTs Nurul Huda serta SMP Negeri 8
Depok yang berperan serta dalam proses penelitian ini
8. Seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia
9. Teman-teman seangkatan khususnya peminatan keperawatan komunitas tahun
2010 yang senantiasa menemani dalam suka duka selama masa studi
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini

Saya menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya sangat
mengharapkan masukan dan saran yang membangun untuk kesempurnaan tesis
ini. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkah-Nya atas
segala kebaikan yang telah diberikan.

Depok, Juli 2012

Penulis

vi

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
ABSTRAK

Nama : Ni Luh Putu Eva Yanti


Program Studi : Program Magister Ilmu Keperawatan Peminatan
Keperawatan Komunitas Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Judul : Persepsi Siswa SMP dalam Penerapan Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) Tatanan Sekolah di Kelurahan Tugu dan
Pasir Gunung Selatan kota Depok

Usia siswa SMP berada pada tahap perkembangan remaja yang berisiko
mengalami masalah kesehatan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran
persepsi siswa SMP dalam menerapkan PHBS di sekolah. Pendekatan
fenomenologi deskriptif digunakan dalam penelitian. Enam tema yang
teridentifikasi yaitu perilaku mendukung penerapan PHBS, kurang peduli
terhadap penerapan PHBS, penerapan prinsip dasar PHBS, faktor penghambat
pembentukan PHBS, faktor pendukung pembentukan PHBS, dan harapan siswa
dan guru untuk terlaksananya PHBS. Pembinaan guru UKS, pendidikan kesehatan
kepada guru sekolah, integrasi PHBS dalam kurikulum, pembentukan peer group
remaja direkomendasikan dilakukan di sekolah. Penelitian selanjutnya
direkomendasikan untuk melakukan observasi keterampilan siswa menerapkan
PHBS.

Kata kunci:
Guru, kurang peduli, PHBS di sekolah, remaja, UKS

viii

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


ABSTRACT

Nama : Ni Luh Putu Eva Yanti


Program Studi : Program Magister Ilmu Keperawatan Peminatan
Keperawatan Komunitas Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Judul : Junior high school students’ perception in the implementation
of clean and healthy behavior (CHB) at the school setting at
kelurahan Tugu and kelurahan Pasir Gunung Selatan kota
Depok

The junior high school students have risks on health problems. This study aimed
to portrait junior high school students’ perception in applying clean and healthy
behavior (CHB). A descriptive phenomenological approach was applied. Six
themes were identified: supporting behavior on CHB, low concern about CHB,
applying basic principles of CHB, inhibiting and supporting factors on the CHB
formation, and the students and teachers expectation for implementing CHB. It is
recommended to conduct school health teacher coaching, teachers’ health
education, integration of CHB in school curriculum, establishment of peer group
in school besides observing students’ skill applying CHB for future study.

Key words:
Teacher, low concern, clean and healthy behavior, adolescent, junior high school
students

ix

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...................... vii
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 12
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 13
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Population At Risk ................................................................................. 15
2.2 Remaja sebagai Population At Risk ....................................................... 16
2.3 Konsep Persepsi ..................................................................................... 25
2.4 Usaha Kesehatan Sekolah ...................................................................... 29
2.5 Promosi Kesehatan ................................................................................. 32
2.6 Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) .................................................... 34
2.7 Pendekatan Fenomenologi dalam Penelitian Kualitatif ......................... 45

BAB 3 METODE PENELITIAN


3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................. 50
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................. 51
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 54
3.4 Etika Penelitian ...................................................................................... 55
3.5 Alat Pengumpulan Data ......................................................................... 58
3.6 Prosedur Pengumpulan Data .................................................................. 60
3.7 Analisis Data .......................................................................................... 64
3.8 Keabsahan Data (Trustworthinnes of The Data).................................... 65

BAB 4 HASIL PENELITIAN


4.1 Karakteristik Partisipan .......................................................................... 67
4.2 Hasil Analisis Penelitian ........................................................................ 68

BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Intepretasi Hasil Penelitian dan Diskusi Hasil ....................................... 88
5.2 Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 117
5.3 Implikasi Hasil Penelitian ...................................................................... 117

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


BAB 6 PENUTUP
6.1 Simpulan ................................................................................................ 122
6.2 Saran....................................................................................................... 123

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Indikator PHBS Sekolah Berdasarkan Strata Pelaksanaan ................. 37

xii

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Integrasi konsep UKS, promosi kesehatan, PHBS tatanan rumah
tangga dan sekolah ............................................................................ 44

xiii

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Karakteristik partisipan


Lampiran 2 : Skema tema persepsi siswa SMP dalam penerapan PHBS tatanan
sekolah
Lampiran 3 : Jadwal penelitian
Lampiran 4 : Penjelasan penelitian kepada siswa
Lampiran 5 : Penjelasan penelitian kepada guru
Lampiran 6 : Lembar persetujuan untuk siswa
Lampiran 7 : Lembar persetujuan untuk guru
Lampiran 8 : Data demografi partisipan siswa
Lampiran 9 : Data demografi partisipan guru
Lampiran 10 : Pedoman wawancara kepada siswa
Lampiran 11 : Pedoman wawancara kepada guru dan guru UKS
Lampiran 12 : Catatan lapangan
Lampiran 13 : Keterangan lolos kaji etik
Lampiran 14 : Surat pemberitahuan penelitian
Lampiran 15 : Daftar riwayat hidup

xiv

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


BAB 1
PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian kualitatif persepsi siswa SMP dalam menerapkan PHBS tatanan
sekolah di kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan kota Depok.

1.1 Latar Belakang


Masa remaja merupakan salah satu tahap tumbuh kembang manusia yang
berisiko untuk mengalami gangguan kesehatan. Proses tumbuh kembang
remaja mengalami banyak perubahan dari masa anak-anak menuju dewasa.
Menurut Potter dan Perry (2009), perubahan pada remaja mencakup
perubahan fisik, kognitif dan psikososial. Setiap perubahan yang terjadi pada
remaja dapat menimbulkan risiko kesehatan. Perubahan inilah yang
menyebabkan remaja sebagai population at risk. Karakteristik population at
risk terdiri dari beberapa perubahan yang berdampak pada risiko kesehatan
antara lain risiko biologi dan usia, sosial, ekonomi, gaya hidup dan kejadian
hidup (Stanhope & Lancaster, 2004).

Perubahan fisik remaja meliputi: peningkatan pertumbuhan tulang rangka, otot


dan organ dalam; perubahan distribusi otot dan lemak; serta perkembangan
sistem reproduksi dan karakteristik seksual sekunder (Potter dan Perry, 2009).
Perubahan fisik ini mengakibatkan remaja berisiko terhadap kesehatan
terutama pada aspek risiko biologi dan usia. Perubahan fisik yang paling khas
pada remaja adalah pematangan organ reproduksi (masa pubertas) dan
pembentukan karakteristik seksual sekunder. Pematangan organ reproduksi
remaja ditandai menstruasi pada remaja perempuan dan pengeluaran sperma
(mimpi basah) pada remaja laki-laki. Pembentukan karakteristik seksual
sekunder terjadi karena hormon estrogen dan progesteron. Hal inilah yang
menimbulkan pertumbuhan rambut pada area di sekitar organ kelamin, ketiak,
dan pertumbuhan rambut di sekitar wajah pada remaja laki-laki seperti kumis
dan cambang (Sarwono, 2011). Perubahan konsentrasi hormon tersebut

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


2

berhubungan dengan produksi minyak pada kulit sehingga mudah terjadinya


jerawat dan bau badan. Pemahaman mengenai hal ini perlu ditanamkan oleh
perawat komunitas untuk mendidik remaja tentang kebersihan diri dan
perawatan tubuhnya (Potter dan Perry, 2009).

Produksi kelenjar keringat dan aktifitas remaja yang aktif menyebabkan bau
badan yang tidak sedap. Bau badan ini dapat mengganggu aktivitas sosial
remaja bersama teman di sekolah. Tentu tidak ada teman yang mau mendekat
dan bergaul dengan remaja yang memiliki bau badan tidak sedap. Hal ini
dapat menyebabkan remaja menjadi kurang percaya diri (Cohn, 1994; Mayer,
2008). Penanganan yang dapat dilakukan oleh perawat komunitas di sekolah
dengan mengajarkan remaja kebersihan badan terutama pada area di sekitar
lipatan kulit ketiak dan paha.

Perubahan konsentrasi hormon estrogen dan progesteron pada remaja


menyebabkan produksi minyak berlebih pada kulit wajah. Kondisi berisiko ini
dapat menyebabkan jerawat pada remaja. Penelitian yang dilakukan Faheem
(2010) pada 100 siswa SMA di Medan didapatkan bahwa cara dan kebiasaan
membersihkan wajah siswa dengan kategori buruk 19%, kategori sedang 75%
dan kategori baik 6%. Penelitian ini membuat kesimpulan bahwa ada
pengaruh membersihkan wajah secara teratur terhadap pertumbuhan jerawat.

Keradangan jerawat dengan keparahan sedang dan berat mengakibatkan kulit


wajah berlubang dan menimbulkan bekas luka yang sangat buruk. Kondisi ini
memerlukan penanganan khusus oleh dokter spesialis kulit (Allender &
Spradley, 2001). Selain dampak fisik pada wajah, jerawat memberi efek
negatif psikologis dan sosial pada remaja. Perasaan malu, harga diri rendah,
stres, tidak percaya diri dan depresi sering menyelimuti perasaan remaja
dengan keparahan jerawat (Mental Health Weekly Digest, 2003). Perawat
komunitas di sekolah perlu menjelaskan cara pencegahan yang dapat
dilakukan untuk mengurangi risiko keparahan jerawat pada remaja.

2
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


3

Aktifitas bermain dan berolahraga di sekolah dapat mengotori pakaian remaja.


Pakaian yang kotor merupakan sarang kuman penyakit. Penyakit yang dapat
ditimbulkan dari kurangnya kebersihan pakaian adalah penyakit kulit, seperti
panu, kudis dan kadas. Selain itu, kondisi kuku yang panjang pada remaja
memudahkan masuknya kotoran ke dalam kuku. Kuku panjang dan kotor
menjadi sumber mikroorganisme penyebab berbagai penyakit. Kondisi
berisiko ini semakin bertambah parah oleh pola kebiasaan remaja yang tidak
mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah beraktivitas.
Penyakit yang dapat terjadi akibat perilaku ini adalah kecacingan, diare dan
typus (Dinas Kesehatan Kota Depok, 2005). Oleh karena itu, remaja di
sekolah perlu diajarkan cara menjaga kebersihan badan dan pakaiannya agar
terhindar dari penyakit kulit dan pencernaan yang mengganggu kesehatan dan
kenyamanan remaja.

Kebersihan pakaian pada remaja juga memiliki hubungan dengan kesehatan


reproduksi khususnya pada remaja perempuan. Menstruasi pada remaja
perempuan dan keluarnya cairan vagina selama masa subur menciptakan
lingkungan yang lembab pada area genitalia remaja. Kurangnya kebersihan
pakaian dalam, adanya rambut dan produksi kelenjar minyak pada area
genitalia sangat berisiko untuk pertumbuhan mikroorganisme penyebab
infeksi saluran reproduksi (ISR). Infeksi saluran reproduksi yang sering terjadi
pada remaja seperti keputihan patologis (Depkes RI, 2007). Remaja sering
mengabaikan permasalahan ini, padahal dampak jangka pendek yang
ditimbulkan sangat mengganggu aktifitas remaja seperti rasa gatal di area
genitalia, rasa nyeri waktu buang air kecil dan aroma tidak sedap pada area
genitalia. Dampak jangka panjang yang dapat ditimbulkan seperti menurunkan
kesuburan (kemandulan) dan risiko kanker leher rahim.

Remaja mengalami perubahan psikososial dengan karakteristik tugas


perkembangan pencarian identitas diri. Pencarian identitas diri dilakukan
dengan bersikap mencoba segala hal yang ingin diketahui remaja. Usaha
pencarian identitas diri pada remaja membutuhkan dukungan dan penerimaan

3
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


4

dari lingkungan sekitarnya. Menurut Sarwono (2011), perilaku yang biasanya


terjadi pada remaja dalam upaya pencarian identitas diri adalah perilaku yang
cenderung melepaskan diri dari ikatan orang tuanya. Perilaku ini terjadi
karena hubungan dengan teman lebih menekankan pada penerimaan,
kebersamaan, persetujuan, interaksi dan kepribadian. Sedangkan pada orang
tua lebih banyak pada aspek prestasi sekolah dan sikap remaja yang harus
mengikuti kemauan orang tua. Hal ini menciptakan remaja tidak menemukan
dirinya sendiri. Sehingga remaja sering bersikap memberontak terhadap orang
tua.

Kedekatan remaja dengan kelompok sebaya menimbulkan tekanan tersendiri


bagi remaja agar dapat mengikuti gaya hidup yang ada pada kelompoknya.
Kondisi remaja yang belum mampu menghasilkan uang sendiri, sering
memaksakan orang tua untuk memenuhi kebutuhannya terutama uang saku
untuk jajan, pakaian dan hiburan. Selain itu, permintaan remaja kepada orang
tua untuk membelikan barang-barang mewah seperti sepeda motor dan
handphone mahal. Konflik ini terjadi karena orang tua menganggap barang-
barang tersebut belum penting dimiliki, sikap remaja yang meniru kelompok
sebaya dan belum pahamnya remaja terhadap kebutuhan yang tidak penting
(Depkes RI, 2007). Konflik ini dapat dicegah dengan melakukan komunikasi
yang efektif antara orang tua dan remaja.

Remaja lebih senang bersama dengan kelompoknya. Remaja menganggap


keseragaman sesuai kelompoknya merupakan hal yang penting. Hal ini
berhubungan dengan karakteristik kelompok yang lebih banyak mendukung
usaha pencarian identitas diri remaja. Di sisi lain, kelompok sebaya dapat
memberikan pengaruh negatif kepada remaja seperti merokok, mengkonsumsi
jajan sembarangan, bolos sekolah, kebut-kebutan di jalan, minum alkohol,
seks bebas dan penggunaan obat terlarang.

Jumlah remaja merokok setiap tahun mengalami peningkatan. Data di


Indonesia berdasarkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

4
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


5

Departemen Kesehatan RI (2008), perilaku merokok kelompok penduduk > 15


tahun cenderung meningkat dari 32% menurut data Susenas tahun 2003
menjadi 33.4% pada Riskesdas tahun 2007. Peningkatan proporsi usia mulai
merokok pada umur < 20 tahun dari 10.3% SKRT tahun 2001 menjadi 11.9%
pada Riskesdas tahun 2007. Menurut Sun, Anderson, Shah dan Julliard
(1998), perilaku merokok dimulai pada usia 12-15 tahun sampai 16-19 tahun,
periode ini terjadi ketika remaja bersekolah di SMP sampai SMA.

Hasil penelitian Yunita (2008) tentang perilaku merokok siswa SMP di kota
Bogor, perilaku merokok siswa 54,8% dipengaruhi oleh teman sebaya dan
usia rata-rata mulai merokok pada 13-14 tahun. Pengetahun remaja sekitar
90% menyatakan merokok berbahaya bagi kesehatan, namun besarnya
pengaruh teman untuk merokok mengalahkan kesadaran remaja untuk
berperilaku tidak merokok. Penelitian yang dilakukan Ariani (2006), tentang
perilaku merokok siswa SMA dan SMK di Bogor, perilaku merokok pada
remaja berhubungan dengan pola asuh keluarga, pendidikan ibu dan adanya
anggota keluarga yang merokok. Keluarga merupakan faktor penting sebagai
role model dalam membentuk karakter siswa. Perawat komunitas perlu
meningkatkan asuhan keperawatan keluarga dalam upaya pencegahan perilaku
merokok remaja.

Penelitian dengan menggunakan pendekatan riset kualitatif yang dilakukan


oleh Chan, Prendergast, Grønhøj dan Bech-Larsen (2009) menyatakan remaja
di Hong Kong lebih senang membeli jenis makanan tidak sehat seperti junk
food kalori tinggi daripada membeli jenis makanan sehat atau membawa bekal
ke sekolah. Persepsi remaja bahwa makanan sehat dan membawa bekal ke
sekolah sangat baik untuk kesehatan. Namun karena ajakan teman sebaya,
remaja lebih memilih ajakan teman untuk membeli makanan tidak sehat.
Perilaku remaja mengkonsumsi makanan tidak sehat terjadi pada saat di luar
lingkungan rumah seperti pesta ulang tahun, kumpul bersama teman dan saat
jalan-jalan dengan teman sebaya di luar rumah. Menurut Edelman dan Mandle
(2010), teman sebaya mempunyai pengaruh besar terhadap pemilihan

5
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


6

makanan anak sekolah dibandingkan dengan keluarga. Jenis makanan yang


tidak sehat tersebut adalah soft drink, fast food, kentang goreng, cokelat dan
makanan kalori tinggi lainnya. Perilaku ini dilakukan karena remaja lebih
memilih kebersamaan dengan teman sebaya. Dampak kesehatan yang dapat
ditimbulkan dari perilaku ini adalah kegemukan.

Perilaku jajan sembarangan pada remaja dapat menimbulkan penyakit infeksi


yang berhubungan dengan gastrointestinal. Perilaku ini lebih banyak terjadi
pada saat remaja berada di sekolah. Menurut Suci (2009), penyedia jajanan
yang dianjurkan oleh pengelola sekolah untuk dikonsumsi siswa adalah
penjual makanan yang berada di kantin sekolah. Pola kebiasaan makan remaja
seperti tidak sarapan pagi, bosan dengan makanan rumah, orang tua yang tidak
membuatkan bekal dan solidaritas bersama saat jajan dengan teman sebaya
merupakan alasan yang paling sering disampaikan siswa saat jajan di sekolah
(Simorangkir, 1994). Jenis jajanan sembarangan yang sering dikonsumsi
adalah lontong, otak-otak, tahu goreng, mie bakso dengan saus, es sirop, sate
sosis dengan saus, empek-empek dan lain sejenisnya. Jajanan yang telah
terkontaminasi mikrobiologis dan zat kimia berbahaya dapat menyebabkan
penyakit hepatitis A, diare, demam typoid dan kecacingan.

Perilaku jajan sembarangan dapat menyebabkan berbagai penyakit


gastrointestinal. Salah satu kasus yang baru saja terjadi di kota Depok adalah
Kejadian Luar Biasa (KLB) hepatitis A di sekolah menengah kejuruan pada
Nopember 2011. Kasus ini mengakibatkan 89 siswa dan 1 guru harus dirawat
di rumah sakit akibat mengalami keluhan mual muntah, demam dan pusing
(Pemerintah Kota Depok, 2011). Penyebab KLB hepatitis A ini adalah
kurangnya kebersihan kantin sekolah dan kebersihan siswa saat
mengkonsumsi jajanan di sekolah. Perilaku tidak mencuci tangan dengan
sabun sebelum dan sesudah makan serta saat melakukan kegiatan lain
memudahkan virus penyakit masuk ke dalam tubuh (Pusat Data Persi, 2011).
Selain itu, kesadaran siswa masih kurang dalam memilih jajanan sehat dan
aman di sekolah. Siswa hanya menyadari bahwa jajanan tersebut dapat

6
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


7

membuat kenyang. Padahal keamanan dan kesehatan jajanan tersebut belum


terjamin (Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Kemenkes RI, 2011). Oleh
karena itu, sekolah melalui kegiatan UKS harus selalu mengawasi dan
memberikan edukasi kepada siswa dalam memilih jajanan yang aman dan
sehat untuk mencegah terjadinya penyakit gastrointestinal.

Menurut WHO SEARO (2009), remaja dikategorikan pada umur 10-19 tahun.
Jumlah remaja di seluruh dunia kira-kira 1.2 milyar dan satu dari setiap 5
orang di dunia adalah remaja. Populasi remaja di wilayah Asia Tenggara 18-
25% dari jumlah remaja di dunia. Menurut Kemenkes RI (2010) data profil
kesehatan indonesia tahun 2009, jumlah kelompok umur muda (0-14 tahun)
26.96%. Menurut BPS (2010), jumlah kelompok umur muda (0-14 tahun)
mengalami peningkatan menjadi 28.87%. Jumlah kelompok remaja 10-19
tahun pada tahun 2010 adalah 18.33% atau seperlima dari jumlah penduduk di
Indonesia.

Berdasarkan data tersebut Indonesia termasuk negara dengan jumlah


penduduk terbanyak pada umur muda dan umur produktif. Ini merupakan aset
sumber daya manusia negara di masa depan untuk menciptakan negara
Indonesia yang maju. Kemajuan suatu negara di ukur dengan tingkat
kesehatan penduduknya.

Perubahan yang terjadi pada masa remaja dapat menimbulkan berbagai


masalah kesehatan. Masalah kesehatan tersebut mencakup kesehatan
reproduksi, penyakit menular yang diakibatkan oleh kebersihan diri dan
lingkungan, kecelakaan, kegemukan, anemia, perilaku merokok, minum
alkohol, seks bebas dan penggunaan obat terlarang (Potter & Perry, 2009;
Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999; Depkes RI, 2007). Masalah kesehatan
ini dapat dicegah dengan upaya promosi kesehatan.

Program promosi kesehatan yang telah diterapkan oleh pemerintah adalah


Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Penerapan PHBS dilaksanakan pada

7
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


8

lima tatanan yaitu rumah tangga, sekolah, tempat umum, institusi kesehatan
dan tempat kerja (Depkes RI, 2008). Program PHBS diharapkan dapat
dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan pada setiap tatanan
sehingga PHBS membudaya pada setiap individu, keluarga dan masyarakat.
Seluruh masyarakat melaksanakan PHBS, maka masyarakat akan terlindungi
dari berbagai penyakit sehingga terwujud peningkatan derajat kesehatan
masyarakat.

Penerapan PHBS di rumah tangga dapat dijadikan dasar anggota keluarga


untuk membiasakan pola hidup sehat dan bersih dimana saja dan kapan saja.
Remaja sebagai anggota keluarga dan anggota warga sekolah harus
membiasakan PHBS yang diperolehnya di rumah agar diterapkan di sekolah
maupun tatanan lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, program
PHBS di sekolah dapat juga dijadikan sumber pembelajaran kepada siswa agar
diterapkan di rumah, tempat umum dan institusi kesehatan. Keterpaduan
PHBS di rumah tangga dan di sekolah menciptakan kesadaran diri siswa untuk
berperilaku hidup bersih dan sehat. Kesadaran PHBS ini akan menjadi sebuah
budaya dan kebiasaan pada setiap siswa sehingga remaja terlindungi dari
berbagai risiko gangguan kesehatan (Depkes RI, 2008).

Penerapan PHBS secara nasional sudah lama diterapkan pada tahun 2003.
Hasil laporan tahun 2003 pengembangan PHBS dilaksanakan pada 30 provinsi
dengan jumlah kumulatif sebanyak 7.5 juta lebih di tatanan rumah tangga, 53
ribu lebih di tatanan sekolah (SD, SMP, SMU), 260 ribu lebih di tatanan
tempat umum (terminal, pelabuhan, pasar) dan 5 ribu di tatanan sarana
kesehatan pemerintah dan swasta (Fitriani, 2011). Menurut Kemenkes RI
(2010) data profil kesehatan Indonesia tahun 2009, jumlah persentase rumah
tangga yang ber-Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) secara nasional
sebesar 48.41%. Provinsi yang memiliki persentase tertinggi adalah Jawa
Tengah (88.57%), DI Yogyakarta (87.38%) dan Kalimantan Timur (79.73%).
Provinsi dengan persentase PHBS yang rendah adalah Sumatera Barat

8
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


9

(17.97%), Banten (21.37%), Papua Barat (27.34%), Sulawesi Barat (30.9%),


Jawa Timur (32.9%), Riau (36.5%) dan Jawa Barat (37.9%).

Data persentase PHBS di sekolah secara nasional belum ada, sehingga acuan
peneliti dalam memilih lokasi penelitian ini berdasarkan data PHBS di rumah
tangga. Indikator PHBS di sekolah terdiri dari delapan buah dan tujuh buah
indikator merupakan bagian dari indikator PHBS di rumah tangga. PHBS di
rumah tangga sebagai tatanan paling kecil di masyarakat berupaya
menggerakkan keluarga dan anggota keluarga untuk hidup bersih dan sehat.
Remaja yang sedang menempuh pendidikan di sekolah memiliki peran
sebagai siswa dan anggota keluarga. Secara langsung, remaja sudah
mendapatkan pemahaman tentang PHBS lebih dulu di dalam keluarga.

Penerapan PHBS tatanan rumah tangga di provinsi Jawa Barat sudah


berlangsung sejak tahun 2005 dan telah menjadi bagian kegiatan kesatuan
Gerak PKK-KB/ kesehatan (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 2010).
Namun, penerapannya masih tergolong di bawah rata-rata. Menurut data
Profil Kesehatan Indonesia (2009), penerapan PHBS rumah tangga di provinsi
Jawa Barat berada pada posisi ke-7 terendah nasional. Hal inilah yang menjadi
alasan peneliti memilih provinsi Jawa Barat sebagai wilayah studi penelitian.

Pada studi penelitian kualitatif ini, peneliti memfokuskan studi penelitian di


Kota Depok. Hal ini dikarenakan belum ada penelitian sejenis yang dilakukan
di Kota Depok. Penelitian terkait PHBS sekolah lebih banyak menggunakan
metode penelitian kuantitatif dengan lokasi penelitian di Sekolah Dasar.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat alamiah yang berfokus
pada penggambaran pola dasar berpikir dan perilaku manusia terhadap
fenomena (Speziale & Carpenter, 2003; Moleong, 2007). Penelitian kualitatif
sangat sesuai untuk menggali perilaku siswa secara alamiah dalam
menerapkan PHBS di sekolah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara mendalam. Metode ini dapat menggambarkan persepsi siswa

9
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


10

dalam menerapkan PHBS di sekolah dibandingkan dengan menggunakan


kuisioner yang sering digunakan dalam penelitian kuantitatif.

Kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan merupakan wilayah praktik


keperawatan keluarga dan keperawatan komunitas mahasiswa profesi, aplikasi
maupun residensi. Hasil wawancara pendahuluan yang peneliti lakukan pada
tanggal 21 Pebruari 2012 kepada mahasiswa residensi komunitas yang praktik
lapangan di MTs Nurul Huda (NH) dan SMPN 8 Depok. Penerapan PHBS di
sekolah di MTs NH menunjukkan rata-rata siswa MTs NH tidak memiliki
kesadaran terhadap kebersihan diri, tidak menerapkan cuci tangan
menggunakan sabun dan air mengalir, jajan tidak di kantin sekolah, tidak ada
saluran air mengalir serta sabun untuk mencuci tangan, dan tidak tersedia
sabun di kamar mandi siswa. Hasil FGD tanggal 17 Pebruari 2012 yang
dilakukan mahasiswa residensi pada 12 siswa MTs NH, 58.3% siswa mengaku
pernah merokok.

Hasil wawancara pendahuluan kepada mahasiswa residensi terhadap


penerapan PHBS di sekolah SMPN 8 Depok menyatakan bahwa rata-rata
kebersihan diri siswa sudah baik, walaupun masih ada siswa perempuan yang
suka memelihara kuku panjang. Perilaku cuci tangan siswa menggunakan
sabun dan air mengalir tidak diterapkan dengan benar. Padahal di depan setiap
kelas sudah tersedia keran air, namun tidak berfungsi. Fasilitas sabun di kamar
mandi juga tidak ada. Saat peneliti melakukan observasi ke SMPN 8 Depok,
masih ada siswa jajan di luar kantin sekolah ketika waktu istirahat.
Selanjutnya, hasil pengkajian yang diperoleh mahasiswa residensi spesialis
komunitas, siswa yang mengaku pernah merokok 35% dari 100 siswa.
Berdasarkan data ini, penerapan PHBS tatanan sekolah di MTs NH dan SMPN
8 Depok tidak berjalan dengan baik.

Hasil pengolahan data absensi siswa kelas VII MTs NH dengan alasan sakit
pada semester ganjil tahun ajaran 2011/2012 adalah 39.5%. Jumlah
keseluruhan siswa kelas VII adalah 38 siswa dan jumlah siswa yang sakit

10
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


11

selama satu semester 15 siswa. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung


dalam satu semester seorang siswa tidak masuk sekolah karena sakit selama 3
hari. Sedangkan, siswa kelas VII di SMPN 8 Depok dengan alasan sakit pada
semester ganjil tahun ajaran 2011/2012 adalah 35.5%. Jumlah keseluruhan
siswa 392 orang dan jumlah siswa yang sakit 139 orang. Hasil penghitungan
diperoleh bahwa selama satu semester seorang siswa tidak masuk sekolah
karena sakit selama 4 hari. Siswa yang sakit di MTs Nurul Huda harus
kehilangan waktu belajar di sekolah selama 3 hari dan SMPN 8 Depok selama
4 hari. Siswa yang sakit tidak dapat mengikuti kegiatan belajar di sekolah,
akibatnya materi pelajaran yang diterima di sekolah menjadi tidak maksimal.
Secara langsung, kondisi ini dapat menurunkan prestasi siswa di sekolah.

Pada penelitian kualitatif ini, peneliti memfokuskan pada empat indikator


penerapan PHBS di sekolah yang terdiri dari: kebersihan diri (kebersihan
pakaian, rambut, sepatu dan kuku); cuci tangan dengan sabun dan air
mengalir; tidak merokok dan jajan di kantin sekolah. Alasan peneliti memilih
keempat indikator tersebut karena terkait dengan perubahan yang terjadi pada
siswa SMP yang berada pada masa remaja. Perubahan fisik remaja memiliki
hubungan yang erat dengan kebersihan diri. Perubahan fisik remaja dan pola
kebiasaan remaja yang kurang dalam kebersihan diri dapat menimbulkan
masalah kesehatan seperti jerawat, bau badan, penyakit kulit dan penyakit
gastrointestinal. Perilaku merokok siswa di sekolah terkait dengan perubahan
psikososial dan perilaku remaja yang senang mencoba-coba. Perilaku siswa
tidak mencuci tangan dengan menggunakan air mengalir dan sabun dapat
berisiko penyakit gastrointestinal. Perilaku jajan siswa di sekolah terkait
dengan gaya hidup remaja yang senang mengkonsumsi makanan tidak sehat
atau sembarangan yang ada di luar kantin sekolah.

Penelitian kualitatif terkait persepsi siswa SMP sudah pernah dilakukan


dengan topik kesehatan reproduksi remaja. Namun, belum ada yang menggali
terkait penerapan PHBS sekolah. Penelitian kualitatif sejenis ini dengan
partisipan siswa sekolah pernah dilakukan oleh Siswanti (2004) dengan judul

11
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


12

Studi Kualitatif: Perilaku Jajan pada Anak Sekolah pada siswa Kelas VI SDN
Muktiharjo Lor, Kecamatan Genuk Semarang. Penelitian ini tidak melakukan
strategi triangulasi sumber dalam validasi data. Triangulasi sumber adalah
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi
yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian
kualitatif (Moleong, 2007). Kebaikan menggunakan validasi data triangulasi
sumber adalah meningkatkan validitas penemuan data sehingga data yang
diperoleh semakin lengkap (Speziale & Carpenter, 2003).

Menurut data Dinas Kesehatan Kota Depok (2011), sekolah-sekolah yang


telah mendapatkan pelatihan UKS berupa PKPR dan peer konselor di wilayah
kota Depok berjumlah 63 SMP/SMA/sederajat baik negeri dan swasta. MTs
NH dan SMPN 8 Depok adalah sekolah yang mendapatkan pelatihan tersebut
sebanyak dua kali pada tahun 2009 dan tahun 2011. Didukung juga dengan
sosialisasi PHBS sekolah yang dilakukan oleh sub bidang Promosi Kesehatan
(Promkes) sudah berjalan sejak tahun 2006. Namun, sampai saat ini penerapan
PHBS sekolah belum berjalan dengan optimal. Berdasarkan hal tersebut,
peneliti tertarik melakukan penelitian kualitatif: Persepsi siswa SMP dalam
penerapan PHBS tatanan sekolah di kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan
Kota Depok.

1.2 Rumusan Masalah


Penerapan PHBS tatanan sekolah di tingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP/MTs) belum berjalan optimal. Hasil studi pendahuluan peneliti pada
MTs NH dan SMPN 8 Depok, penerapan empat indikator PHBS sekolah tidak
berjalan dengan baik. Kebersihan diri siswa yang terdiri dari kebersihan
rambut, pakaian, kuku dan sepatu termasuk tidak bersih dan rapi. Perilaku cuci
tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir tidak terlaksana. Fasilitas
air mengalir serta sabun untuk cuci tangan juga tidak ada. Perilaku siswa
mengkonsumsi jajan di kantin sekolah juga tidak berjalan, masih ada
ditemukan siswa sekolah yang jajan di luar area sekolah yang belum terjamin
kebersihan dan kandungan gizinya. Kasus KLB hepatitis A pada sekolah

12
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


13

menengah kejuruan di kota Depok pada bulan Nopember 2011 yang


mengakibatkan 89 siswa dan 1 guru dirawat di rumah sakit. Penyebab KLB
hepatitis A ini adalah kurangnya kebersihan kantin sekolah dan kebersihan
siswa saat mengkonsumsi jajanan di sekolah. Perilaku siswa merokok sudah
mulai dilakukan pada jam sekolah dan biasanya terjadi saat istirahat dengan
kumpul bersama teman-teman di warung yang letaknya di luar sekolah.

Program PHBS sekolah ini sudah berjalan sejak tahun 2006 dan
disebarluaskan oleh dinas kesehatan kota Depok dengan melaksanakan
pelatihan UKS PKPR dan peer edukator pada guru dan siswa sekolah.
Sosialisasi PHBS sekolah juga sudah dilakukan langsung oleh sub bidang
Promkes Kota Depok dengan menyebarkan poster, buku dan leaflet PHBS
sekolah. Namun, kenyataannya penerapan PHBS sekolah di MTs NH dan
SMPN 8 Depok tidak berjalan optimal. Berdasarkan fenomena ini, dilakukan
penelitian kualitatif dengan desain fenomenologi deskriptif untuk
mengidentifikasi persepsi siswa SMP dalam penerapan PHBS sekolah di
kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan. Peneliti merumuskan pertanyaan
penelitian yaitu: Apa persepsi siswa SMP dalam penerapan PHBS sekolah di
kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini untuk memperoleh gambaran persepsi siswa SMP dalam
penerapan PHBS sekolah di kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah teridentifikasinya:
1.3.2.1 Respons siswa dan guru terhadap penerapan PHBS di sekolah
1.3.2.2 Praktik penerapan PHBS siswa di sekolah
1.3.2.3 Hambatan siswa dan guru terhadap penerapan PHBS di sekolah
1.3.2.4 Dukungan siswa dan guru terhadap PHBS di sekolah
1.3.2.5 Harapan siswa dan guru terhadap PHBS di sekolah

13
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


14

1.4 Manfaat
1.4.1 Pelayanan Keperawatan Komunitas
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar asuhan keperawatan
komunitas pada kelompok at risk remaja di sekolah. Persepsi remaja di
sekolah terhadap penerapan PHBS dapat digunakan untuk menentukan
tindakan pencegahan baik primer, sekunder dan tersier terhadap gangguan
kesehatan yang mungkin muncul pada populasi at risk remaja.
Pencegahan primer dalam bentuk penyediaan fasilitas sekolah untuk
mendukung pelaksaan cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air
mengalir, mengadakan kantin sekolah atau penyuluhan jajanan sehat untuk
siswa SMP dalam kurikulum pendidikan sekolah.

1.4.2 Perkembangan Ilmu Keperawatan


Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai evidence base yang
digunakan dalam merencanakan praktik keperawatan komunitas setting
sekolah pada umumnya dan khususnya di kelurahan Tugu dan Pasir
Gunung Selatan terkait PHBS di sekolah pada siswa SMP. Penelitian ini
juga dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya terkait dengan perilaku
hidup bersih dan sehat siswa SMP.

1.4.3 Kebijakan Kesehatan


Pengetahuan terhadap persepsi dan makna remaja di sekolah dalam
penerapan PHBS sekolah akan memudahkan perawat komunitas dalam
membantu pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan terkait program
PHBS sekolah serta cara yang efektif untuk mensosialisasikan PHBS
sekolah agar mudah diterima remaja di sekolah dan dapat diterapkan
secaranya nyata oleh remaja.

14
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini akan menguraikan teori dan konsep populations at risk, remaja sebagai
populations at risk, konsep persepsi, konsep UKS, konsep promosi kesehatan,
konsep PHBS dan pendekatan fenomenologi pada penelitian kualitatif. Bab dua
ini akan digunakan sebagai bahan rujukan penelitian dan bahan dalam penyusunan
pembahasan pada bab berikutnya.

2.1 Population At Risk


At risk dalam Kamus Inggris Indonesia berarti berisiko atau kemungkinan
mengalami kerugian (Echols & Shadily, 1992). Menurut Maurer dan
Smith (2005), population adalah kumpulan orang yang memiliki kesamaan
pribadi atau karakteristik yang terkait dengan kesehatan. Risiko atau risk
adalah konsep epidemiologi yang berarti berpeluang untuk mengalami
penyakit atau kondisi yang akan berkembang menimbulkan kesakitan pada
periode tertentu (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999). Sumber buku dari
Clemen-Stone, McGuire dan Eigsti (2002) menyatakan,“population at risk
are those populations that engange in certain activities or have certain
characteristics that increase their potential for contracting an illness,
injury or health problem”. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa population at risk adalah kumpulan orang yang
memiliki kesamaan karakteristik faktor risiko yang berpotensi untuk
mengalami penyakit dan kesakitan pada periode tertentu.

Perawat komunitas perlu memahami karakteristik population at risk dalam


proses keperawatan komunitas. Menurut Stanhope dan Lancaster (2004),
karakteristik population at risk terdiri dari risiko biologis dan usia, risiko
sosial, risiko ekonomi, risiko gaya hidup dan risiko kejadian hidup. Risiko
biologi dan usia berhubungan dengan faktor genetik serta faktor gaya
hidup yang diterapkan oleh individu. Risiko ekonomi terdiri dari
kemampuan pemenuhan kebutuhan nutrisi, tempat tinggal, berpakaian,

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


16

pendidikan dan perawatan kesehatan. Risiko sosial terdiri dari lingkungan


sosial yang ada di sekitar individu seperti budaya, ras, agama, tempat
kerja, sekolah dan organisasi sosial. Risiko gaya hidup terkait dengan
nilai, kebiasaan dan persepsi dalam berperilaku sehat. Risiko kejadian
hidup berhubungan dengan transisi perubahan tahap tumbuh kembang
menuju tahap berikutnya, misalnya perubahan peran baru dalam keluarga
atau perubahan pola komunikasi. Perawat komunitas harus mampu
melakukan pengkajian keperawatan dengan mengidentifikasi karakteristik
population at risk. Kemudian menentukan masalah keperawatan
komunitas dan strategi intervensi yang sesuai untuk mengurangi risiko
pada population at risk sehingga mencapai status kesehatan yang optimal.

2.2 Remaja Sebagai Population At Risk


2.2.1 Pengertian Dan Batasan Usia Remaja
Remaja adalah tahap tumbuh kembang yang dimulai pada usia 10-19
tahun (WHO SEARO, 2009). Pada tahap ini terjadi proses transisi dari
anak-anak menuju dewasa (DeLaune & Ladner, 2011). Pada masa remaja
terjadi perubahan fisik, kognitif dan psikososial (Potter & Perry, 2009).
Perubahan tersebut menyebabkan remaja dalam kondisi risiko untuk
menjalani tumbuh kembangnya dan memberi dampak pada kesehatan
remaja. Menurut Depkes RI (2007), masa remaja diklasifikasikan menjadi
3 fase yaitu masa remaja awal (10-13 tahun), masa remaja tengah (14-16
tahun), masa remaja akhir (17-19 tahun). Sedangkan menurut Potter dan
Perry (2009), masa remaja awal dimulai pada usia 11-14 tahun, masa
remaja tengah (15-17 tahun) dan masa remaja akhir (18-20 tahun).

Menurut Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri pendidikan nasional


dan menteri agama No 04/VI/PB/2011 dan No MA/111/2011 tentang
penerimaan peserta didik baru pada TK/RA/BA dan sekolah/madrasah
menyatakan bahwa siswa SMP/MTs telah lulus dan wajib memiliki ijasah
SD/MI serta maksimal berusia 18 tahun pada tahun ajaran baru (SKB
Mendiknas dan Menag, 2011). Usia yang diterima di tingkat SD adalah

16
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
17

yang sudah berusia 7-12 tahun. Sehingga remaja yang sedang menempuh
pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama atau sederajat
(SMP/MTs) rata-rata berusia 13-15 tahun.

2.2.2 Karakteristik Risiko Pada Remaja


Masa remaja merupakan salah satu tahap yang paling kritis dan penting
dalam proses perkembangan manusia karena terjadi perubahan dari masa
anak-anak menuju dewasa (DeLaune & Ladner, 2011; McMurray, 2003).
Pada masa ini terjadi perubahan fisik, psikososial dan kognitif yang
berisiko menurunkan status kesehatan remaja. Remaja harus mengetahui
dan memahami perubahan yang terjadi pada tubuhnya adalah hal yang
normal, sehingga remaja dapat berperilaku sehat dan adaptif terhadap
perubahan yang terjadi.

Pemahaman orang tua, guru dan perawat komunitas terhadap perubahan


remaja menjadi hal yang penting. Peran orang tua dan guru mengarahkan
dan membimbing remaja agar tidak berperilaku negatif yang berisiko
terhadap kesehatannya. Peran perawat komunitas memberikan penjelasan
dan pemahaman kepada orang tua, guru dan remaja dalam mengantisipasi
dan menanggulangi perilaku berisiko terhadap stress masa remaja (Potter
& Perry, 2009). Perawat komunitas memberikan pendidikan kesehatan,
konseling, pelayanan kesehatan kepada remaja, keluarga dan seluruh
komunitas yang terkait (Nies & McEwen, 2006).

Perubahan fisik, psikososial dan kognitif pada remaja dapat menimbulkan


risiko kesehatan. Setiap perubahan yang terjadi pada remaja memiliki
karakteristik population at risk yang terdiri dari risiko biologi dan usia,
risiko sosial, risiko ekonomi, risiko gaya hidup dan risiko kejadian hidup
(Stanhope dan Lancaster, 2004). Hal inilah yang menyebabkan remaja
sebagai population at risk.

17
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
18

2.2.2.1 Risiko Biologi dan Usia


Risiko biologi dan usia merupakan faktor genetik yang ada pada setiap
individu dan memiliki hubungan yang erat dengan faktor gaya hidup yang
diterapkan individu dalam kehidupannya (Stanhope dan Lancaster, 2004).
Risiko usia berhubungan dengan proses perubahan fisik yang terjadi pada
remaja. Pertumbuhan fisik remaja mencapai puncaknya ditandai dengan
bertambahnya tinggi badan dan berat badan. Pertumbuhan fisik pada
remaja perempuan lebih cepat pada remaja laki-laki (Polan dan Taylor,
2007). Remaja perempuan mengalami pertumbuhan fisik secara pesat pada
usia 10 tahun dan paling cepat terjadi pada usia 12 tahun. Sedangkan pada
remaja laki-laki, 2 tahun lebih lambat dari pada remaja perempuan.
Namun, remaja laki-laki mengalami pertambahan tinggi badan 12-15 cm
dalam waktu 1 tahun pada usia 13 tahun atau menjelang 14 tahun (Depkes
RI, 2007).

Pertumbuhan karakteristik seksual primer diawali dengan pertumbuhan


gonads atau kelenjar reproduksi. Proses pematangan gonads dipengaruhi
oleh kelenjar pituitari anterior (adenohypophysis) dan dimulai pada masa
pubertas. Kelenjar pituitari mensekresikan hormon yang dapat
menstimulasi kelenjar reproduksi. Pada laki-laki, kelenjar reproduksi
disebut testis. Testis berfungsi untuk memproduksi sperma dan hormon
testosteron. Proses ejakulasi pada remaja laki-laki mencirikan bahwa
organ reproduksinya sudah matang. Pertumbuhan organ kelamin laki-laki
(penis) pun mengalami pembesaran seiring dengan pertumbuhan fisik
remaja. Sedangkan, pada perempuan kelenjar reproduksinya disebut
ovarium. Ovarium berfungsi memproduksi sel-sel ovum (sel telur),
hormon estrogen dan hormone progesteron. Menstruasi pertama kali atau
menarche, mengindikasikan bahwa perempuan sudah mampu
bereproduksi. Proses menstruasi berulang setiap bulan kira-kira setiap 21-
28 hari dan berlangsung kira-kira selama 3-7 hari (Polan dan Taylor,
2007).

18
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
19

Kepedulian remaja terhadap kebersihan diri selama menstruasi masih


terabaikan. Padahal penyakit Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) seperti
kandidiasis vagina, trikomoniasis, servisitis, dan kanker serviks dapat
terjadi kepada siapa saja, terutama remaja putrid (Setyanti, 2011). Menurut
penelitian yang dilakukan Aryani (2009) terhadap siswa di pesantren
ditemukan perilaku higiene menstruasi remaja dengan teknik yang benar
37.2% dan pengetahuan remaja dalam perilaku higiene menstruasi baik
47.7%. Perilaku penggantian pembalut selama menstruasi dikategorikan
kurang, hal ini disebabkan oleh faktor kemalasan, kurang pengetahuan dan
kurang kesadaran untuk mengganti pembalut minimal 4 kali sehari.
Perilaku remaja melakukan gerakan membersihkan vulva dari depan ke
belakang hanya 3.5% siswa yang melaksanakannya dengan benar. Hasil
penelitian ini menunjukkan kurangnya kebersihan organ reproduksi remaja
selama menstruasi.

Pada remaja akan timbul karakteristik seksual sekunder. Karakteristik


seksual sekunder ini dipengaruhi oleh produksi hormon kelenjar
reproduksi estrogen pada perempuan dan testosteron pada laki-laki. Pada
remaja perempuan perubahan fisik ditandai oleh ciri-ciri kewanitaan
dengan membesarnya payudara hingga terbentuknya puting dan areola.
Pertumbuhan rambut pada area pubis kemudian semakin lanjut rambut
akan berwarna gelap, keriting, kasar dan berdistribusi meluas membentuk
segitiga terbalik pada seluruh area pubis. Selain di area pubis, rambut juga
tumbuh di lipatan ketiak. Pinggul remaja perempuan mengalami
pembesaran dan suaranya menjadi lebih halus (Depkes RI, 2007; Sarwono,
2011). Pada remaja laki-laki akan muncul rambut pada pubis, ketiak,
wajah (kumis, cambang, jenggot), kaki dan dada. Pertumbuhan jakun dan
suara yang berat serta penambahan massa otot tubuh.

Perkembangan kelenjar kulit pada masa remaja menstimulasi kelenjar


merocrine dan kelenjar apocrine untuk mensekresi keringat lebih banyak
dari biasanya. Kelenjar merocine tersebar meluas di seluruh permukaan

19
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
20

kulit sedangkan kelenjar apocrine terletak pada area ketiak, area payudara,
genital dan bagian anal. Hal inilah yang menyebabkan bau badan pada
remaja. Kelenjar sebaceous memproduksi minyak lebih cepat pada masa
remaja dibandingkan proses pembuangannya melalui pori-pori kulit.
Hasilnya terjadi sumbatan pada pori-pori kulit sehingga menimbulkan
jerawat (Rice dan Dolgin, 2008).

Permasalahan bau badan pada masa remaja merupakan hal yang umum,
namun apabila bau badan yang berlebihan dapat menimbulkan rasa kurang
percaya diri. Bau badan timbul karena perpaduan sekresi keringat dengan
bakteri yang ada dipermukaan kulit yang menghasilkan aroma kurang
sedap. Produksi keringat semakin banyak pada saat stress, aktivitas,
ovulasi dan diet makanan tertentu (Gittleman, 2000). Remaja sering
merasa cemas dan tidak percaya diri dengan aroma bau badan yang tidak
sedap (Cohn, 1994; Mayer, 2008). Aktivitas fisik remaja di sekolah seperti
olahraga, bermain, dan stress saat ulangan dapat menghasilkan keringat
lebih banyak dari biasanya. Kebersihan pakaian seragam sekolah yang
basah karena keringat harus segera diganti dan dicuci bersih. Bila tetap
digunakan terus menerus dapat menjadi sumber pertumbuhan bakteri dan
jamur, sehingga berisiko untuk mengalami penyakit kulit.

Penggunaan topi, sisir, kaus kaki, handuk, pakaian dan sepatu dengan
teman di sekolah, secara bergantian dapat berisiko terhadap penyakit kulit
seperti infeski bakteri dan jamur pada area kulit, rambut dan kuku (Maurer
& Smith. 2005). Pola kebersamaan remaja tersebut dapat menimbulkan
masalah kesehatan. Namun, remaja sering menyepelekan masalah
kesehatan yang ditimbulkan dari penggunaan alat secara bersama-sama.

Perilaku cuci tangan menggunakan sabun pada remaja di sekolah masih


kurang dilakukan dengan baik dan benar. Padahal cuci tangan dengan
sabun membantu mengurangi kontak dengan mikroorganisme penyebab
jerawat, penyakit menular, penyakit kulit. Pengetahuan dan kepedulian

20
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
21

remaja terhadap pelaksanaan cuci tangan dengan sabun masih kurang


dilakukan di sekolah. Sarana yang mendukung belum lengkap tersedia di
sekolah, seperti belum tersedianya sabun dan air mengalir untuk
memfasilitasi siswa melaksanakan cuci tangan.

Perkembangan organ tubuh masa remaja mengalami perubahan. Organ


paru-paru mengalami peningkatan berat dan volume, menyebabkan
kecepatan pernafasan menurun dan peningkatan pergerakan paru-paru.
Organ jantung pun mengalami peningkatan ukuran dan kekuatan. Pada
masa remaja, denyut jantung mengalami penurunan, peningkatan volume
darah dan tekanan darah (DeLaune dan Ladner, 2011). Ukuran dan
kapasitas organ pencernaan mengalami peningkatan. Masa remaja sebagai
proses masa pertumbuhan yang pesat memerlukan asupan makanan sehari-
hari yang sehat. Banyak penelitian tentang nutrisi menunjukkan bahwa
selama masa remaja banyak yang mengalami ketidakcukupan nutrisi,
seperti kebutuhan kalsium, besi, protein, dan vitamin (Venkdeswaran,
2000 dalam Rice dan Dolgin, 2008).

Menurut Depkes RI (2007), perilaku yang salah tentang nutrisi remaja,


dihubungkan dengan perilaku remaja jajan sembarangan, makan di luar
rumah bersama teman sebayanya dan remaja sering melewatkan waktu
sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Remaja putri memiliki
kebiasaan menghindari beberapa jenis makanan tertentu dengan tujuan
agar tidak mudah kegemukan. Body image berbadan langsing menjadikan
patokan remaja untuk berdiet secara ketat. Perilaku ini menyebabkan
kebutuhan nutrisi remaja tidak tercukupi dengan sempurna. Akibat yang
ditimbulkan adalah anemia, kurang energi kronik (KEK) dan obesitas.

2.2.2.2 Risiko sosial


Risiko sosial remaja dihubungkan dengan perubahan psikososial. Tugas
perkembangan remaja pada perkembangan psikososialnya adalah mencari
identitas diri. Menurut Erikson (1968, dalam Potter & Perry, 2009),

21
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
22

kebingungan remaja dalam mencari identitas diri merupakan tahap yang


kritis pada remaja. Remaja sering menunjukkan hal yang berbeda pada
lingkungannya, hal ini merupakan bentuk kebingungan identitas diri
remaja. Remaja membutuhkan kebebasan dalam menentukan
keputusannya, gaya hidup dan pendidikan yang ingin ditempuhnya.
Pencarian identitas diri remaja dilakukan dengan mencoba segala hal. Pada
tahap ini remaja membutuhkan dukungan dan penerimaan dari
lingkungannya baik orang tua maupun sekolah. Namun, orang tua banyak
yang belum memahami perubahan psikososial remaja ini sehingga sering
memberikan tekanan kepada remaja untuk mengikuti kemauan orang tua.
Hal ini yang menyebabkan remaja sering memberontak kepada orang tua
(Sarwono, 2011).

Remaja lebih mementingkan bersama teman sebayanya, baik di sekolah


maupun di masyarakat remaja selalu tampak berkelompok. Remaja
menemukan dukungan dan penerimaan diri pada kelompok sebaya
dibandingkan dengan orang tuanya. Menurut Sarwono (2011), orang tua
harus memberikan remaja kebebasan namun terkontrol, karena tidak
semua kelompok sebaya memberikan dukungan positif. Pengaruh negatif
kelompok sebaya seperti merokok, membolos, jajan sembarangan, kebut-
kebutan di jalan, minum alkohol, seks bebas dan penggunaan obat
terlarang.

Merokok merupakan perilaku meniru remaja dari teman-temannya.


Berawal dari mencoba-coba kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Menurut
Song et al (2009), persepsi remaja yang percaya bahwa dampak jangka
panjang dan jangka pendek risiko merokok akan mempercepat 3.64 kali
dan 2.68 kali remaja untuk memulai merokok. Bahkan, persepsi remaja
yang percaya merokok lebih banyak memberikan keuntungan dari pada
kerugian mempercepat 3.31 remaja untuk memulai merokok. Persepsi ini
harus diperbaiki oleh perawat komunitas, agar remaja tidak mudah
terpengaruh untuk memulai merokok.

22
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
23

2.2.2.3 Resiko ekonomi


Konsep risiko ekonomi memiliki keterkaitan dengan perubahan
psikososial. Konsep remaja yang lebih sering bersama kelompok dapat
memberikan tekanan tersendiri pada remaja. Menurut Sarwono (2011),
sikap meniru remaja terhadap teman-temannya menuntut remaja untuk
ingin mengikuti tren yang ada pada kelompoknya dan biasanya cenderung
konsumtif. Permintaan remaja kepada orang tua untuk memenuhi
keinginnya seperti hiburan, jajan dan barang mewah menyebabkan
timbulnya konflik. Sikap remaja yang meniru teman sebayanya dan belum
pahamnya remaja akan kebutuhan penting dan tidak penting tersebut perlu
dikomunikasikan dengan baik (Depkes RI, 2007). Oleh karena itu
diperlukan peran perawat komunitas sebagai penengah antara orang tua
dan remaja.

2.2.2.4 Resiko gaya hidup


Gaya hidup remaja dihubungkan nilai, kebiasaan dan persepsi remaja
dalam berperilaku sehat. Remaja di sekolah mendapatkan banyak
pengaruh dari lingkungan teman-temannya. Nilai yang dipegang remaja
sebagai panduan hidup telah terbentuk saat di dalam keluarga. Pola
kebiasaan keluarga juga ikut membentuk pola kebiasaan remaja. Pola
kebiasaan yang paling sederhana adalah perilaku cuci tangan dengan
menggunakan sabun dan air mengalir. Orang tua selama ini sering tidak
memberikan contoh langsung dan menjelaskan manfaat kepada remaja
cara mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir. Sabun
berfungsi membunuh dan melepaskan mikroorganisme yang menempel di
tangan sedangkan air mengalir berfungsi melepaskan dan mengalirkan
mikroorganisme.

Menurut Scarborough (2002), perilaku cuci tangan sering tidak terlaksana


dengan baik di sekolah, karena terkendala dengan fasilitas. Sehingga, pola
perilaku tersebut tidak dibiasakan di sekolah. Padahal, lingkungan sekolah

23
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
24

banyak sekali berinteraksi debu dan keringat. Konsep cuci tangan sebelum
makan sering diartikan dengan mencuci tangan dengan air saja tanpa
sabun. Tentu, perilaku ini belum dapat melepaskan mikroorganisme di
tangan dan berisiko menimbulkan berbagai penyakit menular seperti
influenza, diare, kecacingan dan demam typus.

Perilaku cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir


merupakan salah satu indikator PHBS. Tantangan penerapan PHBS adalah
tidak konsistennya penerapan seluruh indikator pada semua tatanan.
Penerapan perilaku cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sering tidak
konsisten dilakukan di sekolah dan di rumah. Hal ini menyebabkan siswa
kebingungan dalam menerapkannya baik di sekolah ataupun di rumah.
Oleh karena itu, program promosi kesehatan PHBS hendaknya
dilaksanakan dengan tindakan nyata secara konsisten dan
berkesinambungan oleh seluruh masyarakat pada seluruh tatanan (Depkes,
2009).

Menurut Saifah (2011), peran keluarga dan media massa merupakan


pengaruh dominan anak usia sekolah dalam berperilaku gizi. Perilaku gizi
ini terkait dengan perilaku gizi seimbang yang terdiri dari variasi
makanan, pola hidup bersih, olah raga teratur dan pemantauan berat badan
ideal. Pendapat lain disampaikan oleh Neumark-Sztainer, Story, Mary, dan
Casey (1999), remaja pada umunya memiliki pengetahuan tentang gizi
seimbang termasuk memperbanyak mengkonsumsi sayur dan buah.
Namun, besarnya pengaruh teman yang mengajak untuk mencoba
makanan yang tinggi kalori dan lemak menjadi sulit bagi remaja untuk
tidak mengikutinya. Sehingga penerapan remaja untuk berperilaku gizi
seimbang tidak terlaksana dengan baik.

2.2.2.5 Resiko kejadian hidup


Proses perubahan transisi remaja dari masa anak-anak menuju dewasa
menimbulkan banyak risiko kesehatan. Perubahan peran baru, pola

24
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
25

komunikasi, perilaku dan harapan orang tua kepada remaja menjadi


stressor tersendiri pada remaja. Remaja harus dapat beradaptasi dengan
perubahan tersebut. Sehingga remaja dapat beraktivitas dan menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya sebagai siswa sekolah dapat berjalan dengan
baik dan lancar (Stanhope & Lancaster, 2004).

2.3 Konsep Persepsi


2.3.1 Pengertian persepsi
Persepsi adalah kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokkan,
memfokuskan dan sebagainya disebut sebagai kemampuan untuk
mengorganisasikan pengamatan (Sarwono, 1976). Menurut Robbins
(2003) persepsi adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu dalam
mengorganisasikan dan mengintepretasikan kesan-kesan yang ditimbulkan
dari panca indera mereka untuk memberikan arti atau makna dari
lingkungan di sekitar mereka. Pendapat lain, disampaikan oleh
Djiwatampu, Indirasari dan Respati (2004), persepsi adalah proses
pemberian makna terhadap informasi dari lingkungan. Pengertian persepsi
tidak bisa dipisahkan dari pengertian sensasi, karena kedua makna kata
tersebut saling berhubungan. Sensasi adalah proses penerimaan energi
stimulus dari lingkungan luar.

Menurut Santrock (2005), rangsangan dapat berbentuk energi fisik seperti


cahaya, suara, dan panas. Rangsangan tersebut kemudian dideteksi oleh sel
reseptor yang ada pada panca indera manusia (mata, telinga, kulit, hidung
dan lidah). Setelah rangsangan diterima dan dinyatakan oleh sel reseptor
sebagai stimulus selanjutnya energi stimulus tersebut diubah menjadi
impuls electrochemical. Proses ini disebut transduction, aksi penghantaran
informasi stimulus melalui sistem syaraf menuju ke otak dan informasi
dilanjutkan ke area yang sesuai pada cerebral cortex. Otak akan
memberikan arti dari sensasi tersebut melalui persepsi. Persepsi adalah
proses pengorganisasian dan penginterpretasi informasi sensori untuk
diartikan (Santrock, 2005).

25
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
26

Menurut pengertian dari beberapa ahli, penulis simpulkan secara


sederhana yaitu setiap individu dalam kehidupan sehari-hari akan
menerima stimulus atau rangsang berupa informasi, peristiwa. Objek dan
lainnya yang berasal dari lingkungan sekitar, stimulus, atau rangsang
tersebut akan diberi makna atau arti oleh individu, proses pemberian
makna atau arti tersebut dinamakan persepsi.

Proses pembentukan sensasi dan persepsi dapat terjadi melalui dua cara.
Cara yang disampaikan di atas adalah proses bottom-up yaitu reseptor
sensori menerima informasi dari lingkungan luar dan mengirimkan
informasi tersebut ke otak untuk dianalisa dan diinterpretasikan. Cara yang
kedua disebut proses top-down, cara ini dimulai melalui cognitive
processing pada level yang lebih tinggi di dalam otak. Proses kognitif
tersebut meliputi pengetahuan, keyakinan dan harapan. Proses top-down
ini tidak terjadi pendeteksian stimulus seperti pada proses bottom-up
(Santrock, 2005).

2.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi


Persepsi antara individu satu dengan individu lainnya pasti memiliki
perbedaan walaupun objek yang diamati sama. Perbedaan tersebut
dipengaruhi oleh faktor orang yang mempersepsikan (the perceiver), objek
atau target yang akan dipersepsikan (the target) dan situasi saat persepsi
tersebut dibuat (the situation). Individu yang sedang melihat objek
kemudian membuat intepretasi dari objek tersebut berdasarkan
karakteristik personal dari penerimaan individu tersebut. Karakteristik
personal individu tersebut akan memepengaruhi persepsi. Karakteristik
personal terdiri dari sikap, motives, kepentingan, pengalaman masa lalu
dan harapan.

Objek atau target yang dipersepsikan mempengaruhi persepsi individu


meliputi motion, ukuran, suara, dan atribut lainnya yang ada pada objek/

26
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
27

target tersebut. Latar belakang dari target dan hubungan target dengan
latar belakang dapat mempengaruhi persepsi. Kecenderungan individu
akan mengelompokkan hal-hal yang terdekat atau yang memiliki
kesamaan. Orang, objek dan kejadian yang memiliki karakter yang sama
kecenderungan untuk dikelompokkan bersama-sama. Semakin mirip/ sama
akan semakin besar untuk dipersepsikan sebagai kelompok yang biasa atau
wajar. Situasi saat objek atau kejadian diobservasi merupakan hal yang
penting. Elemen yang ada disekitar lingkungan mempengaruhi persepsi
individu. Situasi akan mempengaruhi persepsi individu. Waktu saat objek
atau kejadian dilihat dapat mempengaruhi perhatian, seperti lokasi,
pencahayaan, panas dan berbagai faktor situasi lainnya.

Menurut Sarwono (1976), objek yang sama dapat dipersepsikan berbeda


oleh dua (atau lebih) orang yang berbeda-beda, perbedaan persepsi dapat
disebabkan oleh hal-hal di bawah ini:

2.3.2.1 Perhatian
Seseorang biasanya kita tidak menangkap seluruh rangsang yang ada di
sekitarnya sekaligus, tatapi memfokuskan perhatian pada satu atau dua
objek saja. Perbedaan fokus antara satu orang dengan orang lainnya
menyebabkan perbedaan persepsi antara orang satu dengan orang yang
lainnya

2.3.2.2 Set
Harapan seseorang akan rangsang yang akan timbul. Misalnya pada
seorang pelari yang siap di garis start terdapat set bahwa akan terdengar
bunyi pistol di saat mana ia harus mulai berlari. Perbedaan set dapat
menyebabkan perbedaan persepsi.

27
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
28

2.3.2.3 Kebutuhan
Kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang, akan
mempengaruhi persepsi orang tersebut. Dengan demikian, kebutuhan yang
berbeda-beda akan menyebabkan pula perbedaan persepsi.

2.3.2.4 Sistem nilai


Sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula
terhadap persepsi. Suatu eksperimen di Amerika Serikat, menunjukkan
bahwa anak anak yang berasal dari keluarga miskin mempersepsikan mata
uang logam dengan nilai nominal lebih besar dari ukuran sebenarnya.
Gejala ini tidak terdapat pada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya.

2.3.2.5 Ciri kepribadian


Ciri kepribadian akan mempengaruhi pula persepsi. Misalnya A dan B
bekerja di satu kantor yang sama di bawah pengawasan satu orang atasan.
A yang pemalu dan penakut, akan mempersepsikan atasannya sebagi
tokoh yang menakutkan dan perlu dijauhi, sedangkan B yang punya lebih
banyak kepercayaan diri, menganggap atasannya sebagi tokoh yang dapat
diajak bergaul seperti orang biasa lainnya.

Pendapat lain disampaikan oleh Wade dan Travis (2008), faktor-faktor


psikologis yang dapat mempengaruhi manusia dalam mempersepsikan
sesuatu terdiri dari kebutuhan, kepercayaan, emosi, ekspektasi dan budaya.
Setiap manusia membutuhkan sesuatu, memiliki ketertarikan akan suatu
hal atau menginginkannya, sehingga manusia dengan mudah
mempersepsikan sesuatu berdasarkan kebutuhan tersebut.

Kepercayaan adalah apa yang dianggap manusia benar. Kepercayaan dapat


mempengaruhi interpretasinya pada suatu hal. Sedangkan emosi dapat
mempengaruhi intepretasi manusia mengenai suatu informasi sensorik.
Emosi negatif seperti marah, takut, sedih atau depresi dapat

28
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
29

memperpanjang persepsi sakit seseorang. Berbeda dengan emosi positif


dapat menutupi persepsi sakit seseorang.

Pengalaman masa lalu sering mempengaruhi cara manusia


mempersepsikan. Kecenderungan mempersepsikan sesuatu sesuai dengan
harapan disebut set persepsi. Dan budaya dapat mempengaruhi persepsi
seseorang dengan membentuk streotipe, yang mengarahkan perhatian, dan
mengatakan pada diri manusia apa yang penting untuk disadari atau
diabaikan.

2.4 Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)


2.4.1 Pengertian UKS
Usaha Kesehatan Sekolah adalah program yang langsung berhubungan
dengan anak sekolah dengan keterpaduan lintas program dan sektor dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan serta membentuk perilaku hidup
sehat sekolah baik di sekolah dan perguruan agama (madrasah) (Effendy,
1998). Sejarah berdirinya UKS berawal dari pilot project di Jakarta dan
Bekasi pada tahun 1956 antara Departemen Kesehatan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Dalam Negeri. Proyek ini
akhirnya berkembang hingga dibentuknya Surat Keputusan Bersama 4
Menteri tahun 1984 dan diperbaharui pada tahun 2003 (Direktorat Bina
Kesehatan Anak Kemenkes RI, 2011).

Tujuan UKS adalah meningkatkan mutu pendidikan dan prestasi belajar


peserta didik dengan meningkatkan PHBS, derajat kesehatan peserta didik
dan menciptakan lingkungan yang sehat sehingga memungkinkan
pertumbuhan dan perkembangan yang harmonis dan optimal manusia
dalam rangka pembentukan Indonesia seutuhnya (SKB 4 Menteri, 2003).
Sasaran program UKS terdiri dari siswa, guru, staf sekolah, orang tua
siswa, komite sekolah dan masyarakat. UKS diharapkan dapat menjadi
sumber promosi kesehatan bagi semua masyarakat sekolah untuk
bekerjasama memberikan perlindungan kesehatan kapada siswa.

29
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
30

2.4.2 Ruang Lingkup UKS


Pembinaan dan pengembangan UKS di sekolah dilaksanakan melalui tiga
program pokok yang mencakup ruang lingkup UKS yang disebut trias
UKS. Trias UKS berupaya untuk meningkatkan kesadaran hidup sehat dan
derajat kesehatan siswa dengan menanamkan prinsip hidup sehat sedini
mungkin melalui pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan
pembinaan lingkungan sekolah sehat (Efendi & Makhfudli, 2009).

2.4.2.1 Pendidikan Kesehatan


Pendidikan kesehatan adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar
dapat tumbuh kembang sesuai, selaras, seimbang dan sehat baik fisik,
mental, sosial maupun lingkungan melalui bimbingan, pengajaran dan
latihan yang diperlukan perannya saat ini maupun di masa datang (Efendi
& Makhfudli, 2009). Pendidikan kesehatan di sekolah dapat diterapkan
dalam bentuk intrakurikuler dan ekstrakurikuler (Direktorat Bina
Kesehatan Anak Kemenkes RI, 2011). Pendidikan kesehatan
intrakurikuler dapat diberikan pada saat pelajaran sekolah yang sesuai
dengan kurikulum yang berlaku di jenjang sekolah dan diintegrasikan pada
mata pelajaran seperti ilmu pengetahuan alam, agama dan penjaskes.
Sedangkan kegiatan ekstrakurikuler, pendidikan kesehatan dapat diberikan
pada kegiatan di luar jam pelajaran kurikulum seperti kegiatan
ekstrakurikuler palang merah remaja, pramuka, kegiatan konseling teman
sebaya.

Materi pendidikan kesehatan di tingkat SMP dapat diberikan melalui


pelatihan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Pelatihan ini
berfokus pada tumbuh kembang remaja, kesehatan reproduksi remaja,
pengenalan konsep gender, penyakit yang terkait dengan reproduksi,
merokok, NAPZA, Pengenalan Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat
(PKHS) dan komunikasi konseling remaja (Depkes RI, 2007). Tujuan
pelatihan PKPR mewujudkan kelompok siswa konselor peduli remaja atau

30
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
31

peer konselor. Peer konselor berfungsi sebagai role model dan konselor
sesama remaja untuk berbagi informasi kesehatan yang berhubungan
dengan masalah pada tumbuh kembang remaja.

Program promosi kesehatan berupa PHBS tatanan sekolah juga dapat


diberikan pada pendidikan kesehatan di sekolah. Materi PHBS tatanan
sekolah dapat dimasukkan kedalam materi PKHS. PHBS tatanan sekolah
mendidik siswa untuk mengenal manfaat perilaku hidup sehat sehingga
dapat diterapkan sedini mungkin oleh siswa di sekolah maupun dalam
kehidupan sehari-hari.

2.4.2.2 Pelayanan Kesehatan


Pelayanan kesehatan sekolah dilaksanakan secara menyeluruh
(komprehensif), mengutamakan kegiatan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Direktorat
Bina Kesehatan Anak Kemenkes RI, 2011). Kegiatan promotif berupa
promosi kesehatan, peningkatan keterampilan, kebugaran jasmani, cara
pengukuran tinggi dan berat badan, serta penyuluhan kesehatan. Kegiatan
preventif dilakukan dengan imunisasi, skrining, penerapan PHBS tatanan
sekolah. Kegiatan kuratif dapat dilakukan dengan pemberian obat-obat
ringan dan pertolongan pertama di sekolah. Kegiatan rehabilitatif berupa
kegiatan mencegah komplikasi dan kecatatan akibat proses penyakit
misalnya dengan melakukan rujukan medis ke puskesmas atau rumah
sakit. Siswa yang telah memperoleh pelatihan PKPR dan UKS bertugas
melakukan pelayanan kesehatan misalnya pengukuran tinggi dan berat
badan, peer konselor dan membantu pemberian pertolongan pertama di
sekolah.

2.4.2.3 Pembinaan Lingkungan Kehidupan Sekolah Sehat


Pembinaan lingkungan sekolah sehat dilakukan dalam rangka menjadikan
sekolah sebagai institusi pendidikan yang dapat menjamin berlangsungnya
proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan kesadaran, kesanggupan

31
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
32

dan keterampilan hidup sehat siswa untuk menjalankan prinsip gaya hidup
sehat (Direktorat Bina Kesehatan Anak Kemenkes RI, 2011). Kegiatan
pembinaan lingkungan sekolah sehat mencakup lingkungan sekolah,
lingkungan keluarga, masyarakat sekitar dan unsur penunjang (Efendi &
Makhfudli, 2009). Pembinaan lingkungan sekolah terdiri dari keadaan
lingkungan fisik sekolah dan lingkungan mental serta sosial yang sehat di
sekolah dengan menjaga hubungan kekeluargaan yang akrab sesama
warga sekolah. Pembinaan lingkungan keluarga bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan orang tua siswa tentang hal-hal yang
berhubungan dengan kesehatan serta meningkatkan partisipasi orang tua
siswa dalam pelaksanaan hidup sehat. Pembinaan lingkungan masyarakat
sekitar sekolah dengan menjaga kedekatan hubungan kemasyarakatan
seperti ketua RT/RW, kelurahan, kecamatan dan puskesmas setempat.
Pembinaan unsur penunjang terdiri dari pembinaan ketenagaan dan
pembinaan sarana serta prasarana yang mendukung UKS di sekolah.

2.5 Promosi Kesehatan


2.5.1 Pengertian Promosi Kesehatan
Perkembangan awal promosi kesehatan di Indonesia setelah
diselenggarakannya konferensi internasional pertama tentang Health
Promotion di Ottawa, Kanada. Perkembangan dunia internasional tersebut
menghasilkan Piagam Ottawa yang menjadi acuan promosi kesehatan di
Indonesia (Depkes RI, 2009). Oleh karena itu, nama Pusat Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat yang merupakan lembaga di bawah Departemen
Kesehatan berubah nama menjadi Pusat Promosi Kesehatan (Fitriani,
2011). Barulah istilah promosi kesehatan popular digunakan di Indonesia.
Istilah tersebut sesuai dengan kondisi saat ini yang mengacu pada
paradigm sehat.

Menurut WHO dalam Fitriani (2011), promosi kesehatan adalah upaya


meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh
dan bersama masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri,

32
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
33

serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai


sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang
berwawasan kesehatan. Promosi kesehatan merupakan upaya promotif
(peningkatan) sebagai perpaduan upaya preventif (pencegahan), kuratif
(pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan) dalam rangkaian pelayanan
kesehatan yang komprehensif (Depkes RI, 2008). Strategi promosi
kesehatan tersebut disusunlah program operasional dengan nama Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) (Depkes RI, 2009). Penerapan PHBS
pada lima tatanan di masyarakat diharapkan dapat mewujudkan individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat hidup sehat. Tatanan PHBS dilakukan
di rumah tangga, sekolah, tempat kerja, tempat umum dan institusi
kesehatan.

2.5.2 Strategi Promosi Kesehatan


Upaya promosi kesehatan dilakukan dengan tiga strategi yaitu advokasi,
bina suasana dan gerakan masyarakat (empowerment) (Depkes RI, 2008).
Strategi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
(sinergis) namun memiliki fokus yang berbeda-beda (Fitriani, 2011).

2.5.2.1 Advokasi
Advokasi kesehatan adalah pendekatan kepada pimpinan atau pengambil
keputusan agar dapat memberikan dukungan kemudahan, perlindungan
pada upaya pembangunan kesehatan (Fitriani, 2011). Sasaran advokasi
meliputi perorangan dan publik. Sasaran perorangan dilakukan melalui
komunikasi interpersonal sedangkan sasaran publik melalui media massa
dan kampanye. Tujuan advokasi terdiri dari: mempengaruhi peraturan dan
kebijakan yang mendukung promosi kesehatan; mempengaruhi pihak lain
(lintas sektor, lintas program, LSM, profesional) agar mendukung kegiatan
promosi kesehatan melalui kemitraan dan jaringan kerja; meningkatkan
kerjasama antara masyarakat dan pemerintah serta menggalang dukungan
lewat pendapat umum melalui media komunikasi. Hasil yang diharapkan
adanya dukungan politik dari pemegang keputusan dalam bentuk instruksi

33
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
34

maupun surat keputusan maupun himbauan untuk melaksanakan promosi


kesehatan dan PHBS, adanya anggaran rutin yang dinamis dari APBD
dalam pelaksanaan promosi kesehatan, adanya indikator PHBS dalam
perencanaan daerah.

2.5.2.2 Bina Suasana


Bina suasana adalah menjalin kemitraan untuk pembentukan opini publik
dengan berbagai kelompok opini yang ada di masyarakat seperti tokoh
masyarakat, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, media massa,
organisasi profesi dan pemerintah (Fitriani, 2011). Hasil yang diharapkan
terciptanya opini, etika, norma dan kondisi masyarakat yang mendukung
promosi kesehatan dan PHBS serta terciptanya dukungan kebijakan untuk
promosi kesehatan.

2.5.2.3 Gerakan atau pemberdayaan masyarakat


Pemberdayaan masyarakat adalah cara untuk menumbuhkan dan
mengembangkan norma yang membiat masyarakat mampu untuk
berperilaku hidup bersih dan sehat (Fitriani, 2011). Tujuannya adalah
menumbuhkembangkan potensi masyarakat yang artinya segala potensi
masyarakat perlu dioptimalkan untuk mendukung dan membudayakan
hidup bersih dan sehat. Hssil yang diharapkan adalah peningkatan
kemampuan dan kemandirian masyarakat agar dapat mengembangkan diri
dan memperkuat sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai kemajuan
dalam PHBS.

2.6 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)


2.6.1 Pengertian PHBS
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah kumpulan perilaku yang
dipraktikkan atas dasar kesadaran sendiri sebagai hasil pembelajaran
perilaku hidup bersih dan sehat yang diterapkan pada lima tatanan yaitu
tatanan rumah tangga, sekolah, institusi kesehatan, tempat kerja serta
tempat umum. Program ini mengajarkan dan menciptakan kondisi bagi

34
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
35

perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan memberikan


komunikasi, informasi dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap dalam perilaku hidup bersih dan sehat melalui
pendekatan pimpinan (advokasi), bina suasana (social support) dan
pemberdayaan masyarakat (empowerment) (Depkes RI, 2008).

Penerapan PHBS dilakukan pada 5 tatanan yaitu tatanan rumah tangga,


tatanan sekolah, tatanan institusi kesehatan, tatanan tempat kerja dan
tatanan tempat umum (Depkes RI, 2008). Setiap tatanan PHBS terdapat
indikator PHBS yang berfungsi untuk mengukur kondisi atau keadaan
PHBS di setiap tatanan. Indikator PHBS pada setiap tatanan harus
diterapkan secara terpadu dan sinergis dalam kehidupan sehari-hari.

2.6.2 PHBS di Rumah Tangga


Penerapan PHBS di rumah tangga adalah upaya memberdayakan anggota
rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan PHBS serta
berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat (Depkes RI, 2008).
Rumah tangga adalah wahana atau tempat bapak, ibu dan anak-anak serta
anggota keluarga lainnya dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari (Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 2010). Oleh karena itu, dengan
menerapkan PHBS di rumah tangga diharapkan seluruh individu di dalam
keluarga mampu mempraktikkan PHBS dalam kegiatan sehari-hari baik di
rumah maupun di luar rumah.

Indikator PHBS di rumah tangga terdiri dari tujuh indikator PHBS di


rumah tangga dan tiga indikator gaya hidup sehat (Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Barat, 2010). Penerapan sepuluh indikator PHBS di rumah
tangga bermanfaat dalam meningkatkan kesehatan anggota keluarga
sehingga alokasi dana kesehatan dapat digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan gizi, pendidikan dan pendapatan keluarga. Indikator PHBS ini
tidak hanya diterapkan di rumah tangga saja, namun dilaksanakan di
seluruh tatanan agar memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat.

35
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
36

2.6.3 PHBS di Sekolah


Penerapan PHBS di sekolah adalah salah satu upaya strategis untuk
menggerakkan dan memberdayakan sekolah dan lingkungannya untuk
hidup bersih dan sehat. Sekolah yang ber-PHBS akan membentuk siswa
yang sehat dan cerdas. Anak yang sehat dan cerdas merupakan aset dan
modal pembangunan kesehatan di masa depan. Pelaksanaan PHBS sekolah
dibagi dalam tiga tahapan, yaitu PHBS di sekolah strata pratama, PHBS di
sekolah strata madya dan PHBS di sekolah strata utama (Dinkes Propinsi
Jawa Barat, 2009).

Indikator PHBS di sekolah secara nasional terdiri dari delapan indikator.


Indikator PHBS di sekolah memiliki kesamaan enam indikator dengan
PHBS di rumah tangga yang terdiri dari: (1) mencuci tangan dengan air
mengalir dan menggunakan sabun; (2) menggunakan jamban yang bersih
dan sehat; (3) olahraga yang teratur dan terukur; (4) memberantas jentik
nyamuk; (5) tidak merokok di sekolah; (6) menimbang berat badan dan
mengukur tinggi badan. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanan PHBS
dilaksanakan dengan konsisten dan berkesinambungan pada seluruh
tatanan (Depkes RI, 2009).

Indikator nasional PHBS sekolah terdiri dari delapan indikator. Pada


tingkat daerah, indikator PHBS sekolah mengalami penambahan jumlah
indikator menjadi 14 indikator. Indikator tersebut di bagi ke dalam strata
pelaksanaan PHBS sekolah (Tabel 2.1). Pada penjelasan di bawah ini
indikator yang akan dijelaskan indikator PHBS di sekolah secara nasional
dan kebersihan diri siswa sekolah (rambut, pakaian, kuku dan sepatu). Hal
ini terkait dengan faktor risiko dan perubahan yang terjadi pada remaja di
sekolah.

36
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
37

Tabel 2.1 Indikator PHBS Sekolah Berdasarkan Strata Pelaksanaannya

Strata Pratama Strata Madya Strata Utama


1 Memelihara rambut Perilaku strata Perilaku stata
agar bersih dan rapi Pratama, ditambah: Madya, ditambah:
2 Memakai pakaian 8∗ Memberantas jentik 13∗ Mengkonsumsi
bersih dan rapi nyamuk jajanan sehat dari
kantin sekolah
3 Memelihara kuku 9∗ Menggunakan 14∗ Menimbang berat
agar selalu pendek jamban yang bersih badan dan
dan bersih dan sehat mengukur tinggi
badan setiap
bulan
4 Memakai sepatu 10 Menggunakan air
bersih dan rapi bersih
5∗ Berolahraga teratur 11∗ Mencuci tangan
dan terukur dengan air mengalir
dan memakai sabun
6∗ Tidak merokok di 12∗ Membuang sampah
sekolah ke tempat sampah
yang terpilah
(sampah basah,
sampah kering,
sampah berbahaya)
7. Tidak menggunakan
napza
Sumber: Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 2009
∗ Merupakan indikator PHBS secara nasional

2.6.3.1 Mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun


Seluruh anggota masyarakat sekolah (siswa, guru, staf sekolah) harus
mencuci tangan sebelum makan, sesudah buang air besar/ sesudah buang
air kecil, sesudah beraktivitas dan/atau setiap kali tangan kotor dengan
memakai sabun dan air bersih yang mengalir. Air bersih yang mengalir
akan membuang kuman-kuman yang ada pada tangan kotor, sedangkan
sabun selain membersihkan kotoran juga dapat membunuh kuman yang
ada di tangan. Diharapkan tangan menjadi bersih dan bebas dari kuman
serta dapat mencegah terjadinya penularan penyakit diare, demam tifoid,
kecacingan, penyakit kulit, ISPA dan flu burung (Depkes RI, 2008).

Mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun dapat menguranngi angka
diare sebanyak 45% dan mampu menurunkan kasus ISPA serta flu burung

37
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
38

hingga 50% (CDC, 2008). Penelitian di Columbia yang dilakukan Lopez-


Quintero, Freeman dan Neumark (2009) pada siswa SD dan SMP, siswa
yang melaksanakan cuci tangan menggunakan air dan sabun 33.6% dan
siswa yang benar secara rutin mencuci tangan menggunakan sabun dan air
mengalir di sekolah sebesar 7%. Penyebab kurangnya fasilitas sekolah
untuk menyediakan sabun di setiap toilet menyebabkan penerapan cuci
tangan pakai sabun dan air mengalir belum terlaksana dengan baik.
Penelitian ini juga menjelaskan bahwa perilaku siswa yang melakukan
cuci tangan dengan air mengalir dan sabun, menurunkan prevalensi
penyakit pencernaan sebesar 0.8 kali dan menurunkan absensi siswa
karena sakit sebesar 0.7 kali.

Perilaku mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sudah ada di
dalam PHBS tatanan rumah tangga. Sehingga siswa dapat meneruskan
kebiasaan perilaku cuci tangan dengan sabun dan air mengalir tersebut
mulai dari keluarga maupun dari lingkungan sekolah. Harapannya perilaku
tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang berdampak positif bagi
peningkatan kesehatan siswa dan keluarga.

2.6.3.2 Membuang sampah ke tempat sampah yang terpilah


Masyarakat sekolah wajib membuang sampah pada tempat sampah yang
tersedia. Tersedianya tempat sampah memfasilitasi siswa untuk
menerapkan cara membuang sampah yang benar. Siswa juga harus tahu
cara memilah jenis sampah misalnya sampah organic dan non organic
serta jenis sampah berbahaya. Sampah yang berserakan di sekolah, selain
tidak indah dipandang juga dapat menimbulkan penyakit. Membiasakan
membuang sampah pada tempat yang tersedia membantu masyarakat
sekolah terhindar dari berbagi penyakit (Dinas Kesehatan Jawa Barat,
2009).

38
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
39

2.6.3.3 Mengkonsumsi jajanan sehat dari kantin sekolah


Masyarakat sekolah mengkonsumsi jajanan sehat dari kantin/ warung
sekolah atau membawa bekal dari rumah. Sebaiknya sekolah menyediakan
warung sekolah sehat dengan makanan yang mengandung gizi seimbang
dan bervariasi, sehingga membuat tubuh sehat dan kuat, angka
ketidakhadiran anak sekolah menurun dan proses belajar berjalan baik
(Dinas Kesehatan Jawa Barat, 2009).

Perilaku jajan sembarangan pada remaja dapat menimbulkan penyakit


infeksi yang berhubungan dengan gastrointestinal. Menurut Suci (2009),
penyedia jajanan yang dianjurkan oleh pengelola sekolah untuk
dikonsumsi siswa adalah penjual makanan yang berada di kantin
sekolah.Pola kebiasaan makan remaja seperti tidak sarapan pagi, bosan
dengan makanan rumah, orang tua yang tidak membuatkan bekal dan
solidaritas bersama saat jajan dengan teman sebaya merupakan alasan
yang paling sering disampaikan siswa saat jajan di sekolah (Simorangkir,
1994). Jenis jajanan sembarangan yang sering dikonsumsi adalah lontong,
otak-otak, tahu goreng, mie bakso dengan saus, es sirop, sate sosis dengan
saus, empek-empek dan lain sejenisnya. Jajanan yang telah terkontaminasi
mikrobiologis dan zat kimia berbahaya dapat menyebabkan penyakit
hepatitis A, diare, demam typoid dan kecacingan.

Pengetahuan siswa masih kurang dalam memilih jajanan sehat dan aman
di sekolah. Siswa hanya menyadari bahwa jajanan tersebut dapat membuat
kenyang. Padahal keamanan dan kesehatan jajanan tersebut belum
terjamin (Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Kemenkes RI, 2011).
UKS sebagai program kesehatan di sekolah berkewajiban untuk
memberikan pendidikan kesehatan tentang keamanan pangan dan
pengawasan kantin sekolah.

Keamanan pangan adalah kondisi pangan yang aman untuk dikonsumsi.


Menurut WHO (2002) keamanan pangan mencakup pangan yang aman

39
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
40

dari kontaminasi mikroorganisme, kimia, fisik dan dengan sistem


pengolahan yang sesuai standar keamanan untuk dikonsumsi oleh
manusia. Pangan yang beredar di masyarakat harus aman, bermutu dan
bergizi agar masyarakat terlindungi dari pangan yang membahayakan bagi
kesehatan. Kondisi di lapangan produsen pangan informal jumlahnya lebih
banyak dibandingkan dengan produsen pangan formal. Produsen informal
misalnya industri kecil, kaki lima dan industri rumah tangga. Produsen
pangan informal tidak memiliki sistem pengorganisasian pangan sehingga
lebih sulit untuk melakukan pengawasan mutu makanan (Winarno, 2004).

Studi penelitian yang dilakukan oleh Yunaenah (2009) terkait makanan


jajanan di kantin SD wilayah Jakarta Pusat ditemukan 37 kantin (56.92%)
positif terkontaminasi mikroba e-coli pada makanan dan 40 kantin
(61.54%) positif terkontaminasi mikroba e-coli pada minuman. Menurut
Winarno (2004), bahan pewarna yang digunakan dalam makanan jajanan
62% berasal dari zat warna buatan yang tidak diijinkan dan dapat
mengancam kesehatan konsumen. Zat warna dan kontaminasi mikroba
bisa saja digunakan oleh penjual makanan di kaki lima di luar lingkungan
sekolah atau makanan yang dijual di kantin sekolah. Oleh karena itu
dukungan orang tua, guru di sekolah dan perawat komunitas untuk
memberikan pendidikan kesehatan dan pengawasan terhadap jajanan sehat
dan aman di sekolah.

2.6.3.4 Memberantas jentik nyamuk


Memberantas jentik nyamuk, dibuktikan dengan tidak ditemukannya jentik
nyamuk pada tempat penambungan air, bak mandi, gentong air, vas bunga,
pot bunga/ alas pot bunga dan barang-barang bekas/tempat yang dapat
menampung air yang ada di lingkungan sekolah. Kegiatan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) di sekolah dilakukan dengan menguras dan
menutup tempat penampungan air, mengubur barang-barang bekas dan
menghindari gigitan nyamuk. Lingkungan bebas jentik diharapkan dapat
mencegah terkena penyakit akibat gigit nyamuk seperti demam berdarah,

40
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
41

chikungunya, malaria, dan filariasis (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa


Barat, 2009).

2.6.3.5 Berolahraga secara teratur dan terukur


Olahraga teratur dapat memelihara kesehatan fisik dan mental serta
meningkatkan kebugaran tubuh sehingga tubuh tetap sehat dan tidak
mudah jatuh sakit. Olahraga dapat dilakukan di halaman sekolah secara
bersama-sama oleh seluruh masyarakat sekolah (Dinas Kesehatan Propinsi
Jawa Barat, 2009).
.
2.6.3.6 Tidak merokok di sekolah
Merokok berbahaya bagi kesehatan perokok dan orang yang berada di
sekitar perokok. Dalam satu batang rokok yang dihisap akan dikeluarkan
4000 bahan kimia berbahaya diantaranya: nikotin (menyebabkan
ketagihan dan kerusakan jantung serta pembuluh darah), tar (menyebabkan
kerusakan sel paru-paru daan kanker) dan CO (menyebabkan
berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen, sehingga sel-sel
tubuh akan mati). Tidak merokok di lingkungan sekolah dapat
menghindarkan masyarakat sekolah dari kemungkinan terkena penyakit
tersebut di atas (Dinas Kesehatan Jawa Barat, 2009).

Menurut Sun, Anderson, Shah dan Julliard (1998), perilaku merokok


dimulai pada usia 12-15 tahun sampai 16-19 tahun, periode ini terjadi
ketika remaja bersekolah di SMP sampai SMA. Hasil penelitian Yunita
(2008) tentang perilaku merokok siswa SMP di kota Bogor, perilaku
merokok siswa 54,8% dipengaruhi oleh teman sebaya dan usia rata-rata
mulai merokok pada 13-14 tahun. Penelitian ini juga melaporkan bahwa
27% siswa terpengaruh merokok karena iklan rokok yang ditayangkan di
televisi.

41
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
42

2.6.3.7 Menggunakan jamban yang bersih dan sehat


Menggunakan jamban yang bersih dan sehat setiap buang air besar/ buang
air kecil dapat menjaga lingkungan di sekitar sekolah menjadi bersih, sehat
dan tidak berbau. Selain itu, tidak mencemari sumber air yang ada di
sekitar lingkungan sekolah serta menghindari datangnya lalat atau
serangga yang dapat menularkan penyakit seperti diare, demam tifoid,
kecacingan dan penyakit lainnya (Dinas Kesehatan Jawa Barat, 2009).

2.6.3.8 Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap 6 bulan
Kegiatan menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap 6
bulan bertujuan untuk mengoservasi tingkat pertumbuhan remaja. Hasil
pengukuran dan penimbangan berat badan ini dibandingkan dengan
standar berat badan dan tinggi badan sehingga diketahui apakah
pertumbuhan siswa normal atau tidak normal (Dinas Kesehatan Jawa
Barat, 2009).

2.6.3.9 Kebersihan diri siswa di sekolah


Kebersihan diri memiliki hubungan dengan kesehatan fisik dan psikis.
Perubahan fisik pada remaja dan risiko biologi serta usia pada remaja
membutuhkan perawatan dan kebersihan diri agar tidak mudah
menimbulkan risiko kesehatan seperti penyakit kulit dan penyakit
menular. Remaja di sekolah biasanya memiliki perhatian yang lebih
terhadap penampilannya, namun masih banyak yang menyepelekan
kebersihannya.

Menurut Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat (2009), indikator PHBS


sekolah terkait kebersihan diri siswa sekolah adalah kebersihan rambut,
pakaian, kuku dan sepatu. Kebersihan rambut harus dijaga dengan rutin
melakukan cuci rambut secara teratur agar tidak berbau, berkutu dan
kusam. Kerapihan rambut ke sekolah juga harus diperhatikan agar tidak
menggangu dalam proses belajar di kelas. Kebersihan pakaian juga harus
diperhatikan. Pakaian yang tidak dicuci dan kotor merupakan sumber

42
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
43

bakteri dan jamur penyebab penyakit kulit. Kerapihan pakaian dilakukan


dengan cara menyetrika pakaian sebelum digunakan sehingga tampak rapi
dan indah.

Remaja biasanya memiliki perilaku memanjangkan kuku dan mencat kuku


jari tangannya agar tampak menarik. Memelihara kuku yang panjang dapat
menjadi tempat masuk debu, kotoran dan mikroorganisme penyebab
penyakit pencernaan. Oleh karena itu, siswa sekolah harus selalu
memotong kuku seminggu sekali agar tampak bersih dan rapi.

Aktivitas siswa di sekolah seperti berolahraga dan bermain menyebabkan


sepatu yang digunakan menjadi kotor. Oleh karena itu, siswa di sekolah
harus selalu membersihkan kotoran yang ada di sepatunya secara rutin.
Agar kotoran tidak menempel saat masuk ke dalam kelas. Tali sepatu juga
harus selalu ditalikan dengan benar agar tampak rapi.

PHBS sekolah harus diterapkan secara baik dan benar oleh seluruh
masyarakat sekolah (siswa, guru dan staf sekolah). Tujuannya adalah
menciptakan kebersihan dan kesehatan bagi seluruh masyarakat sekolah,
sehingga siswa di sekolah dapat melaksanakan proses belajar mengajar
dengan baik dan mampu meraih prestasi dengan maksimal.

2.6.4 Integrasi konsep UKS, promosi kesehatan, PHBS tatanan rumah


tangga dan sekolah
Keterpaduan program promosi kesehatan dilakukan dengan menerapkan
strategi advokasi, bina suasana dan gerakan masyarakat untuk
menyebarluaskan program operasional PHBS. Penerapan PHBS dilakukan
secara terpadu dan berkesinambungan melalui tatanan yang terkecil di
dalam keluarga dan selanjutnya diteruskan di lingkungan sekolah.
Sehingga PHBS tersebut menjadi sebuah budaya dan kebiasan di dalam
diri siswa. Kebiasan tersebut menjadi kebiasan yang diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari bahkan dalam seluruh tatanan masyarakat. Program

43
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
44

UKS di sekolah melalui tugas pokok pendidikan kesehatan, pelayanan


kesehatan dan pembinaan lingkungan sekolah menjadi jalur masuk
promosi kesehatan PHBS di sekolah. Gambar integrasi konsep UKS.
promosi kesehatan, PHBS tatanan rumah tangga dan sekolah dapat dilihat
pada gambar 2.1 di bawah ini.

Trias UKS:
Strategi Promosi Kesehatan 1. Pendidikan Kesehatan
Advokasi 2. Pelayanan kesehatan
Bina Suasana 3. Pembinaan Lingkungan
Gerakan Masyarakat Sekolah

PHBS di Rumah Tangga PHBS di Sekolah


1. Cuci tangan dengan 1. Cuci tangan dengan
sabun dan air mengalir sabun dan air mengalir
2. Menggunakan jamban 2. Menggunakan jamban
sehat sehat
3. Beraktivitas fisik 3. Olahraga teratur dan
setiap hari terukur
4. Memberantas jentik 4. Memberantas jentik
nyamuk nyamuk
5. Tidak merokok di 5. Tidak merokok di
dalam rumah sekolah

6. Persalinan ditolong 6. Mengkonsumsi jajanan


tenaga kesehatan sehat di kantin sekolah
7. Memberi bayi ASI 7. Menimbang berat
Eksklusif badan dan mengukur
8. Menimbang bayi dan tinggi badan
balita setiap bulan 8. Membuang sampah
9. Menggunakan air pada tempatnya
bersih 9. Kebersihan diri
10. Makan sayur dan buah (rambut, kuku,
setiap hari pakaian, sepatu)

Gambar 2.1 Integrasi konsep UKS, promosi kesehatan, PHBS tatanan rumah tangga dan
sekolah

44
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
45

2.7 Pendekatan Fenomenologi Dalam Penelitian Kualitatif


2.7.1 Pengertian Penelitian Kualitatif
Menurut Denzin dan Lincoln (2000), penelitian kualitatif merupakan
perpaduan dari berbagai disiplin ilmu dengan menggunakan pendekatan
naturalistik dan pemahaman interpretive terhadap pengalaman manusia.
Penelitian kualitatif sangat cocok digunakan dalam mempelajari
kehidupan kelompok manusia. Pelaksanaan penelitian kualitatif
menempatkan peneliti ke dalam situasi aktivitas orang atau terlibat
langsung di dalam kehidupan orang. Peneliti mempelajari berbagai hal
dengan keadaan alami, mencoba memahami dan mengintepretasikan arti
dan makna fenomena pada seseorang.

Penelitian kualitatif menurut Speziale dan Carpenter (2003), merupakan


pendekatan yang mempelajari kondisi manusia secara utuh, menyeluruh
dan peneliti ikut serta menjadi bagian di dalam kehidupan manusia.
Penelitian kualitatif biasanya digunakan untuk mempelajari fenomena
yang terjadi pada manusia dengan berfokus menggambarkan pola dasar
pikiran manusia dan perilaku yang mendasarinya. Peneliti mempelajari
dan menggali aspek nilai, budaya, keyakinan, dan hubungan yang terjadi
pada manusia terhadap fenomena yang ada.

Menurut Maurice Merleau-Ponty (2002),“phenomenology as the study of


essences, including the essence of perception and consciousness.
Phenomenology is a method of describing the nature of our perceptual
contact with the world”. Fokus penelitian kualitatif dilakukan dengan
mengeksplorasi secara alamiah persepsi manusia terhadap fenomena.
Berdasarkan pengertian dari berbagai sumber tersebut, dapat dibuat
kesimpulan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat
alamiah yang dilakukan dengan cara menggali, menggambarkan,
mengintepretasi dan memahami makna fenomena yang terjadi pada
manusia serta melibatkan peneliti di dalam fenomena kehidupan manusia
tersebut.

45
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
46

2.7.2 Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi


Metode penelitian kualitatif terdiri dari lima pendekatan yaitu narrative
research, case study, phenomenology, ethnography, dan grounded theory
(Creswell, 2007). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan
fenomenologi karena bertujuan untuk menggambarkan fakta fenomena
atau menampilkan hal-hal yang terkait dengan pengalaman hidup manusia
(Speziale dan Carpenter, 2003). Pendekatan fenomenologi menurut
Spiegelberg (1965, 1975 dalam Speziale dan Carpenter, 2003)
mengidentifikasi enam elemen penting dalam fenomenologi yaitu:
descriptive phenomenology, phenomenology of essences, phenomenology
of appearance, constitutive phenomenology, reductive phenomenology,
dan heurmeneutic phenomenology. Penjelasan setiap elemen tersebut akan
di bahas di bawah ini.

2.7.2.1 Descriptive Phenomenology


Penelitian descriptive phenomenology (fenomenologi deskriptif)
merupakan penelitian yang mengeksplorasi, menganalisis, dan
mendeskripsikan fakta fenomena sebebas-bebasnya dengan tujuan untuk
menampilkan aspek intuitive secara maksimal. Penelitian ini menstimulasi
persepsi dari pengalaman hidup manusia dengan berfokus pada
kesempurnaan, keluasan dan kedalaman dari pengalaman tersebut. Proses
penelitian deskriptif melalui tiga tahap yaitu: intuiting, analyzing dan
describing.

Tahap intuiting merupakan tahap pertama yang dilakukan peneliti dengan


membenamkan diri secara total pada fenomena yang akan ditelitinya.
Peneliti berperan sebagai instrumen pengumpulan data dan mendengarkan
partisipan terhadap pengalaman hidupnya dengan menggunakan
wawancara. Peneliti berusaha mengendalikan diri dari kritik, opini, dan
evaluasi yang dapat muncul dalam proses penggalian data pada partisipan.
Proses pengendalian diri peneliti ini disebut bracketing. Bracketing adalah

46
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
47

proses kognitif peneliti melepaskan persepsi, pikiran, keyakinan, perasaan


dan pandangan peneliti terhadap pengalaman yang disampaikan partisipan
(Speziale dan Carpenter, 2003).

Tahap analyzing dilakukan setelah semua data telah dikumpulkan. Peneliti


berusaha mendalami dan memahami setiap transkrip data serta
mendengarkan kembali hasil wawancara untuk mendeskripsikan tema
yang sesuai. Peneliti membutuhkan waktu yang lama untuk memahami
transkrip data agar menghasilkan deskripsi yang murni dan akurat.

Tahap describing merupakan tahap menghubungkan kata kunci dan tema


menjadi deskripsi verbal dan tertulis. Proses deskripsi ini didasari oleh
klasifikasi atau mengelompokkan tema. Walaupun proses intuiting,
analyzing dan describing terpisah-pisah namun biasanya terjadi secara
simultan. Penyusunan pada tahap describing biasanya didukung oleh
proses diskusi untuk mengklasifikasikan dan mengambil intisari dari tema-
tema tersebut.

2.7.2.2 Phenomenology of Essences


Phenomenology of essences (fenomenologi esensi) dalam penelitian
kualitatif melibatkan aspek penyelidikan melalui data untuk mencari tema
atau intisari dari fenomena. Pada elemen ini, peneliti bebas melakukan
imajinasi sehingga memungkinkan peneliti menemukan struktur penting
dari fenomena.

2.7.2.3 Phenomenology of appearance


Phenomenology of appearance (fenomenologi pemunculan) adalah proses
penyelidikan yang berfokus pada bagaimana cara munculnya fenomena.
Peneliti memberikan perhatian lebih terhadap munculnya fenomena yang
diamati.

47
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
48

2.7.2.4 Constitutive phenomenology


Constitutive phenomenology (fenomenologi konstitusif) adalah cara untuk
mempelajari fenomena sebagai suatu penetapan kesadaran kita yang
dimulai dari kesan awal hingga gambaran fenomena secara menyeluruh.
Fenomenologi konstitusif dapat berkembang menjadi perasaan untuk
petualangan kita terhadap dunia

2.7.2.5 Reductive phenomenology


Reductive phenomenology (fenomenologi reduksi) merupakan cara untuk
melakukan pengurangan atau mereduksi hal-hal yang dapat mengurangi
makna dari fenomena. Peneliti dapat memberikan asumsi sendiri terhadap
fenomena yang ditemukan. Oleh karena itu, peneliti perlu mereduksi
pendapat pribadi dan asumsi pribadi agar memperoleh gambaran yang
murni dari suatu fenomena.

2.7.2.6 Heurmeneutic phenomenology


Heurmeneutic phenomenology (fenomenologi hermeunetik) dilakukan
untuk mengeksplorasi hubungan dan arti pengetahuan dan kontekstual
masing-masing fenomena yang diamati.

2.7.3 Analisa data kualitatif dengan pendekatan fenomenologi


Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dapat
menerapkan tiga metode yang sering digunakan dalam menganalisa data,
yaitu: metode Van Kaam, Giorgi dan Colaizzi. Ketiga metode analisis data
tersebut berdasarkan pada filosofi dari Husserl's. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan metode Colaizzi, karena metode ini dikembangkan
untuk mengobservasi dan menganalisa perilaku dan lingkungan manusia
yang terkait dengan fenomena yang melatarbelakanginya (Burns & Grove,
2009).

Analisis data kualitatif penelitian fenomenologi dengan metode Colaizzi


menurut Speziale dan Carpenter (2003) terdiri dari tujuh proses, yaitu: (1)

48
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
49

membaca semua deskripsi hasil wawancara secara menyeluruh untuk


mendapatkan suatu pemahaman, (2) meninjau kembali deskripsi hasil dan
mengambil intisari dari setiap pernyataan yang signifikan, (3) peneliti
mengartikulasikan makna dari setiap pernyataan yang signifikan dengan
memilih kata kunci, kemudian menyusunnya menjadi kategori, (4) peneliti
mengelompokkan kategori-kategori ke dalam kelompok tema dengan
menyusun tabel kisi-kisi tema yang memuat pengelompokan kategori ke
dalam sub sub tema, sub tema dan tema, (5) mengintegrasikan hasil ke
dalam deskripsi yang mendalam berdasarkan tema yang telah disusun, (6)
peneliti memvalidasi transkrip wawancara kepada partisipan untuk
mensesuaikan hasil transkrip dengan keadaan yang dialami partisipan, dan
(7) menggabungkan data hasil validasi ke dalam deskripsi hasil analisis.
Peneliti menganalisis kembali data yang telah diperoleh selama melakukan
validasi kepada partisipan untuk ditambahkan ke dalam deskripsi akhir
yang mendalam pada laporan penelitian.

Berdasarkan pemaparan Spiegelberg (1975; dalam Speziale & Carpenter,


2003), maka desain fenomenologi deskriptif dapat digunakan untuk
mengidentifikasi persepsi siswa SLTP dalam menerapkan PHBS di
sekolah di kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan Kota Depok. Arti
dan makna pengalaman serta persepsi tersebut dapat digali melalui suatu
penelitian kualitatif fenomenologi jenis deskriptif melalui wawancara
mendalam terkait dengan penerapan PHBS sekolah di kelurahan Tugu dan
Pasir Gunung Selatan Kota Depok.

49
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN

Bab 3 menjelaskan tentang metode penelitian yang menggambarkan prosedur


penelitian fenomenologi deskriptif dalam menggali persepsi siswa SMP dalam
penerapan PHBS di sekolah pada kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan Kota
Depok. Prosedur penelitian fenomenologi deskriptif ini secara rinci menjabarkan
rancangan penelitian, populasi dan sampel penelitian, tempat dan waktu
penelitian, etika penelitian, teknik pengambilan sampel, cara pengumpulan data,
pengolahan data, analisis data, dan trustworthinnes of the data.

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat
alamiah, mendalami nilai subjektivitas individu secara holistik, menggunakan
berbagai metode dengan cara mendeskripsikan dalam bentuk kata-kata dan
bahasa untuk memahami fenomena yang terjadi pada manusia (Speziale &
Carpenter, 2003). Pendekatan fenomenologi menggambarkan pengalaman
manusia terhadap fenomena yang dialaminya (Burns & Grove, 2004).
Penerapan perilaku siswa terhadap PHBS di sekolah merupakan bagian dari
pengalaman siswa dalam kehidupannya. Pengalaman siswa menerapkan
PHBS di sekolah dapat digambarkan dengan pendekatan fenomenologi
deskriptif. Fenomenologi deskriptif merupakan jenis penelitian fenomenologi
yang mengeksplorasi pengalaman, menganalisis dan mendeskripsikan
fenomena (Speziale & Carpenter, 2003). Penggambaran pengalaman dapat
dilakukan melalui penggalian nilai subjektif terhadap perilaku, persepsi,
motivasi dan tindakan (Moleong, 2007). Pendekatan fenomenologi deskriptif
tepat digunakan untuk memperoleh gambaran jelas dan mendalam terhadap
persepsi siswa menerapkan PHBS di sekolah.

Melalui pendekatan fenomenologi deskriptif, peneliti melakukan tahapan


proses penelitian yang terdiri dari bracketing, intuiting, analyzing dan

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


51

describing (Spiegelberg, 1975 dalam Speziale & Carpenter, 2003). Bracketing


adalah proses kognitif peneliti untuk melepaskan persepsi, pikiran, keyakinan,
perasaan dan pandangan peneliti terhadap pengalaman siswa menerapkan
PHBS di sekolah. Tujuan bracketing menjaga persepsi peneliti agar tidak
terpengaruh oleh informasi yang disampaikan oleh partisipan. Selanjutnya
pada tahap intuiting, peneliti mulai berinteraksi dengan partisipan. Kemudian
peneliti melakukan wawancara untuk menggali persepsi partisipan
menerapkan PHBS di sekolah. Berikutnya, peneliti membuat transkrip
wawancara berdasarkan rekaman hasil wawancara dan catatan lapangan.
Tahap selanjutnya analyzing, peneliti melakukan analisa data berdasarkan
transkrip wawancara untuk menyusun tema-tema yang terkait persepsi siswa
SMP menerapkan PHBS di sekolah. Tahap akhir describing, peneliti
mengidentifikasi tema-tema yang terbentuk dan menuliskannya menjadi
sebuah deskripsi yang mendalam terkait persepsi siswa SMP menerapkan
PHBS di sekolah dalam bentuk hasil penelitian.

Persepsi siswa menerapkan PHBS di sekolah mencakup respons, praktik,


hambatan, dukungan dan harapan melakukan PHBS di sekolah. Selain
menggali persepsi siswa, peneliti melakukan wawancara kepada guru wali
kelas dan guru pembina UKS. Wawancara kepada guru wali kelas dan guru
pembina UKS dilakukan untuk memperoleh data pendukung persepsi siswa
menerapkan PHBS di sekolah. Sehingga guru wali kelas dan guru pembina
UKS berperan sebagai narasumber dalam penelitian ini. Guru wali kelas dan
guru pembina UKS memiliki persepsi terhadap perilaku siswa menerapkan
PHBS di sekolah. Guru wali kelas mengamati perilaku siswa sehari-hari di
sekolah, sehingga dapat menggambarkan penerapan PHBS di sekolah. Tujuan
wawancara kepada guru wali kelas dan guru UKS ini sebagai penunjang
penggambaran persepsi yang disampaikan oleh partisipan.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi adalah seluruh kesatuan yang terkait dengan topik penelitian (Polit &
Beck, 2004). Populasi yang terkait dengan topik penelitian adalah seluruh

51
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
52

siswa di MTs NH dan SMPN 8 Depok. Seluruh siswa di MTs NH dan SMPN
8 Depok dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dibagi berdasarkan
tingkatan kelas yaitu kelas 7, 8 dan 9. Siswa kelas 7 adalah kelompok siswa
pada tahun pertama dan siswa kelas 8 sebagai kelompok pada tahun kedua.
Siswa kelas 9 adalah kelompok siswa pada tahun ketiga dengan karakteristik
kelompok siswa yang paling lama berada di sekolah dan sedang
mempersiapkan diri untuk menempuh ujian nasional kelulusan di tingkat
SMP.

Sampel adalah subjek dalam elemen populasi yang dipilih dengan teknik
pengambilan sampel (Burns & Grove, 2009; Polit & Beck, 2004). Metode
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah
purposive sampling. Menurut Creswell (2007), purposive sampling
merupakan teknik pemilihan sampel yang dilakukan oleh peneliti sendiri
berdasarkan maksud dan tujuan penelitian. Pemilihan sampel dengan berfokus
pada maksud dan tujuan penelitian menghasilkan sampel yang dapat
memberikan informasi fenomena sebanyak-banyaknya sesuai dengan masalah
penelitian.

Pada penelitian ini digunakan istilah partisipan untuk menyebut sampel yang
diteliti (Burns & Grove, 2009). Peran partisipan memberikan informasi
pengalaman yang berhubungan dengan persepsi penerapan PHBS di sekolah.
Sehingga partisipan harus memiliki kemampuan untuk menceritakan
pengalaman tersebut. Jumlah partisipan pada penelitian kualitatif dikatakan
adekuat setelah mencapai pengulangan informasi atau saturasi data (Burns &
Grove, 2004). Saturasi data terjadi ketika tidak ditemukan tema-tema baru
yang muncul, sehingga tidak perlu melakukan penambahan partisipan
(Speziale & Carpenter, 2003).

Menurut Duke (1984) dalam Creswell (2007) menyarankan jumlah partisipan


dalam penelitian kualitatif fenomenologi antara tiga sampai sepuluh
partisipan. Sedangkan menurut Riemen (1986) dalam Creswell (2007)

52
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
53

menyebutkan jumlah partisipan dalam penelitiannya adalah sepuluh


partisipan. Penelitian yang dilakukan oleh Kusumaningsih (2009) memperoleh
tujuh partisipan dalam menggali persepsi masyarakat terhadap citra perawat di
Balkesmas Sint Carolus Jakarta Barat. Sedangkan penelitian lain yang
menggali seksualitas dan kesehatan reproduksi pada remaja awal memperoleh
delapan partisipan sampai tercapai saturasi data (Setyaningsih, 2005).

Berdasarkan teori di atas, pada penelitian ini peneliti menetapkan jumlah enam
partisipan. Data diambil dari enam partisipan dengan karakteristik sesuai
dengan kriteria inklusi yang ditetapkan. Pada penelitian ini, tiga partisipan
berasal dari MTs NH dan tiga partisipan dari SMPN 8 Depok. Semua
partisipan sudah memenuhi kriteria inklusi, yaitu: (1) siswa kelas 7 dan kelas
8; (2) tinggal di kelurahan Pasir Gunung Selatan dan kelurahan Tugu
kotamadya Depok; (3) mampu menceritakan pengalamannya dengan bahasa
Indonesia; dan (4) bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Alasan pemilihan
kriteria inklusi siswa kelas 7 dan kelas 8 karena siswa tersebut memiliki
kesempatan lebih banyak untuk menjadi partisipan dibandingkan kelas 9.
Siswa kelas 9 sedang mempersiapkan ujian akhir sekolah di tingkat SMP.
Sedangkan, pemilihan kelurahan Pasir Gunung Selatan dan kelurahan Tugu
karena kedua wilayah tersebut merupakan lokasi praktik keperawatan
komunitas mahasiswa profesi, aplikasi dan residensi sehingga mempermudah
akses peneliti dalam menjangkau partisipan.

Penelitian ini juga menetapkan guru wali kelas dan guru pembina UKS
sebagai narasumber penelitian. Guru wali kelas yang ditetapkan sebagai
narasumber penelitian adalah guru wali kelas partisipan. Sedangkan, guru
pembina UKS ditetapkan masing-masing satu orang dari sekolah MTs NH dan
SMPN 8 Depok. Oleh karena itu, diperlukan kriteria inklusi sebagai pedoman
penentuan narasumber. Kriteria inklusi yang ditetapkan untuk guru wali kelas,
yaitu: (1) guru wali kelas partisipan; (2) mampu menceritakan pengalamannya
dengan bahasa Indonesia; dan (3) bersedia berpartisipasi dalam penelitian.
Sedangkan, kriteria inklusi untuk guru pembina UKS: (1) mampu

53
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
54

menceritakan pengalamannya dengan bahasa Indonesia; dan (2) bersedia


berpartisipasi dalam penelitian. Alasan peneliti menetapkan guru wali kelas
sebagai kriteria inklusi karena guru wali kelas lebih memahami siswa sesuai
dengan kelas yang dibimbingnya. Sehingga dapat menggambarkan penerapan
PHBS yang dilakukan siswa di sekolah. Sedangkan, penetapan guru pembina
UKS sebagai narasumber karena guru pembina UKS lebih memahami
pelaksanaan PHBS di sekolah. Kegiatan PHBS di sekolah sebagai wujud
tindak lanjut kegiatan UKS. Sehingga guru pembina UKS dapat
menggambarkan pelaksanaan PHBS di sekolah.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian


3.3.1 Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di MTs NH Kel. Pasir Gunung Selatan dan SMPN 8
Depok Kel. Tugu. Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan pada 3 aspek,
yaitu: (1) studi pendahuluan yang peneliti lakukan di MTs NH dan SMPN 8
Depok bahwa pelaksanaan PHBS di sekolah tersebut belum berjalan
optimal; (2) belum ada penelitian sejenis yang dilakukan di kelurahan Pasir
Gunung Selatan dan Tugu dengan metode penelitian kualitatif; (3) kelurahan
Pasir Gunung Selatan dan Tugu merupakan lokasi praktik keperawatan
komunitas mahasiswa profesi, aplikasi dan residensi sehingga penelitian ini
dapat mempermudah akses peneliti dalam menjangkau partisipan; (4) status
sekolah yang berbeda pada kedua sekolah tersebut memperkaya karakteristik
partisipan. Sehingga diperoleh lebih banyak realitas pengalaman siswa
dalam menerapkan PHBS di sekolah.

3.3.2 Waktu penelitian


Waktu penelitian ini berlangsung sejak bulan Januari hingga Juli 2012.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu tahap persiapan, pelaksanan dan
penyusunan laporan. Tahap persiapan dimulai dari penyusunan proposal
hingga seminar proposal atau bulan Januari hingga awal bulan April 2012.
Tahap pelaksanaan meliputi perijinan, ujicoba instrumen, pengumpulan data,
analisa data, dan seminar hasil berlangsung pada awal April hingga akhir

54
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
55

Juli 2012. Tahap akhir adalah penyusunan laporan yang terdiri perbaikan
seminar hasil, sidang tesis dan perbaikan tesis akhir hingga pertengahan Juli
2012. Penjelasan setiap tahap waktu penelitian dapat dilihat pada lampiran 3.

3.4 Etika Penelitian


Etika penelitian merupakan hal penting dalam penelitian kuantitatif dan
kualitatif karena melibatkan manusia sebagai subyek penelitian/ partisipan.
Pada penelitian kualitatif ini, peneliti menggali persepsi dan pengalaman
partisipan dalam menerapkan PHBS di sekolah. Menurut persepsi peneliti,
penelitian ini tidak menimbulkan kerugian bagi partisipan baik fisik,
psikologis, ekonomi dan sosial. Namun, peneliti tetap menerapkan etika
penelitian untuk melindungi partisipan. Adapun aplikasi prinsip etika
penelitian yang diterapkan pada penelitian ini menggunakan Pedoman
Nasional Etik Penelitian Kesehatan Indonesia (PNEPK).

3.4.1 Aplikasi Prinsip Etika Penelitian


Menurut Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan Indonesia ada tiga
prinsip dasar etik penelitian yaitu respect for person, beneficence dan justice
(Komisi Nasional Etik Penelitian Nasional, 2005). Adapun aplikasi di
lapangan yang dilakukan peneliti dipaparkan pada paragraf di bawah ini.

3.4.1.1 Respect For Person


Menurut Burns dan Grove (2009), prinsip respect for person artinya setiap
orang memiliki hak untuk menentukan sendiri apakah akan berpartisipasi
atau menolak dalam penelitian. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian
kepada calon partisipan dalam bentuk penjelasan penelitian dan informed
consent (pernyataan persetujuan) yang menerangkan bahwa kerahasian diri
dan informasi calon partisipan tidak akan disebarluaskan kepada orang lain
(Speziale & Carpenter, 2003). Kerahasiaan identitas partisipan dijamin
melalui pemberian kode seperti P1 – P6 untuk masing-masing partisipan
(anonimity). Peneliti memberikan kesempatan waktu bertanya kepada
calon partisipan bila ditemukan hal-hal yang kurang jelas terhadap

55
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
56

informed consent yang diberikan. Peneliti tidak memaksakan kehendak


kepada calon partisipan untuk berpartisipasi dalam penelitian.
Keikutsertaan calon partisipan berdasarkan pada aspek sukarela atau
autonomy (Polit & Beck, 2004).

3.4.1.2 Beneficence dan Maleficence


Melalui prinsip beneficience, penelitian yang dilakukan harus memberikan
manfaat atau dampak positif kepada partisipan baik langsung maupun
tidak langsung (Speziale & Carpenter, 2003). Peneliti meyakinkan
partisipan bahwa penelitian ini memberikan manfaat secara langsung
berupa penggambaran profil PHBS partisipan. Peneliti mengkoreksi hal-
hal yang keliru dan kurang tepat dari persepsi partisipan terhadap
penerapan PHBS di sekolah. Penggambaran profil PHBS partisipan dapat
memberikan manfaat tidak langsung berupa peningkatan upaya
pencegahan masalah kesehatan berisiko pada agregat remaja di sekolah.

Prinsip etik selanjutnya yang diterapkan oleh peneliti adalah maleficence.


Prinsip etik penelitian maleficence adalah penelitian yang dilakukan tidak
menimbulkan risiko atau kerugian bagi partisipan. Prinsip maleficence
bertujuan untuk mencegah kerugian dan ketidaknyamanan partisipan
selama pelaksanaan penelitian (Speziale & Carpenter, 2003). Proses
pengumpulan data penelitian dilakukan melalui wawancara mendalam.
Wawancara mendalam pada pengumpulan data kemungkinan dapat
menimbulkan risiko minimal berupa rasa tidak nyaman sementara.
Partisipan dapat merasakan ketidaknyaman fisik seperti lelah, sakit kepala
dan ketegangan otot. Selain itu partisipan kemungkinan akan merasakan
ketidaknyamanan emosi dan sosial seperti cemas dan malu terhadap
pertanyaan yang diberikan (Burns & Grove, 2004). Oleh karena itu,
selama proses pengambilan data, peneliti berusaha melakukan wawancara
senyaman mungkin kepada partisipan dengan memberikan kebebasan
kepada partisipan untuk memilih tempat dan waktu wawancara.

56
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
57

3.4.1.3 Justice (Keadilan)


Melalui prinsip keadilan peneliti berupaya bersikap adil dan tidak
membeda-bedakan partisipan satu dengan yang lainnya (Speziale &
Carpenter, 2003; Polit & Beck, 2004). Tujuan prinsip keadilan bahwa
setiap partisipan dihargai dan dihormati secara adil dan sama. Peneliti
berusaha bersikap adil memperlakukan partisipan. Peneliti memberikan
hak yang sama kepada setiap partisipan dengan memberikan penjelasan,
manfaat, dan tujuan penelitian pada semua partisipan.

3.4.2 Informed Consent


Penelitian yang melibatkan manusia sebagai subyek penelitian memerlukan
pertimbangan etik penelitian agar tidak merugikan manusia. Informed
consent adalah salah satu bentuk etika penelitian berupa pernyataan
persetujuan ikut berpartisipasi penelitian oleh partisipan setelah
mendapatkan penjelasan yang cukup terkait tujuan penelitian (Streubert &
Carpenter, 2003; Burns & Grove, 2009). Partisipan dalam penelitian ini
adalah siswa SMP dengan batasan usia 12-16 tahun dan termasuk kategori
remaja.

Menurut Burns dan Grove (2009), anak usia tujuh tahun keatas dengan
perkembangan kognitif yang normal sudah dapat memutuskan untuk
menerima atau menolak berpartisipasi dalam penelitian. Oleh karena itu,
pada penelitian ini peneliti memberikan penjelasan penelitian kepada siswa
yang terpilih sebagai partisipan. Proses ini dilakukan dengan cara
menyampaikan penjelasan penelitian secara langsung kepada setiap
partisipan. Kemudian informed consent dibagikan kepada partisipan. Peneliti
memberikan kesempatan waktu bertanya kepada partisipan bila ada hal-hal
yang kurang dipahami terhadap penjelasan penelitian dan informed consent.
Selanjutnya, keputusan partisipan untuk berpartisipasi dalam penelitian
dapat dilakukan dengan menandatangani informed consent yang telah
disediakan.

57
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
58

Seperti yang dijelaskan pada sub bab rancangan penelitian. Data pendukung
penelitian diperoleh dari guru wali kelas dan guru pembina UKS. Sehingga
informed consent diberikan kepada mereka. Penjelasan penelitian kepada
narasumber dilakukan secara personal. Setelah memperoleh penjelasan
penelitian dan informed consent yang cukup, selanjutnya narasumber
diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai hal-hal yang kurang
dipahami. Semua narasumber setuju untuk ikut serta dalam penelitian
dengan menandatangani informed consent yang telah disediakan.

3.5 Alat Pengumpulan Data


Pada penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen atau alat pengumpulan
data (Speziale & Carpenter, 2003). Peneliti menggali persepsi partisipan
dalam menerapkan PHBS di sekolah dengan cara mendengarkan cerita
pengalaman partisipan. Penggalian persepsi tersebut dilakukan dengan
wawancara. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah pedoman
wawancara, catatan lapangan dan voice recorder.

Wawancara yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan konsep


wawancara semi-terstrukur. Wawancara semi-terstruktur merupakan jenis
wawancara yang dilakukan peneliti dengan menyiapkan panduan topik
wawancara secara tertulis yang berisi daftar pertanyaan secara garis besar
kepada setiap partisipan (Polit & Beck, 2004). Wawancara ini, memerlukan
pedoman wawancara sebagai panduan peneliti untuk menyakinkan peneliti
agar pertanyaan yang diberikan tidak keluar dari tujuan penelitian. Walaupun
menggunakan pedoman wawancara, wawancara semi-terstruktur masih
memberikan partisipan kesempatan seluas-luasnya untuk menceritakan
pengalamannya. Pedoman wawancara berisi pertanyaan terbuka yang dapat
memberikan kesempatan kepada partisipan menjawab dan menjelaskan
pengalamannya secara mendalam.

58
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
59

Pedoman wawancara disusun berdasarkan hasil penelitian kuantitatif yang


terkait dengan penerapan indikator PHBS di sekolah pada siswa dan guru.
Peneliti juga menggunakan konsep Bloom (1908, dalam Notoatmodjo, 2010),
tiga domain yang membentuk perilaku yaitu pengetahuan, praktik dan sikap.
Oleh karena itu, peneliti menggali respons dan praktik partisipan terhadap
penerapan PHBS untuk menggali kemampuan tiga domain perilaku kesehatan
tersebut. Konsep persepsi juga dimasukkan kedalam pedoman wawancara
sebagai dasar penggambaran persepsi siswa SMP terhadap penerapan PHBS di
sekolah. Selain itu, peneliti menggunakan konsep dari Green dan Kreuter
(2005), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk
berkontribusi terhadap status kesehatannya. Faktor tersebut adalah faktor
predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat. Ketiga faktor tersebut
dapat berperan sebagai pendukung dan penghambat dalam melakukan perilaku
kesehatan.

Catatan lapangan (field notes) digunakan untuk mencatat respon non verbal
partisipan yang tidak dapat direkam suara selama wawancara. Peneliti
mendokumentasikan secara langsung selama wawancara semua respon non
verbal partisipan ditulis ke dalam form catatan lapangan. Voice recorder yang
digunakan pada penelitian ini jenis alat perekam khusus suara digital. Daya
tanggap suara paling jauh dengan jarak ± 3 meter. Semakin dekat jarak alat
perekam dengan suara maka menghasilkan rekaman yang semakin jelas. Daya
baterai voice recorder ini dapat bertahan selama 6-12 jam dalam keadaan
aktif. Sehingga risiko mati atau kehilangan data saat wawancara berlangsung
sangat kecil. Hasil rekaman suara dari voice recorder juga dapat ditransfer ke
komputer. Sehingga dapat diputar ulang untuk menyusun transkrip
wawancara.

Peneliti menggunakan teknik komunikasi terapeutik dalam menggali informasi


dari partisipan. Peneliti mendengar dengan sabar, melakukan interaksi dengan
partisipan secara baik, menyusun pertanyaan dengan baik, memperjelas secara
halus apa yang sedang ditanyakan jika dirasakan ada pertanyaan yang belum

59
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
60

cukup memberikan informasi seperti yang peneliti harapkan. Selain


menggunakan komunikasi terapeutik, peneliti menggunakan bahasa gaul yang
biasanya digunakan oleh remaja untuk mengakrabkan hubungan partisipan
dan peneliti sehingga partisipan menjadi lebih terbuka dan tidak malu dalam
menceritakan pengalamannya.

Peneliti sebagai instrumen pengumpulan data pada penelitian kualitatif harus


memiliki kemampuan instrumen yang handal. Sehingga peneliti melakukan uji
coba instrumen dengan latihan wawancara terhadap tiga orang siswa SMP di
MTs NH yang bukan calon partisipan. Setelah melakukan latihan wawancara,
rekaman hasil wawancara tersebut didiskusikan bersama pembimbing untuk
menilai kemampuan peneliti sebagai instrumen pengumpulan data. Kemudian
pembimbing memberikan masukan dan pendapat terhadap rekaman latihan
wawancara tersebut hingga peneliti diperbolehkan untuk melakukan
wawancara.

3.6 Prosedur Pengumpulan Data


Pada sub bab ini peneliti menjelaskan prosedur pengumpulan data penelitian.
Proses pengumpulan data dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap persiapan,
pelaksanaan dan terminasi.

3.6.1 Tahap Persiapan


Proses penelitian dimulai setelah proposal penelitian dinyatakan lulus uji
etik dari Komite Etik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
(FIK UI). Kemudian peneliti mengurus proses perijinan penelitian dari FIK
UI yang ditujukan kepada MTs NH dan SMPN 8 Depok dengan tembusan
Kesbangpollinmas kota Depok. Setelah mendapat ijin penelitian dari MTs
NH dan SMPN 8 Depok. Selanjutnya peneliti mengidentifikasi calon
partisipan yang sesuai kriteria inklusi penelitian dengan meminta
rekomendasi dari guru wali kelas 7 dan kelas 8, guru BK serta mahasiswa
residensi spesialis keperawatan komunitas Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia yang sedang praktik spesialis di sekolah tersebut.

60
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
61

Rekomendasi guru BK sebagai pertimbangan tambahan peneliti dalam


menentukan calon partisipan karena guru BK juga berinteraksi dan
mengenal karakter siswa di sekolah. Selain guru wali kelas dan guru BK,
peneliti juga meminta pertimbangan tambahan kepada mahasiswa residensi.
Alasannya karena mahasiswa residensi yang melaksanakan praktik spesialis
di sekolah tersebut berlangsung lebih dari 6 bulan. Menurut peneliti, waktu
tersebut sudah cukup lama bagi mahasiswa residensi untuk berinteraksi
dengan siswa di sekolah. Sehingga mahasiswa residensi dapat memberikan
pertimbangan gambaran karakteristik siswa yang sesuai dengan kriteria
inklusi penelitian. Daftar nama siswa yang direkomendasikan selanjutkan
dipilih 10 calon partisipan.

Selanjutnya, peneliti memberikan penjelasan penelitian dan informed


consent kepada 10 calon partisipan. Penjelasan penelitian dan informed
consent dilakukan secara personal kepada masing-masing calon partisipan.
Setelah calon partisipan bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan mengisi
informed consent. Selanjutnya peneliti melakukan pendekatan dan membina
hubungan saling percaya kepada setiap partisipan.

Tempat dan waktu wawancara dilakukan sesuai kesepakatan partisipan dan


peneliti. Waktu wawancara yang dipilih setelah siswa pulang sekolah atau
saat tidak ada kegiatan di sekolah. Tempat wawancara yang dipilih
partisipan adalah di sekolah, yaitu ruang UKS. Pemilihan tersebut karena
ruang UKS tidak banyak mengalami distraksi dari lingkungan luar sehingga
privasi dan kerahasiaan rekaman wawancara tidak didengar oleh orang luar.

3.6.2 Tahap Pelaksanaan


Pada tahap pelaksanaan peneliti melakukan wawancara dengan tiga fase yaitu
fase orientasi, fase kerja dan fase terminasi.

61
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
62

3.6.2.1 Fase Orientasi


Peneliti pada tahap orientasi membuka komunikasi dengan menanyakan
kegiatan harian partisipan di sekolah atau di rumah. Peneliti menciptakan
suasana lingkungan yang nyaman dengan duduk berhadapan dengan
partisipan. Peneliti berusaha menjaga privacy partisipan selama
wawancara berlangsung dengan suasana di dalam ruangan wawancara
hanya ada partisipan dan peneliti. Peneliti menyiapkan voice recorder
yang digunakan untuk merekam percakapan wawancara dan menyiapkan
alat tulis untuk mengidentifikasi bahasa non verbal partisipan selama
wawancara. Peneliti meletakkan voice recorder pada jarak 30 – 50 cm
dari partisipan dan mengidentifikasi hasil suara rekaman yang dihasilkan
sudah terdengar jelas. Peneliti melakukan wawancara pada partisipan
dengan posisi berhadapan dengan jarak yang cukup dekat (kurang lebih
50-100 cm), dengan pertimbangan voice recorder dapat merekam
pembicaraan dengan jelas.

3.6.2.2 Fase Kerja


Peneliti memulai wawancara dengan mengajukan pertanyaan kepada
partisipan mengenai “Apakah yang kamu ketahui tentang perilaku hidup
bersih dan sehat?”. Pertanyaan ini sebagai pembuka pertanyaan yang
terkait dengan respons PHBS di sekolah. Peneliti berusaha memberikan
pertanyaan yang mudah dipahami partisipan. Awalnya peneliti kesulitan
saat mengajukan pertanyaan tersebut, kemudian peneliti jelaskan bahwa
jawaban tersebut tidak harus berhubungan dengan pelajaran di sekolah
maupun buku-buku sekolah. Kemudian partisipan mulai menjelaskannya
dengan bahasa mereka sendiri. Peneliti menggunakan bahasa gaul yang
mudah dimengerti partisipan sehingga timbul keakraban antara peneliti
dan partisipan yang memudahkan peneliti untuk menggali data. Peneliti
menggunakan pedoman wawancara semi-terstruktur yang berisi
pertanyaan terbuka. Pedoman wawancara tersebut berisi pertanyaan-
pertanyaan secara garis besar yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
Peneliti berusaha tidak mengarahkan dan tidak memberikan pendapat

62
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
63

berdasarkan pengalaman pribadi peneliti terhadap jawaban yang diberikan


oleh partisipan. Proses wawancara pada penelitian ini diakhiri pada saat
informasi yang dibutuhkan telah diperoleh sesuai tujuan penelitian melalui
saturasi data pada partisipan yang ke enam.

Selanjutnya, setelah tercapai saturasi data melalui wawancara partisipan


siswa. Peneliti melakukan wawancara kepada guru wali kelas partisipan
dan guru pembina UKS. Rata-rata waktu wawancara peneliti dengan guru
20-30 menit. Wawancara dengan guru dilakukan setelah pulang sekolah
dan saat guru tidak ada kegiatan mengajar. Tempat wawancara dilakukan
di ruang guru dan ruang tamu sekolah.

Peneliti menuliskan field note hal-hal yang terjadi selama wawancara


seperti lingkungan di dalam ruangan, ekspresi wajah, perubahan posisi
duduk dan respons non verbal partisipan. Tujuan field note ini sebagai
informasi tambahan yang tidak dapat direkam oleh perekam suara. Field
note disusun kedalam suatu form panduan catatan lapangan yang
menggambarkan respon partisipan selama wawancara berlangsung.
Catatan lapangan ditulis ketika wawancara berlangsung dan digabungkan
pada transkrip wawancara.

3.6.2.3 Fase Terminasi


Fase terminasi dilakukan setelah semua pertanyaan sudah dijawab oleh
partisipan. Peneliti mengakhiri wawancara dengan mengucapkan terima
kasih atas partisipasi dan kerjasama partisipan selama wawancara.
Selanjutnya peneliti melakukan terminasi sementara dengan membuat
kontrak waktu kembali dengan partisipan untuk pertemuan validasi data.

3.6.3 Tahap Terminasi


Peneliti melakukan validasi data pada semua partisipan. Validasi data
berupa validasi naskah transkrip kepada partisipan. Peneliti membacakan
hasil transkrip wawancara kepada partisipan baik siswa dan guru wali

63
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
64

kelas serta guru pembina UKS. Kemudian peneliti menanyakan kepada


partisipan apakah hasil transkrip wawancara tersebut sesuai dengan apa
yang telah disampaikan partisipan ketika wawancara. Peneliti menyatakan
pada partisipan bahwa proses penelitian telah berakhir dengan adanya
validasi data sudah dilakukan. Peneliti mengucapkan terima kasih atas
kesediaan dan kerjasama partisipan selama proses penelitian.

3.7 Analisis Data


3.7.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan segera setelah proses wawancara pada setiap
partisipan, yaitu pada rentang hari pertama sampai hari ketiga setiap
wawancara. Peneliti memutar hasil rekaman berkali-kali untuk
mendengarkan hasil wawancara. Kemudian peneliti menuliskan hasil
wawancara dan catatan lapangan ke dalam bentuk transkrip wawancara.
Selanjutnya peneliti membaca transkrip wawancara dan catatan lapangan
berulang-ulang agar memahami data dengan baik untuk melakukan analisis
data.

3.7.2 Proses Analisis Data


Proses analisis data pada penelitian kualitatif fenomenologi dapat dilakukan
dengan beberapa cara. Penelitian ini menggunakan interpretasi Colaizzi
(1978) dalam Speziale dan Carpenter (2003). Metode ini dipilih karena lebih
sederhana, jelas dan terperinci untuk digunakan dalam penelitian ini.
Tahapan metode Colaizzi dan aplikasi proses analisa data pada penelitian ini
adalah:
3.7.2.1 Peneliti membaca seluruh transkrip wawancara dan catatan lapangan untuk
mendapatkan gambaran persepsi partisipan menerapkan PHBS di sekolah
3.7.2.2 Peneliti mendengarkan kembali hasil rekaman wawancara dan membaca
berulang-ulang hasil transkrip. Tujuannya untuk memilih pernyataan yang
bermakna dengan penelitian
3.7.2.3 Peneliti mengartikulasikan makna dari setiap pernyataan yang signifikan
dengan memilih kata kunci, kemudian menyusunnya menjadi kategori

64
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
65

3.7.2.4 Peneliti kemudian mengelompokkan kategori-kategori kedalam kelompok


tema dengan menyusun tabel kisi-kisi tema yang memuat pengelompokan
kategori kedalam sub-sub tema, sub tema, dan tema.
3.7.2.5 Peneliti menuliskan suatu gambaran yang mendalam berdasarkan tema
yang disusun dengan penerapan siswa SMP pada PHBS di sekolah
3.7.2.6 Peneliti memvalidasi transkrip wawancara kepada setiap partisipan.
Peneliti kembali kepada partisipan untuk membacakan hasil transkrip
wawancara apakah sudah sesuai dengan keadaan yang dialami partisipan
3.7.2.7 Menggabungkan data hasil validasi ke dalam deskripsi hasil analisis.
Peneliti menganalisis kembali data yang telah diperoleh selama melakukan
validasi kepada partisipan dan yang diperoleh dari narasumber (guru dan
orang tua) untuk ditambahkan ke dalam deskripsi akhir yang mendalam
pada laporan penelitian sehingga pembaca mampu memahami pengalaman
partisipan

3.8 Keabsahan Data (Trustworthinnes Of The Data)


Keabsahan data penelitian ini didasarkan pada prinsip kepercayaan
(credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability),
dan kepastian (confirmability) seperti yang dikemukakan Guba dan Lincoln
(1994; dalam Speziale dan Carpenter, 2003). Credibility atau kredibilitas
meliputi aktifitas yang meningkatkan kemungkinan dihasilkannya penemuan
yang kredibel (Lincoln & Guba, 1985; dalam Speziale dan Carpenter, 2003).
Prinsip kredibilitas dilakukan oleh peneliti dengan cara mengembalikan
transkrip wawancara pada setiap partisipan dan meminta partisipan untuk
mencek keakuratan transkrip dengan cara memberikan tanda check (√) jika
partisipan setuju dengan kutipan ucapan didalam transkrip. Peneliti
memberikan penjelasan bahwa hasil wawancara ini dijamin kerahasiaannya,
sehingga partisipan lain tidak akan tahu.

Transferability atau keteralihan, yaitu suatu bentuk validitas eksternal yang


menunjukkan derajat ketepatan sehingga hasil penelitian dapat diterapkan
kepada orang lain (Moleong, 2004). Konsep keabsahan data ini menyatakan

65
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
66

generalisasi hasil penelitian dapat berlaku pada konteks populasi yang sama
atau pada partisipan yang memiliki karakteristik yang sama.

Confirmability mengandung pengertian bahwa hasil penelitian mendapatkan


persetujuan dari pihak-pihak lain terhadap pandangan, pendapat, dan
penemuan seseorang (Speziale dan Carpenter, 2003). Confirmability pada
penelitian ini dilakukan dengan melakukan validasi data kepada guru wali
kelas partisipan. Validasi data dilakukan dengan melakukan wawancara semi-
terstrukur kepada guru wali kelas dan guru UKS partisipan. Pedoman
wawancara disusun sebagai panduan peneliti untuk memperoleh informasi
yang diperlukan sesuai dengan tujuan penelitian. Validasi data ini dapat
dimasukkan dalam analisa data untuk menghasilkan tema yang lebih dalam
dan holistik. Selain kepada guru wali kelas, prinsip confirmability juga
diperlukan dari ahli yang terkait dengan penelitian ini. Salah satunya adalah
pembimbing sebagai peneliti ahli riset kualitatif.

Dependability atau kebergantungan dalam penelitian kualitatif adalah suatu


bentuk kestabilan data (Polit, Beck & Hungler, 2001). Dalam penelitian ini
keabsahan data dengan prinsip kebergantungan dilakukan dengan proses audit
yang dilakukan oleh external reviewer. Pada penelitian ini external reviewer
adalah dosen pembimbing yang memeriksa cara dan hasil analisis yang telah
dilakukan peneliti, memberikan penekanan dan arahan dalam menggunakan
data hasil penelitian yang telah diperoleh untuk digunakan selama proses
analisa data.

66
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan menjelaskan hasil penelitian gambaran persepsi siswa SMP
dalam penerapan PHBS tatanan sekolah di kelurahan Tugu dan Pasir Gunung
Selatan kota Depok. Peneliti akan menjelaskan hasil penelitian ini menjadi dua
bagian yaitu: 1) informasi umum tentang karakteristik partisipan sesuai dengan
latar belakang dan konteks penelitian; dan 2) deskripsi hasil penelitian berupa
pengelompokan tema yang muncul selama proses wawancara mendalam dari
persepsi siswa SMP dalam menerapkan PHBS tatanan sekolah.

4.1 Karakteristik partisipan


Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa SMP pada dua sekolah yaitu
SMPN 8 Depok yang berlokasi di wilayah kelurahan Tugu dan MTs Nurul
Huda (NH) yang berada di kelurahan Pasir Gunung Selatan. Pemilihan siswa
sebagai partisipan telah sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan.

Partisipan berjumlah enam siswa, tiga siswa dari SMPN 8 Depok dan tiga
siswa yang lain berasal dari MTs NH. Siswa yang berasal dari SMPN 8
Depok berjenis kelamin laki-laki satu siswa dan dua siswa berjenis kelamin
perempuan. Sedangkan siswa dari MTs NH terdiri dari satu siswa berjenis
kelamin perempuan dan dua siswa berjenis kelamin laki-laki. Saat penelitian
berlangsung, siswa kelas 7 berjumlah dua orang dan siswa kelas 8 berjumlah
empat orang. Rentang usia partisipan antara 13-15 tahun. Suku partisipan
terdiri dari suku Jawa tiga siswa dan suku yang lain seperti Sunda, Betawi
dan Palembang masing-masing satu siswa. Semua partisipan beragama
Islam dan tinggal di wilayah kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan kota
Depok.

Wawancara mendalam juga dilakukan kepada empat guru wali kelas


partisipan, yaitu satu guru wali kelas 8 di MTs NH, satu guru wali kelas 8
dan dua guru wali kelas 7 di SMPN 8 Depok. Selain itu, wawancara

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


68

mendalam dilakukan juga kepada dua guru pembina UKS di MTs NH dan
SMPN 8 Depok. Semua partisipan guru wali kelas terpilih berdasarkan
kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Tingkat pendidikan semua guru wali
kelas dan guru pembina UKS adalah sarjana pendidikan dengan rentang usia
32-51 tahun. Selanjutnya, peneliti memberi kode PS kepada partisipan siswa
dan PG untuk partisipan guru.

4.2 Hasil Analisis Penelitian


Hasil penelitian ini teridentifikasi enam tema yang mengacu pada tujuan
khusus penelitian. Selanjutnya peneliti akan menjelaskan masing-masing
tema tersebut berdasarkan tujuan khusus penelitian.
4.2.1 Respons Siswa dan Guru terhadap Penerapan PHBS di Sekolah
Tujuan khusus ini terjawab melalui dua tema yaitu perilaku yang
mendukung penerapan PHBS dan kurang peduli menerapkan PHBS.
Penjelasan dari tema dan sub tema yang teridentifikasi dijelaskan
sebagai berikut:
4.2.1.1 Tema 1: Perilaku yang Mendukung Penerapan PHBS
Tema ini diidentifikasi dari tiga sub tema yaitu: a. Pengetahuan
yang mendukung penerapan PHBS; b. Keterampilan yang
mendukung penerapan PHBS; dan c. Sikap yang mendukung
penerapan PHBS.
a. Pengetahuan yang mendukung penerapan PHBS
Sub tema a. terjawab dari dua kategori yaitu 1)
mengungkapkan manfaat PHBS dan 2) mengungkapkan contoh
PHBS. Kategori 1) teridentifikasi dari pernyataan tiga
partisipan siswa. Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
"Ya karena dengan lingkungan yang bersih maka tubuh
kita akan sehat." (PS.4)
Sedangkan, pernyataan partisipan guru yang menjawab
kategori ini, sebagai berikut:
"Sangat diperlukan ya untuk anak sekolah, kebersihan itu
kan hal yang penting, terutama untuk kesehatan." (PG.4)

68
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


69

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan empat partisipan


siswa. Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
“Cuci tangan, sebelum dan sesudah makan…” (PS.2)
Selanjutnya, empat partisipan guru menjawab kategori dua
dengan pernyataan sebagai berikut:
“Contohnya melakukan piket kelas dan tidak buang
sampah di dalam kelas.” (PG.2)

b. Keterampilan yang Mendukung Penerapan PHBS


Sub tema ini diidentifikasi dari satu kategori yaitu menyatakan
mempraktikkan PHBS. Kategori ini teridentifikasi dari
pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
“…saya gak pernah jajan di luar sekolah…” (PS.1)
Pernyataan partisipan guru yang mengidentifikasi kategori ini
sebagai berikut:
"Setahu saya anak-anak siswa kelas saya gak ada yang
merokok ya…” (PG.1)

c. Sikap yang mendukung penerapan PHBS


Sub tema ini teridentifikasi dari lima kategori yaitu 1). Terlihat
dari tindakan seseorang melakukan kebersihan; 2). Terlihat dari
penampilan fisik; 3). Berawal dari diri sendiri; 4). Merasakan
manfaat setelah berperilaku bersih dan sehat; dan 5).
Merasakan akibat setelah melakukan perilaku tidak bersih.
Kategori 1). teridentifikasi dari pernyataan partisipan siswa
sebagai berikut:
"...ya bisa dilihat dari cara dia berpakaian, cara dia
berperilaku…" (PS.1)

69
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


70

Pernyataan partisipan guru yang mengidentifikasi kategori 1).


sebagai berikut:
"…ya anak-anak di kelas kan ada jadwal piket kelas ya,
saya rasa itu salah satu perilaku bersih dan sehat di
sekolah ya." (PG.2)

Kategori 2). teridentifikasi dari pernyataan siswa sebagai


berikut:
"...memakai baju putih dan bersih seperti apa adanya
warnanya seperti biru ya biru, coklat ya coklat." (PS.3)
Pernyataan partisipan guru yang mengidentifikasi kategori 2).
sebagai berikut:
"Klo kebersihan pakaian itu anak-anak itu tergolong bersih
ya, berpakaiannya juga sudah rapi." (PG.2)

Kategori 3). teridentifikasi dari pernyataan siswa sebagai


berikut:
"Ya kita sendiri dulu kak, ya seharusnya ya semua orang
sih…" (PS.4)

Kategori 4). teridentifikasi dari pernyataan siswa sebagai


berikut:
"...udah bersih, udah rapi pasti orang liatnya juga udah
enak." (PS.1)

Kategori 5). teridentifikasi dari pernyataan siswa sebagai


berikut:
"...ntar juga yang rugi kan dirinya sendiri juga, entah
dirinya, orang disekitarnya." (PS.1)

70
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


71

Pernyataan partisipan guru yang mengidentifikasi kategori 5).


sebagai berikut:
“…sering saya perhatikan baju anak-anak itu lecek dan
kotor seperti tidak dicuci. Sudah berulang kali saya beri
tahu ya bajunya di cuci bersih dan disetrika, tapi sering
tidak dihiraukan anak-anak, padahal udah sering
diomongin itu anak itu bau badannya gak enak…” (PG.5)

4.2.1.2 Tema 2: Kurang Peduli Menerapkan PHBS


Tema ini diidentifikasi dari tiga sub tema yaitu a. Kurang
pengetahuan tentang PHBS; b. Sikap kurang mendukung
penerapan PHBS; dan c. Kurang kemauan dalam penerapan PHBS.
Penjelasan masing-masing sub tema tersebut sebagai berikut.
a. Kurang Pengetahuan Tentang PHBS
Sub tema a. terjawab dari satu kategori yaitu kurang informasi
tentang PHBS. Kategori ini teridentifikasi dari pernyataan dua
partisipan siswa. Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
"Kayak gimana ya, gak pernah dengar kayak gituan
(PHBS)." (PS.5)
"Saya belum pernah dengar kak." (PS.4)

b. Sikap Kurang Mendukung Penerapan PHBS


Sub tema b. terjawab dari satu kategori yaitu kurang penting
menerapkan PHBS. Kata kunci ini teridentifikasi dari
pernyataan tiga partisipan siswa dan dua partisipan guru.
Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
"...kalo di sekolah tuh laper ya kalo laper langsung kesana
aja (jajan) udah nggak usah make itu itu (cuci tangan) lagi
ditunda-tunda." (PS.6)

71
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


72

Pernyataan partisipan guru yang mengidentifikasi sub tema ini


sebagai berikut:
"Untuk itu (PHBS) udah gak jadi fokus anak SMP lagi, itu
fokus anak SD, anak TK. Sekarang itu difokuskan adalah
permasalahan anak remaja. Anak SMP mah klo untuk itu
gak perlu diingetin lagi soal begituan, mereka sudah tahu
sendiri." (PG.3)

c. Kurang Kemauan dalam Penerapan PHBS


Sub tema c terjawab dari kategori kurang menerapkan PHBS.
Kategori ini teridentifikasi dari pernyataan empat partisipan
siswa. Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
"Males juga sih, kayaknya terlalu ribet (cuci tangan)."
(PS.6)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut
"…pernah saya menemukan ya, siswa itu punya kebiasaan
pake baju putih sampe 4 hari, ada juga baju belum di cuci
disetrika, itu kan kelihatan sekali dari bajunya yang
kecoklatan, dekil…” (PG.5)

4.2.2 Praktik Penerapan PHBS Siswa di Sekolah


Tujuan khusus ini terjawab melalui satu tema yaitu Penerapan
Prinsip Dasar PHBS. Penjelasan dari tema dan sub tema yang
teridentifikasi dijelaskan sebagai berikut:
4.2.2.1 Tema 3: Penerapan Prinsip Dasar PHBS
Tema ini teridentifikasi dari delapan sub tema yaitu a. Penerapan
PHBS perilaku cuci tangan; b. Penerapan PHBS perilaku
kebersihan badan; c. Penerapan PHBS perilaku kebersihan rambut;
d. Penerapan PHBS perilaku kebersihan sepatu; e. Penerapan
PHBS perilaku kebersihan dan kerapihan pakaian; f. Penerapan
PHBS perilaku kebersihan kuku; g. Penerapan PHBS perilaku jajan

72
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


73

di kantin; dan h. Penerapan PHBS perilaku tidak merokok.


Penjelasan masing-masing sub tema tersebut sebagai berikut.

a. Penerapan PHBS Perilaku Cuci Tangan


Sub tema a. terjawab dari tiga kategori yaitu 1) Pengetahuan
cuci tangan; 2) Keterampilan cuci tangan.; dan 3) Sikap cuci
tangan. Kategori 1) teridentifikasi dari pernyataan enam
partisipan siswa. Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
"Cuci tangan yang bersih ya pake sabun." (PS.4)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“Ya memang yang benar cuci tangan pakai sabun ya…”
(PG.6)

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan partisipan siswa dan


partisipan guru dengan pernyataan sebagai berikut:
"...gak pernah cuci tangan kak, klo di sekolah.” (PS.5)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…ya betul di sekolah tidak ada tempat cuci tangan, ya
anak-anak jadinya gak cuci tangan sebelum jajan…”
(PG.5)

Kategori 3) teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
“…cuci tangan…jangan asal cuci pake air… harus pake
sabun …” (PS.1)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…saya rasa anak-anak sudah tahu itu (cuci tangan pakai
sabun) ya…” (PG.2)

b. Penerapan PHBS Perilaku Kebersihan Badan


Sub tema b. terjawab dari tiga kategori yaitu 1) Keterampilan
kebersihan badan di rumah; 2) Keterampilan kebersihan badan

73
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


74

di sekolah; dan 3) Sikap kebersihan badan. Kategori 1)


teridentifikasi dari pernyataan enam partisipan siswa dengan
pernyataan sebagai berikut:
"Mandi ya 2 kali sehari, ya kadang bisa 3 kali, pas pulang
sekolah siang itu." (PS.6)

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan tiga partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
"….ambil air juga pelan-pelan… biar gak kecampur ama
pasir-pasirnya…” (PS.1)

Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:


“…ya sulit sekali memberi tahu siswa, pulang sekolah ganti
baju dulu, eh itu malah terus-terusan di pake buat maen…”
(PG.4)

Kategori 3) teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan siswa.


Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
"Risih, ketemu teman jadi dikit-dikit menjauh biar gak
terlalu bau kalau kecium teman-teman." (PS.3)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…ya begitu kotor dan sering bau badan karena gak
perhatian dengan kebersihan badan…” (PG.5)

c. Penerapan PHBS Perilaku Kebersihan Rambut


Sub tema c. terjawab dari tiga kategori yaitu 1) Keterampilan
kebersihan rambut; 2) Sikap kebersihan rambut; dan 3) Sarana
kebersihan rambut. Kategori 1) teridentifikasi dari pernyataan
lima partisipan siswa dengan pernyataan sebagai berikut:
“Cuci rambut seminggu bisa 3-4 kali.” (PS.1)

74
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


75

Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:


“…anak-anak cuci rambut juga asal-asalan ya dibasahin
doang…” (PG.5)

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan siswa.


Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
"Kalo nggak dicuci rasanya gatel gitu." (PS.6)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…periksa kerudung siswa juga, ihh ini kok bau yah, udah
berapa kali pake kerudung, keramas enggak, sering saya
begitukan anak-anak.” (PG.5)

Kategori 3) teridentifikasi dari pernyataan satu partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
"...klo gak ada shampoo ya pake sabun mandi…" (PS.3)

d. Penerapan PHBS Perilaku Kebersihan dan Kerapihan


Pakaian
Sub tema d. terjawab dari empat kategori yaitu 1) Keterampilan
kebersihan dan kerapihan pakaian; 2) Sikap kebersihan dan
kerapihan pakaian; 3) Peraturan sekolah tentang cara
berpakaian; dan 4) Dukungan orang tua merawat kebersihan
dan kerapihan pakaian. Kategori 1) teridentifikasi dari
pernyataan enam partisipan siswa dengan pernyataan sebagai
berikut:
“Setiap hari satu kali ganti…jadi ganti terus tiap hari.”
(PS.1)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…rata-rata siswa ganti baju setiap 2 hari ya, kan jenis
seragamnya macam-macam…” (PG.3)

75
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


76

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan siswa.


Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
"Saya gak ikut-ikutan kayak gitu (celana sekolah
dikecilkan). Ya biar bisa nyampe, misalnya kelas satu ya
bisa nyampe ampe kelas 3, jadi gak beli-beli lagi." (PS.3)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
"…anak-anak itu banyak yang celananya di buat gaya
pencil, ya saya sering kasi tahu berulang kali, klo masih
aja seperti itu saya setset jaritannya… " (PG.5)

Kategori 3) teridentifikasi dari pernyataan satu partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
"...klo di kelas gak boleh pake baju olahraga selain
pelajaran olahraga." (PS.4)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…sekolah memang sudah mempunyai aturan berpakaian
ya, setiap hari senin setelah upacara ada pemeriksaan
pakaian..,” (PG.6)

Kategori 4) teridentifikasi dari pernyataan satu partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
“…baju sekolah… biasanya orang tua yang
mencucikan…”(PS.1)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…orang tua kurang peduli dengan anak, mereka sibuk
bekerja mencari uang, jadi cuci baju klo orang tua ada
waktu...” (PG.5)

e. Penerapan PHBS Perilaku Kebersihan Kuku


Sub tema e. terjawab dari tiga kategori yaitu 1) Pengetahuan
kebersihan kuku; 2) Keterampilan kebersihan kuku; dan 3).
Sikap kebersihan kuku. Kategori 1) teridentifikasi dari

76
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


77

pernyataan lima partisipan siswa. Pernyataan partisipan siswa


sebagai berikut:
"Ya kan misalnya lagi makan, kuku panjang tuh kumannya
langsung ke mulut gitu. Bisa bikin sakit." (PS.6)

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan empat partisipan


siswa dengan pernyataan sebagai berikut:
"…kapan ya potong itu sebulan yang lalu ya…" (PS.5)

Kategori 3) teridentifikasi dari pernyataan lima partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
"Males dipotongnya, kalo udah panjang sayang." (PS.6)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…saya rasa itu (cara kebersihan kuku) sudah tidak
diperlukan lagi ya…” (PG.3)

f. Penerapan PHBS Perilaku Kebersihan Sepatu


Sub tema f. teridentifikasi dari kategori keterampilan
kebersihan sepatu. Kategori ini teridentifikasi dari pernyataan
enam partisipan siswa. Pernyataan partisipan siswa sebagai
berikut:
" Kalo sepatu misalnya pagi-pagi nih nyuci yang depannya
doang saya sikat, rasanya kayak kelihatan dicuci.. nah
udah jalan…"." (PS.6)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…anak-anak itu gak pernah cuci sepatu, semua sepatunya
kotor-kotor sepertinya gak dibiasakan mencuci sepatu
sendiri…” (PG.4)

77
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


78

g. Penerapan PHBS Perilaku Jajan di Sekolah


Sub tema g. terjawab dari lima kategori yaitu 1) Pengetahuan
jajan di sekolah; 2) Keterampilan jajan di sekolah; 3) Sikap
jajan di sekolah; 4) Pengaruh teman sebaya; dan 5) Aturan
jajanan di sekolah. Kategori 1) teridentifikasi dari pernyataan
empat partisipan siswa. Pernyataan partisipan siswa sebagai
berikut:
“Jajanan yang bersih dan sehat itu jajanan yang gak
kebuka…” (PS.1)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
"...pedagang gorengan ya bakwan goreng gitu, ya memang
ada yang menggunakan dari bahan-bahan yang rusak
misalnya sayuran atau wortel yang udah busuk dipakai,
dicuci trus digunakan sebagai bahan makanan,…" (PG.3)

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan tiga partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
"...jajan di depan sekolah trus diselipin di kantong (cara
membeli makanan di luar sekolah)” (PS.4)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
"Kebiasaan anak-anak itu aja susah bawa bekal ya,
disuruh bawa minum dari rumah aja gak ada ya…pasti
jajan minuman es yang berwarna itu…kan bahannya belum
sehat ya…" (PG.5)

Kategori 3) teridentifikasi dari pernyataan empat partisipan


siswa dengan pernyataan sebagai berikut:
"...lebih terjamin tuh kebersihannya… pasti udah sehat
(membawa bekal)” (PS.1)

78
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


79

Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:


"Ya klo masih ditemukan anak yang jajan sembarangan
misalnya jajan di luar sekolah itu ya, ya karena terpaksa,
seperti harga membawa mutu begitu juga ke makanan."
(PG.3)

Kategori 4) teridentifikasi dari pernyataan tiga partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
“…gak ada teman yang bawa bekal ke sekolah.”(PS.5)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…ya kan itu ikut-ikutan temannya ya…(jajan dengan
teman).” (PG.2)

Kategori 5) teridentifikasi dari pernyataan tiga partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
“…gak ada tuh aturan di sekolah gak boleh jajan di luar
sekolah.”(PS.5)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…ya belum ada kantin, anak-anak ya beli di luar, aturan
sekolah memang tidak ada soal jajan di luar.” (PG.4)

h. Penerapan PHBS Perilaku Tidak Merokok


Sub tema h. terjawab dari dua kategori yaitu 1) Kemampuan
menolak perilaku merokok dan 2) Tekanan teman sebaya
terhadap perilaku merokok. Kategori 1) teridentifikasi dari
pernyataan empat partisipan siswa. Pernyataan partisipan siswa
sebagai berikut:
"...ngelihat kakak saya merokok ya jadi gak pengen
merokok…" (PS.3)
“…takutnya asapnya itu bisa bikin paru-paru rusak.”
(PS.2)

79
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


80

“…teman-teman di sekolah udah sering saya bilangin udah


jangan ngerokok melulu, ntar maen futsal nafasmu gak
kuat…” (PS.4)

Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:


"...belum ada menangani masalah merokok, belum pernah
ada anak merokok di sekolah." (PG.3)
“…tiap awal tahun sudah ada penyuluhan tentang masalah
remaja seperti tidak boleh merokok, NAPZA…itu untuk
siswa baru…” (PG.5)
“…guru-guru sangat perhatian dengan masalah merokok
remaja…” (PG.6)

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan tiga partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
“…saya aja pernah diajakin ngerokok ma temen-temen…”
(PS.2)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…kayak itu mah diajak temen biasanya ya…” (PG.6)

4.2.3 Hambatan Siswa dan Guru terhadap penerapan PHBS di


Sekolah
Tujuan khusus ini terjawab melalui tema Faktor Penghambat
Terbentuknya PHBS di Sekolah. Penjelasan dari tema dan sub tema
yang teridentifikasi dijelaskan sebagai berikut:
4.2.1.4 Tema 4: Faktor Penghambat Terbentuknya PHBS di Sekolah
Tema ini teridentifikasi dari dua sub tema yaitu Hambatan siswa
dan Hambatan guru. Penjelasan masing-masing sub tema tersebut
sebagai berikut.

80
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


81

a. Hambatan Siswa
Sub tema a. terjawab dari tiga kategori yaitu 1) Kurang
pengetahuan menerapkan PHBS; 2) Kurang fasilitas
pendukung PHBS di sekolah; dan 3) Kurang dukungan dari
guru dan orang tua. Kategori satu teridentifikasi dari
pernyataan empat partisipan siswa. Pernyataan partisipan siswa
sebagai berikut:
" Saya belum pernah dengar kak (PHBS)." (PS.4)

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan tiga partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
“…gak ada kantin sekolah…” (PS.5)

Kategori 3) teridentifikasi dari pernyataan empat partisipan


siswa dengan pernyataan sebagai berikut:
“…belum ada guru yang kasi tahu tentang jajanan
sehat…” (PS.3)
“…gak pernah tuh orang rumah kasi tahu tentang cuci
tangan, ya mau makan makan aja sendiri…” (PS.6)

b. Hambatan Guru
Sub tema b. terjawab dari empat kategori yaitu 1) Keterbatasan
waktu; 2) Kurang pembinaan guru dan guru UKS; 3) Kurang
pendanaan dan 4) Kebijakan sekolah yang belum optimal.
Kategori 1) teridentifikasi dari pernyataan tiga partisipan guru.
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
"Kendalanya ya saya sebagai pembina UKS sering
kewalahan membagi waktu untuk menjalankan program
UKS, ya saya lebih dahulu mengutamakan tugas utama
saya dalam pengajaran ya…” (PG.6)

81
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


82

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan satu partisipan guru


dengan pernyataan sebagai berikut:
"…puskesmas belum kontinyu melakukan pembinaan UKS
termasuk itu tadi PHBS, ya terakhir puskesmas
memberikan penyuluhan klo tidak salah tahun 2010. Tapi
itu tidak kontinyu… (PG.6)

Kategori 3) teridentifikasi dari pernyataan satu partisipan guru


dengan pernyataan sebagai berikut:
"Sering sekali dana oprasional UKS yang direncanakan
diawal waktu penyusunan anggaran, keluarnya tidak sesuai
dengan rancangan yang dianggarkan di awal…" (PG.6)

Kategori 4) teridentifikasi dari pernyataan satu partisipan guru


dengan pernyataan sebagai berikut:
“Dulu sudah pernah direncanakan saat rapat sekolah
dengan yayasan untuk melakukan aturan kebersihan
sekolah namun kebijakan tersebut baru slogan saja, belum
dijalankan oleh semua pihak…” (PG.5)

4.2.4 Dukungan terhadap penerapan PHBS di Sekolah


Tujuan khusus ini terjawab melalui tema Faktor Pendukung
Pembentukan PHBS di Sekolah. Penjelasan dari tema dan sub tema
yang teridentifikasi dijelaskan sebagai berikut:
4.2.1.5 Tema 5: Faktor Pendukung Pembentukan PHBS di Sekolah
Tema ini teridentifikasi dari empat sub tema yaitu a. Sumber
dukungan penerapan PHBS; b. Bentuk dukungan penerapan PHBS;
c. Aturan sekolah; d. Norma Keluarga ; dan e. Tidak ada dukungan
penerapan PHBS. Penjelasan masing-masing sub tema tersebut
sebagai berikut.

82
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


83

a. Sumber Dukungan Penerapan PHBS


Sub tema a. terjawab dari tiga kategori yaitu 1) Dukungan
orang tua; 2) Dukungan tenaga kesehatan; dan 3) Dukungan
guru. Kategori 1) teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan
siswa. Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
“…mama yang paling sering kasi tahu, klo jajan di sekolah
itu harus pinter-pinter milih, klo enggak nanti sakit, kan
gak semua jajanan itu dibuatnya dari yang sehat dan steril
ya… (PS.1)

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
“…dulu pernah ada penyuluhan dari dokter-dokter polisi
ke sekolah kak, tentang hidup sehat dan narkoba…” (PS.2)

Kategori 3) teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
“…iya ada guru kasi tahu klo jajan itu jangan jajan snack
yang pedas-pedas gitu, bisa bikin radang tenggorokan…”
(PS.5)
Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:
“…kan sudah ada mata pelajaran PLH (Pendidikan
Lingkungan Hidup), itu (PHBS) sudah disampaikan disana
menurut saya…”(PG.1)

b. Bentuk Dukungan
Sub tema b. terjawab dari empat kategori yaitu 1) Penyuluhan;
2) Berita di TV; 3) Membaca koran dan 4) Poster. Kategori 1)
teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan siswa. Pernyataan
partisipan siswa sebagai berikut:
"…kan itu dapat penyuluhan dari kakak-kakak UI
…”(PS.3)

83
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


84

Pernyataan partisipan guru sebagai berikut:


“…beberapa bulan lalu ada penyuluhan dari BPOM
tentang jajanan sehat, karena di ruang media, ya terbatas
hanya beberapa siswa yang terpilih saja yang ikut dari tiap
kelas…” (PG.6)

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan tiga partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
"…sekarang udah banyak ada di TV berita-berita makanan
yang gak sehat gitu ya dipalsu’in gitu cara buatnya…
(PS.4)

Kategori 3) teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan guru


dengan pernyataan sebagai berikut:
"…saya dapat informasi itu (jajanan sehat) di koran …"
(PG.4)

Kategori 4) teridentifikasi dari pernyataan satu partisipan siswa


dengan pernyataan sebagai berikut:
“Ada waktu aku SD, poster larangan merokok itu yang
gambar manusia item-item gitu, jijik lihatnya…” (PS.5)

c. Aturan Sekolah
Sub tema c. terjawab dari satu kategori yaitu tata tertib sekolah.
Kategori ini teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan
siswa. Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
"…ya kan itu semua sudah ada tata tertibnya di sekolah,
ya dilarang merokok, jajan di luar sekolah, berpakaian
rapi, pake sepatu item …”(PS.1)
“…klo pelajaran olahraga harus pake baju olahraga, klo
gak bawa gak boleh olahraga…biar bajunya (pakaian
sekolah) gak kotor…” (PS.3)

84
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


85

Partisipan guru menyatakan sebagai berikut:


“…sekolah sudah ada peraturan 3K, kebersihan,
keindahan dan ketertiban, saya pikir itu juga sudah
mencakup dengan program PHBS ya…” (PG.6)

d. Norma Keluarga
Sub tema d. terjawab dari satu kategori yaitu pola kebiasaan
keluarga. Kategori ini teridentifikasi dari pernyataan dua
partisipan siswa. Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
"…sudah dibiasakan oleh mama dan papa di rumah sejak
kecil, klo mau makan cuci tangan dulu, sebelum tidur juga
gitu, biar gak gatal-gatal…(PS.1)
“Biasanya sebelum berangkat sekolah, sarapan, harus
sarapan biar gak laper trus jajan di sekolah…” (PS.2)

e. Tidak ada dukungan penerapan PHBS


Sub tema e. terjawab dari dua kategori 1) Kurang informasi
tentang PHBS dan 2) Perilaku melanggar siswa. Kategori 1)
teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan siswa. Pernyataan
partisipan siswa sebagai berikut:
“…gak tahu apa ya hepatitis itu kak. Ya dibilang ma guru
klo jajan makan rame-rame bisa bikin sakit hepatitis…"
(PS.4)

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan dua partisipan siswa.


Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
“…banyak kok teman-teman jajan di luar, saya juga sih
kadang-kadang…” (PS.4)

85
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


86

4.2.5 Harapan terhadap pelaksanaan PHBS di Sekolah


Tujuan khusus ini terjawab melalui tema Harapan Siswa dan Guru
untuk terlaksananya PHBS. Penjelasan dari tema dan sub tema yang
teridentifikasi dijelaskan sebagai berikut:
4.2.5.1 Tema 6: Harapan siswa dan guru untuk terlaksananya PHBS
Tema ini teridentifikasi dari dua sub tema yaitu harapan siswa dan
harapan guru untuk terlaksananya PHBS. Penjelasan masing-
masing sub tema tersebut sebagai berikut.
a. Harapan siswa
Sub tema a. terjawab oleh dua kategori yaitu 1) Kebutuhan
fasilitas PHBS dan 2) Kebutuhan kegiatan olahraga. Kategori
1) teridentifikasi dari pernyataan tiga partisipan siswa.
Pernyataan partisipan siswa sebagai berikut:
“…ya pengennya ada kantin sekolah, kayak sekolah adikku
gitu…jadi gak jauh gitu klo jajan” (PS.5)
Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan satu partisipan siswa
dengan pernyataan sebagai berikut:
"Ya seharusnya ada senam tapi senamnya senam rutinlah
gitu, biar sehat.” (PS.6)

b. Harapan Guru
Sub tema b. terjawab dari kategori: 1) Fasilitas PHBS dan 2)
Dana pelaksanaan program UKS. Kategori 1) teridentifikasi
dari pernyataan dua partisipan guru. Pernyataan partisipan guru
sebagai berikut:
“…ya mudah-mudahan terealisasi, belum ada kantin ya
pengen ada kantin sehat buat anak-anak, jadi gak jajan di
luar sekolah…”(PG.5)

86
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


87

Kategori 2) teridentifikasi dari pernyataan satu partisipan guru


dengan pernyataan sebagai berikut:
"…harapannya ya di tahun-tahun berikutnya ini (dana)
sesuai dengan anggaran yang sudah diajukan kan, tidak
perlu menggunakan dana talangan pribadi…” (PG.6)

87
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


BAB 5
PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas tentang hasil penelitian yang diperoleh dengan
membandingkan teori, konsep dan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan
konteks penelitian seperti yang telah diulas dalam bab tinjauan pustaka. Peneliti
juga akan membahas tentang keterbatasan penelitian dengan membandingkan
proses penelitian yang telah dilakukan dengan keadaan standar yang seharusnya
dapat dicapai oleh peneliti. Selanjutnya, peneliti akan menyampaikan implikasi
penelitian terhadap perkembangan pelayanan keperawatan dan pengembangan
ilmu keperawatan.

5.1 Interpretasi Hasil Penelitian dan Diskusi Hasil


5.1.1 Respons Siswa dan Guru terhadap Penerapan PHBS di Sekolah
Respons siswa dan guru menampilkan perilaku mendukung penerapan
PHBS di sekolah. Perilaku mendukung penerapan PHBS di sekolah
tergambarkan dari kemampuan siswa dan guru terhadap pengetahuan,
keterampilan dan sikap menerapkan PHBS di sekolah.

Pengetahuan siswa dan guru terhadap PHBS di sekolah tergambarkan


melalui kemampuan menyatakan contoh dan manfaat penerapan PHBS di
sekolah. Siswa dan guru menyebutkan contoh perilaku penerapan PHBS di
sekolah melalui tindakan cuci tangan, tidak buang sampah sembarangan,
berolahraga, mandi, dan melaksanakan piket di kelas. Menurut Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Barat (2009), contoh perilaku penerapan PHBS
tersebut sesuai dengan indikator PHBS di sekolah.

Siswa yang telah mempunyai kemampuan pengetahuan PHBS di sekolah


dengan menyebutkan manfaat PHBS seperti menyehatkan badan dan tidak
mudah sakit. Penyebutan manfaat tersebut sesuai dengan manfaat PHBS
bagi siswa di sekolah yaitu meningkatkan kesehatan dan tidak mudah
sakit; meningkatkan semangat belajar; meningkatkan produktifitas belajar;

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


89

dan menurunkan angka absensi karena sakit (Dinas Kesehatan Propinsi


Jawa Barat, 2009).

Pengetahuan PHBS di sekolah pada siswa SMP sudah tergambarkan


secara baik, hal ini berdasarkan kemajuan perubahan kognitif tumbuh
kembang remaja yang sebelumnya bersifat konkret menjadi bersifat
abstrak (Potter & Perry, 2009). Siswa SMP yang berada pada tahap
tumbuh kembang remaja telah mampu berpikir sebab dan akibat sehingga
remaja telah mampu membayangkan kemungkinan yang akan terjadi pada
suatu tindakan, begitu juga terhadap penerapan PHBS di sekolah. Menurut
Notoatmodjo (2010), tahap berpikir abstrak memiliki kesamaan dengan
tingkat pengetahuan yang telah mampu melakukan analisis. Analisis
adalah kemampuan menjabarkan atau memisahkan, kemudian mencari
hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam masalah atau
objek yang diketahuinya. Hal ini juga sudah terjadi pada kematangan
kognitif remaja.

Kemampuan keterampilan siswa menerapkan PHBS di sekolah


diungkapkan oleh siswa dan guru melalui tindakan tidak jajan di luar
sekolah; menggunakan pakaian sekolah dengan rapi dan sesuai aturan
sekolah; tidak merokok; tidak membuang sampah sembarangan; dan
berperilaku tidak kotor. Hal ini menunjukkan bahwa siswa telah
menerapkan PHBS di sekolah dengan baik. Hasil penelitian yang
dilakukan Fauziah (2004) terhadap perilaku PHBS siswa SD di
Palembang, menemukan bahwa keterampilan siswa melakukan PHBS
dengan baik 55,2%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh
peneliti. Berdasarkan hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan Fauziah
tersebut, kemampuan keterampilan siswa menerapkan PHBS di tingkat SD
telah berjalan dengan baik. Hal ini menjadi dasar kemampuan
keterampilan penerapan PHBS siswa di tingkat SMP.

89
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


90

Kemampuan sikap siswa menerapkan PHBS di sekolah tergambarkan


dengan baik. Sikap siswa dan guru menyatakan bahwa penerapan PHBS
terlihat dari tindakan seseorang melakukan kebersihan, terlihat dari
penampilan fisik, berawal dari diri sendiri, merasakan manfaat setelah
berperilaku bersih dan sehat serta merasakan akibat setelah melakukan
perilaku tidak bersih.

Sikap menerapkan PHBS di sekolah tercermin dari tindakan siswa


melakukan kebersihan dan penampilan fisik yang bersih pada diri masing-
masing siswa. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Olson (2007) yang
menyatakan bahwa kebersihan diri merupakan refleksi penampilan diri
seseorang. Menurut Potter dan Perry (2009), kebersihan diri adalah hal
yang sangat pribadi ditentukan oleh nilai-nilai individu dan praktek dalam
melakukan kebersihan diri. Dengan demikian, sikap siswa dan guru
menunjukkan dukungannya dalam menerapkan PHBS di sekolah didasari
oleh manfaat secara langsung berupa tampilan fisik yang indah dilihat
orang lain.

Sikap siswa yang menyatakan bahwa penerapan PHBS berawal dari diri
sendiri, sesuai dengan pengertian PHBS. Menurut Depkes RI (2008),
pengertian PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas
dasar kesadaran hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau
keluarga mampu menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan
berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya.
Kesimpulannya, sikap siswa terhadap PHBS menunjukkan hal yang positif
bahwa PHBS dilakukan atas dasar kesadaran yang timbul dari dalam diri.

Sikap siswa merasakan manfaat setelah berperilaku bersih dan sehat serta
merasakan akibat setelah melakukan perilaku tidak bersih menunjukkan
pengalaman siswa terhadap penerapan PHBS. Pengalaman tersebut
tergambar dari tindakan yang pernah dilakukannya sendiri maupun sikap
siswa terhadap tindakan teman di sekolahnya. Pengalaman siswa

90
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


91

melakukan PHBS dengan kebersihan diri memberikan rasa kenyamanan


pada siswa sendiri dan juga orang di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Potter dan Perry (2009), kebersihan diri dapat memberikan rasa
nyaman, aman dan sejahtera.

Pengalaman siswa terhadap tindakan teman yang tidak bersih


menunjukkan sikap kurang baik dengan menjelaskan akibat yang
ditimbulkan dari perilaku tersebut. Menurut Pender (1996), setiap manusia
mempunyai karakteristik yang unik dan pengalaman masa lalu yang
diperoleh sebagai penentu perilaku kesehatannya. Pengalaman masa lalu
tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Jika
hasilnya memuaskan maka akan menjadi pengulangan perilaku dan jika
gagal menjadi pelajaran untuk masa depan. Kesimpulannya, sikap siswa
mendukung penerapan PHBS dipengaruhi oleh pengalaman yang
dirasakan siswa terhadap perilaku yang memberi manfaat secara langsung
maupun tidak langsung.

Penerapan program PHBS sebagai salah satu bentuk promosi kesehatan


ditanggapi dengan respons positif berupa perilaku mendukung siswa dan
guru dalam upaya menerapkan PHBS. Menurut Pender (1996), promosi
kesehatan adalah bentuk peningkatan kesehatan yang dilakukan individu
atau kelompok untuk mencapai tahap kesehatan optimal dan sejahtera.
Setiap individu berusaha mencari tahap tersebut dengan berkomitmen
melakukan gaya hidup yang mendukung kesehatan dan mengurangi risiko
kesakitan serta kecacatan (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999). Gaya
hidup sehat tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan PHBS.

Selain perilaku mendukung terhadap penerapan PHBS di sekolah, ada


respons kurang peduli dari siswa dan guru dalam menerapkan PHBS.
Respons kurang peduli tersebut digambarkan dengan kurang pengetahuan
tentang PHBS di sekolah, sikap kurang mendukung penerapan PHBS di
sekolah dan kurang kemauan dalam penerapan PHBS di sekolah.

91
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


92

Kurang pengetahuan siswa tentang PHBS dikarenakan siswa belum pernah


mendengar tentang PHBS. Hal ini ditampilkan dengan ketidakmampuan
memberikan penjelasan secara langsung terkait PHBS. Hasil penelitian ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan Fauziah (2004) tentang faktor-
faktor yang berhubungan dengan PHBS siswa SD dengan dan tanpa
program PHBS di Palembang, tingkat pengetahuan siswa tentang PHBS
55,2% dengan kategori baik. Menurut peneliti, perbedaan ini disebabkan
oleh kurangnya kemampuan intektual siswa terhadap PHBS dan belum
adanya motivasi siswa untuk mencari informasi tentang PHBS. Minat
remaja berdasarkan tumbuh kembang psikososialnya lebih menekankan
pada pencarian identitas diri dan lebih mementingkan bersama teman
sebayanya (Potter & Perry, 2009; Sarwono, 2011). Sehingga informasi
yang berhubungan dengan PHBS kurang diminati remaja.

Sikap kurang mendukung penerapan PHBS di sekolah menampilkan sikap


kurang penting siswa dan guru terhadap PHBS. Sikap kurang penting
siswa diungkapkan saat melakukan praktik PHBS. Salah satunya praktik
cuci tangan di sekolah. Siswa menyatakan bahwa cuci tangan merupakan
tindakan yang merepotkan. Banyak orang menganggap remeh tindakan
cuci tangan. Bila tangan tidak kotor, tidak perlu cuci tangan (Mulyono,
2011). Hal itu juga menjadi alasan siswa tidak melakukan cuci tangan
sebelum mengkonsumsi jajanan.

Sedangkan, sikap kurang penting penerapan PHBS yang diungkapkan oleh


guru wali kelas, menyatakan bahwa penerapan PHBS tidak cocok pada
siswa SMP yang berada pada masa tumbuh kembang remaja. Karena
siswa SMP lebih difokuskan pada masalah-masalah remaja dibandingkan
dengan prinsip-prinsip PHBS. Hal ini sesuai dengan pendapat Williams et
al (1989 dalam Naidoo dan Wills, 2000), yang menyatakan guru di
sekolah sering meremehkan informasi kesehatan yang dimasukkan ke
dalam mata pelajaran sekolah. Pendapat tersebut juga didukung oleh hasil

92
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


93

penelitian yang peneliti peroleh bahwa guru mengganggap prinsip-prinsip


PHBS tersebut bukan tanggung jawab guru di sekolah melainkan tugas
orang tua di rumah. Prinsip PHBS di sekolah dalam penelitian ini
dianggap oleh guru wali kelas sebagai hal yang sudah dipahami siswa
SMP karena sudah diperoleh di SD. Namun, dalam penerapan PHBS di
sekolah, siswa SMP belum mempraktikkan PHBS tersebut secara optimal.

Selanjutnya, pendapat guru bahwa masalah kesehatan siswa adalah


tanggung jawab orang tua di rumah juga dapat menimbulkan masalah
kesehatan di masa mendatang. Kondisi ini akan menimbulkan risiko
kesehatan pada remaja. Misalnya meremehkan perilaku jajan siswa di luar
sekolah, bila tidak dilakukan upaya pencegahan baik dari orang tua di
rumah dan guru di sekolah, tentu siswa tidak tahu cara memilih jajanan
yang sehat. Sehingga remaja berisiko mengkonsumsi jajanan sembarangan
yang telah terkontaminasi mikrobiologis dan zat kimia berbahaya yang
dapat menyebabkan penyakit hepatitis A, diare, demam typoid dan
kecacingan (Suci, 2009). Selain bahaya penyakit menular gastrointestinal,
remaja dapat mengalami masalah kurang nutrisi yang dapat memperlambat
tumbuh kembang remaja (Devi, 2012; Depkes RI, 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan Sarifudin (2003), hubungan antara


pengetahuan, sikap dan praktik guru UKS tentang PHBS dengan strata
kesehatan SD di kabupaten Pemalang menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara tingkat pengetahuan, sikap dan praktik guru UKS
tentang PHBS dengan strata kesehatan sekolah. Kondisi ini berbeda
dengan sikap kurang mendukung penerapan PHBS di sekolah yang
disampaikan oleh guru wali kelas. Hal ini memiliki keterkaitan bahwa
guru UKS telah mendapatkan pelatihan UKS, PKPR, PHBS dan program
lainnya. Sehingga, guru UKS lebih memahami pentingnya penerapan
PHBS di sekolah dibandingkan dengan guru wali kelas.

93
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


94

Kurang kemauan siswa menerapkan PHBS ditampilkan dengan kurangnya


keterampilan siswa menerapkan PHBS. Kurang kemauan tersebut
tergambar dari kurangnya motivasi dalam menerapkan PHBS. Menurut
Pender (1996), pada Health Promotion Model (HPM) ada faktor Behavior-
Specific Cognitions and Affect yang berperan sebagai motivasi utama
seseorang melakukan promosi kesehatan. Kondisi ini dapat juga
dihubungkan dengan alasan individu menerapkan PHBS. Faktor Behavior-
Specific Cognitions and Affect terdiri dari faktor manfaat melakukan
PHBS; faktor hambatan melakukan PHBS; faktor kemampuan diri untuk
melakukan PHBS; faktor sikap saat melakukan PHBS; faktor pengaruh
interpersonal melakukan PHBS; dan faktor pengaruh situasional
melakukan PHBS. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mendukung
Behavior-Specific Cognitions and Affect pada setiap siswa harus
ditingkatkan untuk membangkitkan kamauan siswa menerapkan PHBS di
sekolah.

5.1.2 Praktik Penerapan PHBS Siswa di Sekolah


Praktik penerapan PHBS siswa di sekolah mencakup penerapan prinsip
dasar melakukan PHBS. Prinsip dasar PHBS pada penelitian ini yaitu
perilaku cuci tangan, perilaku kebersihan diri (badan, kuku, sepatu,
pakaian dan rambut), perilaku jajan sehat di sekolah dan perilaku tidak
merokok.

5.1.2.1 Penerapan PHBS Perilaku Cuci Tangan


Perilaku cuci tangan di sekolah pada penelitian ini didasari pada
kemampuan pengetahuan, keterampilan dan sikap siswa menerapkan
perilaku cuci tangan. Kemampuan pengetahuan cuci tangan siswa sudah
baik. Pengetahuan cuci tangan siswa terdiri dari cara cuci tangan yang baik
dengan menggunakan sabun, waktu cuci tangan, manfaat cuci tangan, jenis
sabun yang baik untuk cuci tangan, dan akibat tidak cuci tangan
menggunakan sabun. Namun, di sisi lain masih ada sikap siswa yang
menyatakan cuci tangan menggunakan air sudah dapat menghilangkan

94
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


95

kotoran yang ada di tangan. Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian


yang dilakukan Luthfianti (2008), menemukan bahwa 64,8% responden
siswa SDN di Kedaung Wetan Tangerang beranggapan mencuci tangan
dengan air tanpa sabun dapat membunuh kuman penyebab penyakit
cacingan. Pernyataan keliru ini menunjukkan bahwa kemampuan
pengetahuan siswa cuci tangan menggunakan sabun masih ada yang
kurang tepat.

Pengetahuan siswa dalam melakukan cuci tangan menggunakan sabun


belum diiringi dengan keterampilan dan sikap siswa di sekolah.
Keterampilan siswa cuci tangan di sekolah menggunakan air dan bahkan
ada yang tidak cuci tangan sama sekali. Berdasarkan data analisis peneliti,
perilaku cuci tangan menggunakan sabun disebabkan ketidakadaan sabun
di sekolah. Bahkan ada sikap siswa yang menyatakan malas melakukan
cuci tangan, merasakan cuci tangan merupakan hal yang merepotkan dan
cuci tangan merupakan hal yang tidak penting.

Penelitian yang dilakukan Vivas, Gelaye, Aboset, Kumie, Berhane, dan


Williams (2010) kepada siswa SD di Ethiopia mengidentifikasi siswa yang
memiliki pengetahuan cuci tangan dengan baik 52%. Siswa yang
melaporkan cuci tangan sebelum makan 99%, tapi hanya 36,2% yang
menyatakan menggunakan sabun. Sikap siswa yang melaporkan bahwa
cuci tangan setelah defekasi merupakan hal yang penting sebesar 76,7%,
namun hanya 14,8% saja yang mempraktekkannya. Menurut Water and
Sanitation Program (2009, dalam Vivas, Gelaye, Aboset, Kumie, Berhane,
& Williams; 2010) menyebutkan faktor negatif siswa tidak melakukan
praktik cuci tangan adalah sikap keras kepala siswa yang tidak
menghiraukan perkataan orang dewasa, kemalasan, terburu-buru karena
ingin segera pergi istirahat, merasa waktu bermain lebih penting,
kurangnya fasilitas cuci tangan yang dekat dengan aktivitas siswa, dan
kondisi kamar mandi yang kotor dan berbau. Penelitian di atas sesuai
dengan hasil penelitian yang peneliti peroleh bahwa pengetahuan cuci

95
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


96

tangan siswa yang baik belum menentukan sikap dan keterampilan cuci
tangan yang baik.

Menurut konsep Green dan Kreuter (2005), ada tiga faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang yaitu 1) Predisposing
factors; 2) Enabling Factors; dan 3) Reinforcing factors. Kurangnya
fasilitas cuci tangan melemahkan terbentuknya enabling factors, sikap
negatif siswa terhadap cuci tangan menghambat terbentuknya
predisposing factors dan kurangnya dukungan guru di sekolah terhadap
cuci tangan pakai sabun (CTPS) mengurangi terbentuknya reinforcing
factors. Sehingga perilaku CTPS di sekolah belum terbentuk dengan baik.

Menurut Scarborough (2002), perilaku cuci tangan sering tidak terlaksana


dengan baik di sekolah, karena terkendala dengan fasilitas. Sehingga, pola
perilaku tersebut tidak dibiasakan di sekolah. Padahal, lingkungan sekolah
banyak sekali berinteraksi debu dan keringat. Dampak buruk belum
optimalnya perilaku cuci tangan di sekolah bagi kesehatan siswa adalah
meningkatkan angka kesakitan diare, penyakit infeksi pernafasan bagian
atas, dan penyakit infeksi dermatologis (Lopez-Quintero, Freeman dan
Neumark, 2009). Oleh karena itu, upaya perilaku cuci tangan di sekolah
harus ditingkatkan untuk mengurangi angka kesakitan siswa dan tingkat
ketidakhadiran siswa di sekolah.

Perawat puskesmas dan guru pembina UKS belum optimal menjalankan


TRIAS UKS yang mencakup pendidikan, pelayanan, dan pembinaan
lingkungan kehidupan sekolah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya waktu
guru pembina UKS dalam membagi waktu menjalankan tugas mengajar
dan sebagai pembina UKS. Hal ini sudah dijelaskan pada sub bab
hambatan penerapan PHBS di sekolah. Sedangkan perawat puskesmas
belum tidak terus menerus menjalankan pembinaan terhadap program
UKS di sekolah. Hal ini yang menyebabkan kurangnya pengawasan
terhadap penerapan PHBS di sekolah.

96
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


97

5.1.2.2 Penerapan PHBS Perilaku Kebersihan Diri


Perilaku kebersihan diri siswa mencakup kebersihan badan, pakaian, kuku,
rambut dan sepatu. Perilaku kebersihan badan siswa dalam penelitian ini
teridentifikasi dari kemampuan keterampilan kebersihan badan dan sikap
kebersihan badan siswa. Kemampuan kebersihan badan siswa di sekolah
sudah tergambarkan dengan baik, seperti mengganti baju olahraga dengan
baju pakaian sekolah, dengan tujuan agar tidak beraroma tidak sedap saat
di dalam kelas. Pernyataan tersebut menunjukkan sikap siswa telah
memiliki pengetahuan yang baik terhadap kebersihan diri. Namun, masih
ada siswa yang tidak mengganti pakaian olahraga saat pelajaran di
sekolah, karena tidak ada larangan dan aturan yang mengharuskan siswa
mengganti pakaian olahraga dengan pakaian sekolah.

Menurut Potter dan Perry (2009), kebersihan pakaian dan badan harus
menjadi perhatian karena kondisi pakaian dan badan yang kotor
merupakan sumber penyakit terutama penyakit kulit. Pakaian yang basah
oleh keringat menyimpan bakteri yang dapat menempel di kulit. Bila kulit
tidak segera dibersihkan dengan cara mandi dan mengganti pakaian, kulit
akan mudah terinfeksi bakteri dan jamur yang merupakan penyebab
penyakit kulit seperti panu, kudis, kurap, gatal-gatal (Berita Pagi, 2012).

Perilaku kebersihan badan siswa di sekolah juga tergambarkan dari


menjaga kebersihan dirinya saat menggunakan kamar mandi di sekolah.
Siswa berusaha melakukan kebersihan badan dan lingkungan di kamar
mandi sekolah dengan menyiram jamban setelah buang air. Ini merupakan
salah satu prinsip PHBS di sekolah indikator buang air kecil dan besar di
jamban sekolah. Tujuannya menjaga lingkungan disekitar sekolah menjadi
bersih, sehat dan tidak berbau. Selain itu, tindakan buang air di dalam
jamban dan segera menyiramnya merupakan uapaya pencegahan
penularan penyakit seperti diare, typus, kecacingan dan penyakit
pencernaan lainnya (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 2009).

97
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


98

Kondisi kamar mandi di sekolah dengan bak penampungan air yang tidak
pernah dikuras menyebabkan air di dalam bak menjadi kotor dan berpasir.
Kondisi ini tidak baik untuk kebersihan anggota badan siswa, misalnya
menggunakan air untuk cuci tangan dan setelah buang air. Namun, siswa
memilki kemampuan kebersihan diri yang baik yaitu dengan cara memiilih
kamar mandi yang jarang dipakai untuk buang air atau mengambil air di
bak dengan perlahan-lahan untuk memperoleh air yang bersih.
Keterampilan ini menunjukkan bahwa siswa telah memiliiki kemampuan
kebersihan badan yang baik.

Kemampuan kebersihan badan yang dilakukan di rumah berhubungan


dengan kegiatan mandi yang dilakukan secara teratur. Siswa SMP yang
berada pada tumbuh kembang remaja, sering sekali memiliki masalah
terkait perubahan fisik remaja seperti jumlah produksi keringat yang lebih
banyak dibandingkan pada masa anak-anak. Siswa melakukan mandi
sebanyak dua kali sehari secara teratur bahkan ada yang tiga kali sehari,
hal ini dilakukan untuk mengurangi keringat dan aroma tidak sedap setelah
pulang sekolah pada siang hari. Menurut Kegiatan Pembinaan Petugas
KIA, KB-KRR, UKS dan Jumbara kota Depok (2005), kebersihan badan
yang baik dengan cara mandi dua kali sehari secara teratur.

Perubahan fisik tumbuh kembang remaja pada siswa SMP dapat


mengalami masalah bau badan. Sikap siswa mengatasi masalah bau badan
dengan cara mandi sesering mungkin dan menggunakan minyak wangi.
Penggunaan minyak wangi dan pengharum tubuh lainnya dapat
meningkatkan percaya diri siswa diantara teman-temannya. Sehingga
remaja lebih mudah bergaul dengan teman di sekolah. Berdasarkan
keterampilan siswa menjaga kebersihan badan tersebut, siswa sudah dapat
menerapkan perilaku kebersihan badan dengan baik dan benar.

98
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


99

Perilaku kebersihan pakaian siswa teridentifikasi oleh keterampilan dan


sikap menjaga kebersihan dan kerapihan pakaian. Keterampilan siswa
melakukan kebersihan pakaian masih kurang terawat dengan baik. Hal ini
berdasarkan pernyataan siswa yang menggunakan pakaian sekolah
melebihi dari 3 hari berturut-turut. Walaupun belum ada standar tentang
waktu yang dipakai dalam mengatur waktu ganti pakaian seragam sekolah.
Biasanya pola waktu ganti pakaian seragam dilakukan setiap dua hari
sekali. Pakaian sekolah yang kotor dan berbau keringat merupakan sumber
berkembangbiaknya bakteri penyebab penyakit kulit (Berita Pagi, 2012).
Ada juga pernyataan siswa yang tidak mengganti pakaian sekolah setelah
pulang sekolah. Siswa masih menggunakan pakian sekolah hingga sore
hari dan baru menggantinya sebelum mandi sore. Hal ini terbukti dengan
jelas saat peneliti melakukan kunjungan ke rumah siswa.

Selain keterampilan yang kurang dalam menjaga kebersihan pakaian


sekolah, ada pernyataan siswa yang menggunakan pakaian sekolah setiap
dua hari sekali. Hal ini berkaitan dengan aturan berpakaian sekolah yang
jenisnya berganti setiap dua hari sekali. Walaupun aturan sekolah jenis
baju sekolah berganti setiap dua hari sekali, ada juga siswa yang
mengganti pakaian sekolah setiap hari, alasannya kotor dan berkeringat.
Keterampilan siswa ini menunjukkan perilaku yang peduli menjaga
kebersihan pakaian sekolah.

Penelitian yang dilakukan Oyibo (2012) terhadap siswa sekolah di Nigeria,


Oyibo melakukan inspeksi kebersihan pakaian sekolah pada siswa usia 12-
14 tahun dan mendapatkan 59,1% siswa menggunakan pakaian yang kotor
padahal tingkat pengetahuan kebersihan diri siswa dengan kategori baik
74.6%. Penelitian ini sesuai dengan hasil yang diperoleh peneliti bahwa
ada keterampilan siswa yang kurang menjaga kebersihan pakaian sekolah
dengan baik.

99
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


100

Kebersihan pakaian juga berkaitan dengan kebersihan pakaian dalam.


Remaja dengan perubahan fisik mengalami pematangan organ reproduksi.
Pergantian pakaian memiliki hubungan dengan kebersihan diri terutama
organ reproduksi baik remaja perempuan dan laki-laki. Belum ada standar
pergantian pakaian dalam pada siswa perempuan. Menurut Depkes RI
(2007), cara mencegah masalah kesehatan reproduksi pada remaja
perempauan dengan melakukan pergantian pakaian dalam secara rutin dan
tidak menggunakan pakaian dalam yang terlalu ketat. Keterampilan siswa
perempuan mengganti pakaian dalam dilakukan setiap selesai mandi.
Keterampilan itu sudah termasuk menjaga kebersihan pakaian dengan
baik.

Selain keterampilan dan sikap siswa melakukan kebersihan pakaian,


peraturan sekolah yang mengatur tata tertib berpakaian siswa dan
dukungan orang tua merawat kebersihan dan kerapihan pakaian
membentuk perilaku kebersihan pakaian siswa. Siswa menyatakan bahwa
di sekolah dilakukan pemeriksaan pakaian setiap hari Senin setelah
upacara bendera. Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk memeriksa
kelengkapan berpakaian siswa agar tidak menggunakan pakaian yang tidak
sesuai dengan aturan sekolah. Menurut peneliti pemeriksaan tersebut
bermanfaat sebagai pengawasan siswa untuk menjaga kebersihan dan
kerapihan pakaian yang mencakup kelengkapan atribut sekolah, kerapihan
dan kebersihan.

Sedangkan, dukungan orang tua dalam merawat kebersihan pakaian siswa


dilakukan dengan cara mencuci dan menyetrika pakaian sekolah dan
rumah. Belum ada pernyataan siswa yang mampu melakukan perawatan
kebersihan pakaian dengan cara mencuci dan menyetrika sendiri. Namun,
ada juga orang tua yang kurang memperhatikan kebersihan dan kerapihan
anaknya, karena kesibukan orang tua mencari nafkah. Hal ini terjadi pada
keluarga dengan tingkat ekonomi kurang. Menurut Friedman, Bowden dan
Jones (2003), tugas perkembangan keluarga dengan anak remaja bertujuan

100
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


101

untuk memberikan tanggung jawab dan kebebasan remaja yang lebih besar
dalam mempersiapkan diri menjadi dewasa muda. Menurut peneliti
konsep tugas perkembangan keluarga tersebut bermakna terhadap
sosialisasi keluarga kepada remaja untuk hidup mandiri dengan memenuhi
kebutuhannya sendiri, salah satunya dengan mengajarkan cara merawat
kebersihan dan kerapihan pakaian. Orang tua selain merawat kebersihan
dan kerapihan pakaian anak, seharusnya mereka juga mengajarkan cara
kemandirian anak dengan memenuhi kebutuhannya sendiri terutama
kebersihan pakaian.

Perilaku siswa menerapkan kebersihan dan kerapihan pakaian sekolah


sudah baik. Walaupun masih ada keterampilan siswa yang tidak mampu
menjaga kebersihan pakaian sekolah. Dukungan orang tua dan peraturan
sekolah untuk mengawasi perilaku siswa yang kurang menjaga kebersihan
pakaiannya harus terus menerus diberikan agar perilaku tersebut tidak
menjadi sebuah kebiasaan buruk. Dampak perilaku kurang menjaga
kebersihan pakaian adalah risiko penyakit kulit, kurang rasa nyaman dan
kurang percaya diri (Potter & Perry, 2009).

Perilaku kebersihan kuku pada siswa menunjukkan kemampuan


pengetahuan yang baik. Siswa mengetahui bahwa kuku yang sehat adalah
kuku yang pendek dan tidak kotor. Hal ini sesuai dengan konsep Kozier,
Erb, Berman, dan Snyder (2004) tentang kuku sehat merupakan kuku
pendek dengan warna permukaan kuku merah muda dan transparan. Siswa
juga telah memiliki kemampuan pengetahuan tentang akibat yang
ditimbulkan dari kuku panjang dan kotor sebagai sumber penyakit.

Namun, ada pernyataan siswa tentang kuku yang panjang dan tidak kotor
termasuk kuku yang bersih. Pernyataan siswa tersebut keliru walaupun
tidak ada kotoran yang berwarna hitam di sela-sela kuku bukan berarti
tidak ada kuman yang menempel. Kuman tetap ada di sela-sela kuku

101
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


102

walaupun tidak tampak oleh mata (Kozier, Erb, Berman, dan Snyder,
2004).

Pengetahuan siswa yang baik tentang kuku bersih tidak sesuai dengan
keterampilan dan sikap menjaga kebersihan kuku. Ada siswa yang kurang
merawat kebersihan kuku dengan baik. Siswa memelihara kuku panjang
dengan berbagai alasan, salah satunya untuk kecantikan dan tren. Remaja
perempuan terutama memiliki kebiasaan memanjangkan kuku jari tangan
dengan alasan kecantikan (Noni, 2012). Penelitian yang dilakukan Oyibo
(2012) terhadap siswa sekolah di Nigeria menemukan tingkat pengetahuan
siswa tentang menjaga kebersihan kuku sebesar 97,4% dengan hasil
inspeksi kebersihan kuku kotor 57,7%. Kuku yang panjang dan kotor
merupakan sumber bakteri yang tersembunyi yang dapat menularkan
berbagai penyakit seperti penyakit menular gastrointestinal. Penelitian ini
sesuai dengan hasil yang diperoleh peneliti bahwa pengetahuan siswa
terhadap kebersihan kuku sudah baik, namun keterampilan siswa menjaga
kebersihan kuku masih terlihat kurang.

Kebersihan rambut yang baik adalah melakukan cuci rambut secara


teratur. Belum ada standar cuci rambut yang baku. Menurut Kozier, Erb,
Berman, dan Snyder (2004), tujuan cuci rambut adalah mengangkat
kotoran dan minyak yang ada di rambut dan kulit kepala. Hasil penelitian
ini sudah menunjukkan bahwa siswa mampu dalam melakukan perawatan
rambut, walaupun masih ada siswa yang tidak teratur mencuci rambut
dengan alasan malas untuk merawat kebersihan rambut. Kebersihan
kerudung memiliki hubungan dengan kebersihan kulit kepala dan rambut.
Penggantian kerudung secara teratur dapat mencegah masalah kulit kepala
seperti ketombe dan rontok (Nursita, 2010).

Kebersihan sepatu pada siswa SMP sudah baik dengan melakukan


perawatan kebersihan sepatu seminggu sekali dengan cara mencuci dan
menyikat sepatu. Kebersihan kaki tidak hanya menyangkut kebersihan

102
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


103

sepatu saja tetapi juga penggunaan kaos kaki. Kaos kaki yang dipakai
hingga lebih dari empat hari merupakan sumber kuman penyakit dan
beraroma tidak sedap, tentu hal ini menimbulkan ketidaknyaman saat
berada di sekolah. Menurut CYH (2011), kebersihan sepatu yang dipakai
setelah pulang sekolah harus segera dikeringkan dengan cara diangin-
anginkan agar kondisi sepatu yang lembab dari keringat kaki menjadi
kering. Kondisi sepatu yang lembab dan berbau merupakan pertumbuhan
jamur. Selain itu, sepatu dan kaos kaki yang kotor dan berbau dapat
membuat siswa tidak nyaman. Tentu hal ini menyebabkan rasa kurang
percaya diri siswa diantara teman-teman di kelasnya.

5.1.2.3 Penerapan PHBS Perilaku Jajan di Sekolah


Perilaku siswa jajan di sekolah menunjukkan kemampuan pengetahuan
siswa dan guru membedakan jajan sehat dan jajan tidak sehat sudah baik.
Siswa menyatakan bahwa jajan yang sehat adalah makanan yang tidak
terbuka atau penyajiannya tertutup. Pernyataan tersebut sesuai dengan
pengertian jajan sehat menurut Dinas Kesehatan Jawa Barat (2009),
jajanan sehat adalah jajanan yang bersih, aman, sehat dan mengandung zat
gizi seperti karbohidrat, protein dan vitamin. Jenis jajanan sehat menurut
pernyataan siswa adalah gado-gado, nasi uduk, jus buah, biskuit, batagor,
dan mie ayam. Jenis jajanan tersebut sudah sesuai dengan konsep jajanan
sehat.

Siswa juga sudah mengetahui tentang kandungan jajanan yang tidak sehat
seperti jajanan yang penyajiannya terbuka, mengandung pengawet dan
pewarna. Jenis makanan yang penyajiannya terbuka adalah penjual
menggunakan gerobak yang memasaknya di jalan atau di luar ruangan
sehingga mudah dihinggapi debu dan kotoran. Sedangkan jajanan yang
mengandung pengawet dan pewarna contohnya mi instan, saos makanan
yang berwarna sangat merah, kripik pedas, ciki, cilok dan minuman
kemasan. Selain itu, siswa juga sudah mampu menyatakan akibat dari
mengkonsumsi jajanan yang tidak sehat. Sedangkan, guru menyebutkan

103
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


104

makanan yang mengandung pengawet, pewarna, gula buatan dan bahan


makanan yang sudah rusak sebagai makanan yang tidak sehat.

Kemampuan pengetahuan siswa tentang jajanan sehat sudah baik, namun


sikap dan keterampilan siswa mengkonsumsi jajanan sehat belum
menunjukkan hal sama. Ada siswa yang mengkonsumsi jajanan di luar
sekolah dan menurut guru perilaku siswa jajan di luar sekolah karena jenis
makanan yang dijual di luar sekolah lebih terjangkau dengan uang saku
siswa dibandingkan dengan yang di jual kantin sekolah. Siswa yang lain
menyatakan jajan di luar sekolah karena belum ada kantin sekolah
sehingga siswa mengkonsumsi jajanan yang dijual di luar area sekolah.
Sikap guru terhadap keterampilan jajan siswa di luar sekolah disebabkan
jenis makanan yang dijual di luar sekolah lebih disukai anak-anak karena
jenisnya lebih bervariatif dan terjangkau. Guru menyatakan tidak begitu
mempedulikan jenis jajanan yang dikonsumsi anak-anak karena hal
tersebut terkait dengan kemampuan uang saku dan selera anak-anak.

Penelitian yang dilakukan oleh Suci (2009) terhadap perilaku jajan murid
SD di Jakarta, siswa memperoleh jajanan dari kantin sekolah dan penjual
jajanan di luar sekolah. Penelitian ini juga menganalisis jenis makanan
yang sering di konsumsi murid SD yaitu siomay, batagor, es krim, es
sirop, cakwe dan nasi uduk. Alasan pemilihan jajanan karena rasanya yang
enak dan harga jajanan di luar sekolah lebih murah dibandingkan yang
dijual di kantin. Penelitian di atas memiliki hasil yang sama dengan hasil
penelitian yang peneliti peroleh, bahwa gambaran sikap siswa dan guru
terhadap keterampilan siswa yang mengkonsumsi makanan di luar kantin
sekolah disebabkan oleh kemampuan membeli jajanan, selera dan
ketidakadaan fasilitas kantin sekolah.

Selain sikap dan keterampilan siswa yang mengkonsumsi jajanan di luar


sekolah, siswa yang lain menyatakan tidak pernah mengkonsumsi jajanan
di luar sekolah. Alasannya karena aturan sekolah yang melarang siswa ke

104
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


105

luar sekolah selama jam sekolah berlangsung. Siswa membeli jajanan di


kantin sekolah dan kadang-kadang membawa bekal. Menurut siswa bekal
sekolah adalah jenis jajanan yang paling sehat, karena bekal dibuat oleh
orang tua sehingga lebih terjamin kebersihan dan proses pembuatannya
dibandingkan jajanan di sekolah. Menurut Dinas Kesehatan Jawa Barat
(2009), bekal yang dibawa dari rumah termasuk jenis jajanan sehat. Bekal
yang dipersiapkan dari rumah lebih baik dibandingkan dengan jajanan di
luar yang kandungannya belum tentu aman dan sehat (Suci, 2009;
Rusaidah, 2011). Menurut sikap guru terhadap siswa yang membawa
bekal menunjukkan bahwa orang tua telah mengarahkan siswa untuk
mengkonsumsi jajanan sehat.

Keterampilan siswa membawa bekal ke sekolah menampilkan kemampuan


mengkonsumsi jajanan sehat. Namun, keterampilan ini tidak selalu
dilakukan oleh siswa setiap berangkat ke sekolah. Alasannya tidak ada
waktu untuk menyiapakan bekal di pagi hari, rasa khawatir terlambat ke
sekolah, tidak ada teman yang membawa bekal ke sekolah, dan diejek oleh
teman karena membawa bekal dianggap seperti anak kecil. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Suci (2009), alasan murid SD tidak
membawa bekal karena terburu-buru berangkat ke sekolah, orang tua
sangat sibuk, malu, tidak ada teman yang membawa bekal dan sudah
membawa uang saku. Kesimpulannya, keterampilan siswa membawa
bekal ke sekolah dipengaruhi oleh teman sebaya dan dukungan orang tua
menyiapkan bekal sekolah.

Keterampilan siswa menjaga kebersihan tangan sebelum mengkonsumsi


jajanan termasuk masih kurang. Hal ini didasarkan pada pernyataan siswa
yang tidak menerapkan cuci tangan sebelum memegang jajanan di kantin.
Alasan siswa tidak mencuci tangan sebelum jajan karena malas, cuci
tangan merupakan hal yang tidak penting, dan merasa tangan sudah bersih.
Siswa merasa tangan sudah bersih karena tangan benar-benar terlihat tidak
kotor. Padahal bakteri yang ada di tangan tidak terlihat langsung oleh

105
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


106

mata, walaupun tangan tampak bersih. Persepsi yang keliru tersebut harus
diubah, siswa belum memahami kebersihan tangan dengan benar dan
manfaat cuci tangan sebelum jajan di sekolah.

Penelitian yang dilakukan Eves et al (2006) terkait pengetahuan siswa dan


perilaku evaluasi diri terhadap kebersihan makanan di Inggris pada usia
11-14 tahun. Penelitian ini menghasilkan 31% siswa melaporkan selalu
mencuci tangan sebelum makan siang di rumah, tetapi hanya 13% yang
selalu melakukan cuci tangan di sekolah. Penyebab minimnya penerapan
cuci tangan di sekolah karena kurangnya waktu untuk cuci tangan dan
buruknya kondisi fasilitas cuci tangan. Siswa menyatakan menghindari
cuci tangan di sekolah dengan fasilitas cuci tangan yang sangat tidak
menyenangkan. Alasan tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang
peneliti peroleh bahwa minimnya fasilitas cuci tangan menyebabkan siswa
tidak menerapkan cuci tangan dengan baik dan benar.

Cara siswa menjaga kebersihan saat mengkonsumsi jajanan dilakukan


dengan cara yang unik yaitu dengan memegang ujung jajanan kemudian
tidak memakan bagian jajanan yang telah dipegang. Ada juga siswa yang
memegang makanan dengan menggunakan lidi kayu atau menggunakan
plastik sehingga makanan tidak bersentuhan langsung dengan tangan. Tapi
cara ini hanya untuk jenis makanan tertentu saja, tidak semua jenis
makanan menggunakan lidi kayu atau plastik. Lidi kayu yang digunakan
pun belum tentu bersih, mungkin saja itu berasal dari lidi kayu bekas dan
tidak dicuci hingga bersih.

Keterampilan siswa dalam mengkonsumsi jajanan di sekolah juga


mengidentifikasi pola makan siswa sehari-hari siswa seperti pola
kebiasaan sarapan pagi. Siswa ada yang terbiasa sarapan pagi, namun lebih
banyak yang tidak sarapan pagi. Alasan siswa tidak sarapan pagi, hal ini
berhubungan dengan pengalaman siswa sebelumnya. Ada siswa yang
setelah sarapan pagi menjadi mengantuk di dalam kelas. Sehingga siswa

106
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


107

tidak mau sarapan pagi lagi. Penyebab rasa kantuk tersebut karena jenis
makanan yang dikonsumsi siswa sangat mengeyangkan seperti nasi uduk
dan lontong sayur. Siswa yang lain menyebutkan setelah sarapan pagi
mengalami sakit perut karena ingin BAB, hal ini sangat menggangu siswa
saat berada di dalam kelas. Kondisi ini menyebabkan siswa malas untuk
sarapan pagi. Alasan siswa yang lain setelah sarapan pagi dengan nasi
dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di lambung, sehingga siswa
menghindari sarapan pagi untuk hari-hari berikutnya. Sikap siswa ini
disebabkan oleh kurangnya perhatian dan pemahaman orang tua untuk
membiasakan anak untuk sarapan pagi.

Menurut guru di sekolah, siswa jarang sarapan pagi karena keterbatasan


waktu orang tua menyiapkan sarapan pagi. Orang tua saat ini lebih
berfokus mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak tidak dibiasakan
sarapan pagi. Orang tua hanya memberi uang saku saja sebagai bentuk
kompensasi karena anak tidak sarapan. Kebiasaan siswa tidak sarapan di
sekolah memicu siswa berperilaku jajan di sekolah. Anjuran dan nasihat
orang tua untuk membeli jajanan yang sehat, tidak dihiraukan siswa.
Sehingga siswa membeli jajanan yang tidak sehat dengan ketidakadaan
kandungan gizi seperti karbohidrat, protein, vitamin dan lemak.
Sedangkan jajanan di sekolah cenderung tinggi karbohidrat dan lemak saja
(Devi, 2012). Pendapat ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Vereecken, De Hanouw dan Maes (2005), menampilkan pola kebiasaan
makan remaja di 35 negara di Amerika dan Eropa yang kurang sayur dan
buah, tinggi karbohidrat, kurang protein. Remaja jarang membiasakan
sarapan pagi sebelum berangkat sekolah dengan alasan tidak ada waktu.

Sarapan pagi sangat bermanfaat bagi siswa dalam memenuhi kebutuhan


nutrisinya sebelum mengawali aktivitasnya. Menurut Devi (2012)
kebiasaan sarapan pagi berpengaruh terhadap kecerdasan otaknya,
terutama daya ingat siswa sehingga dapat mendukung prestasi belajar anak
ke arah yang lebih baik. Menurut Rampersaud, Pereira, Girard, Adam dan

107
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


108

Metzl (2005, dalam Dammann dan Smith, 2010) menyatakan bahwa


melewatkan sarapan pagi berhubungan dengan kurangnya fungsi kogntif-
perilaku dan pola makan; dan peningkatan risiko kelebihan berat badan
dan obesitas. Oleh karena itu, sarapan pagi sangat bermanfaat bagi
kecerdasan otak siswa untuk berkonsentrasi di sekolah serta menurunkan
risiko obesitas.

Sikap siswa terhadap kebersihan penjual jajanan di sekolah dan di luar


sekolah menunjukkan kemampuan pengetahuan siswa terhadap pentingnya
proses pengolahan makanan yang bersih dan aman bagi kesehatan tubuh.
Siswa mengatakan bahwa penjual jajanan yang menggunakan gerobak
jarang mencuci tangannya saat mengolah makanan. Menurut siswa,
penjual makanan sebaiknya menggunakan sarung tangan saat mengolah
makanan, untuk menjaga kebersihan makanan. Ada siswa yang
mengatakan bahwa alat-alat yang digunakan untuk berjualan tidak bersih
seperti talenan, pisau, lap dan penggorengan. Penelitian Campos et al
(2009), menganalisis kebersihan penjamah makanan sekolah di Brazil
menemukan bahwa 74,1% tidak menerima pelatihan secara periodic,
51,9% tidak menjalani pemeriksaan kesehatan tahunan, 100% tidak
melakukan cuci tangan dengan tepat, dan 55,6% penjamah terdeteksi
coliform fecal ditangannya.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dan penemuan hasil penelitian peneliti,


kondisi ini dapat berakibat terhadap kesehatan siswa yang merupakan
konsumen jajanan di sekolah dan di luar sekolah. Menurut Jurnal Nasional
(2012), tempat cucian pedagang yang digunakan untuk mencuci peralatan
makan positif terkontaminasi virus hepatitis A. Penemuan ini berdasarkan
hasil pemeriksaan Dinas Kesehatan kabupaten Banyumas. Penyakit yang
dapat ditimbulkan dari kurangnya perilaku kebersihan penjual seperti
diare, hepatitis A, typoid dan kecacingan. Penyebaran penyakit tersebut
tidak hanya terkait perilaku kebersihan penjual saja, tapi alat-alat untuk
mengolah makanan pun juga harus diperhatikan. Siswa sekolah harus

108
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


109

memahami jajanan sehat, memilih pedagang makanan yang bersih dan


aman sehingga tidak mudah tercemar penyakit menular.

Pengaruh teman sebaya dalam menentukan konsumsi jajan di sekolah


menampilkan bahwa siswa sering merasa tertarik oleh jenis makanan yang
dibeli temannya, sehingga siswa ingin mencoba makanan yang beli oleh
temannya tersebut. Pengaruh teman sebaya tidak membawa bekal dan
mengatakan bahwa membawa bekal seperti anak kecil membuat siswa
merasa malu dan minder untuk membawa bekal kembali. Hal ini seperti
penelitian yang dilakukan Chan, Predergast, Gronhoj dan Bech-Larsen
(2009) yang menyatakan bahwa remaja lebih memilih perilaku teman
sebaya yang mengkonsumsi jajan di sekolah dibandingkan membawa
makanan yang disiapkan di rumah.

Penelitian di atas berbeda dengan penelitian Saifah (2011) yang


menemukan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara peran teman
sebaya dengan perilaku gizi anak usia sekolah. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh tingkat pertumbuhan dan perkembangan pada penelitian
Saifah (2011) menggunakan responden siswa SD. Sedangkan penelitian
Chan Predergast, Gronhoj dan Bech-Larsen (2009) pada siswa usia 13-15
tahun dengan tahap tumbuh kembang remaja. Pada tahap anak usia
sekolah sudah terbentuk hubungan kelompok sesama teman tetapi tidak
seerat hubungannya pada tumbuh kembang remaja (Potter dan Perry,
2009). Siswa SD masih mendapatkan pengawasan dari orang tua
sedangkan remaja sudah mulai mendapatkan kebebasan memilih misalnya
lebih memilih dengan teman sebayanya. Pengawasan orang tua seharusnya
tetap diberikan kepada remaja, namun lebih ditekannkan pada aspek
pemahaman cara memilih jajanan sehat yang bermanfaat bagi kesehatan.

Peran guru dalam mendukung perilaku jajan anak di sekolah belum


memberikan informasi kesehatan dan perhatian secara baik. Menurut guru,
siswa telah memiliki pengetahuan yang memadai terhadap jajanan sehat di

109
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


110

sekolah sehingga tidak perlu diberikan pemahaman kembali. Hal ini sesuai
dengan penelitian Saifah (2011), tidak ada hubungan yang bermakna
antara peran guru dengan perilaku gizi anak usia sekolah. Menurut
Quattrin et al (2005 dalam Saifah, 2011) menyatakan bahwa peran guru
belum optimal terhadap pengelolaan makanan sehat di sekolah. Hal ini
menyebabkan siswa kurang mendapatkan perhatian dan pengetahuan
terkait jajanan sehat di sekolah. Akibatnya siswa memilih dan
mengkonsumsi jajanan sembarangan yang tingkat kebersihan dan
keamanannya belum terjamin.

Aturan sekolah yang melarang siswa keluar sekolah pada saat pelajaran di
sekolah sangat tepat dilakukan agar siswa tidak keluyuran pada saat
istirahat di sekolah. Selain itu, aturan tersebut dapat mengontrol tindakan
jajan di luar sekolah yang dilakukan siswa. Walaupun sudah ada aturan
seperti itu, masih ada siswa yang melanggar aturan sekolah. Misalnya
dengan berpura-pura ijin ke luar sekolah, namun membeli jajanan di luar
sekolah kemudian jajanan tersebut diselipkan ke dalam saku celana.
Jajanan di luar sekolah belum tentu kebersihan dan keamanannya terjamin
dibandingkan dengan jajanan yang ada di kantin sekolah. Karena jajanan
yang ada di kantin lebih bersih dan proses pengolahan makanannya ada di
dalam ruangan sehingga tidak dihinggapi debu dan kotoran seperti jajanan
yang dijual di luar sekolah.

Sedangkan, ada sekolah yang belum memiliki fasilitas kantin sekolah.


Kondisi tersebut menyebabkan siswa membeli jajan di luar lingkungan
sekolah seperti pedagang kaki lima. Hal ini sangat sulit untuk mengontrol
siswa agar mengkonsumsi jajanan sehat. Dukungan dari guru juga masih
kurang dalam mengontrol tindakan jajan siswa di sekolah. Sehingga siswa
memilih jajanan yang tidak sehat seperti cilok, gorengan bersaos merah
dan minuman es dengan warna yang mencolok. Bila tidak dilakukan upaya
pencegahan baik dari pihak sekolah, pembina UKS sekolah dan perawat
komunitas, kondisi tersebut dapat menyebabkan penyakit gangguan

110
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


111

pencernaan bagi seluruh warga di sekolah tersebut.

5.1.2.4 Penerapan PHBS Perilaku Tidak Merokok di Sekolah


Perilaku tidak merokok siswa dipengaruhi oleh kemampuan siswa untuk
menolak merokok dan pengaruh tekanan teman sebaya untuk merokok.
Kemampuan siswa untuk menolak merokok diperoleh dari kemampuan
pengetahuan, sikap dan keterampilan tidak merokok. Kemampuan siswa
untuk menolak merokok sudah baik. Siswa sudah mampu menyebutkan
dampak dan sikap negatif terhadap merokok. Namun, kondisi ini sulit
dipertahankan remaja. Pengaruh tekanan teman sebaya yang besar
mendorong remaja untuk berperilaku merokok. Karakteristik remaja yang
ingin merasa sama dengan teman sebayanya merupakan pengaruh terbesar
perilaku merokok remaja. Hasil penelitian Yunita (2008) tentang perilaku
merokok siswa SMP di kota Bogor, perilaku merokok siswa 54,8%
dipengaruhi oleh teman sebaya dan usia rata-rata mulai merokok pada 13-
14 tahun. Pencegahan terhadap perilaku merokok harus dilakukan sejak
dini dari berbagai pihak, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena
perilaku merokok memiliki kedekatan hubungan dengan penyalahgunaan
obat terlarang (Simons-Morton, 2007).

Tindakan promosi kesehatan yang telah dilakukan di sekolah untuk


mencegah perilaku merokok di sekolah adalah dengan memasang poster
anti rokok di sekolah serta akibat yang ditimbulkannya. Selain itu, hampir
setiap tahun ajaran baru, pada saat penerimaan siswa baru, siswa baru
memperoleh pendidikan kesehatan terkait kesehatan remaja yang salah
satunya tidak merokok. Aturan sekolah tidak boleh merokok di sekolah
menunjukkan salah satu tindakan pencegahan perilaku merokok siswa
SMP. Dukungan guru di sekolah tidak pernah berhenti untuk selalu
mengingatkan siswa agar tidak merokok baik di sekolah maupun di luar
sekolah.

111
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


112

5.1.3 Hambatan siswa dan guru dalam menerapkan PHBS


Hambatan siswa menerapkan PHBS digambarkan oleh kurangnya fasilitas
pendukung penerapan PHBS di sekolah seperti kantin sehat dan fasilitas
cuci tangan. Kurangnya pengetahuan siswa terhadap PHBS dikarenakan
informasi tersebut belum optimal disampaikan di rumah maupun di
sekolah. Kurang dukungan orang tua seperti orang tua yang lebih
memfokuskan pada kebutuhan mencari nafkah menjadi kendala dalam
menerapkan dan memberi contoh PHBS.

Menurut Green dan Kreuter, (2005), terdapat tiga faktor yang


mempengaruhi perilaku status kesehatan, terdiri dari faktor predisposisi
(predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor
penguat (reinforcing factors). Kurangnya fasilitas pendukung PHBS
termasuk ke dalam faktor pemungkin, yaitu faktor yang mendukung
sumber daya seperti aksesibilitas dan ketersediaan sumber/ fasilitas.
Sedangkan kurang dukungan orang tua masuk ke dalam faktor penguat.
Sedangkan kurang optimalnya pengetahuan siswa terhadap PHBS
menyebabkan faktor predisposisi siswa menerapkan PHBS belum
terbentuk secara baik. Kesimpulannya, hambatan siswa menerapkan PHBS
dikarenakan belum optimalnya tiga faktor pembentukan perilaku
kesehatan.

Hamabatan guru dalam menerapkan PHBS terkait dengan keterbatasan


guru untuk memberikan penjelasan dan perhatian PHBS siswa. Guru saat
ini hanya berfokus pada waktu pengajaran di sekolah dan belum
menyentuh aspek PHBS siswa. Pembinaan guru berupa pendidikan PHBS
dari puskesmas belum dilakukan secara kontinyu. Pendanaan program
UKS yang merupakan wadah pelaksanaan PHBS belum berjalan sesuai
anggaran yang telah direncanakan. Peran UKS di sekolah belum berjalan
optimal, karena keterbatasan waktu pembina UKS di sekolah yang lebih
mengutamakan tugas pengajaran. Kebijakan sekolah juga memberikan
kontribusi penting dalam penerapan PHBS di sekolah. Kebijakan sekolah

112
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


113

dapat digunakan sebagai aturan pokok dalam menerapkan PHBS di


sekolah, sehingga PHBS tersebut menjadi sebuah kebiasan yang dilakukan
siswa.

Hambatan guru dalam melaksanakan PHBS bila dihubungkan dengan


konsep Green dan Kreuter (2005), mencakup faktor predisposisi yaitu
kurang pembinaan guru, faktor kurang pendanaan masuk ke dalam faktor
penguat yaitu faktor sumber dana yang belum berjalan optimal. Sedangkan
faktor keterbatasan waktu termasuk faktor pemungkin dan kebijakan
sekolah yang belum optimal termasuk sebagai faktor penguat yang bersifat
melemahkan dari penerapan PHBS di sekolah.

Hambatan siswa dan guru dalam menerapkan PHBS dapat ditanggulangi


dan dimodifikasi dengan mengoptimalkan ke tiga faktor tersebut.
Sehingga hambatan siswa dan guru tersebut dapat diminimalkan sehingga
penerapan PHBS di sekolah dapat berjalan dengan baik.

5.1.4 Dukungan terhadap PHBS di Sekolah


Dukungan PHBS di sekolah terbentuk melalui sumber dukungan baik dari
orang tua, guru dan tenaga kesehatan. Bentuk dukungan penerapan PHBS
yang telah ada berupa media pendidikan kesehatan seperti penyuluhan,
berita di TV, koran dan poster. Aturan sekolah dan norma keluarga
berperan penting untuk mendorong siswa menerapkan PHBS.

Prinsip penerapan PHBS di sekolah merupakan bagian dari penerapan


PHBS di rumah. Sumber dukungan orang tua juga memberikan andil bagi
kelanjutan penerapan PHBS di sekolah dan sebaliknya. Sumber dukungan
siswa dalam menerapkan PHBS yang paling utama adalah keluarga,
karena keluarga adalah lingkungan yang pertama di kenal siswa.
Dukungan orang tua dalam menerapkan PHBS harus terus upayakan dan
dibiasakan agar anak dapat secara mandiri berperilaku hidup bersih dan
sehat. Menurut Hitchcook (1999), sumber dukungan dasar untuk anak

113
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


114

sekolah adalah orang tua di rumah. Namun, sumber dukungan di sekolah


seperti guru dan kepala sekolah juga harus ikut berperan. Karena sekolah
merupakan komunitas pembelajaran siswa sehingga prinsip-prinsip PHBS
tersebut lebih terstruktur disampaikan melalui guru di sekolah.

Menurut penelitian Saifah (2004), peran media massa memiliki hubungan


yang positif dengan perilaku gizi anak usia sekolah. Hal ini berarti
semakin besar peran media massa dalam memberikan promosi kesehatan
terkait gizi seimbang maka akan semakin baik perilaku gizi anak usia
sekolah dasar. Media televisi merupakan sarana yang paling kuat dalam
menyampaikan sumber informasi. Anak-anak merupakan subjek yang
paling banyak menonton televisi dengan rata-rata waktu 27 jam per
minggu (Berry dan Asamen, 1993 dalam Hindin, Contento, dan Gussow,
2004). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa televisi yang paling banyak
mendukung informasi siswa terhadap penerapan PHBS.

Berdasarkan penelitian Saifah (2011), hubungan peran keluarga, guru,


teman sebaya dan media massa dengan perilaku gizi anak usia sekolah di
wilayah kerja puskesmas kota Palu, menemukan bahwa 83,3% responden
melakukan cuci tangan pakai sabun karena mendengar penjelasan di
televisi, mendengar manfaat sarapan dari televisi 81,6%, dan makan lauk
pauk karena dianjurkan lewat televisi sebesar 62,6%. Berdasarkan data
tersebut pengaruh televisi sangat besar terhadap perilaku kesehatan anak.
Hal tersebut juga peneliti peroleh dari penyampaian siswa bahwa
informasi yang diperoleh tentang cuci tangan menggunakan sabun dan
jenis jajanan yang tidak sehat berasal dari berita di televisi. Semua siswa
menyatakan sumber informasi kesehatan yang diperoleh berasal dari
televisi.

Bentuk dukungan PHBS yang lain berasal dari koran atau surat kabar
disampikan oleh guru di sekolah. Guru di sekolah mempunyai kebiasan
membaca koran yang disediakan di sekolah, sehingga sumber informasi

114
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


115

kesehatan yang diperoleh guru berasal dari surat kabar. Sedangkan ada
juga guru yang menyatakan informasi terkait PHBS diperoleh dari televisi.

Sedangkan siswa yang lain ada yang menyampaikan sumber informasi


terkait PHBS diperoleh dari penyuluhan yang disampaikan tenaga
kesehatan seperti perawat puskesmas, mahasiswa praktik keperawatan
komunitas UI, dan dokter. Ada juga siswa yang menyatakan bahwa
mendapatkan informasi terkait akibat bahaya merokok diperoleh dari
poster yang dipajang di sekolah. Berdasarkan pernyataan tersebut, perawat
komunitas perlu mengupayakan promosi kesehatan dengan menggunakan
metode seperti penyuluhan dan penempelan poster pada tempat strategis
berkumpulnya siswa di sekolah. Berdasarkan pengamatan peneliti, poster
promosi kesehatan lebih banyak diletakkan di dalam ruang UKS. Padahal
tidak semua siswa pernah masuk ke dalam ruang UKS. Oleh karena itu,
penempelan poster PHBS sebaiknya diletakkan di tempat berkumpulnya
siswa, sehingga lebih mudah dilihat dan dibaca oleh seluruh siswa.

Aturan sekolah adalah tata tertib yang sudah ditetapkan sekolah untuk
mendisiplinkan siswa. Aturan sekolah dapat melatih siswa untuk
membiasakan berperilaku hidup bersih dan sehat. Aturan sekolah
sebaiknya memasukkan prinsip PHBS, tujuannya agar PHBS tersebut
dilaksanakan oleh siswa di sekolah. Komitmen kepala sekolah, guru dan
seluruh staf sekolah harus kuat dan kompak dalam menerapkan aturan
sekolah, terutama guru di sekolah. Karena guru merupakan orang tua di
sekolah yang menjadi role model siswa dalam menerapkan PHBS.
Penerapan PHBS di sekolah oleh seluruh warga sekolah mewujudkan
tercapainya kesehatan yang optimal bagi seluruh warga sekolah dan
masyarakat luas.

Norma adalah pola perilaku yang dianggap benar oleh masyarakat, sebagai
sesuatu yang berdasarkan pola sistem nilai keluarga. Norma keluarga
adalah nilai keluarga dalam berperilaku yang dianut individu (Friedman,

115
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


116

Bowden dan Jones, 2003). Perilaku yang berkaitan dalam hal ini adalah
perilaku hidup bersih dan sehat. Keluarga mengajarkan perilaku hidup
bersih dan sehat dan menjadikannya sebuah kebiasaan sehingga diyakini
oleh anak sebagai hal yang positif di dalam dirinya. Norma keluarga akan
membiasakan anak untuk berperilaku bersih dan sehat. Menurut Saifah
(2011), keluarga memiliki peran sebagai promosi kesehatan, penyedia dan
sebagai contoh dalam perilaku gizi sehat anak usia sekolah. Hal ini juga
sesuai dengan pembentukan kebiasaan siswa berperilaku hidup bersih dan
sehat yang dibentuk dari keluarga. Orang tua sebagai contoh dalam
penerapan PHBS membentuk siswa untuk meniru perilaku orang tuanya.
Begitu juga yang disampaikan oleh siswa, bahwa perilaku cuci tangan,
kebersihan diri dan tidak jajan sembarangan telah menjadi kebiasaan di
dalam keluarga.

Penerapan PHBS di sekolah tidak hanya tugas guru di sekolah saja tetapi
merupakan tugas seluruh pihak termasuk juga keluarga sebagai pembentuk
prinsip PHBS dasar di rumah. Dukungan PHBS dalam bentuk norma
keluarga harus terus diterapkan agar PHBS menjadi pola kebiasan yang
ada di dalam diri siswa.

5.1.5 Harapan guru dan siswa untuk terlaksananya PHBS di Sekolah


Harapan siswa untuk menerapkan PHBS di sekolah berupa pemenuhan
kebutuhan fasilitas PHBS berupa kantin sehat dan fasilitas cuci tangan.
Harapan yang diinginkan guru untuk terlaksananya PHBS hampir sama
dengan harapan yang inginkan siswa yaitu fasilitas kantin sehat dan
fasilitas kamar mandi sehat.

Penerapan PHBS di sekolah diharapkan dapat membentuk siswa dan


lingkungan sekolah mampu menjaga kesehatannya sendiri. Menurut Green
dan Kreuter (2005), ketersediaan fasilitas dan dana termasuk dalam faktor
pemungkin (enabling factors). Faktor ini sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan individu. Untuk mencapai harapan

116
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


117

terlaksananya PHBS di sekolah, faktor ini harus terpenuhi sehingga


mendukung penerapan PHBS di sekolah.

5.2 Keterbatasan Penelitian


Peneliti memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah
5.2.1 Kemampuan peneliti dalam penggalian data melalui wawancara mendalam
kurang maksimal terutama dengan kedalaman informasi dan lamanya
wawancara. Hal ini dikarenakan pengalaman pertama kali peneliti
melakukan penelitian kualitatif walaupun peneliti sudah melakukan uji
coba wawancara kepada partisipan lain sebelum peneliti turun ke
lapangan.
5.2.2 Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam selama
pengumpulan data. Metode ini hanya dapat menggali kemampuan
pengetahuan dan sikap dari partisipan, sedangkan untuk menggali
kemampuan keterampilan diperlukan metode observasi untuk melengkapi
metode penelitian ini.

5.3 Implikasi Hasil Penelitian


5.3.1 Pelayanan Keperawatan Komunitas
Respons siswa dan guru terhadap penerapan PHBS di sekolah
menghasilkan perilaku mendukung PHBS dan kurang peduli dalam
penerapan PHBS di sekolah. Kedua gambaran tersebut berkaitan dengan
kemampuan pengetahuan siswa dan guru terhadap PHBS, manfaat PHBS
untuk siswa SMP dan dampak yang ditimbulkan apabila PHBS di sekolah
tidak diterapkan oleh siswa SMP. Pemahaman yang keliru oleh siswa dan
guru bahwa PHBS merupakan hal yang tidak penting untuk diterapkan
pada siswa SMP harus diluruskan ke arah yang benar dengan pemberian
pengetahuan terkait manfaat PHBS dan dampak negatif tidak
diterapkannya PHBS pada siswa SMP.

Manfaat PHBS di sekolah untuk siswa SMP berkaitan dengan proses


tumbuh kembang remaja. Pada tahap tumbuh kembang tersebut, terjadi

117
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


118

perubahan fisik, kognitif dan psikososial. Perubahan tersebut dapat


menyebabkan risiko masalah kesehatan remaja, oleh karena itu perlu
dilakukan pencegahan dengan menerapkan PHBS. Penerapan cuci tangan
pakai sabun, kebersihan diri, jajan sembarangan dan tidak merokok di
sekolah merupakan beberapa contoh PHBS yang dapat mencegah masalah
kesehatan remaja.

Dampak negatif tidak menerapkan PHBS di sekolah yang terkait


penerapan cuci tangan pakai sabun, kebersihan diri, jajan sembarangan
dan tidak merokok adalah munculnya masalah kesehatan seperti penyakit
kulit, penyakit pencernaan, risiko penyalahgunaan narkoba, dan penurunan
rasa percaya diri. Akibat perilaku tersebut berdampak pada ketidakhadiran
siswa di sekolah. Ketidakhadiran siswa di sekolah menyebabkan siswa
ketinggalan pelajaran dan prestasi siswa menjadi menurun. Selain itu,
perilaku yang tidak menerapkan PHBS dapat menimbulkan risiko
penularan penyakit menular salah satunya penyakit hepatitis A. Penularan
penyakit ini, berawal dari kurangnya menerapkan PHBS seperti kurangnya
menerapkan cuci tangan sebelum makan, mengkonsumsi jajanan yang
tidak sehat dan proses pengolahan jajanan yang tidak sehat. Penularan
penyakit hepatitis A tidak hanya terjadi pada satu individu saja, tetapi
dapat menyebar ke seluruh warga sekolah bahkan ke luar area sekolah.

Penerapan PHBS di sekolah sebagai kelanjutan kegiatan UKS di sekolah


belum berjalan optimal. Hal ini terjadi karena hambatan dari guru dan
siswa dalam menerapkan PHBS di sekolah. Hambatan guru terkait dengan
kurangnya waktu dalam membagi tugas utama mengajar dengan
kewajiban sebagai pembina UKS. Dukungan dari puskesmas belum
berjalan baik, karena pembinaan yang dilakukan oleh puskesmas terhadap
pelaksanaan UKS di sekolah tidak berjalan secara kontinyu. Padahal tugas
utama UKS yang mencakup TRIAS UKS yaitu, pendidikan kesehatan,
pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sekolah yang sehat
merupakan kegiatan yang menjalankan program PHBS di sekolah.

118
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


119

Penerapan PHBS di sekolah melalui kegiatan UKS dapat mencegah


terjadinya masalah kesehatan pada remaja.

Oleh karena itu, pemberian edukasi PHBS kepada guru di sekolah sangat
diperlukan, untuk mengubah pandangan guru yang keliru terkait
penerapan PHBS di sekolah. Pemberian edukasi ini sebaiknya melibatkan
peran perawat komunitas dan guru pembina UKS sebagai edukator
penerapan PHBS di sekolah. Sedangkan, pemberian edukasi untuk siswa
yang kurang peduli terhadap penerapan PHBS di sekolah sebaiknya
melibatkan siswa yang mendukung penerapan PHBS di sekolah, karena
siswa SMP lebih memiliki minat lebih besar terhadap teman sebayanya.
Siswa yang mendukung penerapan PHBS memiliki perilaku yang positif
dalam menerapkan PHBS. Oleh karena itu, pemberian edukasi sebaya
dapat dibentuk melalui kader kesehatan di sekolah yang berasal dari siswa
yang mendukung penerapan PHBS.

Penerapan PHBS di sekolah memiliki beberapa hambatan baik dari guru


maupun dari siswa. Bila hambatan tersebut tidak diatasi maupun
dikurangi, penerapan PHBS tidak akan berjalan optimal. Faktor
pendukung pembentukan PHBS perlu ditingkatkan dan dioptimalkan
untuk memperkecil hambatan penerapan PHBS.

Kurang pengetahuan siswa menerapkan PHBS dan kurang pembinaan


guru di sekolah terkait program UKS serta PHBS berdampak terhadap
munculnya sikap kurang peduli siswa dan guru terhadap PHBS. Sikap
kurang peduli tersebut menyebabkan siswa tidak menerapkan PHBS di
sekolah. Perilaku siswa yang tidak mencerminkan hidup bersih dan sehat
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal
yang sesuai dengan usia dan tugas perkembangannya. Masalah kurang
pengetahuan siswa menerapkan PHBS dapat diselesaikan dengan
mengintegrasikan pendidikan PHBS ke dalam kurikulum sekolah.
Sedangkan, kurang pembinaan guru di sekolah terkait UKS dan PHBS

119
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


120

dapat dilakukan dengan pemberian edukasi oleh perawat komunitas/


puskesmas.

Sikap kurang peduli guru dan siswa tersebut juga berdampak pada kurang
optimalnya kebijakan sekolah untuk menerapkan PHBS. Pemberian
advokasi kepada pemegang kebijakan di sekolah diharapkan menciptakan
dukungan positif dari sekolah untuk membentuk program kesehatan
sekolah yang mendukung penerapkan PHBS. Program kesehatan sekolah
tersebut harus saling terkait dengan kurikulum sekolah sehingga tidak
mengurangi peran utama guru dalam pengajaran. Program kesehatan
sekolah yang terkait dengan kurikulum meliputi kegiatan pendidikan
kesehatan, pendidikan jasmani, dan lingkungan sekolah sehat. Sekolah
sebagai bagian integral masyarakat memerlukan keterlibatan dari lintas
sektoral. Dinas Kesehatan perlu melakukan kerjasama dengan Dinas
Pendidikan untuk mewujudkan program kesehatan sekolah dan pendidikan
PHBS terintegrasi dengan kurikulum sekolah.

Kurangnya fasilitas sekolah dan kurangnya ketersediaan dana menjadi


salah satu faktor penghambat penerapan PHBS di sekolah. Sekolah secara
mandiri dapat mengembangkan pemberdayaan sekolah untuk
menyediakan fasilitas yang mendukung penerapan PHBS. Pemberdayaan
tersebut dapat melibatkan siswa untuk menyediakan fasilitas PHBS pada
setiap kelas. Dan melibatkan sektor swasta sebagai sponsor fasilitas
penerapan PHBS.

Selain itu, keterlibatan keluarga dan masyarakat juga sangat penting dalam
mendukung program kesehatan tersebut. Dukungan keluarga berupa
pemberdayaan keluarga untuk lebih meningkatkan penerapan PHBS di
rumah tangga. Perawat komunitas juga perlu melakukan pengembangan
penerapan PHBS ke rumah tangga melalui kader kesehatan di masyarakat
agar lebih mengoptimalkan pentingnya prinsip-prinsip PHBS bagi seluruh
anggota keluarga terutama anak sekolah.

120
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


121

5.3.2 Perkembangan Ilmu keperawatan Komunitas


Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber literatur penelitian selanjutnya.
Kurang pedulinya siswa dan guru terhadap penerapan PHBS di sekolah
menjadi tantangan tersendiri bagi perawat komunitas untuk
mengimplementasikan PHBS di sekolah. Intervensi untuk meningkatkan
pemahaman guru di sekolah, perawat komunitas memberikan pendidikan
kesehatan penerapan PHBS. Selain itu, perawat komunitas memberikan
pendidikan kesehatan kepada kader kesehatan sekolah yang mendukung
penerapan PHBS, dengan membentuk kelompok edukasi sebaya. Selain
itu, intervensi penerapan PHBS di sekolah memerlukan dukungan dan
pemberdayaan dari keluarga misalnya dengan menekankan prinsip PHBS
rumah tangga ke seluruh anggota keluarga terutama pada anak-anak.
Sehingga penerapan PHBS di sekolah dapat diintegrasikan dengan
penerapan PHBS di rumah tangga.

121
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


122

BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang simpulan yang mencerminkan refleksi dari
temuan penelitian dan saran yang merupakan tindak lanjut dari penelitian ini.

6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan pada bab sebelumnya,
maka dapat disimpulkan bahwa persepsi siswa SMP dalam menerapkan
PHBS adalah sebagai berikut:

6.1.1 Respons siswa dan guru terhadap penerapan PHBS adalah perilaku
mendukung dan kurang peduli terhadap penerapan PHBS. Hal ini
menunjukkan bahwa ada sikap siswa dan guru yang mengganggap penting
penerapan PHBS di sekolah dan ada juga yang merasa tidak penting.

6.1.2 Praktik penerapan PHBS di sekolah mencakup cuci tangan menggunakan


sabun, kebersihan diri (kuku, rambut, badan, sepatu dan pakaian), jajan
sehat di kantin sekolah dan perilaku tidak merokok. Praktik PHBS di
sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor predisposisi, faktor
pemungkin dan faktor penguat.

6.1.3 Hambatan dalam menerapkan PHBS di sekolah dipengaruhi oleh dua hal
yaitu hambatan siswa dan hambatan guru. Hambatan yang terjadi dari guru
dan siswa juga terkait dengan faktor terbentuknya perilaku kesehatan,
yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat.

6.1.4 Dukungan terhadap penerapan PHBS di sekolah mencakup sumber


dukungan yang berasal dari orang tua, guru dan tenaga kesehatan, bentuk
dukungan PHBS dalam bentuk media informasi kesehatan seperti
penyuluhan, berita di televisi dan media cetak seperti koran. Aturan
sekolah juga memberikan andil dalam dukungan penerapan PHBS di

122
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


123

sekolah melalui program sekolah yang terkait dengan PHBS sehingga


dalam penerapannya memiliki tujuan yang sama dengan PHBS. Norma
keluarga yang merupakan nilai-nilai perilaku keluarga yang diyakini baik
untuk dilakukan dalam kehidupan sehar-hari di rumah dapat membentuk
pola kebiasaan anak untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Dukungan
penerapan PHBS di sekolah ini perlu ditingkatkan agar penerapan PHBS
di sekolah berjalan optimal. Manfaat dari penerapan PHBS di sekolah
dapat mencegah kesakitan siswa, peningkatan prestasi belajar dan
pertumbuhan dan perkembangan remaja yang optimal.

6.1.5 Harapan siswa dan guru untuk terlaksananya PHBS teridentifikasi dari
harapan siswa dan harapan guru. Harapan siswa dalam melaksanakaan
PHBS yaitu adanya kebutuhan akan fasilitas PHBS seperti kantin dan
sarana cuci tangan sedangkan harapan dari guru terkait dengan fasilitas
serta pendanaan PHBS.

6.1 Saran
Saran yang dapat disampaikan kepada pihak-pihak yang terkait dengan
persepsi siswa SMP dalam menerapkan PHBS di sekolah adalah

6.1.1 Dinas Kesehatan kota Depok


Perlu dilakukan kerjasama dengan Dinas Pendidikan kota Depok dalam
rangka pendidikan kesehatan PHBS yang terintegrasi ke dalam kurikulum
SMP. Serta membuat kebijakan bahwa program PHBS wajib untuk
dilaksanakan di sekolah.

6.1.2 Puksesmas kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan serta perawat
komunitas
a. Peningkatan pembinaan kepada guru pembina UKS dengan melakukan
pendidikan kesehatan terkait PHBS. Dan kemudian melakukan
pendidikan kesehatan kepada guru-guru terutama guru wali kelas

123
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


124

terhadap penerapan PHBS di sekolah. Sehingga guru wali kelas


memiliki pengetahun yang baik terhadap penerapan PHBS di sekolah
b. Membentuk kelompok edukasi sebaya yang sesuai dengan minat remaja
melalui kerjasama perawat puskesmas/ komunitas dan guru pembina
UKS. Kemudian memberikan pembinaan dan pendidikan kesehatan
kepada siswa edukasi sebaya dalam menerapkan PHBS di sekolah.

6.1.3 Institusi Sekolah


a. Proaktif bekerjasama dengan pihak puskesmas dalam rangka
optimalisasi fungsi UKS khususnya dalam pendidikan kesehatan,
pendidikan jasmani, dan lingkungan sekolah sehat dan pelayanan
kesehatan dasar di sekolah terkait PHBS.
b. Pemberdayaan sekolah untuk mengadakan fasilitas penerapan PHBS
melalui keterlibatan siswa atau seluruh warga sekolah dan keterlibatan
sektor swasta sebagai sponsor pengadaan fasilitas PHBS
c. Menyarankan kepada sekolah untuk menyisipkan materi PHBS ke dalam
pelajaran IPA dan PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup) sehingga siswa
SMP memiliki kemampuan pengetahuan PHBS secara baik.
d. Meningkatkan kerjasama guru wali kelas dan orang tua siswa untuk
memberikan perhatian dan dukungan terhadap penerapan PHBS di
sekolah serta hubungannya dengan tumbuh kembang remaja.

6.1.4 Keluarga
Perlu meningkatkan perhatian dan kesadaran menerapkan PHBS di rumah
kepada anak dengan usia remaja. Orang tua melakukan pengasuhan pada
anak dengan tetap menerapkan PHBS di rumah. Sehingga dapat mengurangi
risiko penyakit yang ditimbulkan dari kurangnya penerapan PHBS di rumah
dan di sekolah.

6.1.5 Penelitian Selanjutnya


a. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang penambahan variabel
indikator PHBS di sekolah yang lain seperti buang sampah

124
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


125

sembarangan, pemeriksaan tinggi badan dan berat badan, pemberantasan


jentik nyamuk, olahraga secara teratur serta kebersihan jamban di
sekolah.
b. Penelitian selanjutnya dapat ditambahkan metode observasi untuk
menggali kemampuan keterampilan siswa dalam menerapkan PHBS di
sekolah

125
Universitas Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


DAFTAR PUSTAKA

Allender, J.A dan Spradley, B.W. (2001). Community Health Nursing: Concepts
And Practice 5th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Ariani, N.P. (2006). Hubungan Karakter Remaja, Keluarga, dan Pola Asuh
Keluarga dengan Perilaku Remaja: Merokok, Agresif dan Seksual pada
siswa SMA dan SMK di Kecamatan Bogor Barat. Tidak dipublikasikan,
Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan: Universitas Indonesia
Aryani, I. (2009). Aspek biopsikososial higiene menstruasi pada remaja di
pesantren putri As-Syafi’iyah Bekasi tahun 2009. Tidak dipublikasikan,
Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Indonesia. Maret 11,
2012.http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/green/detail2.jsp?id=126462&lokasi
=lokal
Berita Pagi. (2012). Cara Efektif Cegah Penyakit Kulit. Akses 7 Juli 2012.
http://beritapagi.co.id/read/2012/05/cara-efektif-cegah-penyakit-kulit.html
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
(2008). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Depkes RI
BPS. (2010). Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Umur, Daerah Perkotaan/
Pedesaan serta Jenis Kelamin. Pebruari 24, 2012.
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=263&wid=0
Burns, N dan Grove, S.K. (2009). The Practice of Nursing Research: Appraisal,
Synthesis, and Generation of Evidance 6th Edition. Missouri: Saunders
Elsivier Inc.
Chan, K., Prendergast, G., Grønhøj, A., dan Bech-Larsen, T. (2009). Adolescents’
Perceptions of Healthy Eating and Communication about Healthy Eating.
Health Education,109(6), p.474-490. Pebruari 13, 2012. ProQuest Research
Library
http://search.proquest.com/docview/214696492/13553A5E0143CA8D5B7/1
?accountid=17242
Clemen-Stone, S., McGuire, S.L., dan Eigsti, D.G. (2002). Comprehensive
Community Health Nursing: Family, Aggregate, & Community Practice,
6th edition. St. Louis: Mosby, Inc.

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


127

Cohn, D. (1994, Oktober). Battling the bacteria that cause body odor. Current
Health Teens, 21(2), p.16-18. Maret 7, 2012. ProQuest Research Library
http://search.proquest.com/docview/211684258/135505EAF1B3A8D0C06/3
Compos et al. (2009). Assessment of personal hygiene and practices of food
handlers in municipal public schools of Natal, Brazil. Food Control, 20
(2009) 807–810
Creswell, H.,W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design Choosing
Among Five Traditions 2nd Edition. California: Sage Publications Inc.
CYH. (2011). Personal Hygiene: Taking Care of your Body. Akses 2 Juli 2012;
http://www.cyh.com/HealthTopics/HealthTopicDetailsKids.aspx?p=335&np
=289&id=2146

Dammann, K dan Smith, C. (2010). Food-related Attitudes and Behaviors at


Home, School, and Restaurants: Perspectives from Racially Diverse, Urban,
Low-income 9 to 13 year old Children in Minnesota. Journal of Nutrition
Education and Behavior. Volume 42, Number 6
DeLaune, S.C dan Ladner, P.K. (2011). Fundamental of Nursing: Standards and
Practice 4th Edition. USA: Delmar Cengage Learning
Denzin, N.K dan Lincoln, Y.S. (2000). Handbook of Qualitative Research 2nd
Edition. California: Sage Publication Inc
Depkes RI. (2007). Modul Pelatihan: Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
(PKPR). Jakarta: Departemen Kesehatan RI
________. (2008). Pedoman Pengelolaan Promosi Kesehatan: Dalam
Pencapaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jakarta: Departemen
Kesehatan RI Pusat Promosi Kesehatan
Devi, N. (2012). Panduan Bagi Orang Tua: Gizi Anak Sekolah. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas
Dinas Kesehatan Kota Depok. (2005). Pedoman, Modul dan Materi Pelatihan
Dokter Kecil. Depok: Direktur Kesehatan Keluarga
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat. (2010). Petunjuk Teknis Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) di Rumah Tangga. Bandung: Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Barat

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


128

Djiwatampu, M. L., Indirasari, D T., Respati, A. (2004). Melihat dan Mengingat.


Depok: LPSP3 UI
Echols, J.M., Shadily, H,. (1992). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : PT
Gramedia
Edelman, C dan Mandle, C.L. (2010). Health Promotion Throughout The Life
Span 7th Edition. St. Louis: Mosby
Eves et al. (2006). Food Hygiene Knowledge and Self-reported Behaviours of UK
School Children (4-14 years). British Food Journal Vol. 108 No. 9, 2006 pp.
706-720
Faheem, N.A.A.B. (2010). Pengaruh Cara dan Kebiasaan Membersihkan Wajah
Terhadap Pertumbuhan Jerawat di Kalangan Siswa Siswi SMA Harapan 1
Medan. Tidak dipublikasikan, Skripsi. Fakultas Kedokteran: Universitas
Sumatera Utara Medan. Akses 7 Maret 2012,
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21475
Fauziah, S. (2004). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat Siswa di 2 Sekolah Dasar (Dengan dan Tanpa Program
PHBS) Kelurahan Lorok Pakjo Palembang. Tidak dipublikasikan, Tesis,
Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Indonesia
Fitriani, S. (2011). Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Friedman, M.M., Bowden, V.R., Jones, E.G. (2003). Family Nursing: Research,
Theory & Practice 5th Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Gittleman, A. L. (2000, Juli). Beating the body odor blues. Better Nutrition, 62
(7), p.20. Maret 11, 2012. ProQuest.
Green, L.W dan Kreuter, M.W. (2005). Health Program Planning: An Educational
and Ecological Approach 4th Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Hindin, T.J., Contento, I.R., dan Gussow, J.D. (2004). A Media Literacy Nutrition
Education Curriculum for Head Start Parents about the Effects of Television
Advertising on Their Children’s Food Requests. Journal of The American
Dietetic Association
Hitchcock, J.E., Schubert, P.E dan Thomas, S.A. (1999). Community Health
Nursing: Caring in Action. New York: Delmar Publishers

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


129

Johnson, J. (2012). The Importance of Good Personal Hygiene. Juli 2, 2012.


http://www.hygieneexpert.co.uk/importancegoodpersonalhygiene.html
Jurnal Nasional. (2012). Jajan Sembarangan Bisa Tertular Hepatitis. Akses 8 Juli
2012. http://www.jurnas.com/halaman/9/2012-01-13/195482
Kegiatan Pembinaan Petugas KIA, KB-KRR, UKS dan Jumara Kota Depok.
(2005). Pedoman, Modul, dan Materi Pelatihan “Dokter Kecil”. Depok:
Dinas Kesehatan Kota Depok
Kemenkes RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Komisi Nasional Etik Penelitian Nasional. (2005). Komisi Nasional Etik
Penelitian Kesehatan. Akses 23 Maret 2012.
http://www.knepk.litbang.depkes.go.id/knepk/
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., Snyder, S. (2004). Fundamentals of Nursing:
Concepts, Process, and Practice. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Kusumaningsih, I. (2009). Persepsi Masyarakat terhadap Citra Perawat di
Balkesmas Sint Carolus Kelurahan Paseban Jakarta Pusat: Studi
Frnomenologi. Tidak Tidak dipublikasikan, Tesis. Fakultas Ilmu
Keperawatan: Universitas Indonesia
Lopez-Quintero, C., Freeman, P., dan Neumark, Y. (2009). Hand Washing
Among School Children in Bogota Columbia. American Journal of Public
Health. 99(1), January 2009, p. 94-101. ProQuest
Luthfianti. (2008). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Mencuci
Tangan Memakai Sabun pada Siswa-Siswi di MI Al Istiqomah dan SDN
Kedaung Wetan Baru 2 Kedaung Wetan, Kota Tangerang. Tidak
dipublikasikan, Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas
Indonesia.
Mayer, H. (2008, Oktober). Body Odor. Scholastic Choices, 24( 2), p.27. Maret 7,
2012. ProQuest Research Library
http://search.proquest.com/docview/208787467/135505EAF1B3A8D0C06/6
?accountid=17242

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


130

Maurer, F.A dan Smith, C.M (2005). Community/ Public Health Nursing
Practice: Health for Families and Popolations 3rd Edition. USA: Elsivier
Saunders
McMurray, A. (2003). Community Health and Wellness: A Sociological
Approach. Toronto: Mosby
Mental Health Weekly Digest. (2003, September). Dermatology: Acne affects
teenagers' self-esteem. Medical Sciences, p.15. Maret 7, 2012. ProQuest
Health & Medical Complete
http://search.proquest.com/docview/194479535/135512AE2E81480CF68/2
Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of Perception (Colin Smith). London:
Routledge Classics
Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
Mulyono (2011, Oktober). Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia. Nobell (Media
Informasi BBTKL Jakarta), 43-44
Naidoo, J dan Wills, J. (2000). Health Promotion: Foundations for Practice 2nd
Editions. London: Bailliere Tindall
Neumark-Sztainer, D., Story, M., Perry, C., Casey, M A. (1999). Factors
influencing food choices of adolescents: Findings from focus-group
discussions with adolescents. Journal of the American Dietetic Association,
99(8), p. 929-937. Aug 1999. ProQuest
Nies, M.A dan McEwen, M. (2006). Community/Public Health Nursing:
Promoting the Health of Populations 4th Edition. Missouri: Saunders
Elsivier
Noni. (2012). Saatnya Kuku Panjang. Akses 2 Juli 2012;
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/05/22/187044/
Saatnya-Kuku-Memanjang

Notoadmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT.Rineka Cipta

Nursita, I. (2010). Masalah Rambut Saat Mengenakan Jilbab. Akses 7 Juli 2012.
http://female.kompas.com/read/2010/06/08/09263579/Masalah.Rambut.Saat
.Mengenakan.Jilbab

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


131

Olson, J. (2007). Personal Hygiene. Surface Fabrication; Apr 2007; 13, 4; pg. 21
ProQuest.
Oyibo, PG. (2012). Basic Personal Hygiene: Knowledge and Practices Among
School Children Aged 6-14 Years In Abraka, Delta State, Nigeria. Wilolud
Journals 6 (1): page 5 - 11
Pender, N. (1996). Health Promotion in Nursing Practice 3rd Edition.
Connecticut: Appleton & Lange
Polan, E dan Taylor, D. (2007). Journey Across The Life Span: Human
Development and Health Promotion 3rd Edition. Philadelphia: F.A Davis
Company
Polit, D. F dan Beck, C. T. (2004). Nursing Research: Principle and Methods 7th
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Polit, D. F., Beck, C T., dan Hungler, B P. (2001). Essentials Of Nursing
Research: Methods, Appraisal, And Utilization. 5th Edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Potter, P.A., dan Perry, A.G. (2009). Fundamental of Nursing 7th Edition.
Missouri: Mosby Elsivier Inc.
Rice, F. P dan Dolgin, K. G. (2008). The Adolescent: Development, Relationships
And Culture 12th Edition). Boston: Pearson Education, Inc.
Robbins, S.P. (2003). Perilaku Organisasi Jilid I. Jakarta: PT INDEKS Kelompok
Garmedia
Rusaidah. (2011). Lebih Baik Bawakan Anak Bekal daripada Jajan. Akses 7 Juli
2012. http://bangka.tribunnews.com/2011/02/15/lebih-baik-bawakan-anak-
bekal-daripada-jajan
Saifah, A. (2011). Hubungan Peran Keluarga, Guru, Teman Sebaya dan Media
Massa dengan Perilaku Gizi Anak Usia Sekolah Dasar di Wilayah Kerja
Puskesmas Mabelopura Kota Palu. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan
Program Magister Keperawatan Pemintan Keperawatan Komunitas. Depok:
Universitas Indonesia
Santrock, J W. (2005). Psychology Updated 7th Edition. New York: The McGraw
Hill. Companies. Inc

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


132

Sarwono, S.W. (1976). Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Penerbit Bulan


Bintang
Sarifudin, A. (2003). Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap dan Praktek Guru
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) dengan Strata Kesehatan Sekolah Dasar Negeri di Wilayah Binaan
Puskesmas Petarukan Kec Petarukan Kab Pemalang. Tidak dipublikasikan,
Tesis, Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Diponogoro

____________. (2011). Psikologi Remaja Edisi Revisi Cetakan ke-14. Jakarta:


Rajawali Pers
Scarborough, M. F. (2002). Hand Washing In Georgia's Public Schools: A
Community Needs Assessment And Intervention Study. Thesis. Faculty of
the Career Master of Public Health Program: Emory University. ProQuest
Setyanti, C.A. (2011). Kampanye Pentingnya Kebersihan Organ Intim. Maret 11,
2012.http://female.kompas.com/read/2011/10/04/1603070/Kampanye.Pentin
gnya.Kebersihan.Organ.Intim
Setyaningsih, E,.A.,M. (2005). Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi dalam
Pemahaman dan Pengalaman Remaja Awal. Tidak dipublikasikan, Tesis.
Program Pascasarjana: Universitas Indonesia
Simons-Morton, Bruce. (2007). Social Influences on Adolescent Substance Use.
Am J Health Behav;31(6):672-684
Simorangkir, V. (1994). Kebiasaan Jajan pada Murid SMAN 81 di Kecamatan
Pulo Gadung Jakarta Timur. Tidak dipublikasikan, Tesis. Program
Pascasarjana: Universitas Indonesia
Siswanti. Perilaku Jajan Pada Anak Sekolah: Studi Kualitatif Pada Siswa Kelas VI
SDN Muktiharjo Lor 01, 02, 03, 04 Kelurahan Muktiharjo Lor Kecamatan
Genuk Semarang. Tidak dipublikasikan, Skripsi, Fakultas Kesehatan
Masyarakat: Universitas Diponogoro. Akses 23 Pebruari 2012.
http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx=2075
SKB Mendiknas dan Menag. (2011). Surat Keputusan Bersama Menteri
Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor 04/VI/Pb/2011, Nomor
MA/111/2011 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-
Kanak/ Raudhatul Athfal/Bustanul Athfal dan Sekolah/Madrasah. Maret 10,

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


133

2012. http://www.pustakasekolah.com/pedoman-penerimaan-siswa-baru-
20112012.html
Song et al. (2009). Perceptions of Smoking-Related Risks and Benefits as
Predictors of Adolescent Smoking Initiation. American Journal of Public
Health, 99(3), p.487-492. ProQuest
Speziale, H. J. S & Carpenter, D. R. (2003). Qualitative Research in Nursing:
Advancing the Humanistic Imperative 3rd Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins
Stanhope, M., & Lancaster, J. (2004). Community & Public Health Nursing 6th
Edition. Missouri: Mosby Elsivier Inc.
Suci, E.S.T. (2009). Gambaran Perilaku Jajan Murid SD di Jakarta. Psikobuana,
1(1), p. 29-38. Pebruari 28, 2012. http://psikobuana.com/doc/29-38%20-
%20Jajan.pdf
Sun, D., Anderson, M., Shah, A., & Julliard, K. (1998). Early Adolescents’
Perceptions of Cigarette Smoking: A Cross-sectional Survey in A Junior
High School. Adolescence, 33(132), p.805-810. Pebruari 13, 2012. ProQuest
http://search.proquest.com/docview/195928789?accountid=17242
Vereecken, C., De Henauw, S., Maes, L. (2005). Adolescents’ Food Habits:
Results of The Health Behaviour in School-Aged. British Journal of
Nutrition; 94; 423-431
Vivas, A., Gelaye, B., Aboset, N., Kumie, A., Berhane, Y., Williams, M. (2010).
Knowledge, Attitudes, and Practices (KAP) of Hygiene among School
Children in Angolela, Ethiopia. J Prev Med Hyg, 2010 June ; 51(2): 73–79.
Wade, C & Tavris, C. (2007). Psikologi Edisi Kesembilan Jilid 1. (Benedictine
Widyasinta, Ign. Darma Juwono). Jakarta: Erlangga
WHO SEARO. (2009, Januari). Adolescent Health and Development. Pebruari 10,
2012. http://www.searo.who.int/en/Section13/Section1245_4980.htm
Yunita, R. (2008). Hubungan Antara Perilaku Merokok Orang Tua Dengan
Perilaku Merokok Siswa SMP Di Kota Bogor Tahun 2007. Tidak
dipublikasikan, Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas
Indonesia

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


LAMPIRAN

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 1

KARAKTERISTIK PARTISIPAN

No Kode Umur Jenis Agama Suku Kode Umur Agama Jenis Suku Pendidikan
Partisipan Partisipan Kelamin Partisipan Partisipan Kelamin
Siswa Siswa Guru Wali Guru
(tahun) Kelas (tahun)
1 PS.1 13 Perempuan Islam Jawa PG.1 50 Islam Perempuan Sunda Sarjana
2 PS.2 13 Perempuan Islam Sumatra PG.2 32 Islam Perempuan Betawi Sarjana
3 PS.3 14 Laki-laki Islam Jawa PG.3 34 Islam Perempuan Betawi Sarjana
4 PS.4 14 Laki-laki Islam Jawa PG.4 51 Islam Perempuan Jawa Sarjana
5 PS.5 15 Perempuan Islam Sunda PG.3 34 Islam Perempuan Betawi Sarjana
6 PS.6 14 Laki-laki Islam Betawi PG.3 34 Islam Perempuan Betawi Sarjana

Kode Partisipan Umur Partisipan Agama Jenis Kelamin Suku Pendidikan


Guru UKS Guru UKS
(tahun)
PG.5 46 Islam Perempuan Jawa Sarjana
PG.6 48 Islam Perempuan Sunda Sarjana

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 2

SKEMA TEMA

Skema 1, Tema 1: Perilaku yang mendukung penerapan PHBS

Mengungkapkan contoh
PHBS
Sub Tema 1:
Pengetahuan yang mendukung
Mengungkapkan manfaat penerapan PHBS
PHBS

Sub Tema 2:
Menyatakan
Keterampilan yang mendukung
mempraktikkan PHBS
penerapan PHBS

Tema 1:
Perilaku yang
PHBS terlihat dari mendukung penerapan
tindakan seseorang PHBS
melakukan kebersihan

PHBS terlihat dari


penampilan fisik

Sub Tema 3:
PHBS Berawal dari diri Sikap yang mendukung
sendiri penerapan PHBS

Merasakan manfaat
setelah
berperilaku bersih dan
sehat

Merasakan akibat setelah


melakukan perilaku tidak
bersih

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Skema 2, Tema 2: Kurang Peduli Menerapkan PHBS

Sub Tema 1:
Kurang informasi Kurang pengetahuan
PHBS tentang PHBS

Kurang penting Sub Tema 2: Tema 2:


menerapkan PHBS Kurang mendukung Kurang Peduli
penerapan PHBS Menerapkan
PHBS

Sub Tema 3:
Kurang menerapkan Kurang kemauan
PHBS menerapkan PHBS

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Skema 3, Tema 3: Penerapan Prinsip Dasar PHBS di Sekolah

Pengetahuan cuci tangan


Sub Tema 1:
Keterampilan cuci tangan Penerapan PHBS perilaku
cuci tangan
Sikap cuci tangan

Keterampilan kebersihan badan


di rumah
Sub Tema 2:
Keterampilan kebersihan badan Penerapan PHBS perilaku
di sekolah kebersihan badan

Sikap kebersihan badan

Keterampilan kebersihan rambut


Sub Tema 3:
Sikap kebersihan rambut Penerapan PHBS perilaku
kebersihan rambut
Sarana kebersihan rambut

Keterampilan kebersihan dan


kerapihan pakaian

Sikap kebersihan dan kerapihan Tema 3:


pakaian Sub Tema 4: Penerapan Prinsip
Penerapan PHBS perilaku Dasar PHBS
Peraturan sekolah tentang cara kebersihan dan kerapihan
berpakaian pakaian

Dukungan ortu merawat


kebersihan dan kerapihan pakaian

Pengetahuan kebersihan kuku


Sub Tema 5:
Penerapan PHBS perilaku
Keterampilan kebersihan kuku kebersihan kuku

Sikap kebersihan kuku

Keterampilan kebersihan sepatu


Sub Tema 6:
Penerapan PHBS perilaku
Keterampilan kebersihan kaos kebersihan sepatu
kaki

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Skema 3, Tema 3: Penerapan Prinsip Dasar PHBS di Sekolah (lanjutan)

Pengetahuan jajan di sekolah

Keterampilan jajan di sekolah


Sub Tema 7:
Sikap jajan di sekolah Penerapan PHBS perilaku
Jajan di Sekolah
Pengaruh teman sebaya

Aturan jajan di sekolah

Kemampuan menolak perilaku


Sub Tema 8:
merokok
Penerapan PHBS perilaku
Tidak Merokok
Tekanan teman sebaya terhadap
perilaku merokok

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Skema 4, Tema 4: Faktor penghambat terbentuknya PHBS di Sekolah

Kurang pengetahuan
menerapkan PHBS

Sub Tema 1:
Kurang fasilitas Hambatan Siswa
pendukung PHBS

Kurang dukungan ortu


dan guru

Tema 4:
Keterbatasan waktu Faktor penghambat
terbentuknya PHBS
di sekolah
Kurang pembinaan
Sub Tema 2:
Hambatan Guru
Kurang pendanaan

Kebijakan sekolah
yang belum optimal

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Skema 5, Tema 5: Faktor Pendukung Pembentukan PHBS di Sekolah

Dukungan orang tua

Sub Tema 1:
Dukungan tenaga Sumber dukungan penerapan
kesehatan PHBS

Dukungan guru

Penyuluhan

Berita di TV
Sub Tema 2:
Bentuk dukungan penerapan Tema 5:
Membaca koran PHBS Faktor pendukung
pembentukan PHBS
Poster di sekolah

Sub Tema 3:
Aturan sekolah
Aturan sekolah

Pola Kebiasaan Sub Tema 4:


Keluarga Norma Keluarga

Perilaku melanggar
siswa
Sub Tema 5:
Tidak ada dukungan
Kurang informasi penerapan PHBS
tentang PHBS

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Skema 6, Tema 6: Harapan siswa dan guru untuk terlaksananya PHBS

Kebutuhan Fasilitas
PHBS
Sub Tema 1:
Harapan Siswa
Kebutuhan kegiatan
olahraga Tema 6:
Harapan siswa dan
guru untuk
Kebutuhan Fasilitas terlaksananya PHBS
PHBS

Sub Tema 2:
Harapan Guru
Dana pelaksanaan
program UKS

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 3

JADWAL PENELITIAN
PERSEPSI SISWA SMP DALAM PENERAPAN PHBS TATANAN SEKOLAH DI KELURAHAN TUGU DAN PASIR GUNUNG SELATAN
KOTA DEPOK TAHUN 2012

Pebruari Maret April Mei Juni Juli


Kegiatan Penelitian
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Tahap Persiapan
Penyusunan proposal
Seminar proposal
Perbaikan proposal
2. Tahap Pelaksanaan
Pengurusan ijin penelitian
Pengumpulan dan analisa data
Penyususnan laporan akhir
Seminar hasil penelitian
3. Tahap Akhir
Sidang tesis
Perbaikan
Pengumpulan laporan

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 4
PENJELASAN PENELITIAN
(Kepada Siswa)

Judul Penelitian : Persepsi Siswa SMP dalam Penerapan PHBS Tatanan


Sekolah di Kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan
Kota Depok
Peneliti : Ni Luh Putu Eva Yanti
NPM : 1006748740
Pembimbing : 1. Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M.App.Sc.,PhD
2. Ns Henny Permatasari, M.Kep.,Sp.Kom
Peneliti adalah mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan peminatan
Keperawatan Komunitas Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Saudara telah diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Partisipasi ini
sepenuhnya bersifat sukarela. Saudara boleh memutuskan untuk berpartisipasi
atau mengajukan keberatan atas penelitian ini kapanpun tanpa ada konsekuensi
dan dampak negatif. Sebelum Saudara memutuskan, saya akan menjelaskan
beberapa hal, sebagai berikut :
1. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran tentang persepsi siswa
SMP dalam menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sekolah.
Persepsi siswa SMP terhadap penerapan PHBS dapat digunakan untuk
pengembangan pelayanan keperawatan komunitas terutama dalam
menentukan tindakan pencegahan baik primer, sekunder dan tersier terhadap
gangguan kesehatan yang mungkin muncul pada populasi remaja di sekolah.
2. Jika Saudara bersedia ikut serta dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan
wawancara pada waktu dan tempat yang disepakati bersama. Jika Saudara
mengizinkan, peneliti akan menggunakan alat perekam suara untuk merekam
yang Saudara ungkapkan selama wawancara berlangsung. Wawancara akan
dilakukan satu kali selama 30-60 menit.

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


3. Penelitian ini tidak menimbulkan resiko. Apabila Saudara merasa tidak
nyaman selama wawancara, Saudara boleh tidak menjawab atau
mengundurkan diri dari penelitian ini.
4. Semua catatan yang berhubungan dengan penelitian akan dijamin
kerahasiaannya. Peneliti akan memberikan hasil penelitian ini kepada Saudara,
jika Saudara menginginkannya. Hasil penelitian ini akan diberikan kepada
sekolah Saudara, institusi tempat peneliti belajar dan pelayanan kesehatan
setempat dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas partisipan.
5. Jika ada yang belum jelas, silahkan Saudara tanyakan pada peneliti.
6. Jika Suadara sudah memahami dan bersedia ikut berpartisipasi dalam
penelitian ini, silahkan Saudara menandatangi lembar persetujuan yang telah
dilampirkan.

Depok, April 2012


Peneliti,

Ni Luh Putu Eva Yanti


1006748740

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 5
PENJELASAN PENELITIAN
(Kepada Guru/ Guru UKS)

Judul Penelitian : Persepsi Siswa SMP dalam Penerapan PHBS Tatanan


Sekolah di Kelurahan Tugu dan Pasir Gunung Selatan
Kota Depok
Peneliti : Ni Luh Putu Eva Yanti
NPM : 1006748740
Pembimbing : 1. Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M.App.Sc.,PhD
2. Ns Henny Permatasari, M.Kep.,Sp.Kom
Peneliti adalah mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan peminatan
Keperawatan Komunitas Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Siswa/ siswi Saudara telah diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dan
bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini. Saudara diminta untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini. Partisipasi ini sepenuhnya bersifat sukarela.
Saudara boleh memutuskan untuk berpartisipasi atau mengajukan keberatan atas
penelitian ini kapanpun tanpa ada konsekuensi dan dampak negatif. Sebelum
Saudara memutuskan, saya akan menjelaskan beberapa hal, sebagai berikut :
1. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran tentang persepsi siswa
SMP dalam menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sekolah.
Persepsi siswa SMP terhadap penerapan PHBS dapat digunakan untuk
pengembangan pelayanan keperawatan komunitas terutama dalam
menentukan tindakan pencegahan baik primer, sekunder dan tersier terhadap
gangguan kesehatan yang mungkin muncul pada populasi remaja di sekolah.
2. Siswa/siswi Saudara telah melakukan wawancara dengan peneliti dalam
penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sekolah. Jika Saudara
bersedia ikut serta dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan wawancara
kepada Saudara terkait penerapan PHBS sekolah putra/ putri Saudara. Waktu
dan tempat wawancara akan disepakati bersama. Jika Saudara mengizinkan,
peneliti akan menggunakan alat perekam suara untuk merekam yang Saudara

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


ungkapkan selama wawancara berlangsung. Wawancara akan dilakukan satu
kali selama 30-90 menit.
3. Penelitian ini tidak menimbulkan resiko. Apabila Saudara merasa tidak
nyaman selama wawancara, Saudara boleh tidak menjawab atau
mengundurkan diri dari penelitian ini.
4. Semua catatan yang berhubungan dengan penelitian akan dijamin
kerahasiaannya. Peneliti akan memberikan hasil penelitian ini kepada Saudara,
jika Saudara menginginkannya. Hasil penelitian ini akan diberikan kepada
sekolah putra/ putri Saudara, institusi tempat peneliti belajar dan pelayanan
kesehatan setempat dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas partisipan.
5. Jika ada yang belum jelas, silahkan Saudara tanyakan pada peneliti.
6. Jika Saudara sudah memahami dan bersedia ikut berpartisipasi dalam
penelitian ini, silahkan Saudara menandatangi lembar persetujuan yang telah
dilampirkan.

Depok, April 2012


Peneliti,

Ni Luh Putu Eva Yanti


1006748740

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 6

LEMBAR PERSETUJUAN
(Untuk Siswa)

Saya yang bertandatangan di bawah ini;


Nama : .......................................................................
Umur : .......................................................................
Kelas : .......................................................................
Alamat : .......................................................................

Setelah mendengar penjelasan dari peneliti dan membaca penjelasan penelitian,


saya memahami bahwa penelitian ini akan menjunjung tinggi hak-hak saya selaku
partisipan. Saya berhak tidak melanjutkan berpartisipasi dalam penelitian ini jika
suatu saat merugikan saya.

Saya sangat memahami bahwa penelitian ini sangat besar manfaatnya bagi
pengembangan pelayanan keperawatan komunitas terutama dalam menentukan
tindakan pencegahan terhadap gangguan kesehatan yang mungkin muncul pada
populasi remaja di sekolah. Dengan menandatangani lembar persetujuan ini
berarti saya bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian ini secara ikhlas dan
tanpa paksaan dari siapapun.
Depok,……………………2012

Peneliti Partisipan

(…………………...) (………………………..)

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 7
LEMBAR PERSETUJUAN
(Untuk Guru/ Guru UKS)

Saya yang bertandatangan di bawah ini;


Nama : .............................................................................
Umur : .............................................................................
Alamat : .............................................................................

Setelah mendengar penjelasan dari peneliti dan membaca penjelasan penelitian, saya
memahami bahwa penelitian ini akan menjunjung tinggi hak-hak saya selaku partisipan.
Saya berhak tidak melanjutkan berpartisipasi dalam penelitian ini jika suatu saat
merugikan saya.

Saya sangat memahami bahwa penelitian ini sangat besar manfaatnya bagi
pengembangan pelayanan keperawatan komunitas terutama dalam menentukan
tindakan pencegahan terhadap gangguan kesehatan yang mungkin muncul pada
populasi remaja di sekolah. Dengan menandatangani lembar persetujuan ini berarti
saya bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian ini secara ikhlas dan tanpa paksaan dari
siapapun.

Depok,……………………2012

Peneliti Partisipan

(…………………..) (………………………..)

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 8

DATA DEMOGRAFI PARTISIPAN


(Untuk Orang Tua/ Wali Siswa)

Nama : .....................................................................................

Umur : .....................................................................................

Jenis Kelamin : (Laki-laki / Perempuan) *Coret yang tidak perlu

Agama : .....................................................................................

Suku : .....................................................................................

Pendidikan : .....................................................................................

Pekerjaan : .....................................................................................

Jumlah anak : .....................................................................................

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 9

DATA DEMOGRAFI PARTISIPAN


(Untuk Guru/ Guru UKS)

Nama : .....................................................................................

Umur : .....................................................................................

Jenis Kelamin : (Laki-laki / Perempuan) *Coret yang tidak perlu

Agama : .....................................................................................

Suku : .....................................................................................

Pendidikan : .....................................................................................

Alamat : .....................................................................................

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 10

PEDOMAN WAWANCARA KEPADA SISWA

Pertanyaan Pembuka
Saya tertarik untuk belajar dan mendapatkan gambaran tentang persepsi saudara
(nama partisipan) dalam menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
sekolah. Saya sangat menghargai bila saudara (nama partisipan) mau
menceritakan pengalaman saudara (nama partisipan) terkait penerapan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sekolah baik itu pendapat, peristiwa, pikiran dan
perasaan yang saudara (nama partisipan) alami.

Pertanyaan untuk memandu wawancara adalah sebagai berikut :


1. Bagaimana respons saudara (nama partisipan) terhadap Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat di sekolah?
2. Bagaimana praktik saudara (nama partisipan) terhadap Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat di sekolah?
3. Apa hambatan saudara (nama partisipan) menerapkan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat di sekolah?
4. Bagaimana dukungan guru dan orang tua terhadap Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat di sekolah?

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 11

PEDOMAN WAWANCARA KEPADA GURU

Pertanyaan Pembuka
Saya tertarik untuk belajar dan mendapatkan gambaran tentang persepsi Bapak/
Ibu terhadap siswa dalam menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
sekolah. Saya sangat menghargai bila Bapak/Ibu mau menceritakan pengalaman
Bapak/Ibu terkait penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sekolah
baik itu pendapat, peristiwa, pikiran dan perasaan yang Bapak/Ibu alami.

Pertanyaan untuk memandu wawancara adalah sebagai berikut :


1. Bagaimana respons Bapak/Ibu terhadap Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
di sekolah yang dilakukan siswa anda?
2. Bagaimana praktik siswa dalam melaksanakan PHBS di sekolah?
3. Apa hambatan siswa dalam menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
di sekolah?
4. Bagaimana dukungan Bapak/ Ibu kepada siswa dalam Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat di sekolah?
5. Bagaimana sekolah menjalankan program UKS dengan pendekatan
Advokasi, Bina Suasana dan Gerakan Pemberdayaan (Khusus guru UKS)

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Lampiran 12

CATATAN LAPANGAN

Nama Partisipan : Kode Partisipan :

Tempat wawancara Waktu wawancara :

Suasana tempat saat akan wawancara :

Gambaran partisipan saat akan wawancara :

Posisi partisipan dengan peneliti :

Gambaran respon Partisipan selama wawancara ;

Gambaran suasana tempat selama wawancara

Respon Partisipan saat terminasi

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012


Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012
Lampiran 15
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ni Luh Putu Eva Yanti


Tempat, tanggal lahir : Denpasar, 13 Juni 1985
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Dosen
Alamat rumah : Jl. Gn. Talang VI/5 Padangsambian Denpasar
Alamat institusi :PSIK FK Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar

Riwayat pendidikan :
1. SD Negeri 27 Pemecutan Denpasar (1990 – 1996)
2. SMP Negeri 7 Denpasar (1997 – 2000)
3. SMU Negeri 4 Denpasar (2000 – 2003)
4. PSIK FK Universitas Airlangga Surabaya (2003 – 2008)
5. Program Magister Ilmu Keperawatan (2010 – sekarang)
FIK Universitas Indonesia

Riwayat pekerjaan :
1. Dosen PSIK FK Universitas Udayana (2009 – sekarang)

Penelitian :
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar gula darah pada penderita Diabetes
Mellitus tipe 2 di Polikinik IRJ RSU.Soetomo Surabaya

Persepsi siswa..., Ni Luh Putu Eva Yanti, FIK UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai